Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
LAPORAN KASUS
SINUSITIS MAKSILARIS
PENDAMPING :
PENYUSUN
DELVI APRINELDA
TAHUN 2018
2
BAB I
LAPORAN KASUS
Gangguan nutrisi
Kelainan jantung
Kelainan kulit dan kelamin
Gangguan pencernaan
Gangguan respiratori
Kelainan imunologi
Gangguan TMJ
Tekanan darah 180/90 mmHg
Diabetes melitus
Lain-lain Pasien alergi Penisilin (+)
5. Obat-obatan yang telah/sedang dijalani
Sejak tadi pagi pasien sedang mengkonsumsi obat anti Hipertensi dari
dokter praktek pribadi di tempat pasien tinggal
6. Keadaan sosial/kebiasaan
Menengah ke atas / Pasien mengaku menggosok gigi 2X sehari
7. Riwayat keluarga
Kelainan darah : Disangkal
Kelainan endokrin : Disangkal
Diabetes mellitus : Disangkal
Kelainan jantung : Sodara-sodaranya Hipertensi (+)
Kelainan syaraf : Disangkal
Alergi : Disangkal
Lain-lain : Disangkal
2.6 Medikamentosa
R/ Clindamicin cap. 300 mg, No. XV
S 3 dd cap. I pc
2.8 Rujukan
√ Poli Penyakit Dalam
− Poli THT
− Poli Kulit & Kelamin
− Poli Syaraf
LEMBAR PERAWATAN
8,7 8
Gigi Tanggal Pro Protesa
8,7,6 8,7
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya
disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab
utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang
selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri (FK UI, 2007).
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila
mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena
dalah sinus etmoidalis dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus
sphenoid lebih jarang lagi (FK UI, 2007).
Sinus maksila disebut juga antrum highmore, letaknya dekat akar gigi
rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinus dentogen.
Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik.
Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan
intracranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati
(Hilger, dkk,1997).
3.2 Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan faktor predisposisi antara lain ISPA akibat
virus, bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita
hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi
konka, sumbatan kompleks osteomeatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi yaitu
dikarenakan bakteri anaerob yang ditemukan sebagai penyebab sinusitis
maksilaris, terkait dengan infeksi pada gigi premolar, kelainan imunologi,
diskinesia silia seperti pada sindrom kartagener dan diluar negri adalah penyakit
fibrosis kistik (Mangunkusumo, 2001).
3.3 Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh potensi ostium-ostium sinus dan lancarnya
klirens mukosiliar didalam KOM. Mucus juga mengandung substansi
antimicrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh
terhadap kuman yang masuk bersama udara pernapasan. Organ-organ yang
membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang
berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium
tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negative didalam rongga sinus yang
menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous (Rubin, dkk, 2005).
Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non bacterial dan biasanya
sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Sampai Bila kondisi ini menetap,
secret yang terkumpul dalam sinus merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri. Secret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagi
rinosinusitis akut bacterial dan memerlukan terapi antibiotic. Jika terapi tidak
berhasil, inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang.
Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar.
Sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid
atau pembentukan polip dan kista (Rubin, dkk, 2005).
Etiologi sinusitis adalah sangat kompleks. Hanya 25% disebabkan oleh
infeksi, selebihnya 75% disebabkan oleh alergi dan ketidakseimbangan pada
sistim saraf otonom yang menimbulkan perubahan-perubahan pada mukosa sinus
(Cora, 2003)
10
Alergen
Odem
Vasodilatasi Pe permeabilitas kapiler
Rinore
Odem
Gangguan ventilasi
pH sinus
Nyeri
3.4 Klasifikasi
Berdasarkan konsensus tahun 2004, sinusitis dibagi menjadi tiga
berdasarkan waktunya, yaitu:
1. Rinosinusitis akut: gejala terjadi selama 4 minggu atau kurang dari 4 minggu
2. Rinosinusitis subakut: gejala terjadi lebih dari 4 minggu dan kurang dari 12
minggu
3. Rinosinusitis kronik: gejala lebih dari 12 minggu
Berdasarkan penelitian, Bakteri utama pada sinusitis akut adalah:
– Streptococcus pneumonia (30 – 50 %)
– Haemophylus influenzae (20 – 40 %)
– Moraxella catarrhalis (4%)
Sedangkan Bakteri utama pada sinusutis kronik tergantung pada faktor
predisposisi, namun bakteri yang ada lebih condong ke arah bakteri gram negatif
dan anaerob.
Berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi menjadi (Peter, 1997)
1.Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), segala sesuatu yang
menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Contohnya
Rinitis Akut (influenza) dan Polip, septum deviasi.
2.Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering
menyebabkan sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar).
Bakteri penyebabnya adalah Streptococcus pneumoniae, Hamophilus influenza,
Steptococcus viridans, Staphylococcus aureus, Branchamella catarhatis.
3.6 Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan
posterior, pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang
lebih tepat dan dini. Tanda khas adalah adanya pus dimeatus medius atau didaerah
meatus superior.
Kriteria Rinosinusitis akut menurut American Academy of Otolaringology &
American Rhinologic Society adalah sebagai berikut:
Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada
pembengkakan dan kemerahan didaerah kantus medius.
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto
polos posisi waters, PA atau lateral , umumnya hanya mampu menilai kondisi-
kondisi sinus-sinus besar. Kelainan akan terlihat berupa perselubungan, batas
udara cairan atau penebalan mukosa. CT scan sinus merupakan gold standar
diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya
penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun,
karena mahal hanya dikerjakan sbagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang
tidak membaik dengan pengobatan atau praoperasi sebagai panduan operator saat
melakukan operasi sinus.
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Pemeriksaan mikrobiologi dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil
secret dari meatus medius/superior, untuk mendapat antibiotic yang tepat guna.
Lebih baik lagi bila diambil dari pungsi sinus maksila (Merry, 2001).
14
3.8 Pengobatan
Sinusitis maxillaris akut umumnya di terapi dengan:
1. Antibiotik spektrum luas, seperti: amoxicillin, ampicillin, atau eritromisin.
Alternatif lain berupa amoxicillin/klavulanat, sefaklor, sefuroksim, dan
trimetoprim plus sulfonamid.
2. Dekongestan, seperti: pseudoefedrin, tetes hidung fenilefrin (neosynephrine)
atau oksimetazolin dapat diberikan selama beberapahari pertama infeksi
namun kemudian harus dihentikan.
3. Analgetik untuk meringankan gejala, seperti aspirin dan asetaminofen.
4. Kompres air hangat pada wajah untuk meringankan gejala.
Dengan terapi tersebut, pasien biasanya memperlihatkan tanda-tanda
perbaikan dalam dua hari dan proses penyakit biasanya menyembuh dalam 10 hari
meskipun konfirmasi radiologis dalam hal kesembuhan total memerlukan waktu 2
minggu atau lebih. Kegagalan penyembuhan dengan suatu terapi aktif
menunjukan organisme tidak lagi peka terhadap antibiotik atau antibiotik tersebut
gagal mencapai lokulasi infeksi. Pada kasus demikian, ostium sinus dapat odem
sehingga drainase sinus terhambat dan terbentuk abses sejati. Bila demikian,
terdapat indikasi irigasi antrum segera (George et al, 1997)
15
obstruksi hidung yang berat dapat diberikan obet tetes efedrin 0,5-1%, maka
sumbatan akan hilang setelah 10 menit selama 2 sampai 4 jam. Obat
dekongestan yang paling sedikit efek sampingnya yaitu oxymetazoline.48
Ipatropium bromide, adalah obat selain mempunyai efek parasimpatolitik juga
mempunyai efek anti kolinergik dan efek topikal yang tinggi serta memiliki
atropine like effect. Semula obat ini dipakai sebagai bronkodilator dengan
nama dagang atrovent dan dapat mengurangi rinore pada penderita rinitis
alergi, rhinitis vasomotor dan common cold (Oedono, 1999 dalam Cora, 2003).
