Vous êtes sur la page 1sur 37

ANOTASI BIBLIOGRAFI

PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN ILMU-ILMU SOSIAL


DI INDONESIA DAN INDIA

Oleh :
Mustolikh (1009517)

1. Ali, Muhammad. (1992). Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Jakarta:


Depdikbud.
Pengembangan kurikulum harus berdasarkan pada komponen-komponen yang
saling berkaitan antara satu dengan yang lain yakni (1) tujuan (2) materi,(3)
Metode, (4) organisasi, (5) evaluasi. Ditinjau dari sudut organisasi kurikulum
dapat terbentuk beberapa macam model kurikulum yang memiliki ciri-ciri
sebagi berikut:
a. Model Isolated Subject. (mata pelajaran terpisah-pisah) yakni kurikulum
yang terdiri dari sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah, tiap pelajaran
disampaikan sendiri sendiri tanpa ada hubungan.
b. Model correlated (mata pelajaran berkorelasi) korelasi ditujukan untuk
mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai akibat pemisahan mata
pelajaran. Contoh : pelajaran sejarah dan ilmu bumi masing-masing
diberikan pada waktu yang berbeda tetapi materi dihubungkan satu sama
lainnya.
c. Model Broadfield (bidang studi). Beberapa mata ajaran yang sejenis dan
memilik ciri-ciri yang sama dikorelasikan difungsikan dalam satu bidang
pelajaran.
d. Model childcentered (program yang terpusat pada anak) program ini
adalah orientasi baru dimana kurikulum dititikberatkan pada kegiatan-
kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran. Guru menyiapkan
program yang meliputi kegiatan-kegiatan yang menyajikan kehidupan anak.
e. Model core program. Core program adalah suatu program inti berupa suatu
unit atau masalah, masalah diambil dari mata pelajaran tertentu, misalnya
bidang studi IPS beberapa mata pelajaran lainnya diberikan melalui
kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya memecahkan masalah.

1
2

f. Model eclectic program. Adalah suatu program yang mencari keseimbangan


antara organisasi kurikulum yang berpusat pada mata pelajaran dan yang
berpusat pada anak. Program ini sesuai dengan minat, kebutuhan dan
kematangan peserta didik. Ruang lingkup dan urutan ditentukan sebelumnya
dan perinciannya dikerjakan oleh guru dan siswa.
Komentar :
Menurut saya kurikulum ini kurang efektif karena pelajaran sejarah dan
ilmu bumi masing-masing diberikan pada waktu yang berbeda tetapi materi
dihubungkan satu sama lainnya. Namun memiliki sisi yang positif karena
programnya dikerjakan guru dan siswa.
2. Arora, G.L.; Ray Shefali. (1993). India: Education policies and curriculum
at the upper primary and secondary education levels. New Delhi, State
Council of Educational Research and Training.
India adalah sebuah serikat terdiri dari dua puluh lima negara bagian dan
tujuh wilayah. Konstitusi ini memberikan arahan tentang perkembangan
pendidikan di seluruh negeri. Para daerah di mana pusat dan pemerintah negara
masing-masing memiliki domain telah diidentifikasi dalam UUD sebagai daftar
pusat, negara bagian dan daftar bersamaan. Sampai akhir 1970-an, pendidikan
sekolah telah di daftar negara, yang berarti bahwa negara memiliki kata akhir
dalam manajemen sistem masing-masing sekolah. Namun, dalam 1976,
pendidikan dipindahkan ke daftar konkuren melalui amandemen konstitusi,
tujuan yang untuk mempromosikan kemitraan pendidikan yang bermakna
antara pemerintah pusat dan pemerintah negara. Saat ini, pemerintah pusat
menetapkan kebijakan pendidikan yang luas untuk sekolah pengembangan
kurikulum dan praktek manajemen. Ini menjadi pedoman bagi negara.
Dampak dari perdebatan nasional tentang kurikulum. Pada tahun 1986,
luas musyawarah oleh berbagai komite nasional pada sistem pendidikan negara
dan kebijakan memuncak dengan keputusan untuk kurikuler nasional
kerangka kerja yang berisi inti umum bersama dengan gerakan kemerdekaan
flexibledia itu; kewajiban konstitusional dan penting untuk memelihara
identitas nasional konten lainnya. Ini elemen inti dimaksudkan untuk
memotong di seluruh wilayah subjek dan dirancang untuk mempromosikan
3

sejumlah nilai-nilai (seperti India warisan budaya, egalitarianisme, demokrasi,


dan sekularisme, kesetaraan jenis kelamin, perlindungan lingkungan,
penghapusan hambatan sosial, ketaatan terhadap keluarga kecil norma dan
penanaman pendekatan ilmiah). Juga, dalam rangka untuk memperkuat
pandangan bahwa seluruh dunia adalah satu keluarga, kurikulum akan tujuan
untuk mempromosikan kerjasama internasional dan damai ko-eksistensi
komponen. Inti umum mencakup sejarah India itu kebebasan gerakan;
kewajiban konstitusional dan penting untuk memelihara identitas nasional
konten lainnya. Ini elemen inti dimaksudkan untuk memotong di seluruh
wilayah subjek dan dirancang untuk mempromosikan sejumlah nilai-nilai
(seperti India warisan budaya, egalitarianisme, demokrasi, dan
sekularisme, kesetaraan jenis kelamin, perlindungan lingkungan, penghapusan
hambatan sosial, ketaatan terhadap keluarga kecil norma dan penanaman
pendekatan ilmiah). Juga, dalam rangka untuk memperkuat pandangan bahwa
seluruh dunia adalah satu keluarga, kurikulum akan tujuan untuk
mempromosikan kerjasama internasional dan damai ko-eksistensi.
3. Buckles, S., Schug, M.C., dan Watts. M. (2001). “A National Survey of
State Assessment Practices in the Social Studies.” The Social Studies. 92
(4):141-146.
Artikel ini menyajikan hasil penelitian dari para penulisnya terhadap arti
penting standar (kurikulum) nasional dan gerakan asesmen selama beberapa
dekade sebelumnya, serta bagaimana asesmen berbasis standar itu
diselenggarakan dalam social studies (juga lapangan kajian lainnya) di suatu
negara. Penelitian itu sendiri ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang
negara-negara bagian mana sajakah yang menyelenggarakan asesmen social
studies; bagian mata pelajaran apa sajakah yang termasuk dalam asesmen
social studies di negara bagian; berapa banyak cakupan dari perbedaan
kawasan mata pelajaran telah mendapatkan asesmen; jenis-jenis item yang
digunakan dalam asesmen; dan, dampak berbagai standar nasional terhadap
asesmen social studies di negara bagian.
Komentar:
4

Jika suatu Negara menerapkan sebuah kurikulum yang berkualitas tentunya


hasilnyapun akan berkualitas sesuai dengan apa yang menjadi harapan.
4. Dave, Jagdish P. (1964).Change in the Social Studies Curriculum of
Selected Schools in India from 1947 to 1961 [online]. Tersedia:
http://southasiadissertations.uchicago.edu/ucdsa/content/dave-jagdish-p [17
Oktober 2011]
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki sifat dan luasnya
perubahan dalam program-program studi sosial dari sekolah tinggi di India
setelah kemerdekaan dan untuk menentukan beberapa kondisi yang
berhubungan dengan perubahan maksimum dalam kurikulum studi sosial. . . .
Para pertanyaan berikut dibuat mengenai tingkat dan sifat perubahan: (1) Apa
perubahan yang nyata dalam tujuan pengajaran studi sosial? (2) Perubahan apa
yang terlihat dalam organisasi pembelajaran pengalaman di bidang studi sosial?
(3) Perubahan apa yang terlihat dalam metode pengajaran studi sosial? . . . .
Dalam rangka untuk memandu penyelidikan mengenai kondisi perubahan,
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut yang dicari: (1) Sampai sejauh
mana kebebasan untuk mengembangkan kurikulum lokal memfasilitasi
perubahan dalam kurikulum studi sosial? (2) Sejauh mana bantuan material dan
teknis kondusif untuk perubahan dalam kurikulum studi sosial? (3) Sejauh
mana ketersediaan fasilitas untuk pertumbuhan profesional guru kondusif
untuk perubahan dalam kurikulum studi sosial? (4) Sampai sejauh mana
perubahan dalam kurikulum studi sosial yang terkait dengan kepemimpinan
yang ditunjukkan oleh administrator sekolah? (5) Sampai sejauh mana
pemeriksaan publik eksternal membatasi perubahan dalam kurikulum studi
sosial? (6) Sampai sejauh mana tingkat kepuasan dengan program studi yang
ada upaya sosial mempengaruhi untuk mengubah program itu?
Sebagai contoh hal daerah, Gujarat Negara dan Greater Bombay dipilih
untuk studi dalam penyelidikan. . . . Sebagai contoh hal sekolah, studi termasuk
apa sekolah - swasta, pemerintah atau 'publik' - yang tersedia untuk penelitian.
Studi ini juga termasuk jenis baru dari sekolah yang dikenal sebagai 'sekolah
5

proyek' - sekolah yang telah melakukan semacam eksperimen dalam kurikulum


mereka.
Komentar:
Penelitian seperti di atas sangatlah tepat untuk dilaksanakan, ada baiknya juga
jika dilaksanakan di Indonesia. Dengan penelitian seperti di atas, maka kita
dapat mengetahui sudah sejauh mana tingkat keberhasilan pendidika ilmu
sosial di bangsa kita ini.
5. Dave, Jagdish P. (1964). Change in the Social Studies Curriculum of
Selected Schools in India from 1947 to 1961 [online]. Tersedia:
http://southasiadissertations.uchicago.edu/ucdsa/content/dave-jagdish-p [17
Oktober 2011]
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki sifat dan luasnya
perubahan dalam program-program studi sosial dari sekolah tinggi di India
setelah kemerdekaan dan untuk menentukan beberapa kondisi yang
berhubungan dengan perubahan maksimum dalam kurikulum studi sosial. . . .
Para pertanyaan berikut dibuat mengenai tingkat dan sifat perubahan: (1) Apa
perubahan yang nyata dalam tujuan pengajaran studi sosial? (2) Perubahan apa
yang terlihat dalam organisasi pembelajaran pengalaman di bidang studi sosial?
(3) Perubahan apa yang terlihat dalam metode pengajaran studi sosial? . . .
Dalam rangka untuk memandu penyelidikan mengenai kondisi perubahan,
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut yang dicari: (1) Sampai sejauh
mana kebebasan untuk mengembangkan kurikulum lokal memfasilitasi
perubahan dalam kurikulum studi sosial? (2) Sejauh mana bantuan material dan
teknis kondusif untuk perubahan dalam kurikulum studi sosial? (3) Sejauh
mana ketersediaan fasilitas untuk pertumbuhan profesional guru kondusif
untuk perubahan dalam kurikulum studi sosial? (4) Sampai sejauh mana
perubahan dalam kurikulum studi sosial yang terkait dengan kepemimpinan
yang ditunjukkan oleh administrator sekolah? (5) Sampai sejauh mana
pemeriksaan publik eksternal membatasi perubahan dalam kurikulum studi
sosial? (6) Sampai sejauh mana tingkat kepuasan dengan program studi yang
ada upaya sosial mempengaruhi untuk mengubah program itu?
6

