Vous êtes sur la page 1sur 51

1

1. BAYI NORMAL

Bayi baru lahir atau (BBL) dengan kondisi normal merupakan dambaan setiap pasangan
orangtua. Sebagian besar BBL (Kurang lebih 80%). Akan lahir dengan kondisi normal. Hal ini
sebagain besar merupakan kelanjutan keberhasilan hasil konsepsi dan indikator pelayanan
kesehatan maternal-neonatal yang baik atau berkualitas. Namun ada kalanya bayi yang lahir
dalam keadaan normal dalam perjalanan hidup kemudian bermasalah. Untuk itu diperlukan
kecermatan dan perhatian dalam perawatan BBL, meskipun terlahir normal.
1.1 KRITERIA BAYI NORMAL
 Masa gestasi cukup bulan : 37-40 mingggu
 Berat lahir 2500-4000 gram
 Lahir tidak dalam afiksia : lahir menangis keras, nafas spontan dan teratur (skor
apgar menit pertama lebih dari 7
 Tidak terdapat kelainan congenital berat.
1.2 LANGKAH PROMOTIF/ PREVENTIF
 Mempersiapkan kehamilan ibu yang baik dengan memperhatikan status nutrisi,
kesehatan dan kesejahteraan ibu hamil.
 Melaksanakan perawatan antenatal yang teratur.
 Melakukan perawatan perinatal esensial.
 Mencegah persalinan permatur.
 Melakukan resusitasi dengan baik dan benar.
1.3. LANGKAH DIAGNOSTIK
1.3.1 Anamnesis
 Riwayat antenatal yang teratur.
 Riwayat HPHT (hari pertama haid terakhir.
 Riwayat kehamilan ibu baik : tidak ada dm, preklampsia/eklampsia, hipertensi,
perdarahan anterpartum.
 Riwayat persalinan normal.
2

1.3.2.1 Pemeriksaan fisis


 Berat lahir 2500- 4000 gram.
 Tidak dijumpai tanda-tanda prematuritas.
 Bayi bugar : menangis keras, tonus otot baik, kulit kemerahan dan denyut jantung >
100x/menit.
 Tidak dijumpai kelainan congenital.
1.3.3 Pemeriksaan penunjang
Biasanya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang, kecuali dalam keadaan ragu dan
atau menghitung masa gestasi, maka dapat dilakukan pemeriksaan skor ballrad atau
dubowitz.
1.4. TERAPI
1.4.1. Manajemen BBL
 Perawatan neonatal esensial pasca persalinan yang bersih dan aman, serta inisiasi
pernapasan spontan (resusitasi) dilanjutkan dengan :
˗ Stabilisasi suhu atau jaga agar suhu badan bayi tetap hangat dengan jalan
membungkus badan dengan kain, selimut atau pakaian yang kering dan hangat ,
memakai tutup kepala atau melakukan inisiasi menyusui dini (IMD) tidak
memandikan sebelum berumur 6 jam.
˗ Pemberian ASI dini dan eksklusif , dimulai pada 30 menit pertama.
˗ Pencegahan terhadap infeksi.
 Pemberian vitamin K1 secara intramuscular atau oral, dosis injeksi 1 mg/IM sekali
pemberian atau oral 2 mg sekali pemberian atau 1 mg 3 kali pemberian ( saat lahir,
umur 3-10 hari dan umur 4-6 minggu).
 Perawatan mata dengan memberikan tetes mata antibiotika tetrasiklin atau
kloramfonikol.
 Perawatan tali pusat dengan menjaga kebersihan dan menjaga agar tali pusat kering
tidak lembab.
 Pemberian vaksin polio dan hepatitis B pertama.
1.5. PEMANTAUAN (MONITORING)
1.5.1 Terapi
 Bayi normal biasanya tidak memerlukan terapi lebih lanjut.
3

1.5.2 Pemantauan lain


Meskipun bayi normal , tetap dipantau selama minimal 6 jam untuk melihat
kemungkinan timbulnya bahaya, terutama hipotermia dan hipoglikemia serta gangguan
nafas.
1.5.3 Pemantauan tumbuh kembang
 Perlu kunjungan tindak lanjut pada bidan atau dokter.
 Pemberian imunisasi bcg pada usia 1-2 bulan.
 Periksa teratur diklinik tumbuh kembang , posyandu, puskesmas , bidan atau dokter
praktek untuk memantau tumbuh kembangnya.

2. PENYAKIT MEMBRAN HIALIN

Penyakit membaran hialin (PMH) merupakan salah satu penyebab gangguan napas pada
bayi baru lahir akibat defisiensi sufaktan . gangguan napas pada bayi baru lahir ini merupakan
sindorma yang terdiri dari salah satu atau lebih gejala sebagai berikut : pernapasan terlalu cepat
>60x/menit, sianosis, tarikan dinding dada, dan merintih, pmh terjadi pada sekitar 25% neonates
yang lahir pada usia kehamilan ≤ 32 minggu. Insiden meningkat dengan dengan semakin
prematurnya nenonatus.
2.1. LANGKAH PROMOTIF/PREVENTIF
 Mencegah persalinan premature.
 Pemberian terapi kortikosteroid antenatal pada ibu dengan ancaman persalinan
premature.
 Melakukan pertolongan persalinan yang bersih dan aman.
 Mencegah asfiksia neonatorum.
 Melakukan resusitasi dengan benar.
 Melakukan tindakan pencegahan infeksi.
 Mengelola Ibu DM dengan baik.
2.2.1. LANGKAH DIAGNOSTIK
2.2.2. Anamnesis
 Riwayat kelahiran kurang bulan, ibu DM.
 Riwayat persalinan yang mengalami asfiksia perinatal (gawat janin).
4

 Riwayat kelahiran saudara kandung dengan penyakit membrane hialin.


2.2.3. Pemeriksaan fisik
 Gejala Biasanya Dijumpai Dalam 24 Jam Pertama Kehidupan.
 Dijumpai Sindroma Klinis Yang Yang Terdiri Dari Kumpulan Gejala :
o Sesak Napas, Dengan Frekuensi Napas >60x/Menit, Apnu Atau Megap-Megap.
o Grunting Atau Merintih.
o Retraksi Dinding Dada.
o Kadang Dijumpai Sanosis (Pada Sushu Kamar ).
 Perhatikan Tanda Prematuritas.
 Kadang Ditenukan Hipotensi, Hipotermia,Edema Perifer, Edema Paru-Paru.
 Perjalanan Klinis Bervariasi Sesuai Dengan Beratnya Penyakit, Besarnya Bayi,
Adanya Infeksi Dan Derajat Dari Pirau Pda.
 Penyakit Bisa Menetap Atau Menjadi Progresif Setelah 48-96 Jam Pertama
Kehidupan.
2.2.3. Pemeriksaan penunjang
 Foto toraks posisi AP dan lateral, bila memungkinkan dilakukan secara serial.
Gambaran radiologis dapat memberi gambaran penyakit membrane hialin .
Terdapat 4 stadium:
Stadium 1 : pola retikulogranulair
Stadium 2 : 1+ air brochohogram
Stadium 3 : 2+ batas jantung paru kabur
Stadium 4 : 3+ white lung
 Laboratorium
 Darah : Hb, Ht, darah tepi, kultur darah pada kecurigaan penemonia.
 Bila fasilitas tersedia dapat dilakukan pemeriksaan analisa gas darah yang biasanya
memberi hasil : hipoksia, asidosis metabolik/ respiratorik atau kombinasi dan saturasi
oksigen yang tidak normal.
 Rasio lesitin/sfingomielin (L/S ratio <2:1).
 Shake test (test kocok) jika tak ada gelembung, resiko tinggi untuk terjadinya PMH
(60%).
5

2.3. TERAPI
2.3.1. Medikamentosa
a. Manajemen Umum
 Jaga jalan nafas tetap bersih dan terbuka.
 Terapi oksigen sesuai dengan kondisi dan ketersediaan alat.
o Nasal keteter
o Sungkup
o Nasal prong
o Head box
o Oksgen inkubator
o Nasal CPAP
o ventilator mekanik
 Jaga kehangatan.
 Pemberian infuse cairan intravena dengan dosis rumatan.
 Pemberian nutrisi diutamakan pemberian asi bila memungkin.
 Antibiotik : lihat tata laksana sepsis neonatorum.
b. Manajemen khusus
Diperlukan bila memenuhi persyaratan pemberian surfaktan, tersedia
surfakatan dan fasilitas NICU.
2.3.2. Surfaktan
Surfaktan diberikan dalam 4 jam pertama jika terbukti bayi mengalami penyakit
memberane hialin dosis : 4 ml/kgbb, intratrakea, terbagi dalam 4 dosis masing-masing 1
ml/kg berat badan, bila diperlukan dosis dapat diulang setelah minimal 6 jam. Selama
pemberian surfaktan dapat terjadi obstruksi jalan napas yang disebabkan oleh viskositas
obat. Efek samping dapat berupa perdarahan dan infeksi paru.
2.3.3. Bedah
Tindakan bedah dilakukan jika timbul komplikasiyang bisa bersifat fatal seperti
pneumotoraks, poneumomediastium, empisema sub kutan.
Tindakan yang segera dilaksanakan adalah mengurangi tekanan rongga dada dengan
pungsi toraks, bila gagal dilakukan drainase.
6

2.4. PEMANTAUAN (MONITORING)


2.4.1. Terapi
 Dipantau efektifitas terapi dengan memperhatikan perubahan gejala klinis yang
terjadi.
 Setelah bkb/bblr melewati masa krisis yaitu kebutuhan oksigen sudah terpenuhi
dengan oksigen ruangan /atmosfer, suu tubuh bayi sudah stabil diluar inkubator, bayi
dapat menyusu, ibu bisa merawat dan mengenali tanda-tanda sakit pada bayi dan
tidak ada komplikasi atau penyulit maka bayi dapat berobat jalan.
2.4.2. Tumbuh kembang
 Bayi yang menderita gangguan napas dan berhasil hidup tanpa komplikasi maka
proses tumbuh kembang anak selanjutnya tidak mengalami gangguan.
 Tetapi apabila timbul komplikasi (hiposia serebri, gagal ginjal, keracunan o2,
epilepsy maupun komplikasi palsi cerebral, dll) maka tumbuh kembang nak tersebut
akan mengalami gangguan dari yang ringan sampai yang berat termaksud gangguan
pengelihatan, sehingga diperlukan pemantauan berkala pada masa balita.

3. ASFIKSIA NEONATORUM

Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat lahir
atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan keadaan Pa02 didalam darah rendah
(hipoksemia), hiperkarbia (PaCO2 meningkat ) dan asidosis.
 Kejadian : sekitar 25,2% bayi baru lahir menderita asfiksia di RS propinsi di Indonesia
(Jawa Barat).
 Angka kematian sekitar 41,94% di RS pusat rujukan propinsi.
 Penyebab Asfiksia dapat berasal dari Ibu, janin dan palsenta.
 Asfiksia perinatal dapat terjadi selama antepatrum, intrapartum, maupun postpartum.
3.1. LANGKAH PROMOTIF/PREVENTIF
 Pemeriksaan kehamilan yang berkulaitas secara teratur.
 Meningkatkan status nutrisi ibu.
 Manajemen persilan yang baik dan benar.
7

 Melaksanakan pelayanan neonatal esensial terutama dengan melakukan resusitasi


yang baik dan benar yang sesuai standar.
3.2. LANGKAH DIAGNOSTIK
3.2.1. Anamnesis
 Gangguan atau kesulitan waktu lahir (lilitan tali pusat, sungsang, ekstrasi vakum,
ekstrasi forsep, dll).
 Lahir tidak bernafas/ menangis.
 Air ketuban bercampur mekonium.
3.2.2. Pemeriksaan fisis
 Bayi tidak bernapas atau megap-megap.
 Denyut jantung kurang dari 100x/menit.
 Kulit sianosis, pucat.
 Tonus otot menurun.
3.2.3. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium : Analisa gasa darah, menunjukan hasil :
 Pa02< 50 mm H20
 PaC02> 55 mm H20
 Ph<7.30
3.3. TERAPI
3.3.1. Resusitasi (Tahapan Resusitasi Liahat Bagian)
Begitu bayi lahir tidak menangis , maka dilakukan langkah awal yang terdiri dari :
 Hangatkan bayi dibawah pemancar panas.
 Posisikan kepala bayi sedikit ekstensi.
 Isap lender dari mulut kemudian hidung..
 Keringkan bayi sambil merangsang taktil dengan menggosok punggung atau
menyentil ujung jari kaki dan mengganti kain yang basah dengan yang kering.
 Reposisi kepala bayi.
 Nilai bayi : usaha, warna kulit dan denyut jantung.
 Bila bayi tidak bernapas lakukan ventilasi tekanan postif (VTP) dengan memakai
balon dan sungkup selama 30 detik dengan kecepatan 40-60 ksli per menit.
8

 Nilai bayi : usaha, warna kulit dan denyut jantung.


