Vous êtes sur la page 1sur 36

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN ASFIKSIA NEONATORUM

BAB 1
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Derajat kesehatan di Indonesia masih terhitung rendah jika dibandingkan dengan negara tetangga
meskipun program pembangunan kesehatan yang berkesinambungan telah cukup berhasil
meningkatkan derajat kesehatan Indonesia. Permasalahan utama yang dihadapi adalah rendahnya
kualitas kesehatan penduduk yang ditunjukkan antara lain dengan masih tingginya Angka
Kematian Bayi (AKB), anak balita dan ibu, serta tingginya proporsi balita yang menderita gizi
kurang (Depkes RI 2005). Diperkirakan sekitar 27% seluruh angka kematian neonatus di seluruh
dunia disebabkan oleh asfiksia neonatorum (WHO 2013). Asfiksia merupakan kegagalan untuk
bernafas secara cukup dari bayi yang baru lahir. Bayi asfiksia bila tidak segera dilakukan tindakan
keperawatan makan akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidupnya.

Laporan WHO menyebutkan bahwa AKB kawasan Asia Tenggara merupakan kedua yang paling
tinggi yaitu sebesar 142 per 1.000 setelah kawasan Afrika. Indonesia merupakan negara dengan
AKB tertinggi kelima untuk negara ASEAN yaitu 35 per 1.000, dimana Myanmar 48 per 1.000,
Laos dan Timor Leste 46 per 1.000, Kamboja 36 per 1.000 pada tahun 2011 (WHO 2012). WHO
(2012) juga menyebutkan bahwa pada tahun 2000 – 2010, Case Fatality Rate (CFR) asfiksia untuk
bayi yang berusia dibawah 5 tahun di Indonesia setiap tahunnya mencapai 11%.

Asfiksia dapat terjadi pada periode antepartum, intrapartum maupun postpartum. Sembilan puluh
persen kejadian asfiksia terjadi pada periode antepartum dan intrapartum sebagai akibat dari
kurangnya kemampuan plasenta untuk menyediakan oksigen dan mengeluarkan karbondioksida
dan ion hidrogen dari janin. Sepuluh persen sisanya merupakan periode postpartum biasanya
kekurangan sekunder pada sistem pernafasan jantung atau saraf (NFF: New Born Care 2005).
Asfiksia berarti hipoksia progresfi, penimpunan karbondioksida dan asidosis. Bila proses ini
berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian (Saifudin 2001).

Upaya yang paling penting adalah mencegah terjadinya persalinan preterm semaksimal mungkin
dengan pemeriksaan antenatal yang baik, meningkatkan status gizi ibu, mencegah pernikahan
muda dan mencegah serta mengobati infeksi intra uterin. Apabila bayi terpaksa lahir sebagai bayi
kurang bulan (BKB), maka manajemen yang cepat tepat dan terpadu harus sudah mulai
dilaksanakan pada saat antepartum, intrapartum dan postpartum atau pasca natal (Kosim, 2006).
Pendidikan dan pengenalan ibu hamil pada faktor-faktor pencetus terjadinya asfiksia penting
sebagai usaha penurunan angka kematian akibat asfiksia, selain itu tenaga kesehatan juga harus
benar-benar memahami tanda dan gejala, menghitung Apgar Score, mengenali penyebab serta
tindakan resusitasi yang harus dilakukan saat menghadapi bayi baru lahir dengan asfiksia, sehingga
bayi dapat terselamatkan dan angka mortalitas akibat asfiksia menurun. Maka dari itu kami akan
membahas dasar-dasar tentang asfiksia pada bayi baru lahir serta tindakan resusitasi yang perlu
dilakukan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Asfiksia neonatorum adalah keadaan gawat bayi yang tidak dapat bernafas spontan dan teratur,
sehingga dapat menurunkan oksigen dan makin meningkatkan karbon dioksida yang menimbulkan
akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut (Manuaba 2007).

Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis. Bila proses ini
berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga dapat
mempengaruhi fungsi organ vital lainnya. Pada bayi yang mengalami kekurangan oksigen akan
terjadi pernapasan yang cepat dalam periode yang singkat. Apabila asfiksia berlanjut, gerakan
pernafasan akan berhenti, denyut jantung juga mulai menurun, sedangkan tonus neuromuscular
berkurang secara berangsur-angsur dan bayi memasuki periode apnea yang dikenal sebagai apnea
primer. Perlu diketahui bahwa kondisi pernafasan megap-megap dan tonus otot yang turun juga
dapat terjadi akibat obat-obat yang diberikan kepada ibunya. Biasanya pemberian perangsangan
dan oksigen selama periode apnea primer dapat merangsang terjadinya pernafasan spontan.
Apabila asfiksia berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan megap-megap yang dalam, denyut
jantung terus menurun, tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan terlihat lemas
(flaccid). Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode apnea yang disebut
apnea sekunder (Saifuddin 2009).

Berdasarkan nilai APGAR (Appearance, Pluse, Grimace, Activity, Respiration) asfiksia


diklasifikasikan menjadi empat, yaitu (Ghai et al 2010) :
1. Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3
2. Asfiksia sedang sampai ringan dengan nilai APGAR 4-6
3. Bayi normal atau sedikir asfiksia dengan nilai APGAR 7-9
4. Bayi normal dengan nilai APGAR 10

Tabel.1 Nilai APGAR (Ghai et al 2010)


Nilai 0 1 2

Nafas Tidak ada Tidak teratur Teratur

Denyut jantung Tidak ada <100 >100

Tubuh merah
Biru atau jambu, kaki dan Merah
Warna kulit pucat tangan biru jambu

Gerakan/tonus
otot Tidak ada Sedikit fleksi Fleksi

Refleks
(menangis) Tidak ada Lemah/lambat Kuat

ETIOLOGI

Penyebab asfiksia menurut Towell (1966) dan Manoe dan Amir (2003) pada bayi disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain:

1. Faktor ibu
 Infeksi (korioamnionitis)
Infeksi korioamnionitis merupakan infeksi selaput ketuban biasanya disebabkan oleh
penyebaran organisme. Faktor predisposisi terpenting adalah pecahnya selaput ketuban
lebih dari 24 jam dan persalinan lama (Benzion 1994 dalam Izati 2008).

 Preeklamsia/eklamsia
Pre eklamsia dapat berkembang menjadi eklamsia. Salah satu gejalanya adalah adanya
kejang pada ibu hamil yang mengalami pre eklamsia. Kejang dapat terjadi sebelum
persalinan maupun pada saat persalinan atau sesudah persalinan. Jika kejang terjadi pada
saat persalinan, maka frekuensi dan intensitas kontraksi meningkat dan dapat
menyebabkan durasi persalinan menjadi pendek. Sebagai akibatnya ibu mengalami
kejang dapat mengalami maternal hypoxemia yang dapat berakibat janin mengalami
bradycardia. Sebuah studi di swedia menunjukan pre eklamsia berkontribusi terhadap
10,7% kejadian asfiksia (ladfaros 2002 dalam Izati 2008).
 Penyakit kronik ibu (hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal, penyakit paru dan
diabetes melitus).
 Hipoksia pada ibu: hal ini berakibat pada hipoksia janin. Hipoksia ibu dapat terjadi
karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetik atau anestesia lain (Kattwinkel
2006).
 Usia ibu kurang dari 20 tahun atau melebihi 35 tahun
Umur ibu ketika melahirkan merupakan salah satu factor resiko terhadap berbagai
komplikasi yang menyertai ibu ketika hamil dan selama proses persalinan. Pada berbagai
penelitian diketahui bahwa umur ibu berhubungan dengan morbiditas dan kematian
membentuk huruf U, yang menunjukan bahwa risiko meningkat pada ibu dengan umur
muda (35 tahun (Bakketeig 1984 dalam Izati 2008).

 Gravida keempat atau lebih


Hubungan gravida dengan morbiditas dan kematian adalah bahwa pada multigravida
kontraksi uterus tidak adekuat tidak sama dengan primigravida, sehingga memiliki risiko
lebih tinggi untuk janin mengalami distress dibandingan dengan primigravida (Saifudin
2001)

2. Faktor janin
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan tergangguanya aliran darah dalam pembuluh
darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Hal ini dapat
ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher dan lain-lain
(Kattwinkel 2006).

 Prematuritas (sebelum 37 minggu kehamilan)


Tahun 1935 Akademi Pediatrik Amerika mendefinisikan prematuritas adalah kelahiran
hidup bayi dengan berat < 2500 gram. Kriteria ini dipakai terus secara luas, sampai
tampak bahwa ada perbedaan antara usia hamil dan berat lahir yang disebabkan adanya
hambatan pertumbuhan janin. WHO 1961 menambahkan bahwa usiahamil sebagai
kriteria untuk bayi prematur adalah yang lahir sebelum 37 minggu dengan berat lahir
dibawah 2500 gram. Bayi lahir kurang bulan mempunyai organ dan alat-alat tubuh yang
belum berfungsi normal untuk bertahan hidup diluar rahim. Makin muda umur
kehamilan, fungsi organ tubuh bayi makin kurang sempurna, prognosis juga semakin
buruk. Karena masih belum berfungsinya organ-organ tubuh secara sempurna seperti
sistem pernafasan maka terjadilah asfiksia.

