Vous êtes sur la page 1sur 55

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Departemen Kesehatan Indonesia (2014), kecelakaan lalu


lintas di Indonesia dinilai menjadi pembunuh terbesar ketiga, setelah
penyakit jantung koroner dan tuberculosis/TBC. Peningkatan kecelakaan
yang terjadi sebagian besar akibat dari kelalaian manusia, sehingga banyak
yang meninggal, luka-luka dan mengalami patah tulang/fraktur. Sama
halnya menurut Rizal (2014) yang menyebutkan bahwa dari semua cidera
yang terjadi pada manusia, sedikitnya 2/3 melibatkan sistem muskuloskeletal
salah satunya adalah fraktur.
Fraktur menurut Ningsih (2011), adalah rupturnya kontinuitas struktur dari
tulang atau kartilago dengan atau tanpa disertai subluksasi fragmen. Fraktur
banyak terjadi karena trauma atau aktivitas fisik dengan tekanan yang
berlebihan, akibat pukulan langsung, gaya meremuk dan gerakan puntir
mendadak. Secara umum fraktur dibagi menjadi dua macam yakni fraktur
tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur tertutup merupakan patah tulang yang
tidak menyebabkan robeknya kulit atau kulit yang tidak tembus oleh fragmen
tulang. Sedangkan fraktur terbuka merupakan patah tulang dengan luka pada
kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang. Sama dengan jenis
fraktur, penanganan untuk fraktur juga dibagi menjadi dua yakni secara
operatif dan konservatif. Reduksi operatif dilakukan dengan alat fiksasi
internal (ORIF) ataupun dengan fiksasi eksternal (OREF). Sedangkan
reduksi konservatif dengan menggunakan gips (spalk), traksi (skin&skeletal),
splinting(balutan) (Hoppenfeld, 2011).
Pelayanan gizi di rumah sakit merupakan salah satu bagian dari sistem
pelayanan kesehatan di rumah sakit yang mempunyai peranan penting dalam
pemberian asuhan gizi pasien selama dirawat. Proses Asuhan Gizi Terstandar
atau Nutrition Care Process (NCP) adalah suatu model baru dari asuhan gizi
(ADA, 2008). Menurut Soegih (1998), tujuan utama asuhan gizi adalah
mencegah terjadinya penurunan berat badan pasien seminimal mungkin

1
dengan harapan dapat menurunkan risiko komplikasi, morbiditas dan
mortalitas. Perlu diketahui pula pelayanan gizi adalah salah satu pelayanan di
rumah sakit yang memiliki peranan sederajat dengan pelayanan kesehatan lain
di rumah sakit dalam usaha penyembuhan pasien.
Pelayanan gizi rumah sakit merupakan kegiatan terpadu dalam pelayanan
kesehatan rumah sakit. Salah satu pelayanannya adalah pelayanan rawat inap,
pelayanan gizi ini disesuaikan dengan keadaan individu dan berdasarkan status
gizi, anamnesa dan status metabolisme tubuh. Dengan memberikan terapi pada
makanan dan disesuaikan dengan jenis penyakit pasien. Keadaan gizi pasien
mempunyai peranan penting dalam proses penyembuhan penyakit, sebaliknya
perjalanan penyakit dapat berpengaruh pada keadaan gizi seseorang.
Asuhan gizi merupakan sarana dalam upaya pemenuhan zat gizi pasien
secara optimal baik berupa pemberian makanan pada pasien yang dirawat
maupun konseling gizi pada pasien rawat jalan. Upaya peningkatan status gizi
dan kesehatan masyarakat baik di dalam maupun di luar rumah sakit sebagai
salah satu upaya mewujudkan Indonesia Sehat, merupakan tugas dan
tanggungjawab tenaga kesehatan, khususnya tenaga yang bergerak di bidang
gizi.
Seorang ahli gizi harus mempunyai keahlian dan potensi dalam
melaksanakan tugasnya, memberikan pelayanan gizi kepada pasien baik
berupa konsultasi maupun pengaturan diet bagi pasien rawat inap. Kegiatan
pelayanan gizi meliputi 4 tahap yaitu : pengkajian gizi, perencanaan gizi
dengan menetapkan tujuan dan strategi, implementasi pelayanan gizi,
monitoring dan evaluasi pelayanan gizi.
Demikian peran besar peran seorang ahli gizi dalam perencanaan
pelaksanaan monitoring evaluasi diet yang diberikan pada pasien sehingga
salah satu program yang dilaksanakan memberikan gambaran dan kesempatan
dalam melaksanakan tugas seorang ahli gizi rumah sakit, maka
diselengggarakan kegiatan penerapan Konsep NCP yaitu dengan diberikannya
kasus kepada mahasiswa.

2
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu melaksanakan Nutrition Care Process (NCP) sesuai
dengan keadaan pasien
2. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa dapat mengidentifikasi identitas pasien secara lengkap.
2. Mahasiswa dapat melakukan skrining gizi.
3. Mahasiswa dapat menggali riwayat penyakit pasien.
4. Mahasiswa dapat melakukan Asessmen Gizi
5. Mahasiswa dapat melakukan diagnosis gizi.
6. Mahasiswa dapat melakukan nutrition intervention planning.
7. Mahasiswa dapat melakukan nutrition implementation.
8. Mahasiswa dapat melakukan monitoring dan edukasi.
C. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
Sebagai sarana pembelajaran yang sudah ditetapkan khususnya dalam
bidang Konsep NCP dan dapat memberikan pengetahuan dan
keterampilan dalam memberikan pelayanan gizi bagi pasien rumah sakit,
2. Bagi Rumah Sakit
Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman secara umum dalam
memberikan asuhan pelayanan gizi pada pasien close fractur 1/3 distal
radius di ruang bedah di Rumah Sakit Ulin Banjarmasin
3. Bagi Pasien
Meningkatkan motivasi dan pengetahuan pasien dan keluarga pasien
mengenai terapi gizi yang harus dijalankan sesuai dengan askep pada
pasien fraktur untuk mempercepat proses penyembuhan.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Fraktur Radius Distal

1. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya. (Brunner & Suddarth, Buku Ajar Medikal Bedah, 2002,
hal. 2357). Fraktur adalah patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma
atau tenaga fisik (Sylvia A., Patofisiologi, 1995). Fraktur radius adalah
fraktur yang terjadi pada tulang radius akibat jatuh dan tangan menyangga
dengan siku ekstensi. (Brunner & Suddarth, Buku Ajar Medikal Bedah,
2002, hal. 2372).
2. Etiologi
Fraktur radius distal adalah salah satu dari macam fraktur yang
biasa terjadi pada pergelangan tangan. Umumnya terjadi karena jatuh
dalam keadaan tangan menumpu dan biasanya terjadi pada anak-anak dan
lanjut usia. Bila seseorang jatuh dengan tangan yang menjulur, tangan
akan tiba-tiba menjadi kaku, dan kemudian menyebabkan tangan memutar
dan menekan lengan bawah. Jenis luka yang terjadi akibat keadaan ini
tergantung usia penderita. Pada anak-anak dan lanjut usia, akan
menyebabkan fraktur tulang radius. Fraktur radius distal merupakan 15 %
dari seluruh kejadian fraktur pada dewasa. Abraham Colles adalah orang
yang pertama kali mendeskripsikan fraktur radius distalis pada tahun 1814
dan sekarang dikenal dengan nama fraktur Colles. (Armis, 2000). Ini
adalah fraktur yang paling sering ditemukan pada manula, insidensinya
yang tinggi berhubungan dengan permulaan osteoporosis pasca
menopause. Karena itu pasien biasanya wanita yang memiliki riwayat
jatuh pada tangan yang terentang. (Apley & Solomon, 1995) Biasanya
penderita jatuh terpeleset sedang tangan berusaha menahan badan dalam
posisi terbuka dan pronasi. Gaya akan diteruskan ke daerah metafisis
radius distal yang akan menyebabkan patah radius 1/3 distal di mana garis
patah berjarak 2 cm dari permukaan persendian pergelangan tangan.

4
Fragmen bagian distal radius terjadi dislokasi ke arah dorsal, radial dan
supinasi. Gerakan ke arah radial sering menyebabkan fraktur avulsi dari
prosesus styloideus ulna, sedangkan dislokasi bagian distal ke dorsal dan
gerakan ke arah radial menyebabkan subluksasi sendi radioulnar distal
(Reksoprodjo, 1995) Momok cedera tungkai atas adalah kekakuan,
terutama bahu tetapi kadang-kadang siku atau tangan. Dua hal yang harus
terus menerus diingat :
a. Pada pasien manula, terbaik untuk tidak mempedulikan fraktur tetapi
berkonsentrasi pada pengembalian gerakan
b. Apapun jenis cedera itu, dan bagaimanapun cara terapinya, jari harus
mendapatkan latihan sejak awal. (Apley & Solomon, 1995)
Penyebab paling umum fraktur adalah :
a. Benturan/trauma langsung pada tulang antara lain : kecelakaan lalu
lintas/jatuh.
b. Kelemahan/kerapuhan struktur tulang akibat gangguan penyakti
seperti osteoporosis, kanker tulang yang bermetastase.
3. Patofisiologi Dan Patway
Trauma yang menyebabkan fraktur di daerah pergelangan tangan
biasanya merupakan trauma langsung, yaitu jatuh pada permukaan tangan
sebelah volar atau dorsal. Jatuh pada permukaan tangan sebelah volar
menyebabkan dislokasi fragmen fraktur sebelah distal ke arah dorsal.
Dislokasi ini menyebabkan bentuk lengan bawah dan tangan bila dilihat
dari samping menyerupai garpu. (Sjamsuhidayat & de Jong, 1998)
Benturan mengena di sepanjang lengan bawah dengan posisi pergelangan
tangan berekstensi. Tulang mengalami fraktur pada sambungan
kortikokanselosa dan fragmen distal remuk ke dalam ekstensi dan
pergeseran dorsal. (Apley & Solomon, 1995) Garis fraktur berada kira-
kira 3 cm proksimal prosesus styloideus radii. Posisi fragmen distal
miring ke dorsal, overlapping dan bergeser ke radial, sehingga secara
klasik digambarkan seperti garpu terbalik (dinner fork deformity). (Armis,
2000)

5
4. Manifestasi Klinis
a. Nyeri hebat pada daerah fraktur dan nyeri bertambah bila
ditekan/diraba.
b. Tidak mampu menggerakkan lengan/tangan.
c. Spasme otot.
d. Perubahan bentuk/posisi berlebihan bila dibandingkan pada keadaan
normal.
e. Ada/tidak adanya luka pada daerah fraktur.
f. Kehilangan sensasi pada daerah distal karena terjadi jepitan syarat
oleh fragmen tulang.
g. Krepitasi jika digerakkan.
h. Perdarahan.
i. Hematoma.
j. Syok
k. Keterbatasan mobilisasi.
5. Komplikasi
a. Komplikasi awal setelah fraktur adalah syok.
Bisa berakibat fatal dalam beberapa jam setelah cedera.
b. Sindroma kompartemen
Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang
dibutuhkan untuk kehidupan jaringan.
c. Tromboemboli
d. Infeksi.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto rontgen pada daerah yang dicurigai fraktur.
b. Pemeriksaan lainnya yang juga merupakan persiapan operasi antara
lain : Darah lengkap, Golongan darah,Masa pembekuan dan
perdarahan, EKG, Kimia darah.
7. Penatalaksanaan
a. Medis
Ada beberapa prinsip dasar yang harus dipertimbangkan pada saat
menangani fraktur :

6
1) Rekognisi
Pengenalan riwayat kecelakaan, patah atau tidak,
menentukan perkiraan yang patah, kebutuhan pemeriksaan yang
spesifik, kelainan bentuk tulang dan ketidakstabilan, tindakan apa
yang harus cepat dilakukan misalnya pemasangan bidai.
2) Reduksi
Usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen tulang
yang patah sedapat mungkin kembali seperti letak asalnya. Cara
penanganan secara reduksi : Pemasangan gips Untuk
mempertahankan posisi fragmen tulang yang fraktur. Reduksi
tertutup (closed reduction external fixation) Menggunakan gips
sebagai fiksasi eksternal untuk memper-tahankan posisi tulang
dengan alat-alat : skrup, plate, pen, kawat, paku yang dipasang di
sisi maupun di dalam tulang. Alat ini diangkut kembali setelah 1-
12 bulan dengan pembedahan.
3) Debridemen
Untuk mempertahankan/memperbaiki keadaan jaringan
lunak sekitar fraktur pada keadaan luka sangat parah dan tidak
beraturan.
4) Rehabilitasi
Memulihkan kembali fragmen-fragmen tulang yang patah
untuk mengembalikan fungsi normal.
5) Perlu dilakukan mobilisasi Kemandirian bertahap.

