Vous êtes sur la page 1sur 20

ARAH KEBIJAKAN BIDANG-BIDANG YANG BERPENGARUH TERHADAP BIDANG

KETENAGAKERJAAN 2014-2019

Berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh bidang ketenagakerjaan baik yang bersifat
umum maupun yang bersifat khusus, maka dibuatlah arah kebijakan yang mutlak harus
dilaksanakan (conditione qua non), baik oleh pemerintahan secara keseluruhan maupun
oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi secara khusus.
1. Kependudukan
Untuk mencapai kondisi demografi yang ideal, yang dapat terserap dalam pasar kerja
baik sebagai pekerja upahan maupun berusaha mandiri, termasuk pemanfaatan windows of
opportunity dari bonus demografi yang memuncak pada tahun 2020-2030, maka kebijakan
pemerintah harus mempertimbangkan aspek kependudukan.
Oleh karena itu, kebijakan kementerian/lembaga di luar Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi harus diarahkan kepada pengendalian suplai tenaga kerja, peningkatan
kualitas tenaga kerja, penciptaan dan perluasan kesempatan kerja, sekaligus menekan
angka tingkat pengangguran terbuka, yaitu sebagai berikut :
a. Menurunkan tingkat fertilitas, karena dengan jumlah anak sedikit memungkinkan
perempuan memasuki pasar kerja, membantu peningkatan pendapatan.
b. Menahan masuknya penduduk kedalam angkatan kerja melalui program wajib belajar
12 tahun atau 15 tahun yang konsisten.
c. Meningkatan kualitas penduduk baik melalui sisi kesehatan maupun pendidikan.
d. Merubah orientasi penduduk dari orientasi pekerja upahan menjadi wirausahawan
melalui peningkatan jiwa kewirausahaan di sekolah-sekolah menengah dan perguruan
tinggi.
e. Meningkatkan employment creation dan job creation padat karya yang layak,
sehingga pendapatan perkapita naik dan bisa menabung yang akan meningkatkan
tabungan nasional.
f. Mengarahkan dan memotivasi penduduk agar menginvestasikan tabungan rumah
tangga untuk kegiatan produktif.
g. Seiring dengan menurunnya jumlah penduduk usia 0-15 tahun, maka anggaran yang
sebelumnya dipakai untuk anak usia 0-15 tahun dialihkan kepada peningkatan sumber
daya manusia untuk penduduk 15 tahun ke atas, seperti untuk training, pendidikan,
dan upaya pemeliharaan kesehatan remaja terutama kesehatan reproduksi dan
penanggulangan perilaku tidak sehat seperti alkohol, narkoba, rokok dan seks bebas.

Sementara pada saat yang sama, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga
harus melakukan langkah dan kebijakan sebagai berikut :
a. Mendorong seluruh Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kebijakan diatas
untuk melaksanakan kebijakan termaksud secara integratif dan konsisten.
b. Meningkatkan employment creation dan job creation padat karya yang layak,
sehingga pendapatan perkapita naik dan bisa menabung yang akan meningkatkan
tabungan nasional.

2. Ekonomi
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang konsisten, tidak anomali, yang dicirikan oleh
pro kesempatan kerja, maka arah kebijakan perekonomian yang harus dilaksanakan oleh
Kementerian/Lembaga terkait harus dilandaskan pada filosofi keluar dari lingkaran setan
(vicious circle) menuju lingkaran kebajikan (virtuous circle) dimana perbaikan ekonomi
terjadi secara berantai dan membawa perekonomian Indonesia pada tingkat kesejahteraan
yang lebih tinggi, yaitu sebagai berikut :
a. Memacu pertumbuhan ekonomi sampai pada rentang 7-10% selama tahun 2014-
2019.
b. Perbaikan struktur APBN dengan mengurangi subsidi BBM konsumsi masyarakat,
kemudian dana dialokasikan untuk pembangunan atau perbaikan infrastruktur
(terutama diluar Jawa), pendidikan dan kesehatan.
c. Mengimplementasikan program revitalisasi pertanian dan pedesaan.
d. Mengintegrasikan kebijakan pertanian, industri dan energi nasional sehingga tercipta
suatu sinergi dalam mengoptimalkan segala potensi yang ada guna menjamin
terwujudnya food and energy security.
e. Memperkuat industri mesin produksi, dan kebijakan bio-fuel terintegrasi.
f. Memprioritaskan investasi pada sektor-sektor yang tradeable, yang memiliki nilai
tambah tinggi kontribusi terhadap PDB dan padat karya, serta mengedepankan aspek
keramahan lingkungan (green jobs) yakni pekerjaan-pekerjaan di bidang pertanian,
industri, litbang, administrasi, dan kegiatan jasa lainnya yang memberi konstribusi
substansial terhadap pemeliharaan dan perbaikan lingkungan hidup.
g. Menempatkan posisi UMKM sebagai pelaku ekonomi dalam pembangunan nasional
untuk menciptakan industri pendukung pertumbuhan industri nasional. Pada waktu
bersamaan pemerintah dituntut untuk meningkatkan akses UMKM terhadap kredit
dan instrumen pembiayaan lainnya.
h. Menghilangkan segala hambatan yang membuat produksi dalam negeri kian tersisih
didalam pasar domestik.
i. Menetapkan regulasi ruang lingkup dan koordinasi pemerintah tentang logistik agar
mampu mendukung supply chain dan sektor-sektor yang berorientasi ekspor, dan
dapat terintegrasi dengan sistem produksi global.