 Berat Bayi Lahir (BBL)


Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi yang baru lahir yang berat badannya saat
lahir kurang dari 2500 gram. Berkaitan dengan penanganan dan harapan hidupnya, bayi
berat lahir rendah dibedakan dalam :

1. Bayi dengan berat badan lahir rendah, berat lahir 1500-2500 gram
2. Bayi dengan berat badan lahir sangat rendah, berat lahir 1000-1500 gram
3. Bayi dengan berat badan lahir ekstra rendah, berat lahir

Sejak tahun 1961 WHO telah mengganti istilah Premature Baby dengan Low Birth
Weight Baby (bayi dengan berat badan lahir rendah), dan kemudian WHO merubah
ketentuan tersebut pada tahun 1977 yang semula kriteria BBLR adalah ≤ 2500 gram
menjadi hanya < 2500 gram tanpa melihat usia kehamilan

 Kelainan bawaan (kongenital), misalnya hernia diafragmatika, atresia/ stenosis


pernafasan, hipoplasia paru dan lain-lain
 Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)
 Bayi KMK (kecil masa kehamilan)
 Gawat janin
 Bayi kembar
 Kelainan kehamilan
 Inkompatibilitas golongan darah
 Depresi susunan saraf pusat
 Partus lama
Partus lama adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada primi, dan lebih
dari 18 jam pada multi. Sedangkan partus macet adalah merupakan fase terakhir dari
suatu partus yang macet dan berlangsung terlalu lama sehingga timbul komplikasi pada
ibu dan atau janin, seperti dehidrasi, infeksi, kelelahan ibu, serta asfiksia dan Kematian
Janin Dalam Kandungan (KJDK) kedua faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan
membran disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan serviks.
Ketuban pecah lama merupakan jarak waktu antara pecahnya ketuban dan lahirnya bayi
lebih dari 12 jam yang mempunyai peranan penting terhadap timbulnya plasentitis dan
amnionitis. Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat
hingga terjadiasfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan
derajat oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat.
 Partus dengan tindakan

3. Fraktor plasenta
Plasenta merupakan akar janin untuk menghisap nutrisi dari ibu dalm bentuk O2, asam
amino, vitamin, mineral dan zat lain dan membuang sisa metabolisme janin dan O2.
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas kondisi plasenta. Gangguan
pertukaran gas di plasenta yang akan menyebabkan asfiksia janin. Fungsi plasenta akan
berkurang sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan O2 dan menutrisi metabolisme
janin. Asfiksia janin terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta.Kemampuan
untuk transportasi O2 dan membuang CO2 tidak cukup sehingga metabolisme janin berubah
menjadi anaerob dan akhirnya asidosis dan PH darah turun. Dapat terjadi pada bentuk :

 Lilitan tali pusat


 Tali pusat pendek
 Simpul tali pusat
 Prolapsus tali pusat

PATOFISIOLOGI
Asfiksia dapat terjadi pada periode antepartum, intrapartum maupun postpartum. Birth
asphyxia atau asfiksia yang terjadi pada saat persalinan dapat disebabkan oleh adanya hipoksia
pada janin pada periode antepartum. Asfiksia dapat juga terjadi tanpa didahului oleh adanya
hipoksia pada janin, hal ini disebabkan oleh karena proses persalinan yang menyebabkan bayi
mengalami kekurangan oksigen atau tidak dapat bernafas. Pada saat persalinan, asfiksia dinilai
dari ada atau tidaknya gejala abnormalitas janin pada saat monitoring, bradikardia, late
decelarations, loss of variability, meconium staining dan fetal acidosis. Penyebab dari gejala
tersebut adalah karena adanya penurunan aliran darah dari plasenta kepada janin dan stres pada
janin (Freeman & Nelson 1988). Asfiksia juga dapat terjadi pada periode setelah persalinan
(postpartum) yaitu setelah bayi lahir, tanpa didahului oleh adanya gejala atau tanda asfiksia pada
saat periode antepartum maupun intrapartum. Pada saat setelah persalinan di ruang bersalin, bayi
yang lahir dapat mengalami asfiksia yang dinilai dari Apgar Score pada menit pertama, kelima,
sepuluh dan 15 menit pertama kehidupan serta ada tidaknya asidosis. Asfiksia postpartum mungkin
disebabkan oleh maladaptasi saat lahir atau kegagalan sistem pernafasan, jantung dan saraf pada
neonatus akibat kelainan konginetal, penyakit pada janin atau cedera kelahiran (Gadoth & Gobel
2011).

Mekanisme terjadinya hipoksia pada beberapa kondisi patologis adalah sebagai berikut (Lewis &
Berg dalam Beyond the Number 2004) :

1. Kontraksi uterus yang kuat akan memperburuk hipoksia akibat kompresi vaskuler tubuh
bayi
2. Partus lama atau macet akan disertai dengan kontraksi yang lebih lama daripada periode
relaksasi
3. Tekanan pada tali pusat dapat menyebabkan penyempitan arteri umbilikalis sehingga
menimbulkan pengurangan aliran darah dari dan ke janin
4. Spasme vaskuler secara sistemik vaskuler pada hipertensi atau pre eklamsia menyebabkan
pengurangan pasokan oksigen pada bayi.

Stres pada janin atau bayi baru lahir karena kurang tersedianya oksigen dan atau kurangnya aliran
darah (perfusi) ke berbagai organ, secara klinis tampak bahwa bayi tidak dapat bernafas spontan
dan teratur segera setelah lahir. Dampak dari keadaan asfiksia tersebut adalah hipoksia, hiperkarbia
dan asidemia yang selanjutnya akan meningkatkan pemakaian sumber energi dan mengganggu
sirkulais bayi. Redistribusi sirkulasi yang ditemukan pada bayi hipoksia dan iskemia akut
menyebabkan disfungsi berbagai organ tubuh pada bayi asfiksia (Manoe dan Amir 2003).

Menurut Radityo (2011), kegagalan pernafasan mengakibatkan gangguan pertukaran oksigen dan
karbondioksida sehingga menimbulkan kurangnya oksigen dan meningkatnya karbondioksida
diikuti dengan asidosis respiratorik. Apabila proses berlanjut maka metabolisme sel akan
berlangsung dalam suasana anaerobik yang berupa glikolisis glikogen sehingga sumber utama
glikogen terutama pada jantung dan hati akan berkurang dan asam organik yang terjadi akan
menyebabkan asidosis metabolik. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular
yang disebabkan beberapa keadaan di antaranya :

1. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung


2. Terjadinya asidosis metabolik mengakibatkan menurunnya sel jaringan termasuk otot jantung
sehingga menimbulkan kelemahan
3. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat menyebabkan tetap tingginya resistensi
pembuluh darah paru, sehingga sirkulasi darah ke paru dan sistem sirkulasi tubuh lain
terganggu.

Sehubungan dengan proses faali tersebut maka fase awal asfiksia ditandai dengan pernafasan cepat
dan dalam selama 3 menit diikuti dengan apneu primer kira-kira 1 menit di mana pada saat ini
denyut jantung dan tekanan darah menurun. Kemudian bayi akan mulai bernafas (gasping) 8-
10x/menit selama beberapa menit (Radityo 2011).

MANIFESTASI KLINIS

Pada bayi yeng kekurangan oksigen akan terjadi pernafasan cepat dalam periode yang singkat.
Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan berhenti, denyut jantung juga mulai menurun,
sedangkan tonus neuromuskular berkurang secara berangsur-angsur dan bayi memasuki periode
apnu primer (Saifudin 2001).

Apabila asfiksia berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan megap-megap yang dalam, denyut
jantung terus menurun, tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan terlihat lemas
(flaccid). Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode apnu yang disebut
apnu sekunder. Selama periode apnu sekunder ini, denyut jantung, tekanan darah dan oksigen di
dalam darah (PaO2) terus menurun. Bayi tidak akan bereaksi terhadap rangsangan dan tidak akan
menunjukkan upaya pernafasan secara spontan. Kematian akan terjadi kecuali jika resusitasi
dengan pernafasan buatan dan pemberian oksigen dimulai segera (Saifudin 2001).
Menurut Snyder & Cloherty (1998), gejala klinis biasanya terjadi 12 jam setelah asfiksia berat
yaitu stupor sampai koma, pernafasan periodik atau respiratory effort yang irregular, oliguria,
hipotonus, tidak ada reflek komplek seperti Moro dan hisap, kejang tonik-klonik atau multifokal
antara 12-24 jam dapat terjadi apnu yang menggambarkan disfungsi batang otak. Kemudian terjadi
perburukan berupa koma, apnu lama dan mati batang otak 24-72 jam kemudian.
Menurut Henderson & Jones (2001) tiga gambaran klinis yang dapat disimpulkan dari sistem
penilaian APGAR adalah sebagai berikut :

1. Bayi dengan nilai APGAR sangat rendah tampak pucat, terkulai, tidak ada usaha napas, tidak
berespon terhadap suksion oral dan nadi sangat lambat. Bayi memerlukan resusitasi segera
dengan dibantu ventilasi
2. Bayi dengan nilai APGAR 4-7 memiliki nadi dibawah 100 kali permenit, pernapasan tidak
teratur dan kulit berwarna biru. Terdapat beberapa respon terhadap suksion dan beberapa
tonus otot. Bayi ini dapat berespon dengan baik terhadap stimulasi, tetapi seringkali
membutuhkan masker O2 atau kantong dan masker pendukung ventilator
3. Bayi dengan nilai APGAR >7 mempunyai irama jantung normal, bernapas dan berespon
terhadap stimulus.