B. Fraktur mandibula
1. Definisi
Fraktur mandibula adalah terputusnya kontinuitas struktur tulang
pada mandibula. Hilangnya kontinuitas pada rahang bawah (mandibula),
dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan benar. Fraktur mandibula
dapat dibagi menjadi dua kelompok utama :
a. Fraktur tanpa terbukanya tulang dan tanpa kerusakan jaringan lunak

7
b. Fraktur dengan terbukanya tulang disertai dengan kerusakan yang
hebat dari jaringan lunak
Mandibula mudah terkena cedera karena posisinya yang menonjol,
sehingga mandibula mudah menjadi sasaran pukulan dan benturan.
Daerah yang lemah pada mandibula adalah daerah subkondilar, angulus
mandibula, dan daerah mentalis.
2. Etiologi
Benturan yang keras pada wajah dapat menimbulkan fraktur
mandibula. Toleransi mandibula terhadap benturan lebih tinggi daripada
tulang-tulang wajah yang lain. Fraktur mandibula lebih sering terjadi
daripada fraktur tulang wajah yang lain karena bentuk mandibula yang
menonjol sehingga sensitif terhadap benturan. Pada umumnya fraktur
mandibula disebabkan oleh karena trauma langsung.
Fraktur mandibula dapat disebabkan oleh trauma maupun proses
patologik.
a. Fraktur traumatik disebabkan oleh :
1) Kecelakaan kendaraan bermotor (50.8%)
2) Terjatuh (22.3%)
3) Kekerasan atau perkelahian (18.8%)
4) Kecelakaan kerja (2.8%)
5) Kecelakaan berolahraga (3.7%)
6) Kecelakaan lainnya (1.6%)
b. Fraktur patologik
Fraktur patologik dapat disebabkan oleh kista, tumor tulang,
osteogenesis imperfekta, osteomieleitis, osteoporosis, atropi atau
nekrosis tulang.
3. Klasifikasi
Secara umum klasifikasi fraktur mandibula dapat diklasifikasikan
berdasarkan terminologi, yaitu :
a. Tipe fraktur
1) Fraktur simple atau fraktur tertutup, yaitu keadaan fraktur dengan
jaringan lunak yang terkena tidak terbuka.

8
2) Fraktur kompoun atau fraktur terbuka, yaitu keadaan fraktur yang
berhubungan dengan lingkungan luar, yakni jaringan lunak seperti
kulit, mukosa atau ligamen periodontal terpapar di udara.
3) Fraktur komunisi, yaitu fraktur yang terjadi pada satu daerah tulang
yang diakibatkan oleh trauma yang hebat sehingga mengakibatkan
tulang hancur berkeping-keping disertai kehilangan jaringan yang
parah.
4) Fraktur greenstick, yaitu fraktur tidak sempurna dimana pada satu
sisi dari tulang mengalami fraktur sedangkan pada sisi yang lain
tulang masih terikat. Fraktur ini sering dijumpai pada anak-anak.
5) Fraktur patologis, yaitu fraktur yang diakibatkan oleh adanya
penyakit pada mandibula, seperti osteomielitis, tumor ganas, kista
atau penyakit tulang sistemik. Proses patologis pada mandibula
menyebabkan tulang lemah sehingga trauma yang kecil dapat
mengakibatkan fraktur.

Gambar 1. Tipe fraktur mandibula. A. Greenstick B. Simple C.


Kominuisi D. Kompoun (Hupp JR, Ellis E, Tucker MR.
Contemporary oral and maxillofacial surgery. 5th ed. St. Louis:
Mosby Elsevier, 2008: 500).

9
b. Lokasi fraktur
Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan pada letak anatomi dari
fraktur mandibula dapat terjadi pada daerah-daerah sebagai berikut :
1) Dentoalveolar
2) Kondilus
3) Koronoideus
4) Ramus
5) Sudut mandibula
6) Korpus mandibula
7) Simfisis
8) Parasimfisis

Gambar 2 : Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan lokasi


fraktur (Anonimous. Penatalaksanaan fraktur mandibula.2011.
Penatalaksa naan fraktur mandibula.pdf. 27 Maret 2012).
c. Pola fraktur
1) Fraktur unilateral adalah fraktur yang biasanya tunggal pada satu
sisi mandibula saja.
2) Fraktur bilateral adalah fraktur yang sering terjadi akibat
kombinasi trauma langsung dan tidak langsung, terjadi pada kedua
sisi mandibula.

10
3) Fraktur multipel adalah variasi pada garis fraktur dimana bisa
terdapat dua atau lebih garis fraktur pada satu sisi mandibula.
Lebih dari 50% dari fraktur mandibula adalah fraktur multipel.

C. Trauma Abdomen
1. Definisi
Trauma tumpul abdomen adalah cedera atau perlukaan pada
abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum, dapat diakibatkan
oleh pukulan, benturan, ledakan, deselarasi (perlambatan), atau kompresi.
Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas pada
permukaan tubuh tetapi dapat mengakibatkan kontusi atau laserasi
jaringan atau organ di bawahnya. Benturan pada trauma tumpul abdomen
dapat menimbulkan cedera pada organ berongga berupa perforasi atau
pada organ padat berupa perdarahan. Cedera deselerasi sering terjadi pada
kecelakaan lalu lintas karena setelah tabrakan badan masih melaju dan
tertahan suatu benda keras sedangkan bagian tubuh yang relatif tidak
terpancang bergerak terus dan mengakibatkan robekan pada organ
tersebut. Pada intraperitoneal, trauma tumpul abdomen paling sering
menciderai organ limpa (40-55%), hati (35-45%), dan usus halus (5-
10%). Sedangkan pada retroperitoneal, organ yang paling sering cedera
adalah ginjal, dan organ yang paling jarang cedera adalah pankreas dan
ureter.
2. Anatomi
Abdomen dapat didefinisikan sebagai daerah tubuh yang terletak
antara diaphragma di bagian atas dan pintu masuk pelvis dibagian bawah.
Untuk kepentingan klinik, biasanya abdomen dibagi dalam sembilan regio
oleh dua garis vertikal, dan dua garis horizontal. Masing-masing garis
vertikal melalui pertengahan antara spina iliaca anterior superior dan
symphisis pubis. Garis horizontal yang atas merupakan bidang
subcostalis, yang mana menghubungkan titik terbawah pinggir costa satu
sama lain. Garis horizontal yang bawah merupakan bidang

11
intertubercularis, yang menghubungkan tuberculum pada crista iliaca.
Bidang ini terletak setinggi corpus vertebrae lumbalis V.
Pembagian regio pada abdomen yaitu : pada abdomen bagian atas :
regio hypochondrium kanan, regio epigastrium dan regio hypocondrium
kiri. Pada abdomen bagian tengah : regio lumbalis kanan, regio
umbilicalis dan regio lumbalis kiri. Pada abdomen bagian bawah : regio
iliaca kanan, regio hypogastrium dan regio iliaca kiri.
Sama dengan kerja m. Psoas Dinding perut membentuk rongga
perut yang melindungi isi rongga perut. Perdarahan dinding perut berasal
dari beberapa arah. Dari kranikaudal diperoleh pendarahan dari cabang
aa.interkostales VI s/d XII dan a.epigastrika superior. Dari kaudal, a.iliaka
sirkumfleksa superfisialis, a.pudenda eksterna, dan a.epigastrica inferior.
Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal
maupun vertikal tanpa menimbulkan gangguan pendarahan. Persarafan
dinding perut dilayani secara segmental oleh n.torakalis VI s/d XII dan
n.lumbalis I.
Rongga perut (cavitas abdominalis) dibatasi oleh membran serosa
yang tipis mengkilap yang juga melipat untuk meliputi organ-organ di
dalam rongga abdominal. Lapisan membran yang membatasi dinding
abdomen dinamakan peritoneum parietale, sedangkan bagian yang
meliputi organ dinamakan peritoneum viscerale. Di sekitar dan sekeliling
organ ada lapisan ganda peritoneum yang membatasi dan menyangga
organ, menjaganya agar tetap berada di tempatnya, serta membawa
pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf. Bagian-bagian peritoneum
sekitar masing-masing organ diberi nama-nama khusus.
Mesenterium ialah bangunan peritoneal yang berlapis ganda,
bentuknya seperti kipas, pangkalnya melekat pada dinding belakang perut
dan ujungnya yang mengembang melekat pada usus halus. Di antara dua
lapisan membran yang membentuk mesenterium terdapat pembuluh
darah, saraf dan bangunan lainnya yang memasok usus. Bagian
mesenterium di sekitar usus besar dinamakan mesokolon. Lapisan ganda
peritoneum yang berisi lemak, menggantung seperti celemek di sebelah

12
atas depan usus bernama omentum majus. Bangunan ini memanjang dari
tepi lambung sebelah bawah ke dalam bagian pelvik abdomen dan
kemudian melipat kembali dan melekat pada colon tranversum. Ada juga
membran yang lebih kecil bernama omentum minus yang terentang antara
lambung dan liver.
Organ dalam rongga abdomen dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Organ Intraperitoneal
1) Hati
Merupakan kelenjar terbesar dan mempunyai tiga fungsi dasar,
yaitu : (1) pembentukan dan sekresi empedu yang dimasukkan ke
dalam usus halus; (2) berperan pada aktivitas metabolisme yang
berhubungan dengan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein;
(3) menyaring darah untuk membuang bakteri dan benda asing lain
yang masuk dalam darah dari lumen usus.
Hati bersifat lunak dan lentur dan menduduki regio hypochondrium
kanan, meluas sampai regio epigastrium. Permukaan atas hati
cembung melengkung pada permukaan bawah diaphragma.
Permukaan postero-inferior atau permukaan viseral membentuk
cetakan visera yang berdekatan, permukaan ini berhubungan
dengan pars abdominalis oesophagus, lambung, duodenum, flexura
coli dextra, ginjal kanan, kelenjar suprarenalis, dan kandung
empedu.
Dibagi dalam lobus kanan yang besar dan lobus kiri yang kecil,
yang dipisahkan oleh perlekatan peritonium ligamentum
falciforme. Lobus kanan terbagi menjadi lobus quadratus dan lobus
caudatus oleh adanya kandung empedu, fissura untuk ligamentum
teres hepatis, vena cava inferior, dan fissura untuk ligamentum
venosum. Porta hepatis atau hilus hati ditemukan pada permukaan
postero-inferior dengan bagian atas ujung bebas omentum majus
melekat pada pinggirnya. Hati dikelilingi oleh capsula fibrosa yang
membentuk lobulus hati. Pada ruang antara lobulus-lobulus

13
terdapat saluran portal, yang mengandung cabang arteri hepatica,
vena porta, dan saluran empedu (segitiga portal).
2) Limpa
Merupakan massa jaringan limfoid tunggal yang terbesar dan
umumnya berbentuk oval, dan berwarna kemerahan. Terletak pada
regio hypochondrium kiri, dengan sumbu panjangnya terletak
sepanjang iga X dan kutub bawahnya berjalan ke depan sampai
linea axillaris media, dan tidak dapat diraba pada pemeriksaan
fisik. Batas anterior limpa adalah lambung, cauda pankreas, flexura
coli sinistra. Batas posterior pada diaphragma, pleura kiri
( recessus costodiaphragmatica kiri ), paru kiri, costa IX, X, dan XI
kiri.
3) Lambung
Merupakan bagian saluran pencernaan yang melebar dan
mempunyai 3 fungsi utama: (1) menyimpan makanan dengan
kapasitas ± 1500 ml pada orang dewasa; (2) mencampur makanan
dengan getah lambung untuk membentuk kimus yang setengah
padat, dan (3) mengatur kecepatan pengiriman kimus ke usus halus
sehingga pencernaan dan absorbsi yang efisien dapat berlangsung.
Lambung terletak pada bagian atas abdomen, dari regio
hipochondrium kiri sampai regio epigastrium dan regio
umbilikalis. Sebagian besar lambung terletak di bawah iga-iga
bagian bawah. Batas anterior lambung adalah dinding anterior
abdomen, arcus costa kiri, pleura dan paru kiri, diaphragma, dan
lobus kiri hati. Sedangkan batas posterior lambung adalah bursa
omentalis, diaphragma, limpa, kelenjar suprarenal kiri, bagian atas
ginjal kiri, arteri lienalis, pankreas, mesocolon tranversum, dan
colon tranversum. Secara kasar lambung berbentuk huruf J dan
mempunyai dua lubang, ostium cardiacum dan ostium pyloricum,
dua curvatura yang disebut curvatura mayor dan minor, serta dua
permukaan anterior dan posterior. Lambung dibagi menjadi fundus,
corpus dan antrum. Fundus berbentuk kubah dan menonjol ke atas

