Vous êtes sur la page 1sur 28

LAPORAN PENDAHULUAN HYDRO PNEUMOTHORAX

A. KONSEP PENYAKIT / GANGGUAN / TRAUMA


1. Pengertian
Hidropneumotoraks adalah suatu keadaan dimana terdapat udara
dancairan di dalam rongga pleura yang mengakibatkan kolapsnya jaringan
paru.Cairan ini bisa juga disertai dengan nanah (empiema) dan hal ini
dinamakan dengan piopneumotoraks. Sedangkan pneumotoraks itu sendiri
ialah suatukeadaan, di mana hanya terdapat udara di dalam rongga pleura
yang juga mengakibatkan kolaps jaringan paru. (Alsagaff & Hood, 2010).
Hidropneumothorax merupakan suatu kondisi dimana terdapat
udara pada kavum pleura. Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi
udara sehingga paru-paru dapat leluasa mengembang terhadap rongga
dada. Udara dalam kavum pleura ini dapat ditimbulkanoleh :
1) Robeknya pleura visceralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal
dari alveolus akan memasuki kavum pleura. Pneumothorax jenis ini
disebut sebagai closed pneumothorax. Apabila kebocoran pleura
visceralis berfungsi sebagai katup, maka udara yang masuk saat
inspirasi tak akan dapat keluar dari kavum pleura pada saat ekspirasi.
Akibatnya, udara semakin lama semakin banyak sehingga mendorong
mediastinum kearah kontralateral dan menyebabkan terjadinya tension
pneumothorax.
2) Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat
hubungan antara kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang
yang terjadi lebih besar dari 2/3 diameter trakea, maka udara
cenderung lebih melewati lubang tersebut dibanding
traktusrespiratorius yang seharusnya. Pada saat inspirasi, tekanan
dalam rongga dada menurun sehingga udara dari luar masuk ke kavum
pleura lewat lubang tadi dan menyebabkan kolaps pada paru
ipsilateral. Saat ekspirasi, tekanan rongga dada meningkat, akibatnya
udara dari kavum pleura keluar melalui lubang tersebut. Kondisi ini
disebut sebagai open pneumothorax (British Thoracic Society, 2003).
Menurut Hudak & Gallo, (2006) hidropneumotoraks dapat dibagi
berdasarkan atas beberapa hal, yaitu :
a. Berdasarkan kejadian
1) Pneumotoraks spontan primer
Pneumotoraks yang ditemukan pada penderita yang sebelumnya
tidak menunjukkan tanda-tanda sakit. Umumnya disebabkan oleh
pecahnya suatu bleb sub pleura yang biasanya terdapat di daerah
apeks paru. Factor resiko utama adalah merokok. Pada beberapa
kasus faktor herediter juga memegang peranan, umumnya
penderita berpostur tinggi dan kurus
2) Pneumotoraks spontan sekunder
Pneumotoraks yang ditemukan pada penderita yang sebelumnya
telah menderita penyakit, mungkin merupakan komplikasi dari
pneumonia, abses paru, tuberkulosis paru, asma kistafibrosis dan
karsinoma bronkus. Terjadi sebagai komplikasi penyakit paru
dasarnya (underlying lung disease). Beberapa penyakit yang sering
menjadi penyebab pneumothoraks antara lain PPOK tipe emfisema
dan tuberkulosis paru
3) Pneumotoraks traumatika
Pneumotoraks yang timbul disebabkan robeknya pleura viseralis
maupunpleura parietalis sebagai akibat dari trauma.
4) Pneumotoraks artifisialis
Pneumotoraks yang sengaja dibuat dengan memasukkan udara ke
dalamrongga pleura, dengan demikian jaringan paru menjadi
kolaps sehingga dapat beristirahat. Pada zaman dulu pneumotoraks
artifisialis sering dikerjakan untuk terapi tuberkulosis paru.

b. Berdasarkan tingkat kolapsnya jaringan paru


1) Pneumotoraks totalis, apabila seluruh jaringan paru dari satu
hemitoraks mengalami kolaps.
2) Pneumotoraks parsialis, apabila jaringan paru yang kolaps hanya
sebagian. Derajat kolaps paru pada pneumothorak totalis dapat
dinyatakan dalam persen dengan rumus sebagai berikut
Rumus mengukur volumenya : (A x B) – (a x b) X 100%
(A x B)
c. Berdasarkan jenis fistel
1) Pneumotoraks ventil. Di mana fistelnya berfungsi sebagai ventilasi
sehingga udara dapat masuk kedalam rongga pleura tetapi tidak
dapat ke luar kembali. Akibatnya tekanan udara di dalam rongga
pleura makin lama makin tinggi dan dapat mendorong
mediastinum kearah kontra lateral.
2) Pneumotoraks terbuka. Di mana fistelnya terbuka sehingga rongga
pleura mempunyai hubungan terbuka dengan bronkus atau dengan
dunia luar; tekanan di dalam rongga pleura sama dengan tekanan di
udara bebas.
3) Pneumotoraks tertutup. Di mana fistelnya tertutup udara di dalam
rongga pleura, terkurung, dan biasanya akan diresobsi
spontan.Pembagian pneumotoraks berdasarkan jenis fistelnya ini
sewaktu-waktu dapatberubah. Pneumotoraks tertutup sewaktu-
waktu dapat berubah menjadi pneumotoraks terbuka, dan dapat
pula berubah menjadi pneumotoraks ventil.