 Bila belum bernapas dan denyut jantung <60 x/menit lanjutkan VTP dengan
kompresi dada secara terkoordinasi selama 30 detik.
 Nilai bayi : usaha, warna kulit dan denyut jantung.
 Bila denyut jantung <60 x/menit beri epinefrin dan lanjutkan VTP dan kompresi
dada.
 Bila denyut jantung <60 x/menit kompresi dada dihentikan , VTP dilanjutkan.
 Pemasangan pipa ET bisa dilakukan pada setiap tahapan resusitasi.
 Selanjutnya liat bagian.
3.3.2. Terapi medikamentosa
Epinefrin
Indikasi :
 Denyut jantung bayi <60x/menit setelah paling tidak 30 detik dilakukan ventilasi
adekuat dan kompresi dada belum ada respon.
 Asistolik.
Dosis :
0,1-0.3 ml/kgbb dalam larutan 1:10000 9o,01 mg-0,03 mg/kgbb) cara :i.v endotrakeal.
Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu.
Volume ekspander
Indikasi :
 Bayi baru lahir yang dilakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan tidak ada
respon dengan resusitasi.
 Hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok, klinis ditandai
adanya pucat, perfusi buruk, nadi kecil/ lemah, dan pada resusitasi tidak
memberikan respon yang adekuat.
Jenis cairan :
 Larautan klistoroid isotonis (NaCl 0,9%, ringer laktat ). Dosis : awal 10 ml atau/
kgBB i.v pelan selama -10 menit. Dapat dilualng sampai menunjungkan respon
klinis.
 Transfuse darah golongan o negative juga diduga kehilagan banyak darah.
9

Bikarboant.
Indikasi :
 Asidosis metabolik, bayi-bayi baru lahir yang mendapatkan resusitasi. Diberikan
bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik.
 Menggunakan biakrbonat pada keadaan asidosis metabolic dan hiperkalimea
harus disertai dengan pemeriksaan analisa gas darah dan kimiawi.
Dosis:
1-2 mEq/kgBB atau 2 ml/kgBB (4,2%) atau 1 ml/kgBB (8,4%).
Cara :
Diencerkan dengan aquabides atau dekstrosa 5% samabanyak diberikan secara
intravena dengan kecepatan minimal 2 menit.
Efek samping :
Pada keadaan hiprosmolaritas, kandungan CO2 dari bikarbonat dapat merusak fungsi
miokardium dan otak.
Nalokson
Nalokson hidrochlorida adalah antagonis narkotik yang tidak menyebabkan depresi
pernapasan.
Indikasi :
 Depresi pernapasan pada bayi baru lahir yang ibunya meggunakan narkotik 4 jam
sebelum persalinan.
 Sebelum diberikan nalakson ventilasi harus adekuat dan stabil.
 Jangan diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya baru dicurigai sebagai pemakai
obat narkotika sebab akan menyebabkan tanda whit drawl tiba-tiba pada
sebagaian bayi.
Dosis : 0,1 mg/kgBB (0,4 mg/ml atau 1 mg/ml)
Cara : i.v , edoktrakear atau bila perfusi baik diberikan i.m atau s.c.
3.3.3. Bedah
Tidak ada tindakan bedah pada kasus bayi baru lahir dengan asfeksia.
3.3.4. Suportif
 Jaga kehangatan.
 Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka.
10

 Koreksi gangguan metabolic ( cairan, glukosa darah dan elektrolit).


3.4. PEMANTAUAN (MONITORING)
3.4.1. Terapi
 Resusitasi dinilai berhasil bila telah terjadi pernapasan spontan dan teratur serta kulit
kemerah-merahan.
 Resusitsi dinilai jika : bayi tidak bernapas spontan dan tidak terdengar denyut jantung
setelah dilakukan resusitasi secara efektif selama 10 menit.
3.4.2. Tumbuh kembang
 Pada bayi-bayi baru kahir yang mengalami asfiksia berat, setelah pulang dari RS
perlu pemnatauan selanjutnya dipoliklinik neonatologi selama bulan pertama dan
selanjutnya dipoliklinik tumbuh kembang untuk memantau tumbuh kembang selama
masi bayi maupun balita.
 Pasca perawatan bayi yang mendapatkan terapi ventilasi mekanik terutama yang
lebih dari 2 minggu, rujuk kedokter mata atau RS matauang untuk mengetahui ada/
tidaknya komplikasi di retina (retinopathy of prematury) dan konsultasi ke spesialis
THT untuk kemungkinan gangguang pendengaran.
 Bayi-bayi yang ada gejala sisa neurologis, rujuk ke unit rehabilitasi medis untuk
fisoterapi.
3.4.3. Lain-lain
 Pasca resusitasi jika byi baru lahir ada gangguan napas yang membutuhkan ventilasi
mekanik, rujuk ke RS rujukan yang ada vasilitas perawatan intensif (NICU) atau
yang ada fasilitas pemakain ventilator.
 Pemantauan tumbuh kembang lebih lanjut bila fasilita memungkinkan USG dan
scening kepala, (forensifali, pendarahan perih/intraventrikuler, hidrodsifalus ).
11

ALGORITMA RESUSITASI BAYI BARU LAHIR

Perawatan rutin
Cukup bulan? Ya. tinggal
 Berikan kehangatan
Bernafas atau menangis?
Lahir Tonus otot baik?  Pastikan jalan nafas terbuka
 Keringkan bayi
Dengan ibu
 Evaluasi kontinu
Tidak

Hangat
Jalan nafas terbuka,
Kering, stimulasi

30 detik Fj<100, napas Tidak Sesak napas Tidak


terengah-engah atau atau sianosis
apnea? persisten

Ya

60 detik
Pertimbangan PPV,monitor Pertimbangkan monitor
SPO2 SPo2 pertimbangkan CPAP

Tidak
Fj <100 ?

Ya
Pastikan ventilasi adekuat Perawatan
pertimbangkan intubasi ET Pasca-resusitasi
Tidak

FJ <60 ?

Kompresi dada
Kordinas dengan PPV

FJ < 60 ?

Epinefrin IV
12

4. SEPSIS NEONATORUM

Sepsis neonatorum merupakan sindroma klinis yang terjadi akibat invasi mikroorganisme
ke dalam aliran darah dan timbul dalam satu bulan pertama kehidupan. Sepsis neonatorum di
bedakan menjadi sepsis neonatorum awita dini (SNAD) dan sepsis neonatorum awitan lambat
(SNAL). Bakteri, virus, jamur dan protozoa dapat menyebabkan sepsis pada neonatus.
Insidennya berkisar 1-10 diantara 1000 kelahiran hidup dengan mortalitas 13-15%. Tanda awal
sepsis pada bayi baru lahir tidak spesifik, sehinnga skrining sepsis dan pengelolaan terhadap
faktor resiko perlu di lakukan. Terapi pada neonatus yang mengalami sepsis harus segera di
lakukan tanpa menggangu hasil kultur.
4.1. LANGKAH PROMOTIF / PREVENTIF
 Mencegah dan mengobati ibu demam dengan kecurigaan infeksi berat atau intra
uterin.
 Mencegah dan mengobati ibu dengan ketuban pecah dini.
 Perawatan antenatal yang baik.
 Mencegah aborsi yang berulang, cacat bawaan.
 Mencegah persalinan 12remature.
 Melakukan perolongan persalinan yang bersih dan aman.
 Mencegah anfiksia neonatorum.
 Melakukan resusitasi dengan benar.
 Melakukan tindakan pencegahan infeksi.
 Melakukan identifikasi awal terhadap faktor resiko sepsis dan pengelolaan yang
efektif.
4.2. LANGKAH DIAGNOSTIK
4.2.1. Anamnesis
 Riwayat ibu mengalami infeksi intra uterin, demam dengan kecurigaan infeksi berat
atau ketuban pecah dini.
 Riwayat persalinan tindakan, pertolongan persalinan, lingkungan persalinan yang
kurang higienis.
 Riwayat lahir asfiksia berat, bayi kurang bulan,bayi berat lahir rendah.
 Riwayat air ketuban keruh, purulen atau bercampur mekonium.
13

 Riwayat bayi malas minum dan penyakitnya cepat memberat.


 Riwayat keadaan bayi lunglai, mengantuk atau aktivitas berkurang atau iritabel/rewel,
muntah, perut kembung, tidak sadar, kejang.
4.2.2. Pemeriksaan fisis
 Keadaan umum
 Suhu tubuh tidak normal.
 Letargi atau lunglai, mengantuk atau aktivitas berkurang.
 Malas minum, sebelumnya minum dengan baik.
 Iritabel atau rewel.
 Kondisi memburuk secara cepat dan dramatis.
 Gastrointestinal
 Muntah , diare, perut kembung, hepatomigali.
 Tanda mulai muncul sesudah hari ke empat.
 Kulit
 Perfusi kurang, motling, sianosis, pucat, petikia, ruam, skelerem, ikterik.
 Neurologis
 Iritabilitas, penurunan kesadaran, kejang, ubun-ubun membonjol, kaku kuduk
sesuai dengan meningitis.
4.2.3 Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan jumlah lekosit dan hitung jenis secara serial untuk menilai perubahan
akibat infeksi , adanya lekositosis atau lakopeni, netropeni, peningkatan rasio netrofil
imatur/total (I/T)≥0,2.
 Peningkatan protein fase akut (C-reative protein) peningkatan Ig M.
 Ditemukan kuman pada pemeriksaan kultur, pengecetan gram dan darah , urin dan
cairan sebrero spinal serta dilakukan uji kepekaan kuman.
 Analisa gas darah ditemukan hipoksia, asidosis metabolik, asidosis laktat.
 Pada pemeriksaan cairan serebrosinal ditemukan peningkatan jumlah lekosit
terutama PMN , jumlah lekosit 20/ml (umur kurang dari 7 hari ) dan 10/ml (umur
lebih 7 hari ), meningkatnya kadar protein , penurunan kadar glukosa serta pada
14

pengecetan gram ditemukan kuman . Gambaran ini sesuai dengan meningitis yang
sering terjadi pada sepsis.
 Ganguangan metabolic : hipoglikemia atau hiperglikemia, asidosis metabolic.
 Peningkatan kadar bilirubin.
4.2.4 Radiologis
Pada foto dada dapat ditemukan :
 Penemonia congenital dan infeksi intrauterin : ditemukan gambaran kansolidasi
bilateral atau efusi peleura.
 Penemmonia dan infeksi intra partum : infiltrasi dan destuksi jaringan
bronkopulmoner, atelaktasis segmental, gambaran retikulogranuler difus (seperti
penyakit membrane hialin ), efusi peleura.
 Peneumonia dan infeksi postanatal : gambarannya sesuai dengan pola kuman tempat
dimana bayi di rawat.
 Pada CT scan dapat ditemukan obstruksi aliran cairan serebrospinal , infrak atau
abses. Pada ultrasonografi dapat ditemukan ventrikulitis.
Pemeriksaan lain sesuai penyakit yang menyertai.
4.3. Terapi
4.3.1. Tatalaksana umum
Pengobatan menggunakan daftar tabel temuan yang berhubungan dengan sepsis,
atau berdasarkan faktor resiko mayor dan minor.
Dugaan sepsis:
pada dugaan sepsis pengobatan ditujukan pada temuan khusus (misalnya kejang)
serta dilakukan pemantauan.
Kecurigaan besar sepsis:
A. Antibiotik
Antibiotik awal diberikan ampisin dan gentamisin, bila organisme tidak dapat di
temukan dan bayi tetap menunjukan tanda infeksi sesudah 48 jam, ampisilin diganti
dengan cetazidim atau sefotaksim disamping tetap berikan gentamisin. Jika
ditemukan organisme penyebab infeksi, digunakan antibiotik sesuai uji kepekaan
kuman. Antibiotika diberikan sampai 7 hari setelah ada perbaikan pada sepsis dengan
meningitis, pemberian antibiotik sesuai pengobatan meningitis.
15