14
terletak di sebelah kiri ostium cardiacum. Biasanya fundus terisi
gas. Sedangkan corpus adalah badan dari lambung. Antrum
merupakan bagian bawah dari lambung yang berbentuk seperti
tabung. Dinding ototnya membentuk sphincter pyloricum, yang
berfungsi mengatur kecepatan pengeluaran isi lambung ke
duodenum.
Membran mukosa lambung tebal dan memiliki banyak pembuluh
darah yang terdiri dari banyak lipatan atau rugae. Dinding otot
lambung mengandung serabut longitudinal, serabut sirkular dan
serabut oblik. Serabut longitudinal terletak paling superficial dan
paling banyak sepanjang curvatura, serabut sirkular yang lebih
dalam mengelilingi fundus lambung,dan menebal pada pylorus
untuk membentuk sphincter pyloricum. Sedangkan serabut oblik
membentuk lapisan otot yang paling dalam, mengelilingi fundus
berjalan sepanjang anterior dan posterior.
4) Kandung empedu (Vesica Fellia)
Vesica Fellia adalah kantong seperti buah pear yang terletak pada
permukaan viseral hati. Secara umum dibagi menjadi tiga bagian
yaitu : fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan
biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hati; dimana fundus
berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung
rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan
viseral hati dana arahnya keatas, belakang dan kiri. Sedangkan
collum dilanjutkan sebagai ductus cysticus yang berjalan dalam
omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus
communis membentuk ductus choledochus. Batas anterior vesica
fellia pada dinding anterior abdomen dan bagian pertama dan
kedua duodenum. Batas posterior pada colon tranversum dan
bagian pertama dan kedua duodenum.
Vesica Fellia berperan sebagai reservoir empedu dengan kapasitas
± 50 ml. Vesica Fellia mempunyai kemampuan memekatkan
empedu. Untuk membantu proses ini, maka mukosanya

15
mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu sama lain saling
berhubungan seperti sarang tawon. Empedu dialirkan ke duodenum
sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung
empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan
berlemak ke dalam duodenum . lemak menyebabkan pengeluaran
hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum; hormon kemudian
masuk ke dalam darah menyebabkan kandung empedu
berkontraksi. Pada saat yang sama otot polos yang terletak pada
ujung distal ductus choledochus dan ampula relaksasi sehingga
memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam
duodenum. Garam-garam empedu dalam cairan empedu penting
untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu
pencernaan serta absorbsi lemak.
5) Usus halus
Usus halus merupakan bagian pencernaan yang paling panjang,
dibagi menjadi 3 bagian : duodenum, jejunum, dan ileum. Fungsi
utama usus halus adalah pencernaan dan absorpsi hasil-hasil
pencernaan.
 Duodenum berbentuk huruf C yang panjangnya sekitar 25 cm,
melengkung sekitar caput pankreas, dan menghubungkan
lambung dengan jejunum. Di dalam duodenum terdapat muara
saluran empedu dan saluran pankreas. Sebagian duodenum
diliputi peritonium, dan sisanya terletak retroperitonial.
Duodenum terletak pada regio epigastrium dan regio
umbilikalis. Dibagi menjadi 4 bagian :
a. Bagian pertama duodenum.
Panjangnya 5 cm, mulai pada pylorus dan berjalan keatas
dan ke belakang pada sisi kanan vertebra lumbalis pertama.
Bagian ini terletak pada bidang transpilorica. Batas anterior
pada lobus quadratus hati dan kandung empedu. Batas
posterior pada bursa omentalis ( 2,5 cm pertama), arteri
gastroduodenalis, ductus choledochus dan vena porta, serta

16
vena cava inferior. Batas superior pada foramen epiploicum
Winslow dan batas inferior pada caput pankreas.
b. Bagian kedua duodenum
Panjangnya 8 cm, berjalan ke bawah di depan hilus ginjal
kanan di sebelah vertebra lumbalis kedua dan ketiga. Batas
anterior pada fundus kandung empedu dan lobus kanan
hati, colon tranversum, dan lekukan- lekukan usus halus.
Batas posterior pada hilus ginjal kanan dan ureter kanan.
Batas lateral pada colon ascenden, flexura coli dextra, dan
lobus kanan hati. Batas medial pada caput pancreas.
c. Bagian ketiga duodenum
Panjangnya 8 cm, berjalan horisontal ke kiri pada bidang
subcostalis, mengikuti pinggir bawah caput pankreas. Batas
anterior pada pangkal mesenterium usus halus, dan
lekukan-lekukan jejunum. Batas posterior pada ureter
kanan, muskulus psoas kanan, vena cava inferior, dan aorta.
Batas superior pada caput pankreas, dan batas inferior pada
lekukan-lekukan jejunum.
d. Bagian keempat duodenum
Panjangnya 5 cm, berjalan ke atas dan kiri, kemudian
memutar ke depan pada perbatasan duodenum dan jejunum.
Terdapat ligamentum Treitz yang menahan junctura
duodeno-jejunalis. Batas anterior pada permulaan pangkal
mesenterium dan lekukan-lekukan jejunum. Batas posterior
pada pinggir kiri aorta dan pinggir medial muskulus psoas
kiri.
 Jejunum dan Ileum panjangnya ± 6 m, dua perlima bagian atas
merupakan jejunum. Jejunum mulai pada junctura
duodenojejunalis dan ileum berakhir pada junctura ileocaecalis.
Dalam keadaan hidup, jejunum dan ileum dibedakan dengan
gambaran berikut :

17
a. Lekukan jejunum terletak pada bagian atas rongga
peritonium di bawah sisi kiri mesocolon tranversum,
ileum terletak pada bagian bawah rongga peritonium
dan dalam pelvis.
b. Jejunum lebih besar, berdinding lebih tebal, dan lebih
merah dari ileum.
c. Mesenterium jejunum melekat pada dinding posterior
abdomen di atas dan kiri aorta, sedangkan mesenterium
ileum melekat di bawah dan kanan aorta.
d. Pembuluh darah mesenterium membentuk satu atau dua
arkade dengan cabang-cabang yang panjang dan jarang,
sedangkan ileum menerima banyak pembuluh darah
pendek, berasal dari tiga atau lebih arkade.
e. Pada ujung mesenterium jejunum, lemak disimpan
dekat pangkal, sedangkan pada mesenterium ileum
lemak disimpan di seluruh bagian.
f. Kelompokan jaringan limfoid ( agmen Peyer ) terdapat
pada mukosa ileum bagian bawah sepanjang pinggir
antimesentrik.
6) Usus besar
Usus besar dibagi dalam caecum, appendix vermiformis, colon
ascenden, colon tranversum, colon descenden, dan colon
sigmoideum, rectum dan anus. Fungsi utama usus besar adalah
absorpsi air dan elektrolit dan menyimpan bahan yang tidak
dicernakan sampai dapat dikeluarkan dari tubuh sebagai feses.
 Caecum terletak pada fossa iliaca, panjang ± 6 cm, dan
diliputi oleh peritonium. Batas anterior pada lekukan-lekukan
usus halus, sebagian omentum majus, dan dinding anterior
abdomen regio iliaca kanan. Batas posterior pada m. psoas
dan m. iliacus, n. femoralis, dan n. cutaneus femoralis
lateralis. Batas medial pada appendix vermiformis.

18
 Appendix vermiformis panjangnya 8 – 13 cm, terletak pada
regio iliaca kanan. Ujung appendix dapat ditemukan pada
tempat berikut : (1) tergantung dalam pelvis berhadapan
dengan dinding kanan pelvis; (2) melekuk di belakang caecum
pada fossa retrocaecalis; (3) menonjol ke atas sepanjang
pinggir lateral caecum; (4) di depan atau di belakang bagian
terminal ileum.
 Colon ascenden terletak pada regio iliaca kanan dengan
panjang ± 13 cm. Berjalan ke atas dari caecum sampai
permukaan inferior lobus kanan hati, di mana colon ascenden
secara tajam ke kiri, membentuk flexura coli dextra, dan
dilanjutkan sebagai colon tranversum. Peritonium menutupi
pinggir dan permukaan depan colon ascenden dan
menghubungkannya dengan dinding posterior abdomen. Batas
anterior pada lekukan-lekukan usus halus, omentum majus,
dan dinding anterior abdomen. Batas posterior pada m.
Iliacus, crista iliaca, m. Quadratus lumborum, origo m.
Tranversus abdominis, dan kutub bawah ginjal kanan.
 Colon tranversum panjangnya ± 38 cm dan berjalan
menyilang abdomen, menduduki regio umbilikalis dan
hipogastrikum. Batas anterior pada omentum majus dan
dinding anterior abdomen. Batas posterior pada bagian kedua
duodenum, caput pankreas, dan lekukan-lekukan jejunum dan
ileum.
 Colon descenden terletak pada regio iliaca kiri, dengan
panjang ± 25 cm. Berjalan ke bawah dari flexura coli sinistra
sampai pinggir pelvis. Batas anterior pada lekukan-lekukan
usus halus, omentum majus, dan dinding anterior abdomen.
Batas posterior pada pinggir lateral ginjal kiri, origo m.
Tranversus abdominis, m. Quadratus lumborum, crista iliaca,
m. Iliacus, dan m. Psoas kiri.

19
b. Organ Retroperitoneal
1) Ginjal
Berperan penting dalam mengatur keseimbangan air dan
elektrolit dalam tubuh dan mempertahankan keseimbangan asam
basa darah. Kedua ginjal berfungsi mengekskresi sebagian besar
zat sampah metabolisme dalam bentuk urin. Ginjal berwarna
coklat-kemerahan, terletak tinggi pada dinding posterior abdomen,
sebagian besar ditutupi oleh tulang iga. Ginjal kanan terletak lebih
rendah dibanding ginjal kiri, dikarenakan adanya lobus kanan hati
yang besar.
Ginjal dikelilingi oleh capsula fibrosa yang melekat erat
dengan cortex ginjal. Di luar capsula fibrosa terdapat jaringan
lemak yang disebut lemak perirenal. Fascia renalis mengelilingi
lemak perirenal dan meliputi ginjal dan kelenjar suprarenalis.
Fascia renalis merupakan kondensasi jaringan areolar, yang di
lateral melanjutkan diri sebagai fascia tranversus. Di belakang
fascia renalis terdapat banyak lemak yang disebut lemak pararenal.
Batas anterior ginjal kanan pada kelenjar suprarenalis, hati,
bagian kedua duodenum, flexura coli dextra. Batas posterior pada
diaphragma, recessus costodiaphragmatica pleura, costa XII, m.
Psoas, m. Quadratus lumborum, dan m. Tranversus abdominis.
Pada ginjal kiri, batas anterior pada kelenjar suprarenalis,
limpa, lambung, pankreas, flexura coli kiri, dan lekukan-lekukan
jejunum. Batas posterior pada diaphragma, recessus
costodiaphragmatica pleura, costa XI, XII, m. Psoas, m. Quadratus
lumborum, dan m. Tranversus abdominis.
2) Ureter
Mengalirkan urin dari ginjal ke vesica urinaria, dengan
didorong sepanjang ureter oleh kontraksi peristaltik selubung otot,
dibantu tekanan filtrasi glomerulus. Panjang ureter ± 25 cm dan
memiliki tiga penyempitan : (1) di mana piala ginjal berhubungan
dengan ureter;(2) waktu ureter menjadi kaku ketika melewati

20
pinggir pelvis;(3) waktu ureter menembus dinding vesica urinaria.
Ureter keluar dari hilus ginjal dan berjalan vertikal ke bawah di
belakang peritonium parietal pada m. Psoas, memisahkannya dari
ujung processus tranversus vertebra lumbalis. Ureter masuk ke
pelvis dengan menyilang bifurcatio a. Iliaca comunis di depan
articulatio sacroiliaca, kemudian berjalan ke bawah pada dinding
lateral pelvis menuju regio ischiospinalis dan memutar menuju
angulus lateral vesica urinaria. Pada ureter kanan, batas anterior
pada duodenum, bagian terminal ileum, av. Colica dextra, av.
Iliocolica, av. Testicularis atau ovarica dextra, dan pangkal
mesenterium usus halus. Batas posterior pada m. Psoas dextra.
Batas anterior ginjal kiri pada colon sigmoideum,
mesocolon sigmoideum, av. Colica sinistra, dan av. Testicularis
atau ovarica sinistra. Batas posterior pada m. Psoas sinistra.
3) Pankreas
Merupakan kelenjer eksokrin dan endokrin, organ lunak
berlobus yang terletak pada dinding posterior abdomen di belakang
peritonium. Bagian eksokrin kelenjer menghasilkan sekret yang
mengandung enzim yang dapat menghidrolisis protein, lemak, dan
karbohirat. Bagian endokrin kelenjer, yaitu pulau langerhans,
menghasilkan hormon insulin dan glukagon yang berperan penting
dalam metabolisme karbohidrat. Pankreas menyilang bidang
transpilorica.
Dibagi menjadi empat bagian, yaitu : (1) caput pankreas
berbentuki seperti cakram, terletak pada bagian cekung duodenum.
Sebagian caput meluas ke kiri di belakang av. Mesenterica superior
dan dinamakan processus uncinatus; (2) collum pancreas
merupakan bagian yang mengecil dan menghubungkan caput
dengan corpus pankreas. Terletak di depan pangkal vena porta dan
pangkal arteri mesenterica superior dari aorta; (3) corpus berjalan
ke atas dan kiri menyilang garis tengah; (4) cauda berjalan menuju
ke ligamentum lienorenalis dan berhubungan dengan hilus limpa.

