Vous êtes sur la page 1sur 24

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang (RPJP) 2005-


2025 disebutkan bahwa pembangunan sumber daya manusia diarahkan untuk
terwujudnya manusia Indonesia yang sehat, cerdas, produktif dan masyarakat
yang semakin sejahtera.1 Melalui Program Indonesia Sehat 2010, gambaran
masyarakat Indonesia di masa depan yang ingin dicapai adalah masyarakat yang
antara lain hidup dalam lingkungan yang sehat dan mempraktekkan perilaku
hidup bersih dan sehat.2 Lingkungan yang sehat termasuk di dalamnya bebas dari
wabah penyakit menular. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Menengah (RPJM) 2004-2009, salah satu program di bidang kesehatan adalah
pencegahan dan pemberantasan penyakit, termasuk wabah penyakit menular
(Bappenas 2004c). Penanganan secara cepat terhadap wabah penyakit juga
merupakan bagian dari peningkatan pelayanan kesehatan dasar yang menjadi satu
dari tiga prioritas program 100 hari pertama Kabinet Indonesia Bersatu 2004-2009
di bidang kesehatan.3,4
Penyakit menular yang menjadi prioritas pembangunan nasional jangka
panjang 2005-2025 adalah malaria, demam berdarah dengue, diare, polio, filaria,
kusta, tuberkulosis paru, HIV/AIDS, penumonia, dan penyakit lain yang dapat
dicegah dengan imunisasi.1 Walaupun penyakit menular yang menjadi prioritas
target pencegahan dan 2 pemberantasan dalam Tujuan Pembangunan Millenium
(Millenium Development Goals) adalah HIV/AIDS, malaria dan tuberkulosis,3
namun di Indonesia penyakit demam berdarah dengue (DBD) saat ini juga
mendesak untuk diberantas, karena telah menjadi wabah tahunan yang memakan
korban jiwa ratusan orang setiap tahunnya.5,6 Akibat dari penyakit demam
berdarah dengue juga bisa lebih dahsyat dari kasus AIDS karena dapat langsung
menghilangkan nyawa manusia, juga karena gejala dan tandanya tidak selalu
tampil nyata sehingga sulit dikenali sehingga seringkali terlambat diobati dan
akibatnya fatal.7
Upaya kesehatan puskesmas meliputi upaya kesehatan wajib dan upaya
kesehatan pengembangan. Puskesmas difungsikan sebagai ujung tombak penentu

1
kinerja Kabupaten atau kota untuk mewujudkan masyarakat yang sehat di wilayah
kerjanya karena Puskermas merupakan sarana pelayanan kesehatan dasar yang
paling dekat dengan masyarakat. Puskesmas juga merupakan ujung tombak
penyelenggaraan UKM maupun UKP di srata pertama pelayanan kesehatan, dan
merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota yang
bertanggungjawab menyelenggarakan sebagian tugas pembangunan kesehatan di
Kabupaten atau Kota.1
Di dalam pembangunan kesehatan, Indonesia memiliki masalah kesehatan
yang cukup kompleks, dibuktikan dengan meningkatnya kasus penyakit menular,
banyaknya jumlah kematian yang terjadi, serta meningkatnya penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi, didukung dengan perolehan Indonesia dengan
peringkat 4 sedunia untuk kasus tuberculosis, selain itu Indonesia juga
memperoleh peringkat 1 untuk penularan HIV tercepat. Hal ini merupakan
masalah kesehatan yang sangat membutuhkan perhatian dan pembenahan. Namun
dalam pembenahan dan pembangunan kesehatan tidaklah mudah karena dipersulit
dengan adanya keterbatasan sumber daya manusia baik dalam aspek kualitas
maupun kuantitas. Dengan adanya Puskesmas sebagai upaya keperawatan
kesehatan masyarakat yang terdiri dari upaya wajib dan upaya pengembangan,
diharapkan pemberian pelayanan kesehatannya dapat mencegah dan memberantas
penyakit menular melalui upaya wajibnya yaitu P2M.2

2
BAB II
ISI

2.1 Pemberantasan Wabah Penyakit Menular di Indonesia


Upaya pemberantasan wabah penyakit menular di Indonesia saat ini perlu
mendapat perhatian apalagi mengingat beberapa jenis penyakit kembali mewabah.
Kenyataannya adalah hingga saat ini Indonesia masih terancam wabah penyakit
menular klasik, seperti diare, TBC, malaria, tetanus, dan polio.8,5 Gambaran
kondisi penyebaran dan pemberantasan beberapa wabah penyakit menular di
Indonesia adalah sebagai berikut:\
2.1.1 Penyakit malaria.
Menurut laporan tahunan Departemen Kesehatan yang menggambarkan
Profil Kesehatan Indonesia, sebaran penyakit malaria cukup merata di seluruh
kawasan Indonesia, terutama di luar Jawa Bali. Departeman Kesehatan (2004)
memperkirakan 35% penduduk Indonesia tinggal di daerah yang sering terjangkit
wabah malaria.9 Sedangkan Bappenas dalam Laporan Pencapaian Tujuan
Pembangunan Indonesia memperkirakan angka itu sebesar hampir separuh
populasi Indonesia atau 90 juta orang tinggal di daerah yang sering terjangkit
malaria.10 Departemen Kesehatan melaporkan insiden malaria telah menurun
sejak tahun 2001 antara lain merupakan hasil dari Gerakan Berantas Kembali
Malaria (Gebrak Malaria) yang dimulai pada bulan April 2000. Untuk wilayah
Jawa dan Bali target angka penderita malaria pada tahun 2002 sudah melewati
target indikator Indonesia Sehat 2010, yaitu di bawah 5 per 1000 penduduk.9
2.1.2 Penyakit Tuberkulosis Paru.
Indonesia berada di urutan ketiga kasus tuberkulosis terbanyak di dunia,
dengan sekitar 582.000 kasus baru setiap tahun. WHO (dalam Bappenas 2004b)
mencatat di Indonesia terjadi 271 kasus baru per100.000 penduduk selama tahun
2003. 10 Dalam laporan Profil Kesehatan Indonesia dilaporkan bahwa target angka
kesembuhan tuberkulosis paru yang ingin dicapai secara nasional pada tahun 2010
sebesar 85%. Hingga tahun 2002, angka kesembuhan secara nasional mencapai
70,23%. Namun demikian, sudah ada 4 propinsi yang mencapai angka

