Vous êtes sur la page 1sur 16

Bab 7 -Sildi cross-sectional

Muhamad Vinci Ghazali, Suharyono Sastomihardio*,


Sri Rochani Soediarwo, Titi Soelaryo, Hariarti S Pramulyo

alam penelitian kedokteran dan kesehatan, studi cross


pectional merupakan suatu bentuk studi observasional
(non-eksperimental) yang paling sering dilakukan. Kira-
kira sepertiga artikel orisinal dalam jurnal kedokteran
merupakan laporan studi cross-sectional Dalam arti kata luas, studi
uoss-sectional mencakup semua jenis penelitian yang pengukuran
variabel-variabelnya dilakukan hanya satu kali, pada satu saat. Studi
seperti ini dapat hanya bersifat deskriptif, misalnya penentuan nilai
normal (nilainilai antropometrik bayi baru lahir, kadar imunoglobin
pasien asma). Ia juga dapat merupakan studi analitik, misalnya studi
perbandingan antara kadar asam urat pada manula yang normal
dan yang gemuk, atau studi korelasi antara skor kebugaran tertenfu
dengan kadar kolesterol. Dengan perkataan lain, penelitian yang
pengukurannya dilakukan hanya satu kali, disebut studi crlss-
sectional. Berikut ini akan dibahas studi cross- sectional analitik untuk
mempelajari etiologi atau faktor risiko suatu penyakit.
Dalam studi cross-sectional, variabel independen atau faktor
risiko dan tergantung (efek) dinilai secara simultan pada satu saat;
jadi tidak ada follow-up pada studi cross-sectional, Dengan studi
cross-sectional diperoleh prevalens penyakit dalam populasi pada
suatu saat; oleh karena itu studi cross-sectional disebut pula sebagai
studi prevalens (preaalence study). Dari data yang diperoletr" dapat
Muhamad Vnci Ghazali dkk. 131

dibandingkan prevalens penyakit pada kelompok dengan faktor


risiko, dengan prevalens penyakit pada kelompok tanpa faktor risiko.
Studi prevalens tidak hanya digunakan untuk Perencanaan
kesehatan, akan tetapi juga dapat digunakan sebagai studi etiologi.
Yang dibicarakan dalam bab ini lebih untuk mengenal fungsinya
sebagai suatu penelitian etiologi. Pembahasan diawali dengan
tinjauan ringkas tentang pengertian dasar, dan dilanjutkan dengan
langkah-langkah dalam melaksanakan studi cross-sectional. Contoh
studi analitlk cross-sectional dikemukakan, sebelum pembicaraan
mengenai studi cross-sectionnl yang menilai lebih dari satu faktor
risiko. Akhirnya dibahas pula beberapa kelebihan dan kekurangan
desain cross-sectional.

PENcBnUAN DASAR sruDl cRoss- SECTTaNAL


Telah dikemukakan bahwa dalam penelitian cross-sectional peneliti
mencari hubungan antara variabel bebas (faktor risiko) dengan
variabel tergantung (efek) dengan melakukan pengukuran sesaat.
Tentunya tidak semua subyek harus diperiksa pada hari ataupun
saat yang sam4 namun baik varibel risiko serta efek tersebut diukur
menurut keadaan atau statusnya pada waktu observasi, jadi pada
desain cross sectional tidak ada prosedur tindak lanjut atau follow-
up. Selain ltu temporal relationship (hubungan waktu) antara faktor
risiko dan efek tidak selalu tergambar dari data yang terkumpul.
Hasil pengamata n cr oss-sectional untuk mengidentifikasi faktor
risiko ini kemudian disusun dalam tabel2x 2. Untuk desain seperti ini
biasanya yang dihitung adalah rasio prevalens, yakni perbandingan
antara prevalens suatu penyakit atau efek pada subyek kelompok
yang mempunyai faktor risiko, dengan prevalens penyakit atau efek
pada subyek yang tidak mempunyai faktor risiko. Rasio prevalens
menunjukkan peran faktor risiko dalam terjadinya efek pada studi
cross-sectional Llhatlah susunan tabel 2 x 2 pada Gambar 7-1.
Studi cross-sectional merupakan salah satu studi observasional
untuk menentukan hubungan antara faktor risiko dan penyakit.
Studi cross-sectional untuk mempelajari etiologi suatu penyakit
132 Studi cross-sectional

