Vous êtes sur la page 1sur 28

1

LAPORAN KASUS

SINUSITIS MAKSILARIS

PENDAMPING :

dr. DHIAN FITRIANA DEWI

dr. ADE CHURIE TANJAYA

PENYUSUN

DELVI APRINELDA

PROGRAM DOKTER INTERNSIP

RS BHAYANGKARA MOESTADJAB NGANJUK

TAHUN 2018
2

BAB I

LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Penderita


Nama : Tn. S
Alamat : Ampelgading
Umur : 50 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Penjahit
Status Perkawinan : Menikah
Suku : Jawa
Konsul dari : Poli THT
Menderita : Suspect sinusitis maxilaris
Tanggal Periksa : 29 September 2011

2.2. Riwayat Kasus


1. Keluhan Utama
Pasien mengeluh dari hidung yang sebelah kanannya keluar cairan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli gigi RSUD kepanjen konsulan dari poli THT dengan
keluhan sejak 3 hari yang lalu hidung yang sebelah kanan keluar cairan agak
kental berwarna kekuningan dan berbau. Tetapi pasien mengaku tidak ada rasa
nyeri/sakit.
3. Riwayat Perawatan
Gigi:
Tidak pernah/disangkal
Jaringan lunak rongga mulut dan sekitarnya:
Tidak pernah/disangkal
4. Riwayat kesehatan
Kelainan darah
Kelainan endokrin
3

Gangguan nutrisi
Kelainan jantung
Kelainan kulit dan kelamin
Gangguan pencernaan
Gangguan respiratori
Kelainan imunologi
Gangguan TMJ
Tekanan darah  180/90 mmHg
Diabetes melitus
Lain-lain  Pasien alergi Penisilin (+)
5. Obat-obatan yang telah/sedang dijalani
Sejak tadi pagi pasien sedang mengkonsumsi obat anti Hipertensi dari
dokter praktek pribadi di tempat pasien tinggal
6. Keadaan sosial/kebiasaan
Menengah ke atas / Pasien mengaku menggosok gigi 2X sehari
7. Riwayat keluarga
Kelainan darah : Disangkal
Kelainan endokrin : Disangkal
Diabetes mellitus : Disangkal
Kelainan jantung : Sodara-sodaranya Hipertensi (+)
Kelainan syaraf : Disangkal
Alergi : Disangkal
Lain-lain : Disangkal

2.3. Pemeriksaan Klinis


1. Ekstra oral
Muka : Simetris
Pipi kiri : Tidak ada kelainan
Pipi kanan : Tidak ada kelainan
Bibir atas : Tidak ada kelainan
Bibir bawah : Tidak ada kelainan
Sudut mulut : Tidak ada kelainan
4

Kelenjar submandibularis kanan : Tidak teraba


Kelenjar submandibularis kiri : Tidak teraba
Kelenjar submentalis : Tidak teraba
Kelenjar leher : Tidak teraba
Kelenjar sublingualis : Tidak teraba
Kelenjar parotis kiri : Tidak teraba
Lain-lain :-
2. Intra oral
Mukosa labial atas : Tidak ada kelainan
Mukosa labial bawah : Tidak ada kelainan
Mukosa pipi kanan : Tidak ada kelainan
Mukosa pipi kiri : Tidak ada kelainan
Bukal fold atas : Hiperemis (+) kanan kiri
Bukal fold bawah : Tidak ada kelainan
Labial fold atas : Tidak ada kelainan
Labial fold bawah : Tidak ada kelainan
Gingiva rahang atas : Hiperemis (+) kanan kiri belakang, terdapat
abses kanan kiri belakang
Gingiva rahang bawah : Tidak ada kelainan
Lidah : Tidak ada kelainan
Dasar mulut : Tidak ada kelainan
Palatum : Tidak ada kelainan
Tonsil : Tidak ada kelainan
Pharynx : Tidak ada kelainan
5

Abses periodontal kanan kiri atas belakang


Gigi goyang + karies superfisialis 6
Karies superfisialis 7  Sondase (-), Perkusi (-), Palpasi (-), CE (-)
5
GP 6  Sondase (+), Perkusi (-), Palpasi (-), CE (+)
GR 8
Kalkulus 5,4,3,2,1 1,2,3
2,1 1,2
Gigi tanggal 8,7 8
8,7,6 6,7

2.4. Diagnosis Sementara


1. Abses periodontal kanan kiri atas belakang
2. Gigi goyang + karies superfisialis 6
3. GP 6  Sondase (+), Perkusi (-), Palpasi (-), CE (+)
4. GR 8
5. Karies superfisialis 7  Sondase (-), Perkusi (-), Palpasi (-), CE (-)
5
6. Kalkulus 5,4,3,2,1 1,2,3
2,1 1,2
7. Gigi tanggal 8,7 8
8,7,6 6,7
6

2.5 Rencana Perawatan


 Pro Incisi Abses
 Pro Ekstrasi 6 6
8
 Pro Konser 7
5
 Pro Scaling 5,4,3,2,1 1,2,3
2,1 1,2
 Pro Protesa 8,7 8
8,7,6 6,7

2.6 Medikamentosa
R/ Clindamicin cap. 300 mg, No. XV
S 3 dd cap. I pc

2.7 Pemeriksaan penunjang


√ Lab. Rontgenologi mulut/ Radiologi
− Lab.Patologi anatomi
− Sitologi
− Biopsi
− Lab.Mikrobiologi
− Bakteriologi
− Jamur
− Lab.Patologi Klinik

2.8 Rujukan
√ Poli Penyakit Dalam
− Poli THT
− Poli Kulit & Kelamin
− Poli Syaraf

2.9 Diagnose akhir


Suspect Sinusitis Maksilaris Akut e.c Abses Periodontal 8,7,6
7

LEMBAR PERAWATAN

Tanggal Elemen Diagnosa Therapi Keterangan

28-9-2011 8,7,6 8 Abses R/ Clindamicin cap DHE:


Periodontal 300 mg, No.XV  Stabilkan tekanan
S 3 dd cap. I pc darah terlebih
Pro Incisi dahulu
 Biasakan
6 Gigi Goyang + Pro Ekstraksi menggosok gigi 3
Karies kali sehari secara
Superfisialis teratur, terutama
malam hari
6 Gangren Pulpa Pro Ekstraksi sebelum tidur
 Kontrol ke dokter
8 Gangren Radix Pro Ekstraksi gigi 6 bulan sekali
secara teratur
7 Karis Pro Konser
5 Superfisialis

5,4,3,2,1 1,2,3 Kalkulus Pro Scaling


2,1 1,2

8,7 8
Gigi Tanggal Pro Protesa
8,7,6 8,7
8

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya
disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab
utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang
selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri (FK UI, 2007).
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila
mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena
dalah sinus etmoidalis dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus
sphenoid lebih jarang lagi (FK UI, 2007).
Sinus maksila disebut juga antrum highmore, letaknya dekat akar gigi
rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinus dentogen.
Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik.
Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan
intracranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati
(Hilger, dkk,1997).

Gambar 1. Anatomi Paranasal (Hilger, 1997).


9

3.2 Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan faktor predisposisi antara lain ISPA akibat
virus, bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita
hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi
konka, sumbatan kompleks osteomeatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi yaitu
dikarenakan bakteri anaerob yang ditemukan sebagai penyebab sinusitis
maksilaris, terkait dengan infeksi pada gigi premolar, kelainan imunologi,
diskinesia silia seperti pada sindrom kartagener dan diluar negri adalah penyakit
fibrosis kistik (Mangunkusumo, 2001).

3.3 Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh potensi ostium-ostium sinus dan lancarnya
klirens mukosiliar didalam KOM. Mucus juga mengandung substansi
antimicrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh
terhadap kuman yang masuk bersama udara pernapasan. Organ-organ yang
membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang
berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium
tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negative didalam rongga sinus yang
menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous (Rubin, dkk, 2005).
Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non bacterial dan biasanya
sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Sampai Bila kondisi ini menetap,
secret yang terkumpul dalam sinus merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri. Secret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagi
rinosinusitis akut bacterial dan memerlukan terapi antibiotic. Jika terapi tidak
berhasil, inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang.
Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar.
Sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid
atau pembentukan polip dan kista (Rubin, dkk, 2005).
Etiologi sinusitis adalah sangat kompleks. Hanya 25% disebabkan oleh
infeksi, selebihnya 75% disebabkan oleh alergi dan ketidakseimbangan pada
sistim saraf otonom yang menimbulkan perubahan-perubahan pada mukosa sinus
(Cora, 2003)
10

Sinusitis bisa disebabkan oleh:


1. Alergi misalnya rinitis alergi.
2. Non alergi: trauma, paparan zat kimia, imunodefisiensi, fibrosis kistik,
sindrom kartagener, granulomatosa, infeksi virus maupun bakteri
(Dharmabakti, 2003).

Alergen

Interaksi makrofag dan limfosit T

Peleapsan mediator inflamasi

Reaksi cepat Reaksi lambat

Odem
Vasodilatasi Pe permeabilitas kapiler

Sumbatan pada hidung

Rinore

Odem

Kontraksi otot polos Sesak nafas


bronkus

Gangguan ventilasi

pH sinus

Gerakan silia dalam sinus 

Mukus tidak dapat dialirkan

Retensi mukus hipoksia

Eksudat purulen Infeksi Tumbuhnya kuman patogen

Tekanan pada sinus  Pilek bau Kuman menyebar

Nyeri

Gambar 2. Patofisiologi Sinusitis (Ballenger, 1985).


11

3.4 Klasifikasi
Berdasarkan konsensus tahun 2004, sinusitis dibagi menjadi tiga
berdasarkan waktunya, yaitu:
1. Rinosinusitis akut: gejala terjadi selama 4 minggu atau kurang dari 4 minggu
2. Rinosinusitis subakut: gejala terjadi lebih dari 4 minggu dan kurang dari 12
minggu
3. Rinosinusitis kronik: gejala lebih dari 12 minggu
Berdasarkan penelitian, Bakteri utama pada sinusitis akut adalah:
– Streptococcus pneumonia (30 – 50 %)
– Haemophylus influenzae (20 – 40 %)
– Moraxella catarrhalis (4%)
Sedangkan Bakteri utama pada sinusutis kronik tergantung pada faktor
predisposisi, namun bakteri yang ada lebih condong ke arah bakteri gram negatif
dan anaerob.
Berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi menjadi (Peter, 1997)
1.Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), segala sesuatu yang
menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Contohnya
Rinitis Akut (influenza) dan Polip, septum deviasi.
2.Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering
menyebabkan sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar).
Bakteri penyebabnya adalah Streptococcus pneumoniae, Hamophilus influenza,
Steptococcus viridans, Staphylococcus aureus, Branchamella catarhatis.

3.5 Manifestasi Klinis


Keluhan utama sinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/ rasa
tekanan pada muka dan ingus purulen yang seringkali turun ke tenggorok (post
nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu.
Keluhan nyeri atau rasa tekanan didaerah sinus yang terkena merupakan ciri
khas sinusitis akut, serta nyeri juga terasa ditempat lain.
• Sinusitis maksila : nyeri pada pipi
• Sinusitis etmoid : nyeri diantara atau dibelakang kedua bola mata
• Sinusitis frontal : nyeri didahi atau seluruh kepala
12

