Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
P DENGAN TUMOR
PAROTIS DILAKUKAN PAROTIDEKTOMI DALAM ANESTESI UMUM DI IBS
RSU PROF DR MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
Disusun Oleh :
Mengetahui,
Pembimbing Pendidikan Pembimbing Lapangan
Ns. Maryana, S.SiT, S.Psi, S.Kep, M.Kep Imawan Dhany Atmoko, S.ST
NIP. 197504072002121002 NIP. 198206052008011010
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan “Asuhan Keperawatan Perianestesi Pada Ny.
P dengan Tumor Parotis dalam Parotidektomi Dilakukan Anestesi Umum di IBS RSUD
Prof Dr Margono Soekarjo Purwokerto” tanpa halangan apapun.
Penulisan asuhan keperawatan ini bertujuan untuk memenuhi tugas Praktik Klinik
Keperawatan Anestesi II Prodi D IV Keperawatan semester VII. Penulis menyadari bahwa
penulisan asuhan keperawatan ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Untuk itu penulis
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Direktur RSU Prof Dr Margono Soekarjo Purwokerto yang telah memberikan kesempatan
untuk melaksanakan praktik di RSU Prof Dr Margono Soekarjo Purwokert
2. Imawan Dhany Atmoko, S.ST, Rudatin Sri Haryanti, S.ST, Agus Triyanto, S.ST, S.Kep,
dan Triyanto Puji Widodo, S.ST selaku pembimbing lapangan di Instalasi Bedah Sentral
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
3. Ns. Maryana, S.SiT, S.Psi, S.Kep, M.Kep dan Ns. Ircham Syaifuddin, S.Kep., MM selaku
pembimbing akademik di Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
4. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan asuhan keperawatan ini.
Dalam penulisan asuhan keperawatan ini penulis menyadari bahwa masih terdapat
kekurangan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan
asuhan keperawatan ini. Semoga penulisan asuhan keperawatan ini bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
BAB II
LAPORAN PENDAHULUAN
C. Teori Parotidektomi
Pengobatan tumor parotis dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan jaringan
tumor semaksimal mungkin, serta mencegah tumor mengalami kekambuhan. Beberapa
jenis pengobatan yang umum dilakukan untuk tumor parotis adalah sebagai berikut:
1. Parotidectomy
Tindakan operasi mengangkat kelenjar parotis dengan melakukan preservasi nervus
fasialis.
2. Superfisial parotidectomy
Tindakan operasi mengangkat kelenjar parotis lobus superfisialis dengan melakukan
preservasi nervus fasialis.
3. Total parotidectomy
Tindakan operasi untuk mengangkat seluruh kelenjar parotis dengan melakukan
preservasi nervus fasialis.
4. Radical parotidectomy
Tindakan operasi untuk mengangkat seluruh kelenjar parotis tanpa melakukan
preservasi nervus fasialis.
5. Extended Radical parotidectomy
Tindakan operasi untuk mengangkat seluruh kelenjar parotis dan struktur sekitarnya
yang terkena keganasan termasuk nervus fasialis, os zygomaticus, os mandibula, dan
kulit pipi yang terkena dangan sayatan yang adekuat (Modul 19 Bedah KL).
D. Teori Anestesi Umum
1. Pengertian
Menurut Mangku (2010) general anestesi merupakan tindakan meniadakan
nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali
(reversible). General anestesi menyebabkan mati rasa karena obat ini masuk ke
jaringan otak dengan tekanan setempat yang tinggi. Selama masa induksi
pemberian obat bius harus cukup untuk beredar di dalam darah dan tinggal di dalam
jaringan tubuh.
2. Teknik Anestesi Umum
Menurut Mangku dan Senapathi (2010) teknik anestesi umum ada 3 macam,
yaitu :
a. Teknik anestesi umum intravena
Teknik anestesi umum intravena merupakan salah satu teknik anestesi
umum yang dilakukan dengan jalan menyuntikan obat anestesi parenteral
langsung ke dalam pembuluh darah vena
b. Teknik anestesi umum inhalasi
Teknik anestesi umum inhalasi merupakan teknik anestesi yang dilakukan
dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi berupa gas dan atau
cairan yang mudah menguap melalui alat/mesin anestesi langsung ke udara
inspirasi.