2. Etiologi
Hidropneumotoraks spontan terjadi oleh karena pecahnya bleb atau
kista kecil yang diameternya tidak lebih dari 1-2 cm yang berada di bawah
permukaan pleura viseralis, dan sering ditemukan di daerah apeks lobus
superior dan inferior. Terbentuknya bleb ini oleh karena adanya
perembesan udara dari alveoli yang dindingnya ruptur melalui jaringan
intersisial ke lapisan jaringan ikat yang berada di bawah pleura viseralis.
Sebab pecahnya dinding alveolus ini belum diketahui dengan pasti, tetapi
diduga ada dua faktor sebagai penyebabnya.
a. Faktor infeksi atau radang paru. Infeksi atau radang paru walaupun
minimal akan membentuk jaringan parut pada dinding alveoli yang
akan menjadi titik lemah.
b. Tekanan intra alveolar yang tinggi akibat batuk atau mengejan.
Mekanisme ini tidak dapat menerangkan kenapa hidropneumotoraks
spontan sering terjadi pada waktu penderita sedang istirahat. Dengan
pecahnya bleb yang terdapat di bawah pleura viseralis, maka udara
akan masuk ke dalam rongga pleura dan terbentuklah fistula
bronkopleura. Fistula ini dapat terbuka terus, dapat tertutup, dan dapat
berfungsi sebagai ventil
c. Robeknya pleura visceralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal
dari alveolus akan memasuki kavum pleura. Hidropneumothorax jenis
ini disebut sebagai closed hidropneumothorax. Apabila kebocoran
pleura visceralis berfungsi sebagai katup, maka udara yang masuk saat
inspirasi tak akan dapat keluar dari kavum pleura pada saat ekspirasi.
Akibatnya, udara semakin lama semakin banyak sehingga mendorong
mediastinum kearah kontralateral dan menyebabkan terjadinya tension
hidropneumothorax.
d. Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat
hubungan antara kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang
yang terjadi lebih besar dari 2/3 diameter trakea, maka udara
cenderung lebih melewati lubang tersebut dibanding traktus
respiratorius yang seharusnya. Pada saat inspirasi, tekanan dalam
rongga dada menurun sehingga udara dari luar masuk ke kavum pleura
lewat lubang tadi dan menyebabkan kolaps pada paru ipsilateral. Saat
ekspirasi, tekanan rongga dada meningkat, akibatnya udara dari kavum
pleura keluar melalui lubang tersebut. Kondisi ini disebut sebagai
open hidropneumothorax (Darmanto, Djojodibroto, 2009)
3. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang timbul pada Pneumotoraks tergantung pada
besarnya kerusakan yang terjadi pada sub pleura dan ada tidaknya
komplikasi penyakit paru. Gejala yang utama adalah berupa rasa sakit
yang tiba - tiba bersifat unilateral diikuti sesak napas. Gejala ini lebih
mudah ditemukan bila penderita melakukan aktivitas berat. Tapi pada
sebagian kasus gejala – gejala masih dapat ditemukan pada aktivitas biasa
atau waktu istirahat. Selain itu terdapat gejala klinis yang lain yaitu suara
melemah, nyeri menusuk pada dada waktu inspirasi, kelemahan fisik. Pada
tahap yang lebih berat gejala semakin lama akan semakin memberat,
penderita gelisah sekali, trakea dan mediastinum dapat mendorong kesisi
kontralateral. Gerakan pernafasan tertinggi pada sisi yang sakit fungsi
respirasi menurun, sianosis disertai syok oleh karena aliran darah yang
terganggu akibat penekanan oleh udara, dan curah jantung menurun
a. Biasanya akan ditemukan adanya nyeri dada yang terjadi secara tiba-
tiba, nyerinya tajam dan dapat menimbulkan rasa kencang di dada.
b. Nafas yang pendek
c. Nafas yang cepat
d. Batuk
e. Lemas
f. Pada kulit bisa ada keluhan sianosis
Manifestasi Klinis (Barbara Engram, 1997)
1. Pneumotoraks tertutup :
- Nyeri tajam pada sisi yang sakit sewaktu bernafas
- Disnea dan takipnea
- Penggunaan otot asesori pernafasan
- Takikardi
- Diaforesis
- Gelisah dan agitasi
- Bunyi hipertimpani diatas daerah yang sakit
- Luka memar pada dada
- Tidakadanya bunyi nafas seirama dengan gerakan dinding dada
2. Pneumotoraks tension :
- Distensi vena leher
- Kemungkinan emfisesma subkutan
- Manifestasi lain seperti pada pneumotoraks tertutup
3. Pneumotoraks terbuka
- Observasi luka dada terbuka terhadap bunyi seperti hisapan
- Manifestasi lain seperti pada pneumotoraks tertutup
4. Hemotoraks
- Pekak dengan perkusi di atas sisi yang sakit
- Manifestasi lain seperti pada pneumotoraks tertutup

