Vous êtes sur la page 1sur 6

Analisis Populasi Satwa Langka Di Kawasan Konservasi Berdasarkan

Peraturan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam


Hayati dan Ekosistemnya

Andrean Ferruzi Nugraha (6661160003) Dylan Virgiatama (6661160053)


Muhamad Firdaus Nuzula (6661160087)

Kelas VD

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Prodi Administrasi Publik

PENDAHULUAN

Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri
dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa)
yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya secara keseluruhan
membentuk ekosistem. Satwa adalah salah satu unsur hayati di alam yang terdiri
dari semua jenis sumber daya hewani yang hidup di darat, di air, dan di udara.
Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di
udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang
dipelihara oleh manusia. Satwa dapat digolongkan dua jenis yaitu satwa yang
dilindungi dan tidak dilindungi.
Indonesia terletak di daerah beriklim tropis dan dilewati oleh garis katulistiwa.
Letak ini menyebabkan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi,
baik satwa maupun tumbuhan. Keanegaragaman hayati dapat diartikan sebagai
keragaman berbagai makhluk hidup mulai dari hewan, tumbuhan, dan
mikroorganisme termasuk gen yang dimiliki.
Indonesia adalah salah satu rumah bagi kehidupan hayati yang paling kaya
di dunia. Keanekaragaman hayati telah memberikan manfaat bagi kehidupan
manusia, antara lain sebagai sumber bahan pangan, sandang, dan papan, serta
menyediakan jasa lingkungan. Namun, semua warisan alam itu kini berbeda
dalam ancaman karena tingkat keterancaman dan kepunahan yang tinggi akibat
dampak perubahan iklim, pembakaran hutan, perburuan liar, perkembangan
industri, dan eksploitas sumber daya yang semena-mena. Oleh karena itu
konservasi keanekaragaman hayati menjadi sangat penting sebagai salah satu
upaya manusia untuk melestarikan keanekaragaman hayati yaitu pelaksanaan
pembangunan ekonomi hijau. Akan tetapi, pembangunan ekonomi hijau masih
kurang mendapat perhatian dalam perencanaan pembangunan di Indonesia. Oleh
karena itu, perlu diusulkan konsep pembangunan yang berkelanjutan dengan
pendayagunaan kekayaan sumber daya hayati secara lestari. Selain itu
diperlukan kesadaran pemerintah dan rakyat untuk melakukan konservasi. Jumlah
dan luas kawasan konservasi darat di Indonesia tidak mengalami perubahan pada
tahun 2013. Luas cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata dan taman
nasional di Indonesia tahun 2013 berturut-turut adalah sekitar 3.957,7 ribu hektar,
5.024,1 ribu hektar, 257,3 ribu hektar, dan 12.328,5 ribu hektar (Tabel 4.12).
Jumlah dan luas kawasan konservasi laut di Indonesia juga tidak mengalami
perubahan pada tahun 2013. Luas cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata
dan taman nasional di Indonesia tahun 2012 berturut-turut adalah sekitar 152,6
ribu hektar, 5,5 ribu hektar, 491,2 ribu hektar, dan 4.043,5 ribu hektar (Tabel
4.13).
Dalam satwa yang dilindungi dapat dikategorikan dalam beberapa
golongan, diantaranya: satwa yang dalam bahaya kepunahan; dan satwa yang
populasinya jarang. Mengenai satwa yang dilindungi sebagaimana di maksud
dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, dalam pasal 21 ayat (2 a dan b). Dimana setiap orang dilarang
mengambil, menangkap, melukai, membuhun, menympan, memiliki, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindung dalam keadaan hidup
maupun keadaan mati.
Karena Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki
keanekaragaman hayati tertingi yang dilengkapi dengan keunikan tersendiri, dari
keunikan tersebut membuat Indonesia memiliki peran yang penting dalam
perdagangan satwa di dunia.

Sehingga Indonesia menjadi salah satu pemasok terbesar perdagangan


satwa dunia. Hal ini tentu saja merupakan peluang yang besar bagi Indonesia
untuk dapat memanfaatkan kekayaan satwanya untuk meningkatkan pendapatan
ekonomi, termasuk bagi masyarakat yang tinggal di sekitar habitat satwa. Namun,
pemanfaatan ini memang harus betul-betul memperhatikan kondisi populasi
berbagai jenis satwa yang dimanfaatkan agar dap at diperoleh pemanfaatan secara
berkelanjutan.