Sementara pada saat yang sama, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga
harus melakukan langkah dan kebijakan sebagai berikut :
a. Mendorong seluruh Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kebijakan diatas
untuk melaksanakan kebijakan termaksud secara integratif dan konsisten.
b. Memberi masukan kepada BKPM mengenai ratio investasi terhadap tenaga kerja
Indonesia. Artinya, berapa jumlah tenaga kerja Indonesia yang harus diserap untuk
sejumlah investasi tertentu.
c. Turut menghilangkan segala hambatan yang membuat produksi dalam negeri kian
tersisih didalam pasar domestik.

3. Politik dan hukum


Untuk mencapai pertumbuhan kondisi politik dan penegakan hukum yang dapat
menciptakan suasana kondusif bagi perkembangan bidang ketenagakerjaan, maka arah
kebijakan politik dan hukum yang harus dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga terkait
harus dilandaskan pada filosofi relasi hukum dan politik, dimana hukum bekerja dalam
sebuah situasi politik yang memungkinkannya untuk menjadi perwujudan dari nilai-nilai
keadilan, yaitu :
a. Menciptakan aktifitas politik yang melahirkan produk-produk hukum yang berpihak
pada nilai-nilai keadilan.
b. Dalam jangka pendek, menerapkan peraturan perundang-undangan (law
enforcement) dalam seluruh bidang kehidupan secara konsisten, tegas, tanpa
diskriminasi.
c. Menyusun peraturan perundang-undangan yang memuat sanksi hukum terhadap
Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif baik di pusat maupun daerah yang mengingkari janji
atau kontrak politiknya.

Sementara pada saat yang sama, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga
harus melakukan langkah dan kebijakan sebagai berikut :
a. Mendorong seluruh Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kebijakan diatas
untuk melaksanakan kebijakan termaksud secara integratif dan konsisten.
b. Dalam jangka pendek, turut menerapkan peraturan perundang-undangan (law
enforcement) ketenagakerjaan secara konsisten, tegas, tanpa diskriminasi.

4. Globalisasi perekonomian
Untuk menjawab tantangan globalisasi perekonomian, sehingga Indonesia mampu
memetik efek netto yang positif dari globalisasi tersebut, maka arah kebijakan yang harus
dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga terkait harus dilandaskan pada filosofi keselarasan
antara keamanan warga negara denga tuntutan pergaulan global, yaitu :
a. Cermat dalam memperhitungkan manfaat setiap perjanjian perdagangan bebas baik
dalam skema CEPA (Comprehensive Economic Partnership) maupun FTA (Free Trade
Agreement) agar sungguh-sungguh dapat memberikan peluang untuk memperbesar
aktivitas perekonomian.
b. Cermat dalam menentukan sektor yang ‘highly sensitive’ atau ‘inclusivelist’ sebagai
sektor prioritas untuk dilindungi.
c. Memperluas pasar barang dan jasa di luar negeri.
d. Memprioritaskan investasi pada sektor-sektor yang tradeable, yang memiliki nilai
tambah tinggi kontribusinya terhadap PDB dan padat karya.
e. Melindungi sektor-sektor yang rentan dan padat karya.
f. Meningkatkan daya saing industri melalui berbagai kebijakan insentif fiskal, dan
perbaikan infrastruktur.
g. Menetapkan regulasi ruang lingkup dann koordinasi pemerintah tentang logistik agar
mampu mendukung supply chain dan sektor-sektor yang berorientasi ekspor, dan
dapat terintegrasi dengan sistem produksi global.
h. Meningkatkan kualitas tenaga kerja agar dapat merebut peluang kerja di luar negeri,
dan atau mempertahankan kesempatan kerja di dalam negeri.
i. Menciptakan dan memperluas kesempatan kerja baik untuk pekerja upahan maupun
berwirausaha.

Sementara pada saat yang sama, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga
harus melakukan langkah dan kebijakan sebagai berikut :
a. Mendorong seluruh Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kebijakan diatas
untuk melaksanakan kebijakan termaksud secara integratif dan konsisten.
b. Turut meluas pasar kerja bagi TKI di luar negeri.
c. Mengendalikan penggunaan TKA melalui persyaratan-persyaratan yang dapat diterima
secara Internasional.
d. Turut meningkatkan kualitas tenaga kerja agar dapat merebut kesempatan kerja di
luar negeri, dan atau mempertahankan kesempatan kerja di dalam negeri.
e. Turut menciptakan dan memperluas kesempatan kerja baik untuk pekerja upahan
maupun berwirausaha.

