Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
a - efek (+)
b - efek G)
Faktor risiko
c - efek (+)
d - efek (-)
Gambar 7-L. Struktur studi cross-s ectional menilai peran faktor risiko
dan terjadinya efek. Faktor risiko dan efek diperiksa pada saat yang sama.
ffek
Yo Tidok Jumloh
Yo o*b
Foktor
risiko Tidok c*d
b+d "q+b*c+d
4 MnrerseNAKAN PENGUKLJRAN
5 MENCENALISIS DATA
Analisis hubungan atau perbedaan prevalens antar kelompok yang
diteliti dilakukan setelah dilakukan validasi dan pengelompokan
data. Analisis ini dapat berupa suatu uji hipotesis ataupun analisis
untuk memperoleh risiko relatif. Hal yang terakhir inilah yang lebih
sering dihitung dalam studi cross-sectional untuk mengidentifikasi
faktor risiko.
Yang dimaksud dengan risiko relatif pada studi cross-sectional
adalah perbandingan antara prevalens penyakit (efek) pada
136 Studi cross-sectional
Interpretasi hasil
1 Bila nilai rasio prevalens = 1 berarti variabel yang diduga
sebagai faktot risiko tidak ada pengaruhnya dalam terjadinya
efek, atau dengan kata lain ia bersifat netral. Misalnya semula
diduga bahwa pemakaian kontrasepsi oral pada awal kehamilan
Muhamad Vinci Ghnnli dkk. 137
4 Pengukuran
o Faktor risiko: ditanyakan apakah di rumah subyek digunakan
obat nyamuk semprot.
o Efek: dengan kriteria tertentu ditetapkan apakah subyek
tersebut menderita BKB.
5 Analisis
Hasil pengamatan tersebut dimasukkan ke dalam tabel 2x2
(Gambar 7-3). Pada Gambar 7-3 terdapat 100 anak yang terpajan
obat nyamuk semprot, 30 anak di antaranya menderita BKB
(prevalens BKB pada kelompok terpajan obat nyamuk : 30/100 :
0,3). Terdapat 150 anak tidak terpajan obat nyamuk, 15 di antaranya
menderita BKB (prevalens BKB kelompok tidak terpajan obat
nyamuk : 1511,50: 0,1). Maka rasio prevalens = 0,310,1= 3.0.
Selanjutnya perlu dihitung interval kepercayaan rasio prevalens
(RP) tersebut. Pada data hipotesis kita nilai interval kepercayaan
95% RP tersebut selalu di atas nilai 1 (yakni antara 1',70 sampai
5,28), artinya dalam populasi 95% RP terletak di antara 1,70 sampai
5,28 sehingga dapat disimpulkan bahwa benar penggunaan obat
nyamuk semprot merupakan faktor risiko untuk terjadinya BKB
pada anak. Namury meski (pada data lain) RP-nya 3,biIa interval
kepercayaan mencakup angka L (misalnya antara 0,9 sampai 6,7),
maka penggunaan obat nyamuk semprot belum dapat dikatakan
140 Studi cross-sectional
BKB
Yo Tidok Jumloh
Yo 30 70 r00
Obot nyomuk
Tidok l5 135 r50
secara definitif sebagai faktor risiko. Ini dapat disebabkan oleh dua
hal: (1) obat nyamuk semprot memang bukan merupakan faktor
risiko terjadinya BKB pada anak balita, atau (2) jumlah subyek yang
diteliti kurang banyak; bila ini yang terjadi, maka penambahan
jumlah subyek pasti akan mempersempit interval kepercayaan.
Dari contoh tersebut tampaklahbahwa pada rancangan penelitian
cross-sectional faktor prevalens adalah penting. Prevalens ialah
proporsi subyek yang sakit pada suatu waktu tertentu (kasus lama
dan baru), yang harus dibedakan dengan insidens pada rancangan
penelitian kohort yang berarti proporsi subyek yang semula sehat
kemudian menjadi sakit (kasus baru) dalam periode tertentu.
Walaupun istilah prevalens sering dihubungkan dengan penyakit,
tetapi dapat juga diartikan sebagai bukan penyakit, misalnya
prevalens dari faktor risiko, atau faktor lain yang akan diteliti.
Prevalens sering digunakan oleh perencana kesehatan untuk
mengetahui berapa banyak penduduk yang terkena penyakit
tertentu dan juga penting di klinik untuk mengetahui penyakit yang
banyak terdapat dalam suatu pusat kesehatan.
Muh am a d Vin ci Ghazali dkk. 141
Kelebihan
1 Keuntungan yang utama desain cross-sectionnl adalah desain ini
relatif mudah, murah, dan hasilnya cepat dapat diperoleh.
2 Memungkinkan penggunaan populasi dari masyarakat umum,
tidak hanya pasien yang mencari pengobatary dengan demikian
maka generalisasinya cukup memadai.
Muh am ad Vn ci Gh azali dkk. 143
Kekurangan
1 Sulit untuk menentukan sebab dan akibat karena pengambilan
data risiko dan efek dilakukan pada satu saat yang bersamaan
(temporal relationship tidak jelas). Akibatnya seringkali tidak
mungkin ditentukan mana penyebab dan mana akibat (dilema
telur dan ayarr., horse and cart). Misalnya hubungan kausal
antara diare dan malnutrisi tidak dapat ditentukan pada studi
prevalens, karena diare kronik dapat menyebabkan terjadinya
malnutrisi, sebaliknya malnutrisi juga dapat menyebabkan
sindrom malabsorbsi dengan gejala diare kronik.
2 Studi prevalens lebih banyak menjaring subyek dengan masa
sakit yang panjang daripada yang mempunyai masa sakit pendek,
karena individu yang cepat sembuh atau cepat meninggal
mempunyai kesempatan yang lebih kecil untuk terjaring. Bila
karakteristik pasien yang cepat sembuh atau meninggal berbeda
dengan yang mempunyai masa sakit panjang, dapat terjadi bias,
yakni salah interpretasi hasil penelitian.
3 Dibutuhkan jumlah subyek yang cukup banyak, terutama bila
variabel yang dipelajari banyak.
4 Tidak menggambarkan perjalanan penyakif insidens, maupun
prognosis.
5 Tidak praktis untuk meneliti kasus yang sangatjarang, misalnya
kanker lambung, karena pada populasi usia 45-59 tahun
144 Studi cross-sectbnal
Darrnn PUSTAKA
Dawson B, Trapp RG. Basic & clinical biostatistics. Edisi ke-3. Boston: Lange
Medical Books/Mc Graw-Hill, 2001.
Durham WH. Air pollution and student health. Arch Environ Health. 1974;
1.6:853-61.
J Fleiss |L. Statistical methods for rates and proportions. Edisi ke-2. New York:
John Wiley,1981.
4 Hulley SB, Cummings SR, Browner WS, Grady D, Newman TB, penyunting.
Designing clinical research-An epidemiologic approach. Edisi ke-2.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.
5 Lambert PM. Smoking, air pollution, and bronchitis. Lancet. 7970;l:853-7.
6 Sackett DL, Wenberg jE. Choosing the best research design for each
question. BMI. 1997 ;135:L636.
Woodward M. Epidemiology - study design and data analysis. Boca Raton:
Chapman &Hall;1999.
Muh ama d Vn ci Gh az ali dkk. 145