Vous êtes sur la page 1sur 24

BAB I

PENDAHULUAN

Astigmatisma adalah kelainan refraksi dimana fokus berkas cahaya tidak


terletak pada satu titik, sebagai akibat pembiasan yang berbeda–beda lewat satu
meridian. Astigmatisma dibedakan menjadi astigmatisma regular dan iregular.
Astigmatisma regular memiliki titik fokus yang letaknya teratur, sedangkan pada
astigmatisma iregular terdapat perbedaan refraksi yang tidak teratur pada setiap
meridian.1,2,3
Pada astigmatisma, berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan tajam
pada retina, akan tetapi pada dua garis titik fokus yang saling tegak lurus. Hal ini
dapat terjadi terutama karena kelainan di kornea yang disebut corneal astigmatism,
dan sebagian kecil dapat juga disebabkan kelainan di lensa yang disebut lenticular
astigmatism. 1,10
Konsep dasar dari refraksi astigmatisma ini jauh lebih kompleks.
Astigmatisma dapat dikoreksi dengan lensa silindris yang sering dikombinasikan
dengan lensa sferis yang akan menghasilkan conoid of sturm. Beberapa teknik
pemeriksaan subjektif yang dapat dilakukan untuk menentukan aksis dan kekuatan
dari komponen silindris antara lain dengan menggunakan juring atau kipas
astigmatisma, keratoskop plasido, uji celah stenopik, teknik clock dial, dan jackson
cross sylinder. Selain itu pemeriksaan objektif dengan menggunakan retinoskop spot
atau streak juga dapat dilakukan untuk menentukan kelainan koreksi sferosilindris,
mengetahui apakah termasuk astigmatisma reguler atau ireguler, dan mengevaluasi
opasitas dan iregularitas. 1,2,3
Pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang beberapa pemeriksaan
astigmatisma seperti yang telah disebutkan di atas.
BAB II
ANATOMI KORNEA DAN LENSA

2.1. Kornea
Kornea merupakan struktur depan bola mata, berupa suatu jaringan transparan
dan avaskular. Bentuk kornea agak elips dengan diameter horizontal 11-12 mm
secara horizontal dan diameter vertikal 10-11 mm. Jari-jari kelengkungan depan 7,8
mm dan jari-jari kelengkungan belakang 7 mm. Tebal kornea bagian pusat 0,6 mm
dan tebal bagian tepi 1 mm. Kornea melanjutkan diri sebagai sklera ke belakang dan
perbatasan antara kornea dan sklera ini disebut limbus. Secara anatomi, dari anterior
ke posterior kornea mempunyai 5 lapisan yang berbeda yaitu epitel skuamous
stratifikatum nonkeratinisasi, membran Bowman, stroma, membran Descemet, dan
endotel. Kornea memiliki kekuatan refraksi (bias) sebesar +43 dioptri dan indeks
bias 1,376. Baik permukaan anterior maupun posterior kornea berperan dalam fungsi
optik. Kejernihan warna kornea dipengaruhi oleh susunan epitel kornea yang tertata,
letak serabut kolagen yang tertata sangat rapi dan padat, kadar airnya yang konstan,
dan tidak adanya pembuluh darah. Kornea memiliki struktur yang unik. Perbedaan
dalam skala mikron dapat secara signifikan mengubah kekuatan optiknya. Sifat optik
kornea ditentukan oleh kebeningannya, kehalusan permukaan, kontur, kelengkungan,
dan indeks refraksinya.11,20
Permukaan anterior kornea berbentuk konveks dan asferis. Kecuali untuk
bagian sentral, kornea agak bulat dan lebih curam sedangkan perifernya lebih datar.
Hal ini menyebabkan kekuatan refraksi di sentral kornea 3D lebih besar daripada di
perifer. Secara umum, radius kelengkungan kornea berhubungan dengan jarak dari
apeks, dimana permukaan kornea semakin datar bila jauh dari apeks. Apeks kornea
merupakan daerah pada kornea dengan kurvatura terbesar, sedangkan verteks
merupakan titik tertinggi dari permukaan kornea dan memiliki kekuatan refraksi
paling tinggi. 11,20

2
Gambar 1. Apeks dan verteks kornea20

Pada keadaan dimana kornea kehilangan kebeningannya misalnya pada


penyakit keratitis, ulkus kornea, kelainan bentuk kornea, maka fungsi optik mata juga
akan menurun. Keratokonus adalah salah satu kelainan yang sering ditemukan, pada
kelainan ini terjadi penipisan progresif dan penonjolan pada kornea sentral dan
parasentral, sehingga kornea menyerupai kerucut. Hampir pada semua kasus terjadi
bilateral, tapi salah satu mata biasanya memiliki gejala yang lebih parah dan disertai
astigmatisma yang tinggi. Bila penipisan di sentral kornea semakin memburuk, maka
akan astigmatisma irreguler yang muncul juga semakin parah. Gambaran klinis dari
keratokonus adalah rizutti sign, munson sign, fleischer ring dan vogt lines.20