Menurut Mangku & Senapathi (2010) ada beberapa teknik general anestesi
inhalasi antara lain :
1) Inhalasi Sungkup Muka
Secara inhalasi dengan spontan, komponen trias anestesi yang dipenuhi
adalah hipnotik, analgetik dan relaksasi otot ringan. Dilakukan pada operasi
kecil dan sedang di daerah permukaan tubuh, berlangsung singkat dan
posisi terlentang
2) Inhalasi Sungkup Laryngeal Mask Airway (LMA)
Secara inhalasi dengan nafas spontan, komponen trias anestesti yang
dipenuhi adalah hipnotik, analgetik dan relaksasi otot ringan. Dilakukan
pada operasi kecil dan sedang didaerah permukaan tubuh, berlasngung
singkat dan posisi terlentang
3) Inhalasi Pipa endotracheal (PET) nafas spontan
Secara inhalasi dengan nafas spontan, komponen trias anestesti yang
dipenuhi adalah hipnotik, analgetik dan relaksasi otot ringan. Dilakukan
pada operasi di daerah kepala-leher dengan posisi terlentang, berlangsung
singkat dan tidak memerlukan relaksasi otot yang maksimal
4) Inhalasi Pipa Endotracheal (PET) nafas kendali
Inhalasi ini menggunakan obat pelumpuh otot non depolarisasi,
selanjutnya dilakukan nafas kendali. Komponen anestesi yang dipenuhi
adalah hipnotik, analgetik dan relaksasi otot. Teknik ini digunakan pada
operasi yang berlangsung lama > 1 jam (kraniotomi, torakotomi,
laparatomi, operasi dengan posisi lateral dan pronasi)
c. Teknik anestesi umum imbang
Teknik anestesi umum imbang merupakan teknik anestesi dengan
mempergunakan kombinasi obat-obatan baik obat anestesi intravena maupun
obat anestesi inhalasi atau kombinasi teknik anestesi umum dengan analgesia
regional untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang
3. American Society of Anestesiologist (ASA)
Setiap pasien menurut Pramono (2017) harus dinilai status fisiknya untuk
menunjukkan apakah kondisi tubuh normal atau mempunyai kelainan yang
memerlukan perhatian khusus. Status fisik dinyatakan dalam status ASA.
Tabel 2. Status Fisik Pasien
Kelas Status Fisik Contoh
I Pasien normal (sehat), tidak ada gangguan Pasien sehat
organic, fisiologis dan kejiwaan, tidak
termasuk sangat muda dan sangat tua, sehat
dengan toleransi latihan yang baik
II Pasien memiliki kelainan sistemik ringan. Hipertensi, riwayat asma,
Tidak ada keterbatasn fungsional, memiliki diabetes mellitus
penyakit yang terkendali dengan baik dari satu terkontrol
sitem tubuh
III Pasien dengan kelainan sistemik berat, Gagal jantung kongestif
terdapat beberapa keterbatasan fungsional, terkontrol, angina stabil,
memiliki penyakit lebih dari satu sistem hipertensi tidak
tubuh, tidak ada bahaya kematian terkontrol, gagal ginjal
kronis
IV Pasien dengan kelainan sistemik berat yang Angina tidak stabil
mengancam jiwa. Pasien dengan setidaknya
penyakit berat yang tidak terkontrol
V Pasien dengan atau tanpa operasi diperkiraan Sindrom sepsis dengan
meninggal dalam 24 jam ketidakstabilan
hemodinamik
4. Obat-obat Anestesi Umum
Menurut Pramono (2017), obat-obat anestesi umum dikelompokan menjadi
hipnotik, sedative, analgesic dan pelumpuh otot (muscle relaxant).
1) Hipnotik
Sesuai namanya, golongan obat ini akan menimbulkan tidur yang ringan
tanpa pasien merasa mengantuk sehingga pasien langsung tertidur begitu
terpapar obat ini. Golongan hipnotik dapat berupa gas dan cairan. Untuk
jenis gas, misalnya: halotan, sevofluran, isofluran dan ethrane, cara dihirup
melalui sungkup muka. Setelah tercapai hypnosis atau tertidur, sungkup
muka dapat disambungan dengan LMA atau pipa endotrakea.
Pada dosis tertentu,obat hipnotik cair yang diberikan secara intravena,
misalnya: propofol, etomidat, ketalar, dan pentotal dapat juga digunakan
sebagai sedative. Semua obat hipnotik mempunyai efek depresimiokardium
dan respirasi kecuali ketalar
a) Hipnotik berupa cairan
(1) Propofol
Propofol bekerja dengan cara menghambat kerja neurotransmitter.