Ghai et al (2010) menyebutkan dari hasil pemeriksaan fisik pada bayi asfiksia didapatkan
gambaran klinis sebagai berikut :
 Bayi tidak bernafas atau menangis
 Denyut jantung kurang dari 100x/menit
 Tonus otot menurun
 Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium atau sisa mekonium pada tubuh
bayi
 BBLR (berat badan lahir rendah)
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Laboratorium analisis gas darah tali pusat: menunjukkan hasil asidosis pada darah tali pusat
jika PaO2 2O, PaCO2 >55 mmH2O dan pH <7,30 (Ghai et al 2010).
2. Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif, pemeriksaan penunjang
diarahkan pada kecurigaan komplikasi, meliputi :
 Glukosa darah
 Elektrolit darah (Kalsium, Natrium, Kalium)
 Ureum kreatinin
 Laktat
3. Pemeriksaan radiologi
4. USG kepala: mungkin dapat mendeteksi perdarahan (Royal Prince Alfred Hospital 2007)
5. Pemeriksaan EEG untuk mendiagnosa encephalopathy, dengan tingkat kecacatan sebagai
berikut :
 Kelainan parah (penekanan menyebar, tegangan rendah atau isoelektrik) = 95%,
 Kelainan moderat (aktivitas gelombang lambat) = 64%, dan
 Ringan atau tidak ada kelainan = 3,3% (Royal Prince Alfred Hospital 2007)
6. CT-scan kepala
7. NMRI (proton NMR) dan NMRS (31 P NMRS): memberikan informasi tentang struktur dan
fungsi otak dengan hasil yang sangat prediktif (Royal Prince Alfred Hospital 2007)

ACOG dalam Cunningham et al (2005), menyebutkan kriteria untuk mendiagnosa asfiksia pada
bayi baru lahir adalah :
 Peningkatan metabolisme atau mixed acidemia (pH <7) yang dinilai dari sampel plasenta jika
didapatkan
 Nilai Apgar score 0-3 selama 5 menit pertama kehidupan atau lebih
 Manifestasi kelainan neurologi pada neonatus misalnya kejang, koma, atau hypotonia
 Disfungsi sistem pada multi organ misalnya pada jantung, sistem pencernaan, sirkulasi darah,
sistem pernafasan atau pada ginjal.
Pada periode antepartum, asfiksia disebut juga sebagai asfiksia pada janin (fetal asphyxia),
dikenali dani analisa gas dalam darah janin dan pengukuran asam pada plasenta (Low et al 2003
dalam Izati 2008). Analisa pada periode antepartum dapat menyebabkan kematian dan morbiditas
jangka panjang misalnya kerusakan pada otak.

Asfiksia pada periode intrapartum (dan pada periode antepartum) dapat dideteksi dengan beberapa
metode, diantaranya adalah dengan monitoring denyut jantung janin (fetal heart rate) serta
penilaian dari sampel darah untuk memeriksa tingkat keasaman darah (pH of scalp blood) (Beard
1974 dalam Izati 2008). USG dan juga CTG (cardiatochography). Dengan menginterpretasikan
hasil monitoring dari FHR, USG dan CTG maka dapat mengindikasikan kemungkinan masalah
pada saat persalinan terkait dengan kondisi janin (fetal distress) dan dapat ditentukan pula indikasi
tindakan yang akan dilakukan misalnya dengan opresi sesar. Tingkat keasaman darah janin juga
digunakan untuk mengetahui apakah janin mengalami distress dan takikardia yang merupakan
salah satu identifikasi terhadap gejala dan tanda dari asfiksia (Beard 1974 dalam Izati 2008).

PENATALAKSANAAN

Menurut Hidayat (2006) penatalaksanaan untuk asfiksia berdasarkan Apgar Score yakni:
1. Asfiksia ringan (7-10)
 Bayi dibungkus dengan kain hangat
 Bersihkan jalan napas dengan menghisap lendir pada hidung kemudian mulut
 Bersihkan badan dan tali pusat
 Lakukan observasi tanda vital, pantau Apgar Score dan masukkan incubator
2. Asfiksia sedang (4-6)
 Bersihkan jalan napas
 Berikan oksigen 2L/menit
 Rangsang pernapasan dengan menepuk telapak kaki. Apabila belum ada reaksi, bantu
pernapasan dengan masker
 Bila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih sianosis, berikan nabic 7,5% sebanyak 6 cc,
dektrosa 40% 4 cc disuntikkan melalui vena umbilicus secara perlahan-lahan untuk
mencegah tekanan intrakanial meningkat
3. Asfiksia berat (0-3)
 Bersihkan jalan napas sambil pompa melalui ambubag
 Berikan oksigen 4-5 L/menit
 Bila tidak berhasil, lakukan pemasangan ETT
 Bersihkan jalan napas melalui ETT
 Apabila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih sianosis berikan nabic 7,5% sebanyak 6 cc
selanjutnya berikan sebanyak 4 cc
 Antisipasi kebutuhan resusitasi

Antisipasi, persiapan adekuat, evaluasi akurat dan inisiasi bantuan sangatlah penting dalam
kesuksesan resusitasi neonatus. Pada setiap kelahiran harus ada setidaknya satu orang yang
bertanggung jawab pada bayi baru lahir. Orang tersebut harus mampu untuk memulai resusitasi,
termasuk pemberian ventilasi tekanan positif dan kompresi dada. Orang ini atau orang lain yang
datang harus memiliki kemampuan melakukan resusitasi neonatus secara komplit, termasuk
melakukan intubasi endotrakheal dan memberikan obat-obatan. Bila dengan mempertimbangkan
faktor risiko, sebelum bayi lahir diidentifikasi bahwa akan membutuhkan resusitasi maka
diperlukan tenaga terampil tambahan dan persiapan alat resusitasi. Bayi prematur (usia gestasi <
37 minggu) membutuhkan persiapan khusus. Bayi prematur memiliki paru imatur yang
kemungkinan lebih sulit diventilasi dan mudah mengalami kerusakan karena ventilasi tekanan
positif serta memiliki pembuluh darah imatur dalam otak yang mudah mengalami perdarahan
Selain itu, bayi prematur memiliki volume darah sedikit yang meningkatkan risiko syok
hipovolemik dan kulit tipis serta area permukaan tubuh yang luas sehingga mempercepat
kehilangan panas dan rentan terhadap infeksi.

ALAT RESUSITASI

Semua peralatan yang diperlukan untuk tindakan resusitasi harus tersedia di dalam kamar bersalin
dan dipastikan dapat berfungsi baik. Pada saat bayi memerlukan resusitasi maka peralatan harus
siap digunakan. Peralatan yang diperlukan pada resusitasi neonatus adalah sebagai berikut :
1. Perlengkapan penghisap
1) Balon penghisap (bulb syringe)
2) Penghisap mekanik dan tabung
3) Kateter penghisap
4) Pipa lambung
2. Peralatan balon dan sungkup
1) Balon resusitasi neonatus yang dapat memberikan oksigen 90% sampai 100%, dengan
volume balon resusitasi ± 250 ml
2) Sungkup ukuran bayi cukup bulan dan bayi kurang bulan (dianjurkan yang memiliki
bantalan pada pinggirnya)
3) Sumber oksigen dengan pengatur aliran (ukuran sampai 10 L/m) dan tabung.
3. Peralatan intubasi
1) Laringoskop
2) Selang endotrakeal (endotracheal tube) dan stilet (bila tersedia) yang cocok dengan pipa
endotrakeal yang ada
4. Obat-obatan
1) Epinefrin 1:10.000 (0,1 mg/ml) – 3 ml atau ampul 10 ml
2) Kristaloid isotonik (NaCl 0.9% atau Ringer Laktat) untuk penambah volume—100 atau
250 ml.
3) Natrium bikarbonat 4,2% (5 mEq/10 ml)—ampul 10 ml.
4) Naloxon hidroklorida 0,4 mg/ml atau 1,0 mg/ml
5) Dextrose 10%, 250 ml
6) Kateter umbilikal
5. Lain-lain
1) Alat pemancar panas (radiant warmer) atau sumber panas lainnya
2) Monitor jantung dengan probe serta elektrodanya (bila tersedia di kamar bersalin)
3) Oropharyngeal airways
4) Selang orogastrik
6. Untuk bayi sangat prematur
1) Sumber udara tekan (CPAP, neopuff)
2) Blender oksigen
3) Oksimeter
4) Kantung plastik makanan (ukuran 1 galon) atau pembungkus plastik yang dapat ditutup
5) Alas pemanas
6) Inkubator transport untuk mempertahankan suhu bayi bila dipindahkan ke ruang
perawatan

RESUSITASI NEONATUS
Secara garis besar pelaksanaan resusitasi mengikuti algoritma resusitasi neonatal, yakni sebagai
berikut :
1. Langkah Awal Resusitasi
Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan menjawab 3 pertanyaan:
1) Apakah bayi cukup bulan?
2) Apakah bayi bernapas atau menangis?
3) Apakah tonus otot bayi baik atau kuat?

Bila semua jawaban ”ya” maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam prosedur perawatan rutin
dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan, diletakkan di dada ibunya dan diselimuti
dengan kain linen kering untuk menjaga suhu. Bila terdapat jawaban ”tidak” dari salah satu
pertanyaan di atas maka bayi memerlukan satu atau beberapa tindakan resusitasi berikut ini secara
berurutan :
 Langkah awal dalam stabilisasi
1. Memberikan kehangatan
Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant warmer) dalam keadaan
telanjang agar panas dapat mencapai tubuh bayi dan memudahkan eksplorasi seluruh
tubuh.
Bayi dengan BBLR memiliki kecenderungan tinggi menjadi hipotermi dan harus
mendapat perlakuan khusus. Beberapa kepustakaan merekomendasikan pemberian
teknik penghangatan tambahan seperti penggunaan plastik pembungkus dan meletakkan
bayi dibawah pemancar panas pada bayi kurang bulan dan BBLR. Alat lain yang bisa
digunakan adalah alas penghangat.
2. Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya
Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam posisi menghidu agar
posisi farings, larings dan trakea dalam satu garis lurus yang akan mempermudah
masuknya udara. Posisi ini adalah posisi terbaik untuk melakukan ventilasi dengan
balon dan sungkup dan/atau untuk pemasangan pipa endotrakeal.
3. Membersihkan jalan napas sesuai keperluan
Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat menyebabkan pneumonia aspirasi.
Salah satu pendekatan obstetrik yang digunakan untuk mencegah aspirasi adalah dengan
melakukan penghisapan mekoneum sebelum lahirnya bahu (intrapartum suctioning),
namun bukti penelitian dari beberapa senter menunjukkan bahwa cara ini tidak
menunjukkan efek yang bermakna dalam mencegah aspirasi mekonium.
Cara yang tepat untuk membersihkan jalan napas adalah bergantung pada keaktifan bayi
dan ada/tidaknya mekonium.
Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar (bayi mengalami
depresi pernapasan, tonus otot kurang dan frekuensi jantung kurang dari 100x/menit)
segera dilakukan penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan untuk mencegah
sindrom aspirasi mekonium. Penghisapan trakea meliputi langkah-langkah pemasangan
laringoskop dan selang endotrakeal ke dalam trakea, kemudian dengan kateter
penghisap dilakukan pembersihan daerah mulut, faring dan trakea sampai glotis.
Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion namun bayi tampak bugar, pembersihan
sekret dari jalan napas dilakukan seperti pada bayi tanpa mekoneum.
4. Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan pada posisi yang benar
Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan mengeringkan akan memberi
rangsang yang cukup pada bayi untuk memulai pernapasan. Bila setelah posisi yang
benar, penghisapan sekret dan pengeringan, bayi belum bernapas adekuat, maka
perangsangan taktil dapat dilakukan dengan menepuk atau menyentil telapak kaki, atau
dengan menggosok punggung, tubuh atau ekstremitas bayi.
Bayi yang berada dalam apnu primer akan bereaksi pada hampir semua rangsangan,
sementara bayi yang berada dalam apnu sekunder, rangsangan apapun tidak akan
menimbulkan reaksi pernapasan. Karenanya cukup satu atau dua tepukan pada telapak
kaki atau gosokan pada punggung. Jangan membuang waktu yang berharga dengan terus
menerus memberikan rangsangan taktil.
 Ventilasi tekanan positif
 Kompresi dada
 Pemberian epinefrin dan atau pengembang volume (volume expander)
Keputusan untuk melanjutkan dari satu kategori ke kategori berikutnya ditentukan dengan
penilaian 3 tanda vital secara simultan (pernapasan, frekuensi jantung dan warna kulit). Waktu
untuk setiap langkah adalah sekitar 30 detik, lalu nilai kembali, dan putuskan untuk
melanjutkan ke langkah berikutnya.
Gambar 2.1 South Australia Newborn Life Support 2014 (American Academy of Pediatrics
2010)