3
kesembuhan lebih dari 85% yaitu Bali, Gorontalo, Sulawesi Utara, dan
Kalimantan Selatan.9
2.1.3 HIV/AIDS dan Penyakit Menular melalui Hubungan Seksual (PMS)
Jumlah penderita HIV/AIDS digambarkan sebagai fenomena gunung es
yaitu jumlah penderita yang dilaporkan jauh lebih kecil daripada jumlah penderita
yang sebenarnya.9 Kasus AIDS pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun
1987 di Bali.10 Pada tahun 2002, HIV dilaporkan sudah menyebar di 25 propinsi
di Indonesia. Pada tahun 2002 diperkirakan terdapat 80.000-120.000 pengidap
HIV.9 Pada Tahun 2010 diperkirakan akan ada sekitar 110.000 orang yang
menderita atau meninggal karena AIDS. Adapun cara penularan terbesar adalah
melalui hubungan seksual, kemudian melalui penggunaan jarum suntik berkaitan
penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif.10 Penanggulangan HIV/AIDS di
Indonesia terdiri atas upaya pencegahan, pengobatan, dukungan dan perawatan
bagi orang yang hidup dengan HIV/AIDS, dan pengawasan. Sebagai komitmen
terhadap upaya global, Indonesia telah meratifikasi komitmen internasional
Deklarasi PBB tentang HIV/AIDS ”Declaration of Commitment” tahun 2001 dan
Deklarasi ASEAN tentang HIV/AIDS ”A World Fit for Children” tahun 2002.9
2.1.4 Acute Flaccid Paralysis (AFP)
Penyakit yang di Indonesia dikenal juga dengan nama ”lumpuh layuh” ini
diproyeksikan sebagai indikator keberhasilan program eradikasi (penghapusan)
polio. Upaya ini ingin dicapai melalui gerakan Pekan Imunisasi Nasional (PIN)
sebagai wujud dari komitmen internasional dalam pembasmian penyakit polio di
Indonesia. Target angka penderita AFP dicapai secara nasional pada tahun 2010
adalah 0,9 per 100.000 anak usia di bawah 15 tahun. Pada tahun 2002, angka
penderita AFP adalah 1.32 per 100.000 anak usia di bawah 15 tahun. Pada bulan
Mei 2005, AFP kembali mewabah di beberapa wilayah di Indonesia. Untuk
menanggulanginya, pada tanggal 30-31 Juni 2005 telah dilaksanakan imunisasi
polio secara massal bagi anak-anak di bawah umur 5 tahun.9
2.1.5 Wabah Demam Berdarah Dengue di Indonesia
Indonesia dalam peta wabah demam berdarah dengue ada di posisi yang
memprihatinkan. Dalam jumlah angka kesakitan (morbidity rate) dan kematian
(mortality rate) demam berdarah dengue di kawasan Asia Tenggara, selama kurun

4
waktu 1985-2004, Indonesia 5 berada di urutan kedua terbesar setelah Thailand.6
Selama tahun 1985-2004, di Indonesia tercatat angka penderita demam berdarah
dengue terendah 10.362 pada tahun 1989 dan tertinggi 72.133 orang pada tahun
1998, dengan angka kematian terendah 422 orang pada tahun 1999 dan tertinggi
1.527 pada tahun 1988.9
Di negara-negara di wilayah tropis, demam berdarah dengue umumnya
meningkat pada musim penghujan di mana banyak terdapat genangan air bersih
yang menjadi tempat berkembang biak nyamuk Aedes aegypty. Di daerah
perkotaan, umumnya wabah demam berdarah kembali meningkat menjelang awal
musim kemarau.11
Wabah demam berdarah dengue di Indonesia yang menyebabkan banyak
kematian terjadi untuk pertama kalinya pada tahun 1968 di kota Jakarta dan
Surabaya. Pada tahun-tahun selanjutnya penyakit ini menyebar ke berbagai daerah
di Indonesia. Hingga saat ini hampir semua provinsi di Indonesia pernah
mengalami wabah demam berdarah dengue.11
Pada tahun 2005, jumlah kasus demam berdarah dengue di seluruh
Indonesia sampai dengan Februari 2005 sebanyak 5.064 kasus dengan 113
kematian. Di 6 provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Sulawesi Selatan,
Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur dilaporkan
terjadi peningkatan kasus yang diwaspadai sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB)
Demam Berdarah Dengue. Artinya, jumlah kasusnya sudah dua kali lipat atau
lebih dari bulan yang sama pada tahun lalu dan atau angka kematiannya lebih dari
1% .4 Pada tanggal 6 Juni 2005, tercatat jumlah penderita demam berdarah dengue
di seluruh Indonesia selama bulan Januari-Mei 2005 sejumlah 28.330 orang
dengan jumlah kematian 330 orang.12
Pada tahun 2015, tercatat terdapat sebanyak 126.675 penderita DBD di 34
provinsi Indonesia dan 1.229 orang diantaranya meninggal dunia. Jumlah tersebut
lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya, yakni sebanyak 100.347 penderita DBD
dan sebanyak 907 penderita meninggal dunia pada tahun 2014. Hal ini dapat
disebabkan oleh perubahan iklim dan rendahnya kesadaran untuk menjaga
kebersihan lingkungan.13