digunakan terutama untuk mempelajari faktor risiko penyakit yang


mempunyai onset yang lama (slow onset) dan lama sakit (duration
of illness) yang panjang, sehingga biasanya pasien tidak mencari
pertolongan sampai penyakitnya relatif telah lanjut. Contohnya
adalah osteoartritis, bronkitis kronik, dan sebagian besar penyakit
kejiwaan. Studi kohort kurang tepat digunakan pada penyakit-
penyakit tersebut karena diperlukan sampel yang besar, follow-up
yang sangat lama, dan sulit mengetahui saat mulainya penyakit
(sulit untuk menentukan insidens). Sebaliknya jenis penyakit yang
mempunyai masa sakit yang pendek tidak tepat dikaji dengan studi
cross-sectional, karena hanya sedikit kasus yang diperoleh dalam
waktu yang pendek. Sesuai dengan namanya, maka pada studi
cross-sectionalyang dinilai adalah prevalens (pasien baru dan lama).
Insidens penyakit (hanya pasien baru) tidak dapat diperoleh pada
studi cross sectional.

LaNcrAH-LANGKAH PADA t'ruot


CROSS-SECTIONAL

Gambar 7-1 melukiskan dengan sederhana rancangan studi cross-


sectional Sejalan dengan skema tersebut dapat disusun langkah-
langkah yang terpenting dalam rancangan studi cross-sectional, yaitu:
1 Merumuskan pertanyaan penelitian dan hipotesis yang sesuai
2 Mengidentifikasi variabel bebas dan tergantung
3 Menetapkan subyek penelitian
4 Melaksanakan pengukuran
5 Melakukan analisis

L MEnuvrusKAN pERTANyAAN DAN HIpoTESIS


Pertanyaan penblitian yang akan dijawab harus dikemukakan
dengan jelas, dan dirumuskan hipotesis yang sesuai. Dalam studi
cross-sectional analitik hendaklah dikemukakan hubungan antar-
Muh am a d Vin ci Ghaz ali dkk. 133

a - efek (+)

b - efek G)

Faktor risiko

c - efek (+)

d - efek (-)

Gambar 7-L. Struktur studi cross-s ectional menilai peran faktor risiko
dan terjadinya efek. Faktor risiko dan efek diperiksa pada saat yang sama.

ffek

Yo Tidok Jumloh

Yo o*b
Foktor
risiko Tidok c*d

b+d "q+b*c+d

Gambar 7-2.Tabel2 x 2 menunjukkan hasil cross-sectional.


a = subyek dengan faktor risiko yang mengalami efek
b = subyek dengan faktor risiko yang tidak mengalami efek
c = subyek tanpa faktor risiko yang mengalami efek
d: subyek tahpa faktor risiko yang tidak mengalami efek
Rasio prevalens: prevalens efek pada kelompok dengan risiko dibagi
prevalens efek pada kelompok tanpa risiko. RP = a/(a+b) : c/(c+d).
134 Studi soss-sectional

variabel yang diteliti. Misalnya, pertanyaan yang akan dijawab


adalah apakah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan
orangtua dengan kejadian enuresis pada anaknya.

2 MSNCTPENTIFIKASI VARIABEL PENELMAN


Semua variabel dalam studi prevalens harus diidentifikasi dengan
cermat. Untuk ini perlu ditetapkan definisi operasional yang jelas
mana yang termasuk dalam faktor risiko yang diteliti (variabel
independen), faktor risiko yang tidak ditelifi serta efek yang dipelajari
(variabel dependen). Faktor yang mungkin merupakan risiko
namun tidak diteliti perlu diidentifikasi, agar dapat disingkirkan atau
paling tidak dikurangi pada waktu pemilihan subyek penelitian.

