Vous êtes sur la page 1sur 31

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Salmonella typhi dan
Salmonella paratyphi adalah strain bakteri anggota Salmonella. Salmonellosis
ditularkan melalui makanan dan minuman yang tekontaminasi oleh kotoran
atau tinja dari penderita demam tifoid. Penyakit ini dianggap serius karena
dapat disertai berbagai penyakit dan juga mempunyai angka kematian yang
cukup tinggi, yaitu 1-5 % dari penderita (Darmawati, 2009).

Demam tifoid sendiri akan sangat berbahaya jika tidak segara ditangani
secara baik dan benar, bahkan menyebabkan kematian. Menurut data WHO
(World Health Organisation) memperkirakan angka insidensi di seluruh dunia
sekitar 17 juta jiwa per tahun, angka kematian akibat demam tifoid mencapai
600.000 dan 70% nya terjadi di Asia. Di India, demam tifoid diperkirakan
menyebabkan 21,6 juta penyakit dan 216.500 kematian secara global, dan
demam paratifoid sedang diperkirakan terjadi sekitar 5,4 juta penyakit pada
tahun 2000 (Dutta et al, 2014). Di Malaysia, kejadian tahunan demam tifoid
mencapai 10,2-17,9 kasus per 100.000 penduduk yang terjadi antara tahun
1978 sampai 1990 (Ja’afar et al, 2011).

Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011 memperlihatkan bahwa gambaran


10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit, prevalensi
kasus demam thypoid sebesar 5,13% . Penyakit ini termasuk dalam kategori
penyakit dengan Case Fatality Rate tertinggi sebesar 0,67%.

Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011 memperlihatkan bahwa gambaran


10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit, prevalensi
kasus demam thypoid sebesar 5,13% . Penyakit ini termasuk dalam kategori
penyakit dengan Case Fatality Rate tertinggi sebesar 0,67%. Menurut data
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2013 penyakit demam tifoid
merupakan 10 penyakit terbanyak yang di derita di Provinsi Jawa Timur.
Terdapat 1774 penderita demam tifoid klinis dan sebanyak 1489 penderita
dengan widal positif. Di Kota Malang pada tahun 2013 terdapat 350 penderita
demam tifoid klinis dan sebanyak 344 penderita dengan widal positif. Hal ini
menunjukkan bahwa prevalensi penyakit demam tifoid di Kota Malang masih
tinggi yakni 20 % dari jumlah penderita demam tifoid di Provinsi Jawa
Timur.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis membuat rumusan
masalah sebagai berikut “Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien
demam thypoid dengan masalah hipertermi di Ruang Anak Rumah Sakit
Dr.Soepraoen Malang?

1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran tentang asuhan keperawatan pada pasien
demam thypoid di Ruang Anak Rumah Sakit Dr.Soepraoen Malang.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mendapatkan gambaran tentang pengkajian keperawatan pada
pasien Demam Thypoid dengan masalah hipertermi di Ruang Anak
Rumah Sakit RSUD Dr. R. Soedarsono Kota Pasuruan
b. Untuk mendapatkan gambaran tentang diagnosis keperawatan pada
pasien Demam Thypoid dengan masalah hipertermi di Ruang Anak
Rumah Sakit RSUD Dr. R. Soedarsono Kota Pasuruan
c. Untuk mendapatkan gambaran tentang peencanaan keperawatan pada
pasien Demam Thypoid dengan masalah hipertermi di Ruang Anak
Rumah Sakit RSUD Dr. R. Soedarsono Kota Pasuruan
d. Untuk mendapatkan gambaran tentang implementasi keperawatan pada
pasien Demam Thypoid dengan masalah hipertermi di Ruang Anak
Rumah Sakit RSUD Dr. R. Soedarsono Kota Pasuruan
e. Melakukan evaluasi pada pasien Demam Thypoid dengan masalah
hipertermi di Ruang Anak Rumah Sakit RSUD Dr. R. Soedarsono Kota
Pasuruan
f. Melakukan dokumentasi keperawatan pada pasien Demam Thypoid
dengan masalah hipertermi di Ruang Anak Rumah Sakit RSUD Dr. R.
Soedarsono Kota Pasuruan

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
a. Sebagai penambah informasi bagaimana asuhan keperawatan pada pasien
demam thypoid dengan masalah hipertermi di Ruang Anak Rumah Sakit
RSUD Dr. R. Soedarsono Kota Pasuruan

1.4.2 Manfaat Praktis


a. Bagi subjek penelitian (pasien demam thypoid) dapat digunakan untuk
mempercepat proses penyembuhan pada pasien Demam Thypoid dengan
masalah hipertermi di Ruang Anak Rumah Sakit RSUD Dr. R.
Soedarsono Kota Pasuruan
b. Bagi perawat dapat menjadi rujukan dalam melakukan asuhan
keperawatan pada pasien Demam Thypoid dengan masalah hipertermi di
Ruang Anak Rumah Sakit RSUD Dr. R. Soedarsono Kota Pasuruan
c. Bagi institusi pendidikan untuk menambah literature tentang asuhan pada
pasien Demam Thypoid dengan masalah hipertermi di Ruang Anak
Rumah RSUD Dr. R. Soedarsono Kota Pasuruan dan hasil penelitian
dapat digunakan dalam pengembangan ilmu selanjutnya serta untuk
bahan penelitian lebih lanjut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Teori

2.1.1 Definisi Demam Thypoid


Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan
oleh kuman salmonella Thypi (Mansjoer, 2009). Demam thypoid
merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella thypi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara
berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis.
(Simanjuntak, 2009). Demam typhoid merupakan penyakit infeksi
sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh salmonella thypi. Penyakit ini
ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa
keterlibatan struktur endothelia atau endokardial dan invasi bakteri
sekaligus multiplikasi kedalam sel fagosit monocular dari hati, limpa,
kelenjar limfe usus dan peyer’s patch dan dapat menular pada orang lain
melalui makanan atau air yang terkontaminasi (Nurarif & Kusuma, 2015)

Beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa penyakit demam


typhoid atau tifus abdomalis adalah suatu penyakit infeksi akut yang
menyerang manusia khususnya pada saluran pencernaan yaitu pada usus
halus yang disebabkan oleh kuman salmonella typhi yang masuk melalui
makanan atau minuman yang tercemar dan ditandai dengan demam

berkepanjangan lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran


pencernaan, dan lebih di perburuk dengan gangguan penurunan kesadaran.