Sebagai contoh hal daerah, Gujarat Negara dan Greater Bombay dipilih untuk
studi dalam penyelidikan. . . . Sebagai contoh hal sekolah, studi termasuk apa
sekolah - swasta, pemerintah atau 'publik' - yang tersedia untuk penelitian.
Studi ini juga termasuk jenis baru dari sekolah yang dikenal sebagai 'sekolah
proyek' - sekolah yang telah melakukan semacam eksperimen dalam kurikulum
mereka.
Komentar :
Dalam hal ini penulis ingin menjelaskan tentang penelitian yang dilakukannya
untuk dapat memahami setiap sifat dan luasnya perubahan dalam program-
program studi sosial dari sekolah tinggi di India setelah kemerdekaan dan
untuk menentukan beberapa kondisi yang berhubungan dengan perubahan
maksimum dalam kurikulum studi sosial.
6. David G. Amstrong and Tom V. Savage, 1983, Secondary Education
Macmillan Publishing Co.,INC. : New York.
Pengevaluasian adalah merupakan proses pembuatan suatu keputusan
atau penilaian. Bagi guru, berarti suatu keanekaragaman pengukuran
seharusnya terjadi sebelum pembuatan keputusan pengevaluasian. Jika
keputusan berclasarkan pada, satu atau dua pengukuran, boleh jadl tidak
terefleksikannya secara akurat kemampuan siswa yang diperoleh.
Pengukuran adalah merupakan proses pengumpulan informasi yang
berhubungan dengan keberadaan dan ketidakadaan suatu perilaku atau
kontribusi siswa. Suatu tes yang memerlukan siswa untuk menterjemahkan
bahasa Prancis kedalam bahasa Inggris, bukan merupakan pengukuran yang
valid terhadap kemampuan mendengarkan siswa dalam percakapan bahasa
Prancis yang cepat dan dapat membuat terjemahan bahasa Inggris lisan secara
simultan. Penguasaan teknik untuk pengumpulan informasi yang mampu
memberikan informasi yang terkalt jelas dengan perilaku atau atribut minat.
Tingkatan mutu/nilai adalah suatu bentuk tulisan tangan sebagai alat
untuk mengkomunikasikan evaluasi guru terhadap kelompok interes tertentu.
Sistem yang sangat umum dipakal yaltu nilal huruf, seperti nilai A,B,C,D, dan
F.
7

Dua bagan umum yang digunakan untuk menentukan bagaimana nilal-


nilai seharusnya diberikan, yaitu, Pertama. Sistem referensi norma, suatu nilai
siswa ditentukan oleh seberapa balk dia melakukan tugas yang terkalt dengan
siswa-siswa lainnya di kelas. Contoh; penilaian dengan kurva. Kedua. Sistem
referensl kriteria, siswa dinilai menurut bagaimana pengukuran skor mereka
terhadap standar atau kritenia yang digunakan. Contoh; suatu kriterla apablia
90 % benar maka layak untuk mendapat nilal A, dan apabila 80% benar maka
mendapat nilal B, dan seterusnya.
Ada 3 prinsip-prinsip umum dalam merencanakan suatu program
pengukuran dan evaluasi, yaitu;
a) Apa yang kita ukur seharusnya terkait jelas dengan apa yang kita
usahakan dalam pengajaran (hasil belajar yang diharapkan). untuk
menghindari pengembangan prosedur tes yang tidak konsisten dengan
hasil yang diharapkan. Kita perlu merencanakan program pengukuran kita
dan pada saat yang sama juga, kita mengidentifikasikan hasil
pembelajaran. yang kita harapkan selama phase program pengajaran kita
berlangsung.
b) Pengukuran seharusnya dilakukan pada waktu jeda yang sering,
agar faktor-faktor kesempatan acak tidak membuat kita melakukan
penilaian terhadap, siswa tidak dapat merefleksikan kemampuannya yang
nyata secara akurat. Melakukan pengetesan yang sering akan mernberikan
hasil-hasil yang dapat membantu. kita dalam mengidentifikasi
masalahmasalah yang siswa-Siswa mungkin hadapi. Bukti-bukti ini dapat
dijadikan masukan terhadap kebutuhan yang mungkin untuk dikaji ulang
materi-materi yang telah digunakan atau meningkatkan terhadap apa-apa
yang kita telah lakukan.
c) Guru harus memiliki pemahaman yang jelas tentang output
pembelajaran yang diharapkan. Kita harus memainkan peran yang aktif
dalam memilih alat pengulcuran untuk digunakan dalam pengumpulan
informasi. tentang tingkat- tingkat performansi individu-individu di kelas
kita. Kita memiliki otoritas untuk melakukannya. Kita seharusnya
8

berusaha untuk menggunakan unit-unit tes yang dikembangkan oleh orang


lain, setelah kita yakin akan diri kita bahwa mereka mampu mengukur
macam-macam pembelajaran yang kita inginkan.
Sangat penting untuk mengusahakan suatu keterkaitan antara harapan-
harapan pembelajaran yang ditetapkan dengan ragam pembelajaran yang kita
nilai dalam program pengukuran dan pengevaluasian. Untuk itu, kita harus
menyiapkan tes-tes formal, seperti; menjodohkan, pilihan ganda, betul/salah,
melengkapi, essay, skala n1lai, cheklis, dengan memperhatikan tingicat berfikir
kognisi siswa yang dituntut. Teknik penetesan individu terhadap pengulcuran
berfikir siswa pada tahap-tahap daya berfircir yang diterima, seperti;
Pengetahuan, Pemahaman, Aplikasi, Analisa, Sintetis, dan Evaluasi. Serta
prosedur yang kita gunakan, harus mempertimbangkan ketersedian
waktudalam pengembangan tes-tes dan waktu pengoreksian.
Bentuk Skala Nilai, adalah merupakan alat pengukuran yang dapat
digunakan untuk pengumpulan informasi tentang kemampuan siswa, seperti
penguasaan penggunaan alat-alat laboratorium, pengiriman pesan-pesan,
melengkapi proyek seni, dan menyalakan panel-panel. Skala nilai memiliki
bagian-bagian petunjuk nilai, seperti 5 faham/mengerti dengan sempurna; 4 =
diatas rata-rata, 3 = rata-rata, 2 = dibawah rata-rata, 1 = gagal. Serta skala nilai
bisa dikembangkan, seperti; 5 = selalu, 4 = sering, 3 = biasa, 2 =jarang, 1 =
tidak memahami.
Skala nilat berguna untuk membuat penilaian tentang macam-macam
macam performansi fisik siswa dan keterampilan-keterampilan yang tidak
dapat dinilai secara umum melalui pengukuran tes pena dan kertas. Ada
beberapa bentuk tes yang kita kenal; bentuk cheklis, bentuk essai, bentuk
melengkapi, bentuk menjodohkan, bentuk pilihan ganda, bentuk betul/salah.
Salah satu penggunaan hasil tes yang tidak teruji cobakan, yaltu guru-
guru kadang gagal untuk menentukan kelebihan dan kekurangan pengajaran
tersebut yang mendahulul tes. Tes yang kita buat harus terikat pada satu atau
lebih dari tujuan pengajaran kita. Jika tes yang kita berikan mendapatkan hasil
tes yang, jelek atau mengecewakan, maka kita harus mengindetifikasikan
9

beberapa penyebab kegagalan potenslalnya, dengan mempertimbangkan


kembali tentang pengambilan apakah prosedur diagnostik cukup untuk
mengindentifikasikan gap atau hambatan yang mungkin dalam memahami
informasi yang dibutubkan siswa, juga pemilihan strategi pengajaran,
juga.Pemilihan bahan untuk digunakan dalam situasi yang pas, serta kecukupan
sampel perilaku siswa yang akan kita uji. Apabila hal ini dilakukan, berarti
program dilakukan secara sistematik.
Apabila bentuk poin-point tes tersebut teridentifikasi secara jelas
terhadap tujuan-tujuan pengajaran secara individu, maka hal tersebut dapat
memudahkan kita dalam memperlihadm hasil tes dan dapat membuat beberapa
kesimpulan umum tentang poin-poin mana dari bagian tersebut dimana siswa-
siswa kita dapat mempelajari relative baik dan bagian mana yang mereka
mepelajari kurang baik.
Dalam melakukan penilaian terhadap siswa perlu memperhatikan skor tes
dan bukti-bukti lainnya. Penilaian ini di konversikan kedalam nilai-nilai huruf
dari nilai A untuk pekerjaan yang sangat dipahami sampal F untuk pekerjaan
yang gagal. Dalam melakukan penilaian, kita perlu mempertim,bangkan dua
konsep dasar; seperti; ke-fair-an dan kekhususan berkomunikasi.
7. Dwijosusilo. Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum Mata
Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Departemen Pendidikan
Nasional Badan Penelitian Dan Pengembangan Pusat Kurikulum 2007
[Online]. Tersedia: http://www.slideshare.net/Dwijosusilo/52-kajian-kebijakan-
kurikulum-ips[18 Oktober 2011]
Aktivitas siswa menjadi prioritas utama dalam berlangsungnya pembelajaran.
Dengan cara seperti ini diharapkan siswa mampu menemukan (inquiri) suatu
informasi baru yang berguna bagi dirinya. Dalam implementasi pembelajaran
IPS, misalnya siswa mempelajari fakta-fakta yang ada di sekelilingnya. .
Perkembangan Psikologi Siswa Pengembangan kurikulum harus
memperhatikan tingkat perkembangan psikologi siswa. Oleh karena itu,
kurikulum IPS yang dikembangkan harus memperhatikan tingkat
perkembangan psikologi siswa. Kurikulum IPS sebagai mata pelajaran yang
10