3 MsNBTnpKAN sUBYEK PENELmAN


Menetapkan populasi penelitian. Bergantung kepada tujuan
penelitian, maka ditentukan dari populasi-terjangkau mana subyek
penelitian akan dipilih" apakah dari rumah sakit/fasilitas kesehatary
ataukah dari masyarakat umum. Salah satu yang harus diperhatikan
dalam penentuan populasi terjangkau penelitian adalah besarnya
kemungkinan untuk memperoleh faktor risiko yang diteliti. Pada
studi cross-s ectionalmengenai infeksi HIV/AID$ populasi yang dipilih
hendaklah kelompok subyek yang sering terpajan oleh virus jenis ini,
misalnya kaum homoseks atau penyalah guna narkotik. Bila subyek
dipilih dari populasi umum, maka kemungkinan untuk memperoleh
subyek dengan HIV menjadi amat sangat kecil, sehingga diperlukan
jumlah subyek yang sangat besar.
Menentukan sampel dan memperkirakan besar sampel. Besar
sampel diperkirakan dengan formula yang sesuai. Berdasarkan
perkiraan besar sampel serta perkiraan Prevalens kelainary dapat
ditentukan apakah seluruh subyek dalam populasi-terjangkau akan
diteliti atau dipilih sampel yang mewakili populasi-terjangkau
tersebut. Penetapan besar sampel untuk penelitian cross-sectional
yang mencari rasio prevalens sama dengan penetapan besar sampel
untuk studi kohort yang mencari risiko relatif (lihat Bab L7).
Muham a d Vin ci Gh azali dkk. 135

4 MnrerseNAKAN PENGUKLJRAN

Pengukuran variabel bebas (faktor risiko) dan variabel tergantung


(efek, atau penyakit) harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip
pengukuran (lihat uraian dalam Bab 4).
Pengukuran faktor risiko. Penetapan faktor risiko dapat dilakukan
dengan pelb agaicara,bergantung pada sifat faktor risiko. Pengukuran
dapat dilakukan dengan kuesioner, rekam medis, pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan fisis, atau prosedur khusus. Bila faktor
risiko diperoleh dengan wawancara, mungkin diperoleh informasi
yang tidak akurat atau tidak lengkap, yang merupakan keterbatasan
studi ini. Karena itu maka jenis studi ini lebih tepat untuk mengukur
faktor-faktor risiko yang tidak berubah (variabel atribut), misalnya
golongan daraku jenis kelamin, atau HLA.
Pengukuran efek (penyakit). Terdapatnya efek atau penyakit
tertentu dapat ditentukan dengan kuesioner, pemeriksaan fisis, atau
pemeriksaan khusus, bergantung pada karakteristik penyakit yang
dipelajari. Cara apa pun yang dipergunakary harus ditetapkan kriteria
diagnosisnya dengan batasan operasional yang jelas. Harus selalu
diingat hal-hal yang akan mengurangi validitas penelitiary termasuk
subyek yang tidak ingat akan timbulnya suatu penyakit, terutama
pada penyakit yang timbul secara perlahan-lahan. Untuk penyakit
yang mempunyai eksaserbasi atau remisi, penting untuk menanyai
subyek, apakah pernah mengalami gejala tersebut sebelumnya.

5 MENCENALISIS DATA
Analisis hubungan atau perbedaan prevalens antar kelompok yang
diteliti dilakukan setelah dilakukan validasi dan pengelompokan
data. Analisis ini dapat berupa suatu uji hipotesis ataupun analisis
untuk memperoleh risiko relatif. Hal yang terakhir inilah yang lebih
sering dihitung dalam studi cross-sectional untuk mengidentifikasi
faktor risiko.
Yang dimaksud dengan risiko relatif pada studi cross-sectional
adalah perbandingan antara prevalens penyakit (efek) pada
136 Studi cross-sectional