Biasanya pasien mengeluh nyeri saat disuntikkan obat ini, untuk
mengurangi nyeri diperlukan lidokain 2% dalam campuran sediaan
propofol
(2) Etomidat
Etomidat adalah senyawa yang secara fisis mirip propofol. Efek
samping etomidat terjadinya mioklonus pada 30-60% pasien.
(3) Ketamin
Ketamin memiliki efek memblokir reflek polisinatonik di sumsum
tulang belakang dan menghambat efek neurotransmitter di area otak
tertentu. Efek samping ketamine meningkatkan tekanan darah arteri,
takikardi, halusinasi dan delirium.
(4) Tiopental
Tiopental bersifat hipnoyik kuat. Tiopental menyebabkan pelepasan
histamine sehingga menimbulkan bronkospasm. Efek samping
thiopental jika diberikan secara cepat adalah apnea dan penurunan
tekanan darah
b) Hipnotik berupa gas
(1) Halotan
Penggunaan halotan menyebabkan depresi miokardium sehingga
menurunkan aliran darah. Halotan menyebabkan penurunan bersihan
(clearance) obat yang di metabolism di ginjal. Halotan merupakan
obat bronkodilator.
(2) Isofluran
Isofluran tidak mudah terbakar. Isofluran menyebabkan sedikit
depresi miokardium dan merupakan vasodilator kuat arteri koroner.
(3) Sevofluran
Sevofluran biasanya digunakan untuk induksi pada anak-anak,
namun juga bias digunakan untuk pasien dewasa. Sevofluran
memudahkan pasien tertidur hanya dalam satu tarikan nafas dan
membuat otot rangka lemas sehingga memudahkan untuk tindakna
intubasi.
(4) Desfluran
Desfluran mempunyai sifat dapat mendidih pada suhu kamar.
Desfluran tidak bersifat nefrotoksik maupun hepatotoksik sehingga
baik untuk pasien gagal ginjal namun desfluran mempunyai
kelemahan yaitu pasien mudah bangun.
(5) Nitrous Oxide (N2O)
Nitrous oxide merupakan gas anestesi yang tidak berwarna dan
berbau, N2O bersifat sebagai analgesik kuat. Pemberian N2O harus
dihentikan terlebih dahulu sebelum menghentikan penggunaan
oksigen, hal tersebut diperlukan untuk mencegah apnea.
2) Sedatif
Obat sedative dapat menyebabkan pasien merasa tenang, mengantuk dan
menyebabkan pasien lupa tentang kejadian selama operasi. Contoh obat
sedative adalah midazolam dan diazepam.
3) Analgetik
Obat analgetik dibagi menjadi 2 yaitu golongan NSAID (nonsteroidal
anti-inflammatory drug) dan golongan opioid.
a) Golongan NSAID
Golongan NSAID berikan pada pasien untuk mengatasi nyeri
pasca operasi. Obat yang termasukgolongan NSAID adalah
parasetamol, ketorolac dan natrium diklofenak.
b) Golongan opioid
Golongan opioid digunakan untuk menghilangkan nyeri selama
tindakan operasi. Obat golongan opioid yaitu morfin, petidin, tramadol,
fentanyl dan sufenta. Dari kelima obat tersebut, sufenta adalah obat
analgeetik yang paling kuat. Efek samping pemberian opioid adalah
depresi pernafasan.
4) Pelumpuh otot
Obat pelumpuh otot digunakan untuk membantu proses intubasi. Obat
pelumpuh otot dibagi menjadi 2 golongan yaitu nondepolarisasi dan
depolarisasi.
a) Golongan nondepolarisasi
Obat yang termasuk dalam golongan nondepolarisasi adalah
rokuronium, atrakurium, vekurium dan pavulon.
b) Golongan depolarisasi
Obat yang termasuk dalam golongan depolarisasi adalah suksinil
kolin. Suksinil kolin menyebabkan pasienmengeluh myalgia pasca
operasi dan gangguan hipermetabolisme pada otot skelet.
5. Komplikasi Anestesi Umum
Menurut Pramono (2017), anestesi umum mempunyai risiko
komplikasi. Risiko komplikasi anestesi umum biasanya minimal pada pasien
yang optimal (sehat). Risiko komplikasi yang mungkin terjadi berupa kematian
(jarang terjadi), luka pada pita suara, serangan jantung, infeksi paru, gangguan
mental (sementara), stroke, trauma pada gigi atau lidah, terbangun saat
teranestesi (jarang).