5
Pada tahun 2016 jumlah kasus DBD di Indonesia terdapat 4 propinsi yang
sangat tinggi yaitu, Jawa Timur (340 kasus), Jawa Barat (270 kasus), Jawa
Tengah (213 kasus) dan Kalimantan Timur (103 kasus). Jumlah kasus terendah
dicapai oleh Papua (0 kasus), NTT dan Sulawesi Barat (2 kasus) serta Kepulauan
Bangka Belitung (3 kasus). Incidence Rate (IR) untuk setiap 100 ribu penduduk
pada setiap provinsi pada 2016 terdapat 7 provinsi memiliki IR di atas seratus atau
rawan terjadi kasus DBD. Ke-tujuh provinsi tersebut adalah Bali (484),
Kalimantan Timur (306), DKI Jakarta (198.7), DI Yogyakarta (167.9), Kalimatan
Utara (158.3), Sulawesi Tenggara (123.3) dan Kalimantan Selatan (101.1). IR
terendah dicapai oleh propinsi Papua (11.8) dan Kalimantan Barat (12.1).
Keseluruhan Indonesia terbilang tinggi karena IR sebesar 78.0. 13
2.1.6 Penyakit Menular Lainnya.
Penyakit menular lain yang menjadi perhatian dalam pembangunan derajat
kesehatan masyarakat di Indonesia adalah: tetanus neonatorum, campak, infeksi
saluran pernapasan akut, diare, kusta, rabies, dan filariasis.9
2.2 Pola umum pemberantasan penyakit menular
Secara umum, pemberantasan penyakit menular di Indonesia dilakukan
melalui upaya-upaya: kewaspadaan dini, penemuan penderita, penanganan
penderita, pemberantasan sumber penyakit, upaya kekebalan (imunisasi), dan
penyuluhan masyarakat. Upaya-upaya secara sistematis yang dilakukan antara lain
dengan pencanangan gerakan nasional pemberantasan penyakit dan
kesepakatankesepakatan regional maupun internasional. Gerakan nasional
pemberantasan penyakit menular di Indonesia antara lain: Gerakan Berantas
Kembali Malaria (Gebrak Malaria), Gerakan Nasional Terpadu Pemberantasan
Tuberkulosis (Gerdunas), Pekan Imunisasi Nasional (PIN) yang salah satunya
untuk imunisasio polio, dan Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) untuk
demam berdarah dengue.9
Merebaknya kembali wabah penyakit polio lumpuh layuh (Acute Flaccid
Paralysis) pada awal Mei 2005, menjadi peringatan keras bagi lemahnya
pengawasan pemberantasan wabah penyakit menular di Indonesia. Hal itu
mengingat Indonesia pada tahun 2003 hampir mendapat sertifikat bebas polio dari

6
WHO. Oleh karena itu, menjadi penting bagi kita untuk melihat kebijakan
pemberantasan wabah penyakit menular di Indonesia. 9
Pelajaran pemberantasan penyakit menular dapat kita pelajari dari kasus-
kasus merebaknya kembali wabah penyakit menular. Demam berdarah dengue,
adalah salah satu entry point yang baik bagi kita untuk mengkaji kebijakan
pemberantasan wabah penyakit menular karena wabah penyakit ini setiap tahun
masih mewabah. Masalah penanganan wabah demam berdarah dapat menjadi
salah satu potret gambaran penanganan wabah penyakit menular. 9
2.3 Pengertian Wabah Penyakit Menular.
Mengacu pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah
Penyakit Menular dalam Bab I Pasal 1a, Departemen Kesehatan mendefinisikan
wabah penyakit menular sebagai berikut: 14
“Wabah penyakit menular adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit
menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata
melebihi daripada keadaan lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat
menimbulkan malapetaka.”.14
Sedangkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.
949/Menkes/SK/VIII/2004 tentang Pedoman Penyelenggaran Sistem
Kewaspadaan Dini Luar Biasa (KLB), Departemen Kesehatan mendefinisikan
wabah sebagai berikut:9
”Wabah adalah berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat
yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan
yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.”
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 949/Menkes/SK/VIII/2004
tentang Pedoman Penyelenggaran Sistem Kewaspadaan Dini Luar Biasa (KLB)
itu diatur bahwa yang berwenang menetapkan bahwa suatu wilayah terjangkit
wabah adalah Menteri Kesehatan. Dalam peraturan itu dikatakan bahwa, ”Menteri
menetapkan dan mencabut daerah tertentu dalam wilayah Indonesia yang
terjangkit wabah sebagai daerah wabah”.9
2.4 Kejadian Luar Biasa (KLB).
Kejadian berjangkitnya demam berdarah dengue di suatu tempat dapat
menimbulkan ledakan jumlah penderitanya. Dalam ukuran tertentu, ledakan

7
jumlah penderita di suatu wilayah dibandingkan dengan jumlah kejadian di tempat
yang sama pada kurun waktu yang sama tahun sebelumnya, di Indonesia kejadian
itu disebut sebagai Kejadian Luar Biasa. Departemen Kesehatan mendefinisikan
Kejadian Luar Biasa sebagai berikut: 2
“Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah suatu kejadian kesakitan/kematian
dan atau meningkatnya suatu kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara
epidemiologis pada suatu kelompok penduduk dalam kurun waktu tertentu.”
(Peraturan Menteri Kesehatan No. 949/Menkes/SK/VIII/2004).
Kriteria penetapan KLB Demam Berdarah Dengue adalah sebagai berikut:
“Kriteria KLB Demam Berdarah Dengue adalah: (1) timbulnya penyakit
demam berdarah dengue (DBD) yang sebelumnya tidak ada di suatu daerah
Tingkat II. (2) Adanya peningkatan kejadian kesakitan DBD dua kali atau lebih
dibandingkan jumlah kesakitan yang biasa terjadi pada kurun waktu yang sama
tahun sebelumnya.”14
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1202/Menkes/SK/VIII/2002
tentang Indikator Indonesia Sehat 2010 dirumuskan indikator KLB Demam
Berdarah Dengue yaitu:2
”Angka kesakitan (morbiditas) DBD adalah jumlah kasus DBD di suatu
wilayah tertentu selama satu tahun dibagi jumlah penduduk di wilayah dan kurun
waktu yang sama, dikalikan 100.000.” 2
2.5 Kebijakan Umum Pemberantasan Wabah Penyakit Menular.
Kebijakan umum pemberantasan penyakit menular antara lain dirumuskan
dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
Dalam Undang-undang ini dikatakan bahwa Menteri Kesehatan menetapkan jenis-
jenis penyakit yang dapat menimbulkan wabah (Pasal 3) dan daerah dalam
wilayah Indonesia yang ditetapkan sebagai daerah wabah serta daerah yang sudah
bebas wabah (Pasal 4).9
Upaya penanggulangan wabah meliputi: (1) penyelidikan epidemiologis,
yaitu melakukan penyelidikan untuk mengenal sifat-sifat penyebabnya serta faktor
yang dapat menimbulkan wabah, (2) pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan
isolasi penderita termasuk tindakan karantina, (3) pencegahan dan pengebalan
yaitu tindakan yang dilakukan untuk memberikan perlindungan kepada mereka