4. Patofisiologi
Paru-paru dibungkus oleh pleura parietalis dan pleura visceralis.
Diantara pleura parietalis dan visceralis terdapat cavum pleura. Cavum
pleura normal berisi sedikit cairan serous jaringan.Tekanan intrapleura
selalu berupa tekanan negatif. Tekanan negatif pada intrapleura membantu
dalam proses respirasi. Proses respirasi terdiri dari 2 tahap : Fase inspirasi
dan fase eksprasi. Padafase inspirasi tekanan intrapleura :- 9 s/d - 12
cmH2O; sedangkan pada fase ekspirasi tekanan intrapleura: - 3 s/d - 6
cmH2O. Pneumotorak adalah adanya udara pada cavum pleura. Adanya
udara pada cavum pleura menyebabkan tekanan negatif pada intrapleura
tidak terbentuk. Sehingga akan mengganggu pada proses respirasi.
Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan penyebabnya.
a. Pneumotorak spontan oleh karena : primer (ruptur bleb), sekunder
(infeksi, keganasan), neonatal.
b. Pneumotorak yang di dapat oleh karena : iatrogenik, barotrauma,
trauma.
Pneumotorak dapat dibagi juga menurut gejala klinis:
a. Pneumotorak simple : tidak diikuti gejala shock atau pre-shock.
b. Tension Pnuemotorak : diikuti gejala shock atau pre-schock
Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan ada tidaknya hubungan dengan luar
menjadi :
a. Open pneumotorak.
b. Closed pneumotorak Secara garis besar ke semua jenis pneumotorak
mempunyai dasar patofisiologi yang hampir sama.
Pneumotorak spontan, closed pneumotorak, simple pneumotorak,
tension pneumotorak, dan open pneumotorak. Pneumotorak spontan
terjadi karena lemahnya dinding alveolus dan pleura visceralis. Apabila
dinding alveolus dan pleura viceralis yang lemah ini pecah, maka akan ada
fistel yang menyebabkan udara masuk ke dalam cavum pleura.
Mekanismenya pada saat inspirasi rongga dada mengembang, disertai
pengembangan cavum pleura yang kemudian menyebabkan paru dipaksa
ikut mengembang, seperti balon yang dihisap. Pengembangan paru
menyebabkan tekanan intraalveolar menjadi negatif sehingga udara luar
masuk. Pada pneumotorak spontan, paru-paru kolpas, udara inspirasi ini
bocor masuk ke cavum pleura sehingga tekanan intrapleura tidak negatif.
Pada saat inspirasi akan terjadi hiperekspansi cavum pleura akibatnya
menekan mediastinal ke sisi yang sehat. Pada saat ekspirasi mediastinal
kembali lagi ke posisi semula. Proses yang terjadi ini dikenal dengan
mediastinal flutter.
Pneumotorak ini terjadi biasanya pada satu sisi, sehingga respirasi
paru sisi sebaliknya masih bisa menerima udara secara maksimal dan
bekerja dengan sempurna. Terjadinya hiper ekspansi cavum pleura tanpa
disertai gejala pre-shock atau shock dikenal dengan simple pneumotorak.
Berkumpulnya udara pada cavum pleura dengan tidak adanya hubungan
dengan lingkungan luar dikenal dengan closed pneumotorak. Pada saat
ekspirasi, udara juga tidak dipompakan balik secara maksimal karena
elastic recoil dari kerja alveoli tidak bekerja sempurna. Akibatnya
bilamana proses ini semakin berlanjut, hiperekspansi cavum pleura pada
saat inspirasi menekan mediastinal ke sisi yang sehat dan saat ekspirasi
udara terjebak pada paru dan cavum pleura karena luka yang bersifat katup
tertutup terjadilah penekanan vena cava, shunting udara ke paru yang
sehat, dan obstruksi jalan napas. Akibatnya dapat timbulah gejala pre-
shock atau shock oleh karena penekanan vena cava. Kejadian ini dikenal
dengan tension pneumotorak. (Hudak, C.M. 2010)
Pada open pneumotorak terdapat hubungan antara cavum pleura
dengan lingkunga luar. Open pneumotorak dikarenakan trauma penetrasi.
Perlukaan dapat inkomplit (sebatas pleura parietalis) ataukomplit (pleura
parietalis dan visceralis). Bilamana terjadi open pneumotorak inkomplit
pada saat inspirasi udara luar akan masuk kedalam cavum pleura.
Akibatnya paru tidak dapat mengembang karena tekanan intrapleura tidak
negatif. Efeknya akan terjadi hiperekspansi cavum pleura yang menekan
mediastinal ke sisi paru yang sehat. Saat ekspirasi mediastinal bergeser
kemediastinal yang sehat. Terjadilah mediastinal flutter. Bilamana open
pneumotorak komplit maka saat inspirasi dapat terjadi hiper ekspansi
cavum pleura mendesak mediastinal ke sisi paru yang sehat dan saat
ekspirasi udara terjebak pada cavum pleura dan paru karena luka yang
bersifat katup tertutup. Selanjutnya terjadilah penekanan vena cava,
shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan napas. Akibatnya
dapat timbulah gejala pre-shock atau shock oleh karena penekanan
venacava. Kejadian inidikenal dengan tension pneumotorak (Hudak, C.M.
2010)

5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Foto Rontgen Gambaran radiologis yang tampak pada foto rontgen
kasus hidropneumotoraks antara lain:
1) Bagian hidropneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang
kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-
kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi
berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru.
2) Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa
radioopaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini
menunjukkan kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak
selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang dikeluhkan.
3) Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium
intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah.
Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang
sehat, kemungkinan besar telah terjadi hidropneumotoraks ventil
dengan tekanan intra pleura yang tinggi.
4) Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi
keadaan sebagai berikut
a) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi
jantung, mulai dari basis sampai keapeks. Hal ini terjadi
apabila pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga
udara yang dihasilkan akan terjebak di mediastinum.
b) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam
dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari
pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di
mediastinum lambat laun akan bergerak menuju daerah yang
lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak
jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila
jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat
mendesak jaringan ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada
depan dan belakang.
c) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan
tampak permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma
Foto Rontegen hidropneumotoraks (PA), bagian yang
ditunjukkan dengan anak panahmerupakan bagian paru yang
kolaps

b. Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi


meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien
dengan gagal napas yang berat secara signifikan meningkatkan
mortalitas sebesar 10%.
c. CT-scan thorax. CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan
antara emfisema bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara
dengan cairan intra dan ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara
pneumotoraks spontan primer dan sekunder. Komplikasi dapat berupa
hemopneumotorak, pneumomediastinum dan emfisemakutis, fistel
bronkopleural dan empiema (Sjahriar Rasad, 2009).