Anestesi umum selain dapat menyebabkan komplikasi setelah 24 jam,
anestesi umum juga dapat menyebabkan komplikasi selama anestesi yaitu saat
induksi anestesi dan setelah ekstubassi. Komplikasi yang bisa terjadi saat
induksi dan setelah ekstubasi salah satunya adalah komplikasi airway.
Komplikasi airway selama intra anestesi merupakan reaksi/akibat yang tidak
diinginkan yang terjadi pada saluran nafas pasien selama pasien dilakukan
tindakan anestesi.
Menurut Morgan, dkk (2010), komplikasi airway dapat terjadi saat
intubasi dan setelah ekstubasi. Komplikasi-komplikasi tersebut meliputi
hipoksia, hiperkarbia, trauma gigi dan jalan nafas, posisi ETT yang salah,
laringospasme dan bronkospasme.
6. Stadium
Guedel membagi anestesi umum dengan eter kedalam 4 stadium yaitu:
a. Stadium I (analgesi) dimuai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya
kesadaran pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat
analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan seperti
pencabutan gigi dan biopsi kelenjar dapat dilakukan pada stadium ini.
b. Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran
dan refleksi bulu mata sampai pernapasan kembali teratur pada stadium ini
terlihat adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pasien
tertawa, berteriak, menangis, pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apne dan
hiperpnu, tonus otot rangka meningkat, inkontinensia urin dan alvi dan muntah.
Stadium ini harus cepat dilewati karena dapat menyebabkan kematian.
c. Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai
pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:
1) Plana I : pernapasan teratur dan spontan, dada dan perut seimbang, terjadi
gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil miosis, refleks cahaya
ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada dan belum
tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna
2) Plana 2 : pernapasan teratur dan spontan, perut dan volume dada tidak
menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak terfiksasi ditengah,
pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang dan
refleks laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi.
3) Plana 3 : pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis,
lakrimasi tidak ada, pupil midriassis dan sentral, reflex laring dan peritoneum
tidak ada, relaksaai otot lurik hamper sempurna (tonus otot semakin
menurun).
4) Plana 4 : pernapasan tiak teratur oleh perut karena otot intercostal paralisis
total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, reflex sfingterani dan
kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat
menurun).
d. Stadium IV (paralisis medulla oblongata) dimulai dengan melemahnya
pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan darah
tidak dapat diukur, denyut jantung berhenti dan akhirnya terjadi kematian.
Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan
pernapasan buatan.
7. Rumatan Anestesi
Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan
cara mengatur konsentrasi obat anestesi di dalam tubuh pasien. Jika konsentrasi
obat tinggi maka akan dihasilkan anestesi yang dalam, sebaliknya jika
konsentrasi obat rendah, maka akan didapat anestesi yang dangkal. Anestesi
yang ideal adalah anestesi yang adekuat. Untuk itu diperlukan pemantauan
secara ketat terhadap indikator-indikator kedalaman anestesi. Rumatan
intravena dengan menggunakan opioid dosis tinggi fentanil 10- 50 μg/ kgBB.
Rumatan inhalasi bisanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah
halotan 0,5- 2 vol % atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4% atau sevofluran
2-4% tergantung pernapasan pasien spontan, dibantu atau dikendalikan.
8. Pemulihan Anestesi
Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri
dengan menghentikan pemberian obat anestesi. Pada anestesi inhalasi
bersamaan dengan penghentian obat anestesi aliran oksigen dinaikkan, hal ini
disebut oksigenisasi. Dengan oksigenisasi maka oksigen akan mengisi tempat
yang sebelumnya ditempati oleh obat anestesi inhalasi diaveoli yang berangsur-
angsur keluar mengikuti udara ekspirasi.
Semakin tinggi tekanan parsiel oksigen di alveoli (akibat oksigenisasi)
difusi kedalam darah semakin cepat, sehingga kadar oksigen di dalam darah
meningkat, menggantikan posisi obat anestesi yang berdifusi menuju ke alveoli.
Akibat terjadinya difusi obat anestesi inhalasi dari dalam darah menuju ke
alveoli, maka kadarnya di dalam darah makin menurun.
Selanjutnya pada penderita yang dianestesi dengan respirasi spontan
tanpa menggunakan pipa endotrakheal maka tinggal menunggu sadarnya
penderita, sedangkan bagi penderita yang menggunakan pipa endotrakheal
maka perlu dilakukan ekstubasi (melepas pipa ET).