kelompok dengan risiko, dengan prevalens efek pada kelompok


tanpa risiko. Pada studi cross-sectional ini, risiko relatif yang diperoleh
bukan risiko relatif yang murni. Risiko relatif yang mumi hanya
dapat diperoleh dengan penelitian kohort, dengan membandingkan
insidens penyakit pada kelompok dengan risiko dengan insidens
penyakit pada kelompok tanpa risiko.
Pada studi cross-sectional, estimasi risiko relatif dinyatakan
dengan rasio prevalens (RP), yakni perbandingan antara jumlah
subyek dengan penyakit (lama dan baru) pada satu saat dengan
seluruh subyek yang ada. RP dihitung dengan cara sederhan4 yakni
dengan menggunakan tabel 2x2seperti dilukiskan dalam Gambar
7-2. Dari skema tersebut rasio prevalens dapat dihitung dengan
formula berikut:
RP=o/(o+b):c/(c+d)

o /(o+b) = proporsi (prevolens) subyek yong mempunyoi foktor


risiko yong mengolomi efek
c /(c+d) = proporsi (prevolens) subyek tonpo foktor risiko yong
mengolomi efek

Rasio prevalens harus selalu disertai dengan interval kepercayaan


(confidence interaal) yang dikehendaki, misal interval kepercayaan
95%. Interval kepercayaan menunjukkan rentang rasio prevalens
yang diperoleh pada populasi terjangkau blla sampling dilakukan
berulang-ulang dengan cara yang sama. Cara penghitungan interval
kepercayaan untuk rasio prevalens dapat dilihat dalam Lampiran,
atau dapat dihitung dengan pelbagai program statistika komputer.
Bagi kita yang terpenting adalah pemahaman bahwa interval
kepercayaan tersebut harus dihitung, dan memahami bagaimana
menginterpretasinya. Lihatlah kembali uraian dalam Bab 2.

Interpretasi hasil
1 Bila nilai rasio prevalens = 1 berarti variabel yang diduga
sebagai faktot risiko tidak ada pengaruhnya dalam terjadinya
efek, atau dengan kata lain ia bersifat netral. Misalnya semula
diduga bahwa pemakaian kontrasepsi oral pada awal kehamilan
Muhamad Vinci Ghnnli dkk. 137

merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit jantung


bawaan pada bayi yang akan dilahirkan. Apabila temyata pada
akhir penelitian ditemukan rasio prevalensnya =1, maka hal
tersebut berarti bahwa pemakaian obat kontrasepsi oral oleh ibu
pada awal kehamilan bukan merupakan faktor risiko untuk
terjadinya penyakit jantung bawaan pada bayi yang kemudian
dilahirkan.
Bila rasio prevalens >1 dan rentang interval kepercayaan tidak
mencakup angka 1, berarti variabel tersebut merupakan faktor
risiko untuk timbulnya penyakit. Misalnya rasio prevalens
pemakaian KB suntik pada ibu memberikan ASI eksklusif
terhadap kejadian kurang gizi pada anak =2.Ini berarti bahwa
KB suntik merupakan risiko untuk terjadinya defisiensi gizipada
bayi, yakni bayi yang ibunya akseptor KB suntik mempunyai
risiko menderita defisiensi gizi2kali lebih besar ketimbang bayi
yang ibunya bukan pemakai KB suntik.
Bila nilai rasio prevalens <1 dan rentang interval kepercayaan
tidak mencakup angkal,berarti faktor yang diteliti merupakan
faktor protektif, bukan faktor risiko. Misalnya rasio prevalens
pemakaian ASI untuk terjadinya diare pada bayi adalal10,3,
berarti ASI justru merupakan faktor pencegah diare pada bayi,
yakni bayi yang minum ASI memiliki risiko untuk menderita
diare 0,3 kali apabila dibandingkan dengan bayi yang tidak
minum ASI.
Bila nilai interval kepercayaan rasio prevalens mencakup
angka L, maka berarti pada populasi yang diwakili oleh sampel
tersebut masih mungkin nilai rasio prevalensnya = 1. Ini berarti
bahwa dari datayang adabelum dapat disimpulkanbahwa faktor
yang dikaji benar-benar merupakan faktor risiko atau faktor
protektif.
Contoh
Rasio prevalens (RP) sebesar 3, dengan interval kepercayaan
95o/o 1,4 sampaiQ8 menunjukkan bahwa dalam populasi yang
diwakili oleh sampel yang diteliti, kita percaya 95% bahwa
rasio prevalensnya terletak antara L,4 sampai 5,8 (selalu lebih
138 Studi cross-sectional