Kortikosteroid. Bila hasil pengobatan antihistamin dan dekongestan belum
berhasil maka dapat diberikan kortikosteroid secara sistemik maupun
intranasal. Pengobatan lokal dengan beklometason atau flunisolid lebih disukai,
karena kerjanya langsung dan efek sampingnya yang rendah. Untuk pemberian
yang efektif biasanya memerlukan beberapa hari sampai beberapa minggu.
Efek kortikosteroid ialah menghambat aktifitas histamin dan zat kinin
vasoaktif, menstabilkan membran sehingga penglepasan zat mediator
dihambat, tetapi tidak menghambat interaksi antar antigen dan antibodi. Di
laporkan pemberian kortikosteroid dapat mengurangi besarnya polip hidung.48
Stabilisator mastosit, yang termasuk dalam golongan ini adalah natrium
kromolin dan ketotifen. Efek natrium kromolin (sodium kromoglikat) ialah
menurunkan pengelepasan zat mediator, sehingga dianggap sebagai pengobtan
pencegahan dan diberikan sebelum terjadi kontak dengan alergen. Efek
sampingnya minimal, terutama berupa iritasi lokal. Pemakaian pada polip
hidung belum dapat dibuktikan keberhasilannya. Ketotifen, sebagai stabilisator
sel mastosit, diserap dalam saluran cerna dan dalam bentuk utuh keluar lewat
urine dan tinja. Efek sampingnya sama seperti antihistamin H1. Trombosit
secara reversibel, sehingga penggunaan kombinasi kedua obat tersebut
sebaiknya dihindari (Oedono, 1999 dan Elfahmi, 2001 dalam Cora, 2003).
3. Imunoterapi (desensitisasi, hiposensitisasi).
Pemberian imunoterapi dapat dipertimbangkan bila cara-cara konservatif
tidak berhasil. Dasar dari imunoterapi adalah menyuntikkan alergen penyebab
secara bertahap dengan dosis kecil yang makin meningkat untuk menginduksi
toleransi pada penderita alergi. Suatu dosis imunoterapi yang efektif (optimal)
18
fosa kanina. Dilakukan maksimal enam kali setiap 2 – 3 hari sekali. Jika
terdapat nanah (pus), berarti pengobatan konservatif tidak berhasil dan
dipertimbangkan pengobatan secara operatif. Kontraindikasi pungsi sinus
maksila ialah tidak boleh dilakukan pada saat ada infeksi akut karena dapat
mengakibatkan oesteomielitis dan trauma pada maksila. Antrostomi intranasal,
yaitu tindakan membuat lubang pada meatus inferior yang menghubungkan
rongga hidung dan sinus maksila, untuk drainase sekret dan ventilasi sinus
maksila. Biasanya dilakukan pada penderita yang memerlukan irigasi berulang
kali dan tidak dapat dilakukan pungsi sinus dengan anestesi lokal. Antrostomi
yang cukup baik ialah yang diameternya cukup lebar, pemanen dan letaknya
serendah mungkin pada dasar hidung. Bersama antrostomi dapat dilakukan
operasi lain yang bertujuan untuk reseksi septum dan konkotomi (Lund, 1997
dalam Cora, 2003)
Pengobatan operatif radikal. Dengan operasi Calddwell-Luc bila kerusakan
mukosa sudah ireversibel dan gagal dengan pengobatan konservatif. Operasi
ini dilakukan dengan membuat sayatan sublabial kurang lebih dari 2 cm diatas
sulkus ginggivobukalis dari insisivus 2 samapi molar 1. Sayatan dilanjutkan
sampai periosteum, kemudian periosteum dilepaskan dan mukosa pipi tarik ke
atas. Selanjutnya dibuat lubang pada fosa kanina dan melalui lubang tersebut
mukosa yang inversibel dibersihkan (Lund, 1997 dalam Cora, 2003). Bedah
sinus endoskopik fungsional. Tindakan ini ditujukan untuk membersihkan
kelainan di kompleks ostiomeatal dengan mempergunakan endoskop
(teleskop). Hal ini dilakukan pada sinusitis maksila kronis yang disebabkan
oleh penyebaran infeksi dari fokus infeksi di sinus etmoid anterior, terutama
dari infundibulum etmoid dan resesus frontal. Ventilasi dan drenase sinus
maksila akan terbentuk kembali melalui jalan alamiah, sehingga setelah
beberapa waktu sinus akan kembali normal, sehingga pembedahan radikal
tidak diperlukan lagi (Lund, 1997 dalam Cora, 2003
Penatalaksanaan sinusitis dibagi atas:
1. Medikamentosa
Medikamentosa sinusitis dibagi atas pengobatan pada orang dewasa dan
pada anak – anak.