2. Penilaian
Penilaian dilakukan setelah 30 detik untuk menentukan perlu tidaknya resusitasi lanjutan.
Tanda vital yang perlu dinilai adalah sebagai berikut :
1) Pernapasan
Resusitasi berhasil bila terlihat gerakan dada yang adekuat, frekuensi dan dalamnya
pernapasan bertambah setelah rangsang taktil. Pernapasan yang megap-megap adalah
pernapasan yang tidak efektif dan memerlukan intervensi lanjutan.
2) Frekuensi jantung
Frekuensi jantung harus diatas 100x/menit. Penghitungan bunyi jantung dilakukan
dengan stetoskop selama 6 detik kemudian dikalikan 10 sehingga akan dapat diketahui
frekuensi jantung permenit.
3) Warna kulit
Bayi seharusnya tampak kemerahan pada bibir dan seluruh tubuh. Setelah frekuensi
jantung normal dan ventilasi baik, tidak boleh ada sianosis sentral yang menandakan
hipoksemia. Warna kulit bayi yang berubah dari biru menjadi kemerahan adalah petanda
yang paling cepat akan adanya pernapasan dan sirkulasi yang adekuat. Sianosis akral
tanpa sianosis sentral belum tentu menandakan kadar oksigen rendah sehingga tidak
perlu diberikan terapi oksigen. Hanya sianosis sentral yang memerlukan intervensi.

3. Pemberian oksigen

Bila bayi masih terlihat sianosis sentral, maka diberikan tambahan oksigen. Pemberian
oksigen aliran bebas dapat dilakukan dengan menggunakan sungkup oksigen, sungkup dengan
balon tidak mengembang sendiri, T-piece resuscitator dan selang/pipa oksigen. Pada bayi
cukup bulan dianjurkan untuk menggunakan oksigen 100%. Namun beberapa penelitian
terakhir menunjukkan bahwa penggunaan oksigen ruangan dengan konsentrasi 21%
menurunkan risiko mortalitas dan kejadian ensefalopati hipoksik iskemik (EHI) dibanding
dengan oksigen 100%.18-22 Pemberian oksigen 100% tidak dianjurkan pada bayi kurang
bulan karena dapat merusak jaringan.
Penghentian pemberian oksigen dilakukan secara bertahap bila tidak terdapat sianosis sentral
lagi yaitu bayi tetap merah atau saturasi oksigen tetap baik walaupun konsentrasi oksigen sama
dengan konsentrasi oksigen ruangan. Bila bayi kembali sianosis, maka pemberian oksigen
perlu dilanjutkan sampai sianosis sentral hilang. Kemudian secepatnya dilakukan pemeriksaan
gas darah arteri dan oksimetri untuk menyesuaikan kadar oksigen mencapai normal

4. Ventilasi tekanan positif


Ventilasi tekanan positif (VTP) dilakukan sebagai langkah resusitasi lanjutan bila semua
tindakan diatas tidak menyebabkan bayi bernapas atau frekuensi jantungnya tetap kurang dari
100x/menit.

