Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
5. Untuk mengetahui teori strukturasi, Anthony Giddens pada tokoh-tokoh
sosiologi berikutnya
6. Untuk mengetahui kritik pada teori strukturasi, Anthony Giddens
7. Untuk mengetahui analisis teori strukturasi
BAB ll
PEMBAHASAN
2
direktur polity press 1985. Giddens meninggalkan Cambridge tahun 1987,
dan diangkat menjadi direktur LSE.1
Secara umum, karir akademik giddens dapat dianalisis dalam 5
periode, setiap periode ditandai dengan karya-karya akademiknya, yaitu:
a. 1960-1970 Giddens mulai menulis dengan mengkritisi teori-teori
sosiologi yang sudah mapan. Karya-karya awal Giddens sangat
menentukan dan mempengaruhi tulisan-tulisan Giddens berikutnya
b. 1971-1975 Giddens mulai menganalisis teori-teori sosial abad 19
dan mencari relevansinya dengan perkembangan saat itu
c. 1976-1979 Giddens menulis Teori Strukturasi dan sejarah sosiologi
d. 1990-1993 Giddens menulis Tteori Modernitas
e. 1994-sekarang, Giddens menulis jalan ke tiga2
Secara umum, karier akademik Giddens dimulai dengan menulis
ringkasan dan menganalisis hasil kerja pakar-pakar teori sebelumnya untuk
dijadikan bahan pengembangan Teori strukturasinya. Anthony Giddens
merupakan salah satu dari sosiologi inggris yang terkemuka pasca perang
dunia ke-2. Tilisan-tulisannya banyak mempengaruhi kajian-kajian ilmu
sosial dan politik selama periode 1980-an dan 1990-an. Penafsiran ulang
yang dilakukan Giddens atas pikiran-pikiran sisiologi klasik banyak
dijadikan rujukan oleh mahasiswa sarjana dan pascasarjana 20 tahun
terakhir ini.3 Giddens memulai kritik yang luas terhadap batas teoritik dari
materialism historis dalam A Comtemporary Critique of historical materialis
(1981). Ia juga menampilkan penemuan kerangka kerja untuk menyatukan
sosiologi dan geografi dalam analisa terhadap ruang dan waktu (1984). 4
1
Pierson, Cristopher. Giddens, Anthony. 1998. Conversation Anthony Giddens Making Sanse of
Modernity. Nothingham. Hal: 28-51
2
Loyal, steven. 2003. The Sociology og Anthony Giddens. London: pluto Press. Hal: 4-6
3
Borgatta, Edgar F. Montgomery, Rhonda J.V.2000. encylovedia of sociology Second Edition Vol.
1. New York: Macmillan Reference USA. Hal: 226
4
Ali, anwar, yusuf.2006. ensiklopedi mini sosiologi. Bandung: humaniora utama press. Hal: 103
3
Pierson, Cristopher. Giddens, Anthony. 1998. Conversation Anthony
Giddens Making Sanse of Modernity. Nothingham
Loyal, steven. 2003. The Sociology og Anthony Giddens. London: pluto
Press
Borgatta, Edgar F. Montgomery, Rhonda J.V.2000. encylovedia of
sociology Second Edition Vol. 1. New York: Macmillan Reference USA.
Ali, anwar, yusuf.2006. ensiklopedi mini sosiologi. Bandung: humaniora
utama press.
4
(1976, revisi 1993) sulit diikuti kalau orang tidak terlebih dahulu akrab
dengan pemikiran filsuf-filsuf besar: Wittgenstein, Husserl, Heidegger,
Popper, Gadamer. Dengan lancarnya ia pergi bolak balik dari satu tokoh
ketokoh yang lain.5
2.3 Giffari Nur Muhammad: konsep dan inti dari teori trukturasi, Anthony
Giddens
Teori strukturasi adalah teori yang mengintegrasikan antara agen dan
struktur. Giddens mengatakan bahwa setiap riset dalam ilmu sosial atau
sejarah selalu menyangkut penghubungan tindakan (sering kali disinonimkan
dengan agen) dengan struktur. Namun dalam hal ini tak berarti bahwa
struktur menentukan tindakan atau sebaliknya. Teori strukturasi menolak
adanya dualisme teori antara teori interaksionisme simbolik dengan
fungsional struktural. Giddens menyatakan bahwa kita harus mulai dari
praktik (interaksi) sosial yang berulang, yaitu sebuah teori yang
menghubungkan antara agen dan struktur. Menurut Bernstein“tujuan
5
https:tokohbangsa.wordpress.com/2009/07/31/giddens-untuk-pemula/
5
fundamental dari teori strukturasi adalah untuk menjelaskan hubungan
dialektika dan saling pengaruh mempengaruhi antara agen dan struktur6.
Inti konseptual teori strukturasi terletak pada pemikiran tentang
struktur, sistem, dan dualitas. Menurut Giddens, struktur hanya ada di dalam
dan melalui aktifitas agen. Giddens menyangkal bahwa struktur dapat
memaksa atau mengendalikan tindakan, namun struktur social ini dekat
dengan konsep sistem sosial Giddens. Giddens mendefinisikan sistem sosial
sebagai praktik sosial yang dikembangbiakan, artinya struktur dapat terlihat
dalam bentuk praktik sosial yang reproduksi. Jadi struktur serta muncul dalam
sistem sosial dan menjelma dalam ingatan agen yang berpengetahuan banyak.