Corneal opacities merupakan istilah yang digunakan untuk kehilangan


transparansi kornea. Bila corneal opacities terdapat pada zona sentral maka akan
menyebabkan penglihatan kabur karena efek astigmatisma atau bahkan kehilangan
seluruh lapang pandang bila corneal opacities menutupi area pupil. Berdasarkan
densitasnya corneal opacities dibagi menjadi nebula, makula dan leukoma.20

2.2. Lensa
Lensa merupakan bangunan bikonveks yang terletak di posterior iris dan di
anterior korpus vitreus. Tersusun oleh epitel yang mengalami diferensiasi yang tinggi.
Diameter equatorial lensa 6.5 mm ketika lahir, yang kemudian meningkat pada
dekade kedua dan ketiga kehidupan, dan bisa mencapai 9-10 mm. Lebar
anteroposterior lensa ketika lahir adalah 3 mm, dan bisa meningkat hingga 6 mm pada
saat umur 80 tahun. Berat lensa saat baru lahir sekitar 90 mg dan berkembang

3
menjadi 255 mg saat dewasa. Struktur lensa terdiri dari kapsul lensa, epitel, korteks
dan nukleus. Permukaan posterior memiliki radius kurvatura lebih besar daripada
permukaan anterior. Lensa tergantung ke badan silier oleh ligamentum suspensorium
lentis (zonula Zinii). Lensa memiliki kandungan protein tertinggi dibandingkan
jaringan tubuh lainnya. Lebih dari 50% berat lensa berasal dari proteinnya dan
sisanya adalah air. Kristalin lensa adalah sekelompok protein yang terdapat di dalam
sel serabut lensa dan berperan penting untuk mempertahankan transparansi lensa
sehingga dapat merefraksikan cahaya yang masuk ke mata. 10,11,19

Gambar 2. Anatomi lensa 19

Lensa berfungsi sebagai media refraksi. Lensa mata normal memiliki indeks
refraksi sebesar 1,4 di bagian sentral dan 1,36 di bagian perifer. Kekuatan bias lensa
kira-kira +16D. Pada anak dan orang dewasa lensa dapat berubah kekuatan
dioptrinya saat melihat dekat agar mampu menempatkan bayangan tepat di retina.
Lensa memiliki fungsi untuk memfokuskan cahaya masuk hingga ke lapisan sensoris
retina. Untuk menjalankan fungsi ini maka lensa harus memiliki struktur yang
transparan dan memiliki indeks refraksi yang lebih tinggi. Transparansi dari lensa
tergantung pada struktur seluler lensa dan matriks protein lensa. Transparansi harus
tetap dipertahankan ketika lensa berubah bentuk ketika berakomodasi. Indeks refraksi
yang tinggi berkaitan dengan konsentrasi protein yang tinggi dalam lensa, khususnya
soluble protein yang disebut kristalin. Kekeruhan pada lensa akan menurunkan fungsi
optik mata misalnya pada penyakit katarak. Selain kekeruhan, lensa juga dapat
berubah bentuk menjadi abnormal dan iregular sehingga timbul astigmatisma yang

4
disebut astigmatisma lentikular. Astigmatisma lentikular ini lebih jarang ditemui
daripada astigmatisma korneal. 10,11

5
BAB III
ASTIGMATISMA

3.1. Patofisiologi Astigmatisma


Astigmatisma merupakan kelainan refraksi mata yang ditandai adanya
berbagai derajat refraksi pada berbagai meridian sehingga sinar sejajar yang datang
pada mata tidak difokuskan pada satu titik. Fokusnya pada sumbu yang satu tepat
pada retina namun pada sumbu yang lain tidak tepat pada retina. Atau bisa juga
terjadi kedua fokus tidak terletak pada retina. Pada astigmatisma, mata menghasilkan
suatu bayangan dengan titik atau garis fokus multipel. Etiologi kelainan astigmatisma
adalah sebagai berikut:
1. Adanya kelainan kornea dimana permukaan luar kornea tidak teratur.
Media refraksi yang memiliki kesalahan pembiasan yang paling besar adalah kornea,
yaitu mencapai 80%-90% dari astigmatisma, sedangkan media lainnya adalah lensa
kristalin. Kesalahan pembiasan pada kornea ini terjadi karena perubahan lengkung
kornea dengan pemendekan atau pemanjangan diameter anteroposterior bola mata.
Perubahan lengkung permukaan kornea ini terjadi karena kelainan kongenital,
kecelakaan, luka atau parut di kornea, peradangan kornea serta akibat pembedahan
kornea.
2. adanya kelainan pada lensa dimana terjadi kekeruhan pada lensa.
Semakin bertambah umur seseorang, maka kekuatan akomodasi lensa kristalin juga
semakin berkurang dan lama kelamaan lensa kristalin akan mengalami kekeruhan
yang dapat menyebabkan astigmatisma.5,6