21
Batas anterior pankreas dari kanan ke kiri : colon
tranversum, perlekatan mesocolon tranversum, bursa omentalis,
dan lambung. Sedangkan batas posterior pankreas dari kanan ke
kiri : ductus choledochus, vena porta, vena lienalis, vena cava
inferior, aorta, pangkal arteri mesenterica superior, m. Psoas kiri,
kelenjer suprarenalis kiri, ginjal kiri, dan hilus limpa.
3. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya trauma pada trauma tumpul disebabkan
adanya deselerasi cepat dan adanya organ-organ yang tidak mempunyai
kelenturan (noncomplient organ) seperti hati, limpa, pankreas, dan ginjal.
Kerusakan intra abdominal sekunder untuk kekuatan tumpul pada
abdomen secara umum dapat dijelaskan dengan 3 mekanisme, yaitu :
 Pertama, saat pengurangan kecepatan menyebabkan perbedaan gerak
di antara struktur. Akibatnya, terjadi tenaga potong dan
menyebabkan robeknya organ berongga, organ padat, organ viseral
dan pembuluh darah, khususnya pada ujung organ yang terkena.
Contoh pada aorta distal yang mengenai tulang torakal dan
mengurangi yang lebih cepat dari pada pergerakan arkus aorta.
Akibatnya, gaya potong pada aorta dapat menyebabkan ruptur.
Situasi yang sama dapat terjadi pada pembuluh darah ginjal dan pada
cervicothoracic junction.
 Kedua, isi intra-abdominal hancur di antara dinding abdomen
anterior dan columna vertebra atau tulang toraks posterior. Hal ini
dapat menyebabkan remuk, biasanya organ padat (spleen, hati,
ginjal) terancam.
 Ketiga, adalah gaya kompresi eksternal yang menyebabkan
peningkatan tekanan intra-abdomen yang tiba-tiba dan mencapai
puncaknya pada ruptur organ berongga.
4. Klasifikasi
Berdasaran jenis organ yang cedera dapat dibagi dua :
a. Pada organ padat seperti hepar dan limpa dengan gejala utama
perdarahan

22
b. Pada organ berongga seperti usus dan saluran empedu dengan gejala
utama adalah peritonitis
Berdasarkan daerah organ yang cedera dapat dibagi dua, yaitu :
a. Organ Intraperitoneal
Intraperitoneal abdomen terdiri dari organ-organ seperti hati,
limpa, lambung, colon transversum, usus halus, dan colon sigmoid.
1) Ruptur Hati
Hati dapat mengalami laserasi dikarenakan trauma tumpul
ataupun trauma tembus. Hati merupakan organ yang sering
mengalami laserasi, sedangkan empedu jarang terjadi dan sulit
untuk didiagnosis. Pada trauma tumpul abdomen dengan ruptur
hati sering ditemukan adanya fraktur costa VII – IX. Pada
pemeriksaan fisik sering ditemukan nyeri pada abdomen kuadran
kanan atas. Nyeri tekan dan Defans muskuler tidak akan tampak
sampai perdarahan pada abdomen dapat menyebabkan iritasi
peritoneum (± 2 jam post trauma). Kecurigaan laserasi hati pada
trauma tumpul abdomen apabila terdapat nyeri pada abdomen
kuadran kanan atas.
Jika keadaan umum pasien baik, dapat dilakukan CT Scan
pada abdomen yang hasilnya menunjukkan adanya laserasi. Jika
kondisi pasien syok, atau pasien trauma dengan kegawatan dapat
dilakukan laparotomi untuk melihat perdarahan intraperitoneal.
Ditemukannya cairan empedu pada lavase peritoneal menandakan
adanya trauma pada saluran empedu.
2) Ruptur Limpa
Limpa merupakan organ yang paling sering cedera pada
saat terjadi trauma tumpul abdomen. Ruptur limpa merupakan
kondisi yang membahayakan jiwa karena adanya perdarahan yang
hebat. Limpa terletak tepat di bawah rangka thorak kiri, tempat
yang rentan untuk mengalami perlukaan. Limpa membantu tubuh
kita untuk melawan infeksi yang ada di dalam tubuh dan
menyaring semua material yang tidak dibutuhkan lagi dalam tubuh

23
seperti sel tubuh yang sudah rusak. Limpa juga memproduksi sel
darah merah dan berbagai jenis dari sel darah putih. Robeknya
limpa menyebabkan banyaknya darah yang ada di rongga
abdomen. Ruptur pada limpa biasanya disebabkan hantaman pada
abdomen kiri atas atau abdomen kiri bawah. Kejadian yang paling
sering meyebabkan ruptur limpa adalah kecelakaan olahraga,
perkelahian dan kecelakaan mobil. Perlukaan pada limpa akan
menjadi robeknya limpa segera setelah terjadi trauma pada
abdomen.
Pada pemeriksaan fisik, gejala yang khas adanya hipotensi
karena perdarahan. Kecurigaan terjadinya ruptur limpa dengan
ditemukan adanya fraktur costa IX dan X kiri, atau saat abdomen
kuadran kiri atas terasa sakit serta ditemui takikardi. Biasanya
pasien juga mengeluhkan sakit pada bahu kiri, yang tidak
termanifestasi pada jam pertama atau jam kedua setelah terjadi
trauma. Tanda peritoneal seperti nyeri tekan dan defans muskuler
akan muncul setelah terjadi perdarahan yang mengiritasi
peritoneum. Semua pasien dengan gejala takikardi atau hipotensi
dan nyeri pada abdomen kuadran kiri atas harus dicurigai terdapat
ruptur limpa sampai dapat diperiksa lebih lanjut. Penegakan
diagnosis dengan menggunakan CT scan. Ruptur pada limpa dapat
diatasi dengan splenectomy, yaitu pembedahan dengan
pengangkatan limpa. Walaupun manusia tetap bisa hidup tanpa
limpa, tapi pengangkatan limpa dapat berakibat mudahnya infeksi
masuk dalam tubuh sehingga setelah pengangkatan limpa
dianjurkan melakukan vaksinasi terutama terhadap pneumonia dan
flu diberikan antibiotik sebagai usaha preventif terhadap terjadinya
infeksi.
3) Ruptur Usus Halus
Sebagian besar, perlukaan yang merobek dinding usus halus
karena trauma tumpul menciderai usus dua belas jari. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan gejala ‘burning epigastric pain’ yang

24
diikuti dengan nyeri tekan dan defans muskuler pada abdomen.
Perdarahan pada usus besar dan usus halus akan diikuti dengan
gejala peritonitis secara umum pada jam berikutnya. Sedangkan
perdarahan pada usus dua belas jari biasanya bergejala adanya
nyeri pada bagian punggung. Diagnosis ruptur usus ditegakkan
dengan ditemukannya udara bebas dalam pemeriksaan Rontgen
abdomen. Sedangkan pada pasien dengan perlukaan pada usus dua
belas jari dan colon sigmoid didapatkan hasil pemeriksaan pada
Rontgen abdomen dengan ditemukannya udara dalam
retroperitoneal.
b. Organ Retroperitoneal
Retroperitoneal abdomen terdiri dari ginjal, ureter, pancreas,
aorta, dan vena cava. Trauma pada struktur ini sulit ditegakkan
diagnosis berdasarkan pemeriksaan fisik. Evaluasi regio ini
memerlukan CT scan, angiografi, dan intravenous pyelogram.
1) Ruptur Ginjal
Trauma pada ginjal biasanya terjadi karena jatuh dan
kecelakaan kendaraan bermotor. Dicurigai terjadi trauma pada
ginjal dengan adanya fraktur pada costa ke XI – XII atau adanya
tendensi pada flank. Jika terjadi hematuri, lokasi perlukaan harus
segera ditentukan. Laserasi pada ginjal dapat berdarah secara
ekstensif ke dalam ruang retroperitonial. Gejala klinis : Pada
ruptur ginjal biasanya terjadi nyeri saat inspirasi di abdomen dan
flank, dan tendensi CVA. Hematuri yang hebat hampir selalu
timbul, tapi pada mikroscopic hematuri juga dapat menunjukkan
adanya ruptur pada ginjal.
Diagnosis, membedakan antara laserasi ginjal dengan
memar pada ginjal dapat dilakukan dengan pemeriksaan IVP atau
CT scan. Jika suatu pengujian kontras seperti aortogram
dibutuhkan karena adanya alasan tertentu, ginjal dapat dinilai
selama proses pengujian tersebut. Laserasi pada ginjal akan
memperlihatkan adanya kebocoran pada zat warna, sedangkan

25
pada ginjal yang memar akan tampak gambaran normal atau
adanya gambaran warna kemerahan pada stroma ginjal. Tidak
adanya visualisasi pada ginjal dapat menunjukkan adanya ruptur
yang berat atau putusnya tangkai ginjal. Terapi : pada memar
ginjal hanya dilakukan pengamatan. Beberapa laserasi ginjal dapat
diterapi dengan tindakan non operatif. Terapi pembedahan wajib
dilakukan pada ginjal yang memperlihatkan adanya ekstravasasi.
2) Ruptur Pankreas
Trauma pada pankreas sangat sulit untuk di diagnosis.
Kebanyakan kasus diketahui dengan eksplorasi pada pembedahan.
Perlukaan harus dicurigai setelah terjadinya trauma pada bagian
tengah abdomen, contohnya pada benturan stang sepeda motor
atau benturan setir mobil. Perlukaan pada pankreas memiliki
tingkat kematian yang tinggi. Perlukaan pada duodenum atau
saluran kandung empedu juga memiliki tingkat kematian yang
tinggi.
Gejala klinis, kecurigaan perlukaan pada setiap trauma yang
terjadi pada abdomen. Pasien dapat memperlihatkan gejala nyeri
pada bagian atas dan pertengahan abdomen yang menjalar sampai
ke punggung. Beberapa jam setelah perlukaan, trauma pada
pankreas dapat terlihat dengan adanya gejala iritasi peritonial.
Diagnosis, penentuan amilase serum biasanya tidak terlalu
membantu dalam proses akut. Pemeriksaan CT scan dapat
menetapkan diagnosis. Kasus yang meragukan dapat diperiksa
dengan menggunakan ERCP ( Endoscopic Retrogade Canulation
of the Pancreas) ketika perlukaan yang lain telah dalam keadaan
stabil.
Terapi, penanganan dapat berupa tindakan operatif atau
konservatif, tergantung dari tingkat keparahan trauma, dan adanya
gambaran dari trauma lain yang berhubungan. Konsultasi
pembedahan merupakan tindakan yang wajib dilakukan.
3) Ruptur Ureter

26
Trauma pada ureter jarang terjadi tetapi berpotensi
menimbulkan luka yang mematikan. Trauma sering kali tak
dikenali pada saat pasien datang atau pada pasien dengan multipel
trauma. Kecurigaan adanya cedera ureter bisa ditemukan dengan
adanya hematuria paska trauma.
Mekanisme trauma tumpul pada ureter dapat terjadi karena
keadaan tiba-tiba dari deselerasi/ akselerasi yang berkaitan dengan
hiperekstensi, benturan langsung pada Lumbal 2 – 3, gerakan tiba-
tiba dari ginjal sehingga terjadi gerakan naik turun pada ureter
yang menyebabkan terjadinya tarikan pada ureteropelvic junction.
Pada pasien dengan kecurigaan trauma tumpul ureter biasanya
didapatkan gambaran nyeri yang hebat dan adanya multipel
trauma. Gambaran syok timbul pada 53% kasus, yang
menandakan terjadinya perdarahan lebih dari 2000 cc. Diagnosis
dari trauma tumpul ureter seringkali terlambat diketahui karena
seringnya ditemukan trauma lain, sehingga tingkat kecurigaan
tertinggi ditetapkan pada trauma dengan gejala yang jelas.
Pilihan terapi yang tepat tergantung pada lokasi, jenis
trauma, waktu kejadian, kondisi pasien, dan prognosis
penyelamatan. Hal terpenting dalam pemilihan tindakan operasi
adalah mengetahui dengan pasti fungsi ginjal yang kontralateral
dengan lokasi trauma.
5. Komplikasi Ruptur Organ
Peritonitis merupakan komplikasi tersering dari trauma tumpul
abdomen karena adanya ruptur pada organ. Penyebab yang paling serius
dari peritonitis adalah terjadinya suatu hubungan (viskus) ke dalam
rongga peritoneal dari organ-organ intra-abdominal (esofagus, lambung,
duodenum, intestinal, colon, rektum, kandung empedu, apendiks, dan
saluran kemih), yang dapat disebabkan oleh trauma, darah yang
menginfeksi peritoneal, benda asing, obstruksi dari usus yang mengalami
strangulasi, pankreatitis, PID (Pelvic Inflammatory Disease) dan bencana
vaskular (trombosis dari mesenterium/emboli).