mempelajari berbagai kehidupan masyarakat yang kompleks haruslah dapat


mengadopsi keragaman yang ada pada masyarakat bangsa Indonesia.
Pengakuan terhadap eksistensi keragaman haruslah ditanamkan kepada diri
siswa. Keragaman harus diakui sebagai realitas obyektif yang ada dalam
kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam hal ini perlu dikembangkannya
konsep multikultur dalam melihat realitas masyarakat Indonesia yang beragam.
Hal yang harus dilakukan dalam melihat keragamanan ini adalah perlu dicari
relasi di antara keragaman.
Komentar:
Kurikulum IPS sebagai mata pelajaran yang mempelajari berbagai kehidupan
masyarakat yang kompleks haruslah dapat mengadopsi keragaman yang ada
pada masyarakat bangsa Indonesia. Selain itu, kurikulum IPS yang
dikembangkan harus memperhatikan tingkat perkembangan psikologi siswa.
8. Gunawan. (2009). Filosofi Dasar dalam Pengembangan Kurikulum Sekolah
http://bloggersumut.net/pendidikan/filosofi-dasar-dalam-pengembangan-
kurikulum-sekolah. (Accessed 2 Januari 2012).
Pengembangan kurikulum perlu menentukan filosofi tertentu untuk
menyelaras berbagai kepentingan sesuai harapan masyarakat. Masyarakat
sekarang menuntut standard kualitas yang tinggi dalam pendidikan. Standar ini
mencakupi kompetensi yang seimbang dalam kecerdasan atau logika, moral
dan akhlak mulia atau etika, seni dan keindahan estetika, serta kekuatan dan
kesehatan jasmani atau kinestetika.
Brameld dalam Longstreet dan Shane, mengelompokan keempat paham,
yaitu perennialism, essentiallism, progressivism dan reconstructivism.
Perennialism lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan
keindahan daripada warisan budaya serta dampaksosial tertentu. Pengetahuan
yanh lebih eksternal serta ideal lebih dipentingkan untuk dipelajari, sementara
kegiatan sehari – hari kurang ditekankan.
Pendidikan yang menganut paham ini menekankan pada kebenaran
absolut, kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu.
11

Pemikiran Plato dan karya Shakespeare merupakan contoh dari kebenaran


absolut dan keindahan yang sempurna dalam kehidupan manusia.
Manusia berbagi alam secara bersama – sama, maka seyogianya setiap
orang akan memperoleh keuntungan tentang kebenaran absolut dankeindahan
yang ideal. Implikasi dari penerapan perennialismdalam pengembangan
kurikulum adalah penyajian yang sama untuk semua orang. Setiap orang
memperoleh pengetahuan yang sama penting bagi siapa saja, dimana saja.
Perbedaan individual atau diversifikasi kurikulum kurang diakomodasikan
dalam perennialism ini.
Essentiallism menentukan pentingnya pewarisan budaya pemberian
pengetahuan serta keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota
masyarakat yang berguna. Matematika, sanis danmata pelajaran lainnya
dianggap sebagai dasar subtansi kurikulum yang berharga untuk hidup di
masyarakat.
Essentiallism menekankan pada individu sebagai sumber pegetahuan
tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti
memahami dirinya sendiri. bagaimana saya hidup di dunia?
Apakah pengalaman itu ?
Progressivism menekankan pada pentingnya melayani perbedaan
individual, berpusat pada siswa, variasi pengalaman belajar, dan proses.
Progressivism merupakan landasan filosofis bagi pengembanganbelajar aktif.
Recontructivism merupakan elaborasi lanjut dari paham progreeivism.
Pada recontructivism peradaban manusia masa depan sangat ditekan.
Recontructivism berorientasi masa depan sedangkan perennialism dan
essentialism berorientasi masa lalu. Recontructivismberanjak lebih jauh dari
progressivism yang menekan pada perbedaan individual, pemecahan masalah,
berfikir kritis dan sejenisnya.
Penganut paham ini akan memepertanyakan Untuk apa berfikir kritis
memecahkan masalah dan melakukan sesuatu ? Penganut paham ini
menekankan pada hasil belajar ( learning out comes ) dari pada proses. Sekolah
adalah suatu tempat untuk mencapai seperangkat hasil belajar yang
12

mewujudkan kehidupan dan peradaban yang lebih baik. Perangkat ini telah
ditentukan dan direncanakan sebelumnya.
Penggunaan filosofi di atas tidak terjadi dalam keadaan vakum. Untuk
pertumbuhan ekonomi akan terjadi reaksi untuk lebih back to basic atau
essentialism. Untuk krisis kebudayaan orang lebih suka memilih
reconstructivism yang berorientasi ke masa depan. Untuk metode dapat dipilih
progresif dan rekontruktif.
Pengembagan kurikulum biasanya tidak menganut filosofi tunggal.
Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi ( KBK ) misalnya tidak
menganut filosofi tunggal. KBK tetap berpegang pada tut wuri handayani,
ingmadya mangun karsa, ing ngarsa sung tulada. Standar kompetensi dapat
menjadi acuan untuk guru agar dibelakang dapat memberi dorongan dan
bimbingan, di tengah bermitra agar peserta didik berkarya, serta di depan
memberi tauladan dengan menunjukan akuntabilitas yang lebih jelas melalui
indikator yang harus dicapai kompetensi.
Pengembangan kurikulum berorientasi masyarakat biasanya lebih status
quo karena memfokuskan pada ; siapa danmasyarakat mana? Hal ini dapat
menjebak pengembangan pada pilihan termudah, yaitu masyarakat terbanyak
yang dikatakan sebagai kurang dapat mengikuti ; atau terlalu berpihak
golongan yang cendrung sangat mampu sehingga terkesan eksklusif.
Pengembangan elektif lebih mampu mengkompromikan dan
mengakomodasikan berbagai kebutuhan masyarakat yang beragam dengan
menerapkan filosofi pendidikan secara elektif pula.
Komentar :
Diperlukan cara yang cukup cerdik untuk merajut filosofi mana yang
akan dipilih, terutama dalam keadaaebudayaan, ban Indonesia yang sangat
heterigen secara geografis, sosial ekonomi, khasa dan infrastruktur.
9. Hamalik, Oemar. (1994). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta:
Depdikbud.
Competency based Curriculum Model. Kompetensi merupakan pengetahuan,
keterampilan dan nilai – nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir
13

dan bertindak. Kebiasaan berfikir dan bertindak secara sistemik dan terus
menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten dalam arti memiliki
pengetahuan, keterampilan dan nilai – nilai dasar untuk melakukan sesuatu.
Dasar pemikiran Kurikulum Berbasis Kompetensi adalah:
a. Kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan sesuatu
dalam berbagai konteks.
b. Kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilakukan siswa untuk
menjadi kompeten.
Komentar :
Dalam hal ini penulis ingin menerapkan Competency based Curriculum Model,
hal ini tentunya baik untuk melatih Kebiasaan berfikir dan bertindak secara
sistemik dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten dalam
arti memiliki pengetahuan, keterampilan dan nilai – nilai dasar untuk
melakukan sesuatu.
10. Hasan, S. Hamid. (2008). Evaluasi Kurikulum. Bandung: Remaja
Rosdakarya. 265 Halaman.
Secara garis besar buku ini mengkaji tentang evaluasi kurikulum. Menurut
penulis evaluasi kurikulum merupakan suatu aktifitas ilmiah yang memiliki
keterkaitan erat dengan proses pengembangan kurikulum. Jadi, evaluasi
kurikulum tanpa kurikulum tidak punya arti dan sebaliknya kurikulum tanpa
evaluasi tidak akan berhasil dengan maksimal. Buku ini terdiri atas 9 Bab, yang
dimulai, Bab 1: Delineasi bidang evaluasi kurikulum; Bab 2: Defenisi, tujuan
dan fungsi evaluasi kurikulum; Bab 3: Landasan evaluasi kurikulum; Bab 4:
Kriteria evaluasi kurikulum; Bab 5: ruang lingkup evaluasi kurikulum; Bab 6:
Jenis evaluasi kurikulum; Bab 7: Prosedur evaluasi kurikulum; Bab 8: Model-
model evaluasi kurikulum; dan Bab 9: Standar dalam pelaksanaan evaluasi
kurikulum. Pada Bab 8 membahas tentang model-model evaluasi kurikulum
dan salah satu model yang dibahas adalah model Countenance Stake’s. Model
ini merupakan model yang pertama kali dikembangkan oleh Stake yang
disesuaikan dengan judul artikel yang ditulis yaitu “Countenance”. Stake
mengemukakan bahwa keseluruhan kegiatan evaluasi harus dilakukan dan cara
yang diinginkan bagaimana evaluasi tersebut dilakukan. Model Countenance
Stake’s terdiri dari dua matriks yaitu matriks deskripsi dan matriks
14

pertimbangan. Setiap matriks terdiri atas dua kategori dan tiga bagian. Matriks
deskripsi terdiri atas kategori rencana (intens) dan observasi. Matriks
pertimbangan terdiri atas kategori standard an pertimbangan. Pada setiap
kategori terdapat tiga focus penting yaitu Antecedents (keadaan sebelum),
Transaksi (proses), dan Hasil (kemampuan yang diperoleh peserta didik).
Komentar :
Buku yang ditulis oelh Prof. Dr. S. Hamid Hasan ini membahas tentang
evaluasi kurikulum tanpa kurikulum tidak punya arti dan sebaliknya kurikulum
tanpa evaluasi tidak akan berhasil dengan maksimal. Karena tidak dapat
mengetahui hasil dari setiap kurikulum yang di ajarkan pada peserta didik.
Agar kurikulum yang baik dapat tercapai, harus diimplementasikan dengan
baik oleh para pelaku yang baik (kreatif dan inovatif). Untuk dapat mengetahui
tingkat ketercapaian tersebut harus melewati satu tahap yang dinamakan
Evaluasi Kurikulum.
11. Jamil, Zamhasari. (2011). [Online]. Tersedia: [Online]. Tersedia:
http://www.indowebster.web.id/archive/index.php/t-146949.html 10
oktober 2011-10-10 [10 Oktober 2011].
Penulis dalam artikelnya menyampaikan bahwa Kebijakan Pendidikan
Nasional Negara India tahun 1968 telah diterima sebagai suatu kerangka
kebijakan nasional untuk pengembangan pendidikan pada semua tingkat dan
didukung oleh garis-garis besar pendidikan yang termaktub dalam Repelita VI.
Bagi anda yang mengikuti program S-1 pada jurusan-jurusan ilmu sosial,
humaniora dan eksakta di India tidak dibebani dengan penulisan skripsi.
Komentar:
Artikel yang singkat, namun jelas. Menyiratkan bahwa pemerintah Negara
India memang sangat memperhatikan pemenuhan pendidikan untuk warga
negaranya. Pemerintah tidak membebankan beban yang berat kepada warganya
yang ingin yang ingin mengenyam dunia pendidikan.
12. Lake, D. (2002). “Critical Social Numeracy.” The Social Studies. 93 (1): 4-
10.
Artikel ini menyajikan bagaimana adaptasi penggunaan asesmen model SOLO
taxonomy dari Biggs dan Collis (1982) untuk menumbuhkan tingkat kritis
15

siswa dalam pendidikan ilmu-ilmu sosial. Penulis telah menggunakan adaptasi


SOLO Taxonomy untuk mengajarkan bilangan kritis dalam bentuk grafik-
grafik dan tabel-tabel selama tiga tahun untuk tahun pertama siswa menengah
atas. Pengalaman serupa juga digunakan ketika mengajar di Universitas
Murdoch, Australia. Menurut pengalaman Lake, adaptasi SOLO taxonomy
memiliki potensi untuk digunakan sebagai kekuatan alat pengajaran, yakni
pengembangan kecakapan-kecakapan yang dapat memupuk tumbuhnya
lingkungan pembelajaran sebagaimana direkomendasikan oleh penelitian
Lawson (1985), Lawson dan Smitgen (1982), serta Shayer dan Adey (1992a,
1993b).
Komentar:
Table dan model pembelajaran yang digunakan harus sesuai, dikarenakan para
siswa mulai berfikir kritis dalam menyikapi suatu model pembelajaran.
13. Mohanty, Sunil Behari . (2009). National Curriculum Framework for
Teacher Education: Towards Preparing Professional and Humane Teacher.
New Delhi: Authored and Published by National Council for Teacher
Education, Pages 93