3.2. Tipe dan Bentuk Astigmatisma


Berdasarkan garis fokus pada retina, terdapat dua macam astigmatisma yakni:

astigmatisma regular
Pada astigmatisma regular, setiap meridian mata memiliki titik fokus
yang
letaknya teratur. Meskipun setiap meridian memiliki daya bias berbeda, tetapi
perbedaan itu teratur, dari meridian dengan daya bias terlemah hingga membesar
sampai meridian dengan daya bias terkuat. Meridian dengan daya bias terlemah ini
tegak lurus terhadap meridian dengan daya bias terkuat. Menurut letak titik vertikal

6
dan horizontal pada retina, astigmatisma regular dapat dibagi menjadi lima macam
yaitu:
1. astigmatisma miopi simpleks: apabila satu meridian utama emetrop dan yang
lainnya miopi sehingga salah satu fokusnya tepat di retina dan yang lainnya di
depan retina.
2. astigmatisma miopi kompositus: apabila kedua meridian utama adalah miopi
tetapi dengan derajat yang berbeda sehingga kedua fokus berada di depan
retina.
3. astigmatisma hipermetrop simpleks: apabila satu meridian utama emetrop dan
yang lain hipermetropi sehingga salah satu fokusnya berada di retina dan yang
lainnya di belakang retina.
4. astigmatisma hipermetropi kompositus: apabila kedua meridian utama adalah
hipermetropi tetapi dengan derajat yang berbeda sehingga kedua fokus berada
di belakang retina.
5. astigmatisma mikstus: apabila salah satu meridian utama hipermetropi dan
yang lain miopi sehingga salah satu fokusnya berada di depan retina dan satu
lagi di belakang retina. 5,6,11

Gambar 3. Beberapa tipe astigmatisma11

Bila ditinjau dari letak daya bias terkuatnya, bentuk astigmatisma reguler ini
dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
1. astigmatisma with-the-rule: jika meridian vertikal mempunyai kurvatura lebih
kuat daripada meridian horizontal.

7
2. astigmatisma against-the-rule: jika meridian horizontal mempunyai kurvatura
lebih kuat daripada meridian vertikal.
3. astigmatisma oblique: jika meridian utama tidak berada pada garis vertikal
ataupun horizontal melainkan mempunyai deviasi 45° dan 135°. Sudut yang
dibentuk juga bisa searah, misalnya 30° pada kedua mata, atau saling
melengkapi yakni 150° pada mata kiri dan 30° pada mata kanan.
4. astigmatisma bioblique: jika kedua meridian utama tidak terletak pada sudut
yang sama satu sama lain, misalnya salah satu pada 30° dan satunya pada
100°.9,10

Astigmatisma Ireguler
Pada astigmatisma ireguler terdapat perbedaan refraksi yang tidak teratur
pada
setiap meridian. Pada keadaan ini terdapat meridian yang multipel dan tidak saling
tegak lurus. 5,6,11

Berdasarkan etiologinya, astigmatisma dapat dibedakan menjadi dua macam,


yaitu:
1. astigmatisma korneal: astigmatisma yang disebabkan karena kelainan
kurvatura kornea. Kesalahan pembiasan di kornea ini terjadi karena perubahan
lengkung kornea.
2. astigmatisma lentikular: astigmatisma yang disebabkan karena kelainan di
lensa. Contohnya pada kelainan kurvatura di lensa yang terjadi pada kasus
lentikonus. Pada kelainan posisi lensa seperti pada subluksasi lensa juga dapat
menimbulkan astigmatisma. 10,11

3.3. Conoid of Sturm


Cahaya yang masuk melewati lensa sferis difokuskan pada satu titik poin.
Cahaya yag masuk melewati sistem silindris (sistem astigmatisma) tidak difokuskan
pada satu titik poin. Cahaya difokuskan pada sesuatu yang menyerupai cone. Karena
terlihat seperti cone, sehingga disebut conoid. Pada conoid cahaya yang terbentuk
setelah melewati sistem astigmatisma disebut conoid of sturm. 14
Pada lensa sferosilindris, permukaan silindris melengkung dalam dua meridian
tapi tidak sama besarnya. Efek suatu lensa sferosilindris pada suatu objek adalah
menghasilkan suatu gambar geometrik yang dikenal dengan conoid of sturm yang

8
terdiri dari dua garis fokus yang dipisahkan oleh interval sturm. Masing-masing garis
fokus dari conoid of sturm sejajar dengan meridian utama dari lensa sferosilindris.
Posisi garis fokus relatif terhadap lensa ditentukan oleh kekuatan kedua meridian dan
orientasinya oleh sudut antara meridian-meridian. Potongan melintang melalui
conoid of sturm memperlihatkan bentuk garis di garis fokus dan bentuk elips di
tempat lain. Pada satu posisi, potongan melintang akan memperlihatkan bentuk
bundar yang mencerminkan circle of least confusion. 1,21