6. Penatalaksanaan Medik
Tindakan pengobatan hidropneumotoraks tergantung dari luasnya
permukaan hidropneumotoraks. Tujuan dari penatalaksanaan ini yaitu
untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura, sehingga paru-paru bisa
kembali mengembang. Pada hidropneumotoraks yang kecil biasanya tidak
perlu dilakukan pengobatan, karena tidak menyebabkan masalah
pernafasan yang serius dan dalam beberapa hari udara akan diserap.
British Thoracic Society dan American College of Chest Physicians telah
memberikan rekomendasi penanganan hidropneumotoraks adalah :
a. Observasi dan pemberian tambahan oksigen.
Tindakan ini dilakukan apabila luas pneumotoraks <15% dari
hemitoraks. Apabila fistula dari alveoli ke rongga pleura telah
menutup, udara dalam rongga pleura perlahan-lahan akan diresorbsi.
Laju resorbsinya diperkirakan 1,25% dari sisi pneumotoraks perhari.
Laju resorbsi tersebut akan meningkat jika diberikan tambahan
oksigen. Observasi dilakukan dalam beberapa hari (minggu) dengan
foto dada serial tiap 12-24 jam selama 2 hari bisa dilakukan dengan
atau tanpa harus dirawat dirumah sakit. Jika pasien dirawat dirumah
sakit dianjurkan untuk memberikan tambahan oksigen. Pasien dengan
luas pneumotoraks kecil unilateral dan stabil, tanpa gejala
diperbolehkan berobat jalan dandalam 2-3 hari pasien harus control
lagi
b. Aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi
dengan atau tanpa pleurodesis..
Tindakan ini dilakukan seawal mungkin pada pasien pneumotoraks
yang luasnya>15%. Tindakan ini bertujuan mengeluarkan udara
drongga pleura (dekompresi).Tindakan dekompresi ini dapat dilakukan
dengan cara :
1) Menusukkan jarum melalui dinding dada sampai masuk rongga
pleura, sehingga tekanan udara positif akan keluar melalui jarum
tersebut.
2) Membuat hubungan dengan udara luar melalui saluran kontra
ventil, yaitu dengan :
a) Jarum infuse set ditusukkan ke dinding dada sampai masuk
rongga pleura, kemudian ujung pipa plastik dipangkal saringan
tetesan dipotong dan dimasukkan ke dalam botol berisi air
kemudian klem dibuka, maka akan timbul gelembung-
gelembung udara didalam botol.
b) Jarum abbakoth no 14 ditusukkan ke rongga pleura dan setelah
mandarin di cabut, dihubungkan dengan pipa infuse set,
selanjutnya.
c) Water sealed drainage (WSD)
Pipa khusus (kateter urin) yang steril dimasukkan kerongga
pleura dengan perantaraan trokar atau klem penjepit. Sebelum
trokar dimasukkan ke rongga pleura, terlebih dahulu dilakukan
insisi kulit pada ruang antar sela iga ke enam pada linea
aksilaris media. Insisi kulit juga bisa dilakukan pada ruang
antar iga kedua pada linea mid klavikula. Sebelum melakukan
insisi kulit, daerah tersebut harus dibersihkan cairan disinfektan
dan dilakukan injeksi anastesi local dengan lidokain atau
prokain 2% dan kemudian ditutup dengan kain duk steril.
Setelah trokar masuk kedalam rongga pleura, pipa khusus
(kateter urin) segera dimasukkan ke rongga pleura dan
kemudian trokar dicabut sehingga hanya pipa khusus itu yang
masih tinggal di ruang pleura.
Pemasukan pipa khusus tersebutdiarahkan ke bawah jika
lubang insisi kulitnya ada diruang antar iga kedua. Pipa khusus
atau kateter tersebut kemudian dihubungkan dengan pipa yang
lebih panjangdan terakhir dengan pipa kaca yang dimasukkan
ke dalam air di dalam botol. Masuknya pipa kaca ke dalam air
sebaiknya 2 cm dari permukaan air, supaya gelembung udara
mudah keluar. Apabila paru sudah mengembang penuh
dantekanan rongga pleura sudah negative, maka sebelum
dicabut dilakukan uji coba dengan menjepit pipa tersebut
selama 24 jam.
Tindakan selanjutnya adalah melakukan evaluasi dengan
foto dada, apakah paru mengembang dan tidak mengempis lagi
atau tekanan rongga pleura menjadi positif lagi. Apabila
tekanan rongga pleura menjadi positif lagi maka pipa tersebut
belum dapat dicabut. Bilaparu sudah mengembang maka WSD
dicabut. Pencabutan WSD dilakukan saatpasien dalam keadaan
ekspirasi maksimal
3) Torakoskopi dengan pleurodesis dan penanganan terhadap adanya
bleb/bulla4.
4) Torakotomi
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
1. Pengkajian Emergency dan Kritis
a. Primary Survey (Afif Muttaqin, 2008)
1) Airway
a) Assessment :
Perhatikan patensi airway dengan, Kaji dan pertahankan jalan
nafas, lakukan head tilt, chin lift jika perlu, gunaka alat bantu
jalan nafas jika perlu, pertimbangkan untuk merujuk ke ahli
anastesi untuk dilakukan intubasi jika tidak mampu
mempertahankan jalan nafas, dengar suara napas, perhatikan
adanya retraksi otot pernapasan dan gerakan dinding dada
b) Management :
Inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh, lakukan chin-
lift dan jaw thrust, hilangkan benda yang menghalangi jalan
napas, observasi dan Pemberian O2 apabila fistula yang
menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah menutup,
maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan
diresorbsi, laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila
diberikan tambahan O2, Observasi dilakukan dalam beberapa
hari dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2
hari, tindakan ini terutama ditujukan untuk pneumotoraks
tertutup dan terbuka re-posisi kepala, pasang collar-neck
lakukan cricothyroidotomy atau traheostomi atau intubasi (oral
/ nasal)
2) Breathing
a) Assesment
Periksa frekwensi napas, perhatikan gerakan respirasi, palpasi
toraks, auskultasi dan dengarkan bunyi napas, Kaji saturasi
oksigen dengan menggunakan pulse oximeter, pertahankan
saturasi > 92%, berikan oksigen dengan aliran tinggin melalui
non re-breath mask, pertimbangkan untuk menggunakan bag-
valve-mask ventilation, periksakan gas darah arteri untuk
mengkaji PaO2 dan PaCO2, kaji respiratory rate, periksa sistem
pernafasan, cari tanda deviasi trachea, deviasi trachea
merupakan tanda tension pneumothorak
b) Management:
Lakukan bantuan ventilasi bila perlu, lakukan tindakan bedah
emergency untuk atasi tension pneumotoraks, open
pneumotoraks, hemotoraks, flail chest.