8
yang belum sakit tetapi mempunyai risiko terkena penyakit, (4) pemusnahan
penyebab penyakit, yaitu bibit penyakit yang dapat berupa bakteri, virus dan lain-
lain, (5) penanganan jenazah akibat wabah, (6) penyuluhan kepada masyarakat
(Pasal 5). 9
Penanggulangan wabah demam berdarah seperti halnya wabah pada
umumnya, melibatkan peran serta masyarakat namun sifatnya persuasif. Dalam
penjelasan Pasal 5 Undang-undang No. 4 Tahun 1984, dikatakan bahwa
penyuluhan kepada masyarakat adalah kegiatan komunikasi yang bersifat
persuasif edukatif tentang penyakit yang dapat menimbulkan wabah agar
masyarakat mengerti sifat-sifat penyakit, sehingga dapat melindungi diri dari
penyakit, dan apabila terkena, tidak menular pada orang lain.9
Dalam penjelasan Pasal 5 Undang-undang No. 4 Tahun 1984, juga
dikatakan bahwa penyuluhan dilakukan agar masyarakat dapat berperan aktif
dalam menanggulangi wabah. Selanjutnya dalam Pasal 6 dikatakan bahwa
mengikutsertakan masyarakat secara aktif haruslah tidak mengandung paksaan,
disertai kesadaran dan semangat gotong royong, 16 dilaksanakan dengan penuh
tanggung jawab. Dengan demikian, kebijakan pemberantasan penyakit menular
memang mendorong pelibatan masyarakat secara aktif, namun ini lebih bersifat
himbauan.9
Upaya pemberantasan penyakit menular terkadang terhambat karena
kelalaian. Undangundang No. 4 Tahun 84 juga mengatur tentang ketentuan pidana
pelanggaran kelalaian penanggulangan wabah penyakit. Kesengajaan
menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah dipandang sebagai kejahatan
dan diancam dengan pidana penjara maksimal satu tahun dan/atau denda
maksimal satu juta rupiah. Sedangkan kealpaan yang mengakibatkan terhalangnya
pelaksanaan penanggulangan wabah penyakit dipandang sebagai pelanggaran dan
diancam pidana kurungan maksimal enam bulan dan/atau denda maksimal lima
ratus ribu rupiah (Pasal 14).9
Pelaksanaan Undang-undang No. 4 Tahun 1984 yang selanjutnya diatur
dengan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1991. Dalam peraturan ini, yang
ditekankan juga adalah partisipasi masyarakat secara aktif namun partisipasi ini
lebih dimunculkan secara persuasif. 9

9
2.6 Target Kinerja
Memperhatikan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan , tujuan, arah
kebijakan dan strategi Ditjen PP dan PL, maka disusunlah target kinerja dan
kerangka pendanaan Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
2015- 2019. 15
Target kinerja merupakan penilaian dari pencapaian program yang diukur
secara berkala dan dievaluasi pada akhir tahun 2019. Sasaran kinerja dihitung
secara kumulatif selama lima tahun dan berakhir pada tahun 2019. 15
Sasaran Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
dalam Rencana Aksi Program ditetapkan dengan merujuk pada sasaran yang
ditetapkan dalam RPJMN dan Renstra serta memperhatikan tugas pokok dan
fungsi Ditjen PP dan PL sebagaimana didistribusikan pada Sub Direktorat, Bagian
dan UPT. Sasaran yang yang ditetapkan tersebut adalah : 15
1. Persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen imunisasi dasar lengkap
pada bayi sebesar 95 %
2. Jumlah kab/kota dg eliminasi malaria sebesar 300 kab/kota
3. Jumlah kab/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria <
75 %
4. Jumlah provinsi dg eliminasi kusta sebesar 34
5. Prevalensi TB sebesar 245 per 100.000 penduduk
6. Prevalensi HIV (persen) < 5 %
7. Persentase kabupaten/kota yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan
sebesar 40%.
8. Persentase penurunan kasus Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
(PD3I) tertentu sebesar 40%.
9. Persentase kabupaten/kota yang mempunyai Kebijakan kesiapsiagaan dalam
penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah
sebesar 100%.
10. Persentase penurunan prevalensi merokok pada usia ≤ 18 tahun sebesar 5,4%.
11. Persentase respon sinyal SKD dan KLB, Bencana dan Kondisi Matra di
wilayah layanan B/BTKLPP sebesar 90%