Setiap bab dari dokumen ini dimulai dengan bagian 'Pendahuluan' yang
mungkin lebih baik untuk menutup setiap bab dengan bagian "Kesimpulan".
Dokumen tersebut menunjukkan bahwa ia telah mengambil ide dari dokumen
sebelumnya dan dalam melakukan itu, telah menciptakan masalah untuk
dirinya sendiri. Ada juga kritik banyak berulang. Tampaknya dokumen tersebut
telah dicetak buru-buru yang halaman 22 dan 88 tetap kosong. Hal ini telah
dikutip dari banyak dokumen tetapi tidak disebutkan nomor halaman dari
publikasi yang relevan. 'Akhir catatan dan Referensi "yang dicetak di halaman
terakhir (hal.93) tidak meliputi jumlah besar dokumen yang dikutip dalam teks
seperti: Laporan dari Komisi Pendidikan Universitas 1948-49, Laporan Komisi
Pendidikan 1964 - 66, Kebijakan Nasional Pendidikan 1986, Kerangka
Kurikulum Nasional 2005, Hak Anak untuk Wajib Belajar Gratis dan UU 2009,
Kurikulum Pendidikan Guru Kerangka Kerja 1978, 1988, dan 1998, Kertas
Diskusi 2006, SSA 2002, DPEP 1995, OB 1986, Komisi Nasional 1983-1985 (I
16

atau II?), PTT 1990 Review Committee, Komite Penasehat Nasional Belajar
tanpa Beban (1993), si Orang dengan Disabilities Act 1996, dan NCF 2005
Position Paper tentang Pendidikan Guru. Terlalu banyak referensi untuk
kerangka kurikulum sekolah NCERT telah menciptakan kebingungan. Tentu
saja, kutipan yang panjang telah memberikan kontribusi untuk meningkatkan
jumlah halaman. Kerangka Kurikulum Pendidikan Guru tahun 1978 memiliki
25 entri. Dokumen kurikulum sekarang mungkin telah memperkaya diri
sendiri. Dokumen mungkin telah dipangkas dengan menghindari dukungan
dari dokumen pemerintah dan tulisan-tulisan individu. NCERT (1978) telah
disebutkan tujuan untuk masing-masing dari empat tahap: Pra-primer, primer,
sekunder dan Tinggi sekunder. NCTE (1998) telah disebutkan 'tujuan umum'
dan juga disebutkan 'tujuan khusus'. Untuk pendidikan guru untuk tahap awal
masa kanak-kanak, SD, SD, Menengah, dan Senior sekunder. Dokumen ini
mungkin telah diperbaiki sendiri dengan tujuan menentukan standar yang
diharapkan untuk setiap kategori pelatihan guru awal.
Komentar:
Sebagai dokumen, kurikulum yang dikembangkan mengandung
kesalahan faktual serta pernyataan tidak relevan, mungkin lebih baik jika versi
modifikasi dari dokumen dirancang dan dirumuskan dengan baik.
14. Nasution, S. (1991). Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Sudah selayaknya pengembangan dan Perubahan apalagi perombakan
kurikulum ditangani dengan hati-hati. Kurikulum tak kurang pentingnya bagi
anak-didik sendiri karena menyangkut nasib dirinya sendiri, masa depannya,
cita-citanya menjadi manusia berdikari dan hidup, terhormat sebagai manusia
dan warganegara.
Karena kurikulum itu sangat pentingnya dan mengenai hidup jutaan
manusia kini dan di masa mendatang maka perlulah diadakan usaha yang
kontinu untuk memperbaikinya. Untuk itu perlu diadakan evaluasi kurikulum.
Evaluasi kurikulum merupakan usaha yang sulit dan kompleks karena
banyaknya aspek yang harus dievaluasi, banyaknya orang yang terlibat dan
17

luasnya kurikulum yang harus diperhatikan. Itu sebabnya evaluasi kurikulum


memerlukan ahli-ahh yang mengembangkannya menjadi suatu disiplin ilmu.
Evaluasi kurikulum juga erat hubungannya, dengan definisi Yang
diberikan kepada kurikulum, apakah berupa bahan pelajaran menurut disiplin
i1mu ataukah dalam arti yang luas meliputi pengalaman anak di dalam maupun
di luar kelas.
Model evaluasi paling terkenal ialah yang diberikan oleh Tyler (1950)
yang berorientasi pada hasil belajar. Ia mengartikan evaluasi sebagai usaha
untuk meneliti apakah tujuan pendidikan tercapai melalui pengalaman belajar.

Tujuan

Pengalaman Pemeriksaan
belajar hasil belajar

Dianggap bahwa model Tyler ini mengutamakan hasil (produk) belajar


dan kurang memperhatikan proses dan kondisikondisi belajar yang
mempengaruhi hasil belajar itu.
Scriven memberikan sumbangan besar kepada evaluasi kurikulum
dengan mengemukakan betapa pentingnya evaluasi itu diadakan, apakah
sepanjang program itu berjalan (yaitu evaluasi formatif ) ataukah pada akhirnya
(yaitu evaluasi sumatit). Evaluasi formatif memberikan sumbangan yang
sangat berhargAuntuk mengadakan perubahan atau perbaikan. Evaluasi
formatif perlu sering diadakan sehingga kelemahan-kelemahan kecil pun dalam
setiap tahap dapat segera diketahui. Dengan demikian dapat pula diketahui
efektivitas proses belajar.
Evaluasi sumatif hanya dilakukan pada akhir program dan karena itu
tidak memberikan petunjuk-petunjuk Yang cermat untuk perbaikan. Evaluasi
ini digunakan untuk menentukan apakah program itu dapat digunakan atau
tidak.
Komentar :
18

Aspek-aspek perlu dievaluasi, sesuai dengan tahap-tahap dalam


pengembangan kurikulum. Aspek-aspek itu adalah : penentuan tujuan;
perencanaan; ujicoba dan revisi; uji lapangan; pelaksanaan kurikulum; dan
pengawasan mutu.
15. Nickell, P. (1999). “The Issue of Subjectivity in Authentic Social Studies
Assessment.” Social Education. 63 (6): 353-355.
Dalam artikel ini, Pat Nickel mempersoalkan asesmen “otentik” untuk
mengukur lebih baik terhadap apa yang siswa lakukan dengan apa yang mereka
pelajari, daripada hanya mengingat dalam waktu singkat. Telah banyak
pengukuran hasil pembelajaran siswa untuk memecahkan masalah dari tes
yang terstandarisasi secara “tradisional” selama lebih dari tiga perempat abad.
Dalam penilaian kerja otentik dalam social studies, penulis berpendirian bahwa
harus ada elemen internal ketepatan asesmen, apapun bentuk yang dipilih,
sehingga akan membuat penskoran lebih sederhana dan secara signifikan
mengurangi resiko subjektivitas. Elemen ini disebut “kriteria penskoran”
(scoring criteria), baik untuk komponen khusus suatu tugas maupun kepastian
kategori yang menjelaskan tingkat-tingkat penguasaan siswa.
Komentar:
Penskoran ini juga berkaitan dengan kurikulum atau metode. Penulis
menekankan asesmen “otentik” untuk mengukur lebih baik terhadap apa yang
siswa lakukan dengan apa yang mereka pelajari, daripada hanya mengingat
dalam waktu singkat.
16. Pandey, Saroj. (2005). A Reflection on School Education Curriculum
Reform. New Delhi: Oxford University Press
Sebagai lembaga nasional puncak reformasi pendidikan, NCERT diharapkan
untuk meninjau kurikulum sekolah sebagai kegiatan rutin, memastikan standar
tertinggi kekakuan dan keterbukaan dalam proses deliberatif. Akibatnya, pada
tahun 2004, NCERT memprakarsai review Kerangka Kurikulum Nasional
untuk Sekolah Pendidikan -2000. Dalam konteks latihan ini, Komite Pengarah
Nasional diketuai oleh Prof Yash Pal dan 21 kelompok Fokus Nasional
didirikan. Kelompok fokus diciptakan untuk menghasilkan ide-ide dan untuk
19

merefleksikan bidang kurikuler, nasional keprihatinan dan reformasi sistemik.