• Sinusitis sfenoid : nyeri di verteks, oksipital, belakang bola mata, daerah


mastoid
Gejala lain adalah sakit kepala, hipoosmia/anosmia, halitosis, post nasal drip
yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Keluhan sinusitis kronik tidak
khas, kadang-kadang hanya satu atau 2 dari gejala berikut seperti sakit kepala
kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga
akibat sumbatan kronik muara tuba eustacheus, gangguan ke paru seperti
bronkhitisdan serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak,
mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis (FK UI, 2007).
Gejala subjektif
• Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret di hidung dan sekret pasca nasal.
• Gejala faring, yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorok
• Gejala telinga, berupa pendengaran terganggu
• Nyeri / sakit kepala
• Gejala mata karena penjalaran infeksi melalui duktus naso-lakrimalis
• Gejala saluran napas, berupa batuk dan kadang terdapat komplikasi di paru
• Gejala saluran cerna,karena mukopus yang tertelan.
Gejala objektif
• Gejala objektif→berupa pembengkakan di daerah muka.
o Sinusitis maksilaris→di pipi dan kelopak mata bawah
o Sinusitis frontal→di dahi dan kelopak mata atas
o Sinusitis etmoid→jarang bengkak,kecuali bila ada komplikasi
• Pada rinoskopi anterior tampak konka hiperemis dan edema
o Sinusitis maksila,frontal dan etmoid anterior tampak mukopus di meatus
medius
o Sinusitis etmoid poterior dan sfenoid tampak nanah keluar dari meatus
superior
• Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip)
(Boeies, dkk, 1989).
13

3.6 Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan
posterior, pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang
lebih tepat dan dini. Tanda khas adalah adanya pus dimeatus medius atau didaerah
meatus superior.
Kriteria Rinosinusitis akut menurut American Academy of Otolaringology &
American Rhinologic Society adalah sebagai berikut:

Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada
pembengkakan dan kemerahan didaerah kantus medius.
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto
polos posisi waters, PA atau lateral , umumnya hanya mampu menilai kondisi-
kondisi sinus-sinus besar. Kelainan akan terlihat berupa perselubungan, batas
udara cairan atau penebalan mukosa. CT scan sinus merupakan gold standar
diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya
penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun,
karena mahal hanya dikerjakan sbagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang
tidak membaik dengan pengobatan atau praoperasi sebagai panduan operator saat
melakukan operasi sinus.
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Pemeriksaan mikrobiologi dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil
secret dari meatus medius/superior, untuk mendapat antibiotic yang tepat guna.
Lebih baik lagi bila diambil dari pungsi sinus maksila (Merry, 2001).
14

3.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding sinusitis adalah luas, karena tanda dan gejala sinusitis
tidak sensitif dan spesifik. Infeksi saluran nafas atas, polip nasal, penyalahgunaan
kokain, rinitis alergika, rinitis vasomotor, dan rinitis medikamentosa dapat datang
dengan gejala pilek dan kongesti nasal.
Rhinorrhea cairan serebrospinal harus dipertimbangkan pada pasien dengan
riwayat cedera kepala. Pilek persisten unilateral dengan epistaksis dapat mengarah
kepada neoplasma atau benda asing nasal. Tension headache, cluster headache,
migren, dan sakit gigi adalah diagnosis alternatif pada pasien dengan sefalgia
atau nyeri wajah. Pasien dengan demam memerlukan perhatian khusus, karena
demam dapat merupakan manifestasi sinusitis saja atau infeksi sistem saraf pusat
yang berat, seperti meningitis atau abses intrakranial (Michael, 1987).

3.8 Pengobatan
Sinusitis maxillaris akut umumnya di terapi dengan:
1. Antibiotik spektrum luas, seperti: amoxicillin, ampicillin, atau eritromisin.
Alternatif lain berupa amoxicillin/klavulanat, sefaklor, sefuroksim, dan
trimetoprim plus sulfonamid.
2. Dekongestan, seperti: pseudoefedrin, tetes hidung fenilefrin (neosynephrine)
atau oksimetazolin dapat diberikan selama beberapahari pertama infeksi
namun kemudian harus dihentikan.
3. Analgetik untuk meringankan gejala, seperti aspirin dan asetaminofen.
4. Kompres air hangat pada wajah untuk meringankan gejala.
Dengan terapi tersebut, pasien biasanya memperlihatkan tanda-tanda
perbaikan dalam dua hari dan proses penyakit biasanya menyembuh dalam 10 hari
meskipun konfirmasi radiologis dalam hal kesembuhan total memerlukan waktu 2
minggu atau lebih. Kegagalan penyembuhan dengan suatu terapi aktif
menunjukan organisme tidak lagi peka terhadap antibiotik atau antibiotik tersebut
gagal mencapai lokulasi infeksi. Pada kasus demikian, ostium sinus dapat odem
sehingga drainase sinus terhambat dan terbentuk abses sejati. Bila demikian,
terdapat indikasi irigasi antrum segera (George et al, 1997)
15

Pengobatan yang diberikan ditujukan untuk infeksi dan faktor-faktor


penyebab Infeksi secara bersama-sama. Di samping pemberian antibiotik dan
dekongestan, juga perlu diperhatikan predisposisi kelainan obstruksi yang
disebabkan karena rinitis alergi. Pengobatan untuk rinitis alergi terdiri atas 5
bagian utama , yaitu :
1. Menghindari alergen penyebab.
Dapat dilakukan dengan mengisolasi penderita dari alergen, menempati
suatu sawar antara penderita dan alergen atau menjauhkan dari penderita
alergen. Untuk pencegahan ini, diperlukan identifikasi alergen dan
menghindari aleregn penyebab (avoidance). Dalam pengelolaan penderita
alergi inhalan, menganjurkan penderita untuk menghindari alergen penyebab
tidaklah mudah, sehingga poliklinik THT RSUD Dr. Soetomo telah
mengadakan kegiatan penyuluhan kesehatan masyarakat rumah sakit (PKMRS)
mengenai debu rumah kepada penderita dan keluarganya (Roesmono, 1980 dan
Elfahmi, 2001 dalam Cora, 2003)
2. Pengobatan simptomatis.
Diberikan bila pencegahan terhadap alergen penyebab tidak memberikan
hasil yang memuaskan. Ada 4 golongan obat yang dapat di berikan, yaitu
golongan antihistamin, simpatomimetik, kortikosteroid dan stabilisator
mastosit. Antihistamin, merupakan senyawa kimia yang dapat melawan kerja
histamin dengan mekanisme inhibisi kompetitif pada lokasi reseptor histamin.
Ada dua macam antihistamin, yaitu antihistamin penghambat reseptor H1
(AH1) dan antihistamin penghamb at reseptor H2 (AH2).48 Antihistamin H1
sampai saat ini dikenal 2 macam, yaitu antihistamin klasik dan antihistamin
generasi kedua atau baru. Golongan antihistamin H1 klasik yang sering
digunakan adalah etanolamin, etilendiamin, alkelamin, fenotiazin,
siproheptadin, hidroksizin, pirezin. Efek antihistamin klasik, yaitu
antihistaminik, yaitu menghilangkan gejala-gejala alergi dan antikolinergik,
yaitu mengurangi sekresi kelenjar eksorin, sekresi saliva sehingga dapat
mengurangi gejala rinore, tetapi dapat juga menyebabkan keringnya mukosa
mulut dan tenggorok serta sedatif, yaitu merupakan efek samping yang paling
sering terjadi (Roesmono, 1980 dan Oedono, 1999 dalam Cora, 2003)
16