2.1.2 Etiologi
Penyebab utama dari penyakit demam thipoid adalah salmonella
enterica yang dapat hidup di lingkungan yang kering tetapi peka terhadap
klorinisasi dan plepasteurisasi. Salmonella paratypi adalah kuman
penyebab penyakit demam paratifoid. Sedangkan yang dinamakan
salmonella schotmulleri dahulu disebabkan sebagai penyebab demam
paratifoid C (Ranuh 2013, h. 181).
Etiologi demam thypoid adalah salmonella thypi (S.thypi) 90 %
dan salmonella parathypi (S. Parathypi Adan B serta C). Bakteri ini
berbentuk batang, gram negatif, mempunyai flagela, dapat hidup dalam
air, sampah dan debu. Namun bakteri ini dapat mati dengan pemanasan
suhu 600 selama 15-20 menit. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, pasien
membuat antibodi atau aglutinin yaitu :

Aglutinin O (antigen somatik) yang dibuat karena rangsangan antigen


O (berasal dari tubuh kuman).
Aglutinin H (antigen flagela) yang dibuat karena rangsangan antigen H
(berasal dari flagel kuman).
Aglutinin Vi (envelope) terletak pada kapsul yang dibuat karena
rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan
titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar pasien
menderita tifoid. (Aru W, 2009)

2.1.3 Manifestasi Klinis

1.Gejala pada anak : inkubasi antara 5-40 hari dengan rata-rata 10-14 hari

2.Demam meninggi sampai akhir minggu pertama

3.Demam turun pada minggu ke empat, kecuali demam tidak tertangani


akan menyebabkan syok, stupor, dan koma

4.Ruam muncul pada hari ke 7-10 hari dan bertahan selama 2-3 hari

5.Nyeri kepala, nyeri perut

6.Kembung, mual, muntah, diare, konstipasi

7.Pusing, bradikardi, nyeri otot

8.Batuk

9.Epiktaksis

10.Lidah yang berselaput


11.Hepatomegali, splenomegali, meteorismus

12.Gangguan mental berupa somnolen

13.Delirium atau psikosis

14.Dapat timbul gejala yang tidak tipikal terutama pada bayi muda sebagai
penyakit demam akut dengan disertai syok dan hipotermia

Tabel 2.1 Periode infeksi demam thypoid, gejala dan tanda :

Minggu Keluhan Gejala Patologi

Minggu 1 Panas berlangsung Gangguan saluran Bakteremia


insidious, tipe panas cerna
stepladder yang
mencapai 39-40º c,
menggigil, nyeri kepala

Minggu 2 Rash, nyeri abdomen, Rose sport, Vaskulitis,


diare atau konstipasi, splenomegali, hiperplasi pada
delirium hepatomegali peyer’s patches,
nodul typhoid
pada limpa dan
hati

Minggu 3 Komplikasi : perdarahan Melena, ilius, Ulserasi pada


saluran cerna, perforasi ketegangan payer’s patches,
dan syok abdomen, koma nodul tifoid pada
limpa dan hati

Minggu 4 Keluhan menurun, Tampak sakit Kolelitiasis,


relaps, penurunan berat berat, kakeksia carrier kronik
badan

(Nurarif & Kusuma, 2015)


2.1.4 Patofisiologi

Infeksi terjadi pada saluran pencernaan. Basil diserap diusus halus


melalui pembuluh limfe lalu masuk kedalam peredaran darah sampai
diorgan-organ lain, terutama hati dan limfa. Basil yang tidak dihancurkan
berkembang biak dalam hati dan limfe sehingga organ-organ tersebut
akan membesar (hipertropi) disertai nyeri pada perabaan, kemudian basil
masuk kembali kedalam darah (bakteremia) dan menyebar keseluruh
tubuh terutama kedalam kelenjar limfoid usus halus, sehingga
menimbulkan tukak berbentuk lonjong pada mukosa diatas plak peyeri.
Tukak tersebut dapat menimbulkan perdarahan dan perforasi usus. Gejala
demam disebabkan oleh endotoksin, sedangkan gejala pada saluran
pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus (Susilaningrum,
Nursalam, & Utami, 2013)

Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang


lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun
pejamu maka Salmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui
duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini
organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang
disukai oeh Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang
belakang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi
kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau
penyebaran retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di empedu dapat
menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja. Peran
endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita
melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi
menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus
dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat
lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel,
sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang
belakang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik
(Soedarmo, dkk. 2012)
2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik

1. Pemeriksaan darah perifer lengkap

Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar


leukosit normal. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai
infeksi sekunder

2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT

SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal


setelah sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan
penanganan khusus

3. Pemeriksaan uji widal

Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap


bakteri salmonella typhi. Uji widal dimaksudkan untuk menentukan
adanya agglutinin dalam serum penderita demam tifoid. Akibat
adanya infeksi oleh salmonella typhi maka penderita membuat
antibody (agglutinin)

4. Kultur

Kultur darah : bisa positif pada minggu pertama

Kultur urine : bisa positif pada akhir minggu kedua

Kultur feses : bisa positif dari minggu kedua hingga minggu ketiga

5. Anti salmonella typhi igM

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi secara dini infeksi akut


salmonella typhi, karena antibody igM muncul pada hari ke3 dan 4
terjadinya demam.(Nurarif & Kusuma, 2015)

2.1.6 Penatalaksanaan

Menurut Ngastiyah (2005, h. 239) & Ranuh (2013, h. 184-185)