Gambar 4. Conoid of Sturm1

Circle of least confusion, memperlihatkan keseluruhan fokus terbaik dari lensa


sferosilindris. Circle of least confusion menempati posisi dimana semua sinar akan
dibawa untuk fokus. Jadi conoid of sturm ini terdiri dari dua garis yang tegak lurus,
lingkaran, dan seluruh elips ketika kedua lensa diletakkan bersama-sama. Gambaran
inilah yang terjadi pada pasien astigmatisma. Pasien astigmatisma akan
memproyeksikan cahaya ke conoid of sturm. Tipe astigmatisma dari pasien tersebut
tergantung dimana dua garis yang terbentuk itu jatuh. 1,14

BAB IV

9
PEMERIKSAAN ASTIGMATISMA

Setelah pasien dikoreksi maksimal dengan lensa sferis untuk miopi atau
hipermetropi namun belum mencapai tajam penglihatan maksimal atau 20/20, maka
kemungkinan pasien mempunyai kelainan refraksi astigmatisma. Pada keadaan ini
kita dapat melakukan beberapa pemeriksaan astigmatisma.

4.1. Astigmatisme Dial Technique (Kipas/Juring Astigmatisma)


Merupakan kartu tes dengan susunan garis radial yang digunakan untuk
menentukan aksis astigmatisma. Setelah pasien dikoreksi dengan lensa sferis positif
atau negatif untuk hipermetropi atau miopi yang ada, maka tajam penglihatannya
dikaburkan dengan lensa sferis positif, sehingga tajam penglihatannya berkurang 2
baris pada kartu Snellen, misalnya dengan menambah lensa sferis positif 2.1,11,12

Lalu pasien diminta melihat kisi-kisi juring astigmatisma dan ditanyakan garis
mana yang paling jelas terlihat. Bila garis juring pada 90 o yang terlihat jelas, maka
aksis lensa silinder yang kita temukan adalah tegak lurus sumbu 90 o tersebut (lensa
silinder ditempatkan pada sumbu 180o). Perlahan-lahan kekuatan silindris negatif ini
dinaikkan sampai garis juring kisi-kisi astigmatisma vertikal sama tegasnya dengan
juring horizontal atau semua juring sama jelasnya bila dilihat dengan lensa silinder
negatif yang ditambahkan. Kemudian pasien diminta melihat kartu Snellen dan
perlahan-lahan diletakkan lensa sferis negatif atau kurangi sferis positif sampai pasien
melihat jelas hingga 20/20. Sehingga derajat astigmatisma yang dicapai sama dengan
ukuran lensa silinder negatif yang dipakai agar semua gambar kipas astigmatisma
tampak sama jelas.1,11,12

10
Gambar 4. Teknik astigmatism dial1

4.2. Clock Dial Technique


Pada dasarnya teknik clock dial ini hampir sama dengan pemeriksaan
kipas/juring astigmatisma seperti yang telah disebutkan di atas. Perbedaannya adalah
chartnya yang berbentuk lingkaran penuh dan setiap garis radialnya memiliki interval
sudut 30o. Kaburkan tajam penglihatannya dengan lensa sferis positif, sehingga tajam
penglihatannya berkurang 2 baris pada kartu Snellen. Lalu pasien diminta melihat
chart dan ditanyakan garis pada jam berapa yang paling jelas terlihat. Contoh garis
radial pada arah jam 2 dan 8 yang terlihat paling jelas oleh pasien. Maka
penghitungan untuk menentukan aksisnya adalah dengan mengalikan 30o untuk jam
yang terkecil pada garis radial yang terlihat jelas. Pada contoh kasus di atas garis
radial jam yang terlihat paling jelas adalah jam 2 dan 8. Sehingga 30 o harus dikalikan
dengan jam 2 lalu diperoleh sudut 60o (30o x 2 = 60o). Maka aksis yang diperoleh
pada pasien ini adalah 60o. Perlahan-lahan kekuatan silindris negatif ini dinaikkan
sampai pasien melihat jelas hingga 20/20.16,18

11
Gambar 5. Clock dial chart16

4.3. Jackson Cross Cylinder


Cross Cylinder terdiri dari dua lensa planosilindris dengan kekuatan serupa
tetapi berbeda tanda yang saling bertumpang tindih sedemikian sehingga sumbu-
sumbu refraksi mereka terletak tegak lurus satu sama lain. Pada posisi orientasi
primer, Jackson Cross Cylinder, pegangannya menurun ke arah kanan dan membentuk
sudut 450 terhadap horizontal. Label + 0.50 adalah orientasi yang biasanya digunakan
untuk membaca dan – 0.50 untuk kenaikan. Tandanya adalah yang merah dan hitam.
Lensa memiliki permukaan depan atau permukaan pertama, permukaan menghadap
pembaca, tanda berada pada permukaan ini. Permukaan kedua atau dibelakangnya
adalah lensa dimana permukaannya menjauh dari pembaca. Lensanya mempunyai
kekuatan yang beraneka ragam. Dua tanda merah menunjukkan axis dari komponen
silinder dengan kekuatan – 0.50 D, disebut juga dengan kekuatan meridian dari
silinder vertikal. Dua tanda hitam menunjukkan axis dari komponen silinder dengan
kekuatan + 0.50 D. Ketika lensa diputar dan permukaan belakang menjadi permukaan
depan tandanya menjadi terbalik.10,12