Golongan antihistamin generasi baru yang beredar di pasaran , yaitu


terfenadin, loratidin, astemizol, oxatomide, mequitazine dan cetirizine.
Golongan ini tidak mempunyai hubungan kimia yang langsung dengan
histamin, hanya mempunyai suatu struktur nitrogen aromatik yang sama dalam
bentuk piperidin, piperazin atau piridin. Efek antihistamin baru, yaitu sebagai
antihistaminic long action, dimana waktu paruhnya lama, sehingga cukup
diberika 1 x sehari. Hal ini karena ikatannya dengan reseptor H1 lebih sukar
lepas, sehingga efek terapinya lebih lama, selain dari itu efek antikolinergiknya
lebih ringan dari non sedatif karena tidak menembus sawar otak serta
stabiliator sel mastosit, sehingga dapat mencegah terjadinya degranulasi atau
penglepasan mediator amine-vasoaktif dengan mencegah influk ion Ca
kedalam sel mastosit. Dengan demikian antihistamin generasi kedua ini dapat
mencegah gejala-gejala yang ditimbulkan, baik oleh mediator yang sudah
terbentuk (preformed ) maupun yang belum terbentuuk (newly generated)
(Oedono, 1999 dalam Cora, 2003).
Antihistamin H2 seperti simetidin dan ranitidin dapat berguna bila diberikan
bersama antihistamin H1 sumbatan hidung, tetapi untuk pengobatan polip
hidung tidak memberikan hasil (Oedono, 1999 dalam Cora, 2003). Golongan
simpatomimetik (dekongestan). Penggunaan obat ini mengurangi edema
mukosa hidung melalui rangsangan reseptor alfa dan menghambat penglepasan
histamin dari mastosit melalui rangsangan reseptor beta. Obat –obat
dekongestan dapat dibedakan menjadi dekongestan sistemik, biasanya peroral,
misalnya fenil propanolamin, efedrin HCI dan pseudeoefedrin HCI, dan
dekongestan lokal yang terdiri dari derivat imidazolin (oxymetazoline,
xylometazoline), derivat simpatomimetik (fenilefrin, fenil propanolamine,
efedrin HCI). Suatu dekongestan dapat diberikan secara tunggal atau
kombinasi dengan antihistamin H1 lokalisata peroral pada pengobatan rinitis
alergi.
Pemakain lama antihistamin lokal dan dekongestan tidak dianjurkan, karena
antihoistamin lokal dapat menimbulkan sensitisasi dan dekongestan lokal dapat
menimbulkan iritasi dan “rebound phenomenon” seperti pada rinitis
medikamentosa, sehingga pemakaian obat ini dibatasi 3 – 4 hari. Pada
17

obstruksi hidung yang berat dapat diberikan obet tetes efedrin 0,5-1%, maka
sumbatan akan hilang setelah 10 menit selama 2 sampai 4 jam. Obat
dekongestan yang paling sedikit efek sampingnya yaitu oxymetazoline.48
Ipatropium bromide, adalah obat selain mempunyai efek parasimpatolitik juga
mempunyai efek anti kolinergik dan efek topikal yang tinggi serta memiliki
atropine like effect. Semula obat ini dipakai sebagai bronkodilator dengan
nama dagang atrovent dan dapat mengurangi rinore pada penderita rinitis
alergi, rhinitis vasomotor dan common cold (Oedono, 1999 dalam Cora, 2003).
Kortikosteroid. Bila hasil pengobatan antihistamin dan dekongestan belum
berhasil maka dapat diberikan kortikosteroid secara sistemik maupun
intranasal. Pengobatan lokal dengan beklometason atau flunisolid lebih disukai,
karena kerjanya langsung dan efek sampingnya yang rendah. Untuk pemberian
yang efektif biasanya memerlukan beberapa hari sampai beberapa minggu.
Efek kortikosteroid ialah menghambat aktifitas histamin dan zat kinin
vasoaktif, menstabilkan membran sehingga penglepasan zat mediator
dihambat, tetapi tidak menghambat interaksi antar antigen dan antibodi. Di
laporkan pemberian kortikosteroid dapat mengurangi besarnya polip hidung.48
Stabilisator mastosit, yang termasuk dalam golongan ini adalah natrium
kromolin dan ketotifen. Efek natrium kromolin (sodium kromoglikat) ialah
menurunkan pengelepasan zat mediator, sehingga dianggap sebagai pengobtan
pencegahan dan diberikan sebelum terjadi kontak dengan alergen. Efek
sampingnya minimal, terutama berupa iritasi lokal. Pemakaian pada polip
hidung belum dapat dibuktikan keberhasilannya. Ketotifen, sebagai stabilisator
sel mastosit, diserap dalam saluran cerna dan dalam bentuk utuh keluar lewat
urine dan tinja. Efek sampingnya sama seperti antihistamin H1. Trombosit
secara reversibel, sehingga penggunaan kombinasi kedua obat tersebut
sebaiknya dihindari (Oedono, 1999 dan Elfahmi, 2001 dalam Cora, 2003).
3. Imunoterapi (desensitisasi, hiposensitisasi).
Pemberian imunoterapi dapat dipertimbangkan bila cara-cara konservatif
tidak berhasil. Dasar dari imunoterapi adalah menyuntikkan alergen penyebab
secara bertahap dengan dosis kecil yang makin meningkat untuk menginduksi
toleransi pada penderita alergi. Suatu dosis imunoterapi yang efektif (optimal)
18

akan menimbulkan perubahanperubahan klinis dan imunologik sebagai berikut:


1) Kenaikan pada Ig D khususnya antibody penghambat Ig G1 dan Ig G4 yang
tetap akan tinggi selama imunoterapi diberikan. Peran Ig G1 dan Ig G4 diduga
untuk menetralkan alergen sebelum mencapai Ig E yang terikat di sel mastosit.
Besarnya kenaikan Ig G yang terbentuk dipengaruhi oleh dosis alergen yang
diberikan . 2) kenaikan kadar Ig E pada imunoterapi, kemudian turun perlahan-
lahan sampai lebih rendah dari kadar sebelum imunoterapi dalam waktu 18-24
bulan, kemudian dapat naik lagi dalam waktu 1-2 tahun setelah imunoterapi
dihentikan. 3) kenaikan kadar Ig A dan Ig G dalam sekret hidung. 4)
Berkurangnya responsivitas limfosit secara invitro, 5) meningkatkan nilai
ambang dosis alergen yang digunakan pada tes provaksi hidung. 6) Supresi
reaksi lambat pada tes kulit intradermal terhadap alergen spesifik. 7)
berkurangnya penglepasan histamin oleh basofil. Dari berbagai penelitian
menunjukkan sekitar 60-90 % kasus memberikan respons dengan imunoterapi
konvensional. Secara umum hasil imunoterapi dapat digolongkan ke dalam 3
kelompok, yaitu : 1) Penderita mengalami perbaikan klinik sampai imunoterapi
dihentikan. 2) Penderita mengalami perbaikan klinik selama imunoterapi, tetapi
kadang-kadang timbul gejala yang dapat diatasi dengan terapi medikamentosa.
3) Hilangnya keluhan selama imunoterapi tidak berbeda dengan keadaan
sebelumnya.
Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan kegagalan imunoterapi, yaitu
tindakan menghindari alergen yang kurang adekuat, pemilihan jenis alergen
yang tidak tepat, dosis yang diberikan kurang cukup dan diagnosis yang salah
(Roesmono 1980 dalam Cora, 2003). Meskipun imunoterapi efektif untuk
pengobatan rinitis alergi, namun efektivitasnya belum dapat dipastikan pada
pengobatan polip hidung. Kontra indikasi pemberian desensitisasi ialah
golongan penyakit kolagen dan glomerulonefritis karena dapat menyebabkan
penyakit bertambah aktif. Pada kehamilan pemberian imunoterapi harus lebih
hati-hati. Beberapa penulis menyatakan sebaiknya tidak diberikan, karena
dapat menyebabkan malformasi pada bayi yang dilahirkan. Sebaliknya ada
yang menyatakan bahwa antigen yang diberikan tidak dapat melalui sawar
(barier) plasenta (Roesmono 1980 dalam Cora, 2003).
19

4. Penatalaksanaan komplikasi atau faktor-faktor yang memperburuk.


Kelemahan, stress emosi, perubahan suhu yang mendadak, infeksi yang
menyertai, deviasi septum dan paparan terhadap polutan udara lainnya yang
dapat mencetuskan, memperhebat dan mempertahankan gejala -gejala yang
menyertai rinitis alergi, polip hidung dan sinusitis. Penanganan faktor-faktor
ini sama pentingnya dengan pengobatan yang ditujukan terhadap alerginya.
5. Pengobatan operatif baru dilakukan bila pengobatan medikamantosa gagal.
Pembedahan disini untuk mengurangi gejala alergi seperti sinusitis dan
polip nasi. Tindakan ini memungkinkan ventilasi dan drenase hidung serta
mengupayakan aliran hidung dan sinus yang memadai.4,26 Pengobatan pada
sinusitis maksila kronis, pada prinsipnya memperbaiki drenase dan
menormalkan kembali atau membuang lapisan mukosa yang telah mengalami
kerusakan. Perubahan pada mukosa sinus dapat bersifat reversibel dan
ireversibel sehingga, pengobatan sinusitis maksila, terdiri atas :(Sharma, 2001
dan Oedono, 1999 dalam Cora, 2003).
Pengobatan konservatif. Secara klinis untuk mengetahui keadaan mukosa
yang reversibel sangat sulit, jika pengobatan secara konservatif tidak berhasil.
Pengobatan ini meliputi obat antialergi dan dekongestan, obat mukolitik untuk
mengencerkan sekret ;obat analgetik, untuk mengurangi rasa nyeri, obat
antibiotik, sebaiknya disesuaikan dengan hasil pemeriksaan mkirobilogik dan
kultur resistensi kuman. Biasanya diberikan antibiotik yang mempunyai
spektrum luas selama 10-14 hari. Termasuk pula pengobatan diatermi, dengan
sinar gelombang pendek (ultra short wave diathermi). Dengan pengobatan ini
maka temperatur sinus akan naik antara 1,7 sampai 2,2 C, sehingga akan
memperbaiki vaskularisasi sinus maksila. Diatermi dapat diberikan selama 10
hari dan tidak boleh digunakan dalam keadaan akut. Memperbaiki lingkungan
yang jelek sekitar penderita, lingkungan udara yang bersih, terutama pada
anak-anak dapat membantu mempercepat kesembuhan (Sharma, 2001 dan
Lund, 1997 dalam Cora, 2003).
Pungsi dan irigasi sinus maksila termasuk pengobatan konservatif,
diperlukan untuk mengeluarkan sekret dari rongga sinus maksila yang dapat
dilakukan melalui ostium sinus maksila di meatus medius, meatus inferior dan
20