dari Namun suatuRP sebesar3 dengan interval kepercaya:rn


1).
957o antara 0,8 sampai 7, menunjukkan bahwa variabel bebas
yang diteliti belum tentu merupakan faktor risiko, sebab di
dalam populasi yang diwakili oleh sampel,95% nilai RP-nya
terletak di antara 0;8 dan 7, jadi mencakup nilai L. RP = 1
menunjukkan bahwa variabel yang diteliti bersifat netral. Hal
yang sama juga berlaku untuk faktor protektif (RP kurang
dari 1); apabila nilai interval kepercayaan selalu kurang dari L
berarti benar bahwa dalam populasi variabel independen
tersebut merupakan faktor protektif. Namun apabila rentang
interval kepercayaan mencakup angka 1., faktor yang diteliti
tersebut belum tentu merupakan faktor protektif.

CoNroH sruDl cRoss-s ECTTaNAL


Sruor cRoss-sECTIoNAL DENGAN sATU FAKToR RISIKo
Misalnya peneliti ingin mencari hubungan antara penggunaan obat
nyamuk semprot dengan batuk kronik berulang (BKB) pada balita
dengan desain cr oss-sectional. Langkah-langkah yan diperlukan pada
penelitian ini adalah:

L Penetapan pertanyaan penelitian dan hipotesis


o Pertanyaan penelitian: Apakah terdapat hubungan antara
kebiasaan memakai obat nyamuk semprot dengan kejadian
BKB pada anak balita?
o Hipotesis yang sesuai adalah: Pemakaian obat nyamuk
semprot berhubungan dengan kejadian BKB pada balita.
2 Identifikasi variabel
o Faktor risiko yang diteliti: penggunaan obat nyamuk semprot
o Efek: BKB pada balita
o Faktor risiko yang tidak diteliti: adanya riwayat asma dalam
keluarga'tingkat sosial ekonomi, jumlah anak, dll.
Semua istilah tersebut harus dibuat definisi operasionalnya
dengan jelas, sehingga tidak bermakna ganda.
Muh ama d Vn ci Ghaznli dkk. 139

3 Penetapan subyek penelitian


o Populasi-terjangkau: misalnya ditetapkanbahwa responden
adalah semua balita pengunjung poliklinik yang tidak
memiliki riwayat asma dalam keluarga, memiliki tingkat
sosial ekonomi tertentu, serta jumlah anak dalam keluarga
tertentu.
o Sampel: Dipilih sejumlah anak balita sesuai dengan perkiraan
besar sampel yang diperlukan (misalnya telah dihitung
diperlukan sejumlah 250 anak). Pemilihan subyek dilakukan
dengan random snmpling dengan mempergunakan tabel
angka random.

4 Pengukuran
o Faktor risiko: ditanyakan apakah di rumah subyek digunakan
obat nyamuk semprot.
o Efek: dengan kriteria tertentu ditetapkan apakah subyek
tersebut menderita BKB.

5 Analisis
Hasil pengamatan tersebut dimasukkan ke dalam tabel 2x2
(Gambar 7-3). Pada Gambar 7-3 terdapat 100 anak yang terpajan
obat nyamuk semprot, 30 anak di antaranya menderita BKB
(prevalens BKB pada kelompok terpajan obat nyamuk : 30/100 :
0,3). Terdapat 150 anak tidak terpajan obat nyamuk, 15 di antaranya
menderita BKB (prevalens BKB kelompok tidak terpajan obat
nyamuk : 1511,50: 0,1). Maka rasio prevalens = 0,310,1= 3.0.
Selanjutnya perlu dihitung interval kepercayaan rasio prevalens
(RP) tersebut. Pada data hipotesis kita nilai interval kepercayaan
95% RP tersebut selalu di atas nilai 1 (yakni antara 1',70 sampai
5,28), artinya dalam populasi 95% RP terletak di antara 1,70 sampai
5,28 sehingga dapat disimpulkan bahwa benar penggunaan obat
nyamuk semprot merupakan faktor risiko untuk terjadinya BKB
pada anak. Namury meski (pada data lain) RP-nya 3,biIa interval
kepercayaan mencakup angka L (misalnya antara 0,9 sampai 6,7),
maka penggunaan obat nyamuk semprot belum dapat dikatakan
140 Studi cross-sectional