5. Sifat pasar kerja


Untuk mencapai terciptanya pasar kerja yang kondusif bagi pengusaha dalam
mengembangkan usaha dan inovasinya, dan yang menjamin kesejahteraan pekerja dalam
suatu tatanan High Road Industrial Relation System, yang menjamin terciptanya hubungan
industrial yang harmonis, maka arah kebijakan yang harus dilaksanakan oleh
Kementerian/Lembaga terkait harus dilandaskan pada penciptaan labor market flexicurity,
dimana pada satu sisi fleksibilitas pasar kerja dipelihara, dan disisi lain supremasi nilai
kemanusiaan tidak diletakkan dibelakang efisiensi, yaitu :
a. Meningkatkan Individualism Index pekerja tanpa harus menghilangkan naluri untuk
selalu berkelompok (kolektif) melalui bangku pendidikan, organisasi kepemudaan, dan
lain-lain.
b. Mengupayakan peningkatan kinerja ekonomi, menekan tingkat pengangguran terbuka
(TPT) sampai 4% atau mempertahankan pada tingkat 5% sebagai tingkat rerata the
natural rates of unemployment.
c. Mengupayakan agar perusahaan dan pekerja menciptakan dan melaksanakan budaya
kerjanya masing-masing dengan menerapkan ‘mental and ideological approach’, yang
tidak hanya sekedar mengejar keuntungan bagi pihaknya, tetapi juga bersedia
membayar ‘biaya perubahan’.
d. Mengajak pengusaha, pekerja, dan para pakar untuk merumuskan konsep PKF yang
ideal, yang lebih realistik, yaitu suatu konsep yang membuka terjadinya semacam
trade-off antara PKF dan perlindungan pekerja, yang memberi peluang untuk
meningkatkan daya saling perusahaan seraya menjamin standar minimum
perlindungan pekerja. Konsep PKF yang ideal ini akan memberi iklim yang lebih aman
dan baik bagi perusahaan, pekerja, maupun pemerintah, karena di dalamnya ada
distribusi manfaat dan biaya yang seimbang diantara ketiganya.

Sementara pada saat yang sama, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga
harus melakukan langkah dan kebijakan sebagai berikut :
a. Mendorong seluruh Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kebijakan diatas
untuk melaksanakan kebijakan termaksud secara integratif dan konsisten.
b. Meningkatkan kompetensi dan profesionalisme serta independensi serikat pekerja
agar mampu memiliki posisi tawar yang kuat terhadap pengusaha.
c. Turut mengupayakan agar perusahaan dan pekerja menciptakan dan melaksanakan
budaya kerjanya masing-masing dengan menerapkan ‘mental and ideological
approach’, yang tidak hanya sekedar mengejar keuntungan bagi pihaknya, tetapi juga
bersedia membayar ‘biaya perubahan’.
d. Turut mengajak pengusaha, pekerja, dan para pakar untuk merumuskan konsep PKF
yang ideal, yang lebih realistik, yaitu suatu konsep yang membuka terjadinya semacam
trade-off antara PKF dan perlindungan pekerja, yang memberi peluang untuk
meningkatkan daya saling perusahaan seraya menjamin standar minimum
perlindungan pekerja. Konsep PKF yang ideal ini akan memberi iklim yang lebih aman
dan baik bagi perusahaan, pekerja, maupun pemerintah, karena di dalamnya ada
distribusi manfaat dan biaya yang seimbang diantara ketiganya.
6. Budaya perusahaan
Untuk mencapai suatu dunia usaha yang sehat, kreatif, inovatif, dan egaliter, serta
menjamin kesejahteraan pekerja dalam wahana labor market flexicurity, maka kebijakan
penciptaan dan peningkatan budaya perusahaan yang harus dilakukan oleh
Kementerian/Lembaga terkait harus dilaksanakan dengan cara :
a. Mensosialisasikan dan atau melakukan bimbingan terhadap perusahaan mengenai
pengertian, prinsip, dan manfaat budaya perusahaan.
b. Mendukung kemajuan perusahaan dengan menciptakan lingkungan hukum, fiskal, dan
moneter yang dapat menciptakan high road industrial relations system.
c. Turut memotivasi perusahaan untuk mengelola hubungan baik dengan serikat pekerja
agar perusahaan mendapat dukungan dari serikat pekerja sebagai representasi
pekerja.
d. Turut memberi penghargaan kepada perusahaan yang telah terbukti menerapkan
budaya perusahaan.

Sementara pada saat yang sama, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga
harus melakukan langkah dan kebijakan sebagai berikut :
a. Mendorong seluruh Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kebijakan diatas
untuk melaksanakan kebijakan termaksud secara integratif dan konsisten.
b. Turut mensosialisasikan dan atau melakukan bimbingan terhadap perusahaan
mengenai pengertian, prinsip, dan manfaat budaya perusahaan.
c. Mendukung kemajuan perusahaan dengan menciptakan lingkungan peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan yang dapat menciptakan high road industrial
relations system.
e. Memotivasi perusahaan untuk mengelola hubungan baik dengan serikat pekerja agar
perusahaan mendapat dukungan dari serikat pekerja sebagai representasi pekerja.
d. Memberi penghargaan kepada perusahaan yang telah terbukti menerapkan budaya
perusahaan.
7. Budaya pekerja
Untuk mengimbangi perusahaan yang berbudaya menuju kemajuan dunia usaha dan
kerja demi kepentingan bersama dalam wahana labor market flexicurity, maka arah
kebijakan penciptaan dan peningkatan budaya pekerja yang harus dilakukan oleh
Kementerian/Lembaga terkait harus dilaksanakan dengan cara :
a. Meningkatkan individualism index pekerja, sehingga pekerja dapat lebih memahami
hak dan kewajiban individu, tidak paternalistik, serta egaliter agar dapat
mengembangkan potensi dirinya atas inisiatif sendiri.
b. Turut mensosialisasikan dan atau melakukan bimbingan terhadap perusahaan
mengenai pengertian, prinsip, dan manfaat budaya perusahaan.
c. Turut memberi penghargaan kepada perusahaan yang telah terbukti menerapkan
budaya perusahaan.

Sementara pada saat yang sama, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga
harus melakukan langkah dan kebijakan sebagai berikut :
a. Mendorong seluruh Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kebijakan diatas
untuk melaksanakan kebijakan termaksud secara integratif dan konsisten.
b. Meningkatkan individualism index pekerja, sehingga pekerja dapat lebih memahami
hak dan kewajiban individu, tidak paternalistik, serta egaliter agar dapat
mengembangkan potensi dirinya atas inisiatif sendiri.
c. Mensosialisasikan dan atau melakukan bimbingan terhadap perusahaan mengenai
pengertian, prinsip, dan manfaat budaya perusahaan.
d. Memberi penghargaan kepada perusahaan yang telah terbukti menerapkan budaya
perusahaan.

8. Budaya pemerintah
Budaya perusahaan dan budaya pekerja harus juga diiringi oleh budaya pemerintah,
karena pemerintah memiliki posisi penting dalam penciptaan hubungan yang egaliter dan
harmonis antara perusahaan dan pekerja. Oleh karena itu, kebijakan penciptaan dan
peningkatan budaya pemerintah harus dilaksanakan dengan cara :
a. Menghilangkan ego sektoral antar instansi pemerintah di pusat.
b. Menghilangkan ego pemerintah di daerah sebagai akibat eforia Otonomi Daerah.
c. Menghilangkan kebiasaan nepotisme, dan mengutamakan kompetensi dalam
penempatan aparat sipil negara pada jabatan tertentu.
d. Melaksanakan secara konsisten dan tegas peraturan perundang-perundangan, dengan
kemauan dan keberanian untuk memberi sanksi sesuai hukum yang berlaku terhadap
semua pelanggar hukum tanpa pandang bulu.

9. Otonomi daerah
Untuk mencapai terlaksananya seluruh kebijakan pemerintah dengan baik, terhindar
dari ego kedaerahan, kooptasi politik dan kepentingan yang tidak mengedepankan
kepentingan masyarakat dan nasional, maka arah kebijakan otonomi daerah yang harus
dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga terkait harus dilandaskan pada filosofi maju
bersama dalam wadah NKRI, dengan cara :
a. Menghilangkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme serta kooptasi para elit politik di
tingkat lokal (daerah).
b. Mempersiapkan knowledge, skill, dan attitude seluruh aparat SKPD agar dapat
menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik dan konsisten.
c. Mempersiapkan infrastuktur yang memadai, baik berupa sarana dan prasarana fisik
maupun regulasi atau peraturan perundang-undangan yang lebih komprehensif.
d. Mensosialisasikan prinsip otonomi daerah, lembaga mana yang memberikan
kewenangan dan lembaga mana yang menerima kewenangan atau yang mewakili agar
tercipta keharmonisan antar lembaga-lembaga yang ada.
e. Mensosialisasikan kepada pemerintah daerah jenis-jenis program yang bersifat sosial,
yang tidak dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan asli daerah.
f. Meningkatkan kemampuan aparat daerah dalam menyusun regulasi, agar peraturan
yang disusun sesuai dengan teknik legal drafting, dan tidak bertentangan peraturan
perundang-undangan lainnya.
g. Turut mensosialisasikan kepada pemerintah daerah bahwa fungsi ketenagakerjaan
menjadi kewenangan wajib daerah. Oleh karena itu pemerintah daerah harus
melaksanakan kebijakan ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
h. Menginventaris dan menelaah seluruh kebijakan dan peraturan di daerah.
Sementara pada saat yang sama, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga
harus melakukan langkah dan kebijakan sebagai berikut :
a. Mendorong seluruh Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kebijakan diatas
untuk melaksanakan kebijakan termaksud secara integratif dan konsisten.
b. Mempersiapkan knowledge, skill, dan attitude seluruh aparat SKPD Ketenagakerjaan
agar dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik dan konsisten.
c. Membantu kesiapan infrastuktur SKPD Ketenagakerjaan agar lebih memadai, baik
berupa sarana dan prasarana fisik maupun regulasi atau peraturan perundang-
undangan yang lebih komprehensif.
d. Mensosialisasikan kepada pemerintah daerah jenis-jenis program yang bersifat sosial,
yang tidak dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan asli daerah.
e. Mensosialisasikan kepada pemerintah daerah bahwa fungsi ketenagakerjaan menjadi
kewenangan wajib daerah. Oleh karena itu pemerintah daerah harus melaksanakan
kebijakan ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
f. Menginventaris dan menelaah kebijakan dan peraturan ketenagakerjaan di daerah.
ARAH KEBIJAKAN BIDANG KETENAGAKERJAAN 2014-2019

Berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh bidang ketenagakerjaan yang menjadi bagian
dari tugas dan fungsi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, maka berikut akan
dijelaskan arah kebijakan yang harus dilakukan selama tahun 2014-2019.
1. Pelatihan keterampilan kerja
Untuk mewujudkan pelatihan keterampilan kerja sebagai pekerjaan nasional dalam
meningkatkan skill dan attitude tenaga kerja agar menjadi human capital yang handal, maka
kebijakan pelatihan keterampilan kerja yang dilaksanakan oleh Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi dilandaskan pada filosofi bermanfaat dan integratif, dengan cara :
a. Melakukan road show ke seluruh kementerian/lembaga dan swasta, pusat dan
daerah, untuk menggalang kekuatan dan kesadaran bahwa pelatihan keterampilan
kerja adalah pekerjaan nasional.
b. Membangun koordinasi yang integratif antara Kementerian/Lembaga dan swasta yang
melaksanakan pelatihan dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
c. Melakukan koordinasi dengan seluruh daerah yang memiliki BLK untuk menjadikan
spesifikasi potensi daerah sebagaimana ditentukan dalam MP3EI sebagai dasar
pelaksanaan pelatihan keterampilan kerja pada BLK UPTP dan UPTD. Untuk itu
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan pemerintah daerah harus melakukan
reorientasi, revitalisasi, dan pemenuhan kapasitas BLK dengan cara :
1) Penyesuaian Instruktur baik jumlah maupun kapabilitas pada tiap kejuruan melalui
evaluasi secara teratur tiap tahun berdasarkan DUK, agar dapat diketahui
Instruktur yang akan memasuki MPP dan dapat diajukan rekrut Calon Instruktur.
2) Memperbaiki pola rekrutmen Calon Instruktur dengan berorientasi pada
kesesuaian antara kejuruan dengan pendidikan formal.
3) Menyesuaikan peralatan dengan kebutuhan BLK.
4) Meningkatkan jejaring kerjasama dengan lembaga pelatihan lain dan perusahaan.
5) Meningkatkan pelaksanaan Traininng Needs Assessment (TNA).
6) Melaksanakan promosi agar BLK dikenal dan diminati oleh tenaga kerja dan
perusahaan, yang dilakukan secara rutin dan teratur minimal sekali dalam setahun.
7) Meningkatkan anggaran pelatihan keterampilan kerja pada BLK.
8) Meningkatkan jumlah lulusan pelatihan keterampilan kerja yang dilaksanakan oleh
BLK, setidaknya 5% dari pencari kerja baru setiap tahun.
9) Meneliti persentase lulusan pelatihan keterampilan kerja BLK Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi yang dapat bekerja dan/atau berusaha mandiri.
10) Meningkatkan skill dan attitude lulusan BLK Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi agar lebih profesional dan dapat menjadi human capital.
d. Menyelaraskan program pelatihan keterampilan kerja dengan program peningkatan
produktivitas.
e. Menyusun konsep pelaksanaan pemagangan yang lebih jelas dan memenuhi definisi
pemagangan yang sesungguhnya, meningkatkan monitoring pelaksanaan
pemagangan, mensosialisasikan program magang ke perusahaan yang potensial.
f. Bersama dengan pemerintah daerah memperkuat fungsi lembaga pengembangan
produktifitas daerah, dan mengembangkan jejaring dengan stakeholder di dalam
maupun di luar negeri.
g. Bersama dengan pemerintah daerah mensosialisasikan kepada perusahaan mengenai
pentingnya pelatihan keterampilan bagi karyawan.
h. Bersama dengan pemerintah daerah mensosialisasikan kepada angkatan kerja
mengenai pentingnya pelatihan keterampilan kerja.
i. Mengupayakan agar sertifikat kompetensi nasional diakui secara Internasional,
memperbanyak kesepakatan bersama (Mutual Recognition Agreement/MRA)
pengakuan sertifikasi kompetensi dengan lembaga sertifikasi internasional,
memperluas sertifikasi profesi (SKKNI), dan mengembangkan data base sertifikasi dan
kompetensi.
j. Bersama dengan pemerintah daerah mengoperasionalkan kembali BLK UPTD yang
sudah tidak berfungsi, dan merevitalisasi yang masih berfungsi.
k. Melakukan pembahasan dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk
menghilangkan dualisme pelaksanaan pelatihan keterampilan kerja antara
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi.
1) Memusatkan pelatihan keterampilan kerja sebagai tugas dan fungsi Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Untuk itu, pelatihan yang dilaksanakan oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan arus dialihkan kepada Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, termasuk peralatan, SDM, dan proporsi
anggarannnya dalam APBN. Bersamaan dengan itu, harus diupayakan peningkatan
peraturan perundang-undangan tentang pelatihan tersebut menjadi Undang-
undang, yang memuat platform pelatihan, koordinasi pelatihan, sasaran dan target
pelatihan, dan lain-lain.
2) Atau memusatkan pelatihan keterampilan kerja sebagai tugas dan fungsi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Untuk itu, pelatihan yang dilaksanakan
oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi harus dialihkan kepada
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk peralatan, SDM, dan
prorporsi anggarannya dalam APBN.
l. Apabila pilihan tersebut di atas belum memungkinkan, maka Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus
melakukan penyelarasan pelatihan keterampilan kerja antara yang dilaksanakan oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan yang dilaksanakan oleh
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, termasuk pengalihan sebagian dari
anggaran pelatihan yang ada pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kepada
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

2. Penempatan tenaga kerja


Untuk mencapai penciptaan dan perluasan kesempatan kerja yang memadai dari
aspek jumlah, dan layak dari aspek penghasilan dan standar kerja baik di dalam maupun di
luar negeri, serta terjadinya peningkatan keterampilan tenaga kerja Indonesia melalui alih
keterampilan dari TKA, maka kebijakan penempatan tenaga kerja yang harus dilaksanakan
oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi harus dilandaskan pada filosofi kerja layak
dan anti diskriminasi, dengan cara :
a. Membangun sinergitas antar sektor dalam menyediakan kesempatan kerja yang lebih
besar dengan menitikberatkan penciptaan lapangan kerja yang layak dalam kebijakan
makro ekonom.
b. Melakukan koordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait untuk menyelaraskan
kebijakan makro ekonomi dan kebijakan sektoral mengarah kepada penciptaan
kesempatan kerja dengan memperhatikan momentum jendel peluang bonus
demografi.
c. Bersama dengan pemerintah daerah memperbaiki, menyesuaikan sistem dan orientasi
penempatan dengan perkembangan global dan teknologi :
1) Mengupayakan agar peraturan penempatan tenaga kerja yang ada mampu
mengakomodasi perkembangan skema penempatan.
2) Membangun data base penempatan tenaga kerja agar unit kerja teknis terkait
mudah mengakses dan menggunakan data untuk mendukung pelaksanaan tugas
dan fungsinya.
3) Menjadikan perkembangan teknologi informasi dan sarana transportasi, serta
meningkatnya migrasi tenaga kerja internasional sebagai dasar penyusunan
kebijakan penempatan tenaga kerja.
4) Menyesuaikan program penempatan tenaga kerja dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (pasal 27 UU 39 Tahun 2004).
5) Memilih program penempatan tenaga kerja yang mampu menghasilkan
kesempatan kerja produktif dan berpenghasilan layak.
6) Mengembangkan kesempatan kerja pada kegiatan agrobisnis di sektor on farm
hulu, hilir, dan sub sektor penunjang sebagai solusi karena beban penyerapan
tenaga kerja pada sub sistem on farm sudah berat dan menyebabkan involusi serta
proses pemiskinan.
d. Bersama dengan pemerintah daerah mengefektifkan fungsi informasi pasar kerja dan
bursa kerja :
1) Mengupayakan berfungsinya BKOL dalam mewadahi semua informasi
penempatan tenaga kerja.
2) Memperkuat peran dan fungsi Pengantar Kerja dalam era otonomi daerah.
3) Menelusuri informasi pasar kerja di luar negeri.
4) Penguatan sistem penempatan melalui fungsi bursa kerja dan data base tenaga
kerja.
e. Bersama dengan lembaga terkait meningkatkan penempatan dan perlindungan TKI ke
luar negeri secara selektif dan konsisten, serta mencegah perdagangan orang.
1) Menyempurnakan sistem penempatan dan perlindungan TKI untuk menekan
permasalahan yang dihadapi oleh TKI.
2) Peningkatan kerjasama dengan negara penempatan TKI.
3) Pembentukan kantor ketenagakerjaan di negara penempatan TKI yang dapat
memfasilitasi kesempatan bekerja dan berusaha di luar negeri serta peningkatan
informasi pasar kerja.
4) Mengupayakan agar Pemda berperan aktif dalam penempatan TKI.
5) Memperkecil rasio pekerja sektor informal yang pada umumnya rentan dengan
upah yang rendah dan tereksplotasi.
6) Meningkatkan peran Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam
pencegahan tindak pidana perdagangan orang, dalam hal ini TKI.
f. Bersama dengan Kementerian/Lembaga terkait dan pemerintah daerah
mengefektifkan penempatan tenaga kerja khusus :
1) Memperluas kesempatan kerja bagi kaum penyandang disabilitas, pemuda dan
lansia.
2) Menghilangkan diskriminasi kesempatan kerja berdasarkan gender.
g. Bersama dengan Kementerian/Lembaga terkait dan pemerintah daerah melakukan
pengendalian, dan pemanfaatan TKA dengan cara :
1) Mengatur pengendalian TKA yang lebih mengutamakan tenaga kerja dalam negeri
dengan penetapan hambatan yang kualitatif dan fleksibel.
2) Meningkatkan verifikasi, monitoring dan evaluasi penggunaan TKA.
3) Menyusun instrumen ENT yang bisa menjadi alat untuk deteksi dini penggunaan
TKA.
4) Menyusun peraturan perundangan tentang pelaksanaan alih keterampilan dari
TKA ke pendamping minimal dalam suatu Peraturan Menteri.
h. Meningkatkan kerjasama dan sinergitas antar unit di lembaga yang menangani
ketenagakerjaan, dan atau dengan para pemangku kepentingan, seperti SKPD,
Bappeda, DPRD dan dunia bisnis.

3. Hubungan industrial dan jamsostek


Untuk mencapai hubungan industrial yang harmonis melalui High Road Industrial Relation
System, yang menjamin adanya fleksibilitas pasar kerja tanpa mengabaikan supremasi nilai
kemanusiaan, maka kebijakan hubungan industrial yang harus dilaksanakan oleh
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi harus didasarkan pada filosofi dan visi
menciptakan High Road Industrial Relation System, yang menjamin terciptanya hubungan
industrial yang harmonis, yaitu :
a. Pengupahan :
1) Menegaskan kepastian kebijakan pengupahan.
2) Memberi pemahaman kepada seluruh pihak terkait agar melakukan penentuan
upah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3) Mengevaluasi peraturan-peraturan daerah yang teridentifikasi menimbulkan
kemelut dalam penentuan upah minimum. Evaluasi ini haris dilakukan oleh Biro
Hukum.
4) Bersama dengan pemerintah daerah memberi pencerahan kepada perusahaan
mengenai unsur kesejahteraan pekerja, yang tidak hanya didasarkan pada upah.
b. Pemborongan dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain
(outsourcing) :
1) Menunjukkan komitmen untuk menjamin kesejahteraan, keberlangsungan
pekerjaan, dan jaminan sosial bagi pekerja dalam kegiatan pemborongan dan
penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain.
2) Mengambil keputusan yang tegas dalam penegakan hukum terkait pelaksanaan
kegiatan pemborongan dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan
lain.
3) Mengambil langkah yang tegas terhadap kontroversi dalam pelaksanaan kegiatan
pemborongan dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain karena
terbitnya Permenakertrans No.19 Tahun 2012, Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja
No.4 Tahun 2013.
c. Jaminan sosial :
1) Menyarankan agar PT. JAMSOSTEK pro-aktif melakukan sosialisasi mengenai
program jaminan sosial bagi tenaga kerja.
2) Meningkatkan koordinasi dengan SKPD ketenagakerjaan tentang kepesertaan
jamsostek.
3) Mengupayakan implementasi SJSN dalam waktu secepatnya untuk memecahkan
permasalahan kesejahteraan pekerja/buruh, pesangon, outsourcing, dll).
4) Penerapan prinsip keadilan yang proporsional bagi kontribusi Pemerintah,
Pengusaha, dan Pekerja dalam kebijakan SJSN.
d. Revitalisasi Serikat Pekerja :
1) Bersama dengan pemerintah daerah meningkatkan profesionalisme serikat
pekerja/buruh.
2) Bersama dengan pemerintah daerah melakukan bimbingan mengenai budaya
pekerja terhadap serikat pekerja/buruh.
3) Meningkatkan kemampuan pemerintah daerah untuk menentukan representasi
serikat pekerja/buruh yang sah dalam hubungan Tripartit dalam menentukan
kebijakan ketenagakerjaan.
4) Meningkatkan ketegasan aparat ketertiban dan keamanan terhadap tindakan
anarkis.
e. Kelembagaan Hubungan Industrial :
1) Meningkatkan kompetensi SDM, anggaran, sarana dan prasarana kelembagaan
hubungan industrial.
2) Meningkatkan pemahaman daerah terhadap peraturan perundang-undangan
mengenai hubungan industrial.
3) Meningkatkan efektivitas Peradilan Hubungan Industrial.
4) Revitalisasi LKS Bipartit dengan memfungsikan LKS Bipartit kepada hal-hal
penyamaan persepsi dan pengembangan perusahaan.
f. Peraturan perundang-undangan dan Konvensi ILO :
1) Mengupayakan sinkronisasi kebijakan untuk mendukung hubungan industrial yang
harmonis dan berbudaya antar Kementerian/Lembaga, internal Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta antara pusat dan daerah.
2) Meninjau kembali ketentuan tentang Kelembagaan Hubungan Industrial (KHI)
untuk penguatan fungsi dengan cara antara lain : melibatkan akademisi/pakar
dengan proporsi yang sama dengan unsur lainnya dalam KHI, meningkatkan
profesionalisme unsur Tripartit Plus, komitmen yang kuat ketua/pimpinan dan
anggota KHI, penguatan sarana dan prasarana KHI.
3) Mengkaji ulang dan menyempurnakan beberapa substansi perundangan dan
aturan pelaksanaan dalam bidang hubungan industrial melalui mekanisme
pembahasan secara Tripartit Plus, dan pengusulan perubahannya dapat melalui
prosedur khusus (kumulatif terbuka).
4) Melakukan revisi terhadap UU No.13 Tahun 2003 yang berkaitan dengan
outsourcing, PHK, dll.
5) Lebih selektif dalam melakukan ratifikasi Konvensi ILO, dengan melihat
kesesuaiannya terhadap kondisi dan karakteristik Bangsa Indonesia.
6) Melaksanakan konvensi yang sudah diratifikasi (ratified convention) secara
konsisten, dan menyiapkan pedoman pelaksanaan konvensi yang sudah
diratifikasi.
7) Mensosialisasikan (awarness rising) terhadap konvensi yang sudah diratifikasi
kepada semua masyarakat pekerja/buruh.
g. Pengembangan usaha-usaha ekonomi informal :
1) Bersama dengan pemerintah daerah dan pihak terkait lainnya memfasilitasi
transisi usaha-usaha ekonomi informal menjadi usaha ekonomi formal.
2) Bersama dengan pemerintah daerah memberikan pembinaan tentang
perlindungan tenaga kerja dan syarat-syarat kerja kepada pengusaha-pengusaha
ekonomi informal.