27
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang
sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen
(misalnya apendisitis, salpingitis), ruptur saluran cerna, atau dari luka
tembus abdomen. Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme
yang hidup dalam kolon pada kasus ruptur apendiks, sedangkan
stafilokokus dan stretokokus sering masuk dari luar. Pada luka tembak
atau luka tusuk tidak perlu lagi dicari tanda-tanda peritonitis karena ini
merupakan indikasi untuk segera dilakukan laparotomi eksplorasi. Namun
pada trauma tumpul seringkali diperlukan observasi dan pemeriksaan
berulang karena tanda rangsangan peritoneum bisa timbul perlahan-lahan.
Gejala dan tanda yang sering muncul pada penderita dengan
peritonitis antara lain:
a. Nyeri perut seperti ditusuk
b. Perut yang tegang (distended)
c. Demam (>380C)
d. Produksi urin berkurang
e. Mual dan muntah
f. Haus
g. Cairan di dalam rongga abdomen
h. Tidak bisa buang air besar atau kentut
i. Tanda-tanda syok
Menegakkan diagnosis peritonitis secara cepat adalah penting
sekali. Diagnosis peritonitis didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis peritonitis biasanya
ditegakkan secara klinis. Kebanyakan pasien datang dengan keluhan nyeri
abdomen. Nyeri ini bisa timbul tiba-tiba atau tersembunyi. Pada awalnya,
nyeri abdomen yang timbul sifatnya tumpul dan tidak spesifik
(peritoneum viseral) dan kemudian infeksi berlangsung secara progresif,
menetap, nyeri hebat dan semakin terlokalisasi (peritoneum parietale).
Dalam beberapa kasus (misal: perforasi lambung, pankreatitis akut,
iskemia intestinal) nyeri abdomen akan timbul langsung secara
umum/general sejak dari awal. Mual dan muntah biasanya sering muncul

28
pada pasien dengan peritonitis. Muntah dapat terjadi karena gesekan
organ patologi atau iritasi peritoneal sekunder.
Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis, keadaan
umumnya tidak baik. Demam dengan temperatur >380C biasanya terjadi.
Pasien dengan sepsis hebat akan muncul gejala hipotermia. Takikardia
disebabkan karena dilepaskannya mediator inflamasi dan hipovolemia
intravaskuler yang disebabkan karena mual dan muntah, demam,
kehilangan cairan yang banyak dari rongga abdomen. Dengan adanya
dehidrasi yang berlangsung secara progresif, pasien bisa menjadi semakin
hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan produksi urin berkurang, dan dengan
adanya peritonitis hebat bisa berakhir dengan keadaan syok sepsis.
Pada pemeriksaan abdomen, pemeriksaan yang dilakukan akan
sangat menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien, namun pemeriksaan
abdomen ini harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan terapi
yang akan dilakukan. Pada inspeksi, pemeriksa mengamati adakah
jaringan parut bekas operasi menununjukkan kemungkinan adanya adhesi,
perut membuncit dengan gambaran usus atau gerakan usus yang
disebabkan oleh gangguan pasase. Pada peritonitis biasanya akan
ditemukan perut yang membuncit dan tegang atau distended.
Minta pasien untuk menunjuk dengan satu jari area daerah yang
paling terasa sakit di abdomen, auskultasi dimulai dari arah yang
berlawanan dari yang ditunjuik pasien. Auskultasi dilakukan untuk
menilai apakah terjadi penurunan suara bising usus. Pasien dengan
peritonitis umum, bising usus akan melemah atau menghilang sama
sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal yang lumpuh sehingga
menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik).
Sedangkan pada peritonitis lokal bising usus dapat terdengar normal.
Palpasi. Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan
viseral yang sangat sensitif. Bagian anterior dari peritoneum parietale
adalah yang paling sensitif. Palpasi harus selalu dilakukan di bagian lain
dari abdomen yang tidak dikeluhkan nyeri. Hal ini berguna sebagai
pembanding antara bagian yang tidak nyeri dengan bagian yang nyeri.

29
Nyeri tekan dan defans muskular (rigidity) menunjukkan adanya proses
inflamasi yang mengenai peritoneum parietale (nyeri somatik). Defans
yang murni adalah proses refleks otot akan dirasakan pada inspirasi dan
ekspirasi berupa reaksi kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan.
Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan
setempat. Otot dinding perut menunjukkan defans muskular secara refleks
untuk melindungi bagian yang meradang dan menghindari gerakan atau
tekanan setempat.
Perkusi. Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum,
adanya udara bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan
perkusi melalui pemeriksaan pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien
dengan peritonitis, pekak hepar akan menghilang, dan perkusi abdomen
hipertimpani karena adanya udara bebas tadi.
Pada pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus dilakukan
pemeriksaan colok dubur dan pemeriksaan vaginal untuk membantu
penegakan diagnosis. Nyeri pada semua arah menunjukkan general
peritonitis.
6. Pemeriksaan Fisik
Anamnesis mengandung data kunci yang dapat mengarahkan
diagnosis gawat abdomen. Riwayat trauma sangat penting untuk menilai
penderita yang cedera dalam tabrakan kendaraan bermotor meliputi
:kejadian apa, dimana, kapan terjadinya dan perkiraan arah dari datangnya
ruda paksa tersebut. Sifat, letak dan perpindahan nyeri merupakan gejala
yang penting. Demikian juga muntah, kelainan defekasi dan sembelit.
Adanya syok, nyeri tekan, defans muskular, dan perut kembung harus
diperhatikan sebagai gejala dan tanda penting. Sifat nyeri, cara timbulnya
dan perjalanan selanjutnya sangat penting untuk menegakkan diagnosis.
Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah,
denyut nadi, pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum
melakukan pemeriksaan abdomen. Gejala dan tanda dehidrasi,
perdarahan, syok, dan infeksi atau sepsis juga perlu diperhatikan.

30
Pemeriksaan fisik pada pasien trauma tumpul abdomen harus
dilakukan secara sistematik meliputi inspeksi, auskultasi, palpasi, dan
perkusi.
a. Pada inspeksi, perlu diperhatikan :
 Adanya luka lecet di dinding perut, hal ini dapat memberikan
petunjuk adanya kemungkinan kerusakan organ di bawahnya.
 Adanya perdarahan di bawah kulit, dapat memberikan petunjuk
perkiraan organ-organ apa saja yang dapat mengalami trauma di
bawahnya. Ekimosis pada flank (Grey Turner Sign) atau umbilicus
(Cullen Sign) merupakan indikasi perdarahan retroperitoneal,
tetapi hal ini biasanya lambat dalam beberapa jam sampai hari.
 Adanya distensi pada dinding perut merupakan tanda penting
karena kemungkinan adanya pneumoperitonium, dilatasi gastric,
atau ileus akibat iritasi peritoneal.
 Pergerakan pernafasan perut, bila terjadi pergerakan pernafasan
perut yang tertinggal maka kemungkinan adanya peritonitis.
b. Pada auskultasi, perlu diperhatikan :
 Ditentukan apakah bising usus ada atau tidak, pada robekan
(perforasi) usus bising usus selalu menurun, bahkan kebanyakan
menghilang sama sekali.
 Adanya bunyi usus pada auskultasi toraks kemungkinan
menunjukkan adanya trauma diafragma.
c. Pada palpasi, perlu diperhatikan :
 Adanya defence muscular menunjukkan adanya kekakuan pada
otot-otot dinding perut abdomen akibat peritonitis.
 Ada tidaknya nyeri tekan, lokasi dari nyeri tekan ini dapat
menunjukkan organ-organ yang mengalami trauma atau adanya
peritonitis.
d. Pada perkusi, perlu diperhatikan :
 Redup hati yang menghilang menunjukkan adanya udara bebas
dalam rongga perut yang berarti terdapatnya robekan (perforasi)
dari organ-organ usus.

31
 Nyeri ketok seluruh dinding perut menunjukkan adanya tanda-
tanda peritonitis umum.
 Adanya “Shifting dullness” menunjukkan adanya cairan bebas
dalam rongga perut, berarti kemungkinan besar terdapat
perdarahan dalam rongga perut.
Pemeriksaan rektal toucher dilakukan untuk mencari adanya
penetrasi tulang akibat fraktur pelvis, dan tinja harus dievaluasi untuk
gross atau occult blood. Evaluasi tonus rektal penting untuk menentukan
status neurology pasien dan palpasi high-riding prostate mengarah pada
trauma salurah kemih.
Pemeriksaan abdominal tap merupakan pemeriksaan yang penting
untuk mendapatkan tambahan keterangan bila terjadi pengumpulan darah
dalam rongga abdomen, terutama bila jumlah perdarahan masih sedikit,
sehingga klinis masih tidak begitu jelas dan sulit ditentukan. Caranya
dapat dilakukan dengan : buli- buli dikosongkan, kemudian penderita
dimiringkan ke sisi kiri. Disinfeksi kulit dengan yodium dan alcohol.
Digunakan jarum yang cukup besar dan panjang, misalnya jarum spinal
no. 18 – 20. Sesudah jarum masuk ke rongga perut pada titik kontra Mc
Burney, lalu diaspirasi. Dianggap positif bila diperoleh darah minimal
sebanyak 0.5 cc
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium:
 Pemeriksaan darah dan urin (meliputi urinalisa, toksikologi urin, dan
pada wanita dilakukan tes kehamilan).
 Nilai elektrolit serum, tingkat kreatinin, dan glukosa.
 Lipase serum atau amylase sensitif sebagai marker trauma pancreas
mayor atau usus. Tingkat elevasi dapat disebabkan oleh trauma kepala
dan muka atau campuran penyebab non traumatic (alcohol, narkotik,
obat-obat yang lain). Amylase atau lipase mungkin berkurang karena
iskemi pancreas akibat hipotensi sistemik yang disertai trauma. Akan
tetapi, hiperamilasemia atau hiperlipasemia meningkatkan sugesti

32
trauma intra-abdominal dan sebagai indikasi radiografi dan
pembedahan.
 Semua pasien harus menceritakan riwayat imunisasi tetanusnya. Jika
belum dilakukan maka diberikan profilaksis.
Pemeriksaan dengan foto: Hal yang penting dalam evaluasi pasien
trauma tumpul abdomen adalah menilai kestabilan hemodinamik. Pada
pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, evaluasi yang cepat harus
ditegakkan untuk mengetahui adanya hemoperitonium. Hal ini dapat
diketahui dengan DPL atau FAST scan. Pemeriksaan radiografik abdomen
diindikasikan pada pasien stabil saat pemeriksaan fisik dilakukan.
 Radiografi
Radiografi dada membantu dalam diagnosis trauma abdomen
seperti ruptur hemidiafragma atau pneumoperitonium. Radiografi
pelvis atau dada dapat menunjukkan fraktur dari tulang
thoracolumbar. Mengetahui fraktur costa dapat memperkirakan
kemungkinan organ yang terkena trauma. Tampak udara bebas intra
intraperitoneal, atau udara retroperitoneal yang terjebak dari perforasi
duodenal.
 Ultrasonografi
Pemeriksaan digunakan untuk mendeteksi hemoperitonium dan
diinterpretasikan positif jika cairan ditemukan dan negatif jika tidak
tampak cairan.
Pemeriksaan FAST berdasar pada asumsi bahwa kerusakan
abdomen berhubungan dengan hemoperitonium. Meskipun, deteksi
cairan bebas intraperitoneal berdasar pada faktor-faktor seperti lokasi
trauma, adanya perdarahan tertutup, posisi pasien, dan jumlah cairan
bebas.
Protokol pemeriksaan sekarang ini terdiri dari 4 area dengan pasien
terlentang. Lokasi tersebut adalah perikardiak, perihepatik,
perisplenik, dan pelvis. Penggambaran perikardial digunakan lubang
subcosta atau transtoraksis. Memberikan 4 bagian penggambaran
jantung dan dapat mendeteksi adanya hemoperikardium yang