3) Circulation
c) Assesment
Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi, periksa
tekanan darah, pemeriksaan pulse oxymetri, periksa vena leher
dan warna kulit (adanya sianosis), kaji heart rate dan rhytem,
catat tekanan darah, lakukan pemeriksaan EKG, lakukan
pemasangan IV akses, lakukan pemerikasaan darah vena untuk
pemeriksaan darah lengkap dan elektrolit
d) Management
Resusitasi cairan dengan memasang 2 iv lines, torakotomi
emergency bila diperlukan, operasi eksplorasi vaskular
emergency
4) Disability
Lakukan pengkajian tingkat kesadaran dengan menggnakan
pendekatan GCS, adanya nyeri.
Tingkat Kesadaran secara kualitatif :
a) Composmentis : Reaksi segera dengan orientasi sempurna,
sadar akan sekeliling, orientasi baik terhadap orang tempat dan
waktu.
b) Apatis : Terlihat mengantuk saat terbangun klien terlihat acuh
tidak acuh terhadap lingkungannya.
c) Confuse : Klien tampak bingung, respon psikologis agak
lambat.
d) Samnolen : Dapat dibangunkan jika rangsangan nyeri cukup
kuat, bila rangsangan hilang, klien tidur lagi.
e) Soporous Coma : Keadaan tidak sadar menyerupai koma,
respon terhadap nyeri masih ada, biasanya inkontinensia urine,
belum ada gerakan motorik sempurna.
f) Koma : Keadaan tidak sadar, tidak berespon dengan
rangsangan.
Tingkt kesadaran menurut kuantitas dengan GCS:
a) Mata (eye)
- Selalu menutup mata dengan rangsangan nyeri 1
- Membuka mata dengan rangsangan nyeri 2
- Membuka mata dengan perintah 3
- Membuka mata spontan 4
b) Motorik (M)
- Tidak berespon dengan rangsangan nyeri 1
- Eksistensi dengan rangsangan nyeri 2
- Fleksi lengan atas dengan rangsangan nyeri 3
- Fleksi siku dengan rangsangan nyeri 4
- Dapat bereaksi dengan rangsangan nyeri 5
- Bergerak sesuai perintah 6
c) Verbal (V)
- Tidak ada suara 1
- Merintih/mengerang 2
- Dapat diajak bicara tapi tidak mengerti 3
- bicara atau jawaban kacau 4
- Dapat berbicara, orientasi baik 5
Penurunan kesadaran merupakan tanda pertama pasien dalam
perburukan dan membutuhkan pertolongan di ICU
5) Exposure
Pada saat pasien stabil kaji riwayat kesehatan scara detail dan
lakukan pemeriksaan fisik lainnya
b. Secondary Survey
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan sesak seringkali datang mendadak dan semakin lama
semakin berat, nyeri dada dirasakan pada sisi yang sakit, rasa berat
dan tertekan, terasa lebih nyeri pada gerakan pernafasan.
Selanjutnya dikaji apakah ada riwayat trauma yang mengenai
rongga dada seperti peluruh yang menembus rongga dada dan paru,
ledakan yang menyebabkan peningkatan tekanan udara dan terjadi
tekanan di dada yang mendadak menyebabkan tekanan dalam paru
meningkat, kecelakaan lalulintas biasanya menyebabkan trauma
tumpul didada atau tusukan benda tajam langsung menembus
pleura.
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan apakah klien pernah menderita penyakit TB paru,
PPOM, kanker dan tumor metastase ke pleura.
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluarga perlu ditanyakan apakan pernah keluarga klien pernah
menderita penyakit yang sama.
4) Riwayat Psikososial
Meliputi perasaan klien terhadap penyakitnya, bagaimana cara
mengatasinya, serta bagaimana prilaku klien pada tindakan yang
dilakukan terhadap dirinya
5) Pemeriksaan Fisik (Doengoes, M.E. 2000)
a. Sistem Pernapasan :
Sesak napas? Nyeri, batuk-batuk.? Terdapat retraksi
klavikula/dada? Pengambangan paru tidak simetris? Fremitus
menurun dibandingkan dengan sisi yang lain? Pada perkusi
ditemukan adanya suara sonor / hipersonor / timpani,
hematotraks (redup)? Pada asukultasi suara nafas menurun,
bising napas yang berkurang / menghilang? Pekak dengan batas
seperti garis miring / tidak jelas? Dispnea dengan aktivitas
ataupun istirahat? Gerakan dada tidak sama waktu bernapas.
b. Sistem Kardiovaskuler :
Nyeri dada meningkat karena pernapasan dan batuk?
Takhikardia, lemah, Pucat, Hb turun / normal, Hipotensi atau
hipertensi.
c. Sistem Persyarafan :
Kaji 12 saraf cranial klien
a) Nervus I (Olfaktorius) : memperlihatkan gejala penurunan
daya penciuman dan anosmia bilateral.
b) Nervus II (Optikus): memperlihatkan gejala berupa
penurunan gejala penglihatan.
c) Nervus III (Okulomotorius), Nervus IV (Trokhlearis) dan
Nervus VI (Abducens), kerusakannya akan menyebabkan
penurunan lapang pandang, refleks cahaya ,menurun,
perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti
perintah, anisokor.
d) Nervus V (Trigeminus), gangguannya ditandai ; adanya
anestesi daerah dahi. Nervus VII (Fasialis), pada trauma
kapitis yang mengenai neuron motorik atas unilateral dapat
menurunkan fungsinya, tidak adanya lipatan nasolabial,
melemahnya penutupan kelopak mata dan hilangnya rasa
pada 2/3 bagian lidah anterior lidah.
e) Nervus VIII (Akustikus), pada pasien sadar gejalanya
berupa menurunnya daya pendengaran dan kesimbangan
tubuh.
f) Nervus IX (Glosofaringeus). Nervus X (Vagus), dan
Nervus XI (Assesorius), gejala jarang ditemukan karena
penderita akan meninggal apabila trauma mengenai saraf
tersebut. Adanya Hiccuping (cekungan) karena kompresi
pada nervus vagus, yang menyebabkan kompresi
spasmodik dan diafragma.
Nervus XII (hipoglosus), gejala yang biasa timbul, adalah
jatuhnya lidah kesalah satu sisi, disfagia dan disartria. Hal ini
menyebabkan adanya kesulitan menelan. .
d. Sistem Perkemihan.
Kaji ada dan tidak adanya nya oliguri merupakan tanda pre
shock dan kaji ada tidaknya kelainan pada system perkemihan.
e. Sistem Pencernaan :
Akibat sesak napas klien mungkin akan mengalami mual
muntah dan penurunan nafsu makan dan berat badan.
f. Sistem Muskuloskeletal – Integumen
Kemampuan sendi terbatas? Ada luka bekas tusukan benda
tajam atau tidak? Terdapat kelemahan atau tidak ada? Kulit
pucat, sianosis, berkeringat, atau adanya kripitasi subkutan.
g. Sistem Endokrine :
Terjadi peningkatan metabolisme? Kelemahan.
h. Sistem Sosial / Interaksi.
Tidak ada hambatan.
i. Spiritual
Kaji adanya ansietas, gelisah, bingung, pingsan