pasien yang di rawat dengan diagnosis observasi tifus abdominalis harus
dianggap dan diperlakukan langsung sebagai pasien tifus abdominalis
dan di berikan pengobatan sebagai berikut:
1. Isolasi pasien, desinfeksi pakaian dan ekskreta
2. Perawatan yang baik untuk menghindari komplikasi, mengingat sakit
yang lama, lemah, anoreksia, dan lain-lain
3. Istirahat selama demam sampai 2 minggu setelah suhu normal kembali
(istirahat total), kemudian boleh duduk, jika tidak panas lagi boleh
berdiri kemudian berjalan diruangan
4. Diet makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi
protein. Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak
merangsang dan tidak menimbulkan gas.dianjurkan minum susu 2
gelas sehari. Apabila kesadaran pasien menurun di berikan makanan
cair, melalui sonde lambung. Jika kesadaran dan nafsu makan anak
baik dapat juga di berikan makanan lunak.
5. Pemberian antibiotik
Dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran bakteri. Obat
antibiotik yang sering di gunakan adalah :
a. Chloramphenicol dengan dosis 50 mg/kg/24 jam per oralatau dengan
dosis 75 mg/kg/24 jam melalui IV dibagi dalam 4 dosis.
Cloramhenicol dapat menyembuhkan lebih cepat tetapi relapse terjadi
lebih cepat pula dan obat tersebut dapat memberikan efek samping
yang serius
b. Ampicillin dengan dosis 200 mg/kg/24 jam melalui IV di bagi dalam 6
dosis. Kemampuan obat ini menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan dengan chloramphenicol
c. Amoxicillin dengan dosis 100mg/kg/24 jam per os dalam3 dosis
d. Trimethroprim-sulfamethoxazol masing-masing dengan dosis 50 mg
SMX/kg/24 jam per os dalam 2 dosis,merupakan pengobatan klinik
yang efisien
e. Kotrimoksazol dengan dosis 2x 2 tablet (satu tablet mengandung
400mg sulfamethoxazole dan 800 mg trimetroprim.Efektifitas obat ini
hampir sama dengan cloromphenicol
2.1.7 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat dityphoid adalah:
a. Komplikasi intestinal : perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik,
pankreastitis.
b. Komplikasi ekstra-intestinal : komplikasi kardiovaskuler, (gagal
sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis), komplikasi paru(pnemonia,
pleuritis), komplikasi darah(anemia hemolitik, trombositopenia,
thrombosis), komplikasi tulang (osteomielitis, peritonitis, arthiritis),
komplikasi neuropsikiatrik / tifoid toksin (Widoyono, 2011)

2.2 Hipertermi
2.2.1 Pengertian
Hipertermi adalah peningkatan suhu tubuh yang berhubungan
dengan ketidakmampuan tubuh untuk menghilangkan panas ataupun
mengurangi produksi panas. Hipertermi terjadi karena adanya
ketidakmampuan mekanisme kehilangan panas untuk mengimbangi
produksi panas yang berlebihan sehingga terjadi peningkatan suhu tubuh.
Hipertermi tidak berbahaya jika dibawah 39C. Selain adanya tanda klinis,
penentuan hipertermi juga didasarkan pada pembacaan suhu pada waktu
yang berbeda dalam satu hari dan dibandingkan dengan nilai normal
individu tersebut (Potter & Perry,2010).
Hipertermi adalah peningkatan suhu tubuh diatas kisaran normal
(NANDA International 2009- 2011).
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa
hipertermia adalah keadaan dimana suhu tubuh meningkat diatas rentang
normal dan tubuh tidak mampu untuk menghilangkan panas atau
mengurangi produksi panas. Rentang normal suhu tubuh anak berkisar
antara 36,5 – 37,5 °C.

2.2.2 Klasifikasi Hipertermi


1. Hipertermia yang disebabkan oleh peningkatan produksi panas
a. Hipertermia maligna
Hipertermia maligna biasanya dipicu oleh obat-obatan anesthesia.
Hipertermia ini merupakan miopati akibat mutasi gen yang diturunkan
secara autosomal dominan. Pada episode akut terjadi peningkatan
kalsium intraselular dalam otot rangka sehingga terjadi kekakuan otot
dan hipertermia. Pusat pengatur suhu di hipotalamus normal sehingga
pemberian antipiretik tidak bemanfaat.
b. Exercise-Induced hyperthermia (EIH)
Hipertermia jenis ini dapat terjadi pada anak besar/remaja yang
melakukan aktivitas fisik intensif dan lama pada suhu cuaca yang panas.
Pencegahan dilakukan dengan pembatasan lama latihan fisik terutama
bila dilakukan pada suhu 300C atau lebih dengan kelembaban lebih dari
90%, pemberian minuman lebih sering (150 ml air dingin tiap 30 menit),
dan pemakaian pakaian yang berwarna terang, satu lapis, dan berbahan
menyerap keringat.
c. Endocrine Hyperthermia (EH)
Kondisi metabolic/endokrin yang menyebabkan hipertermia lebih
jarang dijumpai pada anak dibandingkan dengan pada dewasa. Kelainan
endokrin yang sering dihubungkan dengan hipertermia antara lain
hipertiroidisme, diabetes mellitus, phaeochromocytoma, insufisiensi
adrenal dan Ethiocolanolone suatu steroid yang diketahui sering
berhubungan dengan hipertermi (merangsang pembentukan pirogen
leukosit).

2. Hipertermia yang disebabkan oleh penurunan pelepasan panas.


a. Hipertermia neonatal
Peningkatan suhu tubuh secara cepat pada hari kedua dan ketiga
kehidupan bisa disebabkan oleh:
1) Dehidrasi
Dehidrasi pada masa ini sering disebabkan oleh kehilangan cairan
atau paparan oleh suhu kamar yang tinggi. Hipertermia jenis ini
merupakan penyebab kenaikan suhu ketiga setelah infeksi dan trauma
lahir. Sebaiknya dibedakan antara kenaikan suhu karena hipertermia
dengan infeksi. Pada hipertermi karena infeksi biasanya didapatkan tanda
lain dari infeksi seperti leukositosis/leucopenia, CRP yang tinggi, tidak
berespon baik dengan pemberian cairan, dan riwayat persalinan
prematur/resiko infeksi.
2) Overheating
Pemakaian alat-alat penghangat yang terlalu panas, atau bayi
terpapar sinar matahari langsung dalam waktu yang lama.
3) Trauma lahir
Hipertermia yang berhubungan dengan trauma lahir timbul pada
24%dari bayi yang lahir dengan trauma. Suhu akan menurun pada1-3
hari tapi bisa juga menetap dan menimbulkan komplikasi berupa kejang.
Tatalaksana dasar hipertermia pada neonatus termasuk menurunkan suhu
bayi secara cepat dengan melepas semua baju bayi dan memindahkan
bayi ke tempat dengan suhu ruangan. Jika suhu tubuh bayi lebih dari
390C dilakukan tepid sponged 350C sampai dengan suhu tubuh mencapai
370C.
4) Heat stroke
Tanda umum heat stroke adalah suhu tubuh > 40.50C atau sedikit
lebih rendah, kulit teraba kering dan panas, kelainan susunan saraf pusat,
takikardia, aritmia, kadang terjadi perdarahan miokard, dan pada saluran
cerna terjadi mual, muntah, dan kram.
5) Haemorrhargic Shock and Encephalopathy (HSE)
HSE diduga berhubungan dengan cacat genetic dalam produksi atau
pelepasan serum inhibitor alpha-1-trypsin. Kejadian HSE pada anak
adalah antara umur 17 hari sampai dengan 15 tahun (sebagian besar usia
< 1 tahun dengan median usia 5 bulan).
Pada umumnya HSE didahului oleh penyakit virus atau bakterial dengan
febris yang tidak tinggi dan sudah sembuh (misalnya infeksi saluran
nafas akut atau gastroenteritis dengan febris ringan).