B. Respirasi
Menjaga patensi jalan napas dan pemberian oksigen untuk mencegah hipoksia. Pada
kasus tertentu membutuhkan ventilator mekanik.
C. Kardiovaskuler
Pasang jalur IV dan beri cairan IV dengan dosis rumat serta pemantauan tensi dan
berfusi untuk cegah syok.
D. Hematologi
Tranfusi komponen darah jika diperlukan, atasi kelaian yang mendasari.
E. Tunjangan nutrisi adekuat.
4.3.2. Tata Laksana Khusus
 Pengobatan terhadap tanda khusus lain atau penyakit penyerta serta komplikasi yang
terjadi (misal : kejang, gangguan metabolik, hematologi, respirasi gastro intestinal,
kardiorespirasi, hiperbilirubinemia).
 Pada kasus tertentu dibutuhkan imunoterapi engan pemberian imunoglobulin,
antibodi monoklonal atau tranfusi tukar (bila fasilitas memungkinkan).
4.3.3. Bedah
Pada kasus tertentu misalnya hidrosefalus dengan akumulasi progesif,
enterokolitis nekrotikan, diperlukan tindakan bedah.
4.3.4. Lain-lain (rujukan subspesialis rujukan spesialisasi lainnya dll)
Pengelolaan bersamaan dengan subdivisi neurologi anak, pediatri sosial, dan
rehabilitasi medik.
4.4. PEMANTAUAN (MONITORING)
4.4.1. Terapi
 Dugaan sepsis
Pengobatan menggukan daftar tabel temuan yang berhubungan dengan
sepsis. Jika tidak ditemukan riwayat infeksi intra urerin, ditemukan satu kategori
A dan satu atau dua kategori B maka kelola untuk tanda (misalnya kejang).
Lakukan pemantauan. Jika ditemkan tambahan tanda sepsis maka dikelola sebagai
kecurigaan besar sepsis.
16

 Kecurigaan besar sepsis


Pada bayi umur sampai dengan 3 hari :
Bila ada riwayat ibu infeksi rahim, demam dengan kecurigaan berat infeksi
(lekosit>20.000/mm³, ketubahan pecah dini atau bayi memiliki dua atau lebih
kategoeri A, atau 3 atau lebih kategori B.
Pada bayi umur lebihdari 3 hari :
Bila bayi memiliki dua atau lebih temuan kategori A, tiga atau lebih temuan
kategori B. Tranfusi tukar dilakukan jika tidak ditemukan perbaikan klinis dan
laboratorium setelah pemberian antibiotik adekuat.
4.4.2. Tumbuh kembang
Komplikasi yang sering terjadi pada penderita dengan sepsis dapat menyebabkan
gangguan tumbuh kembang misalnya gejala sisa neurologis berupa retardasi mental,
gangguan penglihatan, kesukaran belajar, kelainan tingkah laku.

Tabel 1. Kelompok temuan yang berhubungan dengan sepsis


KATEGORI A KATEGORI B
1. Kesulitan bernafas (misalnya, apnea, nafas 1. temor
Lebih dari 60 x/mnt, retraksi dinding dada, 2. Letargi atau lunglai
Gunting pada waktu ekspirasi, sianosis sentral 3. Mengantuk atau aktivitas berkurang
2. Kejang 4. Iritable
3. Tidak sadar 5. Muntah (menyokong kearah sepsis)
4. Suhu tubuh tidak normal, (tidak normal sejak 6. Perut kembung (menyokong kearah sepsis)
Lahir dan tidak memberi respon terhadap 7. Tanda-tanda mulai muncul setelah hari
terapi atau suhu tidak stabil sesudah pengukuran keempat (menyokong kearah sepsis)
suhu normal selama 3 kali atau lebih, menyokong 8. Air ketuban bercampur mekonium
kearah sepeis)
5. Persalinan dilingkungan yang kurang higienis 9. Malas minum, sebelumnya minum dengan baik
(menyokong kearah sepsis) (menyokong kearah sepsis)
6. Kondisi memburuk secara cepat dan dramatis
(menyokong kearah sepsis)
17

Tabel 2. Dosis antibiotik untuk sepsis


Antibiotik Cara dosis dalam mg
pemberian hari 1-7 hari 8+
50 mg/kg 50 mg/kg
Ampisilin IV,IM setiap 12 jam setiap 8 jam
100 mg/kg 100 mg/kg
Ampisilin utk meningitis IV setiap 12 jam setiapa 8 jam
50 mg/kg 50 mg/kg
Sefotaxsime IV,IM setiapa 12 jam setiap 8 jam
50 mg/kg 50 mg/kg
Sefotaxsime utk meningitis IV (dlm 10 mnt) setiap 6 jam setiapa 6 jam
50 mg/kg 50 mg/kg
Seftazidim IV,IM setiap 12 jam setiapa 8 jam

Tabel 3. Dosis gentamisin untuk sepsis


Antibiotik cara dosis (5 mg/kg/kali)
Pemberian hari 1-7 hari 8-30 > 30 hari
Gentamisisn* IV,IM < 1200 g

(dlm 30 mnt) Setiap 48 jam setiap 36 jam setiap 24 jam


> 1200 g
Setiap 36 jam setiapa 24 jam setiap 24 jam

5. PENYAKIT PERDARAHAN PADA NEONATUS (PPN)


(haemorrhagic disease of the newborn)

Penyakit perdarahan pada neonatus (PPN/haemorrhagic disease of the newborn) adalah


penyakit perdarahan akibat kekurangan vitamin K, yang biasanya terjadi pada hari kedua sampai
keempat setelah lahir. Vitamin K beraksi pada prekursor faktor II (trombin), VII, IX, dan X
untuk mengaktifkan protein koagulan. Aktivitas biokimianya terletak pada kemampuan membuat
ikatan kalsium dengan suatu proses karboksilasi residu asam glutamat spesifik. Neonatus dalam
keadaan normal memiliki kadar prekursor protein rendah saat lahir. Bayi-bayi yang tidak diberi
18

vitamin K akan mengalami pemanjangan prothombrin time (PT) dan partial thromboplastin time
(PTT) yang progresif selama seminggu pertama kehidupan.
Insiden PPN di negara berkembang berkisar antara. 4-170 per 100.000 kelahiran.
Kasusnya jarang terdeteksi dan PPN klasik dapat sembuh sendiri. Meskipun kasus PPN termasuk
jarang, namun merupakan masalah kesehatan masyarakat karena PPN lanjut kebanyakan bersifat
fatal (14%), menyebabkan sekuele neorologis (40%) dan mengakibatkan kehilangan DALYS
(disability-adjusted-life years) yang cukup bermakna.
5.1. LANGKAH PROMOTIF/PREVENTIF
 Mengenali faktor resiko terjadinya PPN seperti :
˗ Bayi perempuan 2 kali lebih sering dibanding bayi laki-laki.
˗ Pada musim panas 2,5 kali lebih banyak dibanding pada musim dingin.
˗ Pemberian ASI ekslusif tanpa profiklasis vit.K saat lahir karena ASI mempunyai
kandungan vitamin K sangat rendah dibanding susu sapi dan susu
formula;pemberian ASI esklusif menyebabkan bakteri E.coli dalam usus rendah.
˗ Bayi-bayi yang berhenti munum per oral karena penyakit yang diderita.
˗ Pemberian antibiotik spektrum luas.
˗ Bayi dengan fibrosis kistik, atresia biliaris dan penyakit lain dengan melabsorpsi
gastrointestinal.
 Tindakan pencegahan dilakukan pada semua bayi baru lahir berupa pemberian
vitamin K1 dengan cara :
˗ Injeksi 1 mg sekali pemberian atau
˗ Oral 2 mg sekali pemberian atau 1 mg 3 kali pemberian (saat lahir, umur 3-10,
hari dan umur 4-6 minggu).

5.2 LANGKAH DIAGNOSTIK


5.2.1. Anamnesis
 Riwayat perdarahan pada tali pusat,tinja atau urin.
 Riwayat penjepitan tali pusat yang kurang baik dan kurang benar saat lahir.
 Riwayat bayi muntah, dan bercampur darah atau cairan berwarna hijau.
 Riwayat perdarahan selama hamil atau dalam proses kehamilan.
 Riwayat nafsu minum menurun.
19

 Riwayat persalinan dengan tindakan, ketuban pecah dan prematur, asfiksia.


5.2.2. Pemeriksaan fisik
 Asal perdarahan (misal: pangkal tali pusat,lokasi sirkumsisi,lokasi fungsi vena).
 Bayi tampak letargis atau tidak.
 Pucat.
 Ikterus.
 Nyeri tekan abdomen (bayi menangis keras ketika abdomen ditekan dengan lembut).
5.2.3. Pemeriksaan penunjang
 Manifestasi perdarahan.
 Angka trombosit normal.
 PT dan PTT memanjang.
 Fibrinogen, produk degradasi fibrin (FDP/D-dimer), dan waktu trombin normal.
5.2.4. Diagnosis banding
 Koagulopati.
 Enterokolitis nekrotikan.
 Kelainan bedah.
 Tertelan darah ibu (lakukan apt test).
5.3. Terapi
Umum
 Hentikan perdarahan.
 Naikan kecepatan infus cairan RL atau Nacl fisiologis IV dengan 20 ml/kg selama
satu jam pertama.
 Berikan vitamin k1, 1 mg IM sekali pada saat masuk tanpa memandang apakah bayi
telah diberi pada saat lahir.
 Bila ada tanda sok (misal pucat, terasa dinggin, denyut jantung lebih dari 180
kali/menit, kesadaran menurun), berikan tranfusi darah segera menggunakan darah
golongan o, Rhesus negatif.
 Ambil sampel darah untuk pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit serta golongan
darah dan reaksi silang bila belum dikerjakan. Bila hemoglobin kurang dari 12 g/dl
(hematokrit kurang dari 36%) dan terdapat tanda-tanda syok, berikan tranfusi darah.
20

 Periksa tanda vital bila bayi sudah stabil, selanjutnya berikan cairan sesuai kebutuhan
harian.
 Bila syok belum teratasi:
o Berikan oksigen (lihat terapi oksigen).
o Berikan infus Ringer laktat atau Nacl 0,9% dengn tetesan cepat (10 ml/kg)
dalam 10 menit, bila tidak ada perbaikan dapat diulang, sekali lagi.
5.3.2. Khusus
 Bila perdarahan tidak berhenti dalam 3 jam, tangani sebagai kasus sepsis.
 Ambil sampel darah dan periksa hemoglobin/hematokrit tiap hari, bila
hemoglobinkurang dari 12g/d1 (hematokrit kurang dari 36%), berikan tranfusi darah.
 Lakukan manajemen lanjut.
5.3.3. Suportif
 Oksigenasi.
 Pemberian cairan dan nutrisi sesuai petunjuk (lihat lampiran);
 Jaga suhu tubuh dalam batas normal.
 Pertahankan kadar gula darah dalam batas normal.
5.4. PEMANTAUAN (MONITORING)
5.4.1. Terapi
 Pastikan bahwa volume cairan total pada hari pertama (oral maupun IV) sama
dengan kebutuhan rumatan harian di tambah 10%. Gunakan kebutuhan rumatan
untuk hari-hari berikutnya.
 Periksa hemoglobin tiapa hari sampai hemoglobin stabil selama tiga hari dan
kadarnya menunjukan bayi tidak memerlukan tranfusi.
 Periksa denyut jantung dan frekuensi nafas tiap tiga jam sampai keadaan bayi stabil.
 Bila denyut jantung dan frekuensi nafas stabil, bayi dapat minum dengan baik, bayi
tidak membutuhkan transfuse dalam 48 jam terakhir, dan tidak ada masalah lain yang
membutuhkan perawatan di rumah sakit, pulangkan bayi;
 Periksa hemoglobin sekali lagi setelah satu bulan. Bila hemoglobin <8 g/dl
(hematokrit<24%), berikan tranfusi darah.
21

5.4.2. Tumbuh kembang


 Lakukan tindak lanjut setup minggu selama dua minggu setelah pasien pulang,untuk
mengamati pemberian minum dan pertumbuhannya.