fosa kanina. Dilakukan maksimal enam kali setiap 2 – 3 hari sekali. Jika
terdapat nanah (pus), berarti pengobatan konservatif tidak berhasil dan
dipertimbangkan pengobatan secara operatif. Kontraindikasi pungsi sinus
maksila ialah tidak boleh dilakukan pada saat ada infeksi akut karena dapat
mengakibatkan oesteomielitis dan trauma pada maksila. Antrostomi intranasal,
yaitu tindakan membuat lubang pada meatus inferior yang menghubungkan
rongga hidung dan sinus maksila, untuk drainase sekret dan ventilasi sinus
maksila. Biasanya dilakukan pada penderita yang memerlukan irigasi berulang
kali dan tidak dapat dilakukan pungsi sinus dengan anestesi lokal. Antrostomi
yang cukup baik ialah yang diameternya cukup lebar, pemanen dan letaknya
serendah mungkin pada dasar hidung. Bersama antrostomi dapat dilakukan
operasi lain yang bertujuan untuk reseksi septum dan konkotomi (Lund, 1997
dalam Cora, 2003)
Pengobatan operatif radikal. Dengan operasi Calddwell-Luc bila kerusakan
mukosa sudah ireversibel dan gagal dengan pengobatan konservatif. Operasi
ini dilakukan dengan membuat sayatan sublabial kurang lebih dari 2 cm diatas
sulkus ginggivobukalis dari insisivus 2 samapi molar 1. Sayatan dilanjutkan
sampai periosteum, kemudian periosteum dilepaskan dan mukosa pipi tarik ke
atas. Selanjutnya dibuat lubang pada fosa kanina dan melalui lubang tersebut
mukosa yang inversibel dibersihkan (Lund, 1997 dalam Cora, 2003). Bedah
sinus endoskopik fungsional. Tindakan ini ditujukan untuk membersihkan
kelainan di kompleks ostiomeatal dengan mempergunakan endoskop
(teleskop). Hal ini dilakukan pada sinusitis maksila kronis yang disebabkan
oleh penyebaran infeksi dari fokus infeksi di sinus etmoid anterior, terutama
dari infundibulum etmoid dan resesus frontal. Ventilasi dan drenase sinus
maksila akan terbentuk kembali melalui jalan alamiah, sehingga setelah
beberapa waktu sinus akan kembali normal, sehingga pembedahan radikal
tidak diperlukan lagi (Lund, 1997 dalam Cora, 2003
Penatalaksanaan sinusitis dibagi atas:
1. Medikamentosa
Medikamentosa sinusitis dibagi atas pengobatan pada orang dewasa dan
pada anak – anak.
21

a. Orang dewasa
i. Terapi awal:
- Amoxicillin 875 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau
- TMP-SMX 160mg-800mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari
ii. Pasien dengan paparan antibiotik dalam 30 hari terakhir
- Amoxicillin 1000 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau
- Amoxicillin/Clavulanate 875 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari,
atau
- Levofloxacin 500 mg per oral sekali sehari selama 7 hari.
iii. Pasien dengan gagal pengobatan
- Amoxicillin 1500mg dengan klavulanat 125 mg per oral 2 kali sehari
selama 10 hari, atau
- Amoxicillin 1500mg per oral 2 kali sehari dengan Clindamycin 300 mg
per oral 4 kali sehari selama 10 hari, atau
- Levofloxacin 500 mg per oral sekali sehari selama 7 hari.
b. Anak – anak
i. Terapi awal: Pengobatan oral selama 10 hari dengan:
- Amoxicillin 45-90 mg/kg/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis sehari,
atau
- Cefuroxime axetil 30 mg/kg/hari terbagi dalam dua dosis sehari, atau
- Cefdinir 14 mg/kg/hari dalam satu dosis sehari.
ii. Pasien dengan paparan antibiotik dalam 30 hari terakhir: Pengobatan oral
selama 10 hari dengan:
- Amoxicillin 90 mg/kg/hari (maksimal 2 gram) plus Clavulanate 6,4
mg/kg/hari, keduanya terbagi dalam dua dosis sehari, atau
- Cefuroxime axetil 30 mg/kg/hari terbagi dalam dua dosis sehari, atau
- Cefdinir 14 mg/kg/hari dalam satu dosis sehari.
2. Diatermi
Diatermi gelombang pendek selama 10 hari dapat membantu penyembuhan
sinusitis dengan memperbaiki vaskularisasi sinus.
22

3. Tindakan pembedahan
Terdapat tiga pilihan operasi yang dapat dilakukan pada sinusitis maksilaris,
yaitu unisinektomi endoskopik dengan atau tanpa antrostomi maksilaris,
prosedur Caldwell-Luc, dan antrostomi inferior. Saat ini, antrostomi unilateral
dan unisinektomi endoskopik adalah pengobatan standar sinusitis maksilaris
kronis refrakter. Prosedur Caldwell-Luc dan antrostomi inferior antrostomy
jarang dilakukan (Peter, 1997).

3.9 Komplikasi
Sejak ditemukan antibiotik, komplikasi sinusitis maksila telah menurun
secara drastis. Komplikasi sinusitis maksila terjadi jika sinusitis tersebut menjadi
kronis. Komplikasi yang dapat terjadi ialah(Pandi et al, 1990 dan Wright et al
1997 dalam Cora 2003):.
1. Oesteomielitis dan abses subperiostal
Oesteomielitis maksila jarang terjadi, tersering adalah osteomielitis frontal
dan biasanya ditemukan pada anak. Oesteomielitis sinus maksila dapat
menyebabkan timbulnya fistula oroantal yaitu fistula yang menggabungkan
rongga mulut dan sinus maksila. Penyebab terjadinya fistula ini selain karena
komplikasi sinusitis maksila ke dalam juga karena tindakan ekstraksi gigi
molar atas, kista gigi, tumor palatum dan sinus maksila serta trauma pada
operasi gigi atau sinus maksila. Gejala klinis berupa keluarnya cairan yang
berbau busuk dari sinus maksila ke dalam mulut. Pada pemeriksaan , bila
lubangnya besar akan terlihat lubang yang menghubungkan rongga mulut dan
sinus maksila tetapi bila lubangnya kecil dapat diperiksa dengan memasukkan
udara yang melewati fistula. Fistula yang baru dan kecil dapat menutup dengan
sendirinya. Bila fistula cukup besar dan kronis perlu tindakan operasi plastik
selain pengobatan sinusitisnya.
2. Kelainan orbita
Paling sering berasal dari sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan
maksila. Penyebaran infeksinya melalui tromboflebilitis dan perkontinuitatum.
Kelainan yang dapat ditimbulkan ialah edema palpebra selulitis orbita, abses
subperiostal, abses orbita dan trombosis sinus kavernosus. Edema palpebra,
23