2.2.3 Etiologi
Menurut Sari Pediatri (2008) tiga penyebab terbanyak demam pada
anak yaitu penyakit infeksi (60%-70%), penyakit kolagen-vaskular, dan
keganasan. Walaupun infeksi virus sangat jarang menjadi penyebab
demam berkepanjangan, tetapi 20% penyebab adalah infeksi virus.
Sebagian besar penyebab demam pada anak terjadi akibat perubahan titik
pengaturan hipotalamus yang disebabkan adanya pirogen seperti bakteri
atau virus yang dapat meningkatkan suhu tubuh. Terkadang demam juga
disebabkan oleh adanya bentuk hipersensitivitas terhadap obat (Potter &
Perry, 2010).

Kesulitan dalam mencari penyebab timbulnya demam


berkepanjangan disebabkan oleh banyak faktor terutama penyebab yang
beraneka ragam.Menurut Diane M. Fraser (2012) Penyebab hipertermi
Terpapar lingkungan yang hangat, Terpapar sinar matahari, Paparan
panas yang berlebihan dari incubator atau alat pemancaran panas,
Terpapar sinar matahri, Berada di incubator atau dibawah pemancar
panas.

2.2.4 Tanda dan Gejala

Menurut NANDA (2012) tanda dan gejala pada hipertermi meliputi :

1. Konvulsi
Suatu kondisi medis saat otot tubuh mengalami fluktuasi kontraksi dan
peregangan dengan sangat cepat sehingga menyebabkan gerakan yang
tidak terkendali seperti kejang.
2. Kulit
kemerah-merahan Tanda pada hipertermia seperti kulit kemerah-merahan
disebabkan karena adanya vasodilatasi pembuluh darah.
3. Peningkatan suhu tubuh diatas kisaran normal
Hal ini berhubungan dengan adanya produksi panas yang berlebih,
kehilangan panas berlebihan, produksi panas minimal, kehilangan panas
minimal, atau kombinasi antara keduanya.
4. Kejang
Kejang terjadi karena adanya peningkatan temperatur yang tinggi
sehingga otot tubuh mengalami fluktuasi kontraksi dan peregangan
dengan sangat cepat sehingga menyebabkan gerakan yang tidak
terkendali seperti kejang.
5. Takikardia
Takikardia merupakan tanda-tanda dini dari gangguan atau ancaman
syok, pernapasan yang memburuk, atau nyeri (Wong, 2008).
6. Takipnea
Takipnea merupakan tanda-tanda dini dari gangguan atau ancaman syok,
pernapasan yang memburuk, atau nyeri.
7. Kulit terasa hangat
Fase dingin pada hipertermia akan hilang jika titik pengaturan
hipotalamus baru telah tercapai. Dan selama fase plateau, dingin akan
hilang dan anak akan merasa hangat. Hal ini juga terjadi karena adanya
vasodilatasi pembuluh darah sehingga kulit menjadi hangat.
Fase – fase terjadinya hipertermi :
Fase I : awal
1. Peningkatan denyut jantung .
2. Peningkatan laju dan kedalaman pernapasan .
3. Menggigil akibat tegangan dan kontraksi obat .
4. Kulit pucat dan dingin karena vasokonstriksi .
5. Merasakan sensasi dingin .
6. Dasar kuku mengalami sianosis karena vasokonstriksi .
7. Rambut kulit berdiri .
8. Pengeluaran keringat berlebih .
9. Peningkatan suhu tubuh .
Fase II : proses demam
1. Proses menggigil lenyap .
2. Kulit terasa hangat / panas .
3. Merasa tidak panas / dingin .
4. Peningkatan nadi & laju pernapasan .
5. Peningkatan rasa haus .
6. Dehidrasi ringan sampai berat .
7. Mengantuk , delirium / kejang akibat iritasi sel saraf .
8. Lesi mulut herpetik .
9. Kehilangan nafsu makan .
10. Kelemahan , keletihan dan nyeri ringan pada otot akibat
katabolisme protein
Fase III : pemulihan
1. Kulit tampak merah dan hangat .
2. Berkeringat .
3. Menggigil ringan .
4. Kemungkinan mengalami dehidrasi .

2.2.5 Faktor Yang Berhubungan


Menurut NANDA (2012) faktor yang berhubungan atau penyebab
dari hipertermia meliputi :
1. Anestesia
Setiap tanda-tanda vital di evaluasi dalam kaitannya dengan efek
samping anestesi dan tanda-tanda ancaman syok, pernapasan yang
memburuk, atau 11 nyeri karena anestesi ini dapat menyebabkan
peningkatan suhu, kekakuan otot, hipermetabolisme, destruksi sel otot
(Wong, 2008).
2. Penurunan perspirasi
Penguapan yang tidak dapat keluar akan mengganggu sirkulasi
dalam tubuh sehingga menyebabkan hipertermi yang diakibatkan oleh
kenaikan set point hipotalamus.
3. Dehidrasi
Tubuh kehilangan panas secara kontinu melalui evaporasi. Sekitar
600 – 900 cc air tiap harinya menguap dari kulit dan paru-paru sehingga
terjadi kehilangan air dan panas. Kehilangan panas air ini yang
menyebabkan dehidrasi pada hipertermia.
4. Pemajanan lingkungan yang panas
Panas pada 85 % area luas permukaan tubuh diradiasikan ke
lingkungan. Vasokontriksi perifer meminimalisasi kehilangan panas. Jika
lingkungan lebih panas dibandingkan kulit, tubuh akan menyerap panas
melalui radiasi.
5. Penyakit
Penyakit atau trauma pada hipotalamus atau sumsum tulang
belakang (yang meneruskan pesan hipotalamus) akan mengubah kontrol
suhu menjadi berat.
6. Pemakaian pakaian yang tidak sesuai dengan suhu lingkungan
Pakaian yang tidak tebal akan memaksimalkan kehilangan panas.
7. Peningkatan laju metabolism
Panas yang dihasilkan tubuh adalah hasil sampingan metabolisme,
yaitu reaksi kimia dalam seluruh sel tubuh. Aktivitas yang membutuhkan
reaksi kimia tambahan akan meningkatkan laju metabolik, yang juga
akan menambah produksi panas. Sehingga peningkatan laju metabolisme
sangat berpengaruh terhadap hipertermia.
8. Medikasi
Demam juga disebabkan oleh adanya bentuk hipersensitivitas
terhadap obat.
9. Trauma
Penyakit atau trauma pada hipotalamus atau sumsum tulang
belakang (yang meneruskan pesan hipotalamus) akan mengubah kontrol
suhu menjadi berat.
10. Aktivitas berlebihan
Gerakan volunter seperti aktivitas otot pada olahraga membutuhkan
energi tambahan. Laju metabolik meningkat saat aktivitas berlebih dan
hal ini menyebabkan peningkatan produksi panas hingga 50 kali lipat.