Tabel 1. Kadar hemoglobin/hematokrit menurut umur, berat lahir


dan umur kehamilan
umur
kadar cukup umur bayi
kehamilan bulan
28 34 Hr 1 Hr 3 Hr 7 Hr 14
Hemoglobin (g/dl) 14,5 15,0 16,8 18,4 17,8 17,0 16,8
Hematokrit (%) 45 47 53 58 55 54 52

Tabel 2. Kadar hemoglobin menurut umur dan berat badan

Berat Lahir Umur


Minggu Kelahiran Lahir 1 2 3 4 6 8 10
<1500 g 28-32 minggu 17,5 15,5 13,5 11,5 10,0 8,5 8,2 9,0
1500-2000 g 32-36 minggu 19,0 16,5 14,5 13,0 12,0 9,5 9,5 9,5
2000-2500 g 36-40 minggu 19,0 16,5 15,0 14,0 12,5 10,5 10,5 11
2500 g cukup bulan 19,0 17,0 15,5 14,0 12,5 11,0 11,5 12,0

Tabel 3. Kadar hematokrit menurut umur dan berat badan

Berat Lahir Umur


Minggu Kelahiran Lahir 1 2 3 4 6 8 10
<1500 g 28-32 minggu 54 48 42 35 30 25 25 28
1500-2000 g 32-36 minggu 59 51 44 39 36 28 28 29
2000-2500 g 36-40 minggu 59 51 45 43 37 31 31 33
2500 g cukup bulan 59 51 46 43 37 33 34 36
22

Tabel 4. Jumlah cairan yang dibutuhkan bayi (ml/kg)


Berat (kg) Umur / hari
1 2 3 4 5+
<1500 g 60 80 100 120 150
1500-2000 g 80 100 120 140 150

6. HIPERBILIRUNEMIA NEONATAL

Hiperbilirunemia neonatal adalah penigkatan kadar bilirubin total pada minggu pertama
kelahiran. Kadar normal maksimum adalah 12-13 mg% (205-220 µmol/I). Banyak bayi yang
mengalami hiperbilirunemia dalam satu minggu pertama kehidupannya, terutama pada bayi kecil
(berat lahir ≤2500 gr atau umur kehamilan ≤37 minggu). Bila bayi mengalami masalah ini maka
resiko atau komplikasi yang harus dipertimbangkan adalah ensefalopati bilirubin (kem ikterus).
Keadaan ini dapat merupakan gejala awal dari penyakit utama yang berat pada neonatus dan bila
timbul pada hari pertama (kurang dari 24 jam) merupakaan keadaan bahaya yang harus segera
ditangani.
Meskipun demikian, sebagian besar kasus hiperbilirunemia tidak membahayakan dan
tidak memerlukan pengobatan.
6.1. LANGKAH PROMOTIF/PREVENTIF
 Pemeriksaan antenatal yang baik dan teratur.
 Bila memungkinkan: skrining golongan darah ibu dan ayah sebelum lahir.
 Bila ada riwayat bayi kuning dalam keluarga : periksa kadar G6PD.
 Melaksanakan perawatan neonatal esensial.
 Mencegah infeksi neonatal.
 Pemberian ASI eksklusif.
6.2. LANGKAH DIAGNOSTIK
6.2.1. Anamnesis
 Riwayat ibu melahirkan bayi yang lalu kuning (ikterus).
 Golongan darah ibu dan ayah (bila bayi ikterus pada hari 1).
 Riwayat ikterus hemolitik, defisiensi glukose-6 fosfat dehidrogenase (G6PD), atau
inkompabilitas faktor rhesus atau golongan darah ABO pada kelahiran sebelumnya.
23

 Riwayat anemia, pembesaran hati, atau limpa pada keluarga.


6.2.2. Pemeriksaan fisik
 Bayi tampak berwarna kuning. Amati ikterus pada siang hari dengan sinar lampu
yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih berat bila dilihat dengan sinar lampu dan bisa
tidak terlihat dengan penerangan yang kurang. Tekan kulit dengan ringan memakai
jari tangan untuk memastikan warna kulit dan jaringan subkutan:
o Pada hari pertama, tekan pada ujung hidung atau dahi.
o Pada hari-2, tekan pada lengan atau tungkai.
o Pada hari-3, dan seterusnya, tekan pada tangan dan kaki.
Gunakan tabel 1 untuk memperkirakan berat ringannya ikterus. Diagnosis banding :
 Ikterus hemolotik.
 Ikterus pada prematuritas.
 Ikterus karena sepsis.
 Ensefalopati bilirubin (kem ikterus).
 Ikterus berkepanjangan (prolonged jaundice).
6.2.3. Pemeriksaan penunjang
 Darah rutin.
 Kadar bilirubin total, direct, indirect.
 Preparat apusan darah.
 Kadar G6PD.
 Golongan darah ibu dan bayi : ABO dan Rhesus.
 Uji coombs.
6.3. TERAPI
6.3.1. Manajemen/Tata Laksana
 Mulai dengan terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus dini atau
kemungkinan ikterus berat.
 Ambil sampel darah bayi dan periksa kadar bilirubin, bila memungkinkan :
o Tentukan apakah bayi memiliki salah satu faktor resiko (berat ≤2500 gr atau
umur kehamilan ≤37 minggu, hemolisis atau sepsis).
o Bila kadar bilirubin serum dibawah kadar yang memerlukan terapi sinar,
hentikan terapi sinar.
24

o Bila kadar bilirubin serum sesuai atau diatas kadar yang memerlukan terapi
sinar, lanjutkan terapi sinar.
 Bila ada riwayat ikterus hemolitik, atau onkompatibilitas faktor Rh atau golongan
darah ABO pada kelahiran sebelumnya :
o Ambil sampel darah bayi dan ibu dan periksa kadar hemoglobin, golongan darah
bayi dan uji coombs.
o Bila tidak ada bukti faktor Rh atau golongan darah ABO sebagai penyebab
hemolisis, atau ada riwayat keluarga defisiensi G6PD, lakukan pemeriksaan
G6PD, bila memungkinkan.
 Bila hasil pemeriksaan kadar bilirubin dan uji lain telah diperoleh, tentukan
kemungkinan diagnosissnya.
6.3.2. Terapi suportif
 Minum ASI atau pemberian ASI peras.
 Infus cairan dengan dosis rumatan.
6.4. PEMANTAUAN (MONITORING)
6.4.1. Terapi
 Bilirubin pada kulit dapat menghilangkan dengan cepat dengan terapi sinar. Warna
kulit tidak dapat digunakan sebagai pentunjuk untuk menentukan kadar bilirubin
serum selama bayi mendapat terapi sinar dan selama 24 jam setelah dihentikan.
 Pulangkan bayi bila terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum dengan baik,
atau bila sudah tidak ditemukan masalh yang membutuhkan perawatan di rumah
sakit.
 Ajari ibu untuk menilai iktrus dan beri nasehat pada ibu untuk kembali bila terjadi
ikterus lagi.
6.4.2. Tumbuh kembang
 Pasca perawatan hiperbilirubinemia bayi perlu pemantauan tumbuh kembang dengan
penilaian periodik, bila diperlukan konsultasi ke subbagian neurologi anak dan
subbagian tumbuh kembang.
 Bila terjadi gangguan penglihatan, konsultasi ke bagian penyakit maka.
 Bila terjadi gangguan pendengaran, konsultasi ke bagian THT.
25

7. HOPOGLIKEMIA

Hopoglikemia adalah kondisi bayi dengan kadar glukose darah kurang dari 45 mg/dl (2,6
mmol/1) yang dapat memberi gejala (simtomatik) atau tidak memberi gejala (asimtomatis).
Biasanya terjadi pada bayi besar (makrosomia) terutama bayi dari ibu DM. Kegawatan kerjadi
pada hipoglikemia bisa berlanjut dapat menyebabkan komplikasi berupa kejang dan hipoksia,
terutama hipoksia otak.
7.1. LANGKAH PROMOTIF/PREVENTIF
 Monitor penyakit DM pada ibu dan kontrol kadar gula hamil penderita
 Lakukan tatalaksana resusitasi yang baik dan benar
 Pantau gambaran klinis bayi baru lahir dengan ibu DM
 Periksa kadar glukose pada bayi dengan ibu DM.
7.2. LANGKAH DIAGNOSTIK
7.2.1. Anamnesis:
 Ibu penderita DM sebelum dan selama kehamilan terutama DM yang terkontrol.
 Bayi mengalami kesulitan persalinan karena bayi besar.
 Bayi baru lahir dengan gejala lemas atau letargi, kadang-kadang sampai kejang.
7.2.2. Pemeriksaan fisis:
 Bayi baru lahir dengan berat lahir 4000 gram atau lebih.
 Beberapa saat sesudah lahir bayi dapat memberi gejala not doing well, lemas atau
letargi (apnea, sesak nafas).
7.2.3. Pemeriksaan penunjang
 Pemerikssan kadar glukose darah pada bayi resiko tinggi.
 Pemeriksaan urin rutin, khususnya reduksi urin pada waktu yang sama.
 Bila tersedia fasilitas, diperikasa kadar elektrolit darah.
7.3. TERAPI
7.3.1. Medikamentosa
 Bila terjadi kejang, hentikan kejang dengan fenobarbital 10-20 mg/kg IV.
 Bila terjadi gangguan nafas berupa apnea, lakukan resusitasi, bila terjadi sesak beri
oksigen nasal.
 Bila glukose darah kurang dari 45 mg/dl (2,6 mmol/ L).
26

 Pasang jalur intravena jika belum terpasang , jika jalur intravena tidak dapat
dipasang dengan cepat,berikan larutan glukose melalui pipa lambung
dengan dosis yang sama.
 Berikan glukosa 10% 2 ml/kg secara inravena bolus pelan dalam lima menit
 Infus glukose 10% sesuai kebutuhan rumatan.
 Periksa kadar glukose darah 15-30 menit setelah bolus glukose dan
kemudian tiap tiga jam:
o Jika kadar glukose darah masih kurang dari 45 mg/dl (2,6 mmol/l)
ulangi pemberian bolus glukose dan lanjutkan pemberian infus.
o Bila kadar glukose darah 45 mg/dl (2,6 mmol/l) atau lebih dalam dua
kali pemeriksaan berturut-turut, ikuti petunjuk tentang frekuensi
pemeriksaan kadar glukose darah kembali normal.
7.3.2. Suportif
 Pemberian minum ASI secara ekslusif.
7.3.3. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialis lainnya ddl)
 Bila diperlukan dapat dilakukan konsultasi ke sub bagian endokrinologi anak.
7.4. PEMANTAUAN (MONITORING)
7.4.1. Terapi
Setalah bayi lahir diberi terapi dan kadar glukose darah sudah menjadi normal,
maka dilakukan pemantauan terapi dan ulangan pemeriksaan kadar glukose sebagai
berikut :
 Jika bayi mendapatkan cairan intravena, dengan alasan apapun, lanjutkan
pemeriksaan glukose setiapa 12 jam selama bayi masi memerlukan infus.jika kadar
glukose darah kapanpun turun, tangani seperti tersebut diatas.
 Jika bayi sudah tidak lagi mendapatkan cairan IV, periksa kadar glikose darah setiap
12 jam sebanyaka dua kali pemeriksaan.
˗ Jika kapanpun glukose darah turun, tangani seperti tersebut di atas.
˗ Jika glukose darah terap normal selama waktu tertentu, maka pengukuran di
hentikan.
27

7.4.2. Tumbuh kembang


 Bila ibu menderita DM, perlu striningatau uji tapis DM untuk bayinya.
 Bila bayi menderita ke subbagian endokrinologi anak.