c. Tertiyeri Survey
1. Foto Rontgen Gambaran radiologis yang tampak pada foto
rontgen kasus hidropneumotoraks antara lain:
a) Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang
kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru.
Kadang-kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis,
akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru.
b) Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa
radio opaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini
menunjukkan kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps
paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas
yang dikeluhkan.
c) Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat,
spatium intercostals melebar, diafragma mendatar dan
tertekan ke bawah. Apabila ada pendorongan jantung atau
trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah
terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang
tinggi.
d) Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi
keadaan sebagai berikut
1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam
pada tepi jantung, mulai dari basis sampai ke apeks.
Hal ini terjadi apabila pecahnya fistel mengarah
mendekati hilus, sehingga udara yang dihasilkan akan
terjebak di mediastinum.
2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam
dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan
dari pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak
di mediastinum lambat laun akan bergerak menuju
daerah yang lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher
terdapat banyak jaringan ikat yang mudah ditembus oleh
udara, sehingga bila jumlah udara yang terjebak cukup
banyak maka dapat mendesak jaringan ikat tersebut,
bahkan sampai ke daerah dada depan dan belakang.
3) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka
akan tampak permukaan cairan sebagai garis datar di
atas diafragma Foto Rontegen pneumotoraks (PA), bagian
yang ditunjukkan dengan anak panah merupakan bagian
paru yang kolaps.
2. Analisa Gas Darah
Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran
hipoksemi meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak
diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang berat secara
signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.
3. CT-Scan thorax
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara
emfisema bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara
dengan cairan intra dan ekstrapulmoner dan untuk membedakan
antara pneumotoraks spontan primer dan sekunder.