5. Kompresi dada
Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung kurang dari 60x/menit setelah dilakukan
ventilasi tekanan positif selama 30 detik. Tindakan kompresi dada (cardiac massage) terdiri
dari kompresi yang teratur pada tulang dada, yaitu menekan jantung ke arah tulang belakang,
meningkatkan tekanan intratorakal, dan memperbaiki sirkulasi darah ke seluruh organ vital
tubuh. Kompresi dada hanya bermakna jika paru-paru diberi oksigen, sehingga diperlukan 2
orang untuk melakukan kompresi dada yang efektif—satu orang menekan dada dan yang
lainnya melanjutkan ventilasi.Orang kedua juga bisa melakukan pemantauan frekuensi
jantung, dan suara napas selama ventilasi tekanan positif. Ventilasi dan kompresi harus
dilakukan secara bergantian.
Teknik ibu jari lebih direkomendasikan pada resusitasi bayi baru lahir karena akan
menghasilkan puncak sistolik dan perfusi koroner yang lebih besar. Prinsip dasar pada
kompresi dada adalah :
1) Posisi bayi
Topangan yang keras pada bagian belakang bayi dengan leher sedikit tengadah.
2) Kompresi
Lokasi ibu jari atau dua jari : pada bayi baru lahir tekanan diberikan pada 1/3 bawah
tulang dada yang terletak antara processus xiphoideus dan garis khayal yang
menghubungkan kedua puting susu.
Gambar 2.2 Lokasi kompresi (American Academy of Pediatrics & American Heart
Association 2006)
Frekuensi : kompresi dada dan ventilasi harus terkoordinasi baik, dengan aturan satu ventilasi
diberikan tiap selesai tiga kompresi, dengan frekuensi 30 ventilasi dan 90 kompresi permenit. Satu
siklus yang berlangsung selama 2 detik, terdiri dari satu ventilasi dan tiga kompresi.
Penghentian kompresi:
1. Setelah 30 detik, untuk menilai kembali frekuensi jantung ventilasi dihentikan selama 6 detik.
Penghitungan frekuensi jantung selama ventilasi dihentikan.
2. Frekuensi jantung dihitung dalam waktu 6 detik kemudian dikalikan 10. Jika frekuensi jantung
telah diatas 60 x/menit kompresi dada dihentikan, namun ventilasi diteruskan dengan kecepatan
40-60 x/menit. Jika frekuensi jantung tetap kurang dari 60 x/menit, maka pemasangan kateter
umbilikal untuk memasukkan obat dan pemberian epinefrin harus dilakukan.
3. Jika frekuensi jantung lebih dari 100 x/menit dan bayi dapat bernapas spontan, ventilasi tekanan
positif dapat dihentikan, tetapi bayi masih mendapat oksigen alir bebas yang kemudian secara
bertahap dihentikan. Setelah observasi beberapa lama di kamar bersalin bayi dapat dipindahkan ke
ruang perawatan.
4. Intubasi endotrakeal
Intubasi endotrakeal dapat dilakukan pada setiap tahapan resusitasi sesuatu dengan keadaan, antara
lain beberapa keadaan berikut saat resusitasi:
1. Jika terdapat mekoneum dan bayi mengalami depresi pernapasan, maka intubasi dilakukan sebagai
langkah pertama sebelum melakukan tindakan resusitasi yang lain, untuk membersihkan
mekoneum dari jalan napas.
2. Jika ventilasi tekanan positif tidak cukup menghasilkan perbaikan kondisi, pengembangan dada,
atau jika ventilasi tekanan positif berlangsung lebih dari beberapa menit, dapat dilakukan intubasi
untuk membantu memudahkan ventilasi.
3. Jika diperlukan kompresi dada, intubasi dapat membantu koordinasi antara kompresi dada dan
ventilasi, serta memaksimalkan efisiensi ventilasi tekanan positif.
4. Jika epinefrin diperlukan untuk menstimulasi frekuensi jantung maka cara yang umum adalah
memberikan epinefrin langsung ke trakea melalui pipa endotrakeal sambil menunggu akses
intravena.
Jika dicurigai ada hernia diafragmatika, mutlak dilakukan pemasangan selang endotrakeal. Cara
pemasangan selang endotrakeal perlu dikuasai diantaranya melalui pelatihan khusus.
1. Pemberian obat-obatan
Obat-obatan jarang diberikan pada resusitasi bayi baru lahir. Bradikardi pada bayi baru lahir
biasanya disebabkan oleh ketidaksempurnaan pengembangan dada atau hipoksemia, dimana kedua
hal tersebut harus dikoreksi dengan pemberian ventilasi yang adekuat. Namun bila bradikardi tetap
terjadi setelah VTP dan kompresi dada yang adekuat, obat-obatan seperti epinefrin, atau volume
ekspander dapat diberikan. Obat yang diberikan pada fase akut resusitasi adalah epinefrin.
 Stabilisasi pasca resusitasi
Penanganan pasca resusitasi pada neonatus yang mengalami asfiksia perinatal sangat kompleks
dan membutuhkan monitoring yang ketat dan tindakan antisipasi yang cepat, karena bayi berisiko
mengalami disfungsi multiorgan dan perubahan dalam kemampuan mempertahankan homeostasis
fisiologis. Deteksi dan intervensi dini terhadap gangguan fungsi organ sangat mempengaruhi
keluaran dan harus dilakukan di ruang perawatan intensif untuk mendapatkan perawatan
dukungan, monitoring, dan evaluasi diagnostik yang lebih lanjut.
Prinsip umum dari penanganan pasca resusitasi neonatus diantaranya melanjutkan dukungan
kardiorespiratorik, koreksi hipoglikemia, asidosis metabolik, abnormalitas elektrolit, serta
penanganan hipotensi. Dalam melaksanakan stabilisasi pasca resusitasi neonatus terdapat acuan
dalam melakukan pemeriksaan dan stabilisasi, yaitu S.T.A.B.L.E, yang terdiri dari:
1. S-SUGAR
Adalah langkah untuk menstabilkan kadar gula darah neonatus. Hipoglikemia berhubungan
dengan keluaran neurologis yang buruk. Pada neonatus kadar glukosa darah harus dipertahankan
pada kadar 50-110 mg/dl. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk stabilisasi gula darah
neonatus adalah:
 Tidak memberikan makanan perenteral.
Kebanyakan neonatus yang perlu ditransportasi terlalu sakit untuk mentoleransi makanan peroral.
Pada bayi sakit, sebaiknya menunda pemberian makanan peroral karena bayi yang sakit seringkali
mengalami distres pernafasan, sehingga meningkatkan risiko terjadinya aspirasi isi lambung ke
paru. Selain itu ketika bayi mengalami distres pernafasan mereka memiliki koordinasi menghisap,
menelan dan bernafas yang buruk. Pada keadaan tertentu, misalnya infeksi dapat memperlambat
pengosongan isi lambung karena ileus intestinal. Isi gaster dapat mengalami refluks ke esofagus
dan teraspirasi ke paru. Pada bayi yang mengalami asfiksia, kadar oksigen dan tekanan darah yang
rendah, sehingga aliran darah ke usus menurun sehingga meningkatkan risiko terjadinya jejas
iskemik.
 Memberikan glukosa melalui jalur intravena.
Memberikan kebutuhan energi bagi bayi yang sakit melalui cairan intravena yang mengandung
glukosa merupakan komponen penting dalam stabilisasi bayi, karena otak bayi memerlukan suplai
glukosa yang cukup untuk berfungsi dengan normal. Cairan yang mengandung glukosa harus
segera diberikan melalui jalur intravena kepada bayi sakit. Jalur intravena dapat diberikan di
tangan, kaki atau kulit kepala. Apabila jalur perifer sulit didapatkan maka dapat digunakan jalur
vena umbilikal untuk pemberian cairan dan obat-obatan.
 Beberapa neonatus berisiko tinggi mengalami hipoglikemia.
Bayi yang berisiko tinggi mengalami hipoglikemia diantaranya adalah:
 Bayi prematur (usia kehamilan
 Bayi kecil untuk masa kehamilan, berat badan lahir rendah, dan IUGR
 Bayi besar untuk masa kehamilan
 Bayi dari ibu dengan diabetes mellitus
 Bayi yang sakit
 Bayi dari ibu yang mendapat obat hipoglikemik atau diinfus glukosa saat persalinan.
Pemeriksaan gula darah diindikasikan dilakukan saat usia 30 menit pada bayi dengan distres
pernafasan, sepsis atau tidak dapat minum. Kemudian pemeriksaan gula darah dilanjutkan tiap satu
jam. Pada bayi dengan faktor risiko yang asimtomatik dan dapat minum, pemeriksaan gula darah
dilakukan pada usia 2 jam.
Tanda bayi mengalami hipoglikemia diantaranya jitteriness, tremor, hipotermia, letargis, lemas,
hipotonia, apnea atau takipnea, sianosis, malas menetek, muntah, menangis lemah atau high
pitched, kejang bahkan henti jantung.
2. T- TEMPERATURE
Hipotermia merupakan kondisi yang dapat dicegah dan sangat mempengaruhi morbiditas dan
mortalitas, khususnya pada bayi prematur. Maka, usaha untuk mempertahankan suhu normal bayi
dan pencegahan hipotermia selama stabilisasi sangatlah penting.
Bayi yang berisiko tinggi mengalami hipotermia adalah
 Bayi prematur, berat badan rendah (khususnya berat badan kurang dari 1500 gram).
 Bayi kecil untuk masa kehamilan
 Bayi yang mengalami resusitasi yang lama
 Bayi yang sakit berat dengan masalah infeksi, jantung, neurologis, endokrin dan bedah.
 Bayi yang hipotonik akibat sedatif, analgesik, atau anestesi.
Konsep utama dalam pencegahan hipotermi pada bayi pasca resusitasi adalah sebagai berikut:
 Pemeliharaan suhu badan normal harus diprioritaskan baik pada bayi sakit maupun sehat.
Untuk bayi sehat dapat dilakukan dengan menggunakan selimut hangat, menjauhkan kain basah,
meletakkan anak di dada ibu (skin to skin contact), menggunakan topi dan pakaian. Pada bayi sakit
biasanya bayi tidak menggunakan pakaian dan diletakkan di atas radiant warmer untuk
memudahkan observasi dan tindakan. Selama resusitasi dan stabilisasi, risiko terjadinya stres
dingin dan hipotermia sangat meningkat, sehingga usaha pencegahan hipotermia harus
ditingkatkan.
 Bayi prematur dan berat badan rendah sangat rentan mengalami hipotermia.
Bayi masih memiliki kesulitan dalam mengatur keseimbangan antara produksi dan kehilangan
panas, terutama pada bayi prematur dan bayi kecil masa kehamilan. Hal ini disebabkan karena
perbandingan antara luas permukaan dan massa tubuh yang lebih besar, kulit imatur yang lebih
tipis, dan lemak coklat yang lebih sedikit. Masalah ini lebih berisiko pada bayi dengan berat
 Bayi yang dilakukan resusitasi lama berisiko tinggi mengalami hipotermia.
Stres dingin yang berkepanjangan menyebabkan meningkatnya konsumsi oksigen dan penggunaan
glukosa yang abnormal, sehingga dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia, hipoksemia dan
asidosis. Pada bayi yang mengalami hipotermia, bayi harus dihangatkan sambil memonitor ketat
tanda vital, kesadaran, dan status asam basa. Kecepatan dalam menghangatkan suhu tubuh diatur
sesuai dengan stabilitas dan toleransi bayi.
3. A-AIRWAY
Sebagian besar masalah neonatus yang ditransfer dari NICU adalah distres pernafasan. Pada
keadaan tertentu, gagal nafas dapat dicegah dengan memberikan dukungan respiratorik sesuai
dengan kebutuhan bayi, misalnya pemberian oksigen melalui nasal kanul, ventilasi tekanan positif,
intubasi endotrakeal, sampai bantuan ventilator.
Evaluasi kondisi bayi sesering mungkin dan catat hasil observasi. Pada beberapa keadaan
membutuhkan penilaian ulang tiap beberapa menit, sedangkan pada keadaan yang lebih ringan
dapat dinilai ulang tiap 1–3 jam. Hal yang harus dievaluasi dan dicatat:
 Laju nafas
Nilai normal laju nafas neonatus adalah 40–60 kali/menit. Laju nafas >60 kali/menit (takipnea)
dapat disebabkan karena berbagai hal, dapat berhubungan dengan kelainan di saluran respiratorik
atau dari tempat lain. Laju nafas
 Usaha nafas
Selain takipnea, tanda distres pernafasan lain diantaranya:
1. Retraksi, dapat dilihat didaerah suprasternal, substernal, interkostal, subkostal.
2. Grunting, pernafasan cuping hidung
3. Apnea, nafas megap-megap, atau periodic breathing.
 Kebutuhan oksigen
Apabila bayi mengalami sianosis di udara ruangan dan distres pernafasan ringan atau sedang, maka
oksigen diberikan melalui hidung. Pada keadaan bayi mengalami distres pernafasan berat, dapat
diberikan tindakan yang lebih agresif seperti Continous Positive Airway Pressure(CPAP), atau
intubasi endotrakeal.
 Saturasi oksigen
Saturasi oksigen harus dipertahankan agar di atas 90 %.
 Analisis gas darah
Evaluasi dan interpretasi gas darah penting untuk menilai derajat distres pernafasan yang dialami
oleh bayi. Dalam menentukan derajat distres pernafasan, penting untuk menilai laju pernafasan,
usaha nafas, kebutuhan oksigen, saturasi oksigen, rontgen dada dan analisis gas darah. Berikut
merupakan penilaian derajat distres pernafasan pada neonatus:
1. Ringan: nafas cepat tanpa membutuhkan oksigen tambahan, tanpa atau terdapat tanda distres
minimal.
2. Sedang: sianotik pada suhu kamar, terdapat tanda distres pernafasan dan analisis gas darah yang
abnormal.
3. Berat: sianosis sentral, berusaha kuat untuk bernafas, dan analisis gas darah yang abnormal.
Progresivitas distres pernafasan dari ringan, sedang menjadi berat dapat terjadi dengan cepat, oleh
karena itu pemantauan yang kontinyu dibutuhkan sehingga penyediaan bantuan nafas dapat segera
diberikan.
4. B- BLOOD PRESSURE
Curah jantung yang mencukupi diperlukan untuk mempertahankan sirkulasi. Cara yang terbaik
untuk mempertahankan sirkulasi adalah dengan memberikan cairan dan elektrolit yang adekuat.
Pada bayi sakit berat harus dipantau tanda-tanda syok. Kegagalan dalam mengenali dan menangani
syok dapat berakibat gagal organ multipel dan kematian pada bayi, oleh karena itu penanganan
syok harus dilakukan secara agresif. Bayi yang mengalami syok dapat memiliki tanda-tanda
berikut ini:
 Usaha nafas : Takipnea, retraksi, pernafasan cuping hidung, grunting, apnea, gasping.
 Nadi: denyut nadi dapat melemah atau tidak teraba.
 Perfusi perifer: Perfusi yang buruk akibat vasokonstriksi dan menurunnya curah jantung
memanjangnya waktu pengisian kapiler (>3 detik), mottling dan kulit teraba dingin. Tanda perfusi
yang adekuat diantaranya adalah waktu pengisian kapiler yang cepat, warna tidak sianosis atau
pucat, denyut nadi yang kuat, output urin yang adekuat dan kesadaran yang baik.
 Warna: Kulit bayi tampak sianosis atau pucat. Oksigenasi dan saturasi harus dievaluasi secara
berkala. Pemeriksaan gas darah juga dapat dilakukan untuk mengetahui adanya asidosis
respiratorik atau metabolik.
 Frekuensi jantung: Frekuensi jantung normal adalah 120–160 kali/menit, namun dapat bervariasi
sekitar 80–200 kali/menit tergantung dari aktivitas bayi. Pada keadaan syok, denyut jantung dapat
berupa bradikardia (180 kali/menit).
 Jantung: Evaluasi adanya murmur dan pembesaran jantung pada rontgen dada.
 Tekanan darah: Tekanan darah saat syok dapat normal atau hipotensi. Hipotensi merupakan tanda
terakhir dari dekompensasi jantung. Hal lain yang harus dievaluasi adalah tekanan nadi. Nilai
normal tekanan nadi pada bayi cukup bulan adalah 25–30 mmHg, sedangkan pada bayi kurang
bulan nilai normalnya adalah 15–25 mmHg. Tekanan nadi yang sempit menunjukkan
vasokonstriksi, gagal jantung atau curah jantung yang rendah. Sedangkan tekanan nadi yang lebar
dapat terjadi pada duktus arteriosus persisten atau malformasi arterivena.
5. L-LABORATORY STUDIES
Pemantauan elektrolit direkomendasikan pada neonatus yang mengalami kejang atau usia >24 jam
dan dalam keadaan tidak bugar. Elektrolit yang harus diperiksa adalah kadar natrium, kalium dan
kalsium. Selain itu perlu dilakukan juga pemeriksaan tanda infeksi, karena sistem imun neonatus
masih imatur dan berisiko tinggi untuk mengalami infeksi. Tanda klinis sepsis diantaranya distres
pernafasan, perfusi kulit yang abnormal, suhu yang tidak stabil, denyut jantung dan tekanan darah
yang abnormal, serta intolerasi terhadap minum. Apabila dicurigai adanya sepsis berdasarkan
klinis dan riwayat maternal, harus dilakukan pemeriksaan kultur darah dan darah lengkap bila
memungkinkan. Pemberian antibiotik intravena tidak boleh ditunda apabila pemeriksaan kultur
darah tidak dapat dilakukan. Pada bayi yang sakit berat atau pada saat sebelum transportasi,
antibiotik harus diberikan sampai kemungkinan infeksi sudah tersingkirkan.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan:
 Sebelum transportasi:
1. Blood count (pemeriksaan darah rutin)
2. Blood culture (kultur darah)
3. Blood glucose (kadar glukosa darah)
4. Blood gas (analisis gas darah)
 Setelah transportasi
Pemeriksaan laboratorium setelah transportasi tergantung dari riwayat, faktor risiko, dan gejala
klinis dari bayi. Pemeriksaan yang dapat dilakukan diantaranya pemeriksaan C-reactive
protein (CRP), elektrolit (natrium, kalium, kalsium), fungsi ginjal (ureum, kreatinin), fungsi hati
(SGOT, SGPT, bilirubin, pT, aPTT, fibrinogen, D-dimer).
6. E- EMOTIONAL SUPPORT
Orang tua dari bayi akan mengalami beberapa tahapan emosional dalam menghadapi keadaan
bayinya, yaitu:
 Pada masa ini pikiran orang tua dipenuhi dengan berbagai pertanyaan, seperti bagaimana nasib
bayi selanjutnya? Bagaimana kehidupan mereka selanjutnya? Sehingga orang tua akan sulit
berpikir dengan jernih, dan perlu mendapatkan penjelasan mengenai kondisi bayinya berulang kali.
 Pada masa ini orang tua tidak mempercayai kenyataan yang terjadi. Orang tua cenderung mencari
bukti-bukti lain yang dapat membuktikan bahwa keadaan tersebut tidak benar.
 Berkabung, sedih dan takut. Pada masa ini orang tua sudah mulai menerima bahwa keadaan
anaknya tidak seperti yang diharapkan, mulai merasa sedih dengan beban yang harus mereka pikul,
dan takut bahwa bayi mereka akan meninggal atau menjadi tidak normal.
 Marah dan merasa bersalah. Pada tahap selanjutnya orang tua akan merasa marah karena bayi
mereka sakit, marah mengapa hal tersebut terjadi pada mereka. Jadi pada tahap ini, karena mereka
tidak bisa marah kepada bayinya, mereka cenderung akan marah kepada orang-orang yang ada di
sekitarnya.
 Tahap ekuilibrium dan terorganisir. Pada masa ini orang tua mulai mengerti mengenai kondisi
bayinya dan mulai berinteraksi dengannya.
 Komplikasi
1. Hypoxic Ischemic Encephalopathy (HIE)
HIE merupakan cedera neorulogis akibat dari kurangnya aliran oksigen ke otak. HIE muncul
dengan diikuti gejala klinis berupa apnea, kejang, hipotonia, letargi serta kehilangan fungsi saraf
cranial termasuk kehilangan reflek menghisap, menelan dan muntah (Zlatnik 2005).
1. Acute Kidney Injury (AKI)
AKI merupakan konsekuensi umum dari asfiksia perinatal, kejadiannya hingga mencapai 56%
(Durkan & Alexander 2011). Ginjal bayi baru lahir lebih rentan terhadap hipoperfusi dan memiliki
tingkat rendah filtrasi glomerulus, resistensi pembuluh darah ginjal yang tinggi, aktivitas renin
plasma yang tinggi, penurunan perfusi intercortical, dan penurunan reabsorpsi natrium dalam
tubulus proksimal. Hal tersebut membuat bayi yang baru lahir lebih rentan terhadap AKI pada
hari-hari pertama kehidupan (Liborio et al 2014).
1. Hepatic Dysfunction
Cedera sel hati umumnya muncul setelah asfiksia perinatal, hampir menyerupai dengan shock liver
syndrome (Gibson & Dudley 1984 dalam Choudhary et al 2015). Komplikasi ini muncul awal dan
tiba-tiba (dalam waktu 24-72 jam setelah) berdampak pada peningkatan aminotransferase [aspartat
transferase (AST) dan alanin transferase (ALT)], alkaline phosphatase (ALP), dan laktat
dehidrogenase (LDH) dalam plasma aktivitas. Kadar aminotransferase akan kembali menuju
normal dalam waktu 10 hari (Choudhary et al 2015).
1. Necrotizing Enterocolitis (NEC)
Kurangnya perfusi ke usus menyebabkan peningkatan resiko untuk terjadi NEC. NEC sering
dimanifestasikan distensi abdomen dan nyeri lepas tekan (tenderness) bersama dengan
hematochezia (tinja bercampur darah merah segar). Untuk meminimalkan risiko ini, penting untuk
menjaga bayi asfiksia, NPO (nill per os: tidak ada yang lewat mulut) setidaknya 48-72 jam.
Selanjutnya ketika diperbolehkan untuk menyusui, berikan perlahan dan amati tanda-tanda
intoleransi makan (Zlatnik 2005).
1. Subcutaneous Fat Necrosis (SCFN)
Asfiksia yang terjadi saat persalinan memicu “diving reflex” dimana darah didorong dari kulit dan
splanknik menuju ke otak, jantung dan kelenjar adrenal pada neonatus. Terdorongnya darah dari
jaringan subkutan menyebabkan keadaan hipoksia dan hipotermia yang mengakibatkan
peradangan granulomatosa dan nekrosis pada jaringan adiposa (Oza et al 2010).
Gambar 2.1 Foto klinis SCFN di punggung neonatus pada hari keenam kehidupan. Bintil
berfluktuasi ini nantinya akan mengalirkan cairan putih berkapur setelah biopsi (Oza et al 2010)
 Prognosis
Prognosis bayi diprediksi melalui pemulihan motorik dan kemampuan mengisap. Bila satu minggu
sesudah kelahiran bayi masih lemas atau spastik, tidak responsif dan tidak dapat mengisap,
mungkin mengalami cedera otak berat dan mempunyai prognosis buruk. Prognosis tidak begitu
buruk untuk bayi-bayi yang mengalami pemulihan fungsi motorik dan mulai mengisap. Keadaan
ini harus dibahas dengan orangtua selama bayi di rumah sakit (ICHRC 2012).
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
 Pengkajian
 Pengkajian Primer
Airway : Bayi tidak menangis atau tidak ada usaha untuk bernafas pada asfiksia berat
(Boxwell 2000), kadang-kadang terasa hembusan nafas pada asfiksia ringan