Struktur didefinisikan sebagai “properti-properti yang berstruktur (aturan dan
sumber daya) properti yang memungkinkan praktik sosial serupa yang dapat
dijelaskan untuk eksis disepanjang ruang dan waktu, yang membuatnya
menjadi bentuk sistemik”. Giddens berpendapat bahwa struktur hanya ada di
dalam dan melalui aktivitas manusia7.
Di sini struktur ternyata sebagai sesuatu yang bersifat eksternal bagi
tindakan manusia, sebagai sumber yang mengekang kekuasaan subjek yang
disusun secara mandiri. Sebagaimana yang dikonseptualisasikan dalam
pemikiran strukturalis dan post-strukturalis, gagasan struktur ternyata lebih
menarik. Dalam hal ini struktur secara khas dianggap bukan sebagai pembuat
pola kehadiran seorang melainkan sebagai titik simpang antara kehadiran dan
ketidakhadiran. Kode-kode dasar harus disimpulkan dari manifestasi-
manifestasi yang merekat sehingga batas-batas antara keduanya bisa
diidentifikasi dengan jelas pada pembahasan selanjutnya.
Dua ide tentang struktur tersebut sekilas tampak tidak ada kaitannya
satu sama lain, namun nyatanya masing-masing berhubungan dengan aspek-
aspek penting dari struktur hubungan-hubungan sosial, aspek-aspek yang
dalam teori strukturasi dapat dipahami dengan menganalisis perbedaan antara
konsep struktur dengan sistem. Dalam menganalisis hubungan-hubungan
6
George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta:Kencana, hal. 508
7
Ibid, hal. 510
6
sosial, kita harus mengakui dimensi sintagmatig, suatu pola hubungan sosial
dalam ruang dan waktu yang melibatkan urutan sebenarnya dari mode-mode
pengembangan struktur yang secara reikursif diimplikasikan dalam proses-
proses reproduksi. Dalam tradisi strukturalis, biasanya terdapat ketaksaan
(ambiguity) perihal apakah struktur mengacu secara terbuka pada suatu
matriks transformasi di dalam seperangkat aturan-aturan transformasi yang
menentukan matriks tersebut. Paling tidak dari makna dasarnya, saja
memperlakukan matriks sebagai sesuatu yang mengacu pada aturan-aturan
dan sumber daya-sumber daya seperti itu.
Hanya saja tidak tepat bila menyebutnya sebagai aturan-aturan yang
tertransformasi, sebab semua aturan bersifat transformative. Oleh karena itu,
struktur dalam analis sosial lebih mengacu pada sifat-sifat struktur yang
membuka kemungkinan pemberian batas-batas ruang dan waktu dalam
sistem-sistem sosial, sifat-sifat demikian memberi kemungkinan munculnya
praktek-praktek sosial serupa dalam berbagai rentang ruang dan waktu serta
memberinya suatu bentuk ‘sistematik’.
Menyatakan bahwa struktur merupakan urutan sesungguhnya dari
suatu hubungan tranformatif berarti bahwa sistem sosial, sebagai praktek
sosial yang dereproduksi tidak memiliki struktur namun memperlihatkan
sifat-sifat struktual. Ia menunjukkan bahwa struktur itu ada, sebagaimana
keberadaan ruang dan waktu. Sifat-sifat struktural ini hanya muncul di dalam
berbagai tindakan isntan serta menjadi jejak-jejak memori yang memberi
petunjuk akan perilaku agen-agen manusia yang telah banyak memiliki
pengetahuan. Pada gilirannya , kita bisa saja menganggap bahwa sifat-sifat
struktural tersebut sebagai sesuatu yang secara hirarki diorganisasikan
bedasarkan luasnya ruang dan waktu tempat pengorganisasian tindakan-
tindakan tersebut secara rekursif. Sifat-sifat struktural yang muncul dalam
sebuah totalitas reproduksi sosial demikian menurut Giddens disebut sebagai
prinsip-prinsip struktural. Dengan praktek-praktek sosial yang memiliki
perluasan ruang waktu terbesar dalam totalitas seperti itu bisa diacu sebagai
institusi.
7
Rekonseptualisasi atas konsep tindakan, struktur dan sistem diawali
dengan memandang praktik-praktik sosial yang terus berlangsung sebagai
segi analitis terpenting. Jadi praktik-praktik sosial dianggap sebagai basis
yang melandasi keberadaan perilaku dan masyarakat. Ia menyatakan bahwa
praktik-praktik sosial harus dipahami sebagai kesesuaian antara ucapan dan
tindakan, atau signifikansi (signification) dan aksi8.