Indonesia menyimpan banyak keanekaragaman jenis satwa liar, namun


juga merupakan salah satu negara yang mempunyai jalur kepunahan jenis satwa
yang cukup tinggi. Daftar panjang tentang satwa liar yang terancam punah
tersebut dapat dilihat dari sulitnya untuk melihat beberapa jenis satwa liar di
habitat aslinya. Satwa-satwa liar tersebut diantaranya yang sudah jarang ditemui
di tempat aslinya, seperti harimau Sumatera, badak bercula satu, anoa, burung
cendrawasih, gajah Sumatera, harimau Jawa, burung garuda dan masih banyak
lagi satwa-satwa yang hidup di daratan, perairan, dan di udara yang terancam
punah.
Saat ini diperkirakan jumlah jenis satwa liar yang terancam punah terdiri
dari 147 jenis mamalia, 114 jenis unggas, 28 jenis reptile, 91 jenis ikan dan 28
jenis invertebrata. Banyak hal yang menyebabkan tingginya ancaman kepunahan
dari jenis satwa liar tersebut. Hutan dikonversi menjadi pemukiman, lahan
pertanian, perkebunan serta terjadi eksploitasi sumber daya alam di hutan secara
berlebihan. Lahan habitat alami satwa liar yang kemudian menjadi korban.

Kondisi ini diperparah dengan tingginya perburuan dan perdagangan liar


yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Semua ini disebabkan rendahnya
tingkat pengawasan dan penegakan hukum terhadap berbagai eksploitasi ilegal
satwa liar dan tingkat perburuan liar sangat tinggi.

Tingginya tingkat perburuan dan perdagangan liar ini karena tingginya


permintaan pasar terhadap jenis-jenis satwa liar, ditambah penawaran harga yang
tinggi untuk jenis-jenis satwa yang sangat langka. Satwa liar telah sulit ditemui di
habitat aslinya karena populasinya hampir punah, hal ini membuat Pemerintah
menerbitkan peraturan perundang-undangan untuk perlindungan satwa langka dari
kepunahannya.

Hal itu ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun


1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang
mana Undang-Undang ini menentukan pula kategori atau kawasan suaka alam
dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai
fungsi pokok sebagai kawasan pengamanan keanekaragaman satwa langka, serta
ekosistemnya.

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 telah ditetapkan


mana yang disebut satwa langka yang boleh dipelihara dan tidak boleh dipelihara
oleh manusia. Perdagangan satwa liar dapat menyebabkan eksploitasi besar-
besaran yang menimbulkan ancaman kepunahan bagi satwa tersebut. Pada saat
sekarang ini untuk memiliki atau memelihara satwa-satwa liar tersebut dapat
dengan cara membeli, misalnya di pasar hewan yang menjual satwa-satwa langka
yang dilindungi, serta dengan cara berburu di alam liar, nantinya satwa yang
diburu itu kebanyakan akan diawetkan, diambil kulitnya dan bagian tubuh lainnya
untuk dijadikan pajangan atau hiasan hanya demi kesenangan dan kepuasan bagi
yang memilikinya. Akibat perdagangan liar yang semakin meningkat akhir-akhir
ini, selain ekspor satwa liar hidup, ekspor kulit dari beberapa jenis reptilia
mencapai puluhan ribu lembar.

Keinginan manusia untuk memakai produk berbahan bagian tubuh dari


satwa seperti kulit buaya, harimau, ular maupun jenis satwa lain cukup tinggi.
Banyaknya satwa liar yang dipelihara, dimiliki ataupun diperdagangkan
merupakan satwa yang tergolong dilindungi atau yang termasuk hampir punah.

Tingginya peredaran ilegal satwa liar yang dilindungi dikarenakan penjual


ataupun pengusaha hanya melihat dari segi keuntungan ekonomi dari satwa yang
diperdagangkan tetapi kurang memperhatikan dari segi kelangsungan kelestarian
dari satwa tersebut. Padahal eksploitasi terus menerus tanpa memperhatikan
kelestarian dapat mengancam kelangsungan hidup satwa tersebut di alam dan
dapat berakibat kepunahan.

Satwa liar yang dilindungi dilarang untuk dipelihara, dimiliki, diburu


maupun diperdagangkan, namun masyarakat tidak dapat membedakan satwa yang
dilindungi dan yang tidak dilindungi. Perilaku manusia ini yang dapat mengancam
kepunahan dari satwa langka yang mana ambisi manusia ingin memiliki tetapi
tidak memperdulikan populasinya di habitat asalnya. Kepunahan satwa langka ini
dapat dicegah dengan ditetapkan perlindungan hukum terhadap satwa langka yang
dilindungi. Satwa langka tidak boleh dibunuh, dimiliki, ditangkap, diburu serta
diperdagangkan, hal ini untuk menjaga kelestarian satwa tersebut dari kepunahan.
Pencegahan ini bertujuan agar satwa-satwa langka yang hampir punah, hanya
menjadi cerita bagi anak cucu kita nantinya karena keserakahan manusia dalam
mengambil keuntungan dari yang diperolehnya.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belkang diatas dapat dirumuskan sebagai rumusan
masalah, sebgaai berikut:
1. Bagaimana implementasi Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dalam
menangani permasalahan yang berkaitan dengan undang-undang tersebut?
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas tujuan dalam penelitian dapat
diuraikan sebagai berikut:
\ untuk mengetahui Bagaimana implementasi Undang-Undang No. 5 Tahun
1990 dalam menangani permasalahan yang berkaitan dengan undang-
undang tersebut.

TINJAUAN PUSTAKA

Berdasarkan artikel kami mengenai “Analisis Populasi Satwa Langka Di


Kawasan Konservasi Berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1990” maka
diperlukan penjelasan mengenai penjelasan dari teori yang digunakan yaitu Teori
Implementasi Kebijakan Edwards III.
Menurut pandangan Edwards III keberhasilan implementasi kebijakan
ditentukan oleh empat faktor penting, yaitu: pertama, komunikasi kebijakan
merupakan proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijkaan
kepada pelaksana kebijakan. Komunikasi kebijakan memiliki beberapa dimensi,
antara lain dimensi penyampaian informasi (transmission), kejelasan, dan
konsistensi.
Dimensi transmission adalah menghendak agar kebijakan publik
disampaikan tidak hanya kepada pelaksana kebijakan, tetapi juga disampaikan
kepada kelompok sasaran kebijakan. Dimensi kejelasan berarti menghendaki agar
kebijakan ditransmisikan kepada pelaksana dan sebagainya. Dimensi konsitensi
yaitu perintah yang diberikan dalam pelaksana suatu komunikasi harus konsisten
dan jelas untuk dijalankan. Kedua, sumber daya, sumber daya meliputi manusia
(staff), peralatan (facilities), dan informasi dan kewenangan. Ketiga, disposisi,
disposisi merupakan karakteristik yang menempel erat kepada pelaksana.
Disposisi terdiri dari pengangkatan birokrasi, insentif. Keempat, struktur birokrasi,
struktur birokrasi yang bertugas mengimplementasikan kebijkan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Aspek penting dari
setiap organisasi adalah adanya SOP.

PEMBAHASAN

Untuk mengatasi persoalan perlindungan satwa langka di Indonesia,


berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya satwa yang dilindungi itu merupakan satwa yang
populasinya jarang atau sedikit dan dalam bahaya kepunahan. Penyusunan
Undang-Undang ini dimaksudkan sebagai bentuk tindakan pemerintah guna
menjaga satwa-satwa langka dan menjaga ekosistem yang ada agar tidak rusak.
Berdasarkan pada UU No. 5 Tahun 1990 pasal 21 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
1) Setiap orang dilarang untuk :
a. Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan,
memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang
dilindungi atau atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau
mati;
b. Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya
dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke
tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
2) Setiap orang dilarang untuk :
a. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki,
memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang
dilindungi dalam keadaan hidup;
b. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan
memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di
Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau
bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang
dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu
tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e. Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan,
menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang
dilindungi.
Berdasarkan pasal 21 ayat 1 dan 2, jelas mengatakan bahwa satwa dan
tumbuhan yang dilindungi tidak boleh untuk di bunuh, dirusak, dimiliki, bahkan
diperniagakan. Sedangkan kebanyakan masyarakat yang bertempat tinggal di
dekat habitat satwa dan tumbuhan langka tersebut justru memburu, menebang,
memiliki, bahkan memperniagakan satwa dan tumbuhan langka tersebut.
Contohnya, terjadi penyelundupan 89 Trenggiling ke Malaysia di Sungai Siput,
Kecamatan Siak Kecil. Satwa yang dilindungi tersebut rencananya akan
diperdagangkan di pasar gelap. Polisi menangkap empat pelaku yang merupakan
warka Kecamatan Tugu Mulyo, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan.
(Sumber : www.nasional.tempo.co.id)
Dalam kasus ini, sudah jelas bahwa banyak masyarakat yang masih belum
bisa mentaati kebijakan yang padahal sudah sangat jelas melarang kegiatan
tersebut terhadap satwa dan tumbuhan langka. Namun, nyatanya selain
masyarakat yang masih belum bisa mentaati kebijakan tersebut, masih kurangnya
pengawasan dari pihak pemerintah serta masih kurang tegasnya sanksi yang
diberikan oleh kebijakan ini.
Solusi yang kami tawarkan ialah sosialisasi mengenai satwa dan tumbuhan
yang dilindungi serta bagaimana pemanfaatan yang baik, serta me-revisi ulang
sanksi yang terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1990 yang seharusnya lebih tegas
lagi.

Vous aimerez peut-être aussi