33
ditunjukkan dengan pemisahan selaput viseral dan parietal perikardial.
Perihepatik menunjukkan gambar bagian dari liver, diafragma, dan
ginjal kanan. Menampakkan cairan pada ruang subphrenik dan ruang
pleura kanan. Perisplenik menggambarkan splen dan ginjal kiri dan
menampakkan cairan pada ruang pleura kiri dan ruang subphrenik.
Pelvis menggambarkan penggunaan vesika urinaria sebagai lubang
sonografi. Gambar ini dilakukan saat bladder penuh. Pada laki-laki,
cairan bebas tampak sebagai area tidak ekoik (warna hitam) pada
celah rektovesikuler. Pada wanita, akumulasi cairan pada cavum
Douglas, posterior dari uterus.
Pasien dengan hemodinamik stabil dengan hasil FAST positif
memerlukan CT scan untuk menentukan sebab dan luasnya kerusakan.
Pasien dengan hemodinamik stabil dengan hasil FAST negative
memerlukan observasi, pemeriksaan abdomen serial, dan follow-up
pemeriksaan FAST. Pasien dengan hemodinamik tidak stabil dengan
hasil FAST negative merupakan diagnosis yang meragukan untuk
penanganan dokter.
 Computed Tomography (CT) Scan
CT scan tetap kriteria standar untuk mendeteksi kerusakan organ
padat. CT scan abdomen dapat menunjukkan kerusakan yang lain
yang berhubungan, fraktur vertebra dan pelvis dan kerusakan pada
cavum toraks.
Memberikan gambaran yang jelas pancreas, duodenum, dan sistem
genitourinarius. Gambar dapat membantu banyak jumlah darah dalam
abdomen dan dapat menunjukkan organ dengan teliti. Keterbatasan
CT scan meliputi kepekaannya yang rendah untuk diagnostik trauma
diafragma, pancreas, dan organ berongga. CT scan juga mahal dan
memakan dan memerlukan kontras oral atau intravena, yang
menyebabkan reaksi yang merugikan.
Prosedur Diagnostik :
 Diagnostic peritoneal lavage

34
DPL diindikasikan untuk trauma tumpul pada (1) pasien dengan
trauma tulang belakang, (2) dengan trauma multiple dan syok yang
tidak diketahui, (3) Pasien intoksikasi yang mengarah pada trauma
abdomen, (4) Pasien lemah dengan kemungkinan trauma abdomen,
(5) pasien dengan potensial trauma intra-abdominal yang akan
menjalani anestesi dalam waktu lama untuk prosedur yang lain
Kontraindikasi absolut untuk DPL yaitu pasien membutuhkan
laparotomi. Kontraindikasi relatif meliputi kegemukan, riwayat
pembedahan abdomen yang multipel, dan kehamilan.
Metode bervariasi dalam memasukkan kateter ke ruang peritoneal.
Meliputi metode open, semiopen dan closed. Metode open
memerlukan insisi kulit infraumbilikal sampai dan melewati linea
alba. Peritoneum dibuka dan kateter diletakkan langsung. Metode
semiopen hampir sama hanya peritoneum tidak dibuka dan kateter
melalui perkutaneus melalui peritoneum ke dalam ruang peritoneal.
Metode closed memerlukan kateter untuk dipasang di dalam kulit,
subkutan, linea alba dan peritoneum.
Hasil DPL dinyatakan positif pada trauma tumpul abdomen jika
menghasilkan aspirasi 10 mL darah sebelum pemasukan cairan lavase,
mempunyai RBC lebih dari 100.000 RBC/mL, lebih dari 500
WBC/mL, peningkatan amylase, empedu, bakteri, atau urin. Hanya
sekitar 30 mL darah dibutuhkan dalam peritoneum untuk
menghasilkan DPL positif secara mikroskopik. DPL di tunjukkan pada
beberapa studi mempunyai akurasi diagnostik 98-100%, sensivitas
98-100% dan spesifikasi 90-96%. DPL mempunyai keuntungan
termasuk sensitivitas tinggi, interpretasi cepat, dan segera. Positif
palsu dapat terjadi jika jalan infraumbilikal digunakan pada pasien
fraktur pelvis. Sebelum dilakukan DPL, vesica urinaria dan lambung
harus di dekompresi.
Dengan kemampuan yang cepat, noninvasive, dan lebih
menggambarkan (pemeriksaan FAST, CT scan), peranan DPL kini

35
terbatas untuk evaluasi pasien trauma yang tidak stabil yang hasil
FAST negative atau tidak jelas.
8. Penatalaksanaan
a. Terapi Medis
Keberhasilan utama paramedis dengan latihan Advanced Trauma
Life Support merupakan latihan menilai dengan cepat jalan napas
pasien dengan melindungi tulang belakang, pernapasan dan sirkulasi.
Kemudian diikuti dengan memfiksasi fraktur dan mengontrol
perdarahan yang keluar. Pasien trauma merupakan risiko mengalami
kemunduran yang progresif dari perdarahan berulang dan
membutuhkan transport untuk pusat trauma atau fasilitas yang lebih
teliti dan layak. Sebab itu, melindungi jalan napas, menempatkan jalur
intravena, dan memberi cairan intravena, kecuali keterlambatan
transport. Prioritas selanjutnya pada primary survey adalah penilaian
status sirkulasi pasien. Kolaps dari sirkulasi pasien dengan trauma
tumpul abdomen biasanya disebabkan oleh hipovolemia karena
perdarahan. Volume resusitasi yang efektif dengan mengontrol darah
yang keluar infuse larutan kristaloid melalui 2 jalur.
Primary survey dilengkapi dengan menilai tingkat kesadaran
pasien menggunakan Glasgow Coma Scale. Pasien tidak
menggunakan pakaian dan dijaga tetap bersih, kering, hangat.
Secondary survey terdiri dari pemeriksaan lengkap dan teliti sebagai
indikasi dalam pemeriksaan fisik.
b. Manajemen Non Operative Trauma Tumpul Abdomen
Strategis manajemen nonoperatif berdasarkan pada CT scan dan
kestabilan hemodinamik pasien yang saat ini digunakan dalam
penatalaksanaan trauma organ padat orang dewasa, hati dan limpa.
Pada trauma tumpul abdomen, termasuk beberapa trauma organ padat,
manajemen nonoperatif yang selektif menjadi standar perawatan.
Angiografi merupakan keutamaan pada manajemen nonoperatif
trauma organ padat pada orang dewasa dari trauma tumpul.
Digunakan untuk kontrol perdarahan.

36
c. Terapi Pembedahan
Indikasi laparotomi pada pasien dengan trauma abdomen meliputi
tanda-tanda peritonitis, perdarahan atau syok yang tidak terkontrol,
kemunduran klinis selama observasi, dan adanya hemoperitonium
setelah pemeriksaan FAST dan DPL.
Ketika indikasi laparotomi, diberikan antibiotik spektrum luas.
Insisi midline biasanya menjadi pilihan. Saat abdomen dibuka, kontrol
perdarahan dilakukan dengan memindahkan darah dan bekuan darah,
membalut semua 4 kuadran, dan mengklem semua struktur vaskuler.
Kerusakan pada lubang berongga dijahit. Setelah kerusakan intra-
abdomen teratasi dan perdarahan terkontrol dengan pembalutan,
eksplorasi abdomen dengan teliti kemudian dilihat untuk evaluasi
seluruh isi abdomen.
Setelah trauma intra-abdomen terkontrol, retroperitonium dan
pelvis harus diinspeksi. Jangan memeriksa hematom pelvis.
Penggunaan fiksasi eksternal fraktur pelvis untuk mengurangi atau
menghentikan kehilangan darah pada daerah ini. Setelah sumber
perdarahan dihentikan, selanjutnya menstabilkan pasien dengan
resusitasi cairan dan pemberian suasana hangat. Setelah tindakan
lengkap, melihat pemeriksaan laparotomy dengan teliti dengan
mengatasi seluruh struktur kerusakan.
d. Follow-Up : Perlu dilakukan observasi pasien, monitoring vital sign,
dan mengulangi pemeriksaan fisik. Peningkatan temperature atau
respirasi menunjukkan adanya perforasi viscus atau pembentukan
abses. Nadi dan tekanan darah dapat berubah dengan adanya sepsis
atau perdarahan intra-abdomen. Perkembangan peritonitis berdasar
pada pemeriksaan fisik yang mengindikasikan untuk intervensi bedah.

37
BAB III
GAMBARAN UMUM PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. R
Umur : 48 th
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Guru
Agama : Islam
Tanggal MRS : 08-04-2017
Tanggal Kasus : 13-04-2017
Diagnosis Medis :
Close fracture 1/3 distal radius + clet + obss abnominal
B. Data Subjektif pain suspense trauma tumpul, abdomen susp. Fracture
1. Keluhan Utama os mandibula dextra
Nyeri daerah perut, wajah dan tangan kanan.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Tidak ada
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Polip
4. Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada
5. Riwayat kebiasaan makan
- Makanan pokok : nasi 1 sampai 2 piring atau 3 kali sehari
- Lauk Hewani : ayam, ikan, telur
- Lauk Nabati : tahu dan tempe 3 kali seminggu
- Sayur-sayuran : semua sayur suka
- Buah-buahan : semua buah suka
- Minuman : air putih
- Snack : ≥ 2 kali sehari
6. Data sosial ekonomi
- Pasien adalah seorang guru SMP dan suami pasien perawat gigi
- Jumlah anggota keluarga 4 orang
7. Recall 24 jam
- Jenis diet : Modifikasi cair dan saring (Diet TETP)
- Bentuk Makanan : Cair dan saring
- Cara Pemberian : oral
Data hasil recall 1 x 24 jam (12 April 2017)

Energi (kkal) Protein (gr) Karbohidrat (gr)


Asupan 426,484 18,816 57,135
Standar RS 609,74 25,71 86,7
% Asupan 69,95 73,2 65,9
Kriteria Kurang Kurang Kurang

Kriteria menurut Depkes (2002) :

38
a. Lebih : >110% kebutuhan
b. Baik : 80-110% kebutuhan
c. Kurang: <80% kebutuhan

C. Skrining Gizi

Tabel 1. Skrining Awal


Parameter Skor

1. Apakah pasien mengalami penurunana berat badan yang


tidak direncanakan, tidak dinginkan
 Tidak 0
 Tidak yakin (ada tanda : baju jadi longgar) 2
 Ya, ada penurunan BB sebanyak :
1-5 kg 1
6-10 kg 2
11-15 kg 3
>15 kg 4
Tidak tahu berapa kg penurunannya 2

2. Apakah asupan makan pasien berkurang karena


penurunan nafsu makan/kesulitan menerima
Tidak 0
Ya 1
Total 3
Tabel 2. Skrining Akhir
Penyakit berat (=peningkatan kebutuhan)
Absen skor 0 Kebutuhan gizi normal
Fraktur pinggang, pasien kronis dengan komplikasi
Ringan skor 1
akut : sirosis, COPD, hemodialisa kronik
Bedah mayor abdomen, stroke, paru-paru berat,
Sedang skor 2
kanker darah
Luka kepala, tranplantasi sumsum tulang, pasien
Berat skor 3
dalam perawatan intensif (APACHE >10)

Umur: 48 tahun (jika ≥70 tahun: ditambah 1 total Koreksi umur :


skor) -
Skor = 3 + 1 = 4 Total skor : 4
Keterangan:
Skor ≥ 3 : resiko malnutrisi, perlu perencanaan gizi secara dini

39
Skor < 3 : tidak beresiko malnutrisi atau bisa dilakukan skrining
seminggu kemudian
Kesimpulan : pasien memiliki resiko malnutrisi dan memerlukan
perencanaan gizi secara dini
Tanggal pengambilan data : 13 April 2017