12
Gambar 6. Jackson Cross Cylinder pada posisi orientasi primer12

Istilah berputar berarti membalik lensa sedemikian rupa sehingga sisi silinder
silang menghadap pasien pada awal manuver dan menghadap pemeriksa pada akhir
manuver. Istilah memutar mengacu pada gerakan searah jarum atau berlawanan dari
cross cylinder di depan pasien, dalam bidang lensa kacamata, dan tentang axis yang
sejajar dengan garis pandang. Istilah mengkoreksi silinder mengacu pada lensa
berbentuk silindris di dalam trial frame.1,11

4.3.1. Memaksimalkan Lensa Sferis


Langkah pertama dalam refraksi cross cylinder adalah menyesuaikan sferis
untuk menghasilkan tajam penglihatan terbaik dengan tanpa akomodasi.
Memaksimalkan sferis dari astigmatisma tidak berbeda dengan refraksi miopia atau
hipermetropia. Pada astigmatisma mustahil untuk membawa satu titik poin ke retina
hanya dengan memanipulasi lensa sferis, karena cahaya tidak fokus hanya pada satu
titik poin. Untuk memindahkan circle of least confusion pada astigmatisma ke retina,
langkah pertamanya adalah merefraksi setiap astigmatisma. Langkah ini disebut
memaksimalkan sferis dengan menggunakan lensa sferis. Titik akhir dari bagian ini
jika kita tidak bisa lagi meningkatkan tajam penglihatan dengan menggunakan lensa
sferis. 1,7,11

4.3.2. Menentukan Aksis Silindris

Letakkan cross cylinder pada sudut 900 dan 1800, untuk mencek adanya
astigmatisma. Jika posisi flip ditemukan, tambahkan silinder dengan axis yang sejajar
dengan masing-masing axis plus atau minus dari cross cylinder sampai 2 pilihan flip
sama. Jika tidak ditemukan dengan axis cross silinder pada 900 dan 1800, kemudian
cek dengan sudut 450 dan 1350 sebelum kita mengasumsikan tidak adanya

13
astigmatisma. Selalu sempurnakan atau perbaiki aksis sebelum memperbaiki
kekuatan silinder. Urutan ini sangat penting karena aksis yang benar bisa diperoleh
pada kekuatan yang salah, tetapi kekuatan silinder yang penuh hanya bisa ditemukan
pada aksis yang benar. 1,21
Cross cylinder sekarang ditempatkan di depan silinder koreksi, dengan
pegangan sejajar dengan sumbu silinder koreksi. Dalam posisi ini, axis dari cross
cylinder melintasi axis silinder koreksi masing-masing pada 450. Hal ini menjelaskan
pada pasien bahwa kedua gambar yang akan disajikan mungkin sedikit kabur, tapi
satu mungkin lebih jelas daripada yang lain. Pasien menyatakan yang mana posisi dari
cross cylinder menyajikan gambar yang lebih jelas (posisi satu atau posisi dua) atau
apakah sama saja. Gambar yang jelas adalah gambar yang lebih tajam, lebih gelap
atau lebih mudah dibaca. Titik akhir tes tercapai bila tidak ada perbedaan yang terlihat
diantara dua posisi cross cylinder tersebut. Cross cylinder kemudian diputar-putar di
depan silinder koreksi. Manuver ini membalikkan posisi dari axis plus dan minus dari
cross cylinder. Jika kedua posisi sama jelasnya (atau sama kaburnya), maka sumbu
silinder koreksi berada di meridian yang tepat dan tes untuk axis selesai. Jika satu
posisi lebih jelas, maka silinder koreksi diputar terhadap axis cross cylinder yang
memiliki tanda yang sama seperti silinder koreksi. Asumsikan bahwa sebuah silinder
minus digunakan sebagai silinder koreksi, dan pasien memilih posisi yang jelas dari
cross cylinder. Kemudian ditemukan axis minus pada cross cylinder dan memutar
silinder koreksi ke arah axis 50 atau 100. Jika silinder plus digunakan untuk koreksi,
kita akan memutar silinder koreksi ke arah axis plus dari cross cylinder di posisi yang
lebih disukai. Cross cylinder kemudian pindah sehingga sumbunya sekali lagi
melintasi axis silinder koreksi di posisi yang baru, dan tes diulang. Ketika memutar
cross cylinder menghasilkan kejelasan yang sama ( atau kabur), maka titik akhir dari
prosedure telah tercapai dan axis silindris telah diidentifikasi. 7,11

4.3.3. Menyesuaikan Kekuatan Silinder


Untuk memperbaiki kekuatan silinder, sejajarkan aksis dari cross cylinder
dengan meridian utama dari lensa koreksi. Pemeriksa menukar kekuatan silinder
berdasarkan respon dari pasien, spherical equivalent dari koreksi refraksi harus
konstan untuk tetap menjaga circle of least confusion dari retina. Mencapai ini dengan
mengubah sferis setengahnya dan arahnya berlawanan dari kekuatan silinder yang
diubah. oleh karena itu, untuk setiap 0.50 D dari perubahan kekuatan silinder, sferis