2.2.6 Proses Pengaturan Suhu Tubuh

Menurut Ganong (2008) mekanisme pengaturan suhu tubuh dibagi


menjadi dua yaitu mekanisme yang diaktifkan oleh dingin dan
mekanisme yang diaktifkan oleh panas. Mekanisme yang diaktifkan oleh
dingin itu sendiri terdiri dari peningkatan produksi panas (menggigil,
lapar, peningkatan aktivitas voluntar, 13 peningkatan sekresi norepinefrin
dan epinefrin) dan penurunan pengeluaran panas (vasokontriksi kulit,
menggulung tubuh, dan horipilasi). Sedangkan mekanisme yang
diaktifkan oleh panas terdiri dari peningkatan pengeluaran panas
(vasodilatasi kulit, berkeringat, peningkatan pernapasan) dan penurunan
pembentukan panas (anoreksia, apati dan inersia).

Respons refleks yang diaktifkan oleh dingin dikontrol dari


hipotalamus posterior. Respons yang dihasilkan oleh panas terutama
dikontrol dari hipotalamus anterior, walaupun sebagian termoregulasi
terhadap panas masih tetap terjadi setelah deserebrasi setingkat rostral
mesensefalon. Rangsangan hipotalamus anterior menyebabkan terjadinya
vasodilatasi kulit dan pengeluaran keringat sehingga lesi di regio ini
menyebabkan panas.

Pembentukan panas dapat berubah-ubah akibat pengaruh mekanisme


endokrin walaupun tidak terjadi asupan makanan atau gerakan otot yang
menjadi sumber utama panas. Epinefrin dan norepinefrin menyebabkan
peningkatan pembentukan panas yang cepat namun singkat. Hormon
tiroid menimbulkan peningkatan yang lambat namun berkepanjangan.

Menurut Asmadi (2008) sistem pengatur suhu tubuh terdiri atas tiga
bagian yaitu reseptor yang terdapat pada kulit dan bagian tubuh lainnya,
integrator didalam hipotalamus, dan efektor sistem yang mengatur
produksi panas dengan kehilangan panas.Reseptor sensori yang paling
banyak terdapat pada kulit. Kulit mempunyai lebih banyak reseptor untuk
dingin dan hangat dibanding reseptor yang terdapat pada organ tubuh lain
seperti lidah, saluran pernafasan, maupun organ visera lainnya. Bila kulit
menjadi dingin melebihi suhu tubuh, maka ada 14 tiga proses yang
dilakukan untuk meningkatkan suhu tubuh. Ketiga proses tersebut yaitu
menggigil untuk meningkatkan produksi panas, berkeringat untuk
menghalangi kehilangan panas, dan vasokontriksi untuk menurunkan
kehilangan panas.
Hipotalamus integrator sebagai pusat pengaturan suhu inti berada di
preoptik area hipotalamus.Bila sensitif reseptor panas di hipotalamus
dirangsang, efektor sistem mengirim sinyal yang memprakarsai
pengeluaran keringat dan vasodilatasi perifer. Hal tersebut dimaksudkan
untuk menurunkan suhu, seperti menurunkan produksi panas dan
meningkatkan kehilangan panas. Sinyal dari sensitif reseptor dingin di
hipotalamus memprakarsai efektor untuk vasokontriksi, menggigil, serta
melepaskan epineprin yang meningkatkan metabolisme sel dan produksi
panas. Hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan produksi panas
dan menurunkan kehilangan panas.

Efektor sistem yang lain adalah sistem saraf somatis. Bila sistem ini
dirangsang, maka seseorang secara sadar membuat penilaian yang cocok,
misalnya menambah baju sebagai respons terhadap dingin, atau
mendekati kipas angin bila kepanasan (Asmadi,2008).

2.2.7 Proses Terjadinya Demam


Suhu tubuh dikontrol oleh pusat termoregulasi di hipotalamus,
yang mempertahankan suhu tubuh pada angka sekitar set point (37C).
Suhu tubuh diatur dengan mekanisme thermostat di
hipotalamus.Mekanisme ini menerima masukan dari reseptor yang
berada di pusat dan perifer. Jika terjadi perubahan 15 suhu, reseptor-
reseptor ini menghantarkan informasi tersebut ke termostat, yang akan
meningkatksaan atau menurunkan produksi panas untuk
mempertahankan suhu set point yang konstan. Akan tetapi, selama
infeksi substansi pirogenik menyebabkan peningkatan set point normal
tubuh, suatu proses yang dimediasi oleh prostaglandin. Akibatnya,
hipotalamus meningkatkan produksi panas sampai suhu inti (internal)
mencapai set point yang baru (Connel, 1997 dalam Wong, 2008)