BKB

Yo Tidok Jumloh

Yo 30 70 r00
Obot nyomuk
Tidok l5 135 r50

Jumloh 45 205 250

Gambar 7-3. Hasil pengamatan cross-sectional untuk mengetahui


hubungan antara pemakaian obat nyamuk semprot dengan kejadian
BKB pada balita. Rasio prevalens = 30/100 : 15/150 : 3.

secara definitif sebagai faktor risiko. Ini dapat disebabkan oleh dua
hal: (1) obat nyamuk semprot memang bukan merupakan faktor
risiko terjadinya BKB pada anak balita, atau (2) jumlah subyek yang
diteliti kurang banyak; bila ini yang terjadi, maka penambahan
jumlah subyek pasti akan mempersempit interval kepercayaan.
Dari contoh tersebut tampaklahbahwa pada rancangan penelitian
cross-sectional faktor prevalens adalah penting. Prevalens ialah
proporsi subyek yang sakit pada suatu waktu tertentu (kasus lama
dan baru), yang harus dibedakan dengan insidens pada rancangan
penelitian kohort yang berarti proporsi subyek yang semula sehat
kemudian menjadi sakit (kasus baru) dalam periode tertentu.
Walaupun istilah prevalens sering dihubungkan dengan penyakit,
tetapi dapat juga diartikan sebagai bukan penyakit, misalnya
prevalens dari faktor risiko, atau faktor lain yang akan diteliti.
Prevalens sering digunakan oleh perencana kesehatan untuk
mengetahui berapa banyak penduduk yang terkena penyakit
tertentu dan juga penting di klinik untuk mengetahui penyakit yang
banyak terdapat dalam suatu pusat kesehatan.
Muh am a d Vin ci Ghazali dkk. 141

SrunI cRoss-sE crtoNAL DENGAN BEBERAnA


FAKTOR RISIKO

Tidak jarang peneliti ingin memperoleh peran beberapa faktor


risiko untuk terjadinya sesuatu penyakit sekaligus, atau data yang
dikumpulkan tidak dapat menyingkirkan adanya faktor-faktor lain
yang mungkin merupakan faktor perancu (confounding factor).
Untuk data ini dapat dilakukan analisis multivariat. Dua jenis
analisis multivariat yang sering digunakan adalah regresi multipel
dan regresi logistik. Keduanya disinggung sekilas.
1 Bila semua faktor risiko adalah variabel berskala numerik dan
variabel efek juga berskala numerik, maka dipergunakan regresi
multipel.
Contoh
Ingin diketahui peran kadar kolesterol total, trigliserida,
hemoglobin, jumlah konsumsi rokok, dan usia terhadap
tekanan darah diastolik guru lelaki di Jakarta. Desain yang
dipilih adalah uoss-sectional. Hrubungan antara pelbagai
jenis variabel independen (faktor risiko) dengan variabel
dependen (tekanan darah) dinyatakan dalam persamaan
regresi multipel.
2. Bila variabel efek berskala nominal dan variabel bebas numerik,
ordinal, dan nominal, maka yang dipakai adalah regresi logistik.
Contoh
Dengan suatu studi cross-sectional ingin diketahui peran
faktor jenis kelamin, status gizi, usia, kadar gula puasa, dan
kadar trigliserida untuk terjadinya gangren diabetikum.
Karena variabel tergantung berskala nominal dikotom
(gangren-tidak gangren), dan faktor risikonya berskala
numerik (yakni usia, kadar gula, kadar trigliserida) dan
nominal (j enis kelamiry status gizi), maka analisis yang sesuai
adalah regresi logistik.