Ekstubasi bisa dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi dalam
dan dapat juga dilakukan setelah penderita sadar. Ekstubasi pada keadaan
setengah sadar membahayakan penderita, karena dapat terjadi spasme jalan
napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya tekanan intra okuli
dan naiknya tekanan intra cranial. Ekstubasi pada waktu penderita masih
teranestesi dalam mempunyai resiko tidak terjaganya jalan nafas, dalam kurun
waktu antara tidak sadar sampai sadar. Tetapi ada operasi tertentu ekstubasi
dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi dalam. Pada penderita yang
mendapat balance anestesi maka ekstubasi dilakukan setelah napas penderita
adekuat. Untuk mempercepat pulihnya penderita dari pengaruh muscle relaxant
maka dilakukan reverse, yaitu memberikan obat antikolinesterase.
E. Teori Laringeal Mask Airway (LMA)
1. Pengertian
Laringeal Mask Airway (LMA) adalah alatbantu jalan nafas supraglotis yang
paling popular setelah Endotracheal Tube (ETT). Pemasangan LMA dilakukan
dengan menempatkan sungkup LMA di area hipofaring menutupi pintu masuk laring
(Harahap, 2016).
2. Macam-macam LMA
a. LMA Klasik
LMA klasik tersedia dalam berbagai ukuran yang cocok untuk semua
penderita mulai dari bayi sampai dewasa. Dalam memilih ukuran LMA tidak
selalu tepat maka harus menyediakan beberapa ukuran sebagai cadangan.
b. Flexibel LMA
LMA fleksibel memiliki tabung saluran udara fleksibel yang
memungkinkan untuk ditempatkan jauh dari bidangbedah. LMA fleksibel
dapatmenjaga kebersihan glottis atau trakea dari darah atau cairan. Tabung
saluran udara pada LMA klasik memiliki diameter lebih kecil dari LMA
lainnya.
Manfaat klinis LMA fleksibel:
1) Cocok untuk prosedur kepala dan leher
2) Tabung udara dapat ditempatkan jauh dari bidang bedah tanpa kehilangan
segel
3) Tabung diperkuat oleh kawat sehingga menolak kinking dan manset
dislodgment
4) Tersedia dalam ukuran anak dan dewasa
c. Proseal LMA
Proseal LMA merupakan LMA yang memiliki tekanan tinggi sampai 30
cm H2O mempunyai segel ketat terhadap pembukaan glottis tanpa adanya
peningkatan tekanan mukosa sehingga jalan nafas lebih aman. Terdapat nuilt-
in tabung drain dirancang untuk menyalurkan cairan pergi dan memungkinkan
akses lambung untuk pasien dengan GERD (Gastro Exophageal Reflex
Disease).
d. Fashttrach LMA
LMA ini dirancang untuk saluran udara darurat dan untuk resusitasi
cardiopulmonary. LMA fashttrach memfasilitasi ventilasi terus menerus dan
intubasi (digunakan untuk mengtasi intubasi sulit dan gagal)
e. Unique LMA = single use
f. Supreme LMA = single use
3. Indikasi penggunaan LMA (Morgan, 2010):
a. Digunakan untuk prosedur anestesi jika tindakan intubasi mengalami kegagalan
b. Pasien dengan intubasi sulit
c. Penatalaksanaan kesulitan jalan nafas yang tidak dapat diperkirakan
d. Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak sadarkan diri
e. Pada operasi kecil atau sedang di daerah permukaan tubuh berlangsung singkat
dan posisi terlentang
4. Kontraindikasi penggunaan LMA
a. Pasien dengan resiko aspirasi (tidak puasa)
b. Pasien yang membutuhkan ventilasi mekanik dalam jangka waktu yang lama
c. Pada pasien yang mengalami penurunan compliance paru, karena cuff pada
LMA yang bertekanan rendah akan mengalami kebocoran pada tekanan
inspirasi yang tinggi dan akan terjadi pengembangan lambung
d. Keterbatasan kemampuan membuka mulut dan ekstensi leher, menyebabkan
kesulitan memasukan LMA jauh ke hipofaring
e. Ventilasi paru tunggal
f. Kelainan faring
g. Obstruksi faring
h. Pasien-pasien dengan refleks jalan nafas atas yangintack karena insersi dapat
memicu terjadinya laryngospasme
5. Komplikasi Laryngeal Mask Airway (LMA)