Konsepnya mengenai tindakan memperlihatkan adanya peranan
utama kekuasaan dalam kehidupan sosial. Giddens mengemukakan bahwa
kekuasaan merupakan komponen logis dalam tindakan, dimana tindakan
dipahami sebagai kemampuan untuk “menciptakan perbedaan” (to make a
difference). Pandangan menyeluruh atas kekuasaan sebagai kekuatan
trasnformatif ini dapat dikaitkan dengan dualitas struktur untuk melukiskan
betapa kekuasaan terus-menerus menyatu dengan kehidupan sosial. Dalam
proses interaksi, para pelaku memanfaatkan sumberdaya yang merupakan
unsur struktural dalam sistem sosial. Akses yang tidak setara dalam
sumberdaya itulah yang merupakan basis hubungan kekuasaan yang eksis
sebagai relasi-relasi otonomi dan dependensi yang direproduksi9
Giddens menekankan perlunya menyesuaikan diri dengan hakikat
temporal kehidupan sosial. Ia menyatakan bahwa kesalingtergantungan antara
tindakan dengan struktur hanya bias dikonsepsikan sebagai hubungan
temporal. Selanjutnya, ini mengandaikan bahwa perubahan senantiasa
merupakan hal yang implisit dalam interaksi sosial karena setiap proses
tindakan merupakan suatu produksi baru, meski berada dalam konteks yang
telah berlansung sebelumnya. Dengan demikian berarti reproduksi sistem
sosial tidak dapat dikonsepsikan menurut pandangan fungsionalis. Dalam
pandangan Giddens, sistem sosial eksis sebagai praktik-praktik yang
direproduksi dan oleh karenanya konsep mengenai sistem mensyaratkan
adanya konsep mengenai reproduksi.
8
Peter Beilharz. 2002. Teori-Teori Sosial. Yogyakarta:Pustaka Pelajar, hal. 193
9
Ibid, hal. 196
8
Kendatipun teori strukturasi dapat mengatasi berbagai kekurangan
dalam pemikiran tradisional, teori tersebut merupakan jawaban yang kurang
memadai bagi tugas yang menentang Teori Sosial kontemporer. Proyek
rekonstruksi dan sintetis Giddens secara inheren adalah teori yang
konservatif. Menjadikan tindakan dan struktur lebih bisa terbuka satu sama
lain memang merupakan penyempurnaan namun hal itu sama sekali belum
membantu melenyapkan perbedaan diantara keduanya mengubah dualisme
menjadi dualitas tidaklah memecahkan masalah merupakan kenyataan yang
ironis bahwa Giddens salah seorang pengkritik parsons paling terkemuka
gagal menjadi dari sejauhmana proyeknya sendiri merupakan kelanjutan
warisan parsonian.
Pengujian lebih cermat atas strategi rekonstruksi dan sintetis
Giddens itu menyingkapkan adanya bias ilmiah yang mencolok dalam
pemikirannya. Proses sintesis mencakup pembongkaran serta penyusunan
kembali struktur logis dari berbagai perspektif teoritis dan hal demikian itu
hanya bisa berhasil sebagai epistemologi. Aktivitas sintetis seperti itu
memerlukan dipisahkannya segi metodologis dari segi substantifnya serta
diberikannya prioritas pada segi metodologis. Keyakinan bahwa teori dapat
disempurnakan secara terpisah dari objeknya tersebut mengandung asumsi
tembunyi, yakni bahwa teori merupakan penafsiran yang bahkan lebih
sempurna terhadap objeknya. Strategi rekonstruksi dan sintetis berusaha
memisahkan teori dari sejarah serta mendistorsikan perkaitan antara
keduanya. Ini pada akhirnya mengakibatkan reifikasi atas teori.
Biasa ilmiah pada Giddens juga terjadi dalam teori strukturasinya.
Teori strukturasi bukanlah teori dengan maknanya yang lazim bagi istilah
tersebut. Bahkan, sebagai Rintisan bagi sebuah proyek sintetis, teori tersebut
mesti dipandang sebagai perangkat metodologis yang terpisah dari tujuannya
yang utama. Memang, Giddens mengemukakan dalam kata pengantar karya
utamanya mengenai strukturasi (1984) bahwa ia menaruh perhatian dalam
perkembangan “pendekatan” dalam studi tentang kehidupan sosial. Dengan
menekankan istilah “pendekatan” ia ingin menegaskan bahwa ia terutama
9
tertarik pada formulasi “skema skema konseptual yang mengatur dan
mengarahkan proses penyelidikan kehidupan sosial”.10
10
Ibid, hal. 197
10
Sebagai perangkat metodologis, teori strukturasi kurang memiliki
kemampuan untuk melahirkan konsep-konsep yang subntantif. Untuk
mencapai tujuan, sifatnya bagaikan parasit terhadap karya para pemikir
lain. Ini menunjukan adanya eklektisisme dalam tulisan-tulisan Giddesn
membutukan kurangnya orisinalitas dalam pemikirannya.
Teori itu bukan merupakan suatu penyelidikan terhadap dunia,
bukan suatu paparan mengenai munculnya berbagai kemungkinan dan
hanya mengajukan konsepsi yang terbatas mengenai teori sosial sebagai
keritik. Di dalam kerangka teori itu persoalan-persoalan mengenai etika
dan peroyek-peroyek politik bahkan tidak bisa dibahas. Sulit untuk
menyatakan teori strukturasi menyumbangkan sesuatu yang berarti atau
orisinal pada teori sosial.11
2.5 Ilham Nasir: pengaruh teori strukturasi, Anthony Giddens pada tokoh-
tokoh sosiologi berikutnya
1. Margaret Archer (Pendekatan morfogenetik)
Pada tahun 1982, British Journal of Sociology menerbitkan sebuah
artikel penting oleh Margaret Archer, Morfogenesis versus Struktural:
menggabungkan struktur dan tindakan' (2010 [l982]), yang berdampak
pada saat itu dan tetap banyak dikutip hingga hari ini.12
Morfogenesis, istilah yang berasal dari bahasa Yunani, secara
harfiah berarti perubahan bentuk atau bentuk. Meskipun penggunaan
aslinya dalam biologi, morfogenesis adalah diambil sebagai istilah untuk
perubahan sosial oleh ahli teori sistem sosial, yang pada waktu itu berpikir
11
Ibid, hal:198
12
(Pdf The odd couple: Margaret Archer, Anthony Giddens and British social
11
model biologis mungkin juga sesuai untuk masyarakat. Margaret Archer
(1982, 1995, 2007), bagaimanapun, memberikan istilah mata uang baru
teori sosial dengan menggunakan morfogenesis untuk mengidentifikasi
pendekatan realis terhadap masalah struktur agency sebagai berbeda dari
pendekatan yang kemudian lebih menonjol dari Giddensian (1979, 1981,
1984) teori strukturasi.13
2. Stephen R Barley (Teori Institusional dan Teori Strukturisasi)
Pengintegrasian teori institusional dan teori strukturasi diharapkan
dapat memberikan penjelasan yang lebih komprehensif terkait peran
struktur dan agen yang secara bersama-sama memengaruhi perubahan
institusional. Menurut Barley dan Tolbert (1997), kelemahan dan kekuatan
yang melekat pada isomorfisma yang dibangun dalam teori institusional
dapat diatasi dengan mempertimbangkan teori strukturasi. Teori
strukturasi menggabungkan struktur yang menjadi komponen utama dalam
teori institusional dengan agen yang menjadi pokok dari konsep pengaruh
manusia (human influence) (Giddens, 1984). 14
13
(Pdf Chapter 2 Morphogenesis and Social Change
14
(Pdf Komitmen Afektif Manajemen, Implementasi Sistem Pengukuran Kinerja, Akuntabilitas
dan Kinerja Organisasi Publik dalam Perspektif Teori Institusional dan Teori Strukturisasi
15
Goerge Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori sosiologi modern, Kencana, Jakarta, 2004 hlm
574
16
Ibid.,hlm. 575
12
(Pdf Komitmen Afektif Manajemen, Implementasi Sistem Pengukuran Kinerja,
Akuntabilitas dan Kinerja Organisasi Publik dalam Perspektif Teori Institusional
dan Teori Strukturisasi
13
gagal menerangkan struktur sosial yang melandasi kehidupan
sosial,
2. upaya membuat sintesis teoritis tak bertautan secara pas dengan
kompleksitas kehidupan sosial. Untuk menjelaskan kehidupan
sosial yang sangat kompleks ini, menurut Craib, memerlukan
sederetan teori yang mungkin saling bertentangan ketimbang
struktur sebuah teori sintesis. Craib menjelaskan bahwa kehidupan
sosial yang sangat ruwet ini dan keruwetannya itu tidak dapat
dijelaskan secara memadai dengan menggunakan pendekatan
tunggal yang secara konseptua rapi seperti Teori Strukturasi,
3. Giddens tidak bertolak dari landasan teoritis tertentu, maka dia
kekurangan basis memadai untuk membuat analisis kritis tentang
masyarakat modern,
4. Tteori Giddens kelihatan sangat fragmentaris, tidak berkaitan
secara utuh. Pemikirannya yang bersifat sepenggal- penggal itu
menyebabkan Giddens mengumpulkan penggalan-penggalan teori
yangtidak dapat dipersatukan dan diserasikan satu sama lain,
5. Jika tidak dapat dikatakan mustahil, paling tidak, sukar untuk
mengetahui secara pasti apa sebenarnya yang dibicarakan
Giddens.17
17
Goerge, Ritzer. Douglas, Goodman. Teori Sosiologi Modern, Terjemahan. Alimandan.
(Akarta: Prenada Media, 2003) Hal 513-514
14
2.7 Analisis Teori Strukturasi Anthony Giddens
Analisis korupsi di Indonesia dengan Teori Strukturasi. Kasus
korupsi di Indonesia ini di analisis oleh teori strukturasi Anthony Giddens.
Mengenai kasus korupsi yang terjadi di Indonesia yang kian hari semakin
bertambah. Seolah membudaya dalam tubuh bangsa ini. Awal mulanya
disebabkan oleh kafitalisme dan matrealisme dan mendorong pelaku dan
struktur untuk melakukan korupsi. Teori-teori Giddens dalam tulisan ini akan
dikaitkan dengan kasus-kasus yang marak terjadi seperti korupsi yang terjadi
di Indonesia.
Actor utama korupsi adalah pemerintah dan sector swasta, dan
rakyat banyak yang menjadi korbannya. Dalam teori strukturasi
(structuration) Anthony Giddens (1984) kunci pendekatan Giddens adalah
melihat agen dan struktur sebagai dualitas, artinya keduanya dapat dipisahkan
15
satu sama lain. Agen terlibat dalam struktur dan struktur melibatkan agen.
Giddens menolak untuk melihat struktur semata sebagai pemaksa terhadap
agen, tetapi melihat struktur baik sebagai pemaksa maupun penyedia peluang.
Pelaku korupsi merupakan suatu struktur yang rasio sebagai hasil
dari sedimentasi dari perulangan praktik korupsi yang berjalan dalam waktu
ke waktu. Tindakan immoral ini yang bisa dilakukan berkali-kali memiliki
implikasi pada terbaliknya cara berpikir. Perasaan kesenangan yang dirasakan
setelah mengkonsumsi hasil korupsi membawa pelaku sebagai keyakinan
bahwa melakukan tindakan korupsi dianggap lebih rasional ketimbang
menghindarinya.
Semakin banyak tindakan korupsi maka semakin wajar untuk terus
melakukannya. Struktur perilaku korupsi yang telah terbentuk dalam rasio
pelaku kemudian dijadikan praktik sosial. Berdasarkan pada tingkat
rasionalnya, hal tersebut adalah tindakan yang wajar, normal dan telah
membudaya. Pelaku korupsi seolah-olah mereka seperti mendapatkan timbal
balik jasa atas kerjanya. Rasionalitas ini pada akhirnya menularkan pada
orang sekitar, menimbulkan suatu kesepahaman akan tindakan korupsi
tersebut. Terkadang orang yang menjadi korban akan melakukan hal serupa.
Sehingga kerja korupsi terlihat seperti sistematis, terorganisasi dan saling
terkait dengan pihak yang lainnya. Semua pihak menjadikan sebagai suatu
struktur yang dianggap wajar. Struktur terdiri dari aturan dan sumberdaya,
pada akhirnya dapat dilihat sebagai suatu ciri atau sifat dari system sosial.
Inti konseptual teori strukturasi terletak pada pemikiran tentang
struktur, system dan dwi rangkap. Menurut Giddens, struktur hanya ada di
dalam dan melalui aktivitas agen. Giddens tak menyangkal fakta bahwa
struktur dapat memaksa atau mengendalikan tindakan, namun struktur sosial
ini dekat dengan konsep system sosial giddens.
Jadi struktur korupsi adalah aturan dan sumberdaya yang terdapat
pada rasio pelaku sebagai hasil sidemantasi dari perulangan praktik korupsi
yang berjalan dari waktu ke waktu. Struktur yang terbentuk dari perulangan
praktik korupsi ini, selanjutnya akan menjadi sarana praktik korupsi
16
berikutnya. Struktur korupsi ini pada akhirnya dapat dilihat sebagai sifat atau
ciri-ciri dari system yang korupsi. System yang korupsi merupakan
pelembagaan dari struktur korupsi, yaitu aturan-aturan dan sumberdaya yang
korupsi.
“Aku bebas hanya ketika semua orang lain di sekelilingku –baik laki-laki maupun
perempuan- sama-sama bebasnya. Kebebasan orang lain, alih-alih membatasi
atau membatalkan kebebasanku, justru sebaliknya merupakan kondisi dan
konfirmasi yang diperlukannya. Aku menjadi bebas dalam pengertiannya yang
sejati hanya karena kemerdekaan orang lain, begitu rupa sampai semakin banyak
jumlah orang bebas di sekelilingku, makin dalam dan makin besar serta makin
intensif kemerdekaan mereka, maka makin dalam dan makin luas pula
kemerdekaanku.” Mikhail Bakunin. 18
Prostitusi sampai saat ini telah dianggap sebagai momok yang memalukan hampir
oleh seluruh masyarakat di dunia, terutama Indonesia. Pandangan masyarakat
terhadap prostitusi telah memiliki ambiguitas tersendiri, yang nampak dari stigma-
stigma negatif yang sangat kental yang terlanjur melekat pada prostitusi.
Prostitusi dalam makna harfiahnya adalah aktivitas seksual (tanpa nikah) yang
telah dipersiapkan dengan persetujuan oleh kedua belah pihak. Pada umumnya
kesepakatan dalam prostitusi adalah sang Pekerja Seks Komersial (PSK) akan
mendapatkan imbalan berupa sejumlah materi dan konsumennya akan
mendapatkan timbal balik berupa kesenangan seksual.
18
Lihat Sean M. Sheehan, ANARKISME Perjalanan Sebuah Gerakan Perlawanan.; penerjemah
Robby Kurniawan; pengantar Daniel Hutagalung. Serpong. Marjin kiri, 2007.hal vii
17
Prostitusi memang dapat dikatakan tidak sesuai dengan norma-norma yang ada di
Indonesia, namun yang disesalkan di sini adalah perspektif pemerintah yang selalu
menyalahkan prostitusi tanpa melihat akar persoalan dari prostitusi itu sendiri.
Membela prostitusi dapat dikatakan sebagai hal yang berani di negeri ini. Negeri
dimana terdapat norma yang beragam, yang kemudian kerap membawa
masyarakat pada ambiguitas norma. Hal ini lah yang kemudian sedikit banyak
telah menjadi faktor pemicu beberapa persoalan yang sering mengiringi langkah
prostitusi seperti human traficking, pemaksaan seksual, dan bahkan kekerasan
yang justru dilakukan oleh aparatur negara. Maka mau tidak mau persoalan keras
dan sensitif berlatar belakang semacam itu merupakan persoalan kita bersama,
persoalan warga dalam berbangsa dan bernegara.
Permasalahan seputar prostitusi sampai saat ini memang belum dapat ditangani
dengan tuntas. Prostitusi tak hanya terjadi pada negara-negara yang sedang
berkembang seperti Indonesia, Cina, Hongkong, Thailand dan negara dunia ketiga
lainnya. Namun prostitusi juga masih terdapat pada negara yang telah dianggap
maju, seperti misalnya di Belanda, yang nota bene telah memberikan jaminan
untuk para penganggur.
Begitu pula dengan prostitusi di Indonesia, yang belum ditangani dengan metode
yang tepat, holistik dan integratif. Hal ini terlihat dari adanya sudut pandang
pemerintah yang menganggap prostitusi sebagai sebuah kejahatan yang harus
diberantas. Pemberantasan tersebut dilakukan antara lain dengan penangkapan
PSK, yang kemudian dilanjutkan dengan ceramah moral, cek darah, dan yang
terakhir memasukkannya ke panti rehabilitasi sementara para konsumen seks
hanya di data dan kemudian di lepas kembali. Metode seperti ini dianggap kurang
tepat karena hanya memandang PSK sebagai satu-satunya elemen prostitusi yang
menjadi pelaku kriminal. Padahal sedikitnya terdapat empat komponen prostitusi,
18
yaitu PSK, pengguna seks, fasilitator (termasuk mucikari), dan orang yang
melindungi prostitusi.19
Akan tetapi ternyata tak semua motif pelacur tersebut adalah berdasarkan
ekonomi, namun juga merupakan kesengsaraan hidupnya yang dialami. Hal ini
dapat dilihat dengan banyaknya perempuan muda yang diperkosa hingga
kehilangan arah, yang kemudian terjun bebas menuju alam prostitusi. Selain itu,
pada beberapa kasus yang terungkap juga banyak perempuan pelacur yang
ternyata merupakan korban dari penjualan manusia (human trafiking). Dan
bahkan yang paling ironis adalah ketika terungkap pada beberapa kebudayaan di
daerah, seperti misalnya Indramayu dimana orang tuanya sendiri lah yang menjual
anaknya yang masih lugu ke dalam cengkraman pria hidung belang ataupun yang
terjadi di Yunani dimana seorang pelacur merasa bangga dengan profesinya.
Subjek-Objek Prostitusi
19
Lihat Neni Utama Hadiningsih, “PSK sebagai Korban” (diakses dari www.bkkbn.go.id pada
tanggal 16 Januari 2007)
19
Dalam keseharian sering kali terdapat perbedaan-perbedaan yang terlihat jelas
antara laki-laki dan perempuan terlihat dari kedudukan, fungsi, peran dan
tanggungjawab. Perempuan dalam hal ini mendapatkan suatu diskriminasi gender
yang menyebabkan ketimpangan antara perempuan dan laki-laki yang dinamakan
ketidakadilan gender. Begitu pula yang terjadi dalam prostitusi. Dalam prostitusi,
pelacur yang di dominasi oleh kalangan perempuan tidak
mendapatkan power sedikit pun (kekuasaan yang rendah/powerless).
Menurut Robert Dahl, sumber power adalah kewenangan dari institusi formal
negara dan hal tersebut terlihat dari ideologi-ideologi atau hegemoni yang
diciptakannya. Jika dalam institusi formal seperti negara tidak membedakan
antara Pekerja Seks Komersial (PSK) dengan konsumennya dalam penanganan
kasus prostitusi, maka tidak ada pihak yang merasa termarginalkan. Power disini
merupakan bentuk dari kekuatan dan kekuasaan yang dapat sebagai suatu
penindasan dan dapat juga sebagai bentuk perlawanan dari penindasan juga.
20
empowerment pada para pelacur agar mereka dapat membela hak-hak yang
mereka miliki.
Kemudian dengan bersandar pada pernyataan Bakunin pada awal makalah ini
dapat dikatakan bahwa selama semua pihak yang terlibat dapat
mengaktualisasikan kebebasannya, maka sebuah tindakan (dalam hal ini adalah
prostitusi) sah saja dilakukan. Begitu pula pada hukum, dinyatakan bahwa pada
sebuah tindakan kriminal terdapat dua kategori pihak yang terlibat, subjek dan
objek kriminal. Yang pertama adalah mereka yang menjadi pelaku atau dapat
dikatakan sebagai subjek, dan yang kedua adalah korban yang berperan sebagai
objek kriminalitas. Maka, dalam kejadian seperti pemerkosaan, pelecehan seksual,
dan penyerangan seksual dapat dikatakan sebagai tindak kriminal karena terdapat
korban di dalamnya. Lain halnya dengan prostitusi dimana jika pihak-pihak yang
terlibat di dalam prostitusi menganggap tidak ada yang saling dirugikan (tidak ada
korban /victim less) maka prostitusi tersebut bukanlah sebuah tindakan kriminal.
Namun, Prostitusi akan menjadi masalah ketika ada salah satu pihak yang
dirugikan, seperti misalnya PSK-nya tidak mendapatkan bayaran, atau pada
prostitusi yang di dalamnya terdapat Germo (germonya mengambil keuntungan
lebih besar dari PSK), dan juga terutama pada prostitusi yang dipaksakan. Maka
sebaiknya tidak perlu ada hukum yang melarang aktivitas prostitusi karena akan
ada seseorang dipersalahkan karena aktivitas tersebut. Dan ini menjadi tidak adil
dalam konteks di mana prostitusi adalah pelibatan dua orang lawan jenis untuk
sebuah kesenangan seksual. Oleh sebab itu, hukuman terhadap aktivitas yang
victim-less, yang dipandang sebagai tindak kriminal sebaiknya dihilangkan dan
kemudian aktivitas itu sebaiknya didekriminalisasi (decriminalized).20
20
Lihat Mu’man Nuryana, “Dekriminalisasi Prostitusi”. Kompas, 24 Februari 2004.
21
aktivitas seksual atas dasar kesepakatan bersama, atau istilah populernya adalah
seks komersial. Sejumlah pemerintah daerah memiliki peraturan daerah yang
melarang pendirian lokalisasi. Dengan dasar hukum ini, aktivitas seksual atas
dasar kesepakatan bersama di antara dua orang atau lebih dalam sebuah tempat
yang bersifat pribadi atau "dipersiapkan" dapat dikategorikan sebagai tindakan
kriminal. Ketentuan yang didasarkan pada definisi ini seharusnya sudah dibuang
jauh-jauh. Berdasarkan prinsip universal tentang hak asasi manusia, setiap orang
dewasa memiliki hak beraktivitas apa saja yang dianggap "menyenangkan" bagi
tubuh mereka, yang dalam hal ini adalah seks.
Praktik sosial ini lah yang menurut Giddens merupakan objek kajian ilmu sosial.
Kemudian dijelaskan bahwa dualitas berada dalam fakta bahwa ‘suatu struktur
mirip pedoman’ yang menjadi prinsip praktik-praktik di berbagai tempat dan
waktu tersebut merupakan hasil perulangan berbagai tindakan. Namun sebaliknya,
skemata yang mirip “aturan” itu juga menjadi sarana bagi berlangsungnya praktik
sosial. Skemata ini lah yang kemudian disebutnya sebagai struktur.
Struktur di sini bersifat mengatasi ruang dan waktu serta maya, sehingga dapat
diterapkan pada berbagai situasi dan kondisi. Selain itu, obyektivitas struktur tidak
bersifat eksternal, melainkan melekat pada tindakan dan praktik sosial yang
dilakukan.21
21
B. Herry Priono, (2002), Anthony Giddens, Suatu Pengantar, Jakarta; Kepustakaan Populer
Gramedia (KPG), hal 22-23.
22
Kemudian dari berbagai prinsip struktural tersebut, Giddens terutama melihat tiga
gugus besar struktur yaitu signifikasi, dominasi, dan legitimasi. Secara ringkas
tiga gugus besar tersebut dapat digambarkan sebagai berikut;
Kemudian, bagaimana kaitan tiga prinsip struktural itu dengan praktik sosial?
Skema di bawah ini menyajikan pola relasi antar keduanya;
Tiga gugus besar ini ternyata sangat menyudutkan prostitusi. Dalam skema
tersebut, dualitas antara struktur dan pelaku berlangsung sebagai berikut. Pertama
bila dilihat dari struktur signifikasi, pelacur adalah sebutan bagi orang yang
menjual dirinya untuk mendapatkan sejumlah materi, selain itu seperi telah
dijelaskan di atas, pelacur juga dimaknai oleh masyarakat sebagai orang yang
sudah tidak memiliki harga diri lagi, tak bernilai lagi, dan segala macam
pemaknaan lainnya yang diberikan oleh masyarakat. Kedua struktur penguasaan
atau dominasi, pelacur mengalami dominasi baik dari sisi dominasi otorisasi atas
orang yang terwujud dalam tata politik maupun dominasi atas alokasi barang yang
23
terwujud dalam tata ekonomi. Ketiga, struktur pembenaran atau legitimasi. Pada
struktur ini pelacur semakin terpinggirkan, legitimasi baik secara formal (aturan
negara melalui undang-undang) maupun secara informal (aturan masyarakat yang
normatif sesuai adat yang berlaku). Negara memandang prostitusi sebagai sebuah
tindakan kriminal sehingga terdapat legitimasi kepada aparatnya untuk
menangkap para pelacur dan dimasukkan kedalam pusat rehabilitasi, begitu pula
pada masyarakat yang melegitimasi semua pihak untuk mengusir atau pun
menghukum pelacur yang bertempat tinggal di daerahnya.