21
a. Orang dewasa
i. Terapi awal:
- Amoxicillin 875 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau
- TMP-SMX 160mg-800mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari
ii. Pasien dengan paparan antibiotik dalam 30 hari terakhir
- Amoxicillin 1000 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau
- Amoxicillin/Clavulanate 875 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari,
atau
- Levofloxacin 500 mg per oral sekali sehari selama 7 hari.
iii. Pasien dengan gagal pengobatan
- Amoxicillin 1500mg dengan klavulanat 125 mg per oral 2 kali sehari
selama 10 hari, atau
- Amoxicillin 1500mg per oral 2 kali sehari dengan Clindamycin 300 mg
per oral 4 kali sehari selama 10 hari, atau
- Levofloxacin 500 mg per oral sekali sehari selama 7 hari.
b. Anak – anak
i. Terapi awal: Pengobatan oral selama 10 hari dengan:
- Amoxicillin 45-90 mg/kg/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis sehari,
atau
- Cefuroxime axetil 30 mg/kg/hari terbagi dalam dua dosis sehari, atau
- Cefdinir 14 mg/kg/hari dalam satu dosis sehari.
ii. Pasien dengan paparan antibiotik dalam 30 hari terakhir: Pengobatan oral
selama 10 hari dengan:
- Amoxicillin 90 mg/kg/hari (maksimal 2 gram) plus Clavulanate 6,4
mg/kg/hari, keduanya terbagi dalam dua dosis sehari, atau
- Cefuroxime axetil 30 mg/kg/hari terbagi dalam dua dosis sehari, atau
- Cefdinir 14 mg/kg/hari dalam satu dosis sehari.
2. Diatermi
Diatermi gelombang pendek selama 10 hari dapat membantu penyembuhan
sinusitis dengan memperbaiki vaskularisasi sinus.
22
3. Tindakan pembedahan
Terdapat tiga pilihan operasi yang dapat dilakukan pada sinusitis maksilaris,
yaitu unisinektomi endoskopik dengan atau tanpa antrostomi maksilaris,
prosedur Caldwell-Luc, dan antrostomi inferior. Saat ini, antrostomi unilateral
dan unisinektomi endoskopik adalah pengobatan standar sinusitis maksilaris
kronis refrakter. Prosedur Caldwell-Luc dan antrostomi inferior antrostomy
jarang dilakukan (Peter, 1997).
3.9 Komplikasi
Sejak ditemukan antibiotik, komplikasi sinusitis maksila telah menurun
secara drastis. Komplikasi sinusitis maksila terjadi jika sinusitis tersebut menjadi
kronis. Komplikasi yang dapat terjadi ialah(Pandi et al, 1990 dan Wright et al
1997 dalam Cora 2003):.
1. Oesteomielitis dan abses subperiostal
Oesteomielitis maksila jarang terjadi, tersering adalah osteomielitis frontal
dan biasanya ditemukan pada anak. Oesteomielitis sinus maksila dapat
menyebabkan timbulnya fistula oroantal yaitu fistula yang menggabungkan
rongga mulut dan sinus maksila. Penyebab terjadinya fistula ini selain karena
komplikasi sinusitis maksila ke dalam juga karena tindakan ekstraksi gigi
molar atas, kista gigi, tumor palatum dan sinus maksila serta trauma pada
operasi gigi atau sinus maksila. Gejala klinis berupa keluarnya cairan yang
berbau busuk dari sinus maksila ke dalam mulut. Pada pemeriksaan , bila
lubangnya besar akan terlihat lubang yang menghubungkan rongga mulut dan
sinus maksila tetapi bila lubangnya kecil dapat diperiksa dengan memasukkan
udara yang melewati fistula. Fistula yang baru dan kecil dapat menutup dengan
sendirinya. Bila fistula cukup besar dan kronis perlu tindakan operasi plastik
selain pengobatan sinusitisnya.