10
12. Jumlah teknologi tepat guna PP dan PL yang dihasilkan B/BTKLPP
meningkat 50 % dari jumlah TTG tahun 2014.
13. Persentase alat angkut sesuai dengan standar kekarantinaan kesehatan sebesar
100%.
Untuk mencapai target tersebut, maka kegiatan yang akan dilakukan adalah: 15
A. Pembinaan Surveilans, Imunisasi, Karantina dan Kesehatan Matra
Sasaran kegiatan ini adalah menurunkan angka kesakitan akibat penyakit yang
dapat dicegah dengan imunisasi, peningkatan surveillance, karantina kesehatan,
dan kesehatan matra dengan indikator sebagai berikut:
1. Persentase anak usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap
sebesar 93%.
2. Persentase anak usia dibawah tiga tahun yang mendapat imunisasi dasar
lengkap dan imunisasi lanjutan sebesar 70%.
3. Persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen imunisasi dasar lengkap
pada bayi sebesar 95 %
4. Persentase sinyal kewaspadaan dini yang direspons sebesar 90%.
5. Penemuan kasus discarded campak ≥ 2 per 100.000 penduduk
6. Penemuan kasus AFP non polio ≥ 2 per 100.000 penduduk usia < 15 tahun
7. Persentase kabupaten/kota yang mempunyai daerah penyelaman yang
melaksanakan upaya kesehatan matra sebesar 60%.
8. Persentase Kab/Kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan dalam
penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah
sebesar 100%
9. Persentase alat angkut sesuai dengan standar kekarantinaan kesehatan sebesar
100%.
10. Persentase respon sinyal SKD dan KLB, Bencana dan Kondisi Matra di
wilayah layanan B/BTKLPP sebesar 90%
B. Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang15
Sasaran kegiatan ini adalah meningkatnya pencegahan dan penanggulangan
penyakit bersumber binatang dengan indikator:
1. Persentase kabupaten/kota yang melakukan pengendalian vektor terpadu
sebesar 80%.

11
2. Jumlah kabupaten/kota dengan API < 1/1000 penduduk sebanyak 400
kabupaten/kota.
3. Jumlah kabupaten/kota endemis Filaria berhasil menurunkan angka mikro
filaria menjadi < 1% sebanyak 75 kabupaten/kota.
4. Persentase kabupaten/kota dengan IR DBD < 49 per 100.000 penduduk
sebesar 68%.
5. Persentase kabupaten/kota yang eliminasi rabies sebesar 85%.
6. Persentase rekomendasi kajian pengendalian penyakit bersumber binatang
meningkat 50 % dari jumlah rekomendasi tahun 2014
7. Persentase teknologi tepat guna pengendalian penyakit bersumber binatang
meningkat 50 % dari jumlah rekomendasi tahun 2014.
8. Persentase pelabuhan/bandara/PLBD yang melakukan pengendalian vektor
terpadu sebesar 100 %
C. Pengendalian Penyakit Menular Langsung15
Sasaran kegiatan ini adalah menurunnya angka kesakitan dan kematian akibat
penyakit menular langsung dengan indikator:
1. Persentase cakupan penemuan kasus baru kusta tanpa cacat sebesar 95%.
2. Jumlah provinsi mencapai eliminasi kusta. Dengan target di tahun 2020,
eliminasi kusta tercapai di 34 provinsi.
3. Persentase kabupaten/kota dengan angka keberhasilan pengobatan TB paru
BTA positif (Success Rate) minimal 85% sebesar 90%.
4. Persentase angka kasus HIV yang diobati sebesar 55%.
5. Persentase kabupaten/kota yang 50% Puskesmasnya melakukan pemeriksaan
dan tata laksana Pneumonia melalui program MTBS sebesar 60%.
6. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan kegiatan deteksi dini hepatitis
B pada kelompok berisiko sebesar 80%.
7. Persentase kajian pengendalian penyakit menular langsung meningkat 50 %
dari jumlah rekomendasi tahun 2014
8. Persentase teknologi tepat guna pengendalian penyakit menular langsung
meningkat 50 % dari jumlah rekomendasi tahun 2014
9. Persentase Pelabuhan/Bandara/PLBD yang melaksanakan kegiatan deteksi
dini penyakit menular langsung 100 %

12
2.7. Program Pemberantasan Penyakit Menular di Puskesmas 3
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit menular merupakan program
pelayanan kesehatan Puskesmas untuk mencegah dan mengendalikan penular
penyakit menular/infeksi (misalnya TB, DBD, Kusta dll). Tujuan dari program
P2M ini yaitu untuk menurunkan angka kesakitan, kematian, dan kecacatan akibat
penyakit menular. Prioritas penyakit menular yang akan ditanggulangi adalah
Malaria, demam berdarah dengue, diare, polio, filaria, kusta tuberkulosis paru,
HIV/AIDS, pneumonia, dan penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Uraian tugas umum untuk koordinator unit pencegahan dan
pemberantasan penyakit menular yaitu menyusun perencanaan dan evaluasi
kegiatan di unit p2m, mengkoordinir dan berperan aktif terhadap kegiatan di
unitnya, dan ikut serta aktif mencegah dan mengawasi terjadinya peningkatan
kasus penyakit menular serta menindaklanjuti terjadinya KLB. Banyak sekali
upaya yang dilakukan oleh puskesmas untuk memberantas penyakit menular,
setelah puskemas bekerja, kinerja p2m puskesmas langsung dilaporkan kepada
kepala dinas kesehatan daerah tingkat II.
2.7.1. Ruang Lingkup Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular 3
Adapun ruang lingkup pencegahan dan pemberantasan penyakit yang
dilakukan oleh puskesmas antara lain:
A. Surveilans epidemiologi
B. Imunisasi
C. TBC
D. Malaria
E. Kusta
F. DBD
G. Penanggulangan KLB
H. ISPA/Pnemonia
I. Filariasis
J. AFP
K. Diare
L. Rabies/Gigitan Hewan Penular Rabies (HPR)
M. Kesehatan Matra (Haji dan P. Bencana)