2.2.8 Penatalaksanaan
Perawat sangat berperan penting untuk mengatasi hipertermia.
Tindakan mengatasi atau menurunkan suhu ini mencakup intervensi
farmakologi dan nonfarmakologi. Untuk terapi farmakologi obat
antipiretik yang digunakan untuk mengatasi demam antara lain
asetaminofen, aspirin, dan obat-obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID).
Asetaminofen merupakan obat pilihan, aspirin tidak diberikan pada anak-
anak karena terdapat hubungan antara penggunaan aspirin pada anak-
anak dengan virus influenza atau cacar air dan sindroma Reye.
Penggunaan ibuprofen disetujui untuk menurunkan demam pada anak
yang 16 berusia minimal 6 bulan.Dosis dihitung berdasarkan suhu awal,
5 mg/kg BB untuk suhu kurang dari 39,1⁰C atau 10 mg/kg BB untuk
suhu lebih dari39⁰C.Durasi penurunan demam umumnya 6 – 8 jam.
Dosis dapat diberikan setiap 4 jam tetapi tidak lebih dari 5 kali dalam 24
jam. Suhu tubuh secara normal menurun pada malam hari, 3 – 4 dosis
dalam 24 jam biasanya cukup untuk mengendalikan demam. Suhu diukur
kembali 30 menit setelah antipiretik diberikan untuk mengkaji efeknya
(Wong, 2008).
Strategi nonfarmakologis terdiri dari mempertahankan intake
cairan yang adekuat untuk mencegah dehidrasi.Intake cairan pada anak
yang mengalami demam ditingkatkan sedikitnya 30 – 50 ml cairan per
jam (misalnya air putih, jus buah, dan cairan tanpa kafein lainnya).
Intervensi lainnya adalah memakai pakaian yang berwarna cerah,
melepas jaket atau tidak menggunakan baju yang tebal, dan mengatur
suhu ruangan yang sesuai (25,6⁰C). Dalam mengatasi hipertermia juga
bisa dengan melakukan kompres (Setiawati,2009).

Metode kompres yang lebih baik adalah kompres tepid


sponge (Kolcaba,2007).

a. Kompres tepid sponge merupakan kombinasi teknik blok dengan seka.


Teknik ini menggunakan kompres blok tidak hanya disatu tempat saja,
melainkan langsung dibeberapa tempat yang memiliki pembuluh darah
besar. Selain itu masih ada perlakuan tambahan yaitu dengan
memberikan seka diseluruh area tubuh sehingga perlakuan yang
diterapkan terhadap klien ini akan semakin kompleks dan rumit
dibandingkan dengan teknik yang lain. Namun dengan kompres blok
langsung diberbagai tempat ini akan memfasilitasi penyampaian sinyal
ke hipotalamus lebih gencar. Selain itu pemberian seka akan
mempercepat pelebaran pembuluh darah perifer akan memfasilitasi
perpindahan panas dari tubuh kelingkungan sekitar yang akan semakin
mempercepat penurunan suhu tubuh (Reiga, 2010).

b. Munurut Suprapti(2008) tepid sponge efektif dalam mengurangi suhu


tubuh pada anak hipertermia yang mendapatkan terapi antipiretik
ditambah tepid sponge sebesar 0,530C dalam waktu 30 menit. Sedangkan
yang mendapatkan terapi tepid sponge saja rata-rata penurunan suhu
tubuhnya sebesar 0,970C dalam waktu 60 menit.

2.3 Asuhan Keperawatan Demam Thypoid

2.3.1 Pengertian
Asuhan keperawatan merupakan proses atau rangkaian kegiatan
praktik keperawatan langsung pada klien di berbagai tatanan pelayanan
kesehatan yang pelaksanaannya berdasarkan kaidah profesi
keperawatan dan merupakan inti praktik keperawatan (Ali, 2009).
2.2.2 Pengkajian Keperawatan
Menurut Nursalam, Susilaningrum & Utami (2008) adalah sebagai
berikut:
a. Identitas klien
b. Keluhan utama
Perasan tidak enak badan , lesu, nyeri kepala, pusing, dan kurang
bersemangat serta nafsu makan berkurang (terutama selama masa
inkubas
c. Suhu tubuh
pada kasus yang khas, demam berlangsung selama 3minggu,
bersifat febris remiten, dan suhunya tidak tinggi sekali. Sselama minggu
pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik ntiap harinya, biasanya
menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore dan malam hari. Pada
minggu kedua,pasien terus berada dalam keadaan demam. Pada minggu
ketiga,suhu berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir
minggu ketiga.
d. Kesadaran
Umumnya kesadaran pasien menurun walaupun berapa dalam,yaitu
apatis sampai samnolen. Jarang terjadi sopor, koma, atau gelisah (kecuali
bila penyakitnya berat dan terlambat mendapatkan pengobatan).
Disamping gejala-gejala tersebut mungkin terdapat gejala lainya. Pada
penanggung dan anggota gerak terdapat reseole, yaitu bintik-bintik
kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit yang ditemukan
dalam minggu pertama demam. Kadang-kadang ditemukan pula
bradikardi dan epitaksis pada anak besar.
e. Pemeriksaan Fisik
1) Mulut
Terdapat nafas yang berbautidak sedap serta bibir kering dan pecah-
pecah, lidah tertutup selaput putih, sementara ujung dan tepinya berwarna
kemerahan,dan jarang di sertai tremor.
2) Abdomen
Dapat ditemukan keadaan perut kembung (meteorismuas), bisa terjadi
konstipasi atau mungkin diare atau normal
3) Hati dan limfe
Membesar disertai nyeri pada perabaan
f. Pemeriksaan laboratorium
1) pada pemeriksaan darah tepi terdapat gambaran leokopenia,
limfositosis, relatif pada permukaan sakit
2) darah untuk kultur (biakan, empedu) dan widal
3) biakan empedu hasil salmonella typhi dapat ditemukan dalam darah
pasien pada minggu pertama sakit, selanjutnya lebih sering ditemukan
dalam feces dan urine
4) pemeriksaan widal
Untukmembuat diagnisis, pemeriksaan yang diperlukan ialah titer zat anti
terhadap antigen 0, titer yang bernilai 1/200 atau lebih menunjukan
kenaikan yang progresif.
2.2.3 Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan
Diagnosa yang biasanya muncul pada demam tifoid menurut
(Nursalam, Susilaningrum & Utami) 2008, hal. 154-155) adalah sebagai
berikut
a. hipertermi berhubungn dengan proses inflamasi salmonella typhi.
1) Batasan Karakteristik: Konvulsi, kulit kemerahan, peningkatan suhu
tubuh diatas kisaran normal, kejang, takikardi, kulit teraba hangat.
3) Tujuan : suhu tubuh kembali normal.
4) Kriteria Hasil :
a) pasien mempertahankan suhu tubuh normal yaitu 36ºC - 37ºC dan
bebas dari demam.
b) Nadi dan RR dalam rentan normal
c) Tidak perubahan warna kulit dan tidak ada pusing