2. Kelainan orbita
Paling sering berasal dari sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan
maksila. Penyebaran infeksinya melalui tromboflebilitis dan perkontinuitatum.
Kelainan yang dapat ditimbulkan ialah edema palpebra selulitis orbita, abses
subperiostal, abses orbita dan trombosis sinus kavernosus. Edema palpebra,
23
biasanya dari sinusitis etmoid dan ditemukan pada anak-anak. Selulitis orbita,
edemanya bersifat difus, belum terbentuk nanah (pus) dan isi orbita telah
diinvasi bakteri. Pada abses subperiostal, pus telah terbentuk di antara
periorbita dan dinding tulang orbita, serta menyebabkan proptosis dan kemosis.
Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita.
Tampak gejala neuritis optikus, kebutaan dan bercampur unilateral,
keterbatasan gerak otot ekstraokuler mata yang terserang. Proptosis makin
bertambah dengan tanda khas adanya kemosis konjungtiva. Trombosis sinus
kavernosus, komplikasi ini merupakan akibat penyebaran bakteri melalui
saluran vena ke dalam sinus kavernosus, sehingga terbentuk suatu
tromboflebitis septik. Tampak gejala – gejala oftalmoplegia, komosis,
konjungtiva, gangguan penglihatan yang berat, kelemahan dan tanda-tanda
meningitis karena letak sinus berdekatan dengan saraf cranial II,III,IV,VI dan
otak. Penderita edema palpebra dapat berobat jalan dengan pemberian
antibiotik serta tetes hidung. Penderita tahap selulitis orbita dan komplikasi
yang lebih berat harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotik intravena
dosis tinggi serta dilakukan tindakan membebaskan pus dari rongga abses.
Prognosis pada komplikasi ini, angka kematian sebesar 60-80%. Gejala sisa
trombosis kavernosus seringkali berupa atrofi optikus.
3. Mukokel
Suatu kista yang mengandung mukus yang timbul di dalam sinus. Kista ini
paling sering pada sinus maksila dan tersering berupa kista retensi mukus dan
biasanya tidak berbahaya. Mukokel yang terinfeksi dan berisi pus disebut
piokel. Patogenesisnya dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu obstruksi dan
peradangan. Gambaran klinis sesuai dengan sinusitis maksila kronis. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan radiologik, sinoskopi dan ditemukan pada
operasi Caldwell-Luc. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan
histoptologik. Pengobatan dengan eksplorasi sinus untuk mengangkat semua
mukosa yang terinfeksi, sehingga drenase sekret dan ventilasi sinus maksila
menjadi baik.
24
4. Kelainan intrakranial
Meningitis, abses ekstradural, abses subdural, abses otak dan tromboss sinus
cavernosus.
5. Kelainan paru
Bronkitis kronis, bronkiektasis dan asma bronchial.
Adanya kelainan sinus paranasal yang disertai dengan kelainan paru
disebut sindrom sinobronkitis.
3.10 Prognosis
Prognosis sinusitis sangat baik dengan kurang lebih 70% pasien sembuh
tanpa pengobatan. Prognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu sekitar 40 %
akan sembuh secara spontan tanpa pemberian antibiotik. Terkadang juga penderita
bisa mengalami relaps setelah pengobatan namun jumlahnya sedikit yaitu kurang
dari 5 %. Komplikasi dari penyakit ini bisa terjadi akibat tidak ada pengobatan
yang adekuat yang nantinya akan dapat menyebabkan sinusitis kronik, meningitis,
brain abscess, atau komplikasi extra sinus lainnya (Piccirillo, dkk, 1997).