8. MENINGITIS NEONATAL

Meningitis pada neonatus merupakan salah satu manifestasi sepsis awitan lambat, yaitu
sepsis yang timbul antara umur 7-90 hari dan biasanya ada hubungannya dengan faktor
lingkungan. Insidens sepsis neonatal, yang didefinisikan sebagai sepsis klinis disertai dengan
bakteremia yang diketahui jenis kumanya pada umur sampai dengan 1 bulan, berkisar antara 1-
5,2 per 1000 kelahiran hidup. Insiden meningitis biasanya sekitar sepertiga dari bayi sepsis.
Angka kematian sepsis neonatal berkisar 10-30% dan meningkat menjadi dua kalinya bila
terjadi meningitis.
Organisme yang paling banyak berperan menyebabkan sindromsepsis onset lambat
adalah stafilokokus koagulase negatif, Staphylococcus Aureus, E.Coli, Klebsiella, Pseudomonas,
Enterobacter, Candida, Sreptokokus grub B, serratia, acinetobacter, dan bakteri anaerob. Kulit,
saluran napas, konjungtiva, saluran cerna dan umbilikus menjadi tempat kolonisasi kuman yang
ada disekitar, yang dapat berlanjut menjadi sepsisawitan lambat karena invasi mikroorganisme.
Sebagai perantara terjadinya kolonisasi kuman adalah kateter vaskular atau saluran kemih,atau
kontak langsung dengan petugas yang terkontaminasi.
8.1. LANGKAH PROMOTIF/PREVENTIF
 Manajemen persalinan yang bersih dan aman.
 Manajemen yang benar untuk ibu yang mengalami infeksi antepartum.
 Melakukan resusitasi dengan baik dan benar.
 Mencegah kpd (ketuban pecah dini), bila sudah terjadi, harus dilakukan manajemen
kpd yang baik dan benar.
 Mencegah persalinan prematur.
 Melakukan skrining untuk kasus risiko tinggi dengan melakukan uji serologis sifilis
(ibu atau pasangannya) selama hamil atau setelah lahir.
28

8.2. LANGKAH DIAGNOSTIK


8.2.1 Anamnesis
 Riwayat resusitasi pada bayi yang mengalami asfiksia.
 Riwayat ibu dengan infeksi intrauterin atau deman yang dicurigai sebagai infeksi
berat, atau ketuban pecah lebih dari 18 jam sebelum persalinan (ketuban pecah
dini/KPD).
 Bila ibu atau pasangannya menderita sifilis selama hamil, tanyakan apakah tidak
diobati, atau diobati secara tidak adekuat, atau tidak tahu.
8.2.2. Pemeriksaan fisis
 Tanda-tanda sepsis tidak khas dan biasanya tidak tunggal. Satu masalah tunggal
dapat ditandai atau dilambangkan dengan beberapa tanda, dan sebaliknya satu tanda
tunggal dapt menunjukan beberapa masalah.
 Keadaan umum:
˗ Suhu tubuh tidak normal.
˗ Letargi atau lunglai, mengantuk atau aktivitas berkurang.
˗ Malas minum sebelumnya minum dengan baik.
˗ Iritabel atau rewel.
˗ Kondisi memburuk secara cepat dan dramatis.
 Neurologis:
˗ Iritabilitas, penurunan kesadaran, kejang, ubun-ubun memonjol, kaku kuduk
sesuai dengan meningitis.
 Gejala lain: lihat kategori A dan kategori B pada sepsis neonatal.
8.2.3. Pemeriksaan penunjang
 Cairan sereprospinal: jumlah lekosit dan kultur cairan serebrospinal.
 Darah:
˗ Kadar hemoglobin/hematokrit.
˗ Gula darah.
˗ Elektrolit.
˗ Kultur darah.
29

8.3. Manajemen
8.3.1. Umum
 Pasang jalur intravena dan berikan cairan intravena dengan dosis rumatan.
 Jangan memberi minum bayi selama 12 jam pertama.
 Ambil sampel darah dan kirim ke laboratorium untuk pemeriksaan kultur dan
sensitivitas (bila memungkinkan) dan periksa juga hemoglobin.
 Bila terjadi kejang, hentikan kejang dengan antikonvulsan (lihat bab kejang dan
spasme pada neonatus).
 Singkirkan kemungkinan diagnosis banding untuk kejang.
 Lakukan pungsi lumbal.
8.3.2. Manajemen khusus
 Beri ampisilin dan gentamisin dengan dosis ampisilin dua kali lipat dosis yang diberi
untuk sepsis.
 Pantau dengan ketat asupan dan pengeluaran cairan.
 Bila kejang, tangani kejang.
 Anjurkan bayi menyusu ASI setelah pengobatan antibiotik selama 12 jam, atau bila
bayi mulai menunjukan perbaikan. Bila bayi tidak dapat menyusu ASI, berikan ASI
peras dengan menggunakan salah satu cara alternatif pemberian minum.
 Periksa kadar hemoglobin setiap tiga hari sesudah mulai pengobatan antibiotik
dimulai bila kapanpun dijumpai kadar hemoglobin kurang dari 10 g/dl (hematokrit
<30%), berikan tranfusi darah.
 Bila keadaan bayi membaik setelah 48 jam, lanjutkan pengobatan antibiotik.
 Bila keadaan bayi tidak membaik setelah 48 jam, ulangi fungsi lumbal.
 Bila ditemukan organisme dalam pengecatan Gram cairan serebrospinal, ganti
antibiotika sesuai dengan organisme yang ditemukan.
 Bila organisme tidak dapat ditemukan dan bayi tetap menunjukan tanda infeksi
sesudah 48 jam hentikan pemberian ampisilin dan beri sefotaksim bersama
gentamisin.
 Tidak tergantung antibiotik sampai 14 hari terhitung dari pertama kali dijumpai
perbaikan, berapa pun lamanya pemberian tersebut.
30

8.3.3. Bedah
Tindakan bedah pada kasus bayi baru lahir dengan meningitis diperlukan bila
terjadi komplikasi seperti: hidrosefalus, efusi sub-dural, dan lain-lain.
8.3.4. Suportif
 Oksigenasi, berikan oksigen bila bayi mengalami gangguan nafas (misalnya sianosis
sentral, frekuensi nafas kurang dari 30 kali/menit). Kurangi pemberian oksigen
secara bertahap untuk perbaikan gangguan nafas sampai batas terendah yang tidak
menyebabkan sianosis sentral.
 Pemberian cairan dan nutrisi sesuai petunjuk.
 Jaga suhu tubuh dalam batas normal.
 Mempertahankan kadar gula darah dalam batas normal.
8.3.5. Lain-lain
Bila terjadi komplikasi mungkin perlu konsultasi kesubbagian neurologi anak,
bagian rehabilitasi medik, bagian bedah saraf, bagian penyakit mata dan bagian THT.
8.4. PEMANTAUAN (MONITORING)
8.4.1 Perawatan lanjut kejang
 Amati bayi untuk melihat kemungkinan kejang berulang, khususnya cari kejang
subtle.
 Bila kejang berulang dalam waktu 2 hari, beri fenobarbital 5 mg/kg/hari per oral
sampai bebas kejang selama 7 hari. Bila kejang berulang setelah 2 hari bebas kejang,
ulangi pengobatan dengan fenobarbital seperti manajemen awal kejang.
 Lanjutkan pemberian cairan intravena:
˗ Batasi volume cairan sampai dengan 60 ml/kg/hari pada hari pertama.
˗ Monitor diuresis.
˗ Bila bayi kencing kurang dari 6 kali/hari, atau tidak ada produksi urine sama
sekali, jangan menambah volume cairan pada hari berikutnya.
˗ Bila jumlah urine mulai meningkat, naikkan volume cairan IV.
 Berikan perawatan umum untuk bayi
˗ Hindarkan stimulasi suara dan memegang bayi yang berlebihan.
˗ Pegang dan gerakkan bayi dengan lembut untuk menghindari trauma karena
tonus ototnya masih lemah.
31

˗ Jelaskan pada ibu bahwa fenobarbital dapat menyebabkan bayi mengantuk untuk
beberapa hari.
 Bila bayi sudah tiga jam tidak kejang, anjurkan bayi untuk menyusu ASI. Bila bayi
tidak mau menyusu ASI, beri ASI peras dengan menggukan salah satu alternatif cara
pemberian minum.
 Bila bayi mendapat fenobarbital setiapa hari:
˗ Lanjutkan fenobarbital sampai tujuh hari setelah kejang yang terakhir.
˗ Bila fenobarbital sudah dihentikan, lanjutkan amati sampai ligct uctii berikutnya.
 Jelaskan kepada ibu bahwa bila kejang sudah berhenti dan bayi dapat minum sampai
dengan umur 7 hari, kemungkinan bayi akan sembuh sempurna.
 Anjurkan ibu untuk memegang dan mengelus bayinya untuk membantu mengurangi
iritabilitas.
 Bila sudah tidak terjadi kejang selama minimal 3 hari dan ibu dapat menyusui dan
tidak dijumpai masalah yang memerlukan perawatan di rumah sakit, bayi dapat
dipulangkan.
8.4.2. Tumbuh kembang
Rencanakan kunjungan tidak lanjut setiap minggu:
 Nilai pemberian minumanya, bantu ibu untuk menemukan cara yang paling baik
untuk memberi minuman bila bayi tidak dapat menyusu. Bila bayi minum pelan
sekali, anjurkan ibu untuk menyusui lebih sering.
 Bila kondisi bayi tidak membaik setelah 1 minggu, (bayi menjadi letargis, tidak mau
menyusu atau malas minum, atau masih kejang), kemungkinan bayi menderita
kerusakan otak yang berat, yang akam merupakan masalah jangka panjang.
 Diperlukan kunjungan tindak lanjut ke klinik tumbuh kembang secara teratur untuk
memantau tumbuh kembang bayi.

9. KEJANG DAN SPASME PADA NEONATUS

Kejang merupakan keadaan emerjensi atau tanda bahaya yang sering terjadi pada
neonatus, karena kejang yang berkepanjangan dapat mengakibatkan hipoksia otak yang cukup
berbahaya pada kelangsungn hidup bayi atau dapat mengakibatkan sekuele dikemudian hari.
32

Termasuk dalam kelompok gejala ini adalah spasme. Keadaan dapat diakibatkan oleh asfiksia
neonatorum, hopoglikemia dan gangguan metabolik lain atau merupakan tanda meningitis atau
masalah susunan saraf.
Dalam bab ini hanya dibicarakan masalah kejang, dan manajemen umumnya, sedangkan
manajemen khususnya dapat dilihat pada bab atau penyakit yang terkait atau penyakit penyebab
kejang.
9.1. LANGKAH PROMOTIF/PREVENTIF
Mencegah semua keadaan yang dapat menyebabkan kejang atau spasme pada
neonatus: mencegah asfiksia, infeksi atau sepsis, hipoglikemia dan ganggua metabolik
lain.
9.2. Langkah diagnostik
Diagnostik Banding
1. Kejang metabolik: hipoglikemia, hiponatremia, hipokalsemia, hipernatremia.
2. Kejang karena infeksi meningitis pada neonatus.
3. Spasme : tetanus neonatorum.
4. Kejang pasca asfiksia: ensefalopati hipoksik iskemik.
9.2.1. Anamnesis
 Kapan terjadinya kejang.
 Berapa lama kejang berlngsung.
 Keadaan umum bayi pada saat kejang.
 Hal hal khusus yang berhubungan dengan penyebab atau diagnosis banding kejang.
seperti:
 Riwayat prsalinan: bayi lahir prematur, lahir dengan tindakan, penolong
persalinan, afiksia neonatorum.
 Riwayat imunisasi tetanus ibu, penolong persalinan bukan tenaga kesehatan.
 Riwayat perawatan tali pusat dengan obat tradisional.
 Riwayat kejang, penurunan kesadaran, ada gerakan abnormal pada mata, mulut,
lidah, dan ekstreminitas.
 Riwayat spasme atau kekakuan pada ekstemitas otot mulut dan perut.
 Kejang dipicu oleh kebisingan atau prosedur atau tindakan pengobatan.
 Riwayat bayi malas minum sesudah dapat minum normal.
33

 Adanya faktor resiko infeksi.