Setiap Focus Group melalui diskusi dan pertimbangan intensif menghasilkan
kertas kerja berbasis penelitian posisi menyediakan komprehensif pandangan
pengetahuan yang ada di daerah dan arah masa depan.
Komentar :
Semua makalah yang berkaitan dengan pengembangan kurikulum sebaiknya
tersedia dalam bentuk cetak dan juga pada NCERT di situs, untuk para
pemerhati kurikulum.
17. Pahl, R. H. (2003). “Assessment Traps in K-12 Social Studies.” The
Social Studies. 94 (5): 212-215.
Dalam artikel ini, penulis secara kritis melihat praktek asesmen dalam
pendidikan IPS (social studies education), di mana tujuan asesmen ialah untuk
meningkatkan pendidikan dan prestasi belajar siswa. Penulis menemukan ada
persoalan besar asesmen di seluruh Negara bagian untuk social studies dalam
hal asesmen formatif dan sumatif, serta reliabilitas dan validitas asesmen.
Komentar:
Diperlukan pembahasan yang matang pada tiap negara mengenai asesmen,
karena tujuan asesmen ialah untuk meningkatkan pendidikan dan prestasi
belajar siswa.
18. Peter F. Oliva, 1992, Developing the Curriculum, New York: Harper
Collins Publisher.
Evaluasi pendidikan digunakan untuk mencakup segala jenis evaluasi yang
ada dibawah pengawasan sekolah. Evaluasi ini meliputi evaluasi kurikulum
dan pengajaran serta evaluasi landasan, bangunan, administrasi, pengawasan,
personel, transportasi, dst.
Evaluasi pengajaran adalah menilai, 1) prestasi siswa, 2) penampilan
istruktur, dan 3) keefektifan pendekatan methodologi.
Evaluasi kurikulum meliputi evaluasi pengajaran, evaluasi ini juga
dilakukan diluar tujuan evaluasi pengajaran ke dalam penilaian program-
program yang berhubungan dengan bidang-bidang. Bidang-bidang tersebut
adalah “The Five P” yaitu; provision, procedures, product, process. Sedangkan
20

makna evaluasi itu sendiri adalah alat untuk menentukan keputusan apa yang
perlu dikembangkan dan untuk memberikan dasar-dasar efek-efek yang
berkembang.
Ada 4 tipe evaluasi; 1) Konteks (evaluasi context). Ditunjukan untuk
memberikan rasional untuk menentukan objektives. Perantara kurikulum
evaluasi mendefinisikan lingkungan kurikulum dan menentukan kebutuhan
yang tidak terpenuhi dan alasan mengapa kebutuhan tersebut tidak terpenuhi,
2) Pemasukan (input evaluasi). Bertujuan untuk memberikan informasi untuk
menentukan bagaimana menggunakan sumber-sumber untuk memperoleh
objectives. Perencana dan evaluator memutuskan prosedur-prosedur yang akan
digunakan, 3) Proses Evaluasi (Process of Evaluation).Bagian dari feedback
periodik dimana kurikulum diterapkan. Evaluasi proses ini mempunyai tiga
tujuan; 1. untuk memprediksi akibat-akibat dalam prosedur yang dibuat atau
penerapannya selama tahapan penerapan, 2. memberikan informasi untuk
keputusan-keputusan program dan, 3. mempertahankan laporan prosedur, 4)
Produk (Product of Evaluation). Bertujuan untuk mengukur dan
menginterpretasikan hasil-hasil yang dicapai tidak hanya diukur akhir proses
bidang studi, tetapi selama bidang studi berlangsung.
Ada 4 standar evaluasi yang ada, yakni; kegunaan (utility), kejelasan
(teasbility), kesesuaian (propiety), dan keakuratan (accuracy).
Komentar:
Evaluasi yang terlalu berhati-hati dapat menyusahkan, evaluasi ini akan
terlihat memprihatinkan bila terlihat gejala-gejala; gejala menghindar, gejala
kegelisahan, gejala kelumpuhan, gejala ketidak percayaan, gejala kurang
pedoman-pedoman, gejala salah saran, dan gejala tidak adanya perbedaan yang
signifikan.
19. Rajakumar, P. (2005). National Curriculum Framework. New Delhi:
National Council of Educational Research and Training
Komite Eksekutif NCERT telah mengambil keputusan, dalam pertemuan
yang diadakan pada 14 dan 19 Juli 2004, untuk merevisi Kerangka Kurikulum
Nasional, berikut pernyataan yang dibuat oleh Menteri Hon'ble Pengembangan
21

Sumber Daya Manusia di Lok Sabha bahwa Dewan harus mengambil seperti
revisi. Selanjutnya, Sekretaris Pendidikan, Departemen HRD dikomunikasikan
kepada Direktur NCERT kebutuhan untuk meninjau Nasional Kurikulum
Kerangka Sekolah (NCFSE - 2000) dalam terang laporan tersebut, Belajar
Tanpa Beban (1993). Dalam konteks keputusan ini, sebuah Pengarah Nasional
Komite diketuai oleh Prof Yash Pal, dan 21 Kelompok Fokus Nasional
didirikan.
Keanggotaan komite ini mencakup perwakilan lembaga maju
belajar, fakultas sendiri NCERT, guru sekolah dan organisasi non-pemerintah.
Konsultasi diadakan di semua bagian negara, di samping lima daerah utama
seminar diadakan di Institut Regional NCERT tentang Pendidikan di Mysore,
Ajmer, Bhopal, Bhubaneswar dan Shillong. Konsultasi dengan Sekretaris
negara, SCERTs dan pemeriksaan papan dilakukan. Sebuah konferensi nasional
guru pedesaan diselenggarakan untuk mencari mereka saran. Iklan diterbitkan
di surat kabar nasional dan regional mengundang publik pendapat, dan
sejumlah besar tanggapan yang diterima. Kurikulum Nasional direvisi
Framework (NCF) membuka dengan kutipan dari Rabindranath Tagore esai,
Peradaban dan Kemajuan, di mana penyair mengingatkan kita bahwa
'Semangat kreatif' dan 'dermawan sukacita' merupakan kunci dalam masa
kanak-kanak, yang keduanya dapat terdistorsi oleh dunia tanpa berpikir
dewasa. Bab pembuka membahas upaya reformasi kurikuler dilakukan sejak
Kemerdekaan.

Komentar :
Perlu adanya Kebijakan Nasional Pendidikan untuk mengusulkan
Kurikulum sebagai sarana untuk mengembangkan sistem pendidikan nasional,
merekomendasikan komponen inti yang berasal dari visi pembangunan
nasional diabadikan dalam Konstitusi. Program yang dilakukan dengan
menekankan relevansi, fleksibilitas dan kualitas.
22

20. Rajakumar, P. (2006). Curriculum, Syllabus and Textbooks. New Delhi:


National Council of Educational Research and Training.
Pada awal, analisis kritis dari Sistem Pendidikan Sekolah India
mengungkapkan bahwa sebagian besar sistem monolitik mengabadikan jenis
pendidikan yang telah menghasilkan seperangkat praktek diadopsi untuk
pengembangan kurikulum, silabus dan buku teks yang dipandu oleh pola dan
persyaratan dari sistem ujian, bukan oleh kebutuhan ditentukan oleh campuran
kriteria berdasarkan kebutuhan belajar anak, tujuan pendidikan dan sosio-
ekonomi dan budaya konteks peserta didik. Sebuah fitur yang ditandai praktik
pendidikan di sekolah adalah membosankan rutin, bosan guru dan siswa dan
sistem hafalan pembelajaran. Kertas Posisi membuat upaya untuk
mengeksplorasi kemungkinan untuk menyediakan untuk memungkinkan
dan fleksibel kerangka untuk mempromosikan pilihan meningkat dibuat oleh
sekolah dan guru mungkin, dan peran yang lebih besar bagi anak-anak dan
masyarakat dalam membuat pilihan-pilihan pada skala besar. Dalam kasus
tertentu Amerika sendiri telah berusaha untuk mendefinisikan kembali
kurikulum dan mengembangkan buku pelajaran dan bahan pengajaran lainnya
belajar. Dalam pandangan di atas, adalah penting untuk menganalisis apakah
kebijakan yang ada dan kerangka kerja kurikuler memfasilitasi pengembangan
beragam dan pendekatan kurikuler yang sesuai untuk mencapai tujuan yang
diinginkan dan tujuan pendidikan.
Komentar :
Analisis berbagai dokumen kebijakan jelas menunjukkan bahwa kesetaraan
mencapai melalui pendidikan telah secara konsisten dan tegas menyuarakan,
selama bertahun-tahun. Namun, tantangan menerjemahkan visi kesetaraan
dalam sebuah kerangka kerja kurikulum tetap belum terjawab. Masalah dasar
yang muncul telah membuat konsep fleksibilitas atau keragaman yang terkait
erat dengan sistem melekat keterbatasan dan ketidakmampuan untuk
menentukan peran dari 'kurikulum' dan transaksi nya. terkait dengan
ini adalah masalah yang terkait dalam mendefinisikan 'silabus', 'standar' dan
melampaui kurikulum 'inti'. Keengganan sistem untuk memungkinkan
23

pluralitas benar dan fleksibilitas dalam kurikulum, serta arti terbatas kurikulum
istilah itu sendiri adalah yang paling jelas terlihat dalam laporan Belajar
Tanpa Beban.
21. Ragimun. (2007). Bercermin pada Mutu Pendidikan India[Online].
tersedia
http://ppiindia.wordpress.com/2007/04/13/bercermin-pada-mutu-
pendidikan-india/
Prof. Dr. Said Hamid Hasan, M.A., guru besar Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial (PIPS) UPI Bandung, mensinyalir + 60% guru PIPS di Indonesia tidak
berlatar belakang pendidikan IPS. Sinyalemen ini dikemukakannya pada saat
Seminar Nasional dan Musyawaroh Daerah I Himpunan Sarjana Pendidikan
Ilmu-ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) Jawa Barat, di Bandung (31 Oktober
2002).
Komentar:
Apa yang disampaikan Prof.Dr. Said memang benar adanya. Tapi sebenarnya
itu bukanlah kesalahan dari pihak guru.
22. Ralph W. Tyler, 1949, Basic Principles of Curriculum and Instruction,
Chicago : University of Chicago Press.
Evaluasi diperlukan untuk mengadakan perbaikan dalam
kufikulum. Evaluasi bergantung pada tujuan yang hendak dicapai. Jika tujuan
tidak tercapai, maka perlu dicari di mana letak kekurangannya melalui
evaluasi. Penilaian kurikulum harus berjalan terus. Tak ada kurikulum nasional
yang sesuai bagi semua daerah, dan karena itu perlu disesuaikan dengan
keadaan setempat.
Pengalaman atau kegiatan belajar adalah usaha yang dijalankan, agar
tujuan yang ditentukan dicapai dengan menggunakan pengetahuan yang sangat
kompleks, yang dipengaruhi oleh berbagaibagai faktor seperti metode
mengajar, kesulitan isi pelajaran, taraf kematangan, kesanggupan dan
perkembangan anak, hubungan antara guru dan murid, penggunaan berbagai
sumber dan alat pelajaran di dalam maupun di luar sekolah, perbedaan
individual, dan sebagainya. Proses belajar tak kurang pentingnya daripada hasil
24

belajar. Proses belajar yang baik memungkinkan tercapainya hasil belajar lebih
tinggi.
Komentar :
Evaluasi dan kurikulum. merupakan dua disiplin yang berdiri sendiri.
Ada pihak yang berpendapat antara keduanya tidak ada hubungan, tetapi ada
pihak lain yang menyatakan keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat.
Pihak yang memandang ada hubungan, hubungan tersebut merupakan
hubungan sebab-akibat. Perubahan dalam kurikulum berpengaruh pada
evaluasi kurikulum, sebaliknya perubahan evaluasi akan memberi warna pada
pelaksanaan kurikulum. Hubungan antara evaluasi dengan kurikulum bersifat
organis, dan prosesnya berlangsung secara evolusioner.
23. Savage, T.V. (2003). “Assessment and Quality Social Studies.” The Social
Studies. 94 (5): 201-206.
Penulis mengajukan pertanyaan apakah yang menentukan kualitas program
pendidikan social studies. Penulis menyebutkan bukan guru atau para pendidik
itu sendiri, tetapi oleh yang mengembangkan tes dengan target tinggi. Di sini
ada dilema tentang social studies sebagai mata pelajaran penting, dan bahwa
pengetahuan sejarah dan social studies menjadi kritis untuk masa depan sebuah
masyarakat yang bebas. Di sisi lain, juga tidak ingin terjadi mata pelajaran ini
dihapus dari ruang kelas. Dengan demikian perlu meningkatkan jumlah waktu
untuk pengajaran social studies dan kerja serius untuk menghadapi kesulitan-
kesulitan dengan ujian target tinggi dalam mata pelajaran ini. Penulis
menawarkan beberapa solusi. Pertama, memahami persoalan terhadap gerakan
testing pada social studies. Kedua, masalah keadilan sosial, di mana asesmen
yang terstandarisasi menunjukan akuntabilitas. Hal lainnya, ialah perlunya
mengambil tindakan untuk meningkatkan kualitas social studies.
Komentar:
Saya sanagt sepakat dengan penulis tentang perlunya memahami persoalan
terhadap gerakan testing pada social studies dan perlunya mengambil tindakan
untuk meningkatkan kualitas social studies.
25