D. Data Objektif
1. Data Antropometri
Hasil Pengukuran Antropometri

No Pengukuran Hasil Satuan


1 Ulna 23 Cm
2 TBE 161 Cm
3 LLA 27 Cm
4 BBI 54,9 Kg

2. Biokimia

Data Biokimia tanggal 8 April 2017


Hasil Batas
No Pemeriksaan Satuan Satus
Ukur Normal
1 Hemoglobin 10 12-14 Gr/dl Rendah
2 Leukosit 20,9 5-10 Ribu/ml Tinggi
3 Eritrosit 3,71 4,5-5,5 Juta/ml Rendah
4 Hematokrit 33 40-48 % Rendah
5 MCH 27,2 28 – 32 Pg Rendah
6 MCHC 30,6 33 – 37 g/dl Rendah

Data Biokimia tanggal 12 April 2017


N Hasil Batas
Pemeriksaan Satuan Satus
o Ukur Normal
1 Hemoglobin 8,7 12-14 Gr/dl Rendah
2 Leukosit 14,7 5-10 Ribu/ml Tinggi
3 Eritrosit 3,35 4,5-5,5 Juta/ml Rendah
4 Hematokrit 27,7 40-48 % Rendah
5 Trombosit 73 150-400 Ribu/ml Rendah
6 MCH 26 28 – 32 Pg Rendah
7 MCHC 31,4 33 – 37 g/dl Rendah

3. Pemeriksaan fisik dan klinis


Kesan Umum : Compos Mentis (CM), lemah
Pemeriksaan Klinis tanggal 08 April 2017

40
No Hasil
Vital Sign Batas Normal Satuan Status
. Ukur
1. Tensi darah 110/80 ≤ 120/80 mmHg Normal
2. Nadi 93 60 – 140 x/menit Normal
3. Respirasi 20 15 – 24 x/menit Normal
o
4. Suhu 36,8 36 – 37 C Normal

Pemeriksaan Klinis tanggal 13 April 2017


No Hasil
Vital Sign Batas Normal Satuan Status
. Ukur
1. Tensi darah 120/80 ≤ 120/80 mmHg Normal
2. Nadi 93 60 – 140 x/menit Normal
3. Respirasi 19 15 – 24 x/menit Normal
o
4. Suhu 36,8 36 – 37 C Normal

E. Diagnosa Medis
Close fracture 1/3 distal radius + clet + obss abnominal pain suspense
trauma tumpul, abdomen susp. Fracture os mandibula dextra

F. Pengobatan
IVFD NS 20 tpm
Inj. Ceftriaxone 2 x 1gr
Inj. Ketorolak 3 x 30 mg
Inj. Raniitidin 2 x 50 mg

G. Data Penunjang (10 April 2017)


1. USG : Abdomen
Kesan : Kista adnexa uk 6 cm kesan bengn

41
BAB IV
NUTRITION CARE PROSES

A. Diagnosis Gizi :

 NI.2.1 Asupan oral inadekuat berkaitan dengan fracture os mandibula


dextra (sulit buka mulut, sulit menelan dan lidah kaku) ditandai dengan
hasil recall energi 69,95% (kurang), protein 73,2% (kurang) dan KH
65,9% (kurang)
 NC.2.2 Perubahan nilai lab terkait gizi zat besi berkaitan dengan anemia
ditandai dengan Hb 8,7 mg/dl (rendah)
 NC.1.2 Kesulitan menelan berkaitan dengan sulit buka mulut dan lidah
kaku ditandai dengan kondisi yang berhubungan dengan fracture os
mandibula dextra.

B. Intervenasi Gizi

Terapi Diet :
 Jenis Diet : M. Cair modifikasi M. Saring (Diet TETP)
 Bentuk Makanan : Cair dan saring
 Cara pemberian : Oral
 Frekuensi Diet : 3x bubur saring, 3x cair dan 2x jus buah

1) Modifikasi makanan cair dan saring (TETP)

a. Tujuan Diet

 Memberikan makanan cair dan saring untuk memudahkan pasien


menerima makanan guna memenuhi kebutuhan gizi pasien
 Memenuhi kebutuhan energy dan protein yang meningkat untuk
memperbaiki kerusakan jaringan tubuh
 Mengganti kehilangan protein, zat besi, dan zat gizi lain.

b. Prinsip Diet

 Energi tinggi

 Protein tinggi

42
 Lemak cukup

 Karbohidrat cukup

 Vitamin dan mineral cukup

c. Syarat diet

 Energi tinggi yaitu 2243.23 kkal


 Protein tinggi yaitu 2,0 g/kg BB sebesar 109,8 gram
 Lemak cukup yaitu 20% dari kebutuhan energy sebesar 49,85 gram
 Karbohidrat cukup, sisa kebutuhan 60,4% yaitu 338.725 gram
 Tidak merangsang saluran cerna
 Kandungan energi minimal 1 kkal/ml. konsetrasi cairan dapat
diberikan secara bertahap dari ½, ¾ sampai penuh
 Untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral dapat diberikan
tambahan ferusulfat, vitamin B kompleks dan vitamin C
 Hanya diberikan untuk jangka waktu singkat selama 1-3 hari,
karena kurang memenuhi kebutuhan gizi
 Rendah serat, diberikan dalam posri kecil dan sering yaitu 6-8 kali
sehari

d. Bahan makanan yang dianjurkan

 Makanan cair dengan susu penuh/skim seperti susu penuh,


maizena, telur ayam, margarin, minyak, gula, sari buah
 makanan yang diblender seperti nasi tim, telur ayam, daging giling,
ikan, tahu, tempe, wortel, labu kuning, sari buah
 Beras dibubur saring atau yang dihaluskan, roti, krekers, biscuit,
tepung-tepungan, gula pasir, gula merah, gula aren, sirup
 Daging, ayam, ikan tanpa duri dan telur yang dihaluskan, temped
dan tahu yang dihaluskan
 Sayuran rendah serat yang disaring seperti bayam, wortel, labu
kuning, labu siam dan tomat. Buah yang tidak banyak serat seperti
jeruk, pisang, semangka dll.

e. Bahan makanan yang tidak dianjurkan

 Beras ketan, jagung, ubi, talas, singkong

43
 Daging dan ayam yang berlemak, ikan dan telur yang digoreng,
daging dan ikan yang diawetkan
 Tempe dan tahu yang digoreng
 Sayuran mentah dan yang menimbulkan gas seperti lobak, kol,
sawi. Sayuran yang berserat seperti daun singkong, nangka muda,
keluwih. Buah yang bergas seperti nangka, durian, nenas dan
kedondong

C. Perhitungan Kebutuhan Gizi :

BEE = 655+ ( 9.6 × BB ) + ( 1.8 ×TB ) −( 4.7 × U )

= 655+ ( 9.6 × 54.9 )+ ( 1.8× 161 )−( 4.7× 48 )

= 655+527.04+289.8−225.6

= 1246.24 kkal

TEE = BEE × FA × FS

= 1246.24 ×1.2 ×1.5

= 2243.23 kkal

Protein = 2,0 g/kg BB = 2 x 54,9 = 109,8 gram = 19,6%

20 448,65
Lemak = ×2243.23= =49,85 gram
100 9

60,4 1354.9
KH = × 2243.23= =338.725 gram
100 4

D. Rencana Konsultasi Gizi

1. Tema : Pemberian diet makanan pasca bedah (cair dan saring) dan
diet TETP
2. Tujuan : Agar pasien mengetahui diet yang diberikan dan

44
mengetahui makanan yang boleh dikonsumsi serta yang
dibatasi atau dihindari.
3. Sasaran : Pasien dan Keluarga Pasien
4. Waktu : ± 15 menit
5. Tempat: Ruangan Bedah Umum
6. Metode : Konsultasi
7. Alat Bantu : Leaflet dan daftar bahan makanan penukar
8. Materi
a. Penjelasan tentang diet pasca bedah dan diet TETP
b. Tujuan diet yang diberikan
c. Prinsip dan syarat diet yang diberikan
d. Bahan makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan
e. Bahan penukar
9. Evaluasi : Tanya jawab untuk mengetahui tingkat pemahaman pasien
dan keluarga pasien setelah diberikan konseling gizi
E. Rencana Monitoring dan Evaluasi

Kategori Pengukuran Target


Mempertahankan
Antropometri : 3 hari sekali dalam keadaan
BBI (status gizi)
normal
Biokimia : Hemoglobin, Setiap hasil

trombosit, MCH, MCHC, pemeriksaan Normal


Trombosit laboratorium keluar

Fisik/klinik : KU (lemah,
nyeri di mulut, nyeri Setiap hari Normal
perut, lidah kaku dan
kesulitan menelan).
Asupan makan :
- Energi
- Protein Setiap hari > 80% dari kebutuhan

- Lemak
- Karbohidrat

45
BAB V

PEMBAHASAN

A. Skrining Gizi
Skrining gizi pada pasien dilakukan untuk mengetahui keadaan gizi awal
pasien, apakah mengalami resiko masalah gizi atau tidak. Metode skrining
yang digunakan adalah metode Nutritional Risk Screening (NRS). Ada 2
tahapan yaitu skrining awal dan srining lanjut. Setelah dilakukan skrinning
gizi diketahui bahwa pasien memiliki resiko malnutrisi dan memerlukan
perencanaan gizi secara dini, hal ini ditunjukkan dari total skor yang
diperoleh dari formulir skrinning yaitu 4 skor menunjukkan bahwa pasien
beresiko malnutrisi, perlu perencanaan gizi secara dini. Pada skrinning awal
diperoleh 3 skor karena pasien mengalami penurunan berat badan yang tidak
direncanakan sebanyak, serta asupan asupan makan pasien berkurang karena
mengalami penurunan nafsu makan dan kesulitan menelan disebabkan adanya
luka di daerah mulut sedangkan pada skrinning akhir diperoleh skor 1
menunjukkan keadaan ringan.
Penetapan skor malnutrisi tersebut berdasarkan standar NRS (Nutritional
Risk Skrining).NRS-2002 dikembangkan pada tahun 2002 oleh Kondrup dkk
dan ESPEN (European Society of Parenteral and Enteral Nutrition). NRS
meliputi dua hal dalam penerapannya, yaitu pengukuran kemungkinan gizi
kurang dan pengukuran tingkat keparahan penyakit (disease severity).
Kriteria dalam penggunaan NRS-2002 adalah sebagai berikut.

a. Penurunan berat badan >5% dalam 3 bulan


b. Penurunan nilai BMI
c. Penurunan asupan gizi baru-baru ini
d. Tingkat keparahan penyakit.
Ada 2 skor yang dihitung yaitu
1. Kondisi status gizi
2. Keparahan penyakit
Kedua skor tersebut dijumlah menjadi skor akhir, dan apabila hasil skor
yang didapat adalah ≥3, maka angka tersebut menunjukkan bahwa pasien
membutuhkan terapi gizi segera. Petunjuk pada alat ini menyatakan bahwa

46
rencana asuhan gizi dibutuhkan pada semua pasien yang malnutrisi berat
(skor 3 untuk status gizi) dan/atau sakit parah (skor 3 untuk tingkat keparahan
penyakit) atau malnutrisi sedang dan sakit ringan (total skor 3 [2+1]) atau
malnutrisi ringan dan sakit sedang (total skor 3 [1+2]) (Anthony, 2014).
B. Antropometri
Pengukuran status gizi pasien diukur dengan menggunakan perhitungan
BBI dan TBE. Untuk mendapatkan berat badan pasien dilakukan dengan cara
mengukur lingkar lengan atas (LLA) pasien dikarenakan pasien ataupun
keluarga tidak ingat. Lingkar Lengan Atas (LLA) dewasa ini merupakan salah
satu pilihan untuk penentuan status gizi, karena mudah dilakukan dan tidak
memerlukan alat-alat yang sulit diperoleh. Alat yang digunakan merupakan
suatu pita pengukur yang terbuat dari fiberglass/jenis kertas tertentu berlapis
plastik (Supariasa, 2001). Sedangkan tinggi badan pasien dilakukan dengan
cara mengukur lengan bawah pasien dikarenakan kondisi pasien tidak dapat
berdiri. Oleh karena itu, formula dari panjang tulang ulna dapat menjadi
alternatif estimasi tinggi badan dalam keadaan tertentu.
Data yang kami ambil adalah hasil pengukuran Ulna, TBE, LLA dan BBI.
Berikut adalah adalah hasil pengkuran atropometri pasien pada tanggal 13
April 2016 :
No Pengukuran Hasil Satuan
1 Ulna 23 cm
2 TBE 161 cm
3 LLA 27 cm
4 BBI 54,9 kg

C. Biokimia

Pada hasil laboratorium terdapat beberapa masalah yang terjadi.