 Riwayat ibu mendapat obat misalnya heroin, metadon, propoxyper sekobarbital,
alkohol.
 Riwayat perubahan warna kulit (kuning).
9.2.2. Pemeriksaan fisis
Kejang
 Gerakan abnormal pada wajah, mata, mulut, lidah dan ekstremitas.
 Ekstensi atau fleksi tonik ekstremitas, gerakan seperti mengayuh sepeda, mata
berkedip, berputar juling.
 Tangisan melengking dengan nada tinggi, sukar berhanti.
 Perubahan status kesadaran, apnea, ikterus, ubun-ubun besar membonjol,suhu
tubuh tidak normal.
Spasme
 Bayi tetap sadar, menangis kesakitan.
 Trismus, kekakuan otot mulut, rahang kaku, mulut tidak dapat dibuka, bibir
mencucu.
 Opistotonus, kekakuan pada ekstremitas, perut, kontraksi otot tidak terkendali.
Dipicu oleh kebisingan, cahaya, atau prosedur diagnostik.
 Infeksi tali pusat.
9.2.3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang ditunjukan untuk mencari penyebab kejang.
 Pemeriksaan darah rutin dan darah hapus.
 Lumbal fungsi dan pemeriksaan cairan serebrospinal.
 Kadar glukose darah, kadar elektrolit darah, kadar bilirubin total, direk dan
indirek.
 Bila diduga/ada riwayat jelas pada kepala: pemeriksaan berkala hemoglobin dan
hematokrit untuk memantau perdarahan intraventrikuler serta didapat perdarahan
pada cairan serebrospinal.
 Ultrasonografi untuk mengetahui adanya perdarahan periventrikuler- intra ventri
kuler.
34

 Pencitraan kepala (CT-scan kepala). Untuk mengetahui adanya perdarahan


subarahnoid atau subdural, cacat bawaan, infark serebral.
 Elektroensefalografi: kadang terdapat aktivitasepileptik yang menyebar.
9.3. Terapi
9.3.1. Manajemen
1. Medikamentosa untuk menghentikan kejang.
2. Membebaskan jalan napas dan oksigenasi.
3. Memasang jalur infus intravena.
4. Pengobatan sesuai dengan penyebab.
9.3.2. Medikamentosa
 Fenobarbital 20 mg/kg berat badan intra vena dalam waktu 5 menit, jika kejang tidak
berhenti dapat diulangi dengan dosis 10 mg/kg berat badan sebanyak 2 kali dengan
selang waktu 30 menit. Jika tidak tersedia jalur intravena, dapat diberikan
intramuskuler dengan dosis ditingkatkan 10-15%.
 Bila kejang berlanjut diberikan fenition 20 mg/kg berat badan intravena dalam
larutangaram fisiologis dengan kecepatan 1 mg/kg berat badan / menit.
 Pengobatan rumatan:
˗ Fenobarbital 3-5 mg/hari dosis tunggal atau terbagi tiap 12 jam secara intraven
atau per oral. Sampai bebas kejang 7 hari.
˗ Fenition 4-8 mg/kg hari intravena atau per oral. Dosis terbagi dua atau tiga.
9.3.3. Bebaskan jalan nafas dan oksigenasi
setiap pasien kejang harus selalu dilakukan pembebasan jalan napas dan oksigenasi
secukupnya untuk mencegahterjadinya hipoksia yang berkepanjangan.
9.3.4. Memasang jalur intravena
Pasang jalur IV dan beri cairan IV dengan dosis rumat.
9.3.5. Pengobatan sesuai dengan penyebab
9.3.6. Bedah
Diperlukan apabila penyebab penyakitnya memerlukan tindakan bedah.
9.3.7. Suportif
 Menjaga patensi jalan napas dan pemberian oksigen untuk mencegah hipoksia otak
yang berlanjut.
35

 Pasang jalur IV dan beri cairan IV dengan dosis rumat serta tunjangan nutrisi
adekuat.
 Mengurangi rangsang suara, cahaya maupun tindakan invasif untuk menghindari
bangkitan kejang pada penderita tetanus.
 Pasang pipa nasogastrik dan beri ASI peras bila bayi tidak dapat menyusu ASI.
Mulai dengan jumlah setengah kebutuhan per hari dan pelan-pelan dinaikan jumlah
ASI yang diberikan sehingga tercapai jumlah yang diperlukan.
9.3.8. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll)
Bayi dikonsultasikan ke bagian yang berwenang bila bayi memerlukan
pemeriksaan penunjang misalnya USG, CT scan, EEG atau konsultasi.
9.4. PEMANTAUAN (MONITORING)
9.4.1 Terapi
 Penanganan utama adalah mengatasi hipoksia dan gangguan metabolik sebagai
penyebab tersering kejang pada neonatus kemudian pemberian anti kejang.
 Efektifitas antikonvulsan dipantau dengan melihat gejala klinis, bila perlu diulang
dan segera dilakukan pemerikaan penunjang untuk menentuan penyakit
penyebabnya.
9.4.2. Tumbuh kembang
Pemantauan terutama ditunjukan pada pertumbuhan dan perkembangan Sensorik
dan motorik. Setiapa adanya gangguan perkembangan, perubahan tingkah laku ataupun
gejala neurologik, eksplorasi harus dilakukan dengan pemeriksaan neurologis lengkap.

Tabel 1. Nilai normal kadar elektrolit serum


Bayi Kurang Bulan Bayi Cukup Bulan
Jenis 1 munggu 7 minggu 1-12 jam 48-72 jam
Kalsium (mg/dl) 9,2±1,1 9,9±0,7 8,38(7,3-9,2) 7,9(5,9-9,7)
Natrium (mEq/L) 139,6±3,2 137,2±1,8 143±7,2 148,7±4,3
Kalium (mEq/L) 5,6±0,5 5,7±0,5 6,4±0,73 5,92±0,8
36

Tabel 2. Nilai normal pemeriksaan cairan serebrospinal


Bayi Kurang Bulan Bayi Cukup Bulan
Jenis <1000 gram 1000-1500 1 hari 7 hari
Lokasit PMN/mm 3,4 (0-14) 6 (0-44) 7 (0-26) 3 (0-5)
Limfosit/mm³ 5 (0-16) 1 (0-4)
Eritrosit 1,027 (0-9.050) 786 (0-9750) 23 (6-630) 3 (0-48)
Protein (mg/dl) 150 (95-370) 786 (0-9750) 73 (40-148) 47 (27-65)
glukose (mg/dl) 61 (29-217) 59 (31-109) 48 (38-64) 55 (48-62)

10. TETANUS NEONATORUM

Penyebab utama kematian neonatus sebagian besar karena akfiksia neonatorum, infeksi
dan bayi berat lahir rendah. Infeksi yang sering terjadi adalah sepsis neonatal dan tetanus
neonatorum dengan angka ematian tetanus neonatorum masih sangat tinggi (50% atau lebih). Di
indonesia tetanus neonatorum menyebabkan kematian neonatal dini 4,2% dan kematian neoatal
lambat 9,5% (SKTR 2001).
Kejadian penyakit ini sangat berhubungan dengan aspek pelayanan kesehatan neonatal,
terutama pelayanan persalinan (persalinan yang bersih dan aman, khususnya perawatan tali
pusat. Komplikasi atau penyulit yang ditakutkan adalah spasme otot diafragma.
10.1 LANGKAH PROMOTIF/PREVENTIF
 Pelaksanaan pelayanan neonatal asensial, terutama pemotongan tali pusat dengan alat
steril.
 Perawatan pasca natal, tidak mengoles atau menabur sesuatu yang tidak higienis pada
tali pusat.
 Bila sudah terjadi infeksi tali.
 Pusat, dilakukan pengobatan yang tepat dengan antibiotika lokal dan sistemik (bila
diperluan).
10.2. LANGKAH DIAGNOSTIK
10.2.1. Anamnesis
 Persalinan yang kurang higienis terutama yang ditolong oleh tangan non medis yang
terlatih.
37

 Perawatan tali pusat yang tidak higinis, pemberian dan penambahan suatu zat pada
tali pusat.
 Bayi sadar, sering mengalami kekakuan (spasme), terutama bila terangsang atau
tersentuh.
 Bayi malas minum, mulut sukar dibuka.
10.2.2. Pemeriksaan fisis
 Bayi sadar, terjadi spasme otot yang kuat.
 Mulut mencucu seperti mulut ikan (carper mouth).
 Trismus (mulut sukar dibuka).
 Perut teraba keras (perut papan)..
 Opistotonus (ada sela antara punggung bayi dengan alas, saat bayi ditidurkan).
 Tali pusat biasanya kotor dan berbau.
 Anggota gerak spastik (bosing potition).
10.2.3. Pemeriksaan penunjang
Anamnesis dan gejala khas sering tidak diperlukan pemeriksaan penunjang
kecuali dalam keadaan meragukan untuk membuat diagnosis banding dapat dilakukan
pemeriksaan untuk membedakan antara tetanus neonatorum dengan sepsis neonatorum
dengan sepsis neonatorum atau meningitis, dapat melakukan pemeriksaan:
 Pungsi lumbal.
 Pemeriksaan darah rutin, preparat darah hapus atau kultur dan sensivitas.
10.3. Terapi
10.3.1. Medikamentosa
 Pasang jalur IV dan beri cairan dengan dosis rumatan.
 Berikan diazepam 10 mg/kg/hari secara IV dalam 24 jam (dengan dosis 0,5 ml/kg
perkali pemberian), maksimum 40 mg/kg/hari.
˗ Bila frekuensi napas kurang 30 kali/menit, obat dihentikan, meskipun bayi masih
mengalami spasme.
 Bila bayi mengalami henti napas selama spasme, berikan oksigen dengan kecepatan
aliran sedang, bila belum bernafas lakukan resusitasi.
 Berikan bayi
˗ Human tetanus immunoglobulin 500 U IM atau tetanus antitoksin 5000 U IM
38

˗ Tetanus toxoid 0,5 ml IM pada tempat yang berbeda dengan pemberian


antitoksin.
˗ Bensilpenisilin G 1000.000 U/kg IV dosis tunggal selama 10 hari. (ganti
ampisilin) dosis 100 mg/kg/hari dibagi dalam 2-3 dosis.
 Bila terjadi kemerahan dan/atau pembekakan pada kulit sekitar pangkal tali pusat
atau keluar nanah dari permukaan tali pusat atau bau busuk dari area tali pusat,
berikan pengobatan untuk infeksi lokal tali pusat.
 Berikan ibunya imunisasi tetanus toksoit 0,5 ml (untuk melindungi ibu dan bayi yang
dikandung berikutnya) dan minta datang kembali satu bulan kemudian untuk
pemberian dosis kedua.
10.3.2. Bedah
10.3.3. Suportif
 Bila terjadi kekeakuan atau spastisitas yang menetap terapi suportip berupa fioterapi.
10.3.4. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya, dll)
 Bila diperlukan konsultasi ke sub bagian Neorologi Anak dan Bagian Rehabilitas
Medik.
10.4. PEMANTAUAN (MONITORING)
10.4.1. Terapi
Perawatan lanjut bayi tetanus neonatarum :
 Riwayat bayi diruang yang tenang dan dengan penerangan rendah untuk mengurangi
rangsangan yang tidak perlu.
 Lanjutkan pemberian cairan IV dengan dosis rumatan.
 Pasang pipa lambung bila belum terpasang dan beri ASI peras diantara periode
spasme. Mulai dengan jumlah setengah kebutuhan perhari dan dinaikkan secara
perlahan, jumlah ASI yang diberikan sehingga tercapai jumlah yang diperlukan
dalam dua hari.
 Nilai kemampuan minum dua kali sehari dan anjurkan untuk menyusu ASI
secepatnya begitu terlihat bayi siapa untuk mengisap.
 Bila sudah tidak terjadi spasme selama dua hari, bayi minum baik, dan tidak ada lagi
masalah yang memerlukan perawatan di rumah sakit, maka bayi dapat dipulangkan.
39

10.4.2. Tumbuh kembang


 Meskipun angka kematian tetanus neonatarum masih sangat tinggi (50% atau lebih),
tetapi kalau bayi bisa bertahan hidup, tidak akan mempunyai dampak penyakitnya
dimasa datang.
 Pemantauan tumbuh kembang diperlukan terutama untuk asupan gizi yang
seimbangdan stimulasi mental.