Menurut Nolan et al (2005) komplikasi pemasangan LMA meliputi:
a. Komplikasi Mekanikal (kinerja LMA sebagai alat):
1) Gagal insersi (0,3 – 4%)
2) Inefffective seal (<5%)
3) Malposisi (20 – 35%)
b. Komplikasi Traumatik (kerusakan jaringan sekitar):
1) Tenggorokan lecet/nyeri tenggorokan (0-70%)
2) Disfagia (4-24%)
3) Disartria (4-47%)
c. Komplikasi Patofisiologi (efek penggunaan LMA pada tubuh):
1) Batuk (<2%)
2) Muntah (0,02 – 5%)
3) Regurgutasi yang terdeteksi (0 – 80%)
4) Regurgitasi klinik (0,1%)
1) Sakit tenggorokan
2) Aspirasi
3) Lidah mati rasa atau sianosis memastikan bahwa lidah tidak terjebak diantara
gigi dan LMA
4) Laringospasme
5) Jika pasien tidak pingsan atau diberikan anestesi ringan, laringospasme dapat
terjadi
6) Hipersekresi mucus
7) Bronkospasme
8) Penurunan saturasi oksigen
6. Faktor yang mempengaruhi komplikasi airway selama anestesi :
a. Infeksi saluran nafas akut
b. Riwayat asma
c. ISPA (batuk, pilek)
7. Ukuran LMA
Tabel. Berbagai macam ukuran LMA
Ukuran LMA Berat Badan Volume Balon
(kg) (ml)
1 <5 4
1,5 5 – 20 7
2 10 -20 10
2,5 20 – 30 14
3 30 – 50 20
4 50 - 70 30
5 >70 40
Sumber : Morgan et al (2010)
A. Pengkajian
1. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Klien mengatakan merasa nyeri :
P : Nyeri pada pipi kanan ketika digunakan untuk mengunyah makanan
Q : Seperti dipukul benda tumpul
R : Pipi kanan menjalar ke belakang telinga dan kepala
S : Skala nyeri 5
T : Hilang timbul
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien mengatakan dibawa ke RSU Prof Dr. Margono karena
mengeluhkan nyeri yang hilang timbul di belakang pipi kanan sejak
kurang lebih 3-4 tahun yang lalu, terdapat benjolan sebesar telur ayam,
tidak berdarah, tidak keluar nanah dan terasa pusing. Sebelumnya
pasien melakukan pemeriksaan di Poliklinik THT pada hari Rabu, 19
Desember 2018 kemudian pasien masuk ke bangsal Teratai pada pukul
12.30 WIB.
Dokter menjelaskan bahwa terdapat tumor parotis dan rencana
dilakukan operasi parotidektomi pada hari Kamis, 20 Desember 2018.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Klien mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit asma,
diabetes mellitus, maupun riwayat penyakit menular dan menurun
lainnya. Klien tidak memiliki cacat tubuh. Klien mengatakan belum
pernah dioperasi sebelumnya
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga Klien mengatakan tidak ada anggota keluarga lain
yang mengalami penyakit serupa dengan klien. Tidak ada anggota
keluarga yang mempunyai penyakit menular dan keturunan seperti
TBC, asma, diabetes mellitus, dll
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Baik
b. Kesadaran : Compos mentis (E4,V5,M6)
c. AMPLE
Alergi : Tidak ada
Medication :-
Post illness :-
Last meal : pukul 03.00 WIB
Environment :-
d. Tanda Vital :
TD : 114/71 mmHg;
N : 71 x/mnt;
RR : 20 x/mnt
S : 36oC
e. Pemeriksaan Fisik
Kepala
bentuk kepala mechochepal, kulit kepala nampak bersih, tidak ada lesi,
terdapat benjolan sebesar telur ayam dan nyeri tekan di pipi kanan
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor 3/3
Telinga
bentuk simestris, tidak ada gangguan fungsi pendengaran tidak ada nyeri
tekan
Hidung
Simetris, tidak ada secret, tidak ada nyeri tekan
Mulut : mulut klien bersih, tidak ada gigi palsu, gigi bersih, mukosa
bibir kering, tidak terdapat stomatitis, skore mallampati grade 1
Leher : tidak ada pembesaran tiroid , tidak ada pembengkakan vena
jugularis, tidak ada nyeri tekan
Kulit : lembab , tidak ada lesi, tidak ada bekas luka, turgor kulit elastis,
akral dingin
Dada
1) Paru-paru
Inspeksi : tidak ada retraksi dada, pergerakan dada kanan dan
kiri sama, tidak ada lesi
Palpasi : ekspansi dada maksimal, tidak ada nyeri tