Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
2.1. Kornea
Kornea merupakan struktur depan bola mata, berupa suatu jaringan transparan
dan avaskular. Bentuk kornea agak elips dengan diameter horizontal 11-12 mm
secara horizontal dan diameter vertikal 10-11 mm. Jari-jari kelengkungan depan 7,8
mm dan jari-jari kelengkungan belakang 7 mm. Tebal kornea bagian pusat 0,6 mm
dan tebal bagian tepi 1 mm. Kornea melanjutkan diri sebagai sklera ke belakang dan
perbatasan antara kornea dan sklera ini disebut limbus. Secara anatomi, dari anterior
ke posterior kornea mempunyai 5 lapisan yang berbeda yaitu epitel skuamous
stratifikatum nonkeratinisasi, membran Bowman, stroma, membran Descemet, dan
endotel. Kornea memiliki kekuatan refraksi (bias) sebesar +43 dioptri dan indeks
bias 1,376. Baik permukaan anterior maupun posterior kornea berperan dalam fungsi
optik. Kejernihan warna kornea dipengaruhi oleh susunan epitel kornea yang tertata,
letak serabut kolagen yang tertata sangat rapi dan padat, kadar airnya yang konstan,
dan tidak adanya pembuluh darah. Kornea memiliki struktur yang unik. Perbedaan
dalam skala mikron dapat secara signifikan mengubah kekuatan optiknya. Sifat optik
kornea ditentukan oleh kebeningannya, kehalusan permukaan, kontur, kelengkungan,
dan indeks refraksinya.11,20
Permukaan anterior kornea berbentuk konveks dan asferis. Kecuali untuk
bagian sentral, kornea agak bulat dan lebih curam sedangkan perifernya lebih datar.
Hal ini menyebabkan kekuatan refraksi di sentral kornea 3D lebih besar daripada di
perifer. Secara umum, radius kelengkungan kornea berhubungan dengan jarak dari
apeks, dimana permukaan kornea semakin datar bila jauh dari apeks. Apeks kornea
merupakan daerah pada kornea dengan kurvatura terbesar, sedangkan verteks
merupakan titik tertinggi dari permukaan kornea dan memiliki kekuatan refraksi
paling tinggi. 11,20
2
Gambar 1. Apeks dan verteks kornea20
2.2. Lensa
Lensa merupakan bangunan bikonveks yang terletak di posterior iris dan di
anterior korpus vitreus. Tersusun oleh epitel yang mengalami diferensiasi yang tinggi.
Diameter equatorial lensa 6.5 mm ketika lahir, yang kemudian meningkat pada
dekade kedua dan ketiga kehidupan, dan bisa mencapai 9-10 mm. Lebar
anteroposterior lensa ketika lahir adalah 3 mm, dan bisa meningkat hingga 6 mm pada
saat umur 80 tahun. Berat lensa saat baru lahir sekitar 90 mg dan berkembang
3
menjadi 255 mg saat dewasa. Struktur lensa terdiri dari kapsul lensa, epitel, korteks
dan nukleus. Permukaan posterior memiliki radius kurvatura lebih besar daripada
permukaan anterior. Lensa tergantung ke badan silier oleh ligamentum suspensorium
lentis (zonula Zinii). Lensa memiliki kandungan protein tertinggi dibandingkan
jaringan tubuh lainnya. Lebih dari 50% berat lensa berasal dari proteinnya dan
sisanya adalah air. Kristalin lensa adalah sekelompok protein yang terdapat di dalam
sel serabut lensa dan berperan penting untuk mempertahankan transparansi lensa
sehingga dapat merefraksikan cahaya yang masuk ke mata. 10,11,19
Lensa berfungsi sebagai media refraksi. Lensa mata normal memiliki indeks
refraksi sebesar 1,4 di bagian sentral dan 1,36 di bagian perifer. Kekuatan bias lensa
kira-kira +16D. Pada anak dan orang dewasa lensa dapat berubah kekuatan
dioptrinya saat melihat dekat agar mampu menempatkan bayangan tepat di retina.
Lensa memiliki fungsi untuk memfokuskan cahaya masuk hingga ke lapisan sensoris
retina. Untuk menjalankan fungsi ini maka lensa harus memiliki struktur yang
transparan dan memiliki indeks refraksi yang lebih tinggi. Transparansi dari lensa
tergantung pada struktur seluler lensa dan matriks protein lensa. Transparansi harus
tetap dipertahankan ketika lensa berubah bentuk ketika berakomodasi. Indeks refraksi
yang tinggi berkaitan dengan konsentrasi protein yang tinggi dalam lensa, khususnya
soluble protein yang disebut kristalin. Kekeruhan pada lensa akan menurunkan fungsi
optik mata misalnya pada penyakit katarak. Selain kekeruhan, lensa juga dapat
berubah bentuk menjadi abnormal dan iregular sehingga timbul astigmatisma yang
4
disebut astigmatisma lentikular. Astigmatisma lentikular ini lebih jarang ditemui
daripada astigmatisma korneal. 10,11
5
BAB III
ASTIGMATISMA
6
dan horizontal pada retina, astigmatisma regular dapat dibagi menjadi lima macam
yaitu:
1. astigmatisma miopi simpleks: apabila satu meridian utama emetrop dan yang
lainnya miopi sehingga salah satu fokusnya tepat di retina dan yang lainnya di
depan retina.
2. astigmatisma miopi kompositus: apabila kedua meridian utama adalah miopi
tetapi dengan derajat yang berbeda sehingga kedua fokus berada di depan
retina.
3. astigmatisma hipermetrop simpleks: apabila satu meridian utama emetrop dan
yang lain hipermetropi sehingga salah satu fokusnya berada di retina dan yang
lainnya di belakang retina.
4. astigmatisma hipermetropi kompositus: apabila kedua meridian utama adalah
hipermetropi tetapi dengan derajat yang berbeda sehingga kedua fokus berada
di belakang retina.
5. astigmatisma mikstus: apabila salah satu meridian utama hipermetropi dan
yang lain miopi sehingga salah satu fokusnya berada di depan retina dan satu
lagi di belakang retina. 5,6,11
Bila ditinjau dari letak daya bias terkuatnya, bentuk astigmatisma reguler ini
dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
1. astigmatisma with-the-rule: jika meridian vertikal mempunyai kurvatura lebih
kuat daripada meridian horizontal.
7
2. astigmatisma against-the-rule: jika meridian horizontal mempunyai kurvatura
lebih kuat daripada meridian vertikal.
3. astigmatisma oblique: jika meridian utama tidak berada pada garis vertikal
ataupun horizontal melainkan mempunyai deviasi 45° dan 135°. Sudut yang
dibentuk juga bisa searah, misalnya 30° pada kedua mata, atau saling
melengkapi yakni 150° pada mata kiri dan 30° pada mata kanan.
4. astigmatisma bioblique: jika kedua meridian utama tidak terletak pada sudut
yang sama satu sama lain, misalnya salah satu pada 30° dan satunya pada
100°.9,10
Astigmatisma Ireguler
Pada astigmatisma ireguler terdapat perbedaan refraksi yang tidak teratur
pada
setiap meridian. Pada keadaan ini terdapat meridian yang multipel dan tidak saling
tegak lurus. 5,6,11
8
terdiri dari dua garis fokus yang dipisahkan oleh interval sturm. Masing-masing garis
fokus dari conoid of sturm sejajar dengan meridian utama dari lensa sferosilindris.
Posisi garis fokus relatif terhadap lensa ditentukan oleh kekuatan kedua meridian dan
orientasinya oleh sudut antara meridian-meridian. Potongan melintang melalui
conoid of sturm memperlihatkan bentuk garis di garis fokus dan bentuk elips di
tempat lain. Pada satu posisi, potongan melintang akan memperlihatkan bentuk
bundar yang mencerminkan circle of least confusion. 1,21
BAB IV
9
PEMERIKSAAN ASTIGMATISMA
Setelah pasien dikoreksi maksimal dengan lensa sferis untuk miopi atau
hipermetropi namun belum mencapai tajam penglihatan maksimal atau 20/20, maka
kemungkinan pasien mempunyai kelainan refraksi astigmatisma. Pada keadaan ini
kita dapat melakukan beberapa pemeriksaan astigmatisma.