11. BAYI LAHIR DARI IBU BERMASALAH

Bayi yang baru lahir deri ibu penderita diabetes militus (DM), infeksi hepatitis B,
tuberculosis, malaria, atau sifilis kemungkinan besar akan mengalami beberapa masalah
beberapa waktu setelah lahir, meskipun tampak normal pada waktu lahir. Bayi yang dilahirkan
dari ibu pederita DM berisiko mengalami masalah pada saat lahir berupa gangguan maturitas
paru, berat lahir besar untuk masa kehamilan (BMK) makrosomia, atau bila disertai dengan
penyakit vascular akan mengalami berat lahir kecil untuk masa kehamilan (KMK). Masalah yang
timbul beberapa saat setelah lahir dapat berupa hipoglikemia dengan tanda letargi, tak mau
minum, apnea atau kejang dalam 6-12 jam setelah lahir. Kejang yang timbul setelah umur 12 jam
kemungkinan diakibatkan hipomagnesemia. Distress respirasi akibat imaturitas paru dapat juga
ditemui. Masalah yang paling sulit terjadi pada bayi lahir dari ibu dengan gangguan ginjal,
jantung, atau mata.
Bayi yang dilahirkan dari ibu penderita hepatitis B biasanya asimtomatis,jarang yang
disertai gejala sakit. Tranmisi virus hepatits B (HB) dari ibu penderita trjadi pada saat bayi lahir
karena paparan darah ibu. Bila ibu terbukti menderita hepatitis akut pada masa kehamilan
trisemester pertama dan kedua, resiko penularan pada bayinya kecil karena antigen dalam darah
sudah negatif pada kehamilan cukup bulan dan anti HBs sudah muncul. Bila ibu terinfeksi virus
HB pada kehamilan trimoster akhir, kemungkinan bayi akan tertular adalah 50-70%.
Kejadian tuberkulosis (TB) kongenital jarang. Ibu hamil dengan infeksi TB pada paru
saja tidak akan menularkannya kejanin sampai bayi lahir. Mekanisme infeksi intrauterin dapat
melalui beberapa cara yaitu plasenta yang terinfeksi basil teberkulosis, TB plasenta yang
menyebar kejanin melalui vena umbilikalis; aspirasi lendir yang telah terinfeksi pada saat lahir;
atau paparan yang terjadi pada periode pasca natal.
40

Di daerah endemik malaria, infeksi plasmodium falsifarum selama kehamilan


meningkatkan kejadian anemia ibu hamil, abortus, lahir mati, kelahiran prematur, gangguan
pertumbuhan intarauterin dan bayi berat lahir rendah (BBLR).
Insidens infeksi sifilis semaking meningkat dari tahun ke tahun, namun diperkirakan
hanya sepertiganya yang tercatat. Meskipun transmisi infeksi sifilis kejanin diperkirakan terjadi
pada dua trimester akhir, namun kuman spirokhaeta dapat menembus plasenta kapan saja selama
kehamilan.
11.1. LANGKAH PROMOTIF/PREVENTIF
11.1.1. Diabetes mellitus
Pencegahan komplikas yang berat pada janin maupun bayi pada masa neonatal
dilakukan dengan penanganan pada ibu selama hamil berupa:
 Edukasi ibu untuk melakukan kontrol rutin dan dibawah pengawasan ketat seorang
dokter.
 Mengontrol kadar gula dengan terapi diet, bila tidak berhasil dengan insulin.
 Memperhatikan kontraindikasi pemberian obat antidiabetik oral.
 Pemeriksaan paa trimester pertama, kedua dan ketiga.
11.1.2. Infeksi hepatitis B
Tindakan pencegahan terhadap kejadian infeksi HB neonatal adalah dengan
memberikan imunoprofilaksis (lihat penanganan).
11.1.3. Infeksi tuberkulosis
Tindakan pencegahan yang paling efisien terhadap kejadian TB neonatal adalah
menemukan dan mengobati kasus TB pada ibu hamil sedini mungkin. Diare dengan
prevelensi TB cukup tinggi, sebaiknya dilakukan uji tuberculin pada semua ibu hamil
yang dicurigai kontak dengan penderita TB; ibu hamil dengan HIV positif, diabetes atau
gastrektomi, atau ibu yang berkerja dilingkungan drngan kemungkinan penularan cukup
tinggi (seperti rumah sakit, penjara, rumah yatim piatu, dll).
11.1.4. Infeksi malaria
Salah satu tindakan yang dikembangkan dan paling efektif untuk mencegah
komplikasi terhadap janin akibat infeksi malaria selaam hamil adalah menemukan kasus
dan memberikan pengobatan intermiten sulfadoksin-primetamin minimal 2 kali selama
hamil.
41

11.1.5. Infeksi sifilis


 Lakukan pemeriksaan serologis pada ibu hamil yang mempunyai faktor resiko tinggi
(pelaku seks komersial, sering berganti pasangan, pencandu obat-obatan, riwayat
penderita infeksi sebelumnya, riwayat infeksi HIV).
 Berikan pengobatan secara adekuat secara adekuat terhadap ibu hamil yang terinfeksi
sifilis atau dicurigai terinfeksi untuk mencegah terjadinya sifilis kongenital.
11.2. LANGKAH DIAGNOSTIK
11.2.1. Ibu menderita diabetes mellitus
Pemeriksaan laboratorium yang harus dimonitor secara ketet adalah :
 Kadar glukosa serum harus diperiksa menggukan dextrostik segera setelah lahir dan
selanjutnya sesuai prosedur pemeriksaan kadar glukose darah. Bila kadarnya < 40
mg/dl, harus dilakukan pemeriksaan ulang kadar glukose serum.
 Kadar kalsium serum diperiksa pada umur 6, 24 dan 48 jam. Bila kadarnya rendah,
kadar magnesium darah juga harus diperiksa karena kemungkinan kadarnya juga
menurun.
 Hemoglobin/hematokrit diperiksa pada umur 4 dan 24 jam.
 Kadar bilirubin serum depriksa bila ada indikasim (secara klinis menunjukan tanda
ikterus).
 Pemeriksaan laboratorium lain seperti analisis gas darah, hitung jenis lekosit, dan
kultur diperiksa sesuai indikasi. Pemeriksaan lain seperti radiologi,
elektrokardiografi, dan ekhokardiografi dilakukan sesuai indikasi klinis.
11.2.2. Ibu menderita hepatitis B
 Periksa HBsAg dan IgM anti-HBc. Kadar antigen akan terdeteksi dalam darah bayi
pada umur 6 bulan, dengan kadar puncak pada umur sekitar 3-4 bulan. Jangan ambil
darah umbilical karena (1) terkontaminasi dengan darah ibu yang mengandung
antigen positif atau sekresi vagina, (2) adanya kemungkinan antigen non infeksius
dari darah ibu.
42

11.2.3. Ibu mendetia tuberkulosis


 Kebanyakan kasusnya bersifat asimtomatik atau dengan gejala minimal.
 Pada setiap bayi yang dicurigai menderita TB kongenital atau terinfeksi tuberkulosis
perinatal, dianjurkan dilakukan uji tuberculin PPD meskipun hasilnya bisa negatif
kecuali kalau infeksinya sudah berlangsung selama 4-6 bulan.
 Bila bayi terbukti menderita TB kongenital, lakukan penanganan sebagai TB
kongenital (lihat penanganan TB kongential).
11.2.4. Ibu menderita malaria
 Periksa hapusan darah terutama untuk menemukan plasmodium falsifarum pada
setiap bayi yang dilahirkan ibu yang menderita atau dicurigai menderita malaria.
 Cari tanda-tanda malaria kongenital (misalnya ikterus, hepatosplenomegali, anemia,
deman masalah minum, muntah), meskipun kenyataanya sulit dibedakan dengan
gejala malaria yang didapat.
11.2.5. Ibu penderita sifilis
Lakukan pemeriksaan klinis dan uji serologis (segera setelah lahir) pada setiapa
bayi yang dilahirkan ibu dengan hasil seropositif yang :
 Tidak diobati atau tidak punya catatan pengobatan yang baik.
 Diobati selama kehamilan trimester akhir.
 Diobati dengan obat selain penisilin.
 Tidak terjadi penurunan titer treponema setelah pengobatan.
 Diobati tetapi belum sembuh.
Hasil tes serologis bisa non reaktif bila bayi terinfeksi pada bulan-bulan terakhir
kehamilan.
11.3. MANAJEMEN
11.3.1. Ibu dengan diabetes mellitus
Bayi lahir dari ibu penderita diabetes mellitus, beresiko untuk mengalami
hipoglikemia pada 3 hari pertama setelah lahir, walaupun bayi sudah dapat minum
dengan baik.
 Anjurkan ibu untuk menyusui secara dini dan lebih sering paling tidak 8 kalisehari,
siang dan malam.
 Bila bayi berumur kurang dari 3 hari, amati sampai umur 3 hari :
43

˗ Periksa kadar glukose darah pada :


o Saat bayi datang atau pada umur 3 jam.
o Tiga jam setelah pemeriksaan pertama, kemudian tiap 6 jam selama 24
jam atau sampai kadar glukose dalam batas normal dalam 2 kali
pemeriksaan barturut-turut.
 Bila kadar glukose ≤ 45 mg/dl atau bayi menunjukan tanda hipoglikemia (tremor
atau letargi), tangani untuk hipoglikemia (lihat SPM hipoglikemia).
 Bila dalam pengamatan tidak ada tanda hipoglikemiaatau masalah lain dan bayi
dapat minum dengan baik, pulangkan bayi pada hari ke-3. Bila bayi berumur 3 hari
atau lebih tidak perlu pengamatan. Bila bayi dapat minum baik dan tidak ada masalah
lain yang memerlukan perawatan di rumah sakit,bayi dapat dipulangkan.
11.3.2. Ibu dengan infeksi hepatitis B
Ibu yang menderita hepatitis akut selama hamil atau HBsAg posotif dapat
menularkan hepatitis B pada bayinya.
 Berikan dosis awal vaksin hepatitis B (VHB) 0,5 ml IM segera setelah (sebaiknya
dalam 12 jam sesudah lahir) dilanjutkan dosis ke-2 dan ke-3 sesuai dengan jadwal
imunisasi hepatitis.
 Bila tersedia, berikan immunoglobulin hepatitis B (HBIG) 200 IU (0,5ml) IM
disuntikkan pada paha sisi yang lainnya, dalam waktu 24 jam setelah lahir atau
paling lambat 24 jam setelah lahir.
 Yakinkan ibu untuk tetap menyusui bayinya.
11.3.3. Ibu dengan infeksi tuberkulosis
 Bila ibu menderita tuberkulosis paru aktif dan mendapat pengobatan kurang dari 2
bulan sebelum melahirkan, atau didiagnosis menderita TB setelah melahirkan :
˗ Jangan diberi vaksin BCG segra setelah lahir.
˗ Beri profilaksis isoniazid (INH) 5 mg/kg sekali sehari peroral.
˗ Pada umur 8 minggu lakukan evaluasi kembali, catat berat badan dan
lakukan tes mantoux dan pemeriksaan radiologi bila memungkinkan :
o Bila ditemukan kecurigaan TB aktif, mulai berikan pengobatan
anti-TB lengkap dengan programpengobatan TB pad bayi dan
anak).
44

o Bila keadaan bayi baik dan hasil tes negatif, lanjutkan terapi
pencegahan dengan ini selama 6 bulan.
 Tunda pembeian vaksin BCG sampai 2 minggu setelah pengobatan selesai. Bila
vaksin BCG sudah terlanjurdiberikan, ulang pemberiannya 2 minggu setelah
pengobatan INH selesai.
 Yakinkan ibu bahwa ASI tetap berikan.
 Lakukan tindak lanjutterhadap bayinya tiap 2 minggu untuk menilai kenaikan berat
badan bayi.
11.3.4. Ibu dengan infeksi sifilis
 Bila hasil uji serologis pada ibu positif yang sudah di obati dengan penicilin 2,4 juta
unit dimulai sejak 30 hari sebelum melhirkan koma, bayi idak perlu di obati.
 Bila ibu tidak diobati atau diobati tidak adekuat atau tidak diketahui status
pengobatannya, maka :
˗ Beri bayi benzatine benzilpenisilin IM dosis tunggal.
˗ Beri ibu dan ayahnya benzhatine penisilin 2,4 juta unit IM dibagi dalam dua
suntikan pada tempat yang berbeda.
˗ Rujuk ibu dan ayahnya kerumah sakit yang melayani penyakit menular
seksual untuk tindak lanjut.
11.4. PEMANTAUAN (MONITORING)
11.4.1. Diabetes mellitus
Bila bayi berumur 3 hari atau lebih dan tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit
bayi tidak perlu pengamatan. Bila bayi dapat minum baikdan tidak ada masalah lain yang
memerlukan perawatan di rumah sakit, bayi dapat dipulangan.
11.4.2. Hepatitis B
Bila bayi yang dilahirkan darai ibu penderita hepatitis B dan tidak mendapatkan
penanganan yang adekuat perlu dilakukan pemeriksaan:
 HBsAg pada 1-2 bulan setelah lahir; bila positif perlu penanganan lebih lanjut, rujuk
ke subbagian hepatologi.
 Anti HBs untuk melihat tingkat kekebalan bayi; bila positif, bayi telah mendapat
kekebalan dan aman dari infeksi.
45