24. Sceurman, G., dan Newmann, F.M. (1998).”Authentic Intellectual Work


in Social Studies: Putting Performance before Pedagogy.” Social
Education. 62 (1): 23-25
Kritik terhadap pembelajaran social studies kepada para siswa, mendorong
kedua penulis menyodorkan beberapa jalan keluar. Kritik pertama menyatakan
bahwa pembelajaran social studies terlalu banyak dihabiskan untuk diskusi-
diskusi yang tidak terfokus dan kerja kelompok yang tidak produktif, serta
tidak cukup waktu untuk mempelajari fakta-fakta sejarah, geografi ataupun
pemerintahan. Kritik kedua menyatakan bahwa para siswa terlalu banyak
menyerap waktu dan mereproduksi informasi yang berasal dari buku-buku
teks dan guru, sehingga tidak cukup waktu untuk menafsirkan dokumen-
dokumen, menilai perspektif-perspektif, dan pemikiran mereka sendiri. Para
guru yang setuju dengan kritik pertama cenderung untuk mengikuti pendekatan
transmisi untuk pengajaran. Para guru yang menerima kritik kedua sering
mengadopsi pendekatan konstruktivis untuk pengajaran. Di luar kedua kritik
itu, kedua penulis artikel ini menampilkan kriteria untuk “authentic intellectual
achievement” guna mengukur hasil-hasil pembelajaran siswa. “Authentic
intellectual achievement” memuat komponen konstruksi pengetahuan,
pendisiplinan inkuiri, nilai (value) di luar sekolah.
Komentar:
Kondisi pembelajaran ilmu sosial yang disampaikan oleh penulis sebenarnya
sama dengan kondisi yang ada di Indonesia. Hal tersebut bisa menjadi kritik
tersendiri untuk pendidikan ilmu sosial di Indonesia.
25. Soetopo Hendiyat dan Wasty Soemanto. (1982). Pembinaan dan
Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.
Model Kurikulum yang di paparkan oleh Rusli Lutan (2003) yaitu konsep
Kritik Konstruktif Sosialisasi Gerak Sama dengan konsep sosialisasi
olahraga, konsep ini berangkat dari sikap skeptic tentang pendidikan
jasmani tradisional dan tujuannya yang terkait. Ide ini berlandaskan pada
asumsi: Sekolah bukan hanya lembaga untuk adaptasi budaya tetapi juga
untuk Inovasi budaya. Partisipasi dalam budaya gerak adalah penting untuk
26

kualitas hidup. Olahraga kompetitif bukanlah satu – satunya bentuk dari


budaya gerak dan posisi yang dominan dari kegiatan ini perlu dikritikarena
sifatnya yang seleksif dan ekslusif. Keunikan individu perlu dihargai, individu
bukan hanya pemegang peranan tetapi pembuat peran. Karena itu kerangka
teoretik aliran ini adalah interaksi simbolis, teori kritik, psikologi
humanistic, kognitif psikologi, dan teori pengajaran umum. Implikasi gagasan
ini terhadap kurikulum sebagai berikut: Paradigma penyiapan tenaga guru
adalah model ritical - social, pendidikan jasmani merupakan tanggung
jawab moral terhadap peserta didik dan masyarakat dalam konteks partisipasi
penuh. Program penyiapan tenaga guru pendidikan jasmani adalah learning to
reflect yakni guru – guru yang gandrung untuk merefleksikan atau memikirkan
kembali serta menarik makna – makna terhadap bebrapa aspek isu social, etik,
dan politik yang berkaitan dengan pedidikan jasmani. Terhadap nilai dan tujuan
asumsi dan akibat tindak pengajaran dan analisis terhadap evaluasi
pengajaran. Paradigma itu menyiapkan guru sebagai pelaksanan kaji tindak
(action research).
Komentar :
Hasil yang bisa kita dapatkan dari konsep yang berangkat dari sikap skeptic
tentang pendidikan jasmani tradisional dan tujuannya yang terkait. Ide ini
berlandaskan pada asumsi: Sekolah bukan hanya lembaga untuk adaptasi
budaya tetapi juga untuk Inovasi budaya.
26. Sofa. (2008). Paradigma Pendidikan IPS [Online]. Tersedia: (http://re-
searchengines.com/mangkoes6-04-4.html12 okt 2011) [12 Oktober 2011].
Penulis menyatakan bahwa dalam Kurikulum 1975 pendidikan IPS
menampilkan empat profil yakni: (1) Pendidikan Moral Pancasila
menggantikan Pendidikan Kewargaan Negara sebagai suatu bentuk pendidikan
IPS khusus yang mewadahi tradisi “citizenship transmission”; (2) pendidikan
IPS terpadu untuk Sekolah Dasar; (3) pendidikan IPS terkonfederasi untuk
SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep payung yang menaungi mata
palajaran geograft, sejarah, dan ekonomi koperasi; dan (4) pendidikan IPS
27

terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi


untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG.
Bila disimak dari perkembangan pemikiran pendidikan IPS yang
terwujudkan dalam Kurikulum sampai dengan dasawarsa 1990-an ini
pendidikan IPS di Indonesia mempunyai dua konsep pendidikan IPS, yakni:
pertama, pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi “citizenship transmissio”
dalam bantuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan. Kewarganegaraan dan
Sejarah Nasional; kedua, pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi “social
science” dalam bentuk pendidikan IPS terpisah dari SMU, yang terkonfederasi
di SLTP, dan. yang terintegrasi di SD.
Dilihat dari perkembangan pemikiran yang berkembang di Indonesia
sampal saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni: Pertama, PIPS
untuk dunia persekolahan yang pada dasarnya merupakan penyederhanaan dari
ilmu-ilmu sosial, dan humaniora, yang diorganisasikan secara psiko-pedagogis
untuk tujuan pendidikan persekolahan; dan kedua, PDIPS untuk perguruan
tinggi pendidikan guru IPS yang pada dasarnya merupakan penyeleksian dan
pengorganisasian secara ilmiah dan meta psiko-pedagogis dari ilmu-ilmu
sosial, humaniora, dan disiplin lain yang relevan, untuk tujuan pendidikan.
profesional guru IPS. PIPS merupakan salah satu konten dalam PDIPS.
Komentar:
Dilihat dari perkembangan pemikiran yang berkembang di Indonesia sampal
saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni: Pertama, PIPS untuk
dunia persekolahan. Kedua, PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru.
Keduanya tentunya mempunyai kurikulum dan metode yang berbeda.
27. Stufflebeam, D.L. 1963, Evaluation and Enlightment for Decision Making,
Ohio : Ohio State University Press.
Biasanya evaluasi pendidikan selalu dihubungkan dengan hasil
belajar, namun saat ini konsep evaluasi mempunyai arti yang lebih luas
daripada itu. Setiap orang tampaknya mempunyai maksud yang berbeda
apabila sampai kepada kata evaluasi. Untuk mengetahui lebih jauh apa yang
dimaksud seseorang dengan evaluasi, kita harus mengetahui beberapa hal. Ada
28

sepuluh pertanyaan yang harus dijawab untuk mengetahui apa yang dimaksud
dengan evaluasi.
Evaluasi sebagai perbedaan apa yang ada dengan suatu standar untuk
mengetahui apakah ada selisih. Ada dua jenis evaluasi; 1) evaluasi formatif,
dan 2) evaluasi sumatif.
Proactive evaluation untuk melayani pemegang keputusan, dan
Retroactive evaluation untuk keperluan pertanggungjawaban. Evaluasi dapat
mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi formatif, evaluasi dipakai untuk perbaikan
dan pengembangan kegiatan yang sedang berjalan (program, orang, produk,
clan sebagainya). Fungsi sumatif, evaluasi dipakai untuk pertanggung jawaban,
keterangan, seleksi atau. lanjutan. Jadi evaluasi hendaknya membantu
pengembangan, implementasi, kebutuhan suatu. program, perbaikan program,
pertanggungjawaban, seleksi, motivasi, menarnbah pengetahuan dan dukungan
dari mereka yang terlibat.
Setelah memilih objek yano, akan dievaluasi, maka harus ditentukan
aspek-aspek apa saja dari objek tersebut yang akan dievaluasi. Akhir-akhir ini,
usaha evaluasi ditujukan untuk memperluaskan atau. memperbanyak variabel
evaluasi dalam bermacam-macam model evaluasi. Model CIPP
mengemukakan evaluasi yang berfokus pada empat aspek yaitu: 1)Konteks, 2)
input, 3) Proses implementasi, dan 4) Produk.
Karena pendekatan ini maka evaluasi lengkap terhadap evaluasi
pendidikan akan menilai misalnya a) manfaat hijuannya, b) mutu. rencana, c)
sampai sejauh mana tujuan klijalankan, clan d) mutu. hasilnya. jadi evaluasi
hendaknya herfokus pada tujuan dan kebutuhan, desain training, implementasi,
transaksi, dan hasil training.
Komentar :
Pendekatan eclectic (memilih berbagai metode dari beberapa pilihan yang
terbaik sesuai dengan kebutuhan) merupakan cara yang terbaik. Yang dipilih
hendaknya sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Ada beberapa variasi
metode dalam evaluasi, di samping desain eksperimen dan kuasi eksperimen
yang tradisional, dengan metode Naturalistic, Jury trials dengan analisis sistem,
29