Lalu pasien diminta melihat kisi-kisi juring astigmatisma dan ditanyakan garis
mana yang paling jelas terlihat. Bila garis juring pada 90 o yang terlihat jelas, maka
aksis lensa silinder yang kita temukan adalah tegak lurus sumbu 90 o tersebut (lensa
silinder ditempatkan pada sumbu 180o). Perlahan-lahan kekuatan silindris negatif ini
dinaikkan sampai garis juring kisi-kisi astigmatisma vertikal sama tegasnya dengan
juring horizontal atau semua juring sama jelasnya bila dilihat dengan lensa silinder
negatif yang ditambahkan. Kemudian pasien diminta melihat kartu Snellen dan
perlahan-lahan diletakkan lensa sferis negatif atau kurangi sferis positif sampai pasien
melihat jelas hingga 20/20. Sehingga derajat astigmatisma yang dicapai sama dengan
ukuran lensa silinder negatif yang dipakai agar semua gambar kipas astigmatisma
tampak sama jelas.1,11,12
10
Gambar 4. Teknik astigmatism dial1
11
Gambar 5. Clock dial chart16
12
Gambar 6. Jackson Cross Cylinder pada posisi orientasi primer12
Istilah berputar berarti membalik lensa sedemikian rupa sehingga sisi silinder
silang menghadap pasien pada awal manuver dan menghadap pemeriksa pada akhir
manuver. Istilah memutar mengacu pada gerakan searah jarum atau berlawanan dari
cross cylinder di depan pasien, dalam bidang lensa kacamata, dan tentang axis yang
sejajar dengan garis pandang. Istilah mengkoreksi silinder mengacu pada lensa
berbentuk silindris di dalam trial frame.1,11
Letakkan cross cylinder pada sudut 900 dan 1800, untuk mencek adanya
astigmatisma. Jika posisi flip ditemukan, tambahkan silinder dengan axis yang sejajar
dengan masing-masing axis plus atau minus dari cross cylinder sampai 2 pilihan flip
sama. Jika tidak ditemukan dengan axis cross silinder pada 900 dan 1800, kemudian
cek dengan sudut 450 dan 1350 sebelum kita mengasumsikan tidak adanya
13
astigmatisma. Selalu sempurnakan atau perbaiki aksis sebelum memperbaiki
kekuatan silinder. Urutan ini sangat penting karena aksis yang benar bisa diperoleh
pada kekuatan yang salah, tetapi kekuatan silinder yang penuh hanya bisa ditemukan
pada aksis yang benar. 1,21
Cross cylinder sekarang ditempatkan di depan silinder koreksi, dengan
pegangan sejajar dengan sumbu silinder koreksi. Dalam posisi ini, axis dari cross
cylinder melintasi axis silinder koreksi masing-masing pada 450. Hal ini menjelaskan
pada pasien bahwa kedua gambar yang akan disajikan mungkin sedikit kabur, tapi
satu mungkin lebih jelas daripada yang lain. Pasien menyatakan yang mana posisi dari
cross cylinder menyajikan gambar yang lebih jelas (posisi satu atau posisi dua) atau
apakah sama saja. Gambar yang jelas adalah gambar yang lebih tajam, lebih gelap
atau lebih mudah dibaca. Titik akhir tes tercapai bila tidak ada perbedaan yang terlihat
diantara dua posisi cross cylinder tersebut. Cross cylinder kemudian diputar-putar di
depan silinder koreksi. Manuver ini membalikkan posisi dari axis plus dan minus dari
cross cylinder. Jika kedua posisi sama jelasnya (atau sama kaburnya), maka sumbu
silinder koreksi berada di meridian yang tepat dan tes untuk axis selesai. Jika satu
posisi lebih jelas, maka silinder koreksi diputar terhadap axis cross cylinder yang
memiliki tanda yang sama seperti silinder koreksi. Asumsikan bahwa sebuah silinder
minus digunakan sebagai silinder koreksi, dan pasien memilih posisi yang jelas dari
cross cylinder. Kemudian ditemukan axis minus pada cross cylinder dan memutar
silinder koreksi ke arah axis 50 atau 100. Jika silinder plus digunakan untuk koreksi,
kita akan memutar silinder koreksi ke arah axis plus dari cross cylinder di posisi yang
lebih disukai. Cross cylinder kemudian pindah sehingga sumbunya sekali lagi
melintasi axis silinder koreksi di posisi yang baru, dan tes diulang. Ketika memutar