4. Pengawasan ketenagakerjaan
Untuk mewujudkan pengawasan ketenagakerjaan yang berfungsi sebagai pengawal
pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, maka kebijakan pengawasan
ketenagakerjaan yang harus dilakukan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
harus dilandaskan pada filosofi pengawasan ketenagakerjaan yang kuat, kompeten,
profesional, bermartabat, dan mengglobal, dengan cara :
a. Mengambil keputusan segera, apakah fungsi pengawasan ketenagakerjaan bersifat
sentralistik, atau tetap desentralistik.
b. Apabila bersifat sentralistik, maka :
1) Harus ditarik kembali ke pusat fungsi pengawasan ketenagakerjaan, sekaligus
untuk menunjukkan konsistensi pemerintah dan legislatif yang telah meratifikasi
Konvensi ILO mengenai pengawasan ketenagakerjaan.
2) Harus dilakukan terobosan melalui berbagai kebijakan pemberdayaan, sistem karir
fungsional, dan kesejahteraan pengawas ketenagakerjaan secara sungguh-
sungguh.
a) Mengupayakan kenaikan tunjangan fungsional.
b) Mengupayakan batas tertinggi pangkat/golongan pengawas ketenagakerjaan
menjadi setidaknya sampai IV/d, dan batas usia pensiun menjadi 60 tahun.
c) Mengupayakan kesejahteraan lainnya karena selama menjadi aparat
pemerintah daerah para pengawas ketenagakerjaan memperoleh tunjangan
kesejahteraan yang berkisar antara Rp. 1 juta sampai Rp. 3,5 juta perbulan.
d) Mengupayakan ketersediaan anggaran dan fasilitas pengawasan yang
memadai sesuai kebutuhan lapangan.
c. Selama sentralisasi pengawasan ketenagakerjaan belum terwujud, Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi harus mengambil inisiatif stelsel aktif dalam bentuk :
1) Menjadikan Perpres No.21 Tahun 2010 Tentang Pengawasan Ketenagakerjaan
sebagai mekanisme utama penyelenggaraan Pengawasan Ketenagakerjaan.
2) Menjadikan Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai agen pengembangan dan
peningkatan Pengawasan Ketenagakerjaan, agar pemerintah daerah :
a) Menjadikan faktor pengetahuan dan kompetensi dalam rekrutmen dan mutasi
pengawas ketenagakerjaan.
b) Tidak menjadikan fungsi pengawasan ketenagakerjaan sebagai sumber
Retribusi.
c) Tidak melakukan tekanan atau ancaman terhadap pengawas ketenagakerjaan
dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
d) Terbuka aliran informasi hasil dan masalah pengawasan ketenagakerjaan dari
kabupaten/kota ke provinsi dan pusat (antara lain wajib lapor bagi
perusahaan).
3) Meningkatkan pertemuan-pertemuan antar pengawas ketenagakerjaan seluruh
Indonesia untuk mempererat hubungan emosi dan profesi diantara korps
pengawas.
d. Bersama dengan pemerintah daerah meningkatkan peran pengawas ketenagakerjaan
dalam penegakan hukum terkait dengan penggunaan tenaga kerja penyandang
disabilitas, pengendalian penggunaan TKA, dan perlindungan TKI di luar negeri.
e. Bersama dengan pemerintah daerah meningkatkan jumlah dan spesialisasi Pengawas
Ketenagakerjaan untuk menjamin pelaksanaan tugas-tugas pengawasan yang efektif.
f. Bersama dengan pemerintah daerah meningkatkan kualitas dan kompetensi
pengawas ketenagakerjaan.
g. Membentuk LSP Pengawasan Ketenagakerjaan.
h. Menyusun data base obyek pengawasan dan hasil pengawasan ketenagakerjaan yang
memiliki validasi tinggi dan dipergunakan sebagai rujukan publik serta sebagai bahan
utama penyusunan Program Kerja.
i. Menetapkan tanggung jawab wilayah kerja secara berkelompok atau secara individu
untuk mengatasi kekurangan Pengawas Ketenagakerjaan.
j. Mengupayakan pembentukan jejaring kerjasama antara pengawas ketenagakerjaan
Indonesia dengan pengawas ketenagakerjaan negara sahabat, terutama dengan
negara-negara penempatan TKI agar TKI memperoleh perlindungan dari pengawas
ketenagakerjaan di negara penempatan.

Vous aimerez peut-être aussi