2. Diagnosa Keperawatan Emergency dan Kritis


Diagnose nanda 2012-2014 (Herdman. T. Heather 2012)
a. Ketidak efektifan perfusi jaringan kardiopulmoner berhubungan
dengan penurunan konsentrasi hemoglobin dalam darah
b. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya
ekspansi paru skunder terhadap peningkatan tekanan dalam rongga
pleura.
c. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi
sekret yang berlebihan pada jalan nafas dan penurunan reflek batuk
sekunder akibat nyeri dan keletihan.
d. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan kemampuan
ekspansi paru dan kerusakan membran alveolar kapiler
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring / imobilitas,
nyeri kronis, kelemahan umum, ketidak seimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen
3. Tujuan dan Rencana Tindakan Asuhan keperawatan Emergency dan
Kritis (Wilkinson. M. Judhit, 2006).
1) Diagnosa 1 : Ketidak efektifan perfusi jaringan kardiopulmoner
berhubungan dengan penurunan konsentrasi hemoglobin dalam darah
a. Tujuan
Setelalah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama …x24
jam diharapakan perfusi jaringan kardiopulmonal kembali efektif
dengan kriteria hasil :
1) Tekanan darah dalam batas normal (Systole 90-120 mmHg,
Diastole 60-100 mmHg)
2) Nadi dalam batas normal (60-100 x/ mnt)
3) Nadi perifer kuat dan simetris
4) Tidak ada edema perifer dan asites
5) Tidak ada bunyi jantung yang tidak normal yaitu bunyi jantung
S3 dan S4
6) Tidak ada angina
7) Tidak ada bunyi napas tambahan, distensi vena leher, edema
pulmoner atrau bising pada pembuluh darah besar
8) Tidak ada keletihan dan hipotensi ortostatik
b. Intervensi
1) Pantau nyeri dada (mis: intensitas, durasi dan faktor
predisposisi
2) Observasi adanya perubahan segmen ST pada EKG
3) Pantau frekuensi nadi dan irama jantung
4) Auskultasi bunyi jantung dan paru
5) Pantau hasil pemeriksaan koagulasi (mis: prothombin time
(PT), partial thromboplasti time (PTT) dan hitung trombosit)
6) Pantau nilai elektrolit yang dihubungkan dengan disritmia
(kalium dan magnesium serum)
7) Lakukan penilaian sirkulasi perifer yang komperhensif (mis:
cek nadi perifer, edema, pengisian kapiler, warna dan suhu
ekstremitas )
8) Pantau status cairan meliputi asupan dan haluaran
9) Evaluasi edema dan nadi perifer
10) Pantau adanya peningkatan kegelisahan, ansietas dan terengah-
engah
11) Catat perubahan SaO2, SvO2, dan perubahan nilai GDA jika
diperlukan
12) Tingkatkan istirahat (mis: natasi pengujung dan kendalikan
stimulus lingkungan)
13) Ajarkan pasien dan keluarga untuk menghindari maneuver
valsalva (mis: jangan mengedan saat defekasi)
14) Jelaskan tentang pembatasan asupan kafein, natrium,
kolestrol,dan lemak
15) Jelaskan alasan makan sedikit tapi sering
16) Kolaborasi pemberian pengobatan berddasarkan permintaan
atau protocol yang berlaku (mis: obat-obatan analgesic,
antikoagulan, nitrogliserin, vasodilator, deuretik dan
kontraktilitas / inotropik positif)
2) Diagnosa 3 : Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan
menurunnya ekspansi paru skunder terhadap peningkatan tekanan
dalam rongga pleura
a. Tujuan :
Setelalah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam
diharapakan pola napas kembali efektif dengan kriteria hasil :
1) Ekspansi paru optimal dan simetris kanan kiri
2) Tidak ada sesak napas
3) RR dalam batas normal (16-20x/mnt)
4) Irama teratur
5) Bunyi nafas terdengar jelas
6) Pergerakan dada simetris
7) Pada foto torak adanya pengembangan paru.
b. Intervensi :
1) Kaji frekuensi napas, irama, kedalaman dan usaha berb=napas
klie
2) Observasi adanya pola napas abnormal seperti
bradipnea,takipnea dan hiperventilasi
3) Monitor hasil rongent
4) Catat pergerakan dada dan penggunaan otot bantu pernapasan
5) Auskultasi suara napas dan catat adanya suara napas tambahn
6) Berikan pasien posisi semi fowler/fowler
7) Ajarkan cara napas dalam yang efektif
8) Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang indikasi pemberian
oksigen dan tujuannya
9) Kolaborasi : Pemberian terapi oksigen sesuai indikasi dan obat
bronkodilator
10) Monitor aliran oksigen, keefektifan terapi oksigen, dan monitor
adanya kecemasan pasien terhadap oksigen.
3) Diagnosa 2 : Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
akumulasi sekret yang berlebihan pada jalan nafas dan penurunan
reflek batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
a. Tujuan :
Setelalah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam
diharapakan bersihan jalan napas kembali efektif dengan kriteria
hasil :
1) Tidak sesak napas
2) Suara napas bronkovesikuler
3) RR dalam batas normal (16-20x/mnt)
4) Dahak dapat keluar
5) Batuk efektif
b. Intervensi
Manajemen jalan napas
1) Kaji kepatenan jalan napas dengan melihat pengembangan
dada, merasakan hembusan napas dan dengarkan adanya suara
napas tambahan (gurgling, snoring, stridor)
2) Monitor status hemodinamik dan status oksigenasi
3) Kaji perlunya dilakukan suction
4) Lakukan pengisapan/suction dengan prinsip 3A (aseptic,
asionotik, atraumatik)
5) Auskultasi bunyi napas sebelum dan sesudah dilakuknnya
suction
6) Bersihakan secret dengan menganjurkan batuk efektif atau
pengisapan
7) Alih baring sesuai indikasi
8) Ajarkan cara mengeluarkan sputum dengan batuk efektif
9) Edukasi pentingnya dilakukan suction
10) Jelaskan pada pasien dan keluarga tujuan dari tindakan dan
pengobatan serta alat bantu yang digunakan (missal ventilator,
oksigen, pengisapan)
Kolaborasi
1) Berikan nabulasi ultrasonic sesuai indikasi
2) Laporkan perubahan sehubungan dengan pengkajian data
(misal bunyi napas, sputum, efek dari pengobatan)
3) Lakukan pemeriksaan laboratorium sputum
4) Diagnosa 4 : Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan
penurunan kemampuan ekspansi paru dan kerusakan membran alveolar
kapiler
a. Tujuan :
Setelalah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam
diharapakan pertukaran gas adekuat dengan kriteria hasil :
1) Tidak sianosis
2) Kesadaran komposmentis
3) Hasil AGD dalam batas normal
4) RR normal (16-20x/mnt)
5) Tidak ada nyeti dada, pusing maupun malaise
b. Intervensi
Manajemen asam basa
1) Kaji frekuensi, kedalaman dan kemudahan pernapasan
2) Pertahankan kepatenan jalan napas dan terapi IV
3) Monitor status hemodinamik (Tanda vital dan saturasi O2
secara continue) dan tingkat kesadaran
4) Monitor gambaran seri AGD dan elektroklit
5) Observasi warna kulit, membran mukosa, kuku dan adanya
dispnea
6) Auskultasi bunyi napas abnormal, suara napas tambahan dan
adanya sianosis perifer
7) Catat adanya cianosis perifer
8) Berikan posisi yang nyaman untuk memaksimalkan potensial
ventilasi
9) Berikan posisi semiforler atau posisi yang mengurangi dispnea
10) Bersihakan secret dengan menganjurkan batuk efektif atau
pengisapan
11) Alih baring sesuai indikasi
12) Ajarkan cara mengeluarkan sputum dengan batuk efektif
13) Jelaskan pada pasien dan keluarga tujuan dari tindakan dan
pengobatan serta alat bantu yang digunakan (missal ventikator,
oksigen, pengisapan)
Kolaborasi
1) Berikan oksigen yang dilembabkan sesuai indikasi
2) Berikan bronkodilator sesuai dengan keperluan
3) Berikan nabulasi ultrasonic sesuai indikasi
4) Pasang ventilasi mekanik bila diperlukan
5) Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan akan
pemeriksaan gas darah srteri dan penggunaan alat bantu yang
dianjurkan sesuai dengan adanya perubahan kondisi pasien
6) Laporkan perubahan sehubungan dengan pengkajian data
(misal bunyi napas, pola napas, analisa gas darah arteri,
sputum, efek dari pengobatan)
5) Diagnosa 5 : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring /
imobilitas, nyeri kronis, kelemahan umum, ketidak seimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen
a. Tujuan :
Setelalah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam
diharapakan toleransi aktivitas epektif dengan kriteria hasil :
1) Klien mampu melakukan perawatan diri dengan mandiri
2) Kliem mampu menyeimbangkan aktivitas dan istirahat
3) Tingkat daya tahan adekuat untuk beraktivitas
4) TTV dalam batas normal (TD: 90-120 mmHg 60-100 mmHg,
Nadi: 60-100 x/ mnt, RR: 12-20 x/ mnt)
5) Tidak ada sesak nafas
b. Intervensi
1) Kaji respon emosi, social, dan spiritual terhadap aktivitas
2) Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan
aktivitas
3) Pantau respon kardiorespiratori terhadap aktivitas (mis:
takikardia, disritmia lain, dispnea, diaforisis, pucat, tekanan
hemodinamik, dan frekuensi respirasi)
4) Pantau respon oksigen pasien (mis: nadi, irama jantung dan
rekuensi respirasi) terhadap aktivitas perawatan diri
5) Pantau asupan nutrisi untuk memastikan keadekuatan sumber-
sumber energy
6) Pantau dan / dokumentasikan pola istirahat pasien dan lamanya
waktu tidur
7) Tentukan penyebab keletihan (mis: karena penyebab
pengobatan, nyeri dan perawatan)
8) Bantu pasien untuk mengubah posisi secara berkala,
bersandarduduk, berdiri dan ambulasi yang dapat di toleransi
9) Hindari menjadual aktivitas perawatan selama periode istirahat
10) Hindari lingkuangan yang mempunyai konsentrasi oksigen
rendah (misal: pada daerah dataran tinggi, dan pada cuaca yang
panas)
11) Minimalkan stres dan ansietas
12) Cegah hipotermi dan hipertermia serta infeksi
13) Berikan istirahata yang adekuat
14) Batasi rangsangan lingkungan (seperti cahaya dan kebisingan)
untuk memfasilitasi relaksasi
15) Ajarkan pada pasien dan keluarga tentang tekhenik perawatan
diri yang akan menimbulkan konsumsi oksigen (memantau diri
dan tekhenik berjalan untuk melakukan AKS)
16) Ajarkan pengaturan aktivitas dan tekhenik menejmen waktu
untuk mencegah kelelahan
17) Instruksikan kepada pasien dan keluarga dalam penggunaan
peralatan seperti oksigen selama aktivitas, penggunaan
tekhenik relaksasi (missal: tekhenik distraksi, visualisasi
selama aktivitas)
18) Kolaborasi dalam pemberian anti nyeri sebelum latihan
aktivitas
19) Kolaborasi dengan ahli terapi okupasi fisik dan / rekriasi untuk
merencanakan dan memantau program aktivitas sesuai dengan
kebutuhan
20) Rujuk pada hali gizi untuk merencanakan makanan untuk
meningkatkan asupan makanan yang tinggi energi
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mukti dkk (2009) Pedoman Diagnosis dan Terapi lab ilmu penyakit paru
RSUD Dr Soetomo Surabaya. Surabaya