14
diubah 0.25 D dari arah yang berlawanan. Secara berkala, kekuatan sferis harus
disesuaikan untuk mendapatkan ketajaman penglihatan terbaik. 1,11

Gambar 7. Memperbaiki kekuatan silinder dengan cross silinder1

Putar cross cylinder diantara posisi 1 dan 2 kemudian tanyakan pasien “mana
yang lebih baik”. Posisi 2 dipilih karena menghasilkan gambar yang lebih jelas. Pada
posisi 2 aksis plus dari cross cylinder paralel dengan aksis silinder plus, menunjukkan
bahwa silinder plus harus ditingkatkan kekuatannya. 7,21

Pada refraksi cross cylinder, poin utama adalah sebagai berikut:


-
lakukan penyesuaian sferis plus yang paling besar, minus yang paling kecil
untuk memberikan ketajaman penglihatan terbaik .
-
jika koreksi silindris tidak ada sejak awal, cari untuk astigmatismanya
menggunakan cross silinder di axis 90o dan 180o, jika tidak ditemukan pada
axis tersebut, tes pada 45o dan 135o.
-
pertama-tama sesuaikan axis. Posisikan axis cross silinder pada 45 0 dari
meridian utama dari silinder koreksi. Tentukan pilihan flip yang disukai, dan
putar aksis silinder ke arah aksis yang sesuai dari cross cylinder. Ulangi
sampai kedua pilihan flip memperlihatkan tampilan yang sama.

-
sesuaikan kekuatan silinder. Sejajarkan axis cross silinder dengan meridian
utama dari silindris koreksi. Tentukan pilihan dari flip yang disukai, dan
tambahkan atau kurangi kekuatan silinder sesuai dengan posisi dari cross
cylinder. Kompensasi untuk perubahan posisi dari circle of least confusion

15
dengan menambah setengah dari sferis dengan arah yang berlawanan setiap
perubahan kekuatan silinder. 1,11

4.4. Retinoskop
Retinoskopi menggambarkan metode pengukuran gerakan bayangan refleks
sinar dari retina. Ada dua bentuk dasar perangkat ini yaitu spot retinoscopy dan streak
retinoscopy. Streak retinoskopi menggunakan sinar berbentuk pita linier atau streak
dengan vergensi yang bervariasi. Prinsip kerja dari retinoskopi itu adalah ketika
cahaya dari retinoskopi masuk ke mata seseorang, kita bisa melihat cahaya yang
dipantulkan dari retina. Pantulan cahaya ini disebut reflek retinoskopi atau red reflex.
Red reflex terlihat seperti cahaya merah yang masuk ke pupil seseorang. Sebagian
besar retinoskop menggunakan sistem proyeksi streak yang dikembangkan oleh
Copeland. 2,3

Gambar 8. Retinoskop Streak2

Gerakan reflek retinoskop memiliki 3 karakteristik utama, yaitu:


1. Kecepatan
Reflek yang terlihat pada pupil bergerak sangat lambat ketika titik jauh berada
jauh dari pemeriksa. Ketika titik jauh bergerak kearah peephole, kecepatan
dari reflek meningkat. Kelainan refraksi yang besar memiliki gerakan reflek
yang lambat. Bila kelainan refraksi kecil maka reflek cepat.
1. Kecerahan

16
Reflek akan lebih gelap bila titik jauh berada pada jarak yang jauh dari
pemeriksa, bila menjadi lebih terang maka terjadi netralisasi. Refleks yang
berlawanan biasanya lebih gelap dibanding refleks searah.
2. Lebar
Ketika titik jauh berada pada jarak jauh dari pemeriksa, streak akan lebih
sempit, tetapi ketika titik jauh bergerak mendekati pemeriksa, streak akan
lebih lebar dan terjadi netralisasi. 1,4

Retinoskopi yang banyak digunakan sekarang adalah yang menggunakan


proyeksi streak. Sleeve retinoskop pada jenis ini terdapat pada posisi paling atas,
sementara pada desain yang lain, sleeve terdapat pada posisi bawah. Sleeve up
menimbulkan efek cermin datar pada retinoskopi keluaran Copeland dan sebaliknya
pada retinoskopi keluaran Welch allyn, Propper, Keeler yaitu sleeve down
menghasilkan efek cermin datar.4,8
4.4.1. Menentukan Axis Silindris
Sebelum menentukan kekuatan dari setiap meridian-meridian utamanya, aksis
meridian harus ditentukan. Ada empat karakteristik dari refleks streak yang bisa
membantu dalam menentukan aksis:
1. Patahan (break).
Suatu patahan terlihat ketika streak tidak di orientasikan paralel terhadap salah
satu meridian. Reflek streak dari pupil tidak sejajar dengan streak yang
diproyeksikan pada iris dan permukaan mata dan garis yang terlihat ada
patahan. Patahan tidak akan terlihat (garisnya terlihat kontiniu) ketika streak
dirotasikan pada posisi aksis yang tepat. Koreksi silindris harus ditempatkan
pada aksis tersebut.
2. Lebar (width).
Lebar reflek bervariasi pada pupil saat dirotasikan di sekitar aksis yang tepat.
Reflek ini terlihat paling sempit ketika streak sejajar dengan aksis.