cross cylinder menghasilkan kejelasan yang sama ( atau kabur), maka titik akhir dari
prosedure telah tercapai dan axis silindris telah diidentifikasi. 7,11
14
diubah 0.25 D dari arah yang berlawanan. Secara berkala, kekuatan sferis harus
disesuaikan untuk mendapatkan ketajaman penglihatan terbaik. 1,11
Putar cross cylinder diantara posisi 1 dan 2 kemudian tanyakan pasien “mana
yang lebih baik”. Posisi 2 dipilih karena menghasilkan gambar yang lebih jelas. Pada
posisi 2 aksis plus dari cross cylinder paralel dengan aksis silinder plus, menunjukkan
bahwa silinder plus harus ditingkatkan kekuatannya. 7,21
-
sesuaikan kekuatan silinder. Sejajarkan axis cross silinder dengan meridian
utama dari silindris koreksi. Tentukan pilihan dari flip yang disukai, dan
tambahkan atau kurangi kekuatan silinder sesuai dengan posisi dari cross
cylinder. Kompensasi untuk perubahan posisi dari circle of least confusion
15
dengan menambah setengah dari sferis dengan arah yang berlawanan setiap
perubahan kekuatan silinder. 1,11
4.4. Retinoskop
Retinoskopi menggambarkan metode pengukuran gerakan bayangan refleks
sinar dari retina. Ada dua bentuk dasar perangkat ini yaitu spot retinoscopy dan streak
retinoscopy. Streak retinoskopi menggunakan sinar berbentuk pita linier atau streak
dengan vergensi yang bervariasi. Prinsip kerja dari retinoskopi itu adalah ketika
cahaya dari retinoskopi masuk ke mata seseorang, kita bisa melihat cahaya yang
dipantulkan dari retina. Pantulan cahaya ini disebut reflek retinoskopi atau red reflex.
Red reflex terlihat seperti cahaya merah yang masuk ke pupil seseorang. Sebagian
besar retinoskop menggunakan sistem proyeksi streak yang dikembangkan oleh
Copeland. 2,3
16
Reflek akan lebih gelap bila titik jauh berada pada jarak yang jauh dari
pemeriksa, bila menjadi lebih terang maka terjadi netralisasi. Refleks yang
berlawanan biasanya lebih gelap dibanding refleks searah.
2. Lebar
Ketika titik jauh berada pada jarak jauh dari pemeriksa, streak akan lebih
sempit, tetapi ketika titik jauh bergerak mendekati pemeriksa, streak akan
lebih lebar dan terjadi netralisasi. 1,4
17
Gambar 9. Menententukan lokasi aksis berdasarkan Lebar refleks fundus.6
3. Intensitas (intensity).
Intensitas garis lebih terang ketika streak pada aksis yang tepat.
4. Oblik (skew).
Gerakan oblik dari refleks streak bisa digunakan untuk memperhalus aksis
pada silindris yang kecil. Jika streak tidak pada aksisnya, akan bergerak
dengan arah sedikit berbeda dari refleks pupil. Reflek dan streak bergerak
pada arah yang sama ketika streak sejajar dengan salah satu meridian utama. 6,8
Ketika streak sejajar dengan koreksi aksis yang tepat, sleeve bisa diturunkan
(pada instrumen Copeland) atau dinaikkan (pada instrumen Welch-Allyn) untuk
mempersempit streak sehingga aksis akan lebih mudah ditentukan.8,9
18
Gambar 11. Lokasi aksis pada busur derajatnya. 8
Aksis ini dapat dikonfirmasi melalui teknik yang dikenal dengan straddling,
yang dilakukan dengan perkiraan silindris yang benar pada tempatnya. Streak
retinoskopi diputar 450 dari aksisnya pada kedua arah dan jika aksisnya benar, lebar
refleks seharusnya sama pada kedua posisi tersebut. Jika aksisnya salah, lebarnya
akan tidak sama pada kedua posisi tersebut. Aksis silindris yang tepat seharusnya
digerakkan ke arah refleks yang lebih sempit dan straddling diulang lagi hingga
lebarnya sama.8,9
19
sumbu celah sesuai dengan sumbu astigmatisma. Kemudian tambahkan lensa
silindris negatif sampai mendapatkan tajam penglihatan terbaik.
melihat sumbu koreksi astigmatisma. Penglihatan akan bertambah bila
sumbunya mendekati sumbu silinder yang benar, untuk memperbaiki sumbu
astigmatisma dilakukan dengan menggeser celah stenopik berbeda dengan sumbu
silinder yang dipasang, bila terdapat perbaikan penglihatan maka ini menunjukkan
sumbu astigmatisma belum tepat.