Afif Muttaqin, (2008). Asuhan Keperawatan klien dengan gangguan sistem


pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.

Alsagaf Hood dan Mukti Abdul H, (2002). Dasar-Dasar Ilmu Diagnostik Fisik
Paru. Surabaya: Airlangga.

Alsagaff Hood, (2010), Dasar Ilmu Penyakit Paru, Jakarta: EGC

Amirulloh R. Penatalaksanaan Pneumotoraks di Dalam Praktek. http://www.

Budi Swidarmoko, Agus dwi Susanto. (2010). Pulmonologi Intervensi dan Gawat
Darurat Nafas. Jakarta: FK UI.

Carpenito,L.J (2008) Buku Saku Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta: EGC

Darmanto Djojodibroto, 2009, Respirologi, Jakarta: EGC

Doengoes, M.E. (2000). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi


3. Jakarta: EGC.

Herdman. T. Heather (2012). NANDA International Diagnosis Keperawatan


Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC

Kahar Kusumawidjaja, (2008), Pleura dan Mediastinum, Radiologi diagnositik,


kalbe.co.id. [diakses tanggal 01 Oktober 2012]

Mansjoer dkk, (2007). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi-3 Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius.

Sjahriar rasad, (2009), Radiologi Diagnostik, Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Wilkinson. M. Judhit, (2006).Buku Saku Diagnosis Keperawatan Dengan


Intervensi NIC dan Kreteria Hasil NOC. Edisi-7. Jakarta: EGC

Hudak, C.M. (2010) Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC

Vous aimerez peut-être aussi