17
Gambar 9. Menententukan lokasi aksis berdasarkan Lebar refleks fundus.6

3. Intensitas (intensity).
Intensitas garis lebih terang ketika streak pada aksis yang tepat.
4. Oblik (skew).
Gerakan oblik dari refleks streak bisa digunakan untuk memperhalus aksis
pada silindris yang kecil. Jika streak tidak pada aksisnya, akan bergerak
dengan arah sedikit berbeda dari refleks pupil. Reflek dan streak bergerak
pada arah yang sama ketika streak sejajar dengan salah satu meridian utama. 6,8

Gambar 10. Refleks fundus oblik. 8

Ketika streak sejajar dengan koreksi aksis yang tepat, sleeve bisa diturunkan
(pada instrumen Copeland) atau dinaikkan (pada instrumen Welch-Allyn) untuk
mempersempit streak sehingga aksis akan lebih mudah ditentukan.8,9

18
Gambar 11. Lokasi aksis pada busur derajatnya. 8

Aksis ini dapat dikonfirmasi melalui teknik yang dikenal dengan straddling,
yang dilakukan dengan perkiraan silindris yang benar pada tempatnya. Streak
retinoskopi diputar 450 dari aksisnya pada kedua arah dan jika aksisnya benar, lebar
refleks seharusnya sama pada kedua posisi tersebut. Jika aksisnya salah, lebarnya
akan tidak sama pada kedua posisi tersebut. Aksis silindris yang tepat seharusnya
digerakkan ke arah refleks yang lebih sempit dan straddling diulang lagi hingga
lebarnya sama.8,9

Gambar 12. Straddling.8


Dengan retinoskop ini, untuk menentukan koreksi silindris yang tepat pada
astigmatisma yaitu menggunakan dua sferis. Netralkan satu aksis dengan lensa sferis
kemudian netralisasi aksis satunya. Perbedaan antara hasil ini merupakan kekuatan
silindris. Misalnya jika aksis 90˚ dinetralkan dengan sferis + 1,50 D dan aksis 1800
dinetralkan dengan sferis + 2,25 D, retinoskopi kasarnya adalah S+2,25 C-0,75 x 180.

4.5. Stenopeic Slit Technique (Uji Celah Stenopik)


Stenopeic slit adalah celah selebar 0,5-0,75 mm lurus yang tedapat pada
lempeng dan digunakan untuk:

mengetahui adanya astigmatisma. Penglihatan akan bertambah bila letak

19
sumbu celah sesuai dengan sumbu astigmatisma. Kemudian tambahkan lensa
silindris negatif sampai mendapatkan tajam penglihatan terbaik.

melihat sumbu koreksi astigmatisma. Penglihatan akan bertambah bila
sumbunya mendekati sumbu silinder yang benar, untuk memperbaiki sumbu
astigmatisma dilakukan dengan menggeser celah stenopik berbeda dengan sumbu
silinder yang dipasang, bila terdapat perbaikan penglihatan maka ini menunjukkan
sumbu astigmatisma belum tepat.

mengetahui besarnya astigmatisma. Dilakukan hal yang sama dengan
sumbu celah berhenti pada ketajaman maksimal. Pada sumbu ini ditaruh lensa positif
atau negatif yang memberikan ketajaman maksimal. Kemudian sumbu stenopik
diputar 90o dari sumbu pertama. Ditaruh lensa positif atau negatif yang memberikan
ketajaman maksimal. Perbedaan antara kedua kekuatan lensa sferis yang dipasangkan
merupakan besasrnya astigmatisma kornea tersebut. 11,14

Gambar 13. Slit stenopik11

4.6. Keratoskop Plasido


Papan plasido (keratoskop plasido) merupakan papan yang mempunyai
gambaran garis hitam melingkar konsentris dengan lubang kecil pada bagian
tengahnya. Pada kornea pasien yang membelakangi sumber cahaya akan
diproyeksikan sinar gambaran lingkaran plasido yang berasal dari papan lempeng
plasido sehingga dapat terlihat keteraturan permukaan kornea. Keratoskop
plasido ditempatkan 20 cm di depan mata orang yang diperiksa, kemudian penderita
diminta terus memandang lubang keratoskop. Dari lubang tersebut pemeriksa dapat
melihat bayangan lingkaran pada kornea.13,14 Interpretasi hasil pemeriksaan
dengan plasido adalah:

normalnya akan terlihat gambaran garis plasido yang melingkar konsentris, ini
menandakan kornea bulat sempurna dengan permukaan yang licin dan regular.

bila ada meridian yang lebih melengkung dari pada yang tegak lurus terhadap
meridian pertama tadi, maka tampak lingkaran lonjong yang menunjukkan
adanya astigmatisma regular.

