Vous êtes sur la page 1sur 101

i

REKONTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA DAN TINDAKAN

(DOUBLE TRACT SYSTEM) DALAM PENEGAKAN HUKUM

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOBA DALAM

MEWUJUDKAN KEADILAN RELIGIUS

OLEH:

CARTO NURYANTO

NIM: 10301700162

PROPOSAL DISERTASI

PROGRAM DOKTOR (S3) ILMU HUKUM

PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2018
ii

Lembar Pengesahan Ujian Proposal Disertasi

REKONTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA DAN TINDAKAN


(DOUBLE TRACT SYSTEM) DALAM PENEGAKAN HUKUM
PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOBA DALAM
MEWUJUDKAN KEADILAN RELIGIUS

OLEH:
CARTO NURYANTO
NIM: 10301700162

Disusun Untuk Proposal Disertasi Pada


Program Doktor (S-3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Islam Sultan Agung
Telahdisetujui bahwa layak diuji
Pada tanggal.............................................................

Disetujui oleh;
Promotor
Tanggal:.....................................

(Prof. Dr. Eko Suponyono, S.H, M.H)


NIDN:......................................................................

Co Promotor
Tanggal:.....................................

(Dr. Hj. Anis Mashdurohatun, S.H., M.Hum)


NIDN:......................................................................

Mengetahui,
Ketua Program Doktor (S3)

(Dr. Hj. Anis Mashdurohatun, S.H., M.Hum)


NIDN:......................................................................
iii

DAFTAR ISI

Halaman Judul ……….......................................................................i


Halaman Pengesahan …..............................................................................ii
Daftar Isi …............................................................................iii
A. Latar Belakang Masalah …………………..........................................1
B. Rumusan Masalah ………........................………....................30
C. Tujuan Penelitian ………………………...………….........................31
D. Kegunaan Penelitian ………………………...………….........................31
1. Secara Teoritis ………………………...………….........................31
2. Secara Praktis ………………………...………….........................32
E. Kerangka Konseptual ................................................................................32
F. Kerangka Teori ................................................................................43
G. Orisinalitas Penelitian ……………………...…….....................................83
H. Kerangka Pemikiran ................................................................................85
I. Metode Penelitian ………………........................................................86
1. Paradigma Penelitian ....................................................................86
2. Jenis penelitian ………………........................................................87
3. Pendekatan Penelitian …………........…………...……….88
4. Sumber Data Penelitian …………........…………...……….89
5. Metode Pengumpulan Data …………........…………...……….91
6. Metode Analisa Data …………........…………...……….92
J. Sistematika Penulisan …………………........................................93
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................95
1

A. Latar Belakang Masalah

Perubahan (amandemen) Konstitusi dalam sejarah perjalanan negara dan

bangsa Indonesia memberikan perubahan mendasar dalam proses penyusunan

arah pembangunan hukum nasional. Hal ini didasari oleh perubahan-perubahan

politik dalam sejarah Indonesia antara konfigurasi politik yang demokratis dan

konfigurasi politik yang otoriter. Sejalan dengan perubahan-perubahan

konfigurasi politik, karakter produk hukum juga berubah. Perubahan politik yang

menyebabkan terjadinya perubahan hukum bukan hanya menyangkut perubahan

UU melainkan menyentuh perubahan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi yakni Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) dan

Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Perubahan UUD 1945 merupakan

agenda atau produk reformasi. Pada saat itu ada arus pemikiran yang kuat yang

dimotori oleh berbagai kampus dan para penggiat demokrasi bahwa reformasi

konstitusi merupakan keharusan jika kita mau melakukan reformasi. Perubahan

UUD 1945 ini akan merubah sistem kelembagaan negara termasuk kedudukan

MPR yang akan berdampak pada hilangnya kewenangan MPR untuk membuat

Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)1.

Landasan hukum yang menjadi dasar pijakan hukum di Indonesia adalah

pasal 1 ayat (3) UUD RI Tahun 1945 yang menyatakan “Negara Indonesia adalah

negara hukum” yang menunjukkan bahwa UUD 1945 menjadi dasar dalam segala

penyelenggaraan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sebagai negara

hukum, Indonesia mengarahkan pembagunan hukum nasionalnya untuk

1
Moh. Mahfud MD, Politi Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2017, hlm. 375-
377.
2

melindungi hak-hak warga negara untuk mencapai keadilan dan jaminan

supremasi hukum serta persamaan di muka hukum bagi setiap warga negara.

Adapun tujuan didirikannya negara Indonesia terdapat dalam pembukaan UUD

1945 alinea keempat sebagai berikut :

Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia; Memajukan kesejahteraan umum; Mencerdaskan kehidupan bangsa;

Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaan

abadi dan keadilan sosial.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka dilaksanakan pembangunan

nasional yang bertahap dan berkesinambungan. Sebelum adanya perubahan

(amandemen) UUD 1945 arah pembangunan nasional ditetapkan melalui Garis-

garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN merupakan haluan negara tentang

pembangunan nasional dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak

rakyat yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) setiap lima

tahun. Setelah amandemen, perencanaan untuk menjamin tercapainya tujuan

negara diatur melalui sistem perencaan pembangunan nasional melalaui keluarnya

Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan

Nasional (UU-SPPN) yang mengatur Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Nasional (RPJPN). Baik GBHN maupun RPJPN hakekatnya sama sebagai

pedoman arah pembangunan Indonesia baik pemerintah pusat dan daerah.

Perubahan landasan hukum dalam perencanaan pembangunan nasional

sebagai pengganti GBHN pada masa setelah amandemen UUD 1945 banyak

menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Dengan dihapuskannya


3

GBHN, sebagian pihak menilai konsistensi dan kontinuitas belum berjalan karena

perencanaan pembangunan diwadahi dalam undang-undang. UU-SPPN beserta

peraturan perundang-undangan di bawahnya yang menjadi landasan perencanaan

pembangunan dianggap tidak mampu menjamin kesinambungan dan keselarasan

pembangunan antara pusat dan daerah. Pemikiran-pemikiran ini menimbulkan

adanya wacana dihidupkannya kembali GBHN yang lebih mudah dipahami untuk

menjalankan roda pembangunan hukum nasional.

Tujuan Pembangunan Hukum Nasional berdasarkan GBHN Tahun 1978

adalah: “Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat

adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dalam

wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan

berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram,

tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka,

bersahabat, tertib dan damai”.2 Dengan demikian, rakyat Indonesia hendak

mencapai masyarakat yang adil dan makmur secara merata itu dengan mengikuti :

“de gulden midenweg”, dengan menghindari perbedaan-perbedaan yang

menyolok dan cara-cara yang ekstrim seperti paham kapitalisme, komunisme

ataupun cara-cara yang fanatik, religius.3

Hukum bukan merupakan tujuan akan tetapi jembatan yang membawa kita

kepada ide yang dicita-citakan. Setelah mengetahui masyarakat bagaimana yang

2
Seharusnya MPR Kembali Berwenang Menetapkan GBHN, diakses
melalui http://www.tribunnews.com/mpr-ri/2016/06/21/seharusnya-mpr-kembali-berwenang-
menetapkan-gbhn, pada tanggal 6 Juni 2018
3
Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni,
Bandung, hlm.3.
4

dicita-citakan oleh bangsa Indonesia, dapatlah dicari sistem hukum yang

bagaimana yang dapat membawa rakyat kita ke arah masyarakat yang dicita-

citakan itu dan politik hukum yang bagaimana yang dapat mencipatakan sistem

hukum nasional yang dikehendaki. Namun demikian, politik hukum tidak terlepas

dari realitas sosial dan pola pikir tradisional yang terdapat di negara kita. Di lain

pihak sebagai salah satu anggota masyarakat dunia, politik hukum Indonesia tidak

terlepas dari realita dan politik hukum internasional.4

Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UUD 1945,

negara yang dikehendaki adalah negara hukum demokrasi kesejahteraan. Seluruh

kegiatan bernegara sesudah proklamasi terarah untuk mewujudkan konsepsi

negara tersebut. Dalam masa pemerintahan Orde Baru (Orba), yang bertekad

untuk menjalankan pemerintahan yang kuat, bersih dan berwibawa dengan

melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Tekad

Orba dilaksanakan dengan pembangunan berencana panjang (dua puluh lima

tahunan) dengan memperioritaskan pembangunan ekonomi yang ditunjang dengan

pembangunan politik pada tataran yang sama untuk membangun kekuatan

kekuasaan publik yang mampu menghasilkan dan memelihara stabilitas yang pada

tahap permulaan mutlak diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi.

Pembangunan hukum dipandang sebagai salah satu sektor dalam pembangunan

bidang politik. Hal ini tanpak secara eksplisit dalam semua GBHN hingga tahun

1988.5

4
Ibid, hlm. 1.
5
Bernard Arief Sidharta, 2009, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju,
Bandung, hlm. 207-208.
5

Peluang dan motivasi untuk melaksanakan pembangunan hukum yang

lebih signifikan terhadap perkembangan tuntutan zaman sudah tercipta GBHN

pada tahun 1993 yang secara formal mengungkapkan kemauan politik para

penentu kebijkan penyelenggaraan bernegara untuk memandang hukum sebagai

sub-sistem nasional setara dengan subsitem nasional lainnya. Pembangunan

hukum yang direncanakan secara cermat itu harus diarahkan untuk membangun

tatanan hukum nasional yang modern dengan mengacu cita-cita hukum Pancasila

yang mampu memberikan kerangka dan aturan-aturan hukum yang efisien dan

responsif bagi penyelenggaraan kehidupan masa kini dan depan. Tatanan Hukum

Nasional Indonesia itu harus mengandung ciri6; Berwawasan kebangsaan dan

berwawasan nusantara; Mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok

etnis kedaerahan dan keyakinan keagamaan; Sejauh mungkin berbentuk tertulis

dan terunifikasi; Bersifat rasional yang mencakup rasionalitas-efisiensi,

rasionalitas kewajaran (redelijkheid), rasionalitas-berkaidah dan rasionalitas-nilai;

Aturan prosedural yang menjamin transparansi yang memungkinkan kajian

rasional terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah; Responsif

terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.

Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang terdapat didalam

pasal 2 ayat (4) UU No: 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional bertujuan untuk, Mendukung koordinasi antar pelaku

pembangunan; Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi baik antar

daerah, antar ruang, antar fungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;

6
Ibid, hlm, 211-212.
6

Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,

pelaksanaan dan pengawasan; Mengoptimalkan partisipasi masyarakat dan

Menjamin tercapaiknya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif,

berkeadilan dan berkelanjutan.

Pembangunan hukum berarti membangun suatu tata hukum, beserta

perangkat yang berkaitan dengan tegaknya kehidupan tata hukum tersebut. Suatu

tata hukum berarti seperangkat hukum tertulis (pada umumnya) yang dilengkapi

dengan hukum tidak tertulis sehingga membentuk suatu sistem hukum yang bulat

dan berlaku pada suatu tempat tertentu.

Pembanguan hukum nasional pada dasarnya merupakan upaya untuk

membangun suatu tatanan hukum nasional yang berlandaskan kepada jiwa dan

kepribadian bangsa. Dalam konkritisasinya pembangunan hukum nasional itu

berarti pembentukan kaidah-kaidah hukum baru untuk mengatur berbagai bidang

kehidupan masyarakat. Pembangunan hukum diarahkan untuk memenuhi

kebutuhan hukum masyarakat kita yang sedang membangun, mengarah dan

mengantisipasi perubahan sosial, dan mewujudkan cita-cita masyarakat adil dan

makmur.

Selama kurun waktu berlakunya Undang-undang (UU) Nomor 25 Tahun

2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-2004,

pelaksanaan Agenda Pembangunan Kedua yaitu mewujudkan supremasi hukum

dan pemerintahan yang baik dilaksanakan melalui 4 (empat) program

Pembangunan Bidang Hukum, yaitu Program Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan; Program Pemberdayaan Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak


7

Hukum Lainnya; Program Penuntasan Kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta

Pelanggaran Hak Asasi Manusia; dan Program Peningkatan Kesadaran Hukum

dan Pengembangan Budaya Hukum; dan Sub Bidang Penyelenggara Negara yang

tertuang dalam Bab Pembangunan Politik dan akan menguraikan secara

mendalam langkah-langkah mewujudkan pemerintahan yang baik selama kurun

waktu pelaksanaan PROPENAS.

Beberapa hasil yang cukup memberikan harapan untuk mengembalikan

kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan sebagai penjabaran dari pelaksanaan

program-program dalam PROPENAS, TAP MPR dan Program Kerja Kabinet

Gotong Royong adalah pembinaan satu atap 4 (empat) lingkungan peradilan yaitu

Lingkungan Peradilan Umum, Agama, Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara,

yang kewenangan administrasi, keuangan, kepegawaian dan organisasi yang

semula dilakukan oleh Departemen Kehakiman dan HAM beralih kepada

Mahkamah Agung dan telah mulai ditindaklanjuti dengan perubahan berbagai

undang-undang terkait dan penyerahan secara formal oleh Menteri Kehakiman

dan HAM kepada Mahkamah Agung.

Sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang

PROPENAS, Program Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bertujuan

untuk mendukung upaya-upaya dalam rangka mewujudkan supremasi hukum

terutama penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan warisan

kolonial dan hukum nasional yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan

masyarakat. Adapun sasaran program ini adalah terciptanya harmonisasi peraturan

perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan


8

pembangunan. Sedangkan arah kebijakan pembentukan peraturan perundang-

undangan sesuai dengan TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 adalah (1) Menata

sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan

menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbarui perundang-

undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk

ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui

program legislasi; (2) Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama

yang berkaitan dengan hak asasi manusia sesuai dengan kebutuhan dan

kepentingan bangsa dalam bentuk undang-undang; (3) Mengembangkan peraturan

perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi

era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional.

1) Program Pemberdayaan Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak

Hukum Lainnya

Program ini bertujuan untuk meningkatkan kembali kepercayaan

masyarakat terhadap peran dan citra lembaga peradilan dan lembaga penegak

hukum lainnya seperti Kejaksaan, Kepolisian dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

(PPNS) sebagai bagian dari upaya mewujudkan supremasi hukum dengan

dukungan hakim dan aparat penegak hukum lainnya yang profesional,

berintegritas, dan bermoral tinggi. Adapun sasaran program ini adalah terciptanya

lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya yang mandiri, bebas dan

pengaruh penguasa maupun pihak lain, dengan tetap mempertahakan prinsip

cepat, sederhana dan biaya ringan. Sedangkan arah kebijakan ditujukan dalam

rangka penegakan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian


9

hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta penghargaan terhadap

hak asasi manusia; serta untuk mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan

bebas dari pengaruh pihak manapun juga melalui aparat penegak hukum yang

mempunyai integritas moral dan profesionalisme yang lebih baik.

2) Program Penuntasan Kasus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta

Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Program ini bertujuan untuk memulihkan kembali kepercayaan masyarakat

terhadap penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia. Adapun sasaran

program ini adalah terselesaikannya berbagai kasus KKN dan pelanggaran

terhadap HAM yang belum terselesaikan secara hukum. Sedangkan arah

kebijakan pada program ini adalah merupakan upaya untuk melaksanakan arah

kebijakan pembangunan hukum yang lebih menjamin kepastian hukum, keadilan

dan kebenaran, supremasi hukum serta menghargai hak asasi manusia. Disamping

itu program ini juga bertujuan untuk menyelenggarakan proses peradilan pada

kasus KKN dan menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran

hukum dan hak asasi manusia yang belum ditangani secara cepat, adil dan tuntas.

3) Program Peningkatan Kesadaran Hukum dan Pengembangan

Budaya Hukum

Program Peningkatan Kesadaran Hukum dan Pengembangan Budaya

Hukum bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan hukum baik

masyarakat maupun aparat penyelenggara negara secara keseluruhan dan

meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap peran dan fungsi aparat penegak


10

hukum, serta diharapkan akan menciptakan budaya hukum di semua lapisan

masyarakat. Adapun sasaran program ini adalah meningkatnya jumlah masyarakat

dan aparat penyelenggara negara yang sadar terhadap hak dan kewajibannya serta

semakin meningkatnya partisipasi masyarakat dalam berbagai proses perumusan

kebijakan pembangunan. Sedangkan arah kebijakan peningkatan Kesadaran

Hukum dan Pengembangan Budaya Hukum adalah (1) mengembangkan budaya

hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan

hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum; dan (2)

meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan perlindungan,

penghormatan, dan penegakan HAM dalam seluruh aspek kehidupan.

Ruang lingkup pembangunan hukum nasional dapat dilihat dari berbagai

aspek/sudut. Apabila dilihat dari ruang lingkup hukum nasional sebagaimana

dikemukakan di atas, maka pembangunan ruang lingkup sistem hukum nasional

dapat mencakup pembangunan ”substansial” (substansi hukum/legal substance),

pembangunan ”struktural” (stuktur hukum/legal structure), dan pembangunan

”kultural” (budaya hukum/legal culture). Kalau dilihat sebagai ”program

pembangunan”, maka ruang lingkupnya bisa disebut dengan berbagai program

yang terkait dengan bidang hukum.

Dalam Lokakarya Bangkumnas Repelita VI (1994-1999), ketiga bidang/

ruang lingkup pembangunan SHN pernah dirinci sebagai berikut :

a) Pembangunan ”perangkat hukum nasional” (maksudnya bidang substansi

hukum) terdiri dari 14 sektor : (1) sektor HTN dan HAN; (2) sektor

Hukum Tata Ruang; (3) sektor Hukum Bahari (Laut); (4) sektor Hukum
11

Dirgantara; (5) sektor Hukum Kependudukan; (6) sektor Hukum

Lingkungan; (7) sektor Hukum Kesehatan; (8) Hukum Kesejahteraan

Sosial; (9) sektor Hukum Teknologi dan Informatika; (10) sektor Hukum

Keluarga dan Waris; (11) sektor Hukum Ekonomi; (12) sektor Hukum

Pidana; (13) sektor Hukum Militer dan Bela Negara; dan (14) sektor

Hukum Transnasional.

b) Pembangunan ”tatanan hukum nasional” (maksudnya bidang struktur

hukum, pen.) terdiri dari 5 sektor : (1) Sektor kelembagaan, administrasi

dan manajemen lembaga-lembaga hukum; (2) Sektor mekanisme, proses

dan prosedur; (3) sektor peningkatan koordinasi dan kerjasama nasional;

(4) sektor peningkatan kerjasama regional & internasional; dan (5) sektor

pengembangan sarana & prasarana pendukung pembangunan hukum.

c) Pembangunan ”budaya hukum nasional” terdiri dari 5 sektor : (1)

Pembinaan Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum Nasional; (2) Pembinaan

Kesadaran hukum & perilaku taat hukum; (3) Pengembangan/pembinaan

perpustakaan, penerbitan dan informatika hukum; (4) Pengembangan dan

pembinaan profesi hukum; (5) Pengembangan dan pembinaan pendidikan

hukum.

Pembangunan nasional Indonesia yang bertujuan mewujudkan manusia

Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur,

sejahtera, tertib dan damai berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera tersebut perlu

peningkatan secara terus menerus dalam usaha-usaha di bidang pengobatan dan


12

pelayanan kesehatan termasuk ketersediaan narkotika sebagai obat, disamping

untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Menurut UU No 22 Tahun 1997, Narkotika adalah zat atau obat yang

berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang

dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,

mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

ketergantungan. Narkotika terdiri dari 3 golongan :

1. Golongan I: Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan

pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta

mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh :

Heroin, Kokain, Ganja.

2. Golongan II: Narkotika yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai

pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan

pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi

mengakibatkan ketergantungan. Contoh : Morfin, Petidin.

3. Golongan III: Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak

digunakan dalam terapi dan / atau tujuan pengebangan ilmu pengetahuan

serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh:

Codein.

Selain narkotika dimanfaatkan untuk penelitian, narkotika juga sangat

bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun

apabila disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan,


13

terlebih jika diserta dengan peredaran narkotika secara gelap akan menimbulkan

akibat yang sangat merugikan perorangan maupun masyarakat khususnya generasi

muda, bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan

nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan

nasional.

Adapun peningkatan, pengendalian dan pengawasan sebagai upaya dalam

mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika

sangat diperlukan karena kejahatan narkotika pada umumnya tidak dilakukan oleh

perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama

bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi dan rahasia.

Disamping itu, kejahatan narkotika bersifat transnasional dilakukan

dengan menggunakan modus operandi dan teknologi canggih, termasuk

pengamanan hasil-hasil kejahatan narkotika. Sedangkan dari perkembangan

kualitas kejahatan narkotika tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius

bagi kehidupan umat manusia. Dengan demikian, Undang-Undang No. 22 tahun

1997 tentang narkotika yang diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan

memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika diwilayah negara

republik Indonesia.

Oleh karena itu, Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika

kemudian diganti menjadi Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika,

yang mempunyai cakupan lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi,

maupun ancaman pidana yang diperberat. Cakupan yang lebih luas tersebut, selain

berdasrkan pada faktor-faktor diatas juga karena perkembangan kebutuhan dan


14

kenyataan bahwa nilai dan norma dalam ketentuan yang berlaku tidak memadai

lagi sebagai sarana efektif untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika. Beberapa materi baru antara lain mencakup pengaturan

mengenai penggolongan narkotika, pengadaan narkotika, label dan publikasi,

peran serta masyarakat, pemusnahan narkotika sebelum putusan pengadilan

memperoleh kekuatan hukum tetap, perpanjangan jangka waktu penangkapan,

penyadapan telepon, teknik penyidikan penyerahan yang diawasi dan pembelian

terselubung dan pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika

sudah sangat modern.

Dalam rangka memberi efek psikologis kepada masyarakat agar tidak

melakukan tindak pidana narkotika, perlu ditetapkan ancaman pidana yang lebih

berat, minimum dan maksimum, mengingat tingkat bahaya yang ditimbulkan

akibat penyalahgunaan dan peredaran narkotika sangat mengancam ketahanan

keamanan nasional.

Untuk lebih menjamin efektifitas pelaksanaan pengendalian dan

pengawasan serta pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkotika, perlu diadakan sebuah badan koordinasi tingkat nasional

dibidang narkotika dengan tetap memperhatikan secara sungguh-sungguh

berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian dalam perkembangannya, UU No. 22 Tahun 1997 tentang

Narkotika diganti dengan UU No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika, yang

mendasarkan pada alasan bahwa narkotika merupakan zat atau obat yang sangat

bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun,


15

jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standarpengobatan dapat

menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat

khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya

yang lebih besar bagikehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya

akan dapat melemahkan ketahanan nasional.

Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat,

bangsa, dan negara, dan pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat

Republik Indonesia Tahun 2002 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan

kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik

Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1997 tentang Narkotika.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur

upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana

denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Di samping itu,

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 juga mengatur mengenai pemanfaatan

Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang

rehabilitasi medis dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana

narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin

meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas,

terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.


16

Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan,

melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan

merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang

bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun

internasional. Berdasarkan hal tersebut guna peningkatan upaya pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana Narkotika perlu dilakukan pembaruan terhadap

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Hal ini juga untuk

mencegah adanya kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif

maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak,

remaja, dan generasi muda pada umumnya.

Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan

Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam

Undang-Undang ini diatur juga mengenai Prekursor Narkotika karena Prekursor

Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat

digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang

narkotika, juga dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika dengan melakukan

penggolongan terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika. Selain itu, diatur pula

mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk

pembuatan Narkotika. Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur

mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus,

pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun
17

pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada

golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika.

Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur

mengenai penguatan kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan Narkotika

Nasional (BNN). BNN tersebut didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 83

Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan

Badan Narkotika Kabupaten/Kota. BNN tersebut merupakan lembaga non

struktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada

Presiden, yang hanya mempunyai tugas dan fungsi melakukan koordinasi. Dalam

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, peran BNN tersebut

ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) dan diperkuat

kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. BNN

berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Selain

itu, BNN juga mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota

sebagai instansi vertikal, yakni BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota.

Untuk lebih memperkuat kelembagaan, diatur pula mengenai seluruh harta

kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika dan

Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana

Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap yang dirampas untuk negara dan digunakan

untuk kepentingan pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan


18

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dan upaya rehabilitasi medis

dan sosial.

Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih,

dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga diatur

mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping),teknik

pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang

diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan

mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor

Narkotika.

Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran

gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan

memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam Undang-Undang No.

35 Tahun 2009 tentang Narkotika diatur mengenai kerja sama, baik bilateral,

regional, maupun internasional.

Dan di dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

diatur juga peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan

penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika termasuk pemberian

penghargaan bagi anggota masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan

pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. Penghargaan

tersebut diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa

dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkotika dan Prekursor Narkotika.


19

UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan bahwa salah

tujuan dari pengaturan narkotika adalah untuk menjamin ketersediaan narkotika

untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu

pengetahuan7. Ini menunjukkan bahwa penggunaan narkotika adalah legal

apabila digunakan untuk tujuan yang positif. Namun dalam perkembangannya,

narkotika tidak hanya digunakan untuk tujuan yang positif saja, tetapi digunakan

juga untuk tujuan yang negatif. Bentuk dari penggunaan narkotika untuk tujuan

negatif adalah penyalahgunaan narkotika. Definisi dari penyalahgunaan narkotika

sendiri adalah penggunaan narkotika tanpa hak atau secara melawan hukum8. Ada

pula yang mengartikan penyalahgunaan narkotika sebagai pemakaian narkotika

yang dilakukan oleh seseorang secara ilegal atau melawan hukum, yaitu tanpa

sepengetahuan dan pengawasan dokter9.

Berdasarkan data yang diperoleh dari UNODC (United Nations Office on

Drugs and Crime), yaitu organisasi dunia yang menangani masalah narkoba dan

kriminal, menunjukkan bahwa di dunia ada 315 juta orang usia produktif atau

berumur 15 sampai 65 tahun yang menjadi pengguna narkoba, dan 200 juta orang

meninggal dunia setiap tahunnya10.

Di Indonesia, menurut penelitian yang dilakukan oleh BNN dan Puslitkes

UI, angka penyalahgunaan narkoba mencapai 2,2 persen atau 4,2 juta orang pada

7
Pasal 4 UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
8
Diana Kusumasari, “Penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika”,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4dc0cc5c25228/penyalahgunaan-narkotika-dan-
prekursor-narkotika, diakses tanggal 2 Oktober 2018.
9
Dani Krisnawati, dkk, 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara,
Jakarta, hlm.93.
10
Tempo, “200 Juta Orang Meninggal Akibat Narkoba Per Tahun”,
http://www.tempo.co/read/news/2014/06/26/173588287/200-Juta-Orang-Meninggal-Akibat-
Narkoba-per-Tahun, diakses tanggal 2 Oktober 2018.
20

tahun 2014. Pada tahun 2015, angka itu sudah mencapai 2,8 persen penduduk

Indonesia, atau setara dengan 5,8 juta orang11.

Saat ini terdapat sekitar 3,2 juta pengguna narkoba. Jumlah jelas

menguntungkan para produsen atau bandar. Berdasarkan riset YCAB (Yayasan

Cinta Anak Bangsa), sebuah yayasan yang concern terhadap bahaya narkoba,

jumlah pengguna narkoba naik dari 8 % pada tahun 2001 menjadi 11 % pada

tahun 2006. Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika telah banyak

dilakukan oleh aparat penegakan hukum dan telah banyak mendapatkan putusan

hakim di sidang pengadilan.Penegakan hukum ini diharapkan mampu sebagai

faktor penangkal terhadap merebaknya peredaran perdagangan narkoba, tapi

dalam kenyataan justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin

meningkat pula peredaran perdagangan.

Penyalahgunaan narkotika di Indonesia sudah sampai ketingkat yang

sangat mengkhawatirkan. Menurut Menhuk dan HAM, Amir Syamsuddin.

Berdasarkan data Kemenhuk dan HAM pada tahun 2011 tercatat penggagalan 98

kasus penyeludupan narkoba di dalam Lembaga Pemasyarakatan.

Pada tahun 2012 baru mengungkap 12 kasus narkoba. Permasalahan yang

terjadi bahwa Lembaga pemasyarakatan di Indonesia adalah salah satu pasar bagi

pengedar narkoba. Pemakai narkoba banyak di tahan di Lembaga Pemasyarakatan

mereka rata-rata memiliki uang.Hal ini menyebabkannya seringkali mereka belum

dalam kondisi sembuh tapi masih ketergantungan pada narkoba. Permasalahan

11
Merdeka, “Pengguna Narkoba di Indonesia Pada 2015 Capai 5,8 Juta Jiwa ”,
http://www.merdeka.com/peristiwa/pengguna-narkoba-di-indonesia-pada-2015-capai-58-juta-
jiwa.html , diakses tanggal 3 Maret 2018.
21

yang terjadi saat ini kita menganggap kalau pemakai narkoba itu memiliki

karakter seperti penjahat biasa sehingga bisa di campur dengan narapidana

lainnya. Padahal mereka yang memakai narkoba adalah dalam kondisi

ketergantungan obat yang sakit secara fisik dan psikologis.

Berdasarkan hasil survei Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP)

Jawa Tengah bersama Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (Puslitkes

UI), mulai tahun 2015 tingkat prevalensi pengguna narkoba mencapai 1,9 persen

dari jumlah penduduk Jawa Tengah. Korban penyalahgunaan narkotika dan obat -

obatan terlarang (narkoba) di Jawa Tengah tahun 2017 mencapai lebih dari 523

ribu orang12.

Hal itu diungkapkan Kasi Pemberdayaan Masyarakat BNNP Jawa Tengah,

Yustina Martin saat memimpin kegiatan Pencegahan Pemberantasan

Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) di Makodim 0722 Kudus,

Senin (11/12/2017). Sebanyak 162 anggota TNI dan keluarganya telah mengukitu

tes urine.

Selain Kodim Kudus, kegiatan yang sama digelar di Kantor Sekretariat

Daerah (Setda) Kudus, yang diikuti 1.100 PNS guru, petugas Unit Pelaksana

Teknis (UPT) Pendidikan, kecamatan hingga perangkat desa. Pemeriksaan di

kedua institusi Pemkab dan Kodim dilakukan secara mendadak “Dari hasil

pemeriksaan, sementara hasilnya negatif,” ujarnya.

12
http://www.krjogja.com/web/news/read/52042/Di_Jateng_Pengguna_Narkoba_523_Rib
u_Orang
22

Komandan Kodim 0722 Kudus Letkol (Inf) Sentot Dwi Purnomo

mengatakan, kegiatan pemeriksaan urine terhadap anggota dilaksanakan secara

rutin tiap tiga bulan sekali. Sejauh ini, tidak ada anggota Kodim Kudus dan

keluarganya yang terlibat narkoba.

Korban penyalahgunaan narkoba di Indonesia terus mengalami

peningkatan, dengan tingkat pertumbuhan rata- rata 0,03 persen. Jumlah pengguna

narkoba secara nasional saat ini mencapai lebih 5,2 juta orang. Meski begitu

angka pertumbuhan tersebut masih di bawah batas ambang nasional yang

ditetapkan BNN dan Kementerian Kesehatan sebesar 0,05 persen.

Di Kendal sepanjang tahun 2017, BNN Kendal menerima 11 pecandu

narkoba. Sedangkan hingga semester pertama 2018 tercatat empat pecandu yang

secara sukarela dan sadar melapor ke BNN Kendal. Kebanyakan pemakai narkoba

ini adalah usia anak hingga dewasa. Yakni usia 10-59 tahun. Sedangkan untuk

tingkat Jawa Tengah (Jateng), penyalah guna narkoba 1,16 persen dari total

jumlah penduduk Jateng13.

Dari data Badan Pusat Statistik Jateng 2017 jumlah penduduk di Jateng

ada sebanyak 34.257.865 jiwa. Jika dihitung dari jumlah tersebut, maka pecandu

narkoba di Jateng ada sebanyak 397.391 jiwa.

Sepanjang 2017, tercatat, Badan Narkotika Nasional atau BNN telah

menembak mati 79 bandar narkoba, membongkar 46 ribu kasus narkoba dan 27

kasus Tindak Pidana Pencucian Uang atau TPPU yang berasal dari bisnis narkoba.

13
https://www.suaramerdeka.com/news/baca/129830/pengguna-narkoba-capai-35-juta-
orang
23

Sebanyak 4,71 ton sabu di sita. Diduga, kasus-kasus narkotika merupakan

fenomena gunung es. Artinya, bisa jadi, lebih banyak kasus yang belum terungkap

dibandingkan yang timbul ke permukaan. Oleh sebab itu kejahatan narkotika

merupakan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime). Sebab, jaringan

peredaran sangat luas. Lintas batas negara. Sering disebut kejahatan antar negara

(Transnational Crime).

Oleh sebab itu pencegahan dan pemberantasan Penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkoba terus digiatkan pihak Badan Narkotika Nasional (BNN).

Berbagai cara dilakukan oleh pemerintah, penegak hukum dan organisasi-

organisasi sosial anti narkoba untuk menekan bahkan menghilangkan peredaran

dan penyalahgunaan narkotika di Indonesia. Salah satunya dengan sosialisasi-

sosialisasi mengenai bahaya narkotika. Selain itu, upaya rehabilitasi juga

merupakan suatu langkah untuk menurunkan besarnya angka penyalahgunaan

narkotika di Indonesia.

Seseorang yang melakukan penyalahgunaan narkotika selain dianggap

telah melakukan tindakan kriminal, ia juga merupakan korban dari perbuatannya

sendiri. Selama ini, aparat penegak hukum cenderung menjatuhkan sanksi pidana

bagi para pelaku tindak pidana tersebut, tanpa melakukan rehabilitasi. Dengan

memberikan sanksi pidana berupa penjara, diharapkan para pelaku tindak pidana

penyalahgunaan narkotika menjadi jera dan tidak mengulangi perbuatannya.

Namun yang terjadi adalah sebaliknya, sanksi pidana berupa penjara tersebut tidak

efektif untuk membuat mereka jera memakai narkotika. Tanpa proses


24

detoksifikasi melalui proses rehabilitasi medis, mereka akan segera kembali

mencari narkotika begitu keluar dari lembaga pemasyarakatan.

Dalam penegakan hukum pidana, terdapat beberapa peraturan pidana di

Indonesia yang menganut double track system, yang artinya bahwa hukuman yang

dijatuhkan oleh aparat penegak hukum kepada para pelaku tindak pidana tidak

hanya sanksi pidana saja, tetapi juga dengan penjatuhan sanksi tindakan. Dalam

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada Pasal 54 disebutkan

bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Hal ini sejalan dengan pandangan double

track system yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam prakteknya, selama ini

pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika tidak dijatuhi sanksi

rehabilitasi, melainkan dijatuhi sanksi pidana. Hal ini tentunya tidak

menyelesaikan masalah, menurut Kasi Media Tradisional Deputi Bidang

Pencegahan BNN Ahmad Soleh, pemberian hukuman pidana atau kriminalisasi

pecandu narkotika bukanlah merupakan solusi. Memenjarakan pecandu narkotika

tanpa memerhatikan “sakitnya” bukanlah langkah yang tepat. Justru akan

menimbulkan masalah baru dalam lapas sebagai akibat dari ketergantungan

obat14.

Untuk menindak lanjuti perintah Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

tentang Narkotika tersebut, telah dibuat peraturan bersama antara tujuh lembaga

negara mengenai teknis dari pelaksanaan rehabilitasi terhadap penyalah guna

14
Sindo News, “Rehabilitasi Pecandu Narkoba Dijamin Undang-Undang”,
http://nasional.sindonews.com/read/877153/15/rehabilitasi-pecandu-narkoba-dijamin-undang-
undang-1403750534, diakses pada tanggal 3 Maret 2018.
25

narkotika. Peraturan tersebut ditandatangani oleh Ketua MA, Menteri Hukum dan

HAM, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, Kepala POLRI, Kepala

BNN. Peraturan tersebut ditetapkan tanggal 11 Maret 2014. Jika melihat rentang

waktu antara Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang dibuat

pada tahun 2009 dengan peraturan bersama tujuh lembaga negara tersebut tentang

teknis pelaksanaan rehabilitasi yang dibuat baru pada tahun 2014, maka yang

menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana teknis pelaksanaan rehabilitasi

tersebut sebelum munculnya peraturan bersama tujuh lembaga negara, atau

pertanyaan yang lebih mendasar lagi adalah apakah selama ini aparat penegak

hukum telah melaksanakan amanat yang termuat dalam Pasal 54 Undang-Undang

No.35 Tahun 2009. Karena selama ini kecenderungan dari aparat penegak hukum

dalam menangani kasus penyalahgunaan narkotika adalah dengan menjatuhkan

sanksi pidana saja tanpa menjatuhkan sanksi rehabilitasi, tentunya hal ini

berkebalikan dengan apa yang termuat dan tercantum dalam Pasal 54 Undang-

Undang No.35 Tahun 2009.

Berdasarkan seluruh hasil pengawasan berkenaan dengan Undang Undang

Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Komite III DPD RI

merekomendasikan hal-hal berikut kepada pemerintah agar Pemerintah

melakukan15:

1) Melakukan percepatan revisi atas UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika yang telah masuk dalam daftar prolegnas dengan

15
BNN, Kemenkes, dan Kemensos, analisa, Sumber Timahli Komisi III DPDRI
26

mengakomodasi berbagai pembenahan kekurangan UU Narkotika

sebagaimana diuraikan di bagian atas.

2) Percepatan program pembangunan alternatif (alternative development)

sebagai subtitusi pertanian tanaman sumber bahan baku narkotika

sekaligus menolak segala aksi yang mengupayakan pelegalan ganja di

Indonesia;

3) Pemetaan daerah perbatasan laut dan darat yang dikategorikan rawan

transaksi perdagangan gelap narkotika serta peningkatan sistem

pengawasan dan keamanan terpadu bersama pemangku kepentingan

lainnya di pos lintas batas darat dan laut, pelabuhan peti kemas,

pelabuhan-pelabuhan kecil, dan bandara udara;

4) Pencegahan peredaran narkotika jenis baru dan jenis prekursor narkotika

baru (new psychoactive substances) melalui perangkat norma hukum yang

lebih komprehensif berupa evaluasi tahunan dan pembaharuan peraturan

perundang-undangan terkait jenis narkotika, serta penindakan secara tegas

industri nonfarmasi yang dikategorikan melakukan penyimpangan

produksi precursor narkotika baru;

5) Penyusunan program pembinaan berkelanjutan untuk generasi emas

Indonesia yang bebas narkotika melalui desain kurikulum khusus

pencegahan penyalahgunaan narkotika dari peserta didik tingkat dasar,

menengah, dan perguruan tinggi diperlukan penguatan koordinasi dengan

BNN untuk melakukan pengawasan melekat secara berkala;


27

6) Pembenahan kelembagaan BNN berupa (a) percepatan pembentukan

lembaga Badan Narkotika Nasional di tingkat kabupaten/kota dengan

mengedepankan skala prioritas kabupaten/kota yang memiliki fasilitas

bandara dan pelabuhan, wilayah perbatasan, peredaran dan pengguna

narkotika tinggi, serta peningkatan capaian target terukur program

pemberantasan narkotika; (b) pengoptimalan dukungan anggaran yang

memadai, baik yang bersumber dari APBN maupun APBD untuk

pemenuhan dukungan sarana prasararana yang diperlukan dalam

pemberantasan kejahatan narkotika; dan (c) penguatan status hukum

kelembagaan BNN yang setara dengan Forkompinda di daerah sehingga

dapat berdampak pada penguatan anggaran dan pengoptimalan koordinasi

dengan pemangku kepentingan;

7) Pelibatan pemerintah daerah dan masyarakat untuk mencegah dan

memberantas kejahatan narkotika dengan membentuk satuan gugus tugas

(satgas) dari tingkat provinsi sampai desa;

8) Perbaikan sistem pengawasan terhadap peredaran narkotika di lapas

dengan mempertimbangkan (1) pembentukan lapas khusus narkoba; (2)

peningkatan jumlah petugas lapas; dan (3) pelaksanaan inspeksi mendadak

(sidak) secara berkala;

9) Melakukan pengevaluasian dan pembenahan mentalitas aparat penegak

hukum di dalam pemberantasan kejahatan narkotika dengan

mempertimbangkan: (i) kompetensi, kuantitas, dan kualitas aparat penegak

hukum; (ii) penguatan karakter aparat penegak hukum; (iii) kesejahteraan


28

aparat penegak hukum; dan (iv) penggunaan hasil kejahatan tindak pidana

pencucian uang yang berasal dari tindak pidana narkotika sebagai

alternatif dukungan pendanaan bagi program dan kegiatan BNN yang tidak

dianggarkan oleh APBN.

10) Program Rehabilitasi melalui (a) peningkatan anggaran sarana prasarana

pusat rehabilitasi yang dialokasikan, baik dalam APBN maupun APBD;

(b) pengadopsian pendekatan religi di pusat rehabilitasi narkotika milik

pemerintah; dan (c) pembentukan forum koordinasi antarinstansi yang

melakukan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika.

Mereka membutuhkan rehabilitasi medis untuk memulihkan kondisinya.

Saat dimasukkan Lembaga Pemasyarakatan tanpa ada terapi medis maka ini

tidaklah menyelesaikan masalah mereka karena mereka dalam kondisi

ketergantungan obat. Upaya untuk melakukan Sidak pada pengguna narkotika di

Lembaga Pemasyarakatan hanya akan menghentikan kegiatan ini sementara. Akar

permasalahannya justru pada adanya permintaan narkoba yang cukup besar dan

adanya penawaran untuk itu sehingga terjadi transaksi.

Mereka di penjara dalam posisi ketergantungan obat dan segala cara akan

dilakukan untuk mendapatkan obat. Selama ini mereka tidak mendapatkan terapi

di Lembaga Pemasyarakatan untuk mengurangi ketergantungan obatnya sehingga

kondisinya masih tetap sakit. Ditambah lagi dengan kondisi penjara di Indonesia

yang sebagian besar sudah kelebihan kapasitas. Kondisi ini dapat memperparah

keadaannya, beberapa Narapidana yang tadinya tidak terlibat jaringan narkoba

dapat saja menjadi pengedar. Contohnya Narapidana Curanmor karena


29

berinteraksi dengan para narkoba bisa saja menjadi pengedar berikutnya bahkan

residivis, ini justru dapat memunculkan masalah baru lagi.

Menyiapkan pusat rehabilitasi khususnya bagi pelaku tindak pidana

narkoba adalah merupakan solusinya. Mereka membutuhkan proses penyembuhan

dari ketergantungan obat terlarang tersebut. Mempenjarakan bukanlah solusi yang

tepat bagi permasalahan ini, menahan tetapi juga melakukan terapi medis barulah

akan berhasil. Bukan rahasia lagi banyak pemakai obat yang di Lembaga

Pemasyarakatan tetapi masih ketergantungan obat. Ini disebabkan mereka hanya

ditahan secara fisik tetapi penyakitnya belum sembuh. Mereka itu butuh

pengobatan yang selama ini tidak maksimal didapatkan.

Mereka yang ada di dalam Lembaga Pemasyarakatan dalam kondisi

ketergantungan obat sebaiknya memang mendapatkan terapi medis yang tepat dan

direhabilitasi sehingga bukannya berada pada lingkungan sesama Narapidana

yang masih ketergantungan obat seperti sekarang ini. Kondisi ini justru dapat

memperparah keadaan ketergantungan mereka pada obat. Pembangunan pusat

rehabilitasi berbasis Lembaga Pemasyarakatan sangat diperlukan sehingga

penanganan dari pelaku narkoba dapat penanganan yang tepat.

Sehingga selaku penegak hukum, seharusnya kita bijak dalam menangani

permasalahan tindak pidana narkotika ini. Kita tidak boleh menyamakan hukuman

antara bandar, pengedar dan penyalahguna. Bagi bandar dan pengedar sudah

selayaknya dihukum seberat-beratnya, selain merusak generasi bangsa, tindak

pidana narkotika masuk dalam golongan tindak pidana luar biasa (extra ordinary

crime). Sedangkan bagi penyalahguna narkotika hendaknya pemerintah


30

merehabilitasinya terlebih dahulu, sehingga penegakan hukum bisa tepat sasaran

dan bernilai keadilan. Disinilah titik awal munculnya ide Double Track System

dalam penanganan kasus tindak pidana narkotika.

Ide Double Track System dituntut adanya keseimbangan antara Sanksi

Pidana dan sanksi tindakan hal ini bisa diterapkan bagi pelaku penyalahgunaan

narkotika sehingga efek jera dan proses penyembuhan dari pelaku kejahatan

narkotika tersebut dapat berjalan, sehingga bagi para pelaku kejahatan narkotika

dalam hal ini bandar dan pengedar mendapatkan hukuman setimpal dan bagi

penyalahguna mampu untuk sembuh dari ketergantungan penggunaan Narkotika

dan jera karena adanya sanksi pidana.

Berdasarkan uraian-uraian yang telah disebutkan di atas, dengan

membatasi penelitian di provinsi Jawa Tengah, maka penulis melakukan

penelitian untuk penulisan disertasi dengan judul “Rekontruksi Kebijakan Sanksi

Pidana Dan Tindakan (Double Tract System) Dalam Penegakan Hukum

Penanggulangan Tindak Pidana Narkoba Dalam Mewujudkan Keadilan Religius”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang

hendak dikemukakan dalam penulisan disertasi ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah kebijakan penegakan hukum penanggulangan tindak pidana

narkoba saat ini sudah mewujudkan nilai keadilan?


31

2. Bagaimana kelemahan-kelemahan dalam prosedur sanksi pidana dan

tindakan dalam penegakan hukum penanggulangan tindak pidana

narkoba saat ini?

3. Bagaimana rekonstruksi kebijakan sanksi pidana dan tindakan (Double

Tract System) dalam penegakan hukum penanggulangan tindak pidana

narkoba sistem dalam mewujudkan keadilan religius?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui kebijakan penegakan hukum penanggulangan tindak

pidana narkoba saat ini.

2. Mengetahui kelemahan-kelemahan dalam prosedur sanksi pidana dan

tindakan dalam penegakan hukum penanggulangan tindak pidana

narkoba saat ini.

3. Meganalisis rekonstruksi kebijakan sanksi pidana dan tindakan

(Double Tract System) dalam penegakan hukum penanggulangan

tindak pidana narkoba sistem dalam mewujudkan keadilan religius.

D. Kegunaan Penelitian

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini menemukan teori baru dibidang hukum khususnya

rekonstruksi kebijakan sanksi pidana dan tindakan (Double Tract System)

dalam penegakan hukum penanggulangan tindak pidana narkoba sistem

dalam mewujudkan keadilan religius yang diharapkan dapat menjadi


32

kontribusi positif dalam upaya mewujudkan keadilan religius. Selain itu,

untuk mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis,

sekaligus untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu

yang diperoleh serta menambah bahan referensi dan bahan masukan untuk

penelitian selanjutnya.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk mengembangkan

pemikiran politik hukum tentang rekonstruksi kebijakan sanksi pidana dan

tindakan (Double Tract System) dalam penegakan hukum penanggulangan

tindak pidana narkoba sistem dalam mewujudkan keadilan religius yang

dapat menjadi sumbangsih pemikiran dalam menentukan kebijakan dan

perundang-undangan bagi pemerintah dalam rangka mewujudkan tujuan

negara serta menjadi khazanah intelektual terhadap kajian Hukum Pidana.

Selain itu juga mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dalam

upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika dan sebagai

bahan masukan dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana

narkotika.

E. Kerangka Konseptual

Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaats), maka setiap tindak

pidana yang terjadi diproses melalui jalur hukum, jadi hukum dipandang sebagai

satu-satunya sarana bagi penyelesaian terhadap suatu tindak pidana. Dalam alenia

keempat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945


33

mengandung konsep tujuan negara baik secara khusus maupun umum. Secara

khusus, tujuan negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah

darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan

kehidupan bangsa, sedangkan secara umum adalah untuk ikut melaksanakan

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdakaan, perdamaian abadi dan keadilan

sosial16. Menurut Moeljatno17, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang

oleh suatu aturan hukum, yang mana larangan tersebut disertai dengan ancaman

(sanksi) yang berupa pidana tertentu. Dalam hal ini ada hubungannya dengan asas

legalitas, yang mana tiada suatu perbuatan dapat dipidana melainkan telah diatur

dalam undang-undang, maka bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut

dan larangan tersebut sudah diatur dalam undang-undang, maka bagi para pelaku

dapat dikenai sanksi atau hukuman, sedangkan ancaman pidananya ditujukan

kepada orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula.

Hukum tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, yang dibentuk dengan

tujuan menciptakan ketertiban, suatu peraturan hukum adalah untuk keperluan

penghidupan masyarakat untuk mengutamakan masyarakatnya bukan kepentingan

perseorangan ataupun golongan, hukum juga menjaga hak-hak dan menentukan

kewajiban-kewajiban anggota masyarakatnya agar tercipta suatu masyarakat yang

teratur, damai, adil dan makmur.18

Perbuatan yang diancam dengan hukum pidana adalah perbuatan yang

secara mutlak harus memenuhi syarat formal, yaitu mencocokan dengan rumusan

16
Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma. hlm. 160-161.
17
Sudaryono dan Natangsa surbakti. 2005. Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. hlm. 112.
18
S. Wiljatmo. 1979. Pengantar Ilmu Hukum. Yogyakarta: Lukman Opset. hlm 20.
34

Undang-undang yang telah ditetapkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

dan peraturan-peraturan lain yang berdimensi pidana dan memiiliki unsur material

yaitu bertentangan dengan cita-cita mengenai pergaulan masyarakat atau dengan

kata pendek suatu sifat melawan hukum atau tindak pidana19.

Perbuatan yang dapat dikategorikan termasuk di dalam suatu perbuatan

melawan hukum atau tindak pidana atau tidak, maka dapat dilihat dari unsur-

unsur perbuatan tersebut. Adapun yang termasuk dalam unsur-unsur tindak pidana

menurut Hazewinkel-Suringa meliputi20:

1. Unsur kelakuan orang:


2. Unsur akibat (pada tindak pidana yang dirumuskan secara materiil);
3. Unsur Psikis (dengan sengaja atau dengan alpa);
4. Unsur objektif yang menyertai keadaan tindak pidana, seperti di muka
umum;
5. Unsur syarat tambahan untuk dapat dipidananya perbuatan (pasal 164, 165
KUHP) disyaratkan tindak pidana terjadi;
6. Unsur melawan hukum.

Perbuatan dapat dikatakan tindak pidana atau tidak bukan hanya diukur

dari unsur yang terdapat di dalamnya, tetapi pada dasarnya tindak pidana itu

sendiri terbagi atas beberapa bagian yang mana di dalam pembagian tersebut

diharapkan dapat mempermudah di dalam mencerna serta memahami semua

aturan yang terdapat didalam peraturan perundang-undangan, yang mana

pembagian dari tindak pidana meliputi atas21:

19
Moeljatno. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana
Cetakan Pertama. Yogyakarta: Bina Aksara. hlm. 24-25.
20
Ibid.. hlm. 115-116.
21
Ibid. hlm. 130-131.
35

1. Tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran;


2. Tindak pidana formal dan tindak pidana materiil;
3. Tindak pidana dengan kesengajaan dan tindak pidana kealpaan;
4. Tindak pidana aduan dan tindak pidana bukan aduan;
5. Tindak pidana commissionis, tindak pidana omissionis, dan tindak pidana
commissionis per omisionem commisa;
6. Delik yang berlangung terus dan delik yang tidak berlangsung terus;
7. Delik tunggal dan delik berganda;
8. Tindak pidana sederhana dan tindak pidana yang ada pemberatannya;
9. Tindak pidana ringan dan tindak pidana berat;
10. Tindak pidana ekonomi dan tindak pidana politik.

Berdasarkan unsur-unsur serta pembagian tindak pidana maka tindakan

penyalahgunaan narkotika termasuk dalam tindak pidana. Tindak pidana narkotika

yang dimaksud memberikan sanksi pidana yang cukup berat, namun demikian

dalam kenyataannya para pelaku kajahatan justru semakin meningkat dan bagi

para terpidana dalam kenyataannya tidak jera dan justru ada kecenderungan untuk

mengulanginya lagi. Hal ini dapat diakibatkan oleh adanya faktor penjatuhan

pidana yang tidak memberikan dampak atau deterrent effect terhadap para

pelakunya.

Dilihat dari uraian singkat dari arti penyalahgunaan narkotika tersebut

maka dapat digambarkan bahwa tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana

yang sangat kompleks, sehingga diperlukannya usaha pencegahan sejak dini baik

dalam bentuk penal (hukum pidana) dan non penal (diluar hukum pidana). Hal ini

dianggap perlu karena dampak dari tindak pidana narkotika tidak hanya

berdampak buruk bagi para pengguna narkotika saja, tapi dapat berdampak buruk

pada rusaknya generasi penerus bangsa dalam jangka panjang.


36

Sebelum diterbitkannya Undang-Undang Narkotika, banyak kasus yang

menyangkut narkotika yang berupa peredaran dan penyalahgunaan ekstasi, pil

koplo, dan sabu-sabu. Namun demikian pada waktu itu kasus-kasus tersebut tidak

mudah ditanggulangi karena perangkat undang-undangnya yang lemah.

Disamping itu Indonesia terikat pada ketentuan baru dalam Konvensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Paredaran Gelap Narkotika dan

Psikotropika Tahun 1998, karena Negara Indonesia telah meratifikasi konvensi

tersebut dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1997 tentang United Nations

Convention Against Illict Traffict in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances,

199822.

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan

atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan

rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan23. Di satu sisi narkotika

merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan

kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, di sisi lain dapat

menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa

adanya pengendalian serta pengawasan yang ketat dan seksama. Pada dasarnya

peredaran narkotika di Indonesia apabila ditinjau dari aspek yuridis adalah sah

keberadaannya. Undang-Undang Narkotika hanya melarang penggunaan

narkotika tanpa izin oleh undang-undang yang dimaksud. Keadaan yang demikian

ini dalam tataran empirisnya, penggunaan narkotika sering disalahgunakan bukan

22
Gatot Supramono. 2007. Hukum Narkoba Indonesia. Jakarta: Djambatan. hlm. 156.
23
Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
37

untuk kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi jauh dari pada

itu, dijadikan ajang bisnis yang menjanjikan dan berkembang pesat, yang mana

kegiatan ini berimbas pada rusaknya fisik maupun psikis mental pemakai

narkotika khususnya generasi muda.

Tindak pidana di bidang narkotika diatur dalam pasal 78 sampai dengan

pasal 100 undang-undang narkotika yang merupakan ketentuan khusus. Semua

ketentuan pidana tersebut jumlahnya 23 pasal, sedang ketentuan pidana dalam

undang-undang psikotropika berjumlah 24 pasal. Walaupun tidak disebutkan

secara tegas dalam undang-undang narkotika bahwa tindak pidana yang diatur

didalamnya adalah tindak pidana kejahatan, akan tetapi tidak perlu disangsikan

lagi semua tindak pidana didalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan.

Alasanya, kalau narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu

pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar kepentingan – kepentingan

tersebut sudah merupakan kejahatan, mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan

dari pemakaian narkotika secara tidak sah sangat membahayakan bagi jiwa

manusia.

Istilah narkotika yang dikenal di Indonesia dari sisi tata bahasa berasal dari

bahasa inggris narcotics yang berarti obat bius, yang sama artinya dengan kata

narcosis dalam bahasa Yunani yang berarti menidurkan atau membiuskan. Secara

umum narkotika diartikan suatu zat yang dapat menimbulkan perubahan perasaan,
38

suasana pengamatan/penglihatan karena zat tersebut mempengaruhi susunan

syaraf pusat24.

Penyalahgunaan narkotika merupakan jenis kejahatan yang mempunyai

(potensi) dampak sosial yang sangat luas dan kompleks, lebih-lebih ketika yang

melakukan anak-anak. Dampak sosial penyalahgunaan narkotika yang dilakukan

anak-anak itu bukan hanya disebabkan oleh karena akibat yang ditimbulkan akan

melahirkan penderitaan dan kehancuran baik fisik maupun mental yang teramat

panjang, tetapi juga oleh karena kompleksitas di dalam penanggulanganya

terutama ketika pilihan jatuh pada penggunaan hukum pidana sebagai sarananya.

Di dalam konsideran Undang-undang 35 tahun 2009 tentang Narkotika

pada huruf c, disebutkan bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan

yang bermanfaat dibidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan

pengembangan ilmu pengetahuan, dan disisi lain dapat pula menimbulkan

ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian

dan pengawasan yang ketat dan seksama. Maka dengan demikian narkotika

memang diperlukan dibidang kesehatan, tetapi harus diupayakan agar tidak

disalahgunakan, karena dapat menimbulkan ketergantungan (menjadi pecandu)

dan menimbulkan kerugian yang berdampak sangat luas, oleh karena itu

penyalahgunaan narkotika merupakan suatu kejahatan yang cukup berbahaya.

Pada pasal 1 angka 12 Undang-undang Narkotika, dijelaskan bahwa

pecandu adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan

dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.

24
Dit Narkoba Koserse Polri, Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap
Narkoba yang Dilaksanakan oleh Polri, Mabes Polri, Jakarta, 2002, hlm. 2.
39

Sementara pasal 1 angka 13 Undang-undang Narkotika, dijelaskan bahwa

ketergantungan narkotika adalah gejala dorongan untuk menggunakan narkotika

secara terus menerus, toleransi dan gejala putus nakotika apabila penggunaan

dihentikan. Sedangkan pasal 1 angka 14 Undang-undang Narkotika, dijelaskan

bahwa penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa

sepengetahuan dan pengawasan dokter. Sebagaimana yang diamanatkan dalam

konsideran Undang-undang Narkotika, bahwa ketersediaan narkotika jenis-jenis

tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat dimaksudkan untuk meningkatkan

derajat kesehatan masyarakat, namun disisi lain mengingat dampak yang dapat

ditimbulkan dan tingkat bahaya yang ada apabila digunakan tanpa pengawasan

dokter secara tepat dan ketat maka harus dilakukan tindakan pencegahan dan

pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

Oleh karena itu, dilakukan pengaturan narkotika dalam bentuk Undang-undang

Narkotika secara tegas menyebutkan tujuannya, dan dituangkan dalam pasal 13

Undang-undang Narkotika, sebagai berikut. Pengaturan narkotika bertujuan

untuk:

a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan


kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan;
b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika; dan
c. Memberantas peredaran gelap narkotika.
Memahami pengertian penyalahguna yang diatur dalam pasal 1 angka 14

Undang-undang Narkotika, maka secara sistematis dapat diketahui tentang

pengertian tentang penyalahgunaan narkotika, yaitu penyalahgunaan narkotika

tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter. Pengertian tersebut, juga tersirat

dari pendapat Dadang Hawari, yang menyatakan bahwa ancaman dan bahaya
40

pemakaian narkotika secara terus menerus dan tidak terawasi dan jika tidak segera

dilakukan pengobatan serta pencegahan akan menimbulkan efek ketergantungan

baik fisik maupun psikis yang sangat kuat terhadap pemakainya.

Atas dasar hal tersebut, secara sederhana dapat disebutkan bahwa

penyalahgunaan narkotika adalah pola penggunaan narkotika yang patologik

sehingga mengakibatkan hambatan dalam fungsi sosial.

Hambatan fungsi sosial dapat berupa kegagalan untuk memenuhi tugasnya

bagi keluarga atau teman-temannya akibat perilaku yang tidak wajar dan ekspresi

perasaan agresif yang tidak wajar, dapat pula membawa akibat hukum karena

kecelakaan lalu lintas akibat mabuk atau tindak kriminal demi mendapatkan uang

untuk membeli narkotika.

Dalam undang-undang narkotika juga mengenal ancaman pidana minimal,

namun ancaman pidana minimal ini dimaksudkan untuk pemberatan hukuman

saja, bukan untuk dikenakan perbuatan pokoknya. Ancaman pidana minimal

hanya dapat dikenakan apabila tindak pidananya didahului dengan pemufakatan

jahat, dilakukan secara terorganisasi, dilakukan oleh korporasi. Hal ini berbeda

dengan tindak pidana dibidang psikotropika, karena dalam undang-undang

psikotropika ancaman pidana minimal justru dikenakan pada perbuatan pokoknya,

sedangkan pemberatan hukuman untuk tindak pidana yang dilakukan secara

terorganisasi maupun dengan pemufakatan jahat tidak ada ancaman minimal

pidananya.

Pengkajian tentang penegakan hukum pidana atau criminal law

enforcement sebagai bagian dari criminal policy atau kebijakan penanggulangan


41

kejahatan. Dalam penanggulangan kejahatan dibutuhkan dua sarana, yakni

menggunakan penal atau sanksi pidana dan menggunakan sarana non penal yaitu

penanggulangan kejahatan tanpa menggunakan sanksi pidana (penal). Penegakan

hukum mempunyai sasaran agar orang taat kepada hukum. Ketaatan masyarakat

terhadap hukum disebabkan tiga hal, yakni: (1) takut berbuat dosa; (2) takut

karena kekuasaan dari pihak penguasa berkaitan dengan sifat hukum yang bersifat

imperatif; (3) takut karena malu berbuat jahat25.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika telah banyak

dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak mendapat putusan hakim.

Dengan demikian, penegakan hukum ini diharapkan mampu manjadi faktor

penangkal terhadap merebaknya perdagangan gelap serta peredaran narkotika.

Namun, dalam kenyataannya justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum,

semakin meningkat pula peredaran serta perdagangan narkotika tersebut.

Ketentuan perundang-undangan yang mengatur masalah narkotika telah

disusun dan diberlakukan, namun demikian kejahatan yang menyangkut tentang

narkotika belum dapat diredakan. Dalam banyak kasus terakhir, banyak bandar-

bandar dan pengedar yang tertangkap dan mendapat sanksi berat, namun pelaku

lain seperti tidak mengacuhkannya bahkan lebih cenderung untuk memperluas

daerah operasinya26.

Kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang pada masa sekarang telah

bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi yang tinggi dan

25
Siswantoro Sonarso. 2004. Penegakan Hukum Dalam Kajian Sosiologis. Jakarta: Raja
Grafindo Persada. hlm. 142.
26
O.C. Kaligis & Associates. 2002. Narkoba dan Peradilannya di Indonesia, Reformasi
Hukum Pidana Melalui Perundangan dan Peradilan. Bandung: Alumni. hlm. 260.
42

teknologi yang canggih, aparat penegak hukum diharapkan mampu mencegah dan

menanggulangi kejahatan tersebut guna meningkatkan moralitas dan kualitas

sumber daya manusia di Indonesia, khususnya bagi generasi penerus bangsa.

Kejahatan narkotika masih menjadi masalah kronis yang menimpa Indonesia.

Berbagai cara telah dilakukan oleh pemerintah untuk memberantas kejahatan yang

telah merenggut banyak nyawa anak bangsa ini. Salah satunya di bidang regulasi

yang ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997

tentang Narkotika. Seiring dengan perkembangan kejahatan narkotika, undang-

undang tersebut dianggap sudah tidak lagi memadai, maka kemudian dikeluarkan

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,

tujuan pengaturan narkotika adalah:

a. Untuk menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan


pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi;
b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari
penyalahgunaan narkotika;
c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;
d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi
penyalahguna dan pecandu narkotika.

Efektifitas berlakunya undang-undang ini sangatlah tergantung pada

seluruh jajaran aparat penegak hukum. Disisi lain, hal yang sangat penting adalah

perlu adanya kesadaran hukum dari seluruh lapisan masyarakat guna menegakkan

kewibawaan hukum dan khususnya terhadap undang-undang nomor 35 tahun

2009 tentang narkotika, maka peran para aparat penegak hukum bersama
43

masyarakat sangatlah penting dalam membantu proses penegakan hukum terhadap

tindak pidana narkotika yang akhir-akhir ini semakin marak.

F. Kerangka Teori

1. Teori Keadilan sebagai Grand Theory

a. Teori Keadilan Menurut Aristoteles

Dalam teorinya Keadilan adalah tindakan yang terletak diantara

memberikan terlalu banyak dan sedikit yang dapat diartikan memberikan sesuatu

kepada setiap orang sesuai dengan apa yang menjadi haknya. Keadilan berasal

dari kata “Adil” yangberarti tidak berat sebelah, tidak memihak : memihak pada

yang benar, berpegang pada kebenaran : sepatutnya, dan tidak sewenang-

wenang. Pada hakikatnya, keadilan adalah suatu sikap untuk memperlakukan

seseorang sesuai dengan haknya. Dan yang menjadi hak setiap orang adalah

diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya, yang sama

derajatnya, yang sama hak dan kewajibannya, tanpa membeda-bedakan suku,

keturunan, agama, dan golongan.

Dalam hal jual beli antara penjual dan pembeli memiliki hak dan

kewajiban yang sama dalam melakukan peralihan tanah yang akan dilepas dan

dimilikinya dalam hal ini PPAT berperan sebagai penengah dalam Hukum untuk

melakukan pensertifikatan sesuai dengan kesepakatan yang telah diperbuat

pembeli, penjual, dan tanah tersebut dihadapan hukum dalam melakukan

pengesyahan dalam akta otentik sehingga tidak terjadi perselisihan di kemudian

hari.
44

Aristoteles mengemukakan lima jenis perbuatan yang dapat digolongkan

adil. Kelima jenis keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles itu adalah sebagai

berikut:

1. Keadilan Komutatif

Keadilan komutatif adalah perlakuan terhadap seseorang dengan

tidak melihat jasa-jasa yang telah diberikannya.

2. Keadilan Distributif

Keadilan distributif adalah perlakuan terhadap seseorang sesuai

dengan jasa-jasa telah diberikannya.

3. Keadilan Kodrat Alam

Keadilan kodrat alam adalah memberi sesuatu sesuai dengan yang

diberikan oleh orang lain kepada kita.

4. Keadilan Konvensional

Keadilan Konvensional adalah kondisi jika seorang warga negara

telah menaati segala peraturan perundang-undangan yang telah

dikeluarkan.

5. Keadilan Perbaikan

Perbuatan adil menurut perbaikan adalah jika seseorang telah

berusaha memulihkan nama baik orang lain yang telah tercemar.

Misalnya, orang yang tidak bersalah maka nama baiknya harus

direhabilitasi.27

27
http://pusatinformasi212.blogspot.co.id/2017/04/teori-keadilan-menurut-aristoteles-
plato-thomas-hobbes.html, accessed on 1 December 2018.
45

b. Teori Keadilan John Rawls

Di dalam perkembangan pemikiran filsafat hukum dan teori hukum, tentu

tidak lepas dari konsep keadilan. Konsep keadilan tindak menjadi monopoli

pemikiran satu orang ahli saja. Banyak para pakar dari berbegai didiplin ilmu

memberikan jawaban apa itu keadilan. Thomas Aqunas, Aristoteles, John Rawls,

R. Dowkrin, R. Nozick dan Posner sebagian nama yang memberikan jawaban

tentang konsep keadilan28.

Dari beberapa nama tersebut John Rawls, menjadi salah satu ahli yang

selalu menjadi rujukan baik ilmu filsafat, hukum, ekonomi, dan politik di seluruh

belahan dunia, tidak akan melewati teori yang dikemukakan oleh John Rawls.

Terutama melalui karyanya A Theory of Justice, Rawls dikenal sebagai salah

seorang filsuf Amerika kenamaan di akhir abad ke-20. John Rawls dipercaya

sebagai salah seorang yang memberi pengaruh pemikiran cukup besar terhadap

diskursus mengenai nilai-nilai keadilan hingga saat ini.

Akan tetapi, pemikiran John Rawls tidaklah mudah untuk dipahami,

bahkan ketika pemikiran itu telah ditafsirkan ulang oleh beberapa ahli, beberapa

orang tetap menggap sulit untuk menangkap konsep kedilan John Rawls. Maka,

tulisan ini mencoba memberikan gambaran secara sederhana dari pemikiran John

Rawls, khususnya dalam buku A Theory of Justice. Kehadiran penjelasan secara

sederhana menjadi penting, ketika disisi lain orang mengangap sulit untuk

memahami konsep keadilan John Rawls.

Teori keadilan Rawls dapat disimpulkan memiliki inti sebagai berikut:

28
https://ilhamendra.wordpress.com/2010/10/19/teori-keadilan-john-rawls-pemahaman-
sederhana-buku-a-theory-of-justice/ accessed on 4 December 2018.
46

Memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini

hanya untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri,Kesetaraan bagi semua orang,

baik kesetaraan dalam kehidupan sosial maupun kesetaraan dalam bentuk

pemanfaatan kekayaan alam (“social goods”). Pembatasan dalam hal ini hanya

dapat dizinkan bila ada kemungkinan keuntungan yang lebih besar.Kesetaraan

kesempatan untuk kejujuran, dan penghapusan terhadap ketidaksetaraan

berdasarkan kelahiran dan kekayaan.

Untuk meberikan jawaban atas hal tersebut, Rows melahirkan 3 (tiga)

pronsip kedilan, yang sering dijadikan rujukan oleh bebera ahli yakni:

Prinsip Kebebasan yang sama (equal liberty of principle)Prinsip perbedaan

(differences principle)Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle)

Rawls berpendapat jika terjadi benturan (konflik), maka: Equal liberty

principle harus diprioritaskan dari pada prinsip-prinsip yang lainnya. Dan, Equal

opportunity principle harus diprioritaskan dari pada differences principle.

Dariman tiga prinsip tersebut dilahirkan? Untuk memahami hal tesebut,

kita dapat mulai dari gambar dibawah ini.

Pembahasan dibawah ini, akan mengacu kepada penomoran yang terdapat

pada gambar di atas.

Poin 1. Keadilan adalah Kejujuran (Justice as Fairness)


47

Masyarakat adalah kumpulan individu yang di satu sisi menginginkan

bersatu karena adanya ikatan untuk memenuhi kumpulan individu – tetapi disisi

yang lain – masing-masing individu memiliki pembawaan serta hak yang berbeda

yang semua itu tidak dapat dilebur dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu Rows

mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan, bagaimana mempertemukan hak-

hak dan pembawaan yang berbeda disatupihak dengan keinginan untuk bersama

demi terpenuhnya kebutuhan bersama?

Poin 2. Selubung Ketidaktahuan (Veil of Ignorance)

Setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan

tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu,

sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang

tengah berkembang.Orang-orang atau kelompok yang terlibat dalam situasi yang

sama tidak mengetahui konsepsi-konsepsi mereka tentang kebaikan.

Poin 3. Posisi Original (Original Position)

Situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap orang di dalam

masyarakatTidak ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan

yang lainnya.Pada keadaan ini orang-orang dapat melakukan kesepakatan dengan

pihak lainnya secara seimbang.

“Posisi Original” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif

dengan didasari oleh ciri Rasionalitas (rationality), Kebebasan (freedom), dan

Persamaan (equality). Guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure

of society).

Poin 4. Prinsip Kebebasan yang Sama (Equal Liberty Principle)


48

Setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar

yang paling luas dan kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang

lain. “Setiap orang mempunyai kebebasan dasar yang sama”.

Dalam hal ini kebebasan-kebebasan dasar yang dimaksud antara lain:

kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan

mengemukakan ekspresi (freedom of speech and expression), kebebasan personal

(liberty of conscience and though), kebebasan untuk memiliki kekayaan (freedom

to hold property), kebebasan dari tindakan sewenang-wenang.

Poin 5. Prinsip Ketidaksamaan (Inequality Principle)

Difference principle (prinsip perbedaan) – Ketidaksamaan sosial dan

ekonomi diatur sedemikian rupa, sehingga diperoleh manfaat sebesar-besarnya

bagi anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan. Equal opportunity

principle (prinsip persamaan kesempatan)- Jabatan-jabatan dan posisi-posisi harus

dibuka bagi semua orang dalam keadaan dimana adanya persamaan kesempatan

yang adil.

Jadi sebenarnya ada 2 (dua) prisip keadilan Rows, yakni equal liberty

principle dan inequality principle. Akan tetapi inequality principle melahirkan 2

(dua) prinsip keadilan yakni Difference principle dan Equal opportunity principle,

yang akhirnya berjunlah menjadi 3 (tiga) prisip, dimana ketiganya dibangun dari

kotrusi pemikiran Original Position.

c. Teori Keadilan Bermartabat

Teori keadilan bermartabat dicetuskan oleh Prof. Teguh Prasetyo , disebut

bermartabat karena teori dimaksud adalah merupakan suatu bentuk pemahaman

dan penjelasan yang memadai (ilmiah) mengenai koherensi dari konsep-konsep


49

hukum di dalam kaidah dan asas-asas hukum yang berlaku serta doktrin-doktrin

yang sejatinya merupakan wajah, struktur atau susunan dan isi serta ruh atau roh

(the spirit) dari masyarakat dan bangsa yang ada di dalam sistem hukum

berdasarkan Pancasila, yang dijelaskan oleh teori keadilan bermartabat itu

sendiri29.

Teori keadilan bermartabat berangkat dari postulat sistem; bekerja

mencapai tujuan, yaitu keadilan yang bermartabat. Keadilan yang memanusiakan

manusia, atau keadilan yang nge wong ke wong. Seperti diketahui, imperium

hukum adalah imperium akal budi, karsa dan rasa seorang anak manusia, dimana

pun dia berada menjalani kehidupannya. Hal ini sejalan dengan prinsip dalam

teori keadilan bermartabat yang peduli dalam memanfaatkan kesempatan yang

diberikan Tuhan kepadanya untuk membantu sesamanya melalui kegiatan

berpikir; memanusiakan manusia.

Sebagai suatu sistem berpikir atau berfilsafat (jurisprudence) yang identik

dengan apa yang dikenal dalam banyak literature dunia sebagai legal theory atau

teori hukum, maka postulat dasar lainnya dari teori keadilan bermartabat itu tidak

sekedar mendasar dan radikal. Lebih daripada mendasar dan radikal, karakter teori

keadilan bermartabat itu, antara lain juga adalah suatu sistem filsafat hukum yang

mengarahkan atau memberi tuntutan serta tidak memisahkan seluruh kaidah dan

asas atau substantive legal disciplines.

29
Teguh Prasetyo, 2015, Keadilan Bermartabat, Perspektif Teori Hukum, Bandung:
Nusamedia, h.. 4-6
50

Termasuk di dalam substantive legal disciplines, yaitu jejaring nilai

(values) yang saling terkait, dan mengikat satu sama lain. Jejaring nilai yang

saling kait-mengait itu dapat ditemukan dalam berbagai kaidah, asas-asas atau

jejaring kaidah dan asas yang inheren di dalamnya nilai-nilai serta virtues yang

kait-mengait dan mengikat satu sama lain itu berada. Jejaring nilai dalam kaidah

dan asas-asas hukum itu ibarat suatu struktur dasar atau fondasi yang

menyebabkan suatu bangunan besar atau fabric menjadi utuh dan spesifik, hidup,

karena ada jiwanya atau the living law dan yang berlaku juga benar dalam satu

unit politik atau negara tertentu. Bangunan sistem hukum yang dipahami melalui

teori keadilan bermartabat tersebut yaitu NKRI.

Tujuan di dalam fabric NKRI itu, antara lain dapat ditemukan di dalam

Pembukaan UUD 1945 sebelum diamandemen. Dirumuskan di dalam Pembukaan

UUD 1945 sebelum diamandemen, tujuan yang hendak dicapai sistem hukum

NKRI, antara lain yaitu: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu

Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan.”

Teori keadilan bermartabat menganut suatu prinsip bahwa sekalipun ilmu

hukum itu tersusun dari 4 (empat) susunan atau lapisan yakni: Filsafat Hukum

(Philosophy of Law), Teori Hukum (Legal Theory), Dogmatik Hukum

(Jurisprudence), serta Hukum dan Praktek Hukum (Law and Legal Practice).

Memahami ilmu hukum secara utuh berarti memahami keempat lapisan hukum
51

tersebut secara kait-mengait. Lapisan yang di atas mendikte (the law dictate), atau

menerangi atau memberi pengayaan terhadap lapisan ilmu hukum di bawahnya.

Begitu pula seterusnya. Lapisan yang di bawahnya lagi menerangi lapisan-lapisan

selanjutnya, kea rah bawah (top-down), secara sistematik.

Sekalipun terlihat bahwa lapisan ilmu dalam teori keadilan bermartabat itu

adalah lapisan yang saling terpisah antara satu dengan lapisan lainnya, namun

pada prinsipnya lapisan-lapisan ilmu hukum itu merupakan satu kesatuan

sistemik, mengendap, hidup dalam satu sistem. Saling berkaitan antara satu

dengan lainnya, bahu membahu (shoulder to shoulder), gotong-royong sebagai

suatu sistem.

Hukum dipahami oleh teori keadilan bermartabat sampai ke hakikat,

esensi, atau substansi yang dipikirkan. Hukum dalam perspektif teori keadilan

bermartabat tidak sekedar dilihat, atau dipahami melalui pengetahuan hasil

tangkapan inderawi atau physical saja, namun lebih dalam dari sekedar

pemahaman hukum melalui pengetahuan inderawi itu, teori keadilan bermartabat

menelusuri dan menangkap dengan akal pengetahuan hukum yang hakiki, yaitu

pengetahuan hukum yang mendasari segala pengetahuan inderawi. Dengan

demikian, teori keadilan bermartabat dipahami bukan hanya sebagai suatu teori

hukum. Lebih daripada itu, teori keadilan bermartabat juga adalah suatu filsafat

hukum yang identik dengan suatu sistem hukum positif.

Teori keadilan bermartabat juga menelaah praktik, penegakan atau

aktivitas dari hukum positif itu memecahkan persoalan-persoalan manusia dan

masyarakat sehari-hari dari suatu perspektif hukum, sampai ke hakikat yang


52

paling dalam, hakikat yang melampaui pengetahuan inderawi. Suatu pandangan

yang konkret dari teori keadilan bermartabat itu adalah suatu usaha untuk

memahami atau mendekati pikiran Tuhan.

Sekalipun apa yang diamati oleh teori keadilan bermartabat itu bukan saja

suatu lapisan nyata tetapi juga kadang kala terpaksa untuk mengamati “lapisan”

yang dibuat-buat yang menghiasi layar-layar pertelevisian. Namun yang

diusahakan untuk diungkap oleh teori keadilan bermartabat adalah semua ciri-ciri

hukum yang biasanya dimulai dengan sejumlah issue yang memancing rasa ingin

tahu seorang filsuf hukum.

Asal-usul teori keadilan bermartabat yakni tarik-menarik antara lex eterna

(arus atas) dan Volkgeist (arus bawah) dalam memahami hukum sebagai usaha

untuk mendekati pikiran Tuhan, menurut sistem hukum berdasarkan Pancasila.

Pendekatan teori keadilan bermartabat, hukum sebagai filsafat hukum, teori

hukum, dogmatik hukum, maupun hukum dan praktek hukum; dialektika secara

sistematik. Tujuan teori keadilan bermartabat, menjelaskan apa itu hukum.

Teori keadilan bermartabat mengamati, mengklasifikasi, menguji, serta

memfalsifikasi serta menjustifikasi berbagai kaidah dan asas-asas hukum yang

terdapat dan berlaku di dalam satu sistem hukum. Teori keadilan bermartabat juga

mengamati, menganalisis dan menemukan serta mengatur tata tertib di dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara atau bermasyarakat tetapi juga terhadap

individu, khususnya manusia, masyarakat bangsa Indonesia.

Sebagai suatu pemikiran filasafat, sesuai dengan ciri mendasar atau

radikalnya, teori keadilan bermartabat memiliki ajakan untuk mendekati hukum


53

secaara filosofis. Teori keadilan bermartabat dengan kata lain memiliki ajakan

untuk memahami hukum dengan cinta kepada kebijaksanaan, filsafat artinya

mencintai kebijaksanaan.

Teori keadilan bermartabat juga menelaah praktik, penegakan atau

aktivitas dari hukum positif itu memecahkan persoalan-persoalan manusia dan

masyarakat sehari-hari dari suatu perspektif hukum, sampai ke hakikat yang

paling dalam, hakikat yang melampui pengetahuan inderawi.

Hukum dipahami oleh teori keadilan bermartabat sampai ke hakikat,

esensi, atau substansi yang dipikirkan. Itulah makna teori keadilan bermartabat

sebagai suatu filsafat hukum. Hukum dalam perspektif teori keadilan bermartabat

tidak sekedar dilihat atau dipahami melalui pengetahuan hasil tangkapan inderawi

atau physical saja. Namun, lebih dalam dari sekedar pemahaman hukum melalui

pengetahuan inderawi itu, teori keadilan bermartabat menelusuri dan menangkap

dengan akal pengetahuan hukum yang hakiki, yaitu pengetahuan hukum yang

mendasari segala pengetahuan inderawi.

Keadilan bemartabat adalah suatu teori hukum atau apa yang dikenal

dalam literatur berbahasa Inggris dengan konsep legal theory, jurisprudence atau

philosophy of law dan pengetahuan mengenai hukum substantif dari suatu sistem

hukum. Ruang lingkup teori keadilan bermartabat tidak hanya pengungkapan

dimensi yang abstrak dari kaidah dan asas-asas hukum yang berlaku. Lebih jauh

daripada itu, teori keadilan bermartabat mengungkap pula semua kaidah dan asas-

asas hukum yang berlaku di dalam sistem hukum, dalam hal ini sistem hukum

dimaksud yaitu sistem hukum positif Indonesia; atau sistem hukum, berdasarkan
54

Pancasila. Itu sebabnya, Keadilan Bermartabat, disebut di dalam judul buku ini

sebagai suatu teori hukum berdasarkan Pancasila.

Teori keadilan bermartabat tidak hanya menaruh perhatian kepada lapisan

fondasi hukum yang tampak di permukaan dari suatu sistem hukum. Teori

keadilan bermartabat juga berusaha menelusuri dan mengangkap lapisan fondasi

hukum yang berada di bawah permukaan fondasi hukum dari sistem hukum yang

tampak itu. Teori keadilan bermartabat, sesuai dengan ciri filosofis yang

dimilikinya berusaha menggali nilai-nilai atau fondasi lama di bawah permukaan

fondasi sistem hukum yang tampak saat ini, serta mendobrak dari bawah landasan

kolonial. Fondasi yang sudah lama ada di dalam jiwa bangsa oleh teori keadilan

bermartabat dipandang sebagai bottom-line dari suatu sistem hukum dimana

seluruh isi bangunan sistem itu diletakkan dan berfungsi mengejar tujuannya

yaitu keadilan.

Teori keadilan bermartabat mengemukakan suatu dalil bahwa sekalipun

konsep-konsep seperti the rule of law dan rechtsstaat itu secara etimologis

sinonim dengan negara hukum, namun kedua konsep itu tidak dapat dipersamakan

begitu saja dengan konsep negara hukum atau konsep negara hukum berdasarkan

Pancasila. Teori keadilan bermartabat sampai pada dalil seperti itu setelah

menemukan bahwa hasil penggalian terhadap nilai-nilai luhur Pancasila sebagai

sumber hukum utama mengingat nilai-nilai dan ukuran perilaku yang baik itu

adalah values dan virtues yang paling sesuai dengan nilai-nilai bangsa. Nilai-nilai

Pancasila sebagai kesepakatan pertama, menurut teori keadilan bermartabat

kemudian dijadikan sebagai nilai-nilai yang berasal dari satu sumber hukum
55

filosofis, sumber hukum historis, dan sumber hukum sosiologis sebagai satu

paket. Hal itu dikarenakan, semua nilai dan standar perilaku baik itu ternyata ada

di dalam, serta sama dan sebangun dengan hukum itu sendiri.

d. Keadilan Religius dalam Islam

Islam memerintahkan kepada setiap manusia untuk berbuat adil atau

menegakkan keadilan pada setiap tindakandan perbuatan yang dilakukan (Qs. an-

Nisaa (4): 58):

‫ه‬ َّ ‫ه‬ ۡ ‫َّ َّ ه ه ۡ ُ ُ ُ ۡ ه ُ ه ُّ ْ ۡ ه ه َٰ ه َٰ ه ٰٓ ه ۡ ه ه ه ه ۡ ُ ه‬


ِ ‫ت إَِل أهلِها ِإَوذا حكمتم بۡي ٱنل‬
‫اس أن‬ ِ ‫۞إِن ٱّلل يأمركم أن تؤدوا ٱۡلمن‬
‫ٱّلل هَك هن هسم ه‬
ٗ ‫يعَۢا به ِص‬ ‫ه‬ َّ َّ ُ ُ ‫ه ۡ ُ ُ ْ ۡ ه ۡ َّ َّ ه َّ ه‬
٥٨ ‫ريا‬ ِ ‫ن‬ ‫إ‬
ِ ِ‫ۦ‬ِ ‫ه‬ ‫ب‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫َتكموا ب ِٱلعد ِل إِن ٱّلل ن ِ ِعما ي ِعظ‬

“Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya, dan (menyuruh kamu) apa bila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar dan Maha Melihat”.
Dalam Al-Qur’an Surat an-Nisaa ayat 135 juga dijumpai perintah kepada

orang-orang yang beriman untuk menjadi penegak keadilan, yaitu:

ُ
ۡ‫كم‬ ُ ‫ُ ه ه ه َّ ه ه ۡ ه ه ٰٓ ه‬ ۡ ۡ ‫ه ه ُّ ه َّ ه ه ه ُ ْ ُ ُ ْ ه َّ ه‬
ِ ‫۞يأيها ٱَّلِين ءامنوا كونوا قوَٰمِۡي ب ِٱلقِس ِط شهداء ِّللِ ولو لَع أنف‬
‫س‬ ٰٓ
ْ ُ َّ ‫ه ُ ۡ ه ًّ ه ۡ ه ٗ ه َّ ُ ه ۡ ه َٰ ه ه ه ه‬ ‫ه‬ ‫ه‬ ۡ ‫ه ۡ ه َٰ ه ۡ ه ۡ ه‬
‫أوِ ٱلو ِِلي ِن وٱۡلقربِۡين إِن يكن غنِيا أو فقِريا فٱّلل أوَل ب ِ ِهماۖ فَل تتبِعوا‬
ٗ ‫ه ۡ ُ ْ ه ۡ ُ ۡ ُ ْ ه َّ َّ ه ه ه ه ه ۡ ه ُ ه ه‬ ْ ُ ۡ ‫ۡ ه ه ٰٓ ه ه‬
١٣٥ ‫ٱلهوى أن تع ِدل نوا ِإَون تلوۥا أو تع ِرضوا فإِن ٱّلل َكن بِما تعملون خبِريا‬

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-


benarpenegak keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap dirimu
sendiri atau Ibu, Bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia, kaya ataupun miskin, maka
Allah lebih tahu kemasalahatanya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dan kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan
56

(kata-kata) atau dengan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha


Mengetahui Segalanya apa yang kamu lakukan”.
Perintah untuk berlaku adil atau menegakkan keadilan dalam menerapkan

hukum tidak memandang perbedaan agama, sebagaimana ditegaskan dalam Al-

Qur’an Surat as-Syuura (42) ayat 15, yakni:

‫ه ه َٰ ه ه ۡ ُ ه ۡ ه ۡ ه ه ُ ۡ ه ه ه ه َّ ۡ ه ۡ ه ه ُ ۡ ه ُ ۡ ه ه ُ ه ه ه ه‬
‫فلِذل ِك فٱدع ۖ وٱستقِم كما أمِرت ۖ وَل تتبِع أهواءهمۖ وقل ءامنت بِما أنزل‬
ۡ‫كم‬ ُ ‫ه َٰ ه ُ ۡ ُ ه ۡ ه ه ۡ ه ُ ُ َّ ُ ه ُّ ه ه ه ُّ ُ ۡ ه ه ه ۡ ه َٰ ُ ه ه ه‬ ُ َّ
‫ب وأمِرت ِۡلع ِدل بينكمۖ ٱّلل ربنا وربكمۖ نلا أعملنا ول‬ ٖۖ ‫ٱّلل مِن كِت‬
ُ ‫ه‬ ۡ ۡ ‫ه ۡ ه ُ ُ ۡ ه ُ َّ ه ه ۡ ه ه ه ه ۡ ه ُ ُ َّ ُ ه ۡ ه ُ ه ۡ ه ه ه‬
١٥ ‫أعمَٰلكمۖ َل حجة بيننا وبينكمۖ ٱّلل َيمع بينناۖ ِإَوَلهِ ٱلم ِصري‬

“Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana
diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan
katakanlah: “Aku beriman kepada semua kitab yaig diturunkan Allah dan aku
diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Bagi kami amal-amal kami
dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu
Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kebali (kita)”.
Begitu pentingnya berlaku adil atau menegakkan keadilan, sehingga Tuhan

memperingatkan kepada orang-orang yang beriman supaya jangan karena

kebencian terhadap suatu kaum sehingga memengaruhi dalam berbuat adil,

sebagaimana ditegaskan dalam A1-Qur’an Surat al-Maidah (5) ayat 8, yakni:

ۡ‫كم‬ ُ َّ ‫ه ٰٓ ه ُّ ه َّ ه ه ه ُ ْ ُ ُ ْ ه َّ َٰ ه َّ ُ ه ه ه ۡ ۡ ٖۖ ه ه ه ۡ ه‬
‫يأيها ٱَّلِين ءامنوا كونوا قومِۡي ِّللِ شهداء ب ِٱل ِقس ِط وَل َي ِرمن‬
َّ َّ ‫ه ه ه ُ ه ۡ ه ه ٰٓ ه َّ ه ۡ ُ ن ْ ۡ ُ ْ ُ ه ه ۡ ه ُ َّ ۡ ه َٰ ه َّ ُ ْ َّ ه‬
‫ٱّلله‬ ‫شنان قو ع لَع لَل تع ِدلوا ٱع ِدلوا هو أقرب ل ِلتقوىۖ وٱتقوا ٱّللن إِن‬
‫ه ُ ه‬ ُ ‫هخب‬
٨ ‫ري َۢ ب ِ هما ت ۡع هملون‬ِ

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu Untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
takwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
57

Keadilan dalam sejarah perkembangan pemikiran Filasafat Islam tidak

terlepas dan persoalan keterpaksaan dan kebebasan. Para Teolog muslim terbagi

dalam dua kelompok, yaitu Kaum Mu’tazilah yang membela keadilan dan

kebebasan, sedangkan Kaum Asy’ari yang membela keterpaksaan. Kaum Asy’ari

menafsirkan keadilan dengan tafsiran yang khas yang menyatakan Allah itu adil,

tidak berarti bahwa Allah mengikuti hukum-hukum yang sudah ada sebelumnya,

yaitu hukum-hukum keadilan tetapi berarti Allah merupakan rahasia bagi

munculnya keadilan. Setiap yang dilakukan oleh Allah adalah adil dan bukan

setiap yang adil harus dilakukan oleh Allah, dengan demikian keadilan bukan lah

tolok ukur untuk perbuatan Allah melainkan perbuatan Allahlah yang menjadi

tolok ukur keadilan. Adapun Kaum Mu’tazilah yang membela keadilan

berpendapat bahwa keadilan memiliki hakikat yang tersendiri dan sepanjang Allah

mahabijak dan adil, maka Allah melaksanakan perbuatannya menurut kriteria

keadilan.

Murtadha Muthahhari30 mengemukakan bahwa konsep adil dikenal dalam

empat hal; pertama, adil bermakna keseimbangan dalam arti suatu masyarakat

yang ingin tetap bertahan dan mapan, maka masyarakat tersebut harus berada

dalam keadaan seimbang, di mana segala sesuatu yang ada di dalamnya harus

eksis dengan kadar semestinya dan bukan dengan kadar yang sama.

Keseimbangan sosial mengharuskan kita melihat neraca kebutuhan dengan

pandangan yang relatif melalui penentuan keseimbangan yang relevan dengan

menerapkan potensi yang semestinya terhadap keseimbangan tersebut. Al-Qur’an

30
Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi: Azas Pandangan Dunia Islam, 1995, Bandung:
Mizan, hlm. 53-58.
58

Surat ar-Rahman 55:7 diterjemahkan bahwa: “Allah meninggikan langit dan dia

meletakkan neraca (keadilan)”.

Para ahli tafsir menyebutkan bahwa, yang dimaksud oleh ayat tersebut

adalah keadaan alam yang diciptakan dengan seimbang. Alam diciptakan dan

segala sesuatu dan dan setiap materi dengan kadar yang semestinya dan jarak-

jarak diukur dengan cara yang sangat cermat. Kedua, adil adalah persamaan

penafian terhadap perbedaan apa pun. Keadilan yang dimaksudkan adalah

memelihara persamaan ketika hak memilikinya sama, sebab keadilan mewajibkan

persamaan seperti itu, dan mengharuskannya. Ketiga, adil adalahmemelihara hak-

hak individu dan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya.

Keadilan seperti ini adalah keadilan sosial yang harus dihormati di dalam hukum

manusia dan setiap individu diperintahkan untuk menegakkannya. Keempat, adil

adalah memelihara hak atas berlanjutnya eksistensi.

Konsepsi keadilan Islam menurut Qadri31 mempunyai arti yang lebih

dalam daripada apa yang disebut dengan keadilan distributif dan finalnya

Aristoteles; keadilan formal hukum Romawi atau konsepsi hukum yang dibuat

manusia lainnya. Ia merasuk ke sanubari yang paling dalam dan manusia, karena

setiap orang harus berbuat atas nama Tuhan sebagai tempat bermuaranya segala

hal termasuk motivasi dan tindakan. Penyelenggaraan keadilan dalam Islam

bersumber pada Al-Qur’an serta kedaulatan rakyat atau komunitas Muslim yakni

umat.

31
AA. Qadri, Sebuah Potret Teori dan Praktek Keadilan
Dalam Sejarah Pemerintahan Muslim, 1987, Yogyakarta: PLP2M, hlm. 1
59

Makna yang terkandung pada konsepsi keadilan Islam ialah menempatkan

sesuatu pada tempatnya, membebankan sesuatu sesuai daya pikul seseorang,

memberikan sesuatu yang memang menjadi haknya dengan kadar yang seimbang.

Prinsip pokok keadilan digambarkan oleh Madjid Khadduri32 dengan

mengelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu aspek substantifdan prosedural

yang masing-masing meliputi satu aspek dan keadilan yang berbeda. Aspek

substantif berupa elemen-elemen keadilan dalam substansi syariat (keadilan

substantif), sedangkan aspek prosedural berupa elemen-elemen keadilan dalam

hukum prosedural yang dilaksanakan (keadilan prosedural).

Manakala kaidah-kaidah prosedural diabaikan atau diaplikasikan secara

tidak tepat, maka ketidakadilan prosedural muncul. Adapun keadilan substantif

merupakan aspek internal dan suatu hukum di mana semua perbuatan yang wajib

pasti adil (karena firman Tuhan) dan yang haram pasti tidak adil (karena wahyu

tidak mungkin membebani orangorang yang beriman suatu kezaliman). Aplikasi

keadilan prosedural dalam Islam dikemukakan oleh Ali bin Abu Thalib 33 pada

saat perkara di hadapan hakim Syuraih dengan menegur hakim tersebut sebagai

berikut:

1. Hendaklah samakan (para pihak) masuk mereka ke dalam majelis, jangan

ada yang didahulukan.

2. Hendaklah sama duduk mereka di hadapan hakim.

3. Hendaklah hakim menghadapi mereka dengan sikap yang sama.

32
Madjid Khadduri, Teologi Keadilan (Perspektf Islam), 1999, Surabaya: Risalah
Gusti, hlm.119-201.
33
Hamka, Tafsir Al-azhar Jus V, 1983, Jakarta: Putaka Panji Mas, hlm. 125.
60

4. Hendaklah keterangan-keterangan mereka sama didengarkan dan

diperhatikan.

5. Ketika menjatuhkan hukum hendaklah keduanya sama mendengar.

Imam Ali mengatakan bahwa prinsip keadilan merupakan prinsip yang

signifikan dalam memelihara keseimbangan masyarakat dan mendapat perhatian

publik. Penerapannya dapat menjamin kesehatan masyarakat dan membawa

kedamaian kepada jiwa mereka. Sebaliknya penindasan, kezaliman, dan

diskriminasi tidak akan dapat membawa kedamaian dan kebahagiaan.

2. Teori Pemidanaan Sebagai Middle Theory

A. Teori Pemidanaan

Teori tujuan sebagai Theological Theory dan teori gabungan sebagai

pandangan integratif di dalam tujuan pemidanaan beranggapan bahwa

pemidanaan mempunyai tujuan pliural, di mana kedua teori tersebut

menggabungkan pandangan Utilitarian dengan pandangan Retributivist.

Pandangan Utilitarians yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus

menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan dan pandangan

retributivist yang menyatakan bahwa keadilan dapat dicapai apabula tujuan yang

Theological tersebut dilakukan dengan menggunakan ukuran prinsip-prinsip

keadilan34.

34
Muladi. 2002 Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung, hlm.8
61

Beberapa teori yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan adalah sebagai

berikut :

1) Teori Absolut / Retribusi

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang yang telah

melakukan suatu tindak pidana atau kejahatan.

Imamanuel Kant memandang pidana sebagai “Kategorische Imperatif”

yakni seseorang harus dipidana oleh Hakim karena ia telah melakukan kejahatan

sehingga pidana menunjukan suatu tuntutan keadilan. Tuntutan keadilan yang

sifatnya absolute ini terlihat pada pendapat Imamanuel Kant di dalam bukunya

“Philosophy of Law” sebagai berikut :

Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk

mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi sipelaku itu sendiri maupun bagi

masyarakat tapi dalam semua hal harus dikenakan karena orang yang

bersangkutan telah melakukan sesuatu kejahatan35.

Mengenai teori pembalasan tersebut, Andi Hamzah juga memberikan

pendapat sebagai berikut :

Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk

yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang

mengandung unsur-unsur dijatuhkan pidana. Pidana secara mutlak, karena

35
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni.
Bandung, hlm.14
62

dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan

pidana”36.

Artinya teori pembalasan tidak memikirkan bagaimana membina

sipelaku kejahatan, padahal sipelaku kejahatan mempunyai hak untuk dibina dan

untuk menjadi manusia yang berguna sesuai dengan harkat dan martabatnya.

2) Teori Tujuan / Relatif

Pada penganut teori ini memandang sebagaimana sesuatu yang dapat

digunakan untuk mencapai pemanfaatan, baik yang berkaitan dengan orang yang

bersalah maupun yang berkaitan dengan dunia luar, misalnya dengan

mengisolasi dan memperbaiki penjahat atau mencegah penjahat potensial, akan

menjadikan dunia tempat yang lebih baik37.

Dasar pembenaran dari adanya pidana menurut teori ini terletak pada

tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena orang membuat

kesalahan) melakukan ne peccetur (supaya orang jangan melakukan kejahatan),

maka cukup jelas bahwa teori tujuan ini berusaha mewujudkan ketertiban dalam

masyarakat38.

Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, biasa dibedakan

menjadi dua istilah, yaitu :

1) Prevensi special (speciale preventie) atau Pencegahan Khusus

36
Samosir, Djisman. 1992. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di
Indonesia. Bina Cipta. Bandung, hlm. 67
37
Muladi. 2002, Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung, hlm. 50
38
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni.
Bandung, hlm. 87
63

Bahwa pengaruh pidana ditunjukan terhadap terpidana, dimana prevensi

khusus ini menekankan tujuan pidana agar terpidana tidak mengulangi

perbuatannya lagi. Pidana berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki terpidana

untuk menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, sesuai dengan harkat

dan martabatnya.

2) Prevensi General (Generale Prevenie) atau Pencegahan Umum

Prevensi General menekankan bahwa tujuan pidana adalaha untuk

mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat. Pengaruh pidana

ditunjukan terhadap masyarakat pada umumnya dengan maksud untuk menakut-

nakuti. Artinya pencegahan kejahatan yang ingin dicapai oleh pidana adalah

dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk

tidak melakukuan tindak pidana.

Menurut Johan Andenaes terdapat tiga bentuk pengaruh dalam

pengertiannya prevensi general yaitu :

a) Pengaruh pencegahan.

b) Pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral.

c) Pengaruh untuk mendorong suatu kebiasaan pembuatan patuh pada

hukum.
64

Sehubungan yang dikemukakan oleh Johan Andenaes, maka

Van Veen berpendapat bahwa prevensi general mempunya tiga fungsi39,

yaitu :

a) Menegakan Kewibawaan

b) Menegakan Norma

c) Membentuk Norma.

3) Teori Gabungan

Teori gabungan adalah kombinasi dari teori relatif. Menurut teori

gabungan, tujuan pidana selalu membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan

untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban dengan ketentuan

beratnya pidana tidak boleh melampaui batas pembalasan yang adil40.

Menurut Pellegrino Rossi dalam bukunya “Traite de Droit Penal” yang

ditulis pada tahun 1828 menyatakan: ‘Sekalipun pembalasan sebagai asas dari

pidana bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil,

namun pidana mempunya berbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang

rusak dalam masyarakat dan prevensi general’41

Terhadap teori gabungan ini terdapat tiga aliran yang mempengaruh, yaitu:

Teori gabungan yang menitikberatkan unsur pembalasan, tetapi sifatnya yang

berguna bagi masyarakat. Pompe menyebutkan dalam bukunya “Hand boek van

het Ned.Strafrecht” bahwa pidana adalah suatu sanksi yang memiliki ciri-ciri

39
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni.
Bandung, hlm. 65
40
Samosir, Djisman. 1992. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di
Indonesia. Bina Cipta. Bandung, hlm. 34
41
Muladi. 2002, Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung, hlm. 59
65

tersendiri dari sanksi lain dan terikat dengan tujuan dengan sanksi-sanksi tersebut

karenanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah yang

berguna bagi kepentingan umum.

a. Teori gabungan yang menitikberatkan pertahan tatatertib masyarakat.

Pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi tujuannya adalah

melindungi kesejahteraan masyarakat.

b. Teori gabungan yang memandang sama pembalasan dan pertahanan tata

tertib masyarakat.42

Begitu pula Roeslan Saleh mengemukakan, bahwa pidana hakekatnya

terdapat dua poros yang menentukan garis-garis hukum pidana yaitu:

a. Segi Prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi,

suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup

bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan.

b. Segi Pembalasan, yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan

pula penentu hukum, merupakan koreksi dan reaksi atas sesuatu

yang bersifat tidak hukum43.

Selain itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana mengandung

hal-hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai suatu yang akan membawa

kerukunan serta sebagai suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat

diterima kembalidalam masyarakat. Jadi memang sudah seharusnyalah tujuan

42
Hamzah, Andi. 1986. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke
Reformasi. Pradya Paramita. Jakarta, hlm. 33
43
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni.
Bandung, hlm. 20
66

pidana adalah membentuk kesejahteraan negara dan masyarakat yang tidak

bertentangan dengan norma kesusilaan dan perikamanusiaan sesuai dengan

Pancasila.

4) Teori Integratif

Teori Itegratif ini diperkenalkan oleh Muladi, guru besar dari Fakultas

Hukum Universitas Diponegoro:

Dewasa ini masalah pemidanaan menjadi sangat kompleks sebagai akibat

dari usaha untuk leboh memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut hak-hak

asasi manusia, serta menjadikan pidana bersifat operasional dan fungsional. Untuk

ini diperlukan pendekatan multi dimensional yang bersifat mendasar terhadap

dampak pemidanaan, baik yang menyangkut dampak yang bersifat individual

maupun dampak yang bersifat sosial44.

Pendekatan semacam ini mengakibatkan adanya keharusan untuk memilih

teori integratif tentang tujuan pemidanaan, yang dapat memenuhi fungsinya

dalam rangka mengatasi kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh tindak

pidana (individual and social damages).

Pemilihan teori integratif tentang tujuan pemidanaan ini didasarkan atyas

alasan-alasan, baik yang bersifat sosiologis, ideologis, maupun yuridis. Alasan

secara sosiologis dapat diruk pada pendapat yang dikemukakan oleh Stanley

Grupp, bahwa kelayakan suatu teori pemidanaan tergantung pada anggapan-

anggapan seseorang terhadapa hakekat manusia, informasi yang diterima

44
Muladi. 2002 Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung, hlm. 55
67

seseorang sebagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat, macam dan luas

pengetahuan yang mungkin dicapai dan penilaian terhadap persyaratan-

persyaratan untuk menerapkan teori-teori tertentu serta kemungkinan-

kemungkinan yang dapat dilakukan untuk menemukan persyaratan-persyaratan

tersebut.

Alasan secara ideologis, dengan mengutip pendapat Notonagoro,

menyatakan:

Berdasarkan Pancasila, maka manusia ditempatkan pada keseluruhan

harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dengan kesadaran

untuk mengembangkan kodratnya sebagai mahluk pribadi dan sekaligus sosial.

Pancasial yang bulat dan utuh itu memberi keyakinan kepada rakyat dan bangsa

Indonesia bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai apabila didasarkan atas

keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia dengan alam, dalam

hubungannya dengan bangsa lain, dalam hubungan manusia dengan Tuhannya,

maupun dalam mengejar kemajuan lahirlah dan kebahagiaan rohani.

Selanjutnya alasan yang bersifat yuridis Muladi menyetujui pendapat

Herbert L. Packer sebagai berikut:

Hanya ada dua tujuan untama dari pemidanaan, yakni pengenaan

penderitaan yang setimpal terhadap penjahat dan pencegahan kejahatan. Teori

pemidanaan yang integratif mensyaratkan pendekatan yang integral tujuan-tujuan

pemidanaan, berdasarkan pengakuan bahwa ketegangan-ketegangan yang terjadi

diantara tujuan-tujuan pemidanaan tidak dapat dipecahkan secara menyeluruh.

Didasarkan atas pengakuan bahwa tidak satupun tujuan pemidanaan bersifat


68

definitif, maka teori pemidanaan yang bersifat integratif ini meninjau tujuan

pemidanaan tersebut dari segala perspektif. Pidana merupaka suatu kebutuhan,

tetapi merupakan bentuk kontrol sosial yang diselesaikan, karena mengenakan

penderitaan atas nama tujuan. Berdasarkan alasan-alasan sosiologis, ideologi dan

yuridis diatas, Muladi menyimpulkan sebagai berikut:

Dengan demikian, maka tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki

kerusakan individual dan sosial (individual and social damages) yang diakibatkan

oleh tindak pidana. Hal ini terdiri dari seperangkat tujuan pemidanaan yang harus

dipenuhi, dengan catatan bahwa tujuan manakah yang merupakan titik berat

sifatnya kasuitis.

Perangkat tujuan pemidanaan yang dimaksud diatas adalah :

a) Pencegahan (umum dan khusus);

b) Perlindungan Masyarakat;

c) Memelihara Solidaritas Masyarakat dan

d) Pengimbalan/Pengimbangan.

B. Dasar Pertimbangan Hakim

Tujuan pemidanaan bukan merupakan suatu hal yang baru, tetapi dampak

dari pemidanaan yang berkenaan dengan kelanjutan kehidupan terpidana,

khususnya dampak stigmatisasi terhadap terpidana dan keluarganya,

menumbuhkan aliran-aliran dalam hukum pidana yang lebih baru yang

mengkreasi jenis-jenis pidana lain yang dianggap lebih menghormati harkat dan

martabat manusia, di samping ingin mencapai tujuan pemidanaan itu sendiri.


69

Penjatuhan sanksi pidana harus merupakan hal yang paling penting

dipertimbangkan hakim, karena menyangkut kepentingan-kepentingan tersebut.

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

mengatur bahwa hakim bebas dalam menjatuhkan putusan, namun Pasal 50

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan

hakim dalam memberikan putusan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar

putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan

yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk

mengadili.

Hakim sebelum menjatuhkan putusan, terlebih dahulu harus

mempertimbangkan mengenai salah tidaknya seseorang atau benar atau tidaknya

suatu peristiwa dan kemudian memberikan atau menentukan hukumannya.

Menurut Sudarto hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai

berikut:

a) Keputusan mengenai peristiwa, ialah apakah terdakwa telah melakukan


perbuatan yang dituduhkan kepadanya;
b) Keputusan mengenai hukumannya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan
terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah
dan dapat dipidana;
c) Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat
dipidana.

Hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman dalam proses peradilan pidana berperan sebagai pihak

yang memberikan pemidanaan dengan tidak mengabaikan hukum atau norma


70

serta peraturan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 5

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 sebagai berikut:

“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami


nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dan berkembangan dalam
masyarakat.”
Masalah penjatuhan pidana sepenuhnya merupakan kekuasaan dari hakim.

Hakim dalam menjatuhkan pidana wajib berpegangan pada alat bukti yang

mendukung pembuktian dan keyakinannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 183

KUHAP, yaitu:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali


apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Pasal 183 KUHAP tersebut menentukan pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan pidana harus memenuhi dua persyaratan yaitu dua alat bukti sah

yang ditentukan secara limitatif di dalam undang-undang dan apakah atas dasar

dua alat bukti tersebut timbul keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. Undang-

Undang No. 48 Tahun 2009 menegaskan tugas hakim adalah untuk menegakkan

hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan

rasa keadilan rakyat Indonesia. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun

1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan.

Alat bukti yang dimaksud ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu

keterangan saksi, keterangan ahli, alat bukti surat, petunjuk dan keterangan

terdakwa menjadi dasar jaksa dalam membuat tuntutannya. Alat bukti yang cukup
71

dan memiliki kekuatan pembuktian yang kuat dapat mempermudah jaksa dalam

membuat surat tuntutan. Setelah alat bukti terpenuhi, maka dipertimbangkan pula

pemeriksaan dan pembuktian di persidangan. Hal yang yang berikutnya

dipertimbangkan oleh jaksa adalah hal-hal yang meringankan dan memberatkan

terdakwa. Atas dasar hal-hal tersebut penuntut umum berdasarkan persetujuan

pimpinan menentukan tuntutan pidana terhadap terdakwa.

C. Tujuan Pemidanaan di Indonesia

Pandangan Utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus

menimbulkan kosekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan. Keadilan tidak boleh

melalui pembebanan penderitaan itu sendiri, selain itu pandangan Retibutivist

menyatakan bahwa keadilan dapat dicapai apabila tujaun yang theological tersebut

dilakukan dengan menggunakan ukuran prinsip-prinsip keadilan, misalnya

penderitaan pidana tersebut tidak boleh melebihi ganjaran yang selayaknya

diperoleh pelaku tindak pidana tersebut oleh karena itu suatu tujuan pemidanaan

sangatlah penting sebagai pedoman dalam emberikan dan menjatuhkan pidana45.