Breathing : Apnea pada asfiksia berat (Saifudin 2001)

Circulation : HR <100x/menit (Boxwell 2000), HR>100x/menit pada asfiksia ringan

Disability : Tonus otot lemah (Saifudin 2001)

Exposure : Seluruh tubuh berwarna biru, pucat, sianosis (Boxwell, 2000), cairan ketuban ibu
bercampur mekonium atau sisa mekonium pada tubuh bayi (Ghai et al 2010), BBLR (berat
badan lahir rendah)
APGAR : Asfiksia berat bernilai 0-3, asfiksia sedang 4-6, asfiksia ringan 7-9, bayi normal
bernilai 10 (Ghai et al2010)
Menurut Henderson& Jones (2001) :
1. Bayi dengan nilai APGAR sangat rendah tampak pucat, terkulai, tidak ada usaha napas, tidak
berespon terhadap suksion oral dan nadi sangat lambat.
2. Bayi dengan nilai APGAR 4-7 memiliki nadi dibawah 100 kali permenit, pernapasan tidak
teratur dan kulit berwarna biru. Terdapat beberapa respon terhadap suksion dan beberapa tonus
otot. Bayi ini dapat berespon dengan baik terhadap stimulasi.
3. Bayi dengan nilai APGAR >7 mempunyai irama jantung normal, bernapas dan berespon
terhadap stimulus.
Tabel 3.1 Penilaian APGAR score
TANDA 0 1 2