mengetahui besarnya astigmatisma. Dilakukan hal yang sama dengan
sumbu celah berhenti pada ketajaman maksimal. Pada sumbu ini ditaruh lensa positif
atau negatif yang memberikan ketajaman maksimal. Kemudian sumbu stenopik
diputar 90o dari sumbu pertama. Ditaruh lensa positif atau negatif yang memberikan
ketajaman maksimal. Perbedaan antara kedua kekuatan lensa sferis yang dipasangkan
merupakan besasrnya astigmatisma kornea tersebut. 11,14
20
bila bentuk bayang garis lingkaran hitam putih yang tampak tidak teratur
akibat maka menunjukkan adanya astigmatisma irregular. 13,14
21
BAB V
KESIMPULAN
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Skuta GL, Cantor BL, Weiss JC. Clinical Refraction. In : Clinical Optics.
American Academy of Ophthalmology. San Fransisco. 2014-2015.pp.121-130.
2. Smith G, Atchison D. Optics Of The Human Eye. Elsevier. 2002. pp.73-74.
3. Eva PR,Whitcher JP. Optics and Refraction. In: Vaughan & Asbury’s General
Ophtalmology 17th ed.London: Lange: 2008.pp.24-26.
4. Ledford JK, Daniels K, Campbell R. Optics, Retinoscopy And Refractometry
2th ed. Slack Incoporated. 2006. pp.29-48.
5. Helveston EM, Molinari A, Subrayan V, et al. Vision And Refraction. ORBIS
International.2010. pp.1-53.
6. Crick RP, Khaw PT. Optic and Refraction. In: A Textbook of Clinical
Ophthalmology. Third Edition Singapore: World Scientific Publishing, 2003.
pp.67-69.
7. Harris WF. The Jackson Cross Cylinder. In Optometric Science Research
Group. Department of Optometry. University of Johannesburg. South Africa.
2006. pp.41-54.
8. Tan B, Chen YL, Baker K, et al. Simulation Of Realistic Retinoscopic
Measurement. 2007. pp.2753-2761.
9. Benjamin W. Borish’s Clinical Refraction Second Edition. Elsevier. 2006. pp.
660-661
10. Khurana AK. Optics and Refraction. In: Comprehensive Ophthalmology.
Fourth Edition. New Age International Limited. New Delhi: 2007. pp 36-39.
11. Skuta GL, Cantor BL, Weiss JC. Optics of Human Eye. In : Clinical Optics.
American Academy of Ophthalmology. San Fransisco. 2014-2015.pp.113-116.
12. Khurana AK. Darkroom Procedure. In: Comprehensive Ophthalmology.
Fourth Edition. New Age International Limited. New Delhi: 2007. pp 554-
559.
13. Murube Juan. Window Cross and Placido Disc. Elsevier Inc. Spanyol. 2015.
pp.1-8.
14. Schwartz GS. Subjective Refraction. In The Eye Exam a Complete Guide.
USA. 2006. pp 43-62.
15. Vijfvinkel and Martinet VL. Techniques and Instruments. International
Ophthalmology. Rotterdam. 1981. pp.177-178.
16. Borish Irvin. Subjective Testing. In: Clinical Refraction 3rd Edition. The
Division of Optometry Indiana University. pp.718-792.
17. Campbell Charles. A New Subjective Test for Astigmatic Error. Ophtometric
Monthly Volume 69 No 9. Chicago. 2016.
18. Ong J, Shanks F, McConnell W. Validity of Four Current Subjective Test of
Astigmatism. American Journal of Optometry and Physiological Optics. San
Fransisco. 1974. pp. 581-592.
23
19. Skuta GL, Cantor LB, Cioffi AG. Cornea. In: Fundamental and Principles of
Ophthalmology. American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical
Science Course. Section 2. Singapore: FSC; 2013-2014. pp 247-251
20. Skuta GL, Cantor LB, Cioffi AG. Lens. In: Fundamental and Principles of
Ophthalmology. American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical
Science Course. Section 2. Singapore: FSC; 2013-2014. pp 273-281
21. Balaji RN, Chandrakath KS, Sheeja. Jackson Cross Cylinder. In Malabar Eye
Hospital and Research Center. 2007. pp.1-3
24