13
N. Frambusia
O. Leptospirosis
P. HIV/AIDS
2.7.2. Kegiatan Pokok P2M
Secara umum, untuk pemberantasan penyakit menular, puskesmas
memiliki tugas-tugas yang terbagi dalam lima hal. Terdapat banyak sekali macam
penyakit menular, berikut ini jenis penyakit menular yang bersumber data dari
puskesmas berdasarkan KEPMENKES RI NOMOR 1479/MENKES/SK/X/2003
tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit
Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu: 2
NO. Penyakit NO. Penyakit
1. Kolera 14. Malaria Klinis
2. Diare 15. Malaria Vivax
3. Diare berdarah 16. Malaria falsifarum
4. Tifus perut klinis 17. Malaria mix
5. TBC paru BTA (+) 18. Demam berdarah dengue
6. Tersangka TBC paru 19. Demam dengue
7. Kusta PB 20. Pneumonia
8. Kusta MB 21. Sifilis
9. Campak 22. Gonrrhea
10. Difteri 23. Frambusia
11. Batuk rejan 24. Filariasis
12. Tetanus 25. Influensa
13. Hepatitis klinis
Kegiatan pokok pemberantasan penyakit menular oleh puskesmas terdiri dari
pencegahan dan penanggulangan faktor risiko, peningkatan imunisasi, penemuan
dan tatalaksana penderita, Peningkatan surveilens epidemiologi dan
penanggulangan wabah, serta Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi
(KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit. 2
A. Pencegahan dan Penanggulangan Faktor Risiko
Selain pasien yang telah terinfeksi penyakit menular, masyarakat yang
memiliki risiko tinggi juga perlu diperhatikan, karena masyarakat yang memiliki

14
risiko tinggi bisa memiliki risiko kapan saja terkena penyakit menular.
Pencegahan dan penanggulangan faktor risiko terdiri atas: 2
1. Menyiapkan materi dan menyusun rancangan peraturan dan perundang-
undangan, dan kebijakan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko
dan diseminasinya
2. Menyiapkan materi dan menyusun rencana kebutuhan untuk pencegahan
dan penanggulangan faktor resiko
3. Menyediakan kebutuhan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko
sebagai stimulam
4. Menyiapkan materi dan menyusun rancangan juklak/juknis/pedoman
pencegahan dan penanggulangan faktor risiko
5. Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk
melakukan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko
6. Melakukan bimbingan, pemantauan dan evaluasi kegiatan pencegahan dan
penanggulangan faktor risiko
7. Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi
dan konsultasi teknis pencegahan dan penanggulangan faktor risiko
8. Melakukan kajian program pencegahan dan penanggulangan faktor risiko
9. Membina dan mengembangkan UPT dalam pencegahn dan
penanggulangan faktor risiko.
10. Melaksanakan dukungan administrasi dan operasional pelaksanaan
pencegahan dan pemberantasan penyakit.
B. Peningkatan imunisasi
Imunisasi sangat penting untuk mencegah dan melindungi seseorang terjangkit
penyakit menular, ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh puskesmas dalam
hal peningkatan imunisasi yaitu: 3
1. Menyiapkan materi dan menyusun rancangan peraturan dan perundang-
undangan, dan kebijakan peningkatan imunisasi, dan diseminasinya
2. Menyiapkan materi dan menyusun perencanaan kebutuhan peningkatan
imunisasi

15
3. Menyediakan kebutuhan peningkatan imunisasi sebagai stimulan yang
ditujukan terutama untuk masyarakat miskin dan kawasan khusus sesuai
dengan skala prioritas
4. Menyiapkan materi dan menyusun rancagan juklak juklak/juknis/protap
program imunisasi
5. Menyiapkan dan mendistribusikan sarana dan prasarana imunisasi
6. Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk
melaksanakan program imunisasi
7. Melakukan bimbingan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan imunisasi
8. Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi
dan konsultasi teknis peningkatan imunisasi
9. Melakukan kajian upaya peningkatan imunisasi
10. Membina dan mengembangkan UPT dalam upaya peningkatan imunisasi
11. Melaksanakan dukungan administrasi dan operasional pelaksanaan
imunisasi
C. Penemuan dan tatalaksana penderita
Selain kunjungan penderita ke puskesmas, puskesmas harus berperan aktif
dalam penemuan dan kunjungan terhadap penderita. Penemuan dan tatalaksana
penderita terdiri atas upaya bimbingan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan
penemuan dan tatalaksana penderita, serta meningkatkan kemampuan tenaga
pengendalian penyakit untuk melaksanakan program penemuan dan tatalaksana
penderita. Di dalam upaya penemuan dan tatalaksana penderita dibutuhkan
kerjasama antara masyarakat dan puskesmas untuk saling bekerjasama sehingga
dapat memabangun status kesehatan pada masyarakat yang optimal dengan
pemberantasan penyakit menular, sebagai contoh seperti kasus TBC yang
membutuhkan peran penting puskesmas. Apabila pasien berhenti dalam masa
pengobatan akibat halangan tertentu atau lalainya pasien dalam kunjungan ke
puskesmas untuk kontrol, maka puskesmas harus aktif mengunjungi rumah
penderita, sebab apabila pasien tersebut berhenti minum obat, maka upaya
pemberantasan TBC dikatakan gagal dan pasien harus mengulang tahap
pengobatan mulai dari awal. Serta apabila pasien terus-terusan memberhentikan
pengobatan di tengah-tangah masa pengobatan, maka akan terjadi resistensi dan

16
hal ini dapat menyebabkan kemungkinan penyebaran penyakit semakin besar.
Itulah sebabnya, puskesmas terdekat harus mengunjungi rumah pasien agar dapat
menjangkau pasien dan menyukseskan upaya p2m. Kegiatan pokok dalam upaya
ini yaitu: 3
1. Menyiapkan materi dan menyusun rancangan peraturan dan
perundangundangan, dan kebijakan penemuan dan tatalaksana penderita
dan diseminasinya
2. Menyiapkan materi dan menyusun perencanaan kebutuhan penemuan dan
tatalaksana penderita
3. Menyediakan kebutuhan penemuan dan tatalaksana penderita sebagai
stimulan
4. Menyiapkan materi dan menyusun rancangan juklak/juknis/pedoman
program penemuan dan tatalaksana penderita
5. Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk
melaksanakan program penemuan dan tatalaksana penderita
6. Melakukan bimbingan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan penemuan dan
tatalaksana penderita
7. Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi
dan konsultasi teknis penemuan dan tatalaksana penderita
8. Melakukan kajian upaya penemuan dan tatalaksana penderita
9. Membina dan mengembangkan UPT dalam upaya penemuan dan
tatalaksana penderita
10. Melaksanakan dukungan administrasi dan operasional pelaksanaan
penemuan dan tatalaksana penderita.
D. Peningkatan surveilans epidemiologi dan penanggulangan wabah
1. Surveilans epidemilogi penyakit menular juga merupakan salah satu upaya
pemberantasan penyakit menular yang penting, karena dengan surveilans
epidemiologi penyakit menular, puskesmas dapat mengetahui penyebaran
dan hubungannya dengan faktor risiko, surveilans epidemiologi ini dapat
mendukung pemberantasan penyakit menular dari data yang didapat oleh
puskesmas itu sendiri. Kegiatan pokok: 3