Baik persamaan regresi multipel maupun regresi logistik


merupakan cara yang kuat untuk menunjukkan peran banyak
142 Studi cross-sectional

variabel independen terhadap terjadinya variabel dependen, namun


mempunyai pelbagai persyaratan, keterbatasan, dan pendekatan
interpretasi tertentu, yang tidak dibahas di sini.
Pertanyaannya adalah mengapa bila teknik multivariat ini baik
serta efisien (karena sekaligus mendeteksi banyak faktor risiko)
tidak selalu digunakan dalam studi kedokteran? Jawabnya adalah
oleh karena meskipun teknik multivariat dapat mendeteksi banyak
variabel independen (biasanya sebagai faktor risiko) sekaligus,
namun dalam penghitungannya banyak digunakan asumsi agar
uji hipotesis tertentu sesuai untuk data tersebut. Misalnya untuk
uji parametrik diasumsikan bahwa data yang ada mempunyai
distribusi yang normal; dalam kenyataannya tidak jarang asumsi
tersebut tidak dipenuhi oleh data.
Padahal dalam studi apa pury asosiasi yang langsung lebih dapat
diperoleh dengan desain yang lebih sederhana. Makin sederhana
desain yang digunakan, makin sedikit asumsi yang diperlukan,
makin langsung pula asosiasi yang diperoleh. Hasil penelitian yang
menggunakan desain yang sederhana lebih mudah pula untuk
diinterpretasi. Oleh karena itulah maka studi multivariat oleh sebagian
ahli dianggap sebagai penelitian untuk membangun hipotesis
(hypothesis generating researchl, dan bukan penelitian untuk
menguji hipotesis (hypothesis testing research\. Artinya hasil
analisis multivariat dapat digunakan sebagai latar belakang untuk
mengembangkan penelitian baru yang menguji asosiasi antara
variabel independen dan variabel dependen dengan menggunakan
desain penelitian yang lebih sederhana dan terarah.

Kelebihan dan kekurangan penelitian cl o ss- sectional

Kelebihan
1 Keuntungan yang utama desain cross-sectionnl adalah desain ini
relatif mudah, murah, dan hasilnya cepat dapat diperoleh.
2 Memungkinkan penggunaan populasi dari masyarakat umum,
tidak hanya pasien yang mencari pengobatary dengan demikian
maka generalisasinya cukup memadai.
Muh am ad Vn ci Gh azali dkk. 143

J Dapat dipakai untuk meneliti banyak variabel sekaligus.


4 Jarang terancam loss to folloza-up (drop out).
5 Dapat dimasukkan ke dalam tahapan pertama suatu penelitian
kohort atau eksperimen, tanpa atau dengan sedikit menambah
biaya.
Dapat dipakai sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya yang
bersifat lebih konklusif. Misalnya suatu laporan cross-sectional
tentang hubungan antara kadar HDL kolesterol dan konsumsi
alkohol dapat merupakan dasar studi kohort (atau uji klinis)
untuk dapat memastikan adanya hubungan sebab akibat.

Kekurangan
1 Sulit untuk menentukan sebab dan akibat karena pengambilan
data risiko dan efek dilakukan pada satu saat yang bersamaan
(temporal relationship tidak jelas). Akibatnya seringkali tidak
mungkin ditentukan mana penyebab dan mana akibat (dilema
telur dan ayarr., horse and cart). Misalnya hubungan kausal
antara diare dan malnutrisi tidak dapat ditentukan pada studi
prevalens, karena diare kronik dapat menyebabkan terjadinya
malnutrisi, sebaliknya malnutrisi juga dapat menyebabkan
sindrom malabsorbsi dengan gejala diare kronik.
2 Studi prevalens lebih banyak menjaring subyek dengan masa
sakit yang panjang daripada yang mempunyai masa sakit pendek,
karena individu yang cepat sembuh atau cepat meninggal
mempunyai kesempatan yang lebih kecil untuk terjaring. Bila
karakteristik pasien yang cepat sembuh atau meninggal berbeda
dengan yang mempunyai masa sakit panjang, dapat terjadi bias,
yakni salah interpretasi hasil penelitian.
3 Dibutuhkan jumlah subyek yang cukup banyak, terutama bila
variabel yang dipelajari banyak.
4 Tidak menggambarkan perjalanan penyakif insidens, maupun
prognosis.
5 Tidak praktis untuk meneliti kasus yang sangatjarang, misalnya
kanker lambung, karena pada populasi usia 45-59 tahun
144 Studi cross-sectbnal

diperlukan paling tidak 10.000 subyek untuk mendapatkan satu


kasus. Kekurangan ini sebagian dapat diatasi dengan cara
memilih populasi dari daerah yang endemikikelompok risiko
tinggi daripada memilih populasi umum.
Mungkin terjadi bias prevalens atau bias insidens karena efek
suatu faktor risiko selama periode tertentu dapat disalahtafsirkan
sebagai efek penyakit. Misalny apada rancangan penelitian cross-
sectional didapatkan frekuensi HLA-A2 yang tinggi pada pasien
leukemia limfositik akut (LLA), memberi kesan bahwa pasien
dengan HLA-A2 mempunyai risiko yang lebih besar untuk
menderita LLA. Namun dalam penelitian lain yang dilakukan
kemudian terbukti bahwa HLA-A2 justru memiliki prognosis
yang baik, yakni umur pasien lebih panjang; akibatnya, pasien
LLA dengan HLA-A2 dijumpai lebih banyak daripada pasien
LLA dengan HLA lain.

Darrnn PUSTAKA

Dawson B, Trapp RG. Basic & clinical biostatistics. Edisi ke-3. Boston: Lange
Medical Books/Mc Graw-Hill, 2001.
Durham WH. Air pollution and student health. Arch Environ Health. 1974;
1.6:853-61.
J Fleiss |L. Statistical methods for rates and proportions. Edisi ke-2. New York:
John Wiley,1981.
4 Hulley SB, Cummings SR, Browner WS, Grady D, Newman TB, penyunting.
Designing clinical research-An epidemiologic approach. Edisi ke-2.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.
5 Lambert PM. Smoking, air pollution, and bronchitis. Lancet. 7970;l:853-7.
6 Sackett DL, Wenberg jE. Choosing the best research design for each
question. BMI. 1997 ;135:L636.
Woodward M. Epidemiology - study design and data analysis. Boca Raton:
Chapman &Hall;1999.
Muh ama d Vn ci Gh az ali dkk. 145

Secaro umum studi cross-sectional merujuk podo


penelition yang tidok mempunyoi dimensi woktu; pengukuron
pel5agai voriobel dilakukon sotu koli.
Desoin cross - sect i o na I dapat d ipokoi untuk stud i deskripf if ,

studi komporotif , studi etiologik otou foktor risiko.


Podo studi ati log i k, studi c ross -sect i o nal mencari hubungon
ontorc voriobel bebos (risiko) denganvoriobel tergontung
(ef ek). Bila foktor risiko serta ef ekberskalo nominol
dikotom, dopot diperoleh rosio prevolens, yaitu
parbondingon onforo prevalens efekpada kelompok dengon
risiko don podo kelompok tonpo risiko.
Rosio prevolens = 1 menunjukkon bohwovoriobel bebosyong
diteliti
bukon merupokon foktor risiko. Rosio prevolens >1

menunj ukkon bohwo var iobel independen tersebut


merupokon foktor risiko, don bila rosio prevolens kurong
dari 1 berorti voriobel tersebut merupokon foktor protektif.
Intervol kepercoyoon horus disertokon untuk menyingkirkon
kemungkinon intervol rosio prevolens mencokup ongko 1, yong
berorti dalom populosi, voriobel independen belum tentu
merupokan foktor risiko otou foktor protektif.
Hubungon bonyok voriabel independen dengan sotu voriobel
dependendopot diperoleh dengon mempergunokon onolisis
multivoriot; yong bonyok dipokoi odoloh Persomoon regresi
multipel don regresi logisti k.
Keuntungon sfudi cross-sectional adoloh relotif muroh,
mudoh, don hos i nyo cepot d i per ol eh. Ket erbotosonnyo
I

odoloh koreno tidok odonya dimensi woktu, dari desoinnyo


tidok dopot ditentukon mono penyebab don mono okibot.

Vous aimerez peut-être aussi