Dari penjelasan di atas didapatkan bahwa kondisi pelacur sudah sangat parah,
sampai-sampai dominasi yang menimpanya membuatnya tak memiliki tubuh lagi,
tubuhnya tidak diakui sebagai tubuh manusia melainkan hanyalah sebagai alat
pemuas nafsu belaka.
Demikian pula arah sebaliknya, yaitu struktur sebagai sedimentasi keterulangan
praktik sosial. Pembakuan pelacur sebagai struktur signifikasi hanya terbentuk
melalui perulangan berbagai praktik wacana mengenai pentingnya kesucian diri
dengan setia kepada satu pasangan. Prostitusi mengalami struktur dominasi juga
dikarenakan langgengnya budaya patriarki di masyarakat serta arah ekonomi
menuju liberal (neo liberal). Begitu pula struktur legitimasi kriminalisasi prostitusi
yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Dari situ dapat ditarik
kesimpulan bahwa dalam teori strukturasi (dualitas antara struktur dan tinsakan)
yang digagas Goddens ini selalu memerlukan sarana-antara. Dalam pembahasan
di atas, prostitusi mengandaikan bingkai interpretasi kesetiaan terhadap satu
pasangan. Dimana di dalamnya tidak diperbolehkan adanya perempuan yang
berhubungan dengan laki-laki di luar nikah. Dalam dualitas antara struktur
dominasi misalnya, uang/ materi merupakan fasilitas user untuk dapat membuat
pelacur memuaskan dirinya. Kemudian yang terakhir tentang dualitas legitimasi
dan sangsi, norma pemerintah memungkinkan untuk penangkapan pelacur.
Kemudian Giddens membedakan tiga dimensi internal pelaku, yaitu motivasi tak
sadar, kesadaran praktis, dan kesadaran diskursif. Motivasi tak sadar menyangkut
24
keinginan atau kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan, tapi bukan
tindakan itu sendiri. Kesadaran diskursif mengacu pada kapasitas kita
merefleksikan dan memberikan penjelasan rinci serta eksplisit atas tindakan kita.
Kemudian yang dimaksud dengan kesadaran praktis menunjuk pada gugus
pengetahuan praktis yang tidak selalu bisa diurai. Dalam fenomenologi, kesadaran
praktis inilah wilayah kepribadian yang berisi gugus pengetahuan yang sudah
diandaikan. Gugus pengetahuan yang sudah diandaikan ini merupakan sumber
rasa aman ontologis. Namun tidak berarti tak ada perubahan dalam proses
strukturasi.
Pustaka Acuan
Gunawan, Rudy (2000). ‘Sex sebagai Simbol’. Jakarta: Grasindo.
Hadiningsih, Neni Utama, “PSK sebagai Korban” (diakses
dari www.bkkbn.go.id pada tanggal 16 Januari 2007)
22
Ibid. hal 28-31.
25
Indriati, Neni “Menangani Prostitusi dengan Pendekatan Kemanusiaan”. Kompas,
23 Desember 2002.
Nuryana, Mu’man, “Dekriminalisasi Prostitusi”. Kompas, 24 Februari 2004.
Sheehan, Sean M (2007), ‘ANARKISME Perjalanan Sebuah Gerakan
Perlawanan’ ; penerjemah Robby Kurniawan; pengantar Daniel Hutagalung.
Serpong; Marjin kiri.
BAB III
PENUTUP
3.1 kesimpulan
Anthony Giddens lahir di Edmonton, London, 1938. Giddens adalah
anak pegawai transportasi di London. Dia masuk universitas Hull dan lulus
tahun 1959 pada program sosiologi dari London School of Economic (LSE),
dan tahun 1961 menjadi pengajar pada depertemen Sosiologi di Universitas
26
Leicester. Teori strukturasi adalah teori yang mengintegrasikan antara agen dan
struktur. Giddens mengatakan bahwa setiap riset dalam ilmu sosial atau sejarah
selalu menyangkut penghubungan tindakan (sering kali disinonimkan dengan
agen) dengan struktur. Namun dalam hal ini tak berarti bahwa struktur
menentukan tindakan atau sebaliknya.
Inti konseptual teori strukturasi terletak pada pemikiran tentang
struktur, sistem, dan dualitas. Menurut Giddens, struktur hanya ada di dalam
dan melalui aktifitas agen. Giddens menyangkal bahwa struktur dapat
memaksa atau mengendalikan tindakan, namun struktur social ini dekat dengan
konsep sistem sosial Giddens. Giddens mendefinisikan sistem sosial sebagai
praktik sosial yang dikembangbiakan, artinya struktur dapat terlihat dalam
bentuk praktik sosial yang reproduksi. Jadi struktur serta muncul dalam sistem
sosial dan menjelma dalam ingatan agen yang berpengetahuan banyak.
3.2 saran
Demi kesempurnaan pever ini, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun untuk kelancaran penulis pever selanjutnya agar lebih
baik dari penulisan pever yang sebelumnya yang akan dijadikan sebagai tolak
ukur untuk penulisan pever selanjutnya.
27