17
2. Menyiapkan materi dan menyusun rancangan peraturan dan perundang-
undangan, dan kebijakan peningkatan surveilans epidemiologi dan
penanggulangan KLB/wabah dan diseminasinya
3. Menyiapkan materi dan menyusun perencanaan kebutuhan peningkatan
surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah
4. Menyediakan kebutuhan peningkatan surveilans epidemiologi dan
penanggulangan KLB/wabah sebagai stimulan
5. Menyiapkan materi dan menyusun rancangan juklak/juknis/pedoman
program surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah
6. Meningkatkan sistem kewaspadaan dini dan menanggulangi KLB/Wabah,
termasuk dampak bencana
7. Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk
melaksanakan program surveilans epidemiologi dan penanggulangan
KLB/wabah
8. Melakukan bimbingan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan surveilans
epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah
9. Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi
dan konsultasi teknis peningkatan surveilans epidemiologi dan
penanggulangan KLB/wabah
10. Melakukan kajian upaya peningkatan surveilans epidemiologi dan
penanggulangan KLB/wabah
11. Membina dan mengembangkan UPT dalam upaya peningkatan surveilans
epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah
12. Melaksanakan dukungan administrasi dan operasional pelaksanaan
surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah.
Surveilans merupakan kegiatan analisis secara sistematis dan terus
menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-
masalah kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan penanggulangan
secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan
penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program. Jadi,
surveilans epidemiologi penyakit menular merupakan kegiatan analisis secara

18
sistematis dan terus-menerus terhadao penyakit menular yang terjadi di suatu
wilayah tertentu agar dapat melakukan tindakan penanggulangaan penyakit
menular secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan
dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan.
Tujuan surveilans epidemiologi penyakit menular yaitu: 3
1. Terkumpulnya data kesakitan, data laboratorium dan data KLB penyakit
menular di Puskesmas sebagai sumber data Surveilans Terpadu Penyakit
Menular.
2. Terdistribusikannya data kesakitan, data laboratorium serta data KLB
penyakit menular kepada unit surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
unit surveilans Dinas Kesehatan Propinsi dan unit surveilans Direktorat
Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular
3. Terlaksananya pengolahan dan penyajian data penyakit menular dalam
bentuk tabel, grafik, peta dan analisis epidemiologi lebih lanjut oleh Unit
surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Propinsi
dan Ditjen PPM &PL Depkes
4. Terdistribusinya hasil pengolahan dan penyajian data penyakit menular
beserta hasil analisis epidemiologi lebih lanjut dan rekomendasi kepada
program terkait di Puskesmas, Kabupaten/Kota, Propinsi, Nasional, pusat-
pusat riset, pusat-pusat kajian dan perguruan tinggi serta sektor terkait
lainnya
E. Peningkatan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) Pencegahan dan
Pemberantasan Penyakit
Setelah upaya-upaya yang telah dijelaskan di atas tadi, Puskesmas juga
memiliki upaya untuk meningkatkan komunikasi, informasi, dan Edukasi untuk
oencegan dan pemberantasan penyakit menular di suatu wilayah kerjanya. Upaya
ini bisa dilakukan dengan pengembangan media promosi kesehatan dan teknologi
komunikasi, informasi dan edukasi (KIE); pengembangan upaya kesehatan
bersumber masyarakat, (seperti pos pelayanan terpadu, pondok bersalin desa,
usaha kesehatan sekolah dan generasi muda, Saka Bhakti Husada; serta
peningkatan pendidikan kesehatan kepada masyarakat. Media promosi kesehatan
terhadap masyarakat perlu ditingkatkan terutama promosi tentang penyakit

19
menular, cara penularan dan cara pencegahan agar masyarakat bisa mengerti
secara luas apa saja penyakit menular itu, bagaimana cara mencegahnya dan
bagaimana cara mengobatinya. Selain itu puskesmas juga bertugas untuk
mengajak masyarakat berperan aktif dalam pengembangan upaya kesehatan
misalnya pos pelayanan terpadu dan usaha kesehatan lain. Selain promosi
kesehatan, komunikasi dan informasi seputar penyakit menular untuk masyarakat
juga merupakan upaya puskesmas dalam pemberantasan penyakit menular.
Informasi yang diberikan terhadap puskesmas seperti penyuluhan harus dibuat
semenarik mungkin agar masyarakat tertarik terhadap acara yang diadakan.
Semisal, penyuluhan HIV/AIDS pada siswa SMP/SMA untuk pencegahan
penyakit menular seksual pada kalangan muda yang sekarang sedang marak
terjadi. Banyak siswa SMP yang masih belum mengerti apa itu penyakit
HIV/AIDS dan bagaimana cara penularannya sehingga di Indonesia penyebaran
HIV/AIDS sangatlah cepat. Selain pemberian informasi, pembentukan karakter
dan moral terhadap kalangan muda juga sangat penting untuk membentuk moral
dan karakter yang baik sebagai dasar pembentukan negara untuk berkembang.
Meskipun moral merupakan faktor tidak langsung terhadap penyebaran penyakit
menular terutama penyakit menular melalui hubungan seksual, namun
pembentukan moral sangat penting diberikan kepada generasi muda untuk tujuan
pencegahan penularan penyakit menular hubungan seksual. Selain itu,
pembentukan moral dan karakter bisa mendukung pembangunan negara yang
berimbas kepada tingkat dan status kesehatan bangsa. Upaya selain promosi yaitu
pemberdayaan masyarakat melalui pos kesehatan pada puskesmas yang
bersumberdayakan masyarakat. Pos kesehatan ini tetap dikelola oleh puskesmas
meskipun yang melaksanakan orang-orang yang ingin berpartisipasi di dalamnya
dengan dibimbing oleh dokter atau bidan setempat. Dengan adanya pos kesehatan
yang bersumberdayakan masyarakat, maka secara otomatis pengetahuan
masyakarakat akan bertambah. Kegiatan pokok dari peningkatan komunikasi,
informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit yaitu: 2
1. Menyiapkan materi dan menyusun rancangan peraturan dan perundang-
undangan, dan kebijakan peningkatan komunikasi informasi dan edukasi
(KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit dan diseminasinya