Didalam rancangan KUHP baru yang dibuat oleh Tim RUU KUHP BPHN

Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI Tahun 2000 dalam Pasal 50,

tujuan pemidanaan dirumuskan sebagai berikut:

i. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma


hukum dan pengayom masyarakat.
ii. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadikannya orang yang lebih berguna.
iii. Menyelesaikan langkah yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat.
45
Muladi. 2002 Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung, hlm. 90
72

iv. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.


v. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak
diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa pemidanaan

merupakan suatu proses dimana agar proses ini dapat berjalan dan peranan hakim

penting sekali. Pasal tersebut mengkongkritkan danksi pidana yang terdapat dalam

suatu peraturan dengan menjatuhkan pidana bagi terdakwa dalam kasus tertentu

serta memuat tujuan ganda yang hendak dicapai melalui pemidanaan.

Mengenai tujuan pemidanaan yang tercantum dalam Pasal 47 Konsep

Rancangan KUHP (Baru) tersebut, J.E. Sahetapy menuliskan sebagai berikut:

“Tujuan pemidanaan ini sangatlah penting. Ia tidak sanja menyangkut

dan dalam aspek tertentu mempertanyakan raison d’etre dari teori-teori

pidana.”

Pemidanaan yang ada, terutama yang lahi dari kandungan budaya

pemikiran barat, melainkan seharusnya Hakim setelah mengkaji segala ratifikasi

tindak pidan dan faktor pertanggungjawaban/pemidanaan dalam kerangka tujuan

pemidanaan tadi dengan memperhatikan buka saja rasa keadilan dalam kalbu

masyarakat, melainkan harus mampu menganalisis relasi timbal balik antara si

pelaku dengan si korban”.

Dapat dikatakan bahwa tujuan pemidanaan yang tercantum dalam

rancangan KUHP tersebut meliputi usaha prevensi, koreksi kedamaian dalam

masyarakat, dan pembebasan rasa bersalah para terpidana sehingga tujuan

pemidanaan seharusnya adalah pembinaan sedemikian rupa sehingga terbebas

dalam alam pikiran jahat maupun dari kenyataan sosial yang membelenggu serta
73

membentuk kesejahteraan negara dan masyarakat selama tidak bertentangan

dengan norma kesusilaan dan prikemanusiaan yang sesuai dengan falsafah dan

dasar negara kita, yakni Pancasila.

Konsesus tujuan pemidanaan merupakan tanggung jawab bersama bagi

kita untuk memikirkan dan merealisasikan khususnya bagi aparat pelaksana dan

penegak hukum. Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana merupakan suatu

proses dinamis yang meliputi penilaian secara terus menerus dan seksama

terhadapa sasaran yang hendak dicapai dan konsekuesi yang dapat dipilih dari

keputusan tertentu terhadap hal-hal tertentu yang berhubungan dengan tujuan

pemidanaan46.

3. Teori Hukum Progresif sebagai Applied Theory

Menurut Satjipto Rahardjo, Penegakan hukum progresif adalah

menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan

(according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to

very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya

kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain,

penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi,

komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari

jalan lain daripada yang biasa dilakukan.47

Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan adanya pasang

surut dan naik pasang secara bergantian antara demokratis dan otoriter. Dengan

46
Ibid.
47
Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta
Publishing, Yogyakarta, hlm. xiii
74

logika pembangunan ekonomi yang menjadi prioritas utamanya, periode Orde

Baru menampilkan watak otoriter-birokratis. Orde baru tampil sebagai Negara

kuat yang mengatasi berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat dan berwatak

intervensionis. Dalam konfigurasi demikian hak-hak politik rakyat mendapat

tekanan atau pembatasan-pemabatasan.48

Agenda reformasi yang menjadi tuntutan masyarakat adalah bagaimana

terpenuhinya rasa keadilan ditengah masyarakat. Namun didalam realitanya,

ukuran rasa keadilan masyarakat itu tidak jelas. Menurut Hakim Agung Abdul

Rachman Saleh, rasa keadilan masyarakat yang dituntut harus mampu dipenuhi

oleh para hakim itu tidak mudah. Hal ini dikarenakan ukuran rasa keadilan

masyarakat tidak jelas.49

Pada dasarnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum.

Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran sentral hukum dalam upaya

menciptakan suasana yang memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup

berdampingan secara damai dan menjaga eksistensinya didunia telah diakui.50

Keadilan adalah inti atau hakikat hukum. Keadilan tidak hanya dapat

dirumuskan secara matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang

mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain. Demikian pula, keadilan tidak

cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi

48
Op. Cit., Mahfud MD, hlm. 345
49
Lebih jauh Arman mengemukakan bahwa dalam menetapkan putusannya hakim
memang harus mengedepankan rasa keadilan. Namun rasa keadilan masyarakat sebagaimana
dituntut sebagian orang agar dipenuhi oleh hakim, adalah tidak mudah. Bukan karena hakim tidak
bersedia, melainkan karena ukuran rasa keadilan masyarakat itu tidak jelas. Satya Arinanto, 2008,
Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Univesitas Indonesia, Jakarta, hlm. 340
50
Johnny Ibrahim, 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia,
Surabaya, hlm.1
75

KUHP, misalnya angka 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun dan seterusnya. Karena

keadilan sesungguhnya terdapat dibalik sesuatu yang tampak dalam angka

tersebut (metafisis), terumus secara filosofis oleh petugas hukum/hakim.51

Dalam sistem hukum dimanapun didunia, keadilan selalu menjadi objek

perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilannya. Keadilan adalah hal yang

mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut

sesungguhnya merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk mencapai konsep

keadilan yang telah disepakati bersama.52

Merumuskan konsep keadilan progresif ialah bagaimana bisa menciptakan

keadilan yang subtantif dan bukan keadilan prosedur. Akibat dari hukum modren

yang memberikan perhatian besar terhadap aspek prosedur, maka hukum di

Indonesia dihadapkan pada dua pilihan besar antara pengadilan yang menekankan

pada prosedur atau pada substansi. Keadilan progresif bukanlah keadilan yang

menekan pada prosedur melainkan keadilan substantif.

Kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum

modren disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan timbulnya pertanyaan

“apakah pengadilan itu mencari keadilan atau kemenangan?”. Proses pengadilan

dinegara yang sangat sarat dengan prosedur (heavly proceduralizied) menjalankan

prosedur dengan baik ditempatkan diatas segala-galanya, bahkan diatas

penanganan substansi (accuracy of substance). Sistem seperti itu memancing

sindiran terjadinya trials without truth.53

51
Andi Ayyub Saleh, 2006, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law
in Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone, Jakarta, hlm. 70
52
Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta,
hlm. 270
53
Ibid, hlm. 272
76

Dalam rangka menjadikan keadilan subtantif sebagai inti pengadilan yang

dijalankan di Indonesia, Mahkamah Agung memegang peranan yang sangat

penting. Sebagai puncak dari badan pengadilan, ia memiliki kekuasaan untuk

mendorong (encourage) pengadilan dan hakim dinegeri ini untuk mewujudkan

keadilan yang progresif tersebut.

Hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di

Indonesia bukanlah suatu permainan (game) untuk mencari menang, melainkan

mencari kebenaran dan keadilan. Keadilan progrsif semakin jauh dari cita-cita

“pengadilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan” apabila membiarkan

pengadilan didominasi oleh “permainan” prosedur. Proses pengadilan yang

disebut fair trial dinegeri ini hendaknya berani ditafsirkan sebagai pengadilan

dimana hakim memegang kendali aktif untuk mencari kebenaran.54

Studi hubungan antara konfgurasi politik dan karakter produk hukum

menghasilkan tesis bahwa setiap produk hukum merupakan percerminan dari

konfigurasi politik yang melahirkannya. Artinya setiap muatan produk hukum

akan sangat ditentukan oleh visi kelompok dominan (Penguasa). Oleh karena itu,

setiap upaya melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsif/populistik

harus dimulai dari upaya demokratisasi dalam kehidupan politik.55

Kehadiran hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan

sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit.

Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran (searching for

the truth) yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang

54
Ibid, hlm. 276
55
Op. Cit., Mahfud MD, hlm. 368
77

sebagai konsep yang sedang mencari jati diri, bertolak dari realitas empirik

tentang bekerjanya hukum dimasyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan

terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir

abad ke-20.

Adalah keprihatinan Satjipti Rahardjo terhadap keadaan hukum di

Indonesia. Para pengamat hukum dengan jelas mengatakan bahwa kondisi

penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan. Pada tahun 1970-an

sudah ada istilah “mafia peradilan” dalam kosakata hukum di Indonesia, pada

orde baru hukum sudah bergeser dari social engineering ke dark engineering

karena digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Pada era reformasi dunia

hukum makin mengalami komersialisasi. Menurut Satjipto Rahardjo, inti dari

kemunduran diatas adalah makin langkanya kejujuran, empati dan dedikasi dalam

menjalankan hukum, kemudia Satjipto Rahardjo mengajukan pertanyaan, apa

yang salah dengan hukum kita? Bagaimana jalan untuk mengatasinya?.56

Agenda besar gagasan hukum progrsif adalah menempatkan manusia

sebagai sentralitas utama dari seluruh perbincangan mengenai hukum. Dengan

kebijaksanaan hukum progresif mengajak untuk memperhatikan faktor perilaku

manusia. Oleh karena itu, hukum progresif menempatkan perpaduan antara faktor

peraturan dan perilaku penegak hukum didalam masyarakat. Disinilah arti penting

pemahaman gagasan hukum progesif, bahwa konsep “hukum terbaik” mesti

diletakkan dalam konteks keterpaduan yang bersifat utuh (holistik) dalam

memahami problem-problem kemanusiaan.

56
Faisal, 2010, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta,
hlm.70
78

Dengan demikian, gagasan hukum progresif tidak semata-mata hanya

memahami sistem hukum pada sifat yang dogmatic, selain itu juga aspek perilaku

sosial pada sifat yang empirik. Sehingga diharapkan melihat problem

kemanusiaan secara utuh berorientasi keadilan substantive.

a. Hukum Sebagai Institusi Yang Dinamis

Hukum progresif menolak segala anggapan bahwa institusi hukum

sebagai institusi yang final dan mutlak, sebaliknya hukum progresif percaya

bahwa institusi hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a

process, law in the making). Anggapan ini dijelaskan oleh Satjipto Rahardjo

sebagai berikut:

Hukum progresif tidak memahami hukum sebagai institusi yang mutlak

secara final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi

kepada manusia. Dalam konteks pemikiran yang demikian itu, hukum selalu

berada dalam proses untuk terus menjadi. Hukum adalah institusi yang secara

terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat

kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan disini bisa diverifikasi ke

dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-

lain. Inilah hakikat “hukum yang selalu dalam proses menjadi (law as a process,

law in the making).57

Dalam konteks yang demikian itu, hukum akan tampak selalu bergerak,

berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Akibatnya hal ini akan

mempengaruhi pada cara berhukum kita, yang tidak akan sekedar terjebak dalam

ritme “kepastian hukum”, status quo dan hukum sebagai skema yang final,

57
Ibid, hlm. 72
79

melainkan suatu kehidupan hukum yang selalu mengalir dan dinamis baik itu

melalui perubahan-undang maupun pada kultur hukumnya. Pada saat kita

menerima hukum sebagai sebuah skema yang final, maka hukum tidak lagi tampil

sebagai solusi bagi persoalan kemanusiaan, melainkan manusialah yang dipaksa

untuk memenuhi kepentingan kepastian hukum.

b. Hukum Sebagai Ajaran Kemanusiaan dan Keadilan

Dasar filosofi dari hukum progresif adalah suatu institusi yang bertujuan

mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat

manusia bahagia.58 Hukum progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum

adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya. Berdasarkan hal itu, maka kelahiran

hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas,

yaitu; untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan

manusia. Itulah sebabnya ketika terjadi permasalahan didalam hukum, maka

hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa

untuk dimasukkan kedalam skema hukum.

Pernyataan bahwa hukum adalah untuk manusia, dalam artian hukum

hanyalah sebagai “alat” untuk mencapai kehidupan yang adil, sejahtera dan

bahagia, bagi manusia. Oleh karena itu menurut hukum progresif, hukum

bukanlah tujuan dari manusia, melainkan hukum hanyalah alat. Sehingga keadilan

subtantif yang harus lebih didahulukan ketimbang keadilan prosedural, hal ini

semata-mata agar dapat menampilkan hukum menjadi solusi bagi problem-

problem kemanusiaan.

58
Mahmud Kusuma, 2009, Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik
Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib bekerjasama LSHP, Yogyakarta, hlm.
31
80

c. Hukum Sebagai Aspek Peraturan dan Perilaku

Orientasi hukum progresif bertumpu pada aspek peraturan dan perilaku

(rules and behavior). Peraturan akan membangun sistem hukum positif yang logis

dan rasional. Sedangkan aspek perilaku atau manusia akan menggerakkan

peraturan dan sistem yang telah terbangun itu. Karena asumsi yang dibangun

disini, bahwa hukum bisa dilihat dari perilaku sosial penegak hukum dan

masyarakatnya.

Dengan menempatkan aspek perilaku berada diatas aspek peraturan,

dengan demikian faktor manusia dan kemanusiaan inilah yang mempunyai unsur

greget seperti compassion (perasaan baru), empathy, sincerety (ketulusan),

edication, commitment (tanggung jawab), dare (keberanian) dan determination

(kebulatan tekad).

Satjipto rahardjo mengutip ucapan Taverne, “Berikan pada saya jaksa dan

hakim yang baik, maka dengan peraturan yang buruk sekalipun saya bisa

membuat putusan yang baik”. Mengutamakan perilaku (manusia) daripada

peraturan perundang-undangan sebagai titik tolak paradigma penegakan hukum,

akan membawa kita untuk memahami hukum sebagai proses dan proyek

kemanusiaan.59

Mengutamakan faktor perilaku (manusia) dan kemanusiaan diatas faktor

peraturan, berarti melakukan pergeseran pola pikir, sikap dan perilaku dari aras

legalistik-positivistik ke aras kemanusiaan secara utuh (holistik), yaitu manusia

sebagai pribadi (individu) dan makhluk sosial. Dalam konteks demikian, maka

59
Ibid, hlm.74
81

setiap manusia mempunyai tanggung jawab individu dan tanggung jawab sosial

untuk memberikan keadilan kepada siapapun.

d. Hukum Sebagai Ajaran Pembebasan

Hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan “pembebasan” yaitu

membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum yang legalistik-

positivistik. Dengan ciri ini “pembebasan” itu, hukum progresif lebih

mengutamakan “tujuan” daripada “prosedur”. Dalam konteks ini, untuk

melakukan penegakan hukum, maka diperlukan langkah-langkah kreatif, inovatif

dan bila perlu melakukan “mobilisasi hukum” maupun “rule breaking”.

Satjipto Rahardjo memberikan contoh penegak hukum progresif sebagai

berikut. Tindakan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto dengan inisiatif sendiri

mencoba membongkar atmosfir korupsi di lingkungan Mahkamah Agung.

Kemudian dengan berani hakim Agung Adi Andojo Sutjipto membuat putusan

dengan memutus bahwa Mochtar Pakpahan tidak melakukan perbuatan makar

pada rezim Soeharto yang sangat otoriter. Selanjutnya, adalah putusan pengadilan

tinggi yang dilakukan oleh Benyamin Mangkudilaga dalam kasus Tempo, ia

melawan Menteri Penerangan yang berpihak pada Tempo.60

Paradigma “pembebasan” yang dimaksud disini bukan berarti menjurus

kepada tindakan anarkhi, sebab apapun yang dilakukan harus tetap didasarkan

pada “logika kepatutan sosial” dan “logika keadilan” serta tidak semata-mata

berdasarkan “logika peraturan” saja. Di sinilah hukum progresif itu menjunjung

tinggi moralitas. Karena hati nurani ditempatkan sebagai penggerak, pendorong

sekaligus pengendali “paradigma pembebasan” itu. Dengan begitu, paradigma

60
Ibid, hlm.75
82

hukum progresif bahwa “hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya” akan

membuat hukum progresif merasa bebas untuk mencari dan menemukan format,

pikiran, asas serta aksi yang tepat untuk mewujudkannya.


83

G. Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan penelusuran pustaka dan sumber informasi lainnya, penelitian yang memiliki fokus kajian tentang,

“Rekontruksi Kebijakan Sanksi Pidana Dan Tindakan (Double Tract System) Dalam Penegakan Hukum Penanggulangan Tindak

Pidana Narkoba Dalam Mewujudkan Keadilan Religius”, namun demikian terdapat beberapa penelitian yang memiliki relevansi

dengan disertasi ini, karya ilmiah dalam bentuk disertasi sebagai bahan pembanding orisinalitas disertasi ini dapat dilihat dalam

tabel berikut ini:

Tabel Orisinalitas Penelitian

No. Judul Disertasi Penulis Disertasi Temuan Disertasi Kebaruan Penelitian

1. KEBIJAKAN FORMULASI Bambang - Kebijakan formulasi sanksi pidana terhadap Meneliti “Rekontruksi
SANKSI PIDANA Hariyono, pelaku tindak pidana narkoba menurut Kebijakan Sanksi
TERHADAP PELAKU Universitas ketentuan Undang-undang No. 22 tahun Pidana Dan Tindakan
TINDAK PIDANA Diponegoro 1997 tentang Narkotika dan Undang-undang (Double Tract System)
NARKOBA DI INDONESIA Semarang, 2009 No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika Dalam Penegakan
- Kebijakan formulasi sanksi pidana menurut Hukum
undang-undang narkoba terhadap pelaku Penanggulangan
tindak pidana narkoba pada masa yang akan Tindak Pidana
datang Narkoba Dalam
84

2. TINJAUAN YURIDIS Aspar Amien, - Penerapan hukum pidana materiil terhadap Mewujudkan Keadilan
TINDAK PIDANA Universitas pelaku tindak pidana penyalahgunaan Religius”,
PENYALAHGUNAAN Hasanuddin narkotika yang dilakukan oleh aparat
NARKOTIKA YANG Makasar, 2016 kepolisian di kota Makasar dalam putusan
DILAKUKAN OLEH No. 1811/Pid.B/2013/PN.MKS
OKNUM KEPOLISIAN - Pertimbangan hukum hakim dalam
menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak
pidana penyalahgunaan narkotika yang
dilakukan oleh aparat kepolisian
3. SANKSI HUKUM Haidir Ali, UIN - Ketentuan sanksi terhadap anak yang
TERHADAP Alauddin menyalahgunakan narkotika pada kasus
PENYALAHGUNAAN Makassar, 2017 putusan No. 24/Pid.Sus-Anak/2015/PN
NARKOTIKA OLEH ANAK Sungguminasa
DIBAWAH UMUR - Peran hakim yang membuktikan anak
dibawah umur yang menyalahgunakan
narkotika
- Penerapan sanksi sebagai efek jera terhadap
anak yang menyalahgunakan narkotika

Berdasarkan hasil penelusuran pustaka yang penulis lakukan hingga saat ini intinya belum ada penelitian yang mengangkat

permasalahan tentang “Rekontruksi Kebijakan Sanksi Pidana Dan Tindakan (Double Tract System) Dalam Penegakan Hukum

Penanggulangan Tindak Pidana Narkoba Dalam Mewujudkan Keadilan Religius”.