11.4.3. Tuberkulosis
Bila ibu baru terdiagnosis setelah melahirkan atau belum di obati :
 Semua anggota keluarga harus diperiksa leih lanjut untuk memukinkan terinfeksi.
 Bayi diperiksa foto dada dan tes PPD pada umur 4’-6 minggu.
 Ulang tes PPD pada umur 4 bulan dan 6 bulan.
 Bila hasil negatif pada umur 4 bulan dan tidak ada infeksi aktif diseluruh anggota
keluarga, pemberian INH dapat dihentikan, pemberian ASI dapat dilanjutkan, dan
bayi tidak perlu dipisahkan dari ibu.
Bila ibu tidak mengalami infeksi aktif, sedang dalam pengobatan, hasil
pemerksaan sputum negatif dan hasil foto dada stabil :
 Foto ulang pada 3 dan 6 bulan setelah melahirkan, dan meyakinkan ibu tetap minum
obat.
 Periksa anggota keluarga yang lain.
 Bayi diperiksa tes tuberculum PPD pada umur 4 bulan; bila hasilnya negatif, sputum
ibu negatif, dan anggota keluarga lain tidak terinfeksi, hentikan pemberian INH.
 Ulang pemerksaan tes tubercullin PPD pada umur 6, 9 dan 12 bulan
Bila ibu mendapat pengobatan secara adekuat :
 Periksa foto dada uang ibu pada 3 dan 6 bulan setelah melahirkan karena ada
kemungkinan terjadi eksaserbasi.
 Lakukan pemeriksaan ulang tes tubercullin PPD setiap 3 bulan selama 1 tahun,
setelah itu evaluasi setiap tahun.
 INH tidak perlu diberkan pada bayi.
 Periksa anggota keluarga lain.
11.4.4. Malaria
 Lakukan tndak lanjut tiap 2 minggu dalam 8 minggu untuk memeriksa pertumbuhan
bayi dan memeriksa tanda-tanda malaria kongenital, misal : ikterus,
hepatosplenomegali, anemia, demam, masalah minum, dan muntah.
11.4.5. Sifilis
 Lakukan tndak lanjut dalam 4 minggu untuk memeriksa pertumbuhan byi dan tanda-
tanda sifilis kongenital pada bayi.
 Cari tanda-tanda di atas, berikan terapi untuk sifilis kongenital.
46

 Laporkan kasusnya ke Dinas Kesehatan setempat.

12. BAYI LAHIR DARI IBU YANG MENDERITA HIV


(Human Immunodeficiency Virus)

HIV adalah virus RNA dari subfamili retrovirus. Infeksi HIV menyebabkan defisiensi
kekebalan tubuh sehingga menimbulkan gejala berat yang disebut penyakit AIDS (acquired
immunodeficiency syndrome). Pada tahun 2000, WHO memperkirakan 1,5 juta anak terinfeksi
HIV, dan diantara penderita AIDS biasa, 30% adalah ibu, termasuk ibu hamil. Di Amerika
Serikat 0,17% ibu hamil sero positif HIV 1 dengan angka penlaran pada bayinya sebesar 14-
40%. Di Eropa angka penularan dari ibu ke bayi adalah 13-14%.
Penularan dari ibu ke bayinya banyak lebih progresif dari pada penularan secara vertical
dari ibu, 80% menunjukan gejala klinis HIV pada umur 2 tahun. Gambaran gejala klinis AIDS
tampak pada umur 1 tahun pada 23%, dan pada umur 4 tahun pada 40% dari bayi-bayi tersebut.
12.1. LANGKAH PROMOTIF/PREVENTIF
 Mencegah penularan yang paling berbahaya, yaitu melalui percampuran darah ibu
berisiko tinggi dan bayi melalui plasenta, terutama apabila ada korioamnionitis. Bila
terjadi ketuban pecah dini, selama ama resiko terinfeksi semakin besar.
 Mmencegah penularan melalui tranfusi darah, sehingga skrining donor sangat perlu,
walaupun tidak dapat menghilangkan resiko penularan karena penderita yang baru
terkena HIV mempunyai masa seronegatif 2-4 bulan, dan 5-15% penderia HIV
seronegatif. Saat ini resiko transmisi melalui donor darah adalah 1 dalam 225.000
unit transfusi.
 Menghindari pemberian ASI dari ibu HI.
ASI dari ibu dengan infeksi HIV berperan sebagai sumber penularan pascanatal,
terutama dalam kolostrum. Kemungkinan penularan lewat ASI sangat besar,
terutama pada ibu-ibu yang menderita HIV beberapa bulan setelah melahirkan.
Menurut pedoman yang ada sekarang, ibu HIV sebaiknya tidak memberikan ASI
apabila penyedian formula memenuhi syarat kebersihan dan nutri untuk bayi
(AVASS). Di negara berkembang, hal ini sulit dilaksanakan.
47

12.2. LANGKAH DIAGNOSTIK


12.2.1. Anamnesis
 Riwayat ibu/ayah pengguna obat-obatan termasuk narkotik lewat pembuluh darah.
 Riwayat ibu penderita hemofilia
 Riwayat kelaianan orientasi dan perilaku seksual pada ibu atau ayah.
 Riwayat ibu dengan respon imunologi yang buruk.
12.2.2. Pemeriksaan fisis
Gejala klinis pada neonatus berupa:
 BBLR atau gagal tumbuh.
 Infeksi saluran nafas berulang, otitis media, sinusitis, epsis, moniliasis berulang,
kadang-kadang terjadi infeksi non-spesifik dengan gejala hepatoslenomegali,
limfadenopati dan demam.
 Gangguan motorik tyang progresif.
Diagnosis berdasarkan:
1) Dugaan infeksi berdasarkan gejala klinis dan resiko tertular pada daerah
dengan prevalensi HIV tinggi.
2) Test serologis.
12.2.3. Pemeriksaan penunjang
1. CT Scan; kalsifikasi basal ganglia dan atrofi korteks serebri.
2. antibody HIV; PADA ANAK >18 bulan dinyatakan positif bila IgG anti-HIV (+)
dengan pemeriksaan ELISA dan Blot. Pada bayi <18 bulan bila hasil tes tersebut
(+) masih diragukan karena masih terdapat antibodi trans-plasental dari ibu.
3. Uji virilogis untuk neonatus dengan pemeriksaan PCR, uji HIV dan deteksi
antigen p24. Uji tersebut dapat mendeteksi HIV pada 50% neonatus atau lebih dari
95% bayi umur 3-6 bulan.
12.2.4. Manajemen
Umum
 Jika ditemukan bayi yang dilahirkan dari ibu HIV (+):
˗ Hormati kerahasiaan ibu dan keluarganya dan diberi kounselling pada
keluarga.
48

˗ Merawat bayi seperti bayi yang lain, dan beri perhatian khusus pada
pencegahan infeksi.
˗ Bayi tetap diberi imunisasi rutin.
˗ Beri dukungan mental.
˗ Anjurkan pemakaian kondom pada suaminya untuk mencegah penularan
infeksi.
12.3. Terapi
12.3.1. Terapi anti retrovirus
Tampa pemberian obat anti retrovirus, 25% bayi dengan ibu HIV positif akan
tertular sebelum dilahirkan atau pada waktu lahir, atau 15% akan tertular melalui ASI.
 Tentukan apakah ibu sedang mendapt pengobatan anti retrovirus untuk HIV atau
mendapat pengobatan anti retrovirus untuk mencegah transmisi pada bayinya.
 Obati bayi dan ibu sesuai dengan protokol dan kebijakan yang ada.
Contoh:
 Bila ibu sudah mendapat AZT (zidovudin) 4 minggu sebelum melahirkan, maka
setelah lahir bayi diberi AZT 2 mg/kg per oral setiap 6 jam selama 6 minggu.
 Ibu ibu mendapat nevirapin dosis tunggal selama proses persalinan dan bayi berumur
kurang dari 3 hari, segera beri bayi nevirapin dalam suspensi 2 mg/kg per oral.
12.4. PEMANTAUAN (MONITORING)
 Jadwalkan pemeriksaan lanjut dalam 2 minggu untuk menilai masalah pemberian
minum dan pertumbuha bayi.
12.4.1. Pemberian minum
 Beri konseling pada ibu tentang pilihan pemberian minum pada bayinya. Hargai dan
dukunglah apapun pilihan ibu. Ijinkan ibu untuk membuat pernyataan sendiri tentang
pilihan terbaik untuk bayinya.
 Jelaskan kepada ibu bahwa menyusui berisiko untuk menularkan infeksi HIV
sedangkan pemberian susu formula dapat meningkatkan resiko kesakitan dan
kematian, khususnya bila pemberian susu formula tidak dilakukan secara aman. Hal
ini dapat terjadi karena keterbatasan fasilitas air untuk mempersiapkan sus formula,
atau karena kesinambungan pemberiannya oleh keluarga tidak terjamin.
 Jelaskan pada ibu tentang untung dan rugi piliha pemberian minum.
49

˗ Susu formula dapat diberikan bila memungkinkan dalam hal penyediannya,


kebersihannya, dan dapat tersedia setiap waktu.
˗ ASI ekslusif dapat segera dihentikan bila susu formula sudah dapat
disediakan.
˗ Usulkan pilihan biasanya adalah ASI ekslusif selama 6 bulan, kemudian
ditambah makanan padat setelah berumur 6 bulan.
 Dalam beberapa situasi, kemungkinan lain adalah:
˗ Memeras ASI dan menghangatkannya ketika akan diberikan.
˗ Pemberian ASI oleh ibu susuan (wet nursing) yang jelas HIV negatif.
˗ Beri ASI peras dari ibu yang HIV negatif.
˗ Apapun pilihan ibu, berilah nasehat khusus seperti di bawah ini:
 Apabila memberikan susu formula, jelaskan bahwa selama 2 tahun,
ibu harus menyediakannya selain makanan pendamping ASI.
 Bila tidak dapat menyediakan susu formula sebagai alternatif beri ASI
secara ekslusif dan segera hentikan setelah tersedia susu formula.
 Semua bayi yang mendapatkan susu formula perlu tindak lanjut dan
beri dukungan kepada ibu cara menyediakan susu formula yang benar.
 Jangan memberikan minuman kombinasi.
(contoh: minuman dari susu hewani, bubur buatan, susu formula,
disamping pemberian ASI), karena hal ini akan menjadikan risiko
terjadinya infeksi tinggi dari pada pemberian ASI ekslusif.
12.4.2. Susu Formula
 Ajari ibu cara mempersiapkan dan memberikan susu formula dengan menggunakan
salah satu alternatif cara pemberian minum.
 Anjurkan ibu untuk memberi susu formula 8 kalisehari, dan beri lagi apabila bayi
menginginkan.
 Beri ibu petunjuk tertulis cara mempersiapkan susu formula.
 Jelaskan resiko pemberian susu formula dan cara menghindarinya:
˗ Bayi akan diare apabila tangan ibu, air atau alat-alat yang digunakan tidak
bersih dan steril, atau bila susu yang disediakan terlalu lama tidak
diminumkan.
50

˗ Bayi tidak akan tumbuh baik apabila susu formula terlalu encer, terlalu
jarang frekuensi pemberianny, atau bayi mengalami diare.
 Nasehati ibu untuk mengamati tanda-tanda:
˗ Minum kurang dari 6 kali dalam sehari atau minum hanya sedikit.
˗ Mencret.
˗ Berat badan sulit naik.
 Nasehati ibu agar membawa bayinya untuk pemeriksaan lanjutan:
˗ Kunjungan ulang untuk memantau berat badan.
˗ Dukungan cara-cara membuat susu formula yang benar.
˗ Nasehati kembali sewaktu-waktu apabila menemui tanda-tanda diatas.
12.4.3. Pemberian ASI
 Bila ibu memeilih menyusui, dukung dan hargai keputusannya.
 Yakinkan cara melekat dan menghisap yang baik, agar tidak menjadi mastitis dan
gangguan puting susu.
 Nasehati ibu agar segera kembali apabila ada gangguan cara menyusui dan kesulitan
minum pada bayinya.
 Pada minggu pertama, nasehati ibu untuk melakukan kunjungan ulang untuk
mengetahui apakah cara, posisi dan perletakan saat menyusui sudah baik, serta
payudara ibu tidak ada gangguan.
12.4.4. Tumbuh kembang
Pada infeksi HIV bayi dapat mengalami BBLR, atau gagal tumbuh. Oleh karena
itu, tumbuh kembang bayi perlu diikuti dengan pemantauan berat badan, lingkar kepala,
dan panjang badan. Untuk keperluan ini dapat digunakan panduan NCHS.
51

Vous aimerez peut-être aussi