Intervensi:
1) pantau suhu tubuh pasien tiap 3 jam sekali
Rasional: suhu tubuh 38ºC-40ºC menunjukan proses penyakit infeksi
akut .
2) beri kompres hangat
rasional: kompres dengan air hangat akan menurunkan demam
3) anjurkan kepada ibu klien agar klien memakai pakaian tipis dan
menyerap keringat
Rasional : memberi rasa nyaman, pakaian tipis membantu mengurangi
penguapan tubuh
4) Beri banyak minum
Rasional: membantu memelihara kebutuhan cairan dan menurunkan
dehidrasi
5) Kolaborasi dalam pemberian obat antipiretik dan antibiotik
Rasional : antipiretik untuk mengurangi demam, antibiotik untuk
membunuh kuman infeksi.

b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake cairan tidak


adekuat.
1.) Batasan karakteristik: Perubahan status mental, penurunan tekanan
darah &nadi, penurunan volume nadi, penurunan turgor kulit & lidah,
penurunan haluranurin, penurunan pengisisan vena, membran mukosa
kering, kulit kering,peningkatan hematokrit, peningkatan suhu tubuh,
peningkatan frekwensi nadi,peningkatan konsentrasi urin, penurunan
berat badan
2.) Tujuan: volume cairan terpenuhi
Kriteria hasil:
a) Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB
b) Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
c) Tidak ada tanda-tanda dehidrasi elastis turgor kulit baik,
membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus berlebihan
d) tanda-tanda vital normal

Intervensi :
1) Monitor tanda-tanda vital
Rasional : mengetahui suhu, nadi dan pernafasan
2) Kaji pemasukan dan pengeluaran cairan
Rasional: mengontrol keseimbangan cairan
3) Kaji status dehidrasi
Rasional : mengetahui drajat status dehidrasi
4) Beri banyak minum
Rasional:membantu memelihara kebutuhab cairan dan menurunkan
resiko dehidrasi.
5) Timbang popok / pembalut jika diperlukan
Rasional : membantu mengetahui berat urine didalam popok.
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan malabsorbsi nutrien.
1.) Batas karakteristik: Kram abdomen, nyeri abdomen, menghindari
makanan, berat badan 20% atau lebih dibawah berat badan ideal, kurang
makanan, kurang minat pada makanan, penurunan berat badan dengan
asupan makanan adekuat, Membran mukosa pucat, ketidakmampuan
memakan makan
2.) Tujuan : tidak terjadi gangguan nutrisi
3.) Kriteria hasil:
a) Nafsu makan maningkat
b) Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
c) berat badan klien meningkat
d) tidak ada tanda-tanda malnutrisi
e) tidak terjadi penurunan berat badan

Intervensi :
1) Kaji status anak
Rasional : mengetahui langkah pemenuhan nutrisi
2) Anjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan teknik
porsi kecil tapi sering
Rasional : meningkatkan jumlah masukan dan mengurangi mual dan
muntah
3) Pertahankan kebersihan tubuh anak
Rasional : menghilangkan rasa tidak enak pada mulut atau lidah dan
dapat nafsu makan
4) Beri makan lunak
Rasional : mencukupi kebutuhan nutrisi tanpa memberi beban yang
tinggi pada usus.
5) Jelaskan pada keluarga pentingnya intake nutrisi yang adekuat
Rasional : memberikan motivasi pada keluarga untuk memberikan
makanan sesuai kebutuhan.
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan.
1.) Batasan karakteristik: Respon tekanan darah abnormal terhadap
aktivitas, respon frekwensi jantung abnormal terhadap aktivitas,
ketidaknyamanan beraktivitas, menyatakan merasakan letih, menyatakan
merasa lemah
2.) Tujuan : dapat beraktivitas secara mandiri
3.) Kriteria hasil :
a) Berparsipasi dalam aktifitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan
darah, nadi, dan RR
b) Mampu melakukan aktivitas sehari-hari (ADLS) secara mandiri
c) Tanda-tanda vital normal
d) Level kelemahan
e) Nampu berpindah: denganatau tanpa bantuan alat
f) Status respirasi: pertukaran gas dan ventilasi adekuat

Intervensi :
a) Kaji toleransi terhadap aktivitas
Rasional: menunjukan respon fisiologis pasien terhadap aktivitas
b) Kaji kesiapan meningkatkan aktivitas
Rasional : stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk memajukan
tingkat aktivitas individual
c) Berikan bantuan sesuai kebutuhan dan anjurkan menggunakan kursi
mandi, menyikat gigi atau rambut
Rasional : teknik penggunaan energi menurunkan penggunaan energi
d) Dorong pasien untuk berpartisipasi dalam memiliki periode aktivitas
Rasional : seperti jadwal meningkatkan toleransi terhadap kemajuan
aktivitas dan mencegah kelemahan.
BAB III
METODE PENELITIAN

Bab ini membahas tentang pendekatan yang digunakan dalam


menyelenggarakan studi kasus.

3.1 Desain Penelitian

Desain Penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif.


Rancangan penelitian deskriptif merupakan rancangan yang bertujuan
menerangkan atau menggambarkan masalah penelitian keperawatan yang
terjadi pada kasus suatu penyakit berdasarkan distribusi tempat, waktu,
umur, jenis kelamin, sosial, ekonomi, pekerjaan, status perkawinan, pola
hidup, dan lain-lain (Hidayat, 2008 : 28). Penelitian deskriptif yaitu
penelitian yang bertujuan untuk memaparkan peristiwa-peristiwa urgen,
yang terjadi pada masa kini yang dilakukan secara sistematik dan lebih
menekankan pada faktual dari pada penyimpulan (Nursalam, 2008 : 80).

Pada penelitian ini akan mengulas asuhan keperawatan pada pasien


Demam Thypoid dengan masalah Hipertermi di Ruang Anak Rumah Sakit
Dr.Soepraoen Malang

3.2 Batasan Istilah

Definisi Operasional dilakukan untuk membatasi ruang lingkup


variable yang diteliti dan juga dapat mengarahkan kepada pengukuran atau
pengamatan terhadap variable yang bersangkutan (Notoadmodjo, 2010).

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang


diamati dari sesuatu yang didefinisikan tersebut (Nursalam, 2014 : 181).

Untuk mempermudah dalam memahami proses penelitian ini, maka


penulis membuat penjelasan sebagai berikut:

1. Asuhan keperawatan adalah rangkaian interaksi perawat dengan klien


dan lingkungannya untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan dan
kemandirian.
2. Klien adalah perseorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat yang
menggunakan jasa pelayanan keperawatan.
3. Demam typhoid merupakan penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh salmonella thypi. Penyakit ini ditandai oleh panas
berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur
endothelia atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi
kedalam sel fagosit monocular dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan
peyer’s patch dan dapat menular pada orang lain melalui makanan atau
air yang terkontaminasi (Nurarif & Kusuma, 2015)
4. Hipertermi adalah peningkatan suhu tubuh diatas kisaran normal
(NANDA International 2009- 2011).