Sedangkan prognosis untuk sinusitis kronik yaitu jika dilakukan pengobatan yang
dini maka akan mendapatkan hasil yang baik. Untuk komplikasinya bisa berupa
orbital cellulitis, cavernous sinus thrombosis, intracranial extension (brain
abscess, meningitis) dan mucocele formation (Rukmini, 1997).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sinusitis, merupakan salah satu penyakit atau kelainan pada sinus paranasal
yang akhir-akhir ini semakin meningkat angka kejadiannya. Dampak yang
ditimbulkan oleh penyakit ini bervariasi, mulai dari yang ringan sampai dengan
yang berat. Betapapun ringannya dampak yang ditimbulkan, penyakit ini selalu
menyebabkan penurunan kualitas hidup penderitanya. Sehingga akan terjadi pula
kerugian, baik yang dapat ternilai maupun yang tidak dapat ternilai harganya.
Pasien dalam kasus ini didiagnosa suspect sinusitis maxillaris akut et causa
abses periodontal berdasarkan anamnesa dan temuan klinik. Sinusitis maxillaries
akut adalah peradangan pada bagian sinus maksilaris yang terjadi beberapa hari
sampai dengan 4 minggu. Dari anamnesa didapatkan bahwa pasien mengeluhkan
dari hidung yang sebelah kanan mengeluarkan cairan agak kental berwarna
kekuningan dan berbau. Sedangkan dari pemeriksaan didapatkan abses
periodontal kanan kiri belakang pada ginggiva superiornya.
Penatalaksanaaan sinusitis maksilaris dengan pemberian Clindamicin 300
mg sebagai antibiotik. Selain itu perlu rawat bersama dengan spesialis THT untuk
penanganan sinusitis maksilaris.
4.2 Saran
Saran pada pasien dengan kasus ini adalah:
Menjaga oral hygiene dengan menggosok gigi yang benar 3 kali sehari atau
setelah makan dan sebelum tidur, serta berkumur dengan mouthwash.
Membersihkan karang gigi tiap 6 bulan sekali ke dokter gigi.
Mengurangi konsumsi makanan yang bersifat erosif terhadap gigi, misalnya
makanan yang manis, pedas, panas dan lain-lain.
27
DAFTAR PUSTAKA
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi
keenam. Jakarta: FKUI, 2007.
Elfahmi. 2001. Gambaran klinis Ostio Meatal pada Sinusitis maksila kronis
dengan peme riksaan nasoendoskopi. Tesis bagian THT USU,; 63-6
George L Adams, Lawrence R Boeis, Peter H.Hilger; alih bahasa Caroline wijaya;
editor Harjanto Effendi. 1997. BOEIS: buku ajar penyakit THT (BOEIS
findamental of otolaryngology) edisi 6. Jakarta: EGC
Hilger PA. 1989. Disease of Nose. In Adom GL. Boies. LR. JR. Hilger. P.
Fundamental of Otalaryngology 6th ed. Philadelphia Sounders Company ;
206 - 48.
Hilger PD. 1989 Disease of Parasanal Sinuses. Adam GL Boies LRJK Hilger
Fundametal of Oyolaryngology,6th ed. Philadelphia ; Sounders Company,;
249 – 270
Hilger, Peter, A., penyakit sinus paranasalis BOEIS Buku Ajar Penyakit THT
(BOEIS Fundamentals of Otolaryngology), Edisi 6,Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 1997.
Higler PA, editors. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6th ed.
Philadelphia, PA: WB Saunders Company. Sobol SE, Schloss MD, Tewfik
TL. Acute Sinusitis Medical Treatment; 1989. p.173-902
Higler PA. Paranasal Sinuses Diseases. In: Adams GL, Boies LR, Higler PA,
editors. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6th ed. Philadelphia, PA:
WB Saunders Company; 1989. p.240-62
28
Marks SC, Loechel WA. 2000. Anatomy of The Nose and Sinuses. In: Nasal and
Sinus Surgery. WB Saunders Company. Philadelphia; 3-30.\
Merry AJ. 2001. The Maxillary Antrum. In: Oral Maxillofacial Surgery. An
Objective-Based Textbook. Churchill Livingstone. Edinburg; 211-23.
Michael Beniger MD. Nasal endosccopy. It’s Role in Office Diagnosis. American
Journal of Rhinology Vol. II, No. 2 March – April 1977 , 172 – 8
Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. Infections of the Upper Respiratory Tract. In:
Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL,
editors. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York,
NY: McGraw Hill; 2005. p. 185-93