dan banyak lainnya merupakan metode yang sudah lazim dipakai dalarn
evaluasi program.
28. SUPARDI. (2006). Permasalahan Kurikulum PIPS
Pada Pendidikan Dasar Dan Menengah[Online]. Tersedia:
http://pardi74.multiply.com/video/item/1?&show_interstitial=1&u=
%2Fvideo%2Fitem. [20 Oktober 2011]
Pengembangan kurikulum PIPS untuk sekolah dasar telah cukup lama
dikembangkan. Format sistemnya lebih matang dibandingkan kurikulum PIPS
untuk tingkat SMP. Hanya saja masih terdapat beberapa permasalahan
kurikulum PIPS di SD, diantaranya adalah; Pertama, bahwa pendekatan proses
yang menjadi salah satu acuan kurikulum PIPS di SD masih kering. Terutama
untuk SD-SD yang sangat jauh komunikasinya dengan sekolah-sekolah
lainnya, pelaksanaan kurikulum kadang stagnan (jalan di tempat). Hal ini
mengingat besarnya jumlah SD yang jauh dari jangkauan komunikasi ideal.
Kedua, bahwa persepsi PIPS sebagai pelajaran yang tidak terlalu penting, atau
kadang disepelekan karena terlalu mudah, menggiring pembelajaran IPS hanya
menekankan aspek kognitif. Aspek afektif dan psikomotorik jarang dibuat
parameter secara lebih tegas. Ketiga, bahwa pembelajaran IPS pada tingkat SD
belum begitu besar peranannya secara realita sebagai problem solving dalam
kehidupan sehari-hari.
Untuk waktu ke depan, terdapat karakteristik yang membedakan PIPS
pada siswa SMP dan SMA. Pada masa sebelumnya, bahwa di SMP mata
pelajaran IPS masih bersifat mono-disipliner, di mana terdapat mata pelajaran
Sejarah, Geografi, dan Ekonomi, seperti halnya di SMA, maka untuk waktu ke
depan kurikulum PIPS untuk SMP telah menyatukan seluruh ilmu-ilmu sosial
dalam mata pelajaran IPS.
Kurikulum Berbasis Kompetensi telah menyusun mata pelajaran IPS
SMP dalam satu bidang studi. Namun demikian masih terdapat beberapa
permasalahan berkaitan dengan konsep dan implementasi kurikulum IPS untuk
SMP. Pertama, bahwa walaupun kurikulum IPS tersusun secara integral, tetapi
belum menonjolkan sebagai sebuah pendekatan inter- dan transdisiplin.
30

Fenomena ini kadang terjadi ‘penerjemahan’ yang berbeda antar guru. Kedua,
sulitnya membuat kelas berkolaborasi, terutama koordinasi waktu dan tenaga,
sehingga guru akan memilih pembelajaran separated, sesuai dengan bidang
studinya sendiri-sendiri. Ketiga, bahwa pendekatan trans- dan inter-disiplin
PIPS di SMP dikhawatirkan hanya sebagai formalitas kurikulum, yang hanya
terlihat dalam pelaporan dan penilaian akhir yang menggabungkan tiga bidang
studi. Keempat, rendahnya motovasi guru untuk melakukan perubahan dan
pembaharuan dalam pengajaran, sehingga mereka cenderung monoton
melakukan yang biasanya mereka lakukan. Implikasinya bahwa IPS menjadi
mata pelajaran yang kurang diminati, atau disukai karena terkesan sebagai
mata pelajaran hapalan.
Kurikulum PIPS di SMA telah menerapkan konsep kurikulum
monodisiplin, kecuali PKn. Untuk sekolah yang melakukan penjurusan IPA dan
IPS, bahkan telah memasukkan beberapa mata pelajaran seperti Ilmu Politik,
Hukum, dan Tata Negara. Kurikulum IPS untuk SMA memang sudah
mempersiapkan siswa untuk menjadi akademisi. Namun demikian, masih
terdapat beberapa permasalahan berkaitan dengan kurikulum PIPS di SMA.
Pertama, terjadinya perbedaan antara SMA-SMA umum dan SMK, sementara
belum terdapat konsep PIPS yang mantap. Kedua, bahwa PIPS di SMA/SMK
masih mengedepankan aspek kognitif, fenomena ini berangkat dari munculnya
pragmatisme pendidikan.
Ketiga, bahwa munculnya penjurusan IPA dan IPS di SMA ternyata tidak
berpengaruh signifikan dalam pembelajaran IPS di perguruan tinggi. Bahkan
sering lulusan IPA mempunyai kelebihan-kelebihan di PT ketika mereka masuk
jurusan ilmu-ilmu sosial. Keempat, bahwa PIPS di SMA/SMK belum mampu
secara signifikan menjadi pegangan problem solver para siswa.

Komentar:
Berkaitan dengan berbagai permasalahan kurikulum PIPS pada
Dikdasmen, maka perlu diperhatikan beberapa rekomendas untuk
31

penyempurnaan kurikulum. Pertama, bahwa kurikulum PIPS Dikdasmen harus


mengacu pada kebutuhan saat ini dan jauh yang akan datang. Siswa harus
diajak untuk menjadi problem solver masalah-masalah masa kini, dan
antisipatif pada permasalahan-permasalahan mendatang. Seperti dalam
bukunya Jamus A Beane (1986) Curriculum Planing and Development, yang
menekankan perlunya membuat estimasi fenomena yang akan datang, dengan
berpijak pada fenomena masa lalu dan saat ini.
Kedua, bahwa eksistensi PIPS Dikdasmen tidak terlepas dari PTK,
pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu perlu membuat jaringan yang sinergis
guna membangun kurikulum yang fleksibel. Optimalisasi kurikulum IPS
Berbasis Sekolah perlu dikembangkan sebagai salah satu jawaban fenomena
ini. Ketiga, perubahan kurikulum IPS tidak dilakukan secara tambal sulam,
melainkan lebih bersifat holistik interdisipliner, dan berorientasi pada
‘functional knowledge’ dan aspirasi kebudayaan Indonesia dan nilai-nilai
agama.
29. Syaodih S., Nana (1988). Prinsip dan Landasan Pengembangan
Kurikulum. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti.
Dalam buku ini disebutkan bahwa Mc Niel (1981) mengkategorikan
konsep kurikulum kedalam empat macam:
a. Kurikulum Humanistik.
Konsep ini memandang bahwa kurikulum sebagai alat untuk
mengembangkan diri setiap individu siswa. Kurikulum hendaknya memberi
kesempatan kepada setiap siswa untuk mewujudkan diri sesuai dengan
potensi yang dimilikinya. Konsep kurikulum humanistik melahirkan bentuk
kurikulum yang berpusat pada anak didik atau child centered curriculum.
Dalam kurikulum ini setiap siswa diberi kesempatan untuk belajar sesuai
dengan minat dan kebutuhannya masing-masing.

b. Kurikulum Rekonstruksi Sosial.


Kurikulum yang menekankan pentingnya kurikulum sebagai alat untuk
melakukan Rekonstruksi atau penyusunan kembali corak kehidupan dan
kebudayaan masyarakat. Dampak dari penerapan kurikulum ini (1)
32

untuk kepentingan penyususnan kurikulum perlu dilakukan analisis


kebutuhan, (2) menentukan prioritas, (3) proses pendidikan menekankan
pada problem solving, (4) masyarakat dijadikan sebagai sumber belajar.
Konsep kurikulum rekonstruksi social melahirkan bentuk kurikulum yang
berpusa pada kegiatan atau aktivitas kurikulum. Dapat pula disebut
kurikulum proyek, atau kurikulum pengalaman (experience curriculum).
c. Kurikulum Teknologi
Kurikulum merupakan suatu system yang dikembangkan dengan
pendekatan system. Sebagai suatu system kurikulum mempunyai
sejumlah komponen yang saling ketergantungan dan keterkaitan dalam
mengefektifkan pencapaian tujuan. Konsep kurikulum teknologi
menekankan pada perancangan system belajar mengajar berdasarkan
pendekatan system. Dalam prakteknya setiap individu dapat memilih
bahan pelajaran sendiri, yang dapat dipelajari sendiri, dan mengevaluasi
sendiri.
d. Kurikulum Akademis
Konsep kurikulum akademis melahirkan bentuk-bentuk kurikulum yang
berorientasi pada mata pelajaran. Bahan-bahan pelajaran yang menjadi isi
kurikulum diseleksi dari disiplin ilmu terkait yang dipandang dapat
mengembangkan kemampuan melakukan proses kognitif. Bentuk lain
kurikulum spiral (Bruner, 1961) yakni kurikulum yang berisi sejumlah
struktur disiplin ilmu yang secara berulang-ulang dipelajari oleh siswa
pada berbagai jenjang pendidikan. Core curriculum berisi mata pelajaran
yang bersifat fundamental yang dianggap paling penting untuk dikuasai oleh
setiap siswa.
Komentar :
Prinsip dan Landasan Pengembangan Kurikulum ini mengkategorikan kuri-
kulum kedalam empat macam, yaitu : kurikulum humanistik, kurikulum
rekonstruksi sosial, kurikulum teknologi, dan kurikulum akademik.
30. Wahidmurni. (2010). Pembelajaran IPS Terpadu Pada Satuan
Pendidikan MI/SD Dan MTs/SMP[online]. Tersedia: [18 Oktober 2011]
Pembelajaran IPS dalam kurikiulum 2006 merupakan IPS Terpadu yang
merupakan gabungan antara berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial, yang terdiri
33

atas beberapa bagian disiplin ilmu terseleksi seperti Geografi, Sosiologi,


Ekonomi, dan Sejarah, maka dalam pelaksanaanya tidak lagi terpisah-pisah
melainkan menjadi satu kesatuan. Hal ini memberikan implikasi terhadap guru
yang mengajar di kelas. Seyogianya (idealnya) guru dalam pembelajaran IPS
dilakukan oleh seorang guru mata pelajaran, yakni Guru Mata Pelajaran IPS.
Hal demikian juga ditunjukan oleh temuan penelitian Wahidmrni (2006:60)
yang menunjukan bahwa telah terjadi perubahan kurikulum pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah, dari kurikulum 1994 ke kurikulum 2004 dan
bahkan telah diterbitkan kurikulum 2006 yang pada saat ini sedang
disosialisasikan pada lembaga-lembaga pendidikan di seluruh Indonesia.
Lebih khusus kurikulum untuk mata pelajaran IPS di SD/MI, SMP/MTs, dan di
SMK/MAK, yang dahulu mata pelajaran yang tergabung dalam IPS disajikan
secara mandiri dan sekarang disajikan secara terintegrasi.
Meskipun kurikulum sudah mengalami perubahan, namun peleksanaan
pembelajaran IPS tidak mengalami perubahan. Hal yang tidak berubah atau
seringkali tetap sama dilakukan antara lain seperti: cara mengajar guru, materi
pelajaran setiap disiplin ilmu yang tergabung dalam mata pelajaran IPS tetap
disajikan secara tersendiri tanpa dikaitkan dengan disiplin ilmu yang lain; jadi
pola pengajaran yang diterapkan masih terpisah seperti pola kurikulum 1994
khususnya pada satuan pendidikan di SMP/MTs. Hal demikian terjadi karena
di samping latar belakang pendidikan guru memang sudah terspesialisasi dalam
pendidikan disiplin ilmu tertentu seperti pendidikan Ekonomi, pendidikan
Sejarah, pendidikan Geografi, dan pendidikan Sosiologi sehingga merasa
sudahmenjadi tanggungjawabnya mengajar disiplin ilu tersebut, juga
rendahnya pemahaman guru tentang konsep dan praktek pengajaran terpadu
berdasarkan tema sebagaimana tuntunan kurikulum 2006.