3.3 Partisipasi

Subjek penelitian dapat meliputi kriteria inklusi dan ekslusi. Kriteria


inklusi merupakan kriteria dimana subjek penelittian dapat mewakili dalam
sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel (Alimul Aziz,
2012 : 68)

Adapaun kriteria subyek penelitian ini adalah:

1. Klien yang mengalami demam thypoid di Ruang Anak Rumah Sakit


RSUD Dr. R. Soedarsono Kota Pasuruan
2. Klien yang memiliki kesadaran composmentis di Ruang Anak Rumah
Sakit RSUD Dr. R. Soedarsono Kota Pasuruan
3. Klien mampu berkomunikasi secara verbal serta kooperatif.
4. Bersedia menjadi responden dan sudah mengisi inform consent.

3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.4.1 Tempat Penelitian

Penelitian akan dilakukan di di Ruang Anak Rumah Sakit RSUD Dr. R.


Soedarsono Kota Pasuruan

3.4.2 Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan pada 15-30 Januari 2019

3.5 Definisi Operasional

Definisi Operasional merupakan penjelasan semua variabel dan


istilah yang akan digunakan dalam penelitian secara operasional sehingga
akhirnya mempermudah pembaca dalam mengartikan makna penelitian
(Setiadi, 2013).

Tabel definisi operasional :

Variable Definisi Indikator Alat Ukur Skala


Operasional
Demam 1. Asuhan 1. Makan 1. Wawanara 1. Lembar
Thypoid keperawatan 2. Memakai pakaian 2. Observasi Wawancara
dengan 2. Klien 3. Mandi 2. Lembar
masalah 3. Demam 4. Menggosok gigi Observasi
Hipertermi Thypoid 5. Eliminasi BAK
4. Hipertermi dan BAB
6. Olahraga
7. Kegiatan yang
mendukung
perkembangan
kesehatan
8. Pencegahan
terhadap
kemungkinan
cidera
9. Percarian bantuan
kesehatan
10. Penyesuaian gaya
hidup yang dapat
mendukung
perubahan status
kesehatan
Tabel 3.1 Definisi Operasional

3.6 Metode Pengumpulan Data

Menurut Sugiyono (2013:224) teknik pengumpulan data


merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan
utama dari penelitian adalah mendapatkan data.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengumpulan data

a. Tahap awal
1. Peneliti mengurus surat pengantar di Jurusan Keperawatan Poltekkes
Kemenkes Malang prodi D-III Keperawatan Lawang
2. Peneliti menyerahkan surat kepada Direktur Rumah Sakit RSUD Dr. R.
Soedarsono Kota Pasuruan
3. Setelah mendapat izin, peneliti melakukan studi pendahuluan di Rumah
Sakit RSUD Dr. R. Soedarsono Kota Pasuruan pada tanggal 15 Januari
2019
b. Tahap pelaksanaan
1. Menentukan subjek penelitian sesuai kriteria inklusi yang ditetapkan
melalui dokumen subjek dan wawancara terstruktur dengan klien.
2. Setelah mendapatkan subjek sesuai kriteria inklusi, peneliti memberikan
penjelasan kepada subjek peneliti

3.7 Uji Keabsahan Data

Pengolahan data pada studi kasus mnggunakan teknik non-statistik,


yaitu analisis kualitatif yang dapat dilakukan melalui cara naratif induktif
yaitu pegambilan kesimpulan umum berdasarkan hasil-hasil observasi dan
wawancara khusus (Notoadmodjo, 2010 : 172). Keabsahan data
dimaksudkan untuk membuktikan kualitas data/informasi yang diperoleh
dalam penelitian sehingga menghasilkan data dengan validitas tinggi.

Disamping integritas peneliti (karena peneliti menjadi instrument


utama).Keabsahan data dilakukan dengan memperpanjang waktu
pengamatan/tindakan, sumber informasi tambahan menggunakan
triangulasi dari dua sumber data utama yaitu klien, perawat dan keluarga
klien yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

3.8 Analisis Data


Analisis data dilakukan sejak penelitian di lapangan, sewaktu
pengumpulan data sampai dengan semua data terkumpul. Dalam tahap ini
data diolah dan dianalisis dengan teknik-teknik tertentu (Notoadmodjo,
2010 : 174). Analisis data dilakukan sengan cara mengemukakan fakta,
selanjutnya membandingkan dengan teori yang ada dan selanjutnya
dituangkan dalam opini pembahasan (Alimul Aziz, 2012 : 117).
Teknik analisis yang digunakan dengan cara menarasikan jawaban-
jawaban dari penelitian yang diperoleh dari hasil interpretasi wawancara
mendalam yang dilakukan untuk menjawab rumusan masalah penelitian.
Teknik analisis digunakan dengan cara observasi oleh peneliti dan studi
dokumentasi yang menghasilkan data untuk selanjutnya diinterprestasikan
dan dibandingkan dengan teori yang ada sebagai bahan untuk memberikan
rekomendasi dalam intervensi tersebut.
(Poltekkes Malang, 2014)

3.9 Etika Penelitian

Menurut Hidayat (2007) etika penelitian meliputi:


1. Informed Consent (Lembar persetujuan) Informed Consent diberikan
sebelum melakukan penelitian.
Informed Consert ini berupa lembar persetujuan untuk menjadi responden,
dengan tujuan pemberiannya agar subjek mengerti maksud dan tujuan
penelitian dan mengetahui dampaknya. Jika subjek bersedia,maka mereka
harus menandatangani lembar persetujuan dan jika responden tidak
bersedia maka peneliti harus menghormati hak mereka.
2. Anominity (Tanpa Nama)
Anominity menjelaskan bentuk penulisan dengan tidak perlu
mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data, tetapi hanya
menuliskan kode pada lembar pengumpulan data.
3. Confidentiality (Kerahasiaan) Kerahasiaan menjelaskan masalah-
masalah responden yang harus.
dirahasiakan dalam penelitian. Kerahasiaan informasi yang telah
dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data
tertentu yang akan dilaporkan dalam hasil penelitian.
(Poltekkes Malang, 2014)

Vous aimerez peut-être aussi