Vous êtes sur la page 1sur 2

ASPEK HUKUM KELALAIAN MEDIK

Kelalaian dalam dunia medis adalah suatu perbuatan salah yang dilakukan
seorang dokter dalam melaksanakan pekerjaan atau kewajibannya sehingga
menyebabkan kerugian bagi orang lain. Dokter dalam melakukan tindakan
medik terhadap pasien haruslah berdasarkan adanya indikasi medis,
bertindak hati-hati dan teliti, bekerja sesuai standar profesi medik, dan
sudah ada persetujuan tindakan medik (informed consent).

Kelalaian pada asasnya bukanlah pelanggaran hukum apabila tidak


menimbulkan kerugian. Namun apabila menimbulkan kerugian materi
bahkan juga fisik seperti cedera atau kematian, maka terhadap pembuat
kerugian dapat dikenai hukuman di bawah hukum pidana. Pada tindak
pidana medis, walaupun berakibat fatal tetapi bila tidak ada unsur kelalaian
atau kesengajaan maka dokternya tidak dapat dipersalahkan.

Dalam setiap tindakan medis memiliki resiko, resiko medis tidak dapat
dimintakan pertanggungjawaban kepada dokter yang menjadi penyebab
resiko dalam situasi-situasi berikut.

Pertama, telah melakukan tindakan medis sesuai dengan standar profesi,


standar medis, dan standar operasional prosedur. Sebagaimana disebutkan
dalam pasal 50 huruf a UUPK yaitu, apabila seorang dokter telah melakukan
pelayanan medis atau praktik kedokteran sesuai degan standar profesi dan
standar profesioanal maka ia (dokter dan dokter gigi) tersebut tidak dapat
dituntut hukum baik secara perdata, pidana, dan administrasi.

Kedua, dokter tidak dapat disalahkan apabila dokter gagal atau tidak
berhasil menangani pasiennya apabila pasien tidak mau bekerja sama (tidak
kooperatif), tidak menjelaskan secara jujur riwayat penyakit yang pernah
diderita serta obat-obatan yang sebelumnya dikonsumsi. Bahkan tidak
mengikuti saran dan nasehat dokter.

Hal tersebut telah diatur dalam pasal 50 UUPK mengenai hak dokter yang
mana pada huruf c dinyatakan, dokter dan atau dokter gigi dalam
melaksanakan praktiknya berhak mendapat informasi atau penjelasan yang
lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya mengenai latar belakang
kesehatan pasien.
Dan sebaliknya, pasal 51 UUPK mengenai kewajiban dokter, yang mana
dokter wajib memberikan pelayanan dan atau perawatan kepada pasien
dengan berdasarkan pada standar medis dan standar operasional.
Sedangkan dalam pasal 52 huruf a UUPK mengenai hak pasien menegaskan
bahwa pasien berhak mendapat penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan medis dari dokter.

Ketiga, kesalahan penilaian yaitu antara dokter yang satu dan yang lain
cenderung adanya perbedaan penanganan terhadap suatu penyakit yang
diderita pasien, hal demikian diperbolehkan sepanjang masih sesuai standar
medis maupun standar profesional dan operasional (Budi Sampurna,
2005:34). Dari situlah muncul teori recpectable minority rule yaitu seorang
dokter tidak dianggap lalai bila ia memilih satu dari sekian banyak cara
pengobatan yang diakui (Kassim, 2003:29).

Keempat, keberadaan informed consent atau persetujuan tindakan medik


yang telah diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 tentang persetujuan Tindakan Kedokteran.
Dijelaskan bahwa, setiap tindakan medik harus mendapat persetujuan
pasien setelah mendapat penjelasan lengkap mengenai bentuk-bentuk
tindakan, alternatif tindakan, dan resiko medis yang mungkin akan terjadi.

Referensi

—. Kurniawan, Riza Alifianto. 2013. Surabaya : Pusat Pengkajian Hukum dan


Pembangunan, September 2013, Perspektif, Vol. XVIII, hal. 148-154.

Vous aimerez peut-être aussi