Vous êtes sur la page 1sur 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) pertama kali ditemukan pada anak
tahun 1983 di Amerika Serikat, yang mempunyai beberapa perbedaan dengan infeksi HIV
pada orang dewasa dalam berbagai hal seperti cara penularan, pola serokonversi, riwayat
perjalanan dan penyebaran penyakit, faktor resiko, metode diagnosis, dan manifestasi oral.
Dampak acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) pada anak terus meningkat, dan saat
ini menjadi penyebab pertama kematian anak di Afrika, dan peringkat keempat penyebab
kematian anak di seluruh dunia. Saat ini World Health Organizationv (WHO) memperkirakan
2,7 juta anak di dunia telah meninggal karena AIDS. Kasus pertama AIDS di Indonesia
ditemukan pada tahun 1987 di Bali yaitu seorang warga negara Belanda. Pada tahun 2015,
diperkirakan akan terjadi penularan pada 38.500 anak yang di lahirkan dari ibu yang
terinfeksi HIV. Sampai tahun 2006, diprediksi 4.360 anak terkena HIV dan separuh di
antaranya meninggal dunia. Saat ini di perkirakan 2320 anak yang terinfeksi HIV. Anak yang
didiagnosis HIV juga akan menyebabkan terjadinya trauma emosi yang mendalam bagi
keluarganya. Orang tua harus menghadapi masalah berat dalam perawatan anak,
pemberian kasih sayang,dan sebagainya dapat mempengaruhi pertumbuhan mental anak
(Nurs dan Kurniawan, 2013).
Data dari Ditjen PP & PL Kementrian Kesehatan Republik Indonesia sampai dengan
triwulan III tahun 2014 jumlah penderita AIDS pada usia 0 –14 tahun mencapai 2,9 %. Data
terbaru dari hasil pemetaan populasi kunci oleh Komisi Penaggulangan AIDS kota Surakarta
menunjukkan ibu rumah tangga dan anak menjadi pengidap HIV terbanyak di Kota
Surakarta. jumlah kasus HIV/AIDS di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2012 sebanyak
9.032 untuk kasus HIV, sedangkan untuk kasus AIDS sebanyak 3.767 kasus. Untuk
kelompok umur 5-9 tahun sebanyak 12 kasus (Dinkes Jateng, 2012). Berdasarkan data
Dinas Kesehatan Grobogan, jumlah anak penderita HIV/AIDS dari tahun 2008-2015
sebanyak 44 anak dengan kisaran umur 0-15 tahun. Jumlah ODHA anak yang meninggal
sebanyak 4 anak, adapun ODHA anak yang pindah tempat tinggal di luar Kabupaten
Grobogan sebanyak 2 anak. Jumlah ODHA anak yang masih hidup dan menetap di
Kabupaten Grobogan sebanyak 38 anak.
Pada Bulan April 2009, jumlah penderita HIV/AIDS di Malang Raya sudah hampir
mendekati 1000 orang, di Jawa Timur sudah mencapai lebih dari 3000 orang. Diantara
mereka juga terdapat penderita anak-anak usia 1 sampai 10 tahun yang sudah mencapai
puluhan jumlahnya. Dengan rata-rata pertambahan penderita HIV/AIDS di Malang Raya
yang mencapai 10 orang perbulan, bisa kita bayangkan 5 atau 10 tahun kedepan berapa
besar jumlah penderita HIV/AIDS baik yang usia dewasa maupun anak-anak. Diantara
sekian banyaknya penderita HIV/AIDS, telah ditemukan beberapa yang masih usia pra
sekolah dan sekolah yaitu antara usia 3 sampai 10 tahun. Penularan pada anak terjadi
melalui transmisi dari ibunya yang telah HIV positif saat proses kehamilan dan menyusui.
Hal ini karena pada saat hamil sirkulasi darah janin disuplai dari ibu sehingga akan terjadi
hubungan langsung antara peredaran darah ibu dan janin/bayi (Darwanto, 2009).
B. TUJUAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar kita khususnya calon perawat
mengetahui konsep medis pada HIV AIDS secara keseluruhan beserta Asuhan
Keperawatan HIV AIDS pada anak.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Human Immuno deficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang salah satu jenis
sel darah putih yang berperan sebagai sistem kekebalan tubuh manusia. Sedangkan
AIDS adalah gejala penyakit yang timbul akibat dari menurunnya sistem kekebalan
tubuh akibat dari infeksi virus HIV dalam tubuh manusia yang disebabkan oleh
retrovirus (HIV) yang dapat mempermudah terkena berbagai infeksi seperti bakteri,
jamur, parasit dan virus. HIV umumnya di tularkan melalui kontak langsung antara
lapisan kulit dalam (membaran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang
mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu
ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral),
transfuse darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama
kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan
tubuh tersebut, Kasus HIV pada anak biasanya paling sering ditemukan akibat transmisi
dari ibu yang sudah memiliki HIV ke anaknya. Kemungkinan besar perpindahan virus ini
terjadi selama proses kehamilan dan juga persalinan (Mulyasari, 2016).

B. Etiologi
HIV disebabkan oleh human immunodeficiency virus yang melekat dan memasuki
limfosit T helper CD4+. Virus tersebut menginfeksi limfosit CD4+ dan sel-sel imunologik lain
dan orang itu mengalami destruksi sel CD4+ secara bertahap, Infeksi HIV disebabkan oleh
masuknya virus yang bernama HIV (Human Immunodeficiency Virus) ke dalam tubuh
manusia (Pustekkom, 2010).

C. Patofisiologi
HIV secara khusus menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4, yang
bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup limfosit penolong dengan
peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga meperlihatkan pengurangan
bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit. Mekanisme infeksi HIV yang
menyebabkan penurunan sel CD4.
HIV secara istimewa menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4, yang
bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup linfosit penolong dengan
peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga memperlihatkan pengurangan
bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit. Mekanisme infeksi HIV yang
menyebabkan penurunan sel CD4 ini tidak pasti, meskipun kemungkinan mencakup infeksi
litik sel CD4 itu sendiri; induksi apoptosis melalui antigen viral, yang dapat bekerja sebagai
superantigen; penghancuran sel yang terinfeksi melalui mekanisme imun antiviral penjamu
dan kematian atau disfungsi precursor limfosit atau sel asesorius pada timus dan kelenjar
getah bening. HIV dapat menginfeksi jenis sel selain limfosit. Infeksi HIV pada monosit, tidak
seperti infeksi pada limfosit CD4, tidak menyebabkan kematian sel. Monosit yang terinfeksi
dapat berperang sebagai reservoir virus laten tetapi tidak dapat diinduksi, dan dapat
membawa virus ke organ, terutama otak, dan menetap di otak. Percobaan hibridisasi
memperlihatkan asam nukleat viral pada sel-sel kromafin mukosa usus, epitel glomerular
dan tubular dan astroglia. Pada jaringan janin, pemulihan virus yang paling konsisten adalah
dari otak, hati, dan paru. Patologi terkait HIV melibatkan banyak organ, meskipun sering sulit
untuk mengetahui apakah kerusakan terutama disebabkan oleh infeksi virus local atau
komplikasi infeksi lain atau autoimun.
Stadium tanda infeksi HIV pada orang dewasa adalah fase infeksi akut, sering
simtomatik, disertai viremia derajat tinggi, diikuti periode penahanan imun pada replikasi
viral, selama individu biasanya bebas gejala, dan priode akhir gangguan imun sitomatik
progresif, dengan peningkatan replikasi viral. Selama fase asitomatik kedua-bertahap dan
dan progresif, kelainan fungsi imun tampak pada saat tes, dan beban viral lambat dan
biasanya stabil. Fase akhir, dengan gangguan imun simtomatik, gangguan fungsi dan organ,
dan keganasan terkait HIV, dihubungkan dengan peningkatan replikasi viral dan sering
dengan perubahan pada jenis vital, pengurangan limfosit CD4 yang berlebihan dan infeksi
aportunistik.
Infeksi HIV biasanya secara klinis tidak bergejala saat terakhir, meskipun “ priode
inkubasi “ atau interval sebelum muncul gejala infeksi HIV, secara umum lebih singkat pada
infeksi perinatal dibandingkan pada infeksi HIV dewasa. Selama fase ini, gangguan regulasi
imun sering tampak pada saat tes, terutama berkenaan dengan fungsi sel B;
hipergameglobulinemia dengan produksi antibody nonfungsional lebih universal diantara
anak-anak yang terinfeksi HIV dari pada dewasa, sering meningkat pada usia 3 sampai 6
bulan. Ketidak mampuan untuk berespon terhadap antigen baru ini dengan produksi
imunoglobulin secara klinis mempengaruhi bayi tanpa pajanan antigen sebelumnya,
berperang pada infeksi dan keparahan infeksi bakteri yang lebih berat pada infeksi HIV
pediatrik. Deplesi limfosit CD4 sering merupakan temuan lanjutan, dan mungkin tidak
berkorelasi dengan status simtomatik. Bayi dan anak-anak dengan infeksi HIV sering
memiliki jumlah limfosit yang normal, dan 15% pasien dengan AIDS periatrik mungkin
memiliki resiko limfosit CD4 terhadap CD8 yang normal. Panjamu yang berkembang untuk
beberapa alasan menderita imunopatologi yang berbeda dengan dewasa, dan kerentanan
perkembangan system saraf pusat menerangkan frekuensi relatif ensefalopati yang terjadi
pada infeksi HIV anak.

D. Tanda Dan Gejala


Dengan sedikit pengecualian, bayi dengan infeksi HIV perinatal secara klinis dan
imunologis normal saat lahir. Kelainan fungsi imun yang secara klinis tidak tampak sering
mendahului gejala-gejala terkait HIV, meskipun penilaian imunologik bayi beresiko dipersulit
oleh beberapa factor unik. Pertama, parameter spesifik usia untuk hitung limfosit CD4 dan
resiko CD4/CD8 memperlihatkan jumlah CD4 absolut yang lebih tinggi dan kisaran yang
lebih lebar pada awal masa bayi, diikuti penurunan terhadap pada beberapa tahun pertama.
Selain itu, pajanan obat ini beresiko dan bahkan pajanan terhadap antigen HIV tanpa infeksi
dapat membingungkan fungsi dan jumlah limfosit. Oleh karena itu, hal ini peting untuk
merujuk pada standar yang ditentukan usia untuk hitung CD4, dan bila mungkin
menggunakan parameter yang ditegakkan dari observasi bayi tak terinfeksi yang lahir dari
ibu yang terinfeksi.
Gejala terkait HIV yang paling dini dan paling sering pada masa bayi jarang
diagnostic. Gejala HIV tidak spesifik didaftar oleh The Centers For Diseasen Control sebagai
bagian definisi mencakup demam, kegagalan berkembang, hepatomegali dan splenomegali,
limfadenopati generalisata (didefinisikan sebagai nodul yang >0,5 cm terdapat pada 2 atau
lebih area tidak bilateral selama >2 bulan), parotitis, dan diare. Diantara semua anak yang
terdiagnosis dengan infeksi HIV, sekitar 90% akan memunculkan gejala ini, kebergunaannya
sebagai tanda awal infeksi dicoba oleh studi the European Collaborativ pada bayi yang lahir
dari ibu yang terinfeksi. Mereka menemukan bahwa dua pertiga bayi yang terinfeksi
memperlihatkan tanda dan gejala yang tidak spesifik pada usia 3 bulan, dengan angka yang
lebih rendah diantara bayi yang tidak terinfeksi. Pada penelitian ini, kondisi yang
didiskriminasi paling baik antara bayi terinfeksi dan tidak terinfeksi adalah kandidiasis kronik,
parotitis, limfadenopati persistem, hepatosplenomegali. Otitis media, tinitis, deman yang
tidak jelas, dan diare kronik secara tidak nyata paling sering pada bayi yang terinfeksi
daripada bayi yang tidak terinfeksi.
Tanda pertama infeksi tidak nyata. Pengalaman dari beberapa pusat penelitian
menunjukkan bahwa sekitar 20% bayi yang terinfeksi secara cepat akan berkembang
menjadi gangguan imun dan AIDS. Banyak dari bayi ini akan menampakkan gejala
aneumonia Pneumocystis carinii (PCP) pada usia 3 sampai 6 bulan, atau menderita infeksi
bakteri serius lain. Pada beberapa bayi, jumlah CD4 mungkin normal saat terjadinya PCP.
Dalam 2 tahun setelah lahir, kebanyakan bayi akan mengalami beberapa derajat
kegagalan berkembang, demam rekuren atau kronik, keterlambatan perkembangan,
adenopati persisten, atau hepatosplemegali. Semua ini bukan keadaan kecacatan, dan
konsisten dengan kelangsungan hidup yang lama. Melebihi ulang tahun pertama, sekitar 8%
bayi ini akan berkembang menjadi AIDS terbatas CDC per tahun. Penunjukan “AIDS”
merupakan kebergunaan yang sangat terbatas pada prognosis atau pada nosologi deskriptif
infeksi HIV, tetapi penyakit indicator AIDS berperang sebagai tanda tingginya perkembangan
penyakit dan sebagai catalog kondisi yang sering terlihat dengan perkembangan penyakit.
Masing-masing dibahas secara singkat dibawah:
Pneumonia Pneumocystis carinii (PCP). PCP merupakan penyakit indicator AIDS
paling sering, yang terjadi pada sekitar sepertiga anak dan bayi yang terinfeksi. Usia rata
untuk munculnya penyakit adalah sekitar usia 9 bulan, meskipun puncaknya sampai usia 3
sampai 6 bulan diantara bayi-bayi yang berkembang sangat cepat. Tidak seperti reaksi PCP
pada orang dewasa, infeksi ini biasanya merupakan infeksi primer pada anak yang terinfeksi
HIV, bergejala subkutan atau mendadak dengan demam, batuk, takipnea, dan ronki. PCP
sulit dibedakan dengan infeksi paru lain atau usia ini, dan karena trimetoprim-
sulfametoksasol dan kortikosteroid intravena diberikan pada awal perjalanan penyakit
menyebabkan perbaikan yang signifikan, lavese bronkoalveolar diagnostic harus dipikirkan
secara serius pada bayi beresiko dengan gambaran klinis konsisten. PCP memberikan
prognosis yang tidak baik pada awal penelitian dengan kelangsungan hidup media 1 bulan
setelah diagnosis. Saat ini dikenali bahwa penyakit yang lebih ringan dapat terjadi dan
konsisten dengan kelangsungan hidup yang lama. Profilaksin PCP dengan trimetoprim-
sulfametoksasol oral efektif, dan merupakan indikasi untuk bayi dengan kehilangan limfosit
CD4 yang signifikan, sebelum PCP, dan pada beberapa bayi muda dengan perkembangan
gejala terkait HIV yang cepat.
Pneumolitis Interstisial Limfoid (LIP), Infiltrasi paru intersisial kronik telah ditentukan
pada orang dewasa yang terinfeksi HIV dalam jumlah kecil, tetapi terjadi pada sekitar 20%
anak yang terinfeksi HIV. Dianggap berhubungan dengan infeksi virus Epstein-Barr. Kondisi
ini ditandai dengan perjalanan kronik eksa-serbasi intermiten (sering selama infeks respirasi
yang terjadi di antara infeksi atau selama infeksi. Infiltra dada kronik yang terlihat pada sinar-
X sering menunjukkan diagnosis, tetapi hanya biopsy paru terbuka yang dapat dipercaya
untuk diagnosis definitive. Hipoksia jaran parah sampai terbawa selama beberapa tahun,
dan beberapa perbaikan pada kostikosteroid. LIP sebagai gejala yang timbul pada infeksi
HIV dapat disertai prognosis yang lebih baik, dan sering terlihat pada kelompok gejala
dengan hipergamaglobulinemia yang nyata dan parotitis.
Infeksi Bakteri Rekuren. Untuk criteria AIDS pediatric CDC, infeksi bakteri rekuren
adalah dua atau lebih episode sepsis, meningitis, pneumonia, abses internal, atau infeksi
tulang dan sendi; ini semua terlihat pada 15% anak-anak dengan AIDS pediatric. Infeksi
bakteri yang lebih sedikit, seperti infeksi sinus rekuren atau kronik, otitis media, dan
pioderma masih sering terjadi. Streptococcus pneumonia merupakan isolate darah yang
paling sering pada anak yang terinfeksi HIV, meskipun stafilokokal gram-negatif, dan bahkan
bakteremia pseudomonal terjadi berlebihan. Penanganan episode demam pada anak yang
terinfeksi HIV sama dengan penanganan anak dengan kondisi yang menganggu imunitas
lain. Gangguan kemampuan untuk menjaga respons antibody yang efektif dan kurangnya
pajanan membuat anak yang terinfeksi HIV rentang terhadap penyakit bakteri yang lebih
setius. Profilaksis dengan immunoglobulin intravena dapat mengurangi frekuensi dan
keparahan infeksi bakteri yang serius.
Penyakit Neurologi Progresif. Sampai 60% anak yang terinfeksi HIV dapat
munculkan tanda infeksi system saraf pusat. Pada sekitar seperempatnya, infeksi ini dalam
bentuk ensefalopati static yang biasanya bermanifestasi pada tahun pertaman dengan
keterlambatan perkembangan. Pada sekitar sepertiganyan, terjadi ensefalopati progresif,
dengan kehilangan kejadian yang penting sebelumnya dan deficit motorik dan kognitif yang
berat. Pencitraan saraf dapat memperlihatkan atrofi serebral, kelainan subtansi alba, atau
klasifikasi ganglion basal, atau kesemuanya, meskipun keparahan abnormalitas pencitraan
sering tidak berkorelasi dengan gambaran klinis. Zidovudin IV kontinu ditemukan
menyebabkan perbaikan yang dramatic pada beberapa anak dengan deficit perkembangan
saraf; kostikosteroid juga menguntungkan pada laporan terisolasi.
Wasting Syndrome. Kegagalan kronik untuk tumbuh pada infeksi HIV lanjut terjadi
pada sekitar 10% bayi dan anak dengan AIDS dan hamper selalu multifaktorial. Deficit
system saraf pusat dari latergi sampai kelemahan dalam mengunyah; abnormalitas
neuroendokrin; malabsorpsi dan diare akibat infeksi HIV primer, infeksi usus sekunder, atau
terapi; dan katabolisme yang diinduksi infeksi sering berperang pada masalah yang
menjengkelkan ini.
Infeksi Oportunistik. Lebih dari satu lusin infeksi oportunistik spesifik memenuhi
AIDS, meskipun setelah PCP, paling sering pada AIDS pediatric adalah esofagistis kandida,
terjadi pada sekitar 10%, dan infeksi kompleks, Mycobakterium avium. Diantara virus-virus,
infeksi CMV diseminata dan lama pada saluran cerna, dan infeksi virus varisela zoster
apitikal, rekuren dan ekstensif sering terjadi. Walaupun daftar panjang pathogen yang
menyebabkan penyakit berat dan lama tidak lazim pada penjamu ini, virus respirasi yang
lazim, mencakup virus sinsitial respiratorius, jarang menyebabkan penyakit yang
berkomplikasi.
Terkenanya organic lain. Terkenanya hepar padi infeksi HIV pediatric sering
mengambil bentuk organ yang membesar sedang sampai berat, transaminitis berfluktuasi.
Yang jarang adalah hepatitis kolestatik berat yang terjadi pada bayi yang terinfeksi pada
tahun pertama, dengan prognosis buruk. Kelainan hati dapat disebabkan oleh infeksi yang
bersama dengan CMV, HCV, atau HBV, oleh infeksi HIV itu sendiri, atau banyak agen
infeksius lain. Penyakit ginjal yang sering terjadi, paling sering bermanifestasi protenuria.
Perubahan mesangial dan glomerulokslerosis fokal telah diindentifikasi sebagai patologi
yang paling sering terjadi pada anak dengan AIDS. Kelainan jantung dapat diperhatikan
pada separuh anak semua usia penyakit HIV, meskipun insiden kardiomiopati simtomatik
hanya 12 sampai 20%; efusi pericardial dan gangguan fungsi ventrikel merupakan kelainan
ekokardiografi yang paling sering ditemukan. Meskipun frekuensi penyakit paru kronik pada
pasien ini, terkenanya vertikel kiri beberapa kali lebih sering daripada yang kanan. Tekanan
HIV langsung, autoimunitas, malnutrisi dan infeksi bersama dengan virus miotropik
semuanya telah dihipotesis sebagai etiologi. Fenomena autoimun mencakup anemia
hemolitik positif-coombs dan trombositopenia. Sarcoma Kaposi dan kanker sekunder lain
jarang pada anak yang terinfeksi HIV.

E. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan menguji HIV. Tes ini
meliputi tes Elisa, latex agglutination dan western blot. Penilaian Elisa dan latex
agglutination dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau tidak, bila dikatakan
positif HIV harus dipastikan dengan tes western blot. Tes lain adalah dengan cara menguji
antigen HIV, yaitu tes antigen P 24 (polymerase chain reaction) atau PCR. Bila pemeriksaan
pada kulit, maka dideteksi dengan tes antibodi (biasanya digunakan pada bayi lahir dengan
ibu HIV.
1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
 ELISA (positif; hasil tes yang positif dipastikan dengan western blot)
 Western blot (positif)
 P24 antigen test (positif untuk protein virus yang bebas)
 Kultur HIV(positif; kalau dua kali uji-kadar secara berturut-turut mendeteksi
enzim reverse transcriptase atau antigen p24 dengan kadar yang
meningkat)
1. Tes untuk deteksi gangguan system imun.
 LED (normal namun perlahan-lahan akan mengalami penurunan)
 CD4 limfosit (menurun; mengalami penurunan kemampuan untuk bereaksi
terhadap antigen)
 Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun)
 Serum mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan berlanjutnya
penyakit).
 Kadar immunoglobulin (meningkat).

F. Penatalaksanaan
1. Perawatan
Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara lain:
o Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat dan
mencegah kemungkinan terjadi infeksi
o Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta keganasan yang
ada
o Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan
dideosinukleotid, yaitu azidomitidin (AZT) yang dapat menghambat enzim RT
dengan berintegrasi ke DNA virus, sehingga tidak terjadi transkripsi DNA HIV
o Mengatasi dampak psikososial
o Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan penyakit,
dan prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis
o Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus selalu
memperhatikan perlindungan universal (universal precaution)

G. Pengobatan
Prinsip pemberian ART pada anak hampir sama dengan dewasa, tetapi pemberian
ART pada anakmemerlukan perhatian khusus tentang dosis dan toksisitasnya. Pada
bayi, sistem kekebalannya mulai dibentuk dan berkembang selama beberapa tahun
pertama. Efek obat pada bayi dan anak juga akan berbeda dengan orang dewasa (Nurs
dan Kurniawan, 2013:168). Pedoman pengobatan HIV/AIDS pada Anak menurut
(Departemen Kesehatan Indonesia: Direktotat Jendran Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, 2008:35) yaitu Rejimen Lini pertama yang direkomendasikan
adalah 2 Nucleosida Reverse Transkriptase Inhibitor (NRTI) + 1 Non Nucleosida
Reverse Transkriptase Inhibitor (NNRTI).

H. Pencegahan
Pencegahan infeksi HIV primer pada semua golongan usia kemungkinan akan
memengaruhi epidemil global lebih dari terapi apa pun dimasa depan yang dapat diketahui.
Kesalahan konsepsi mengenai factor resiko untuk infeksi HIV adalah target esensial untuk
usaha mengurangi perilaku resiko, terutama diantara remaja. Untuk dokter spesialis anak,
kemampuan member konsultasi pada pasien dan keluarga secara efektif mengenai praktik
seksual dan penggunaan obat adalah aliran utama usaha pencegahan ini. Bahkan
pendidikan dan latihan tersedia dari The American Medical Assosiation dan The American
Academy of Pediatrics yang dapat membantu dokter pediatric memperoleh kenyamanan
dan kompetensi yang lebih besar pada peran ini.
Pencegahan infeksi HIV pada bayi dan anak harus dimulai dengan tepat dengan
pencegahan infeksi pada perempuang hamil. Langkah kedua harus menekan pada uji
serologi HIV bagi semua perempuan hamil. Rekomendasi ini penting karena uji coba
pengobatan mutakhir menunjukkan bahwa protocol pengobatan bayi menggunakan obat
yang sama selama beberapa minggu secara signifikan mengurangi angka transmisi dari ibu
ke bayi.
Pemberian zidovudin terhadap wanita hamil yang terinfeksi HIV-1 mengurangi
penularan HIV-1 terhadap bayi secara dermatis. Penggunaan zidovudin (100 mg lima kali/24
jam) pada wanita HIV-1 dalam 14 minggu kehamilan sampai kelahiran dan persalinan dan
selama 6 minggu pada neonatus (180 mg/m2 secara oral setiap jam) mengurangi penularan
pada 26% resipien palasebo sampai 8% pada resipien zidovudin, suatu perbedaan yang
sangat bermakna. Pelayanan kesehatan A.S. telah menghasilkan pedoman untuk
penggunaan zidovudin pada wanita hamil HIV-1 positif untuk mencegah penularan HIV-1
perinatal. Wanita yang HIV-1 positif, hamil dengan masa kehamilan 14-34 minggu,
mempunyai anak limfosid CD4 + 200/mm atau lebih besar, dan sekarang tidak berada pada
terapi atteretrovirus dianjurkan menggunakan zidovudin. Zidovudin intravena (dosis beban 1
jam 2 mg/kg/jam diikuti dengan infus terus menerus 1 mg/kg/jam sampai persalinan)
dianjurkan selama proses kelahiran. Pada semua keadaan dimana ibu mendapat zidovudin
untuk mencegah penularan HIV-1, bayi harus mendapat sirup zidovudin (2 mg/kg setiap 6
jam selama usia 6 minggu pertama yang mulai dan8 jam sesudah lahir). Jika ibu HIV-1
positif dan tidak mendapatkan zidovudin, zidovudin harus dimulai pada bayi baru lahir
sesegera mungkin sesudah lahir, tidak ada bukti yang mendukung kemajuan obat dalam
mencegah infeksi HIV-1 bayi baru lahir sesudah 24 jam. Ibu dan anak diobati dengan
zidovudin harus diamati dengan ketak untuk kejadian-kejadian yang merugikan dan didaftar
pada PPP untuk menilai kemungkinan kejadian yang merugikan jangka lama. Saat ini,
hanya anemia ringan reversible yang telah ditemukan pada bayi. Untuk melaksanakan
pendekatan ini secara penuh, semua wanita harus mendapatkan prenatal yang tepat, dan
wanita hamil harus diuji untuk positivitas HIV-1.
Penularan seksual. Pencegahan penularan seksual mencakup penghindaran
pertukaran cairan-cairan tubuh. Kondom merupakan bagian integral program yang
mengurangi penyakit yang ditularkan secara seksual. Seks tanpa perlindungan dengan mitra
yang lebih tua atau dengan banyak mitra adalah biasa pada remaja yang terinfeksi HIV-1.

I. Dampak HIV & AIDS dalam Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia


ADHA membutuhkan perhatian khusus karena kebutuhan tambahan untuk
memastikan pertumbuhan dan perkembangan serta ketergantungan mereka pada orang
dewasa untuk perawatan, termasuk nutrisi dan dukungan pengobatan. Kebutuhan
nutrisi memiliki peran penting dalam mendukung pengobatan antiretroviral, terutama
bagi anak yang sudah memulai terapi antiretroviral (ART) (WHO, 2009). ADHA
mempunyai kemungkinan besar untuk mengalami gizi buruk jika kebutuhan nutrisi pada
anak tersebut tidak dipenuhi secara baik, hal ini di sebabkan oleh ADHA sering kali
mengalami kehilangan nafsu makan karena terjadinya kandiasis oral yang
menyebabkan anak menjadi tidak mau makan, kondisi ini diperparah dengan sering
diare menyebabkan kekurangan cairan yang berakibat dehidrasi.
Tentu saja ADHA sangat tidak nyaman dengan kondisi ini, HIV&AIDS juga
menyerang system kekebalan tubuh yang menyebabkan anak tersebut rentan terhadap
infeksi, tentu hal ini menyebabkan anak tidak dapat bermain bebas seperti anak
seusianya, dari segi psikologisnya karena harus minum obat secara terus-menerus dan
harus berada pada ruangan tertentu, belum lagi keluarga anak menghadapi stigma di
masyarakat. Tentu hal ini sangat mengancam psikologis daripada anak dan keluarga
tersebut, dengan ini tenaga keseshtan perlu memberikan pendidikan kesehatan tentang
betapa penting support keluaraga untuk anak dengan HIV dan juga bagaiamna cara
merawat anak dengan HIV agartidak mamperparah kondisi yang dialami anak tersebut.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ANAK
DENGAN HIV-AIDS

A. Pengkajian
1) Data Subjektif, mencakup:
a. Pengetahuan klien tentang AIDS
b. Data nutrisi, seperti masalah cara makan, BB turun
c. Dispneu (serangan)
d. Ketidaknyamanan (lokasi, karakteristik, lamanya)
2) Data Objektif, meliputi:
a. Kulit, lesi, integritas terganggu
b. Bunyi nafas
c. Kondisi mulut dan genetalia
d. BAB (frekuensi dan karakternya)
e. Gejala cemas
3) Pemeriksaan Fisik
a. Pengukuran TTV
b. Pengkajian Kardiovaskuler
c. Suhu tubuh meningkat, nadi cepat, tekanan darah meningkat. Gagal jantung
kongestif sekunder akibat kardiomiopati karena HIV.
d. Pengkajian Respiratori
e. Batuk lama dengan atau tanpa sputum, sesak napas, takipnea, hipoksia, nyeri
dada, napas pendek waktu istirahat, gagal napas.
f. Pengkajian Neurologik
g. Sakit kepala, somnolen, sukar konsentrasi, perubahan perilaku, nyeri otot, kejang-
kejang, enselofati, gangguan psikomotor, penurunan kesadaran, delirium,
meningitis, keterlambatan perkembangan.
h. Pengkajian Gastrointestinal
i. Berat badan menurun, anoreksia, nyeri menelan, kesulitan menelan, bercak putih
kekuningan pada mukosa mulut, faringitis, candidisiasis esophagus, candidisiasis
mulut, selaput lender kering, pembesaran hati, mual, muntah, colitis akibat diare
kronis, pembesaran limfa.
j. Pengkajain Renal
k. Pengkajaian Muskuloskeletal
l. Nyeri otot, nyeri persendian, letih, gangguan gerak (ataksia)
m. Pengkajian Hematologik
n. Pengkajian Endokrin
4) Kaji status nutrisi
a. Kaji adanya infeksi oportunistik.
b. Kaji adanya pengetahuan tentang penularan.

B. DIAGNOSA
1. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan akumulasi secret sekunder
terhadap hipersekresi sputum karena proses inflamasi.
2. Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus sekunder
terhadap reaksi antigen dan antibody (Proses inflamasi).
3. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan pemasukan
dan pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan diare.
4. Perubahan eliminasi (diare) berhubungan dengan peningkatan motilitas usus
sekunder proses inflamasi system pencernaan.
5. Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitis seboroik dan
herpers zoster sekunder proses inflamasi system integument.
6. Risiko infeksi (ISK) berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh, adanya
organisme infeksius dan imobilisasi.
7. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kekambuhan
penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral.

C. INTERVENSI:
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret sekunder
terhadap hipersekresi sputum karena proses inflamasi.
Tujuan : Anak menunjukkan jalan nafas yang efektif
Intervensi :
1. Auskultasi area paru, catat area penurunan / tidak ada aliran udara dan
bunyi napas adventisius,
Rasional : Penurunan aliran udara terjadi pada area konsolidasi dengan
cairan. Bunyi napas bronkhial dapat juga terjadi pada area
konsolidasi.
2. Mengkaji ulang tanda-tanda vital (irama dan frekuensi, serta gerakan
dinding dada).
Rasional : takipnea, pernapasan dangkal dan gerakan dada tidak simetris
terjadi karena ketidaknyaman gerakan dinding dada dan atau cairan paru-
paru
3. Bantu pasien latihan napas sering. Tunjukkan/bantu pasien mempelajari
melakukan batuk, misalnya menekan dada dan batuk efektifsementara
posisi duduk tinggi.
Rasional : Napas dalam memudahkan ekspansi maksimum paru/jalan
napas lebih kecil. Batuk adalah mekanisme pembersihan jalan
napas alami membantu silia untuk mempertahankan jalan napas
paten. Penekanan menurunkan ketidaknyamanan dada dan
posisi duduk memungkinkan upaya napaslebih dalam danlebih
kuat.
4. Penghisapan sesuai indikasi
Rasional : merangsang batuk atau pembersihan jalan napas secara
mekanik pada pasien yang tidak mampu melakukan karena
batuk tidak efektif atau penurunan tingkat kesadaran
5. Berikan cairan sedikitnya 2500ml/hari (kecuali kontraindikasi). Tawarkan air
hangat daripada dingin.
Rasional : Cairan (khususnya yang hangat) memobilisasi dan mengeluarkan
sekret
6. Memberikan obat yang dapat meningkatkan efektifnya jalan nafas (seperti
bronchodilator)
Rasional : alat untuk menurunkan spasme bronkhus dengan memobilisasi
sekret, obat bronchodilator dapat membantu mengencerkan
sekret sehingga mudah untuk dikeluarkan.
2. Hipertermi berhubungan dengan pelepasa npyrogen dari hipotalamus sekunder
terhadap reaksi antigen dan antibody.
Tujuan : Anak akan mempertahankan suhu tubuh kurang dari 37,5 o C.
Intervensi :
1. Pertahankan lingkungan sejuk, dengan menggunakan piyama dan selimut
yang tidak tebal serta pertahankan suhu ruangan antara 22o dan24 o C
Rasional : Lingkungan yang sejuk membantu menurunkan suhu tubuh
dengan cara radiasi.
2. Beri antipiretik sesuai petunjuk
Rasional : Antipiretik seperti asetaminofen (Tylenol), efektif menurunkan
demam.
3. Pantau suhu tubuh anak setiap 1-2 jam, bila terjad ipeningkatan secara tiba-
tiba.
Rasional : Peningkatan suhu secara tiba-tiba akan mengakibatkan kejang
4. Beri antimikroba/antibiotik jira disarankan
Rasional : Antimikroba mungkin disarankan untuk mengobati organismo
penyebab.
5. Berikan kompres dengan suhu 37oC pada anak untuk menurunkan demam
Rasional : kompres hangat efektif mendinginkan tubuh melalui cara
konduksi.

3. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan pemasukan dan


pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan diare
Tujuan : keseimbangan cairan tubuh adekuat dengan kriteria hasil :
- tidak ada tanda-tanda dehidrasi (tanda-tanda vitalstabil ,kualitas
denyut nadi baik ,turgor kulit normal,membran mukosa lembab dan
pengeluaran urineyang sesuai).
Intervensi :
1. Ukur dan catatn pemasukan dan pengeluaran. Tinjau ulang catatan intra-
operasi.
Rasional : dokumentasi yang akurat akan membantu dalam mengidentifikasi
pengeluaran cairan/ kebutuhan penggantian dan pilihan- pilihan
yang mempengaruhi intervensi.
2. Pantau tanda-tanda vital.
Rasional : hipotensi, takikardia, peningkatan pernapasan mengindikasikan
kekurangan kekurangan cairan.
3. Letakkan pasien pada posisi yang sesuai,tergantung pada kekuatan
pernapasan.
Rasional : elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya
aspirasi dari muntah, posisi yang benar akan mendorong
ventilasi pada lobus paru bagian bawah dan menurunkan
tekanan pada diafragma.
4. Pantau suhu kulit, palpasi denyut perifer.
Rasional : kulit yang dingin/lembab, denyut yang lemah mengindikasikan
penurunan sirkulasi perifer dan dibutuhkan untuk penggantian
cairan tambahan.
5. Kolaborasi, berikan cairan parenteral, produksi darah dan atau plasma
ekspander sesuai petunjuk. Tingkatkankecepatan IV jika diperluakan.
Rasional : gantikan kehilangan cairan yang telah didokumentasikan. Catat
waktu penggangtian volume sirkulasi yang potensial bagi
penurunan komplikasi, misalnya ketidakseimbangan.
4. Perubahan eliminasi (diare) berhubungan dengan peningkatan motilitas usus
sekunder proses inflamasi system pencernaan.
Tujuan : Orang tua melaporkan penurunan frekuensi defekasi dengan kriteria,
konsistensi feases kembali normal dan orang tua mampu
mengidentifikasi/menghin dari faktor pemberat.
Intervensi :
1. Observasi dan catat frekuensi defekasi, karakteristik, jumlah dan faktor
pencetus
Rasional : Membantu membedakan penyakit individu dan mengkaji beratnya
episode.
2. Tingkat tirah baring, berikan alat-alat disamping tempat tidur.
Rasional : Istirahat menurunkan motilitas usus juga menurunkan laju
metabolisme bila infeksi atau perdarahan sebagai komplikasi.
3. Buang feses dengan cepat dan berikan pengharum ruangan
Rasional : menurunkan bau tidak sedap untuk menghindari rasa malu
pasien
4. Identifikasi makanan dan cairan yang mencetuskan diare (misalnya sayuran
segar, buah, sereal, bumbu, minuman karnonat, produk susu).
Rasional : Menghindar kanirirtan meningkatkan istirahat usus
5. Mulai lagipemasukancairan per oral secara bertahap dan hindari minuman
dingin.
Rasional : memberikan istirahat kolon dengan menghilangkan atau
menurunkan rangsang makanan/ cairan. Makan kembali
secara bertahap cairan mencegah kram dan diare berulang,
namun cairan yang dingin dapat meningkatkan motilitas usus
6. Berikan kolaborasi antibiotik
Rasional : Mengobati infeksi supuratif fokal

5. Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitis seboroik dan
herpers zoster sekunder proses inflamasi system integument.
Tujuan : Anak menunjukkan integritas kulit yang utuh dengan hasil : infeksi virus
herpes tidak meluas, anak tidak menggaruk kulit yang terinfeksidan orang
tua mendemonstrasikan cara perawatan kulit untuk mencegah kerusakan
kulit.
Intervensi :
1. Pasang alat pelembab dalam rumah untuk menghindari kulit terlalu kering
Rasional : Kulit yang kering dapat mempermudah terjadinya kerusakan kulit
sehingga perlu di jaga kelembabannya sehingga kulit tidak
mudah lecet.
2. Bersihkan daerah yang tidak infeksi
Rasional : membersihkan daerah yang tidak terinfeksi dapat mencegah
terjadinya perluasan infeksi kulit.
3. Sarankan klien untuk tidak menggaruk
Rasional : Menggaruk dapat mendorong terjadinya diskountinuitas jaringan
kulit, apa bila jika dilakukan dengan keras/ kuat.
4. Kulit yang mengeras dan bersisik jangan dikupas, biarkan terkelupas
sendiri.
Rasional : berusaha mengelupas/ melepas kulit yang bersisik dapat memicu
terjadinya luka pada kulit yang bersisik
5. Pemberian antibiotik sistemik
Rasional : pemberian antibiotik dapat membantu membasmi bakteri
sehingga infeksi kulit tidak meluas.
6. Risiko infeksi (ISK) berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh,adanya
organisme infeksius dan imobilisasi
Tujuan : Anak mengalami risiko infeksi yang minimal dan anak tidak menyebarkan
penyakit pada orang lain
Intervensi :
1. Gunakan teknik mencuci tangan yang cermat
Raional : Untuk meminimalkan pemajanan pada organisme infeksius
2. Beri tahu pengunjung untuk menggunakan teknik mencuci tangan yang baik
Rasional : Untuk meminimalkan pemajanan organisme infeksius.
3. Tempatkan anak di ruangan bersama anak yang tidak mengalami infeksi
atau diruangan pribadi.
Rasional : pemahaman yang baik tentang cuci tangan dapat mempengaruhi
perliku orang tua untuk cuci tangan sebelum dan sesudah
memegang atau menyentuh anak.
4. Batasi kontak dengan individu yang mengalami infeksi, termasuk keluarga,
anak lain, teman dan anggota staf, jelaskan bahwa anak sangat rentan
terhadap infeksi.
Rasional : Untuk mendorong kerja sama dan pemahaman.
5. Observasi asepsis medis dengan tepat
Rasional : Untuk menurunkan risiko infeksi
6. Dorong nutrisi yang baik dan istirahat yang cukup.
Rasional : Untuk meningkatkan pertahan alamiah tubuh yang masih ada
7. Jelaskan pada keluarga dan anak yang lebih besar tentang pentingnya
menghubungi profesional kesehatan bila terpajan penyakit masa kecil
(misalnya.Cacar air,gondongan).
Rasional : Penjelasan yang baik akan memungkinkan orang tua
memberikan imunisasi yang tepat pada bayinya.
8. Berikan imunisasi yang tepat sesuai ketentuan.
Rasional : Untuk mencegah infeksi
9. Berikan antibiotik sesuai ketentuan.
Rasional : Dapat untuk mencegah infeksi bakteri/ sebagai profilaksi
10. Implementasikan dan lakukan kewaspadaan universal, khususnya isolasi
bahan tubuh.
Rasional : Untuk mencegah penyebaran virus
11. Instruksikan orang lain (misalnya keluarga, anggota staf) untuk
menggunakan kewaspadaan tepat, jelaskan adanya kesalahan konsep
tentang penularan virus.
Rasional : Hal ini merupakan masalah yang sering terjadi dan dapat
mempengaruhi penggunaan kewaspadaan yang tepat
7. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kekambuhan
penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral.
Tujuan : Pasien mendapatkan nutrisi yang optimal dengan kriteria hasil anak
mengkonsumsi jumlah nutrien yang cukup.
Intervensi :
1. Berikan makanan dan kudapan tinggi kalori dan tinggi protein.
Rasional : Untuk memenuhi kebutuhan tubuh untuk metabolisme dan
pertumbuhan
2. Beri makanan yang disukai anak
Rasional : Untuk mendorong agar anak mau makan
3. Perkaya makanan dengan suplemen nutrisi, misalnya susu bubuk atau
suplemen yang dijual bebas.
Rasional : Untuk memaksimalkan kualitas asupan makanan

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit
akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh
infeksi Human Immunodeficiency virus (HIV).
AIDS adalah penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas seluler
yang disebabkan oleh retrovirus (HIV) atau penyakit fatal secara keseluruhan dimana
kebanyakan pasien memerlukan perawatan medis dan keperawatan canggih selama
perjalanan penyakit.
Dengan sedikit pengecualian, bayi dengan infeksi HIV perinatal secara klinis dan
imunologis normal saat lahir. Kelainan fungsi imun yang secara klinis tidak tampak
sering mendahului gejala-gejala terkait HIV, meskipun penilaian imunologik bayi
beresiko dipersulit oleh beberapa factor unik. Pertama, parameter spesifik usia untuk
hitung limfosit CD4 dan resiko CD4/CD8 memperlihatkan jumlah CD4 absolut yang
lebih tinggi dan kisaran yang lebih lebar pada awal masa bayi, diikuti penurunan
terhadap pada beberapa tahun pertama
Gejala terkait HIV yang paling dini dan paling sering pada masa bayi jarang
diagnostic. Gejala HIV tidak spesifik didaftar oleh The Centers For Diseasen Control
sebagai bagian definisi mencakup demam, kegagalan berkembang, hepatomegali
dan splenomegali, limfadenopati generalisata (didefinisikan sebagai nodul yang >0,5
cm terdapat pada 2 atau lebih area tidak bilateral selama >2 bulan), parotitis, dan
diare.
.
B. Saran
Pemberian materi yang lebih mendalam dapat meningkatkan pemahaman
dan pengetahuan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas yang diberikan disamping
pengarahan dan bimbingan yang senantiasa diberikan sehingga keberhasilan dalam
tugas dapat dicapai.

Vous aimerez peut-être aussi