biasanya dari sinusitis etmoid dan ditemukan pada anak-anak. Selulitis orbita,
edemanya bersifat difus, belum terbentuk nanah (pus) dan isi orbita telah
diinvasi bakteri. Pada abses subperiostal, pus telah terbentuk di antara
periorbita dan dinding tulang orbita, serta menyebabkan proptosis dan kemosis.
Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita.
Tampak gejala neuritis optikus, kebutaan dan bercampur unilateral,
keterbatasan gerak otot ekstraokuler mata yang terserang. Proptosis makin
bertambah dengan tanda khas adanya kemosis konjungtiva. Trombosis sinus
kavernosus, komplikasi ini merupakan akibat penyebaran bakteri melalui
saluran vena ke dalam sinus kavernosus, sehingga terbentuk suatu
tromboflebitis septik. Tampak gejala – gejala oftalmoplegia, komosis,
konjungtiva, gangguan penglihatan yang berat, kelemahan dan tanda-tanda
meningitis karena letak sinus berdekatan dengan saraf cranial II,III,IV,VI dan
otak. Penderita edema palpebra dapat berobat jalan dengan pemberian
antibiotik serta tetes hidung. Penderita tahap selulitis orbita dan komplikasi
yang lebih berat harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotik intravena
dosis tinggi serta dilakukan tindakan membebaskan pus dari rongga abses.
Prognosis pada komplikasi ini, angka kematian sebesar 60-80%. Gejala sisa
trombosis kavernosus seringkali berupa atrofi optikus.
3. Mukokel
Suatu kista yang mengandung mukus yang timbul di dalam sinus. Kista ini
paling sering pada sinus maksila dan tersering berupa kista retensi mukus dan
biasanya tidak berbahaya. Mukokel yang terinfeksi dan berisi pus disebut
piokel. Patogenesisnya dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu obstruksi dan
peradangan. Gambaran klinis sesuai dengan sinusitis maksila kronis. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan radiologik, sinoskopi dan ditemukan pada
operasi Caldwell-Luc. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan
histoptologik. Pengobatan dengan eksplorasi sinus untuk mengangkat semua
mukosa yang terinfeksi, sehingga drenase sekret dan ventilasi sinus maksila
menjadi baik.
24

4. Kelainan intrakranial
Meningitis, abses ekstradural, abses subdural, abses otak dan tromboss sinus
cavernosus.
5. Kelainan paru
 Bronkitis kronis, bronkiektasis dan asma bronchial.
 Adanya kelainan sinus paranasal yang disertai dengan kelainan paru
 disebut sindrom sinobronkitis.

3.10 Prognosis
Prognosis sinusitis sangat baik dengan kurang lebih 70% pasien sembuh
tanpa pengobatan. Prognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu sekitar 40 %
akan sembuh secara spontan tanpa pemberian antibiotik. Terkadang juga penderita
bisa mengalami relaps setelah pengobatan namun jumlahnya sedikit yaitu kurang
dari 5 %. Komplikasi dari penyakit ini bisa terjadi akibat tidak ada pengobatan
yang adekuat yang nantinya akan dapat menyebabkan sinusitis kronik, meningitis,
brain abscess, atau komplikasi extra sinus lainnya (Piccirillo, dkk, 1997).
Sedangkan prognosis untuk sinusitis kronik yaitu jika dilakukan pengobatan yang
dini maka akan mendapatkan hasil yang baik. Untuk komplikasinya bisa berupa
orbital cellulitis, cavernous sinus thrombosis, intracranial extension (brain
abscess, meningitis) dan mucocele formation (Rukmini, 1997).

4.11 Abses Periodontal


Abses periodontal merupakan suatu abses yang terjadi pada gingiva atau
pocket periodontal. Terjadi akibat adanya faktor iritasi, seperti plak, kalkulus,
infeksi bakteri, impaksi makanan atau trauma jaringan. Keadaan ini dapat
menyebabkan kerusakan alveolar sehingga gigi goyang.
Manifestasi klinis bia berupa:
• Gingiva bengkak,
• mukosa sekitarnya kebiru-biruan, dan terasa sangat sakit.
• Penderita merasa sakit bila giginya beradu.
• Terkadang disertai demam.
25

Pada pemeriksaan terlihat adanya pengumpulan pus sepanjang akar gigi


disebabkan infeksi jaringan periodontal dan gigi masih vital. Diagosa abses
periodontal dapat diperoleh dari anamnesa, pemeriksaan klinik, dan pemeriksaan
radiografi. Pada pemeriksaa radiologi tampak gambaran radio luncent pada
samping permukaan gigi, secara khas nampak di apex dari akar. Walau
bagaimanapun karena lokasi anatomi, kadang-kadang tidak ada perubahan
gambaran radiography, kerusakan tulang yang luas dapat terlihat. Gambaran
radiography tidak bisa digunakan sebagai satu-satunya pembantu diagnosa
periodontal abses karena variasi lokasi dan langkah-langkah perkembangan dari
abses.
Pengobatanya dibagi menjadi dua langkah, yaitu:
 Langkah pertama adalah mengurangi abses dan radang yang akut itu. Drainase
harus dengan kuret pada pocket atau insisi abses itu. Pencabutan gigi
diperlukan untuk melengkapi drainase eksudat purulent. Terapi antibiotik
adalah indikasi dimana demam atau lymphadenopathy servical terjadi.
 Langkah kedua yaitu pengurangan pocket untuk mengangkat penyebab dan
abses. Hal ini dapat menyelesaikan secara efisien pada perawatan periodontal.
Prognosis periodontal abses tergantung pada jumlah dan jenis kerusakan
tulang, posisi gigi dan abses dan mobilitas dari gigi. Prognosis untuk regenerasi
tulang yang mengalami infeksi akut adalah lebih baik dari pada regenerasi tulang
yang mengalami lesi kronis.
26