85

H. Kerangka Pemikiran

Dari uraian di atas Kerangka pemikiran dalam penelitian ini digambarkan

dalam bagan sebagai berikut:

Alur Kerangka Pemikiran

Pancasila
(Staat Fundamental Norm)

 Memberikan Keadilan
pemberian sanksi pidana dan KEADILAN RELIGIUS
tindakan bagi Pelaku Tindak Pembukaan UUD RI tahun
Pidana 1945
 Terselenggaranya tujuan
hukum

Pasal-pasal UUD RI tahun 1945


Pembangunan Hukum Nasional

1. UU No. 35 thn. 2009 ttg. Narkotika


2. UU No. 8 thn. 1981 ttg. Hukum Acara Pidana
3. PP No.31 thn. 1999 ttg. Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan
4. Surat Edaran MA No. 04 thn. 2010 ttg. penetapan penyalahgunaan, korban
penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi
Medis dan Rehabilitasi Sosial
5.
1. Teori Keadilan Religius
2. Teori Pemidanaan
3. Teori Hukum Progresif

Rekontruksi Kebijakan Sanksi Pidana Dan Tindakan (Double Tract


System) Dalam Penegakan Hukum Penanggulangan Tindak Pidana
Narkoba Dalam Mewujudkan Keadilan Religius
86

I. Metode Penelitian

Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan dalam permasalahan

penelitian Ini maka disusun kerangka penelitian sebagai berikut:

1. Paradigma Penelitian: Paradigma Konstruktivisme

Paradigma yang digunakan di dalam penelitian ini adalah paradigm

konstruktivisme. Paradigma konstruktivisme ialah paradigma yang hampir

merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objektivitas

dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan. Paradigma ini

memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially

meaningful action melalui pengamatan langsung dan terperinci terhadap

pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara atau mengelola

dunia sosial mereka.

Paradigma ini menyatakan bahwa (1) dasar untuk menjelaskan kehidupan,

peristiwa sosial dan manusia bukan ilmu dalam kerangka positivistik, tetapi

justru dalam arti common sense. Menurut mereka, pengetahuan dan pemikiran

awam berisikan arti atau makna yang diberikan individu terhadap pengalaman

dan kehidupannya sehari-hari, dan hal tersebutlah yang menjadi awal

penelitian ilmu-ilmu sosial; (2) pendekatan yang digunakan adalah induktif,

berjalan dari yang spesifik menuju yang umum, dari yang konkrit menuju

yang abstrak, (3) ilmu bersifat idiografis bukan nomotetis, karena ilmu

mengungkap bahwa realitas tertampilkan dalam simbol-simbol melalui

bentuk-bentuk deskriptif; (4) pengetahuan tidak hanya diperoleh melalui indra


87

karena pemahaman mengenai makna dan interpretasi adalah jauh lebih

penting; dan (5) ilmu tidak bebas nilai. Kondisi bebas nilai tidak menjadi

sesuatu yang dianggap penting dan tidak pula mungkin dicapai.

Menurut Patton, para peneliti konstruktivisme mempelajari beragam

realita yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari kontruksi tersebut

bagi kehidupan mereka dengan yang lain dalam konstruksivis, setiap individu

memiliki pengalaman yang unik. Dengan demikian, penelitian dengan strategi

seperti ini menyarankan bahwa setiap cara yang diambil individu dalam

memandang dunia adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas

pandangan tersebut.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan disertasi ini adalah

deskriptif. “Penelitian Deskriptif adalah penelitian yang merupakan prosedur

pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan

keadaan subjek dan objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta yang

tampak”61. Lebih jauh penelitian ini berusaha untuk menjelaskan postulat-postulat

yang diteliti secara lengkap sesuai dengan temuan-temuan di lapangan62.

61
Soerjono dan Abdulrahman. 2003. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
hlm.. 23.
62
Altherton & Klemmack dalam Irawan Soehartono, 1999, Metode Penelitian Social
Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Social Lainnya, Bandung, Remaja Rosda Karya,
hlm. 63
88

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan dalam penelitia ini adalah Normatif Empiris, dengan megkaji

undang undang dan peraturan yang sudah ada kemudian di analisis kedalam

sebuah formulasi baru guna merekonstruksi teori yang lama. Serta ntuk

menyelesaikan sebuah permasalahan yang akan diteliti, maka tentunya penulis

harus mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan permasalahan isu yang

akan diteliti. Secara tipologis, penelitian penulis ini menggunakan studi

kepustakaan, dengan memperoleh dan mengumpulkan data untuk mendapatkan

data sesuai harapan penulis dan seperti yang digambarkan dalam bahan

kepustakaan. Dengan kata lain, jenis penelitian ini dapat juga disebut sebagai

penelitian kualitatif yang bersifat preskriptif. Dengan demikian, pendekatan

komparatif (comparative approach) pada objek penelitian ini menggunakan

pendekatan Yuridis Normatif, yaitu berdasarkan pada norma hukum dan teori

keberlakuan hukum.63

Lebih dari itu, sifat dalam penelitian ini merupakan model penelitian deskriptif

analitis yang Kebijakan Sanksi Pidana Dan Tindakan (Double Tract System)

Dalam Penegakan Hukum Penanggulangan Tindak Pidana Narkoba Dalam

Mewujudkan Keadilan Religius, yakni penelitian yang menggambarkan dan

menginformasikan yang diperoleh dari penelitian kepustakaan secara mendalam

agar dapat memberikan informasi kepada pembaca secara optimal.. 64

63
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif, Penelitian
kepustakaan atau disebut juga penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 13-14.
64
L. Moleong, 2002, Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung,
hlm. 34-35
89

4. Sumber Data Penelitian

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Data Primer, adalah data yang diperoleh dari keterangan-

keterangan dan informasi dari responden secara langsung yang

diperoleh melalui wawancara dan observasi. Dalam hal ini adalah

data yang diperoleh dari pelaksanaan Kebijakan Sanksi Pidana Dan

Tindakan (Double Tract System) Dalam Penegakan Hukum

Penanggulangan Tindak Pidana Narkoba Dalam Mewujudkan

Keadilan Religius.

b. Data sekunder,adalah data yang berasal dari studi kepustakaan,

berbagai literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang

diteliti. Sumber dari data sekunder yakni berupa:

a. Bahan Hukum Primer

Hasan65, bahan hukum primer adalah bahan yang diperoleh atau

dikumpulkan oleh peneliti dari sumber-sumber yang telah ada. Bahan

hukum primer diperoleh dari kepustakaan, studi dokumentasi atau dari

laporan penelitian terdahulu. Sehingga bahan hukum primer dalam

penelitian ini dapat diperoleh melalui catatan-catatan, arsip, dan dokumen-

dokumen lain yang dapat digunakan sebagai informasi primer. Adapun

bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah;

65
Ibid.
90

1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana
4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
5) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
6) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika
7) Peraturan Pemerintah No. 31Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan
Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan
8) Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04 Tahun 2010 tentang
penetapan penyalahgunaan, korban penyalahgunaan, dan Pecandu
Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi
Sosial
b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh langsung

dari hasil wawancara yang diperoleh dari narasumber atau informan yang

dianggap berpotensi dalam memberikan informasi yang relevan. Dalam

penelitian ini, bahan hukum sekunder diperoleh melalui hasil wawancara

dengan informan yang relevan dengan masalah penelitian.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang diperoleh dari kamus,

Ensiklopedia dll. yang dianggap berpotensi dalam memberikan informasi yang

relevan.
91

5. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data hukum menggunakan teknik studi

dokumenter dengan mengumpulkan bahan dari sumber-sumber data primer,

sekunder, dan tersier. Bahan pustaka yang menjadi rujukan primer dalam

penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,

Peraturan Pemerintah No. 31Tahun1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan

Warga Binaan Pemasyarakatan dan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04

Tahun 2010 tentang penetapan penyalahgunaan, korban penyalahgunaan, dan

Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial,

serta dokumen lain yang berkaitan tentang hukum pidana bagi penyalahguna

narkoba66, Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman.67

Adapun rujukan sekunder adalah beberapa buku yang fokus kajiannya

mengenai permasalahan tentang pemusnahan barang bukti penangkapan ikan

secara ilegal di perairan Indonesia. Selain yang disebutkan diatas, penyusun juga

menggunakan referensi lainnya yang bisa dijadikan sumber acuan pelengkap yang

terkait dengan disertasi ini.68

Adapun rujukan tersier dalam penelitian ini adalah kamus ilmiah, kamus

hukum, dan buku pedoman penulisan disertasi program Doktor ilmu hukum

pascasarjana Universitas Islam Sultan Agung Semarang tahun 2018. Hal ini

66
Ibid.
67
Ibid.
68
Ibid.hlm. 93
92

sebagai penunjang yang memberikan petunjuk terhadap data primer dan data

sekunder.69

Peneliti melakukan penelusuran untuk mencari data-data hukum yang

relevan terhadap isu yang dihadapi. Karena didalam penelitian penulis

menyebutkan pendekatan perundang-undangan, maka peneliti harus mencari

peraturan perundang-undangan mengenai atau yang berkaitan permasalahan saksi

tindak pidana narkotika di Indonesia. Oleh karena itu untuk memecahkan masalah

peneliti harus menelusuri sekian banyak berbagai produk peraturan perundang-

undangan atau wawancara dengan beberapa pakar hukum yang kompeten di

bidangnya.70

6. Metode Analisa Data

Data yang terkumpul dari berbagai sumber yang relevan dianalisis secara

kualitatif, dengan menggunakan penalaran deduktif induktif. Hal ini merupakan

hukum-hukum yang sesuai dengan perspektif Islam yang dijadikan landasan dan

kaidah umum untuk meninjau sistem pemilihan pemimpin, kemudian disimpulkan

apakah sesuai atau tidak sesuai.71

Dalam menganalisis data hukum, diterapkan teknik analisis isi secara

kualitatif. Metode data dilakukan dengan cara memdeskripsikan bahan-bahan

tersebut secara jelas dan mengambil isinya dengan menggunakan content analysis.

Kemudian melakukan bongkar pasang dan menata kembali secara sistematis

69
Ibid. hlm. 102
70
H. Nawawi, 1995, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, hlm. 54
71
Ibid.
93

bahan-bahan yang telah terkumpul sebelumnya dengan menggambarkan satu

kesatuan yang utuh. 72

J. Sistematika Penulisan

Sebagaimana layaknya laporan hasil ilmiah yang standar dalam bentuk

disertasi, maka laporan ini menjelaskan secara teknis prosedural. Hal ini untuk

mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan

disertasi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata urutan

penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan.73

Pembahasan disertasi ini terbagi menjadi lima bab, dari setiap bab terdiri

dari sub bab yaitu:

BAB I Pendahuluan, yang berisi Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah,

Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Kerangka Konseptual, Kerangka

Teori, Orisinalitas Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian,

Sistematika Penulisan. Dari latar belakang masalah ini nantinya akan

muncul bahasan-bahasan yang menjadi kajian atau ulasan dari disertasi

ini.

BAB II Tinjauan Pustaka, bab ini membahas tentang: Berisi tentang tinjauan

umum tentang narkotika yang terdiri pengertian narkotika, sejarah

narkotika, penggolongan narkotika, faktor-faktor penyebab terjadinya

penyalahgunaan narkotika dan dampaknya, tindak pidana narkotika, dan

peraturan narkotika di Indonesia. Selain itu, dibahas pula mengenai

72
Ibid. hlm. 57
73
L. Moleong, Op.cit, h.49
94

tinjauan umum tentang pidana dan pemidanaan yang terdiri dari

pengertian pidana, tujuan dan teori pemidanaan, sanksi pidana dan sanksi

tindakan, dan sanksi tindakan rehabilitasi.

BAB III Hasil Penelitian, bab ini akan menerangkan tentang Kebijakan Sanksi

Pidana Dan Tindakan (Double Tract System) Dalam Penegakan Hukum

Penanggulangan Tindak Pidana Narkoba Dalam Mewujudkan Keadilan

Religius saat ini.

BAB IV Analisis, membahas kelemahan-kelemahan dan Rekonstruksi Kebijakan

Sanksi Pidana Dan Tindakan (Double Tract System) Dalam Penegakan

Hukum Penanggulangan Tindak Pidana Narkoba Dalam Mewujudkan

Keadilan Religius.

BAB V Berisikan tentang kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan

masalah dalam penulisan hukum ini dan sekaligus disampaikan saran-

saran yang merupakan rekomendasi dari penulis.


95

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

AA. Qadri, Sebuah Potret Teori dan Praktek Keadilan


Dalam Sejarah Pemerintahan Muslim, 1987, Yogyakarta: PLP2M, hlm. 1

Altherton & Klemmack dalam Irawan Soehartono, 1999, Metode Penelitian


Social Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Social Lainnya,
Bandung, Remaja Rosda Karya, hlm. 63

Andi Ayyub Saleh, 2006, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and
Law in Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif
Watampone, Jakarta, hlm. 70

Bernard Arief Sidharta, 2009, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar
Maju, Bandung, hlm. 207-208.

BNN, Kemenkes, dan Kemensos, analisa, Sumber Timahli Komisi III DPDRI

Dani Krisnawati, dkk, 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi
Aksara, Jakarta, hlm.93.

Diana Kusumasari, “Penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika”,


http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4dc0cc5c25228/penyalahgu
naan-narkotika-dan-prekursor-narkotika, diakses tanggal 2 Oktober 2018.

Dit Narkoba Koserse Polri, Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran


Gelap Narkoba yang Dilaksanakan oleh Polri, Mabes Polri, Jakarta,
2002, hlm. 2.

Faisal, 2010, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta,


hlm.70

Gatot Supramono. 2007. Hukum Narkoba Indonesia. Jakarta: Djambatan. hlm.


156.

H. Nawawi, 1995, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University


Press, Yogyakarta, hlm. 54

Hamka, Tafsir Al-azhar Jus V, 1983, Jakarta: Putaka Panji Mas, hlm. 125.

Hamzah, Andi. 1986. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke
Reformasi. Pradya Paramita. Jakarta, hlm. 33

Johnny Ibrahim, 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,


Bayumedia, Surabaya, hlm.1
96

L. Moleong, 2002, Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya,


Bandung, hlm. 34-35

Madjid Khadduri, Teologi Keadilan (Perspektf Islam), 1999, Surabaya: Risalah


Gusti, hlm.119-201.

Mahmud Kusuma, 2009, Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi


Paradigmatik Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib
bekerjasama LSHP, Yogyakarta, hlm. 31

Merdeka, “Pengguna Narkoba di Indonesia Pada 2015 Capai 5,8 Juta Jiwa ”,
http://www.merdeka.com/peristiwa/pengguna-narkoba-di-indonesia-
pada-2015-capai-58-juta-jiwa.html , diakses tanggal 3 Maret 2018.

Moeljatno. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum


Pidana Cetakan Pertama. Yogyakarta: Bina Aksara. hlm. 24-25.

Moh. Mahfud MD, Politi Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2017, hlm.
375-377.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana.
Alumni. Bandung, hlm.14

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana.
Alumni. Bandung, hlm. 87

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana.
Alumni. Bandung, hlm. 65

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana.
Alumni. Bandung, hlm. 20

Muladi. 2002 Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung, hlm. 55

Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi: Azas Pandangan Dunia Islam, 1995,


Bandung: Mizan, hlm. 53-58.

O.C. Kaligis & Associates. 2002. Narkoba dan Peradilannya di Indonesia,


Reformasi Hukum Pidana Melalui Perundangan dan Peradilan.
Bandung: Alumni. hlm. 260.

S. Wiljatmo. 1979. Pengantar Ilmu Hukum. Yogyakarta: Lukman Opset. hlm 20.

Samosir, Djisman. 1992. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di


Indonesia. Bina Cipta. Bandung, hlm. 67

Samosir, Djisman. 1992. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di


Indonesia. Bina Cipta. Bandung, hlm. 34
97

Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas,


Jakarta, hlm. 270

Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta


Publishing, Yogyakarta, hlm. xiii

Satya Arinanto, 2008, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik, Pusat Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Univesitas Indonesia, Jakarta, hlm.
340

Siswantoro Sonarso. 2004. Penegakan Hukum Dalam Kajian Sosiologis. Jakarta:


Raja Grafindo Persada. hlm. 142.

Soerjono dan Abdulrahman. 2003. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka


Cipta. hlm.. 23.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif,


Penelitian kepustakaan atau disebut juga penelitian hukum normatif
adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 13-14.

Sudaryono dan Natangsa surbakti. 2005. Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. hlm. 112.

Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Alumni, Bandung, hlm.3.

Teguh Prasetyo, 2015, Keadilan Bermartabat, Perspektif Teori Hukum, Bandung:


Nusamedia, h.. 4-6

Perundang-undangan:

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
Undang-Undang Nomor35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika
Peraturan Pemerintah No31Tahun1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan
Warga Binaan Pemasyarakatan
98

Surat Edaran Mahkamah Agung No 04 Tahun 2010 tentang penetapan


penyalahgunaan, korban penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke
dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial

Internet:

http://pusatinformasi212.blogspot.co.id/2017/04/teori-keadilan-menurut-
aristoteles-plato-thomas-hobbes.html, accessed on 1 December 2018.
http://www.krjogja.com/web/news/read/52042/Di_Jateng_Pengguna_Narkoba_52
3_Ribu_Orang
http://www.tribunnews.com/mpr-ri/2016/06/21/seharusnya-mpr-kembali-
berwenang-menetapkan-gbhn, pada tanggal 6 Juni 2018
https://ilhamendra.wordpress.com/2010/10/19/teori-keadilan-john-rawls-
pemahaman-sederhana-buku-a-theory-of-justice/ accessed on 4
December 2018.
https://www.suaramerdeka.com/news/baca/129830/pengguna-narkoba-capai-35-
juta-orang
Sindo News, “Rehabilitasi Pecandu Narkoba Dijamin Undang-Undang”,
http://nasional.sindonews.com/read/877153/15/rehabilitasi-pecandu-narkoba-
dijamin-undang-undang-1403750534, diakses pada tanggal 3 Maret 2018.

Tempo, “200 Juta Orang Meninggal Akibat Narkoba Per Tahun”,


http://www.tempo.co/read/news/2014/06/26/173588287/200-Juta-Orang-
Meninggal-Akibat-Narkoba-per-Tahun, diakses tanggal 2 Oktober 2018.

Vous aimerez peut-être aussi