Komentar:
Artikel di atas merupakan koreksi bagi kurikulum pendidikan ilmu sosial yang
selama ini sudah digunakan di Indonesia, khususnya pada kurikulum 2006. Di
34

mana mata pelajaran yang termasuk dalam ilmu sosial diintegrasikan menjadi
satu kesatuan. Ternyata kurikulum tersebut mengalami beberapa kendala.
31. Yunus, Mohammad. (2010). Karakteristik, Model, dan Implementasi
Kurikulum Pendidikan Menengah Umum. http://zaifbio.wordpress.com/
2010/04/29/karak-teristik-model-dan-implementasi-kurikulum-pendidikan-
menengah-umum/ (Accessed 2 Januari 2012).
Kurikulum merupakan elemen strategis dalam sebuah layanan program
pendidikan. Ia adalah ’cetak biru’ (blue print) atau acuan bagi segenap pihak
yang terkait dengan penyelenggaraan program. Dalam konteks ini dapatlah
dikatakan bahwa kurikulum yang baik semestinya akan menghasilkan proses
dan produk pendidikan yang baik. Sebaliknya, kurikulum yang buruk akan
membuahkan proses dan hasil pendidikan yang juga jelek.
Persoalannya, hubungan antara kurikulum (sebagai rencana atau doku-
men) dengan proses dan hasil pendidikan (kurikulum sebagai aksi dan produk)
tidaklah bersifat linear. Terlalu banyak faktor yang mempengaruhinya.
Pertama, sebagai suatu sistem, mutu sebuah kurikulum akan ditentukan oleh
proses perancangan, pengembangan, pelaksanaan, dan evaluasinya. Kedua,
secara programatik, kualitas sebuah kurikulum ditentukan oleh
kesanggupannya dalam mempertanggungjawabkan pelbagai keputusan yang
diambil, baik secara keilmuan, moral, sosial, dan praktikal. Ketiga, secara
pragmatik, nilai sebuah kurikulum ditentukan oleh kemampuannya dalam
memberikan layanan pendidikan yang dapat mendorong peserta didik untuk
dapat mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan, baik oleh peserta didik
sendiri maupun oleh masyarakat dan sistem sosial.
Dari perspektif manajemen mutu terpadu (Total quality management) —-
yang telah lama diterapkan dalam mengelola lembaga pendidikan—–
pendidikan adalah jasa layanan. Sebagai sebuah jasa layanan, keberhasilan
suatu program pendidikan ditentukan oleh kesanggupannya dalam memenuhi
kepuasan pengguna (customer satisfaction). Indikator kepuasan itu, demikian
dinyatakan ahli manajemen mutu seperti Deming dan Juran, ditetapkan oleh
kesanggupan layanan pendidikan dalam memenuhi harapan, keinginan, dan
kebutuhan pengguna (peserta didik dan pemangku kepentingan). Itu berarti,
35

kurikulum yang baik adalah kurikulum yang berorientasi akhir pada kebutuhan
dan kepuasan pengguna.
Komentar :
Atas dasar itu dapatlah ditegaskan bahwa kurikulum yang baik dan
bermakna adalah kurikulum yang dikembangkan dengan beranjak dari hakikat
pendidikan termasuk pendidikan menengah umum (pengertian dan tujuan),
hakikat pebelajar, hakikat belajar dan pembelajaran, hakikat muatan, serta
kesanggupan lulusan pendidikan dalam menghadapi secara layak dinamika
kehidupan yang akan datang. Namun demikian, mengingat tujuan dan ciri
setiap kelompok usia sekolah pada masing-masing satuan pendidikan itu
berbeda-beda, adalah sebuah kenisyaan jika pengembangan dan pelaksanaan
kurikulum itu mengakomodasi setiap perbedaan atau keunikan yang ada.
32. Zulharman. 2007. Evaluasi Kurikulum: Pengertian, Kepentingan dan
Masalah Yang Dihadapi. http://zulharman79.wordpress.com/2007/08/04/
evaluasi-kurikulum-pengertian-kepentingan-dan-masalah-yang-dihadapi/
(Accessed 2 Januari 2012).
Evaluasi merupakan bagian dari sistem manajemen yaitu perencanaan,
organisasi, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Kurikulum juga dirancang
dari tahap perencanaan, organisasi kemudian pelaksanaan dan akhirnya
monitoring dan evaluasi. Tanpa evaluasi, maka tidak akan mengetahui
bagaimana kondisi kurikulum tersebut dalam rancangan, pelaksanaan serta
hasilnya. Tulisan ini membahas mengenai pengertian evaluasi kurikulum,
pentingnya evaluasi kurikulum dan masalah yang dihadapi dalam
melaksanakan evaluasi kurikulum.
Pengertian evaluasi kurikulum adalah penelitian yang sistematik tentang
manfaat, kesesuaian efektifitas dan efisiensi dari kurikulum yang diterapkan.
Atau evaluasi kurikulum adalah proses penerapan prosedur ilmiah untuk
mengumpulkan data yang valid dan reliable untuk membuat keputusan tentang
kurikulum yang sedang berjalan atau telah dijalankan.
Evaluasi kurikulum dapat menyajikan informasi mengenai kesesuaian,
efektifitas dan efisiensi kurikulum tersebut terhadap tujuan yang ingin dicapai
dan penggunaan sumber daya, yang mana informasi ini sangat berguna sebagai
bahan pembuat keputusan apakah kurikulum tersebut masih dijalankan tetapi
36

perlu revisi atau kurikulum tersebut harus diganti dengan kurikulum yang baru.
Evaluasi kurikulum juga penting dilakukan dalam rangka penyesuaian dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi dan kebutuhan pasar
yang berubah.
Evaluasi kurikulum dapat menyajikan bahan informasi mengenai area –
area kelemahan kurikulum sehingga dari hasil evaluasi dapat dilakukan proses
perbaikan menuju yang lebih baik. Evaluasi ini dikenal dengan evaluasi
formatif. Evaluasi ini biasanya dilakukan waktu proses berjalan. Evaluasi
kurikulum juga dapat menilai kebaikan kurikulum apakah kurikulum tersebut
masih tetap dilaksanakan atau tidak, yang dikenal evaluasi sumatif. 5
Komentar:
Evaluasi kurikulum adalah proses penerapan prosedur ilmiah untuk
mengumpulkan data yang valid dan reliabel untuk membuat keputusan tentang
kurikulum yang sedang berjalan atau telah dijalankan. Secara sederhana
evaluasi kurikulum dapat disamakan dengan penelitian, karena evaluasi
kurikulum menggunakan penelitian yang sistematik, menerapkan prosedur
ilmiah dan metode penelitian. Evaluasi kurikulum penting dilakukan dalam
rangka penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan
teknologi dan kebutuhan pasar. Ada banyak masalah dalam penerapan evaluasi
kurikulum seperti dasar teori yang digunakan dalam evaluasi kurikulum lemah,
intervensi pendidikan yang dilakukan tidak memungkinkan dilakukan blinded,
kesulitan dalam melakukan randomisasi, kesulitan dalam menstandarkan
intervensi yang dilakukan, masalah etika penelitian, tidak adanya pure
outcome, kesulitan mencari alat ukur dan penggunaan perspektif kurikulum
yang berbeda sebagai pembanding. Oleh karena itu dengan memahami
pengertian evaluasi kurikulum dan persamaan serta perbedaannya dengan
penelitian diharapkan evaluasi kurikulum yang akan dibuat dapat menjadi
valid, reliabel dan sangat berguna sebagai bahan pertimbangan dalam membuat
keputusan tentang kurikulum tersebut.

SIMPULAN
37

Dari anotated bibliography tentang “Pengembangan Kurikulum Pendidikan


Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia dan India”, maka dapat disimpulkan bahwa:
Evaluasi kurikulum memegang peranan penting baik dalam penentuan
kebijaksanaan pendidikan pada umumnya, maupun pada pengambilan keputusan
dalam kurikulum. Hasil-hasil evaluasi kurikulurn dapat digunakan oleh para
pernegang kebijaksanaan pendidikan dan para pengembang kurikulum. dalam
memilih dan menetapkan kebijaksanaan pengembangan sistem pendidikan dan
pengembangan model kurikulum yang digunakan. Hasil-hasil evaluasi kurikulum
juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah dan para pelaksana
pendidikan lainnya, dalam memahami dan membantu perkembangan siswa,
memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara
penilaian serta fasilitas pendidikan lainnya. Evaluasi kurikulurn sukar dirumuskan
secara tegas, hal itu disebabkan beberapa faktor:
1. Evaluasi kurikulum berkenaan dengan fenomena-fenomena yang terus
berubah.
2. Objek evaluasi kurikulum adalah sesuatu yang berubah-ubah sesuai dengan
konsep kurikulum. yang digunakan.
3. Evaluasi kurikulum merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh manusia yang
sifatnya juga berubah.

SARAN

Pengembangan dan evaluasi kurikulum perlu dilakukan, karena kurikulum


dapat menyajikan informasi mengenai kesesuaian, efektifitas dan efisiensi
kurikulum tersebut terhadap tujuan yang ingin dicapai dan penggunaan sumber
daya. Informasi ini sangat berguna sebagai bahan pembuat keputusan apakah
kurikulum tersebut masih dijalankan atau perlu revisi atau kurikulum tersebut
harus diganti dengan kurikulum yang baru. Pengembangan dan evaluasi
kurikulum juga penting dilakukan dalam rangka penyesuaian dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi dan kebutuhan pasar yang
berubah.

Vous aimerez peut-être aussi