20

bila bentuk bayang garis lingkaran hitam putih yang tampak tidak teratur
akibat maka menunjukkan adanya astigmatisma irregular. 13,14

Gambar 14. Hasil pemeriksaan keratoskop plasido13

21
BAB V
KESIMPULAN

1. Astigmatisma ditandai dengan berbagai derajat refraksi pada berbagai


meridian sehingga sinar sejajar yang datang pada mata tidak difokuskan pada
satu titik.
2. Astigmatisma dapat terjadi terutama karena kelainan di kornea yang disebut
corneal astigmatism, dan sebagian kecil dapat juga disebabkan kelainan di
lensa yang disebut lenticular astigmatism.
3. Conoid of sturm adalah berkas sinar yang dibentuk oleh sistem optik
astigmatisme yang terdiri dari garis fokus primer, a circle of least confusion,
dan garis fokus sekunder yang tegak lurus dengan garis yang pertama.
4. Beberapa teknik pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menentukan aksis
dan kekuatan dari komponen silindris antara lain dengan menggunakan juring
atau kipas astigmatisma, keratoskop plasido, uji celah stenopik, teknik clock
dial, jack cross cylinder, serta dengan menggunakan retinoskop spot atau
streak.
5. Dari beberapa jenis pemeriksaan astigmatisma ini, pemeriksaan menggunakan
streak retinoskop adalah pemeriksaan yang paling baik untuk mencari axis
sekaligus menentukan koreksi lensa sferosilindrisnya.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Skuta GL, Cantor BL, Weiss JC. Clinical Refraction. In : Clinical Optics.
American Academy of Ophthalmology. San Fransisco. 2014-2015.pp.121-130.
2. Smith G, Atchison D. Optics Of The Human Eye. Elsevier. 2002. pp.73-74.
3. Eva PR,Whitcher JP. Optics and Refraction. In: Vaughan & Asbury’s General
Ophtalmology 17th ed.London: Lange: 2008.pp.24-26.
4. Ledford JK, Daniels K, Campbell R. Optics, Retinoscopy And Refractometry
2th ed. Slack Incoporated. 2006. pp.29-48.
5. Helveston EM, Molinari A, Subrayan V, et al. Vision And Refraction. ORBIS
International.2010. pp.1-53.
6. Crick RP, Khaw PT. Optic and Refraction. In: A Textbook of Clinical
Ophthalmology. Third Edition Singapore: World Scientific Publishing, 2003.
pp.67-69.
7. Harris WF. The Jackson Cross Cylinder. In Optometric Science Research
Group. Department of Optometry. University of Johannesburg. South Africa.
2006. pp.41-54.
8. Tan B, Chen YL, Baker K, et al. Simulation Of Realistic Retinoscopic
Measurement. 2007. pp.2753-2761.
9. Benjamin W. Borish’s Clinical Refraction Second Edition. Elsevier. 2006. pp.
660-661
10. Khurana AK. Optics and Refraction. In: Comprehensive Ophthalmology.
Fourth Edition. New Age International Limited. New Delhi: 2007. pp 36-39.
11. Skuta GL, Cantor BL, Weiss JC. Optics of Human Eye. In : Clinical Optics.
American Academy of Ophthalmology. San Fransisco. 2014-2015.pp.113-116.
12. Khurana AK. Darkroom Procedure. In: Comprehensive Ophthalmology.
Fourth Edition. New Age International Limited. New Delhi: 2007. pp 554-
559.
13. Murube Juan. Window Cross and Placido Disc. Elsevier Inc. Spanyol. 2015.
pp.1-8.
14. Schwartz GS. Subjective Refraction. In The Eye Exam a Complete Guide.
USA. 2006. pp 43-62.
15. Vijfvinkel and Martinet VL. Techniques and Instruments. International
Ophthalmology. Rotterdam. 1981. pp.177-178.
16. Borish Irvin. Subjective Testing. In: Clinical Refraction 3rd Edition. The
Division of Optometry Indiana University. pp.718-792.
17. Campbell Charles. A New Subjective Test for Astigmatic Error. Ophtometric
Monthly Volume 69 No 9. Chicago. 2016.
18. Ong J, Shanks F, McConnell W. Validity of Four Current Subjective Test of
Astigmatism. American Journal of Optometry and Physiological Optics. San
Fransisco. 1974. pp. 581-592.

23
19. Skuta GL, Cantor LB, Cioffi AG. Cornea. In: Fundamental and Principles of
Ophthalmology. American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical
Science Course. Section 2. Singapore: FSC; 2013-2014. pp 247-251
20. Skuta GL, Cantor LB, Cioffi AG. Lens. In: Fundamental and Principles of
Ophthalmology. American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical
Science Course. Section 2. Singapore: FSC; 2013-2014. pp 273-281
21. Balaji RN, Chandrakath KS, Sheeja. Jackson Cross Cylinder. In Malabar Eye
Hospital and Research Center. 2007. pp.1-3

24

Vous aimerez peut-être aussi