Badan pucat Semuanya merah


Appearance Biru, pucat tungkai biru muda

Pulse Tidak teraba < 100 >100

Grimace Tidak ada Lambat Menangis kuat

Gerakan Aktif/fleksi tungkai


sedikit/fleksi baik/reaksi
Activity Lemah/lumpuh tungkai melawan

Lambat, tidak Baik, menangis


Respiratory Tidak ada teratur kuat
Reflek : Tidak ada reflek komplek seperti moro dan hisap (Snyder & Cloherty 1998)

 Pengkajian Sekunder
Tabel 3.2 Faktor-faktor yang menyebabkan resiko tinggi asfiksia (Rehan & Phibbs 2005)

Kondisi Ibu Kondisi Persalinan Kondisi Bayi

Diabetes Melitus
Preeklamsi, Penggunaan Prematur
hipertensi, penyakit vakum Post date
ginjal kronis Letak sungsang
Asidosis
Anemia (Hb Bentuk pelvis yang
<10g/dl) kecil : distonia Nadi tidak normal,
bahu, fase kedua disritmia
Gangguan imun memanjang
pada golongan Bercak mekonium
darah Operasi SC dan cairan amnion
Plasenta previa, Kompresi tali Oligohidroamnion
abrusio plasenta, pusat
peradarahan saat Polihidroamnion
kehamilan Hipotensi,
perdarahan Penurunan proses
Narkotika, pertumbuhan : USG
barbiturat,
transquilizer, Makrosomia
intoksikasi alkohol
Sistem surfaktan
Riwayat abortus paru-paru belum
matang
Ruptur membran
Kelainan bentuk janin
Lupus : sonografi

Penyakit jantung Kehamilan kembar


saat kehamilan

Infeksi pada
amnion

Arteri umbilikus
abnormal

 Pemeriksaan diagnostik
1. Peningkatan metabolisme atau mixed acidemia (pH <7) yang dinilai dari sampel plasenta jika
didapatkan, hasil asidosis pada darah tali pusat jika PaO22O, PaCO2>55 mmH2O (ACOG dalam
Cunningham et al2005).
2. Asfiksia pada periode intrapartum (dan pada periode antepartum) dapat dideteksi dengan
monitoring denyut jantung janin (fetal heart rate) lewat CTG dan USG serta penilaian dari
sampel darah untuk memeriksa tingkat keasaman darah (pH of scalp blood) (Beard 1974 dalam
Izati 2008).
 Diagnosa Keperawatan
 Pola nafas tidak efektif b.d jumlah CO2 dalam darah meningkat
 Gangguan pertukaran gas b.d alveoli gagal berkembang
 Gangguan perfusi jaringan b.d penurunan aliran darah ke paru
 Diskontinuitas pemberian ASI b.d rawat pisah ranjang ibu dan anak
 Intervensi Keperawatan
 Pola nafas tidak efektif b.d jumlah CO2 dalam darah meningkat
Tujuan : pola nafas menunjukkan frekwensi nafas yang efektif

Kriteria hasil: setelah dilakukan intervensi 1×24 jam


 Pasien menunjukkan pola nafas yang efektif.
 Ekspansi dada simetris.
 Tidak ada bunyi nafas tambahan.
 Kecepatan dan irama respirasi dalam batas normal.
INTERVENSI RASIONAL

1. Pertahankan kepatenan jalan nafas Menghilangkan lender yang mengganggu


dengan melakukan pengisapan lender. pernafasan

2. Pantau status pernafasan dan Mengidentifikasi jika ada masalah pada


oksigenasi sesuai dengan kebutuhan. status pernafasan

3. Auskultasi jalan nafas untuk Mengetahui pola nafas dan adanya sumbatan
mengetahui adanya penurunan ventilasi. pada paru-paru

4. Kolaborasi dengan dokter untuk


pemeriksaan AGD dan pemakaian alan Alat bantu nafas membantu pasien
bantu nafas memenuhi O2 sehingga pola nafas efektif

5. Siapkan pasien untuk ventilasi Ventilasi mekanik membantu pasien


mekanik bila perlu bernafas

Membantu pasien memenuhi kebutuhan O2


6. Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan. pada tubuhnya
 Gangguan pertukaran gas b.d alveoli gagal berkembang
Tujuan: pertukaran gas teratasi

Kriteria hasil: setelah dilakukan intervensi dalam 1×24 jam

 Tidak ada gejala sesak nafas


 Fungsi paru dalam batas normal
 Tidak ada sianosis
INTERVENSI RASIONAL

1. Kaji bunyi paru, frekuensi nafas,


kedalaman nafas dan produksi sputum Mengetahui pola nafas bayi

2. Pantau saturasi O2 dengan oksimetri Mengetahui saturasi O2

3. Pantau analisa gas darah Mengetahui kadar O2 dalam darah


 Gangguan perfusi jaringan b.d penurunan aliran darah ke paru
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan

Kriteria hasil: setelah dilakukan intervensi 1x 24 jam

 Tidak ada sianosis


 Pengisisan ulang kapiler normal
 Menunjukkan Status sirkulasi, ditandai dengan indicator berikut (nilai 1-5 : ekstreem, berat,
sedang, ringan atau tidak ada gangguan)
INTERVENSI RASIONAL

Pola nafas mempengaruhi suplai O2 dalam


1. Monitor pernafasan tubuh

Kekurangan O2 dalam tubuh di tandai


2. Monitor adanya sianosis sianosis

3. Beri penyuluhan pada orang tua untuk


menghindari suhu ekstrem pada ekstermitas, Orang tua pihak yang selalu berada di
mengkaji kulit bayi dan gejala lainnya samping pasien

Mengatur dan mencegah komplikasi akibat


akibat perubahan kadar cairan dan
4. Manajemen cairan /elektrolit elektrolit.

5. Kolaborasi pemberian O2 Membantu memenuhi kebutuhan O2

6. Kolaborasi pemberian obat anti


koagulan Mencegah trombus perifer
 Diskontinuitas pemberian ASI b.d rawat pisah ranjang ibu dan anak
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan, ibu dan bayi tidak mengalami diskontinuitas
pemberian ASI

Kriteria hasil: setelah dilakukan intervensi 1 x 24 jam

 Pengetahuan pemberian ASI yang cukup


 Pertumbuhan dan perkembangan bayi dalam batas normal
 Kemampuan ibu untuk mengumpulkan dan menyimpan ASI dengan aman
INTERVENSI RASIONAL

1. Kaji kemampuan keluarga untuk


mendukung laktasi dan rencana menyusui Mengetahui kemampuan keluarga untuk
serta koping mengatasi perubahan gaya hidup mendukung laktasi
2. Konfirmasi kesiapan untuk transisi ke
payudara setelah diskontinuitas (perawatan Meyegerakan pemberian ASI setelah bayi
terpisah) dan ibu siap agar pemberian ASI optimal

Memfasilitasi perkembangan hubungan


3. Promosi perlekatan bayi dan ibu orangtua dan bayi

Mempersiapkan dan memberikan cairan


4. Pemberian makan (ASI) melalui botol untuk bayi melalui botol

5. Dukung ibu untuk memberi bayi ASI Membuat yakin, menunjukkan penerimaan,
eksklusif dan memberi dorongan selama waktu stres

Menggunakan proses bantuan interaktif


untuk membantu mempertahankan
6. Konseling tentang laktasi pada ibu keberhasilan proses pemberian ASI
 Gangguan pertumbuhan dan perkembangan :keterlambatan d kurangnya suplai O2 ke otak
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan klien menunjukkan perilaku sesuai tahap
perkembagan pada usianya

Kriteria hasil: setelah dilakukan intervensi 2×24 jam

 Anak menunjukkan ketrampilan motorik sesuai usia


 Anak menunjukkan ketrampilan kognitif dan bahasa sesuai usia
INTERVENSI RASIONAL

1. Tingkatkan rangsangan dengan


menggunakan berbagai boneka berwarna di Boneka yang berwarna menarik perhatian
tempat tidur untuk menyentuhnya

2. Beri dorongan ibu untuk memberi


stimulus dan libatkan dalam perawatan bila
memungkinkan Mendekatkan ibu dan anak

Mengidentifikasi asuhan yang diberikan


ibu dan memperbaiki jika ada yang kurang
3. Amati ibu dan anak selama interaksi tepat

4. Biarkan tangan dan kaki bergerak bebas Bergerak bebas meningkatkan ketrampilan
bila memungkinkan motorik dan sosial anak
 Tindakan Resusitasi pada Bayi Asfiksia
1. Kelompok tindakan dibagi menjadi 3 : (MacDonald et al2005)
Kelompok 1:

1. Mengkaji keadaan bayi


2. Manajemen pembebasan jalan nafas dan intubasi trakea jika dibutuhkan
3. Memberikan ventilasi tekanan postif
4. Amankan jalan nafas dengan penggunaan endotracheal tube
Kelompok 2:

1. Kaji HR
2. Lakukan pijat jantung jika dibutuhkan
3. Auskultasi dada untuk memastikan kepatenan posisi dan ketepatan pemasangan ET dan untuk
mengetahui perubahan gas bagus atau tidak
4. Kateter pada pembuluh darah di umbilikus
5. Mengukur tekanan intravaskular, perfusi jaringan, seperti pH, PO2, PCO2 dan gambaran kultur
darah
6. Pengelolaan cairan dan obat yang diberikan
7. Pengkajian lanjutan pada bayi
Kelompok 3:

1. Keringkan tubuh bayi


2. Monitoring bayi dengan electrocardiograph (ECG) untuk semua lead
3. Pasangankan pulse oksimetri untuk mengechek jumalah kadar PO2
4. Dokumentasikan waktu dan hasil resusiatsi, TTV, apgar score pada menit k1 dan 5, monitoring
apgar score setiap 5 menit sampai berniali >7, dokumentasi jumlah tetesan dan volume cairan
infus yang diberikan karena pada asfiksia berat beresiko tinggi edema otak (Scipion et al2001)
5. Gunakan ET suction sesuai dengan hasil FiO2 normal
6. Membantu kelompok 2 untuk pemberian medikasi melewati jarum suntik steril
7. Monitoring suhu dan glukosa darah bayi
8. Kaji area insersi terhadap kejadian plebitis (Scipion et al 2001)
9. Tindakan resusitasi : (Boxwell 2000)
10. Lakukan pengkajian awal pada bayi: Pada bayi aterm akan menangis atau ada usaha untuk
bernafas setelah 10 detik tali pusat dipotong
11. Keringkan tubuh bayi dan hangatkan dengan handuk pada ekstremitas dan kepala, karena 25%
tubuh bayi cepat kehilangan panas tubuh (Daze & Scanlon 1981 dalam Boxwell 2000)
12. Stimulasi taktil untuk mengetahui reflek bernafas
13. Penggunaan inkubator terbuka
Airway :
Dilakukan pada bayi yang tidak menangis atau tidak ada usaha bernafas

 Posisikan supine dengan posisi kepala sejajar tubuh atau dinaikkan sedikit menggunakan kain
setinggi 2cm di bawah bahu (Zideman et al 1998 dalam Boxwell 2000)
 Jika ada hembusan nafas, tetapi warna kulit bayi tidak berubah, HR < 100x/menit, dapat
diberikan suction melalui orofaring. Jika suction dilakukan melalui faring dapat menyebabkan
sapsme laring dan reflek vagal bradicardia
 Suction dilakukan dengan 3 poin utama, pertama tekanan yang digunakan tidak boleh lebih dari
100mmHg (13,3kPa), kedua, kedalaman et al 2001)
 Kaji ulang ritme, jumlah dan kedalaman RR
Breathing :
Pada apnea, pucat dan HR <100x/menit memerlukan ventilasi tekanan positif melalui masker (KI
masker : hernia diafragma (Harjo & Jones 1993 dalam Boxwell 2000)

Circulation :
1. HR <80x/menit dilakukan kompresi dada
2. Pemberian jumlah kompresi : jumlah bantuan nafas = 3: 1 (90 kompresi : 30 nafas bantuan)
3. Penggunaan obat : adrenaline IV (0,1mg/ml), sodium bikarbonat digunakan pada bayi asodosi
metabolik (Bjerneroth 1998 dalam Boxwell 2000), TMAM dihunakan untuk menaikkan pH dan
penurunkan kadar CO2 (Bowman and Rand 1980 dalam Boxwell 2000), tribonat digunakan IV
pelan selama 2menit 1-2mmol/kg BB, Dextrose.
BAB 4
PENUTUP
 Kesimpulan
Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang mengalami gagal bernapas
secara spontan dan teratur segera setelah lahir, sehingga bayi tidak dapat memasukkan oksigen
dan tidak dapat mengeluarkan zat asam arang dari tubuhnya. umumnya akan mengalami asfiksia
pada saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil,
kelainan tali pusat, atau masalah yang mempengaruhi kesejahteraan bayi selama atau sesudah
persalinan. asfiksia neonatorum terjadi karena gangguan pertukaran gas serta transport O2 dari
ibu ke janin sehingga terdapat gangguan dalam persediaan O2 dan dalam menghilangkan CO2.

Prognosis bayi diprediksi melalui pemulihan motorik dan kemampuan mengisap. Bila satu
minggu sesudah kelahiran bayi masih lemas atau spastik, tidak responsif dan tidak dapat
mengisap, mungkin mengalami cedera otak berat dan mempunyai prognosis buruk. Prognosis
tidak begitu buruk untuk bayi-bayi yang mengalami pemulihan fungsi motorik dan mulai
mengisap. Keadaan ini harus dibahas dengan orangtua selama bayi di rumah sakit.

 Saran
Penting bagi seorang perawat melakukan penanganan secara cepat dan tepat dengan
emmperhatikan tanda-tanda kegawatan asfiksia sehingga diharapkan perawat mampu secara
profesional mencegah dampak dari asfiksia.

DAFTAR PUSTAKA
American Academy Of Pediatric (2012). Special Report—Neonatal Resuscitation: 2010
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care
Beyond the Number (2004). Reviewing Maternal Deaths and Complications to Make Pregnancy
Safer. Geneva: World Health Organization
Boxwell, G (2000). Neonatal Intensive Care Nursing. London: Routledge
Choudhary, M, Sharma, D, Dabi, D, Lamba, M, Pandita, A & Shastri S (2015). Hepatic
Dysfunction in Asphyxiated Neonates: Prospective Case Controlled Study. Clin Med
Insights Pediatr.Vol 9: 1–6. doi: 10.4137/CMPed.S21426
Cunningham, FG et al (2005). Obstetri Williams. Jakarta: EGC
Depkes RI (2005). Program Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir dan Anak HSP – Health Services
Program. Departemen Kesehatan. Jakarta
Durkan, AM & Alexander, RT (2011) Acute Kidney Injury Post Neonatal Asphyxia. J Pediatr.
158:e29–33. doi: 10.1016/j.jpeds.2010.11.010
Freeman, JM & Nelson, KB (1988). Intrapartum Asphyxia and Cerebral Palsy. Pediatrics. 82,
pp. 240-249
Gadoth, N & Gobel, HH (2011). Oxidative Stress and Free Radical Damage in Neurology. New
York: Springer Science+Media, LCC
Ghai, OP, Paul VK & Bagga, A (2010). Essential Pediatrics. Seventh edition. Pp96-140
Henderson C & Jones K (2005). Buku Ajar Konsep Kebidanan. Edisi ketiga. Jakarta: EGC
Herdman, TH & Kamitsuru, S (Eds.). (2014). NANDA International Nursing Diagnoses:
Definitions & Classification. 2015-2017. Oxford: Wiley Blackwell
Hidayat. A.Aziz Alimul (2006). Ketrampilan Dasar Praktik Klinik Kebidanan. Jakarta: salemba
medika
International Child Health Review Collaboration (ICHRC) (2012). 3.5. Manajemen Bayi dengan
Asfiksia Perinatal. Diakses dari http://www.ichrc.org/35-manajemen-bayi-dengan-asfiksia-
perinatal pada 23/03/2015
Izati, YN (2008). Pola Kejadian Asfiksia pada Bayi yang Dilahirkan oelh Ibu dengan
Komplikasi di RS di Kabupaten Serang dan Pandeglang, Provinsi Banten Berdasarkan Tempat
Tinggal Ibu Ketika Akan Melahirkan Tahun 2003-2004. Tesis: Universitas Indonesia
Kattwinkel J (2006). Textbook Of Neonatal Resucitation. Edisi ke-5. American Heart
Association And American Academy Of Pediatrics. New York: Lippincott, William & Wilkins,
2004
Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A (2006). Buku Ajar Neonatologi. Edisi 1.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI

Liborio, AB, Pereira KM, & de Melo Bezerra, CT (2014). Acute Kidney Injury in Neonates:
From Urine Output to New Biomarkers. BioMed Research International. Volume 2014, pp1-8 ,
Article ID 601568. http://dx.doi.org/10.1155/2014/601568
Manoe, VM & Amir A (2003). Gangguan Fungsi Multi Organ pada Bayi Asfiksia Berat. Sari
Pediatri. Vol.5. No.2. Pp 72-78
Manuaba, I.B.G., I.A. Chandranita Manuaba, dan I.B.G. Fajar Manuaba (2007). Pengantar
Kuliah Obstetri. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
McDonald et al (2005). Avery’s Neonatology : Phatophysiology and Management of the
Newborn. 6th Ed. USA: LWW
Mathew, Oomen P (2013). Inside Health Care : Neonatal Intemsive Care – Who Decides ? Who
Pays? Who Can Afford It?. Sharjah, ARE: Bentham Science Publishers
Oza, V, Treat J, Cook, N, Tetzlaff MT & Yan A (2010). Subcutaneous Fat Necrosis as a
Complication of Whole-Body Cooling for Birth Asphyxia. Arch Dermatol. Vol 146. No.8: 882-
885. doi:10.1001 /archdermatol.2010.176.
Radityo, AN (2011). Asfiksia Neonatrum Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Gagal Ginjal Akut.
Tesis: Universitas Diponegoro.
Saifudin, AB (2001). Buku Acuan Nasional Pelayanan Maternal Kesehatan dan Neonatal.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Saifuddin, AB (2009). Masalah Bayi Baru Lahir. Dalam; Buku Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal. Cetakan Kelima. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo
Scipion, et al (2001). Comprehensive Pediatric Nursing. Third Ed. Mc Graw Hill Book
Company
Snyder, EY, Cloherty, JP (1998). Manual of Neonatal Care: Perinatal Asphyxia. Edisi ke-4.
Philadelphia: Williams & Wilkins; Pp 515-33.
Su, J & Wang, L (2012). Research Advances in Neonatal Hypoglycemic Brain Injury. Vol.1,
No.2. doi: 10.3978/j.issn.2224-4336.2012.04.06. Diakses
dari http://www.thetp.org/article/view/1093/1400 pada 31/03/2015
Royal Prince Alfred Hospital (2007). RPA Newborn Care Guidelines: Asphyxia. Diunduh
dari http://www.sswahs.nsw.gov.au/rpa/neonatal/html/docs/asphyxia.pdf pada 30/03/2015
Wiknjosastro Hanifa, Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi (2002). Ilmu Bedah
Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
WHO (2012). Cause-specific mortality and morbidity: Causes of deaths among children.
Diakses dari http://apps.who.int/gho/data/?theme=main&node=24#pada 1/4/2015
WHO (2013). Causes of child mortality for the year 2010. Diakses
dari http://www.who.int/gho/child_health/mortality/mortality_causes_text/en/ pada 1/4/2015
Zlatnik, FJ (2005). Multiorgan System Failure from Perinatal Asphyxia. The Iowa Perinatal
Letter. Vol XXVI. No. 1. Diunduh
dari https://www.idph.state.ia.us/hpcdp/common/pdf/perinatal_newsletters/perinatal_jan-
march_05.pdf pada 31/03/2015

Vous aimerez peut-être aussi