20
2. Menyiapkan materi dan menyusun perencanaan kebutuhan peningkatan
komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan
penyakit
3. Menyediakan kebutuhan peningkatan komunikasi informasi dan edukasi
(KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit sebagai stimulan
4. Menyiapkan materi dan menyusun rancangan juklak/juknis/pedoman
program komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan
pemberantasan penyakit
5. Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk
melaksanakan program komunikasi informasi dan edukasi (KIE)
pencegahan dan pemberantasan penyakit
6. Melakukan bimbingan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan komunikasi
informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit
7. Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi
dan konsultasi teknis peningkatan komunikasi informasi dan edukasi
(KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit
8. Melakukan kajian upaya peningkatan komunikasi informasi dan edukasi
(KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit
9. Membina dan mengembangkan UPT dalam upaya peningkatan
komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan
penyakit
10. Melaksanakan dukungan administrasi dan operasional pelaksanaan
komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan
penyakit.

21
BAB III
KESIMPULAN

Puskesmas merupakan pelayanan kesehatan strata pertama yang memiliki


upaya kesehatan wajib dan upaya kesehatan pengembangan. Di dalam upaya
kesehatan wajib, terdapat upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit menular
yang biasa disingkat P2M. Di dalam pelaksanaan upaya-upaya pokok
pemberantasan dan pencegahan penyakit menular yang dilaksanakan oleh
puskemas ini, banyak sekali rangkaian kegiatan yang telah dispesialisasikan
menurut penyakitnya. Rangkaian kegiatan tersebut merupakan pengembangan
upaya kegiatan-kegiatan yang berada dalam upaya pokok p2m. Dalam
implementasi pelaksanaan upaya-upaya tersebut, kerjasama antara masyarakat dan
puskesmas sangatlah dibutuhkan untuk bersama-sama membangun kesehatan
bangsa Indonesia agar teraihnya status kesehatan yang optimal.

22
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2005a. Rencana
Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025. Jakarta: Bappenas
2. Departemen Kesehatan (Depkes) RI. 2003. Indikator Indonesia Sehat 2010
dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat.
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1202/Menkes/SK/VIII/2003. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
3. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2004a. Agenda 100
Hari Pertama: Mewujudkan Indonesia yang Sejahtera. Jakarta: Bappenas.
http://www.bappenas.go.id/pnData/ContentExpress/15/isi_100_hari.htm
4. Departemen Kesehatan (Depkes) RI. 2005a. Peningkatan Akses Masyarakat
terhadap Layanan Kesehatan yang Berkualitas. Press release. 29 Januari.
5. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2005b. Peraturan
Presiden RI No. 39 Tahun 2005 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun
2006. Jakarta: Bappenas.
http://www.bappenas.go.id/index.php?module=ContentExpress&func=display
&ceid=2303
6. World Health Organization (WHO) South East Asia Regional Office. 2004.
Situation Of Dengue/Dengue Haemorrhagic Fever In the South-East Asia
Region: Prevention And Control Status In SEA Countries.
http://w3.whosea.org/en/Section10/Section332.htm
7. Nadesul, Handrawan. 2004. 100 Pertanyaan dan Jawaban Demam Berdarah.
Jakarta: Penerbit buku Kompas.
8. Lubis, Firman. 2005. Polio dan Masalah Kesehatan Kita. Kompas. 14 Mei.
9. Departemen Kesehatan (Depkes) RI. 2004. Profil Kesehatan 2002. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
10. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2004b. Laporan
Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium Millenium
Development Goals. Pebruari 2004. Jakarta: Bappenas.
http://www.bappenas.go.id/index.php?module=ContentExpress&func=display
&ceid=8 53

23
11. Suroso, Thomas & Ali Imran Umar. 1999. Epidemiologi dan Penanggulangan
Penyakit Demam Berdarah di Indonesia Saat Ini. Dalam Sri Rezeki H.
Hadinegoro & Hindra Irawan Satari eds. Demam Berdarah Dengue: Naskah
Lengkap Pelatihan Bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak dan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam untuk Tata Laksana Kasus DBD. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
12. Subdirektorat Arbovirosis Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM&PL) Departemen
Kesehatan RI. 2005. Laporan mingguan status demam berdarah dengue.
13. Kementrian Kesehatan RI. INFODATIN Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI. Jakarta. Kemenkes RI. 2016
14. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan (Ditjen PPM&PL) Departemen Kesehatan RI. 1987. Petunjuk
Pelaksanaan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa KLB dan Wabah Demam
Berdarah Dengue DBD. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
15. Koban AW. KEBIJAKAN PEMBERANTASAN WABAH PENYAKIT
MENULAR: KASUS KEJADIAN LUAR BIASA DEMAM BERDARAH
DENGUE (KLB DBD). Indonesian Institute center for public policy research.
Jakarta. The Indonesian Institute. 2005

24

Vous aimerez peut-être aussi