Diantaranya adalah kadar hemoglobin darah yang rendah yaitu 10 g/dl. Kadar
hemoglobin darah yang rendah menunjukkan bahwa pasien mengalami
anemia. Anemia adalah keadaan berkurangnya jumlah eritrosit atau
hemoglobin (protein pembawa O2) dari nilai normal dalam darah sehingga
tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa O 2 dalam jumlah yang
cukup ke jaringan perifer sehingga pengiriman O2 ke jaringan menurun.

47
Berikut ini batasan kadar hemoglobin berdasarkan umur dan jenis kelamin
(WHO dalam Arisman, 2002).
Tabel Batas Kadar Hemoglobin Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin.
Kelompok Umur Batas Nilai Hemoglobin (gr/dl)
Anak 6 bulan – 6 tahun 11,0
Anak 6 tahun – 14 tahun 12,0
Pria dewasa 13,0
Ibu hamil 11,0
Wanita dewasa 12,0
Sumber: WHO dalam arisman 2002
Penyebab anemia pada pasien karena kelihangan banyak darah pada saat
kecelakaan dan pasca bedah. Penurunan nilai MCH dan MCHC umumnya
menunjukkan defisiensi besi atau anemia karena keadaan inflamasi kronik.
MCH merupakan ukuran jumlah rata – rata hemoglobin dalam tiap satuan sel.
MCHC merupakan ukuran konsentrasi hemoglobin dalam tiap sel (ukuran
kromisitas). (Waterbury, 1998).
Nilai normal MCH dan MCHC :
 MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin) atau HER (Hemoglobin Eritrosit
Rata – rata) : 27 – 31 pg
 MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentracion) atau KHER
(Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit Rata – rata) : 32 – 37 % .
(R Gandasoebrata, 2006)
Pada Ny.R juga terjadi tromobositopenia (penuunan jumlah trombosit
dalam sirkulasi). Terjadinya trombsitopenia pada Ny. R dikarenakan obat-
obatan yang diberikan yaitu obat ceftriaxone dan raniitidin dimana obat-
obatan tersebut dapat mengurangi jumlah trombosit dalam darah dengan cara
membigungkan system kekebalan tubuh dan menyebabkan penghancuran
terhadap trombosit.

D. Pemeriksaan Fisik dan Klinis


1. Pemeriksaan Fisik
Pasien datang ke Rumah Sakit dikarenakan terjadinya insiden
kecelakaan tunggal atau pasien jatuh dari motor sendiri. Dan pada saat

48
pengamatan langsung kondisi fisik pasien terlihat lemah dan dalam
keadaan bedrest serta terdapat bekas jahitan pada wajah pasien. Keadaan
ini menyebabkan pasien sulit untuk membuka mulut yang menyebabkan
sulit mengunyah dan sulit menelan. Keadaan pasien tresebut terjadi karena
fraktur mandibula. Mandibula adalah tulang rahang bawah pada manusia
dan berfungsi sebagai tempat menempelnya gigi geligi rahang bawah.
Mandibula berhubungan dengan basis kranii dengan adanya temporo-
mandibular joint dan disangga oleh otot – otot mengunyah.
Ada 4 pasang otot yang disebut sebagai otot pengunyah, yaitu
m.masseter, m.temporalis, m.pterigoideus lateralis dan m.pterigoideus
medialis. Sedangkan m.digastrikus, walaupun tidak termasuk otot-otot
pengunyah, namun mempunyai fungsi yang penting pada mandibula. Bila
otot digastrikus kanan dan kiri berkontraksi mandibula bergerak ke bawah
dan tertarik ke belakang dan gigi-gigi terbuka. Saat mandibula
terstabilisasi m.digastrikus dan m.suprahyoid mengangkat os hyoid,
keadaan ini penting untuk proses menelan (Widanto, skk. 1996).
Mengunyah merupakan suatu proses terdiri dari 3 siklus, yaitu :
a. Fase membuka.
b. Fase memotong, menghancurkan, menggiling. Otot-otot mengalami
kontraksi isotonic atau relaksasi. Kontraksi isometric dari elevbator
hanya terjadi bila gigi atas dan bawah rapat atau bila terdapat bahan
yang keras diantaranya akhir fase menutup.
c. Fase menutup. Pada akhir fase menutup dan fase oklusi didapatkan
kenaikan tonus pada otot elevator (Widanto, skk. 1996).
Pada pasien terjadi fraktur/trauma mandibula. Fraktur mandibula
adalah salah satu cedera wajah yang sering ditemukan dan biasanya
disebabkan oleh trauma langsung (Sjamsuhidaja, 1997). Penyebab utama
dari fraktur di seluruh dunia adalah kecelakaan lalu lintas dan kekerasan
(Adel dan Jose, 2011). Trauma yang terjadi pada mandibula sering
menimbulkan farktur yang menganggu fungsi pengunyahan (Monika,
2004).
Sedangkan untuk keadaan dimana kondisi fisik pasien terlihat lemah
disebabkan karena pasien mengalami anemia. Hal ini sesuai dengan
pendapat dari Anie Kurniawan, dkk (1998), yang mengatakan bahwa
tanda-tanda Anemia meliputi Lesu, Lemah, Letih, Lelah, Lalai (5L), sering

49
mengeluh pusing dan mata berkunang-kunang dan gejala lebih lanjut
adalah kelopak mata, bibir, lidah, kulit, dan telapak tangan menjadi pucat.
2. Pemeriksaan Klinis

Pada hasil pemeriksaan klinis yaitu tekanan darah, nadi, respirasi dan
suhu tubuh semuanya dalam keadaan normal.

3. Intake Makanan
Hasil pengkajian pola makan pasien, diketahui bahwa pasien memiliki
pola makan 3 kali sehari, yaitu 3 kali makanan utama dan ≥ 2 kali sehari
untuk selingan. Pasien tidak mempunyai penyakit alergi makanan. Dalam
menganalisa asupan makan pasien dilakukan dengan melihat seberapa
besar porsi yang dapat dihabiskan pasien, dibantu dengan standar diet
rumah sakit, menggunakan metode Food Recall 24 jam. Asupan makan
pasien akan dibandingkan dengan kebutuhan pasien yang dikategorikan
berdasarkan kriteria menurut Depkes (2002) :
d. Baik : ≥90% kebutuhan
e. Sedang : 70-90% kebutuhan
f. Kurang : <70% kebutuhan
Dari hasil recall 1x24 jam terhadap makanan dari rumah sakit yang
telah dilakukan, dihitung dari makan siang di hari sebelumnya sampai
makan pagi di hari kunjung. Asupan makan pasien jika dibandingkan
dengan standar kebutuhan RS diketahui bahwa asupan energy 69,95%,
protein 73,2% dan Karbohidrat 65,9%. Pasien selalu tidak menghabiskan
makanannya dikarenakan pasien merasa sulit untuk menelan makanan
tersebut. Untuk pemberian bubur saring, pasien hanya menghabiskan
setengah gelas saja, sedangkan pemberian makanan berupa susu dan jus,
pasien hanya menghabiskan 2 sdm saja, hal ini karena konsistensinya yang
cair, karena menurut Dr. Eka J. Wahjoepramono, SpBS dalam bukunya
171 Tanya Jawab Tentang Stroke yaitu semakin cair konsistensinya maka
semakin sulit untuk ditelan.
E. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Penyakit Dahulu
Os menderita penyakit polip, namun tidak ada hubungannya dengan
keadaan Os sekarang.

F. Intervensi Gizi

50
1. Terapi Diet
Jenis diet yang diberikan adalah Modifikasi makanan cair dan saring.
Penetapan diet ditentukan oleh keadaan pasien dan program pengobatan
secara keseluruhan. Keadaan pasien yang sulit menelan (disfagia)
menyebabkan bentuk makanan yang diberikan adalah makanan cair dan
saring. Makanan cair adalah makanan yang mempunyai konsentrasi cair
hingga kental. Makanan ini diberikan kepada pasien yang mengalami
gangguan mengunyah dan menelan, sedangkan makanan saring adalah
makanan semipadat yang mempunyai tekstur lebih halus daripada
makanan lunak, sehingga mudah ditelan dan dicerna.
Pemberian makanan masih diberikan secara oral, karena pasien masih
bisa menerima makanan melalui mulut meskipun pasien mengalami
kesulitan menelan. Makanan diberikan sebanyak 3 kali makan saring 3 kali
cair dan 2 kali jus sehari sesuai dengan standar rumah sakit untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.

2. Tujuan Diet
a. Memberikan makanan cair dan saring untuk memudahkan pasien
menerima makanan guna memenuhi kebutuhan gizi pasien
b. Memenuhi kebutuhan energy dan protein yang meningkat untuk
memperbaiki kerusakan jaringan tubuh
c. Mengganti kehilangan protein, zat besi, dan zat gizi lain.
3. Prinsip Diet
a. Energi tinggi
b. Protein tinggi
c. Lemak cukup
d. Karbohidrat cukup
e. Vitamin dan mineral cukup
4. Syarat diet
a. Energi tinggi yaitu 2243.23 kkal
b. Protein tinggi yaitu 2,0 g/kg BB sebesar 109,8 gram
c. Lemak cukup yaitu 20% dari kebutuhan energy sebesar 49,85 gram
d. Karbohidrat cukup, sisa kebutuhan 60,4% yaitu 338.725 gram
e. Tidak merangsang saluran cerna

51
f. Kandungan energi minimal 1 kkal/ml. konsetrasi cairan dapat diberikan
secara bertahap dari ½, ¾ sampai penuh
g. Untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral dapat diberikan
tambahan ferusulfat, vitamin B kompleks dan vitamin C
h. Hanya diberikan untuk jangka waktu singkat selama 1-3 hari, karena
kurang memenuhi kebutuhan gizi
i. Rendah serat, diberikan dalam posri kecil dan sering yaitu 6-8 kali
sehari

52
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Setelah dilakukan skrinning gizi diketahui bahwa pasien memiliki resiko
malnutrisi dan memerlukan perencanaan gizi secara dini, hal ini
ditunjukkan dari total skor yang diperoleh dari formulir skrinning yaitu 4
skor.
2. Status gizi pasien berdasarkan hasil perhitungan yang menggunakan
perhitungan BBI yaitu 54,9 kg dan TBE yaitu 161 cm.
3. Pada hasil laboratorium terdapat beberapa masalah yang terjadi.
Diantaranya adalah kadar hemoglobin darah yang rendah yaitu 8,7 g/dl.
Kadar hemoglobin darah yang rendah menunjukkan bahwa pasien
mengalami anemia, begitun juga untuk penurunan nilai MCV dan MCH
umumnya menunjukkan defisiensi besi atau anemia. Ny.R juga
mengalami tromobositopenia (penuunan jumlah trombosit dalam
sirkulasi). Terjadinya trombsitopenia pada Ny. R dikarenakan obat-obatan
yang diberikan.
4. Jenis diet yang diberikan adalah Modifikasi makanan cair dan saring
dikarenakan keadaan pasien yang sulit menelan (disfagia).

53
DAFTAR PUSTAKA

Hartono, dr Andry. 1999. Asuhan Nutrisi Rumah Sakit Diagnosis, Konseling dan
Perskripsi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Hartono, dr Andry. 2005. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

Supariasa, I Dewa Nyoman. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Depkes RI. 2002. Penilaian Diet Klien di Rumah Sakit Selama Dirawat.
BPPSDM. Jakarta

Sjamsuhidajat R. Jong WD., Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta,
1997, 118-120, 442-443.

Elidasari Monika. Pramono Coen., Penatalaksanaan Fraktur Bilateral Pada


Angulus Mandibula, Dalam Majalah PABMI, Persatuan Ahli Bedah Mulut
Indonesia, Bandung, 2004, 241-245.

Lodra Ester. Pramono Coen., Aplikasi Teori Champy Pada Penatalaksanaan


Fraktur Mandibula Regio Anterior, Dalam Majalah PABMI, Persatuan Ahli
Bedah Mulut Indonesia, Bandung, 2004, 221-224.

Pederson Gordon., Bedah Mulut, Alih Bahasa Purwanto, EGC, Jakarta, 1990,
236-248

Tawfilis Adel., Facial Trauma, Mandibular Fractures, Available from


http://www.emedicine.com/plastic/topic227.htm. Accessed on 29 April
2017.

Barrera Jose, Mandibular Body Fractures, Available From


http://www.emedicine.com/ent/topic415htm Accessed on 29 April 2017.

Hardjowasito Widanto, Sugiharto Setyo., Penanganan Fraktur Mandibula Pada


Anank Dengan Pemasangan Arch-Barr, Dalam Majalah Kedokteran
Unibraw, 1996. 38-43

54
Wahjoepramono, Eka J. 171 Tanya Jawab Tentang Stroke. PT. Gramedia Pustaka
Utama : Jakarta, 2010.

55

Vous aimerez peut-être aussi