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Sinusitis, merupakan salah satu penyakit atau kelainan pada sinus paranasal
yang akhir-akhir ini semakin meningkat angka kejadiannya. Dampak yang
ditimbulkan oleh penyakit ini bervariasi, mulai dari yang ringan sampai dengan
yang berat. Betapapun ringannya dampak yang ditimbulkan, penyakit ini selalu
menyebabkan penurunan kualitas hidup penderitanya. Sehingga akan terjadi pula
kerugian, baik yang dapat ternilai maupun yang tidak dapat ternilai harganya.
Pasien dalam kasus ini didiagnosa suspect sinusitis maxillaris akut et causa
abses periodontal berdasarkan anamnesa dan temuan klinik. Sinusitis maxillaries
akut adalah peradangan pada bagian sinus maksilaris yang terjadi beberapa hari
sampai dengan 4 minggu. Dari anamnesa didapatkan bahwa pasien mengeluhkan
dari hidung yang sebelah kanan mengeluarkan cairan agak kental berwarna
kekuningan dan berbau. Sedangkan dari pemeriksaan didapatkan abses
periodontal kanan kiri belakang pada ginggiva superiornya.
Penatalaksanaaan sinusitis maksilaris dengan pemberian Clindamicin 300
mg sebagai antibiotik. Selain itu perlu rawat bersama dengan spesialis THT untuk
penanganan sinusitis maksilaris.

4.2 Saran
Saran pada pasien dengan kasus ini adalah:
 Menjaga oral hygiene dengan menggosok gigi yang benar 3 kali sehari atau
setelah makan dan sebelum tidur, serta berkumur dengan mouthwash.
 Membersihkan karang gigi tiap 6 bulan sekali ke dokter gigi.
 Mengurangi konsumsi makanan yang bersifat erosif terhadap gigi, misalnya
makanan yang manis, pedas, panas dan lain-lain.
27

DAFTAR PUSTAKA

Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi
keenam. Jakarta: FKUI, 2007.

Dharmabakti US. 2003. Penatalaksanaan Baku Sinusitis. Dalam: Kumpulan


Abstrak Kongres Nasional XIII. PERHATI KL. Bali 14-16 Oktober 2003;
57.

E.Mangunkusumo . Fisiologi Hidung dan Parasanal Dalam Iskandar N. Dkk


(Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Balai Penerbit FK UI Jakarta 1990 ;
85-87

Elfahmi. 2001. Gambaran klinis Ostio Meatal pada Sinusitis maksila kronis
dengan peme riksaan nasoendoskopi. Tesis bagian THT USU,; 63-6

George L Adams, Lawrence R Boeis, Peter H.Hilger; alih bahasa Caroline wijaya;
editor Harjanto Effendi. 1997. BOEIS: buku ajar penyakit THT (BOEIS
findamental of otolaryngology) edisi 6. Jakarta: EGC

Hilger PA. 1989. Disease of Nose. In Adom GL. Boies. LR. JR. Hilger. P.
Fundamental of Otalaryngology 6th ed. Philadelphia Sounders Company ;
206 - 48.

Hilger PD. 1989 Disease of Parasanal Sinuses. Adam GL Boies LRJK Hilger
Fundametal of Oyolaryngology,6th ed. Philadelphia ; Sounders Company,;
249 – 270

Hilger, Peter, A., penyakit sinus paranasalis BOEIS Buku Ajar Penyakit THT
(BOEIS Fundamentals of Otolaryngology), Edisi 6,Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 1997.
Higler PA, editors. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6th ed.
Philadelphia, PA: WB Saunders Company. Sobol SE, Schloss MD, Tewfik
TL. Acute Sinusitis Medical Treatment; 1989. p.173-902

Higler PA. Paranasal Sinuses Diseases. In: Adams GL, Boies LR, Higler PA,
editors. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6th ed. Philadelphia, PA:
WB Saunders Company; 1989. p.240-62
28

Mangunkusumo E, Rifki N. Sinusitis. Dalam: Supardi EA, Iskandar N, editor.


Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher.
Ed 5. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI; 2001. p.120-4

Marks SC, Loechel WA. 2000. Anatomy of The Nose and Sinuses. In: Nasal and
Sinus Surgery. WB Saunders Company. Philadelphia; 3-30.\

Merry AJ. 2001. The Maxillary Antrum. In: Oral Maxillofacial Surgery. An
Objective-Based Textbook. Churchill Livingstone. Edinburg; 211-23.

Michael Beniger MD. Nasal endosccopy. It’s Role in Office Diagnosis. American
Journal of Rhinology Vol. II, No. 2 March – April 1977 , 172 – 8

N.Roesmono, E.Mangunkusuma, KG Baratawidjaja. 1980. Terapi Desensitisasi


pada Rinitis alergi. Dalam : Roezin A dan Nizar NW, eds. Kumpulan
naskah Ilmiah KONAS VI PERHATI< Medan; 141-145

Oedono, Tedjo. 1999. Pengololaan Rinitis Alergi The Modern Approach of


Allergic Rhinitis in the New Millenium, Semarang; 9-18

Peter A. Hilger, MD, 1997. Penyakit Sinus Paranasalis, dalam : Haryono,


Kuswidayanti, editor, BOIES, buku ajar Penyakit THT, penerbit buku
kedokteran EGC, Jakarta, , 241 – 258

Piccirillo JF, Thawley SE, Haiduk A, Kramper M, Wallace M, Hartman JM.


1998. Indications for Sinus Surgery: How Appropriate Are The Guidelines?
Laryngoscope; 108: 332-8

Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. Infections of the Upper Respiratory Tract. In:
Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL,
editors. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York,
NY: McGraw Hill; 2005. p. 185-93

Rifk Nusjirwan . Sinusitis Kronis dan Sinusitis Akut Berulang. Konsep


Patofisiologi Saat ini dn Penetalaksanaanya. Dalam Pendidikan Dokter
Berkelanjutan PKB Uji Diri, yayasan Penerbit IDI, Mei 1995, 1 – 12.

Rukmini S, Herawati S. 2000. Pemeriksaan Hidung dan Sinus Paranasalis. Dalam:


Rukmini S, Herawati S, editor. Teknik Pemeriksaan Telinga Hidung dan
Tenggorok. Edisi I. Jakarta: EGC;. 1: 29.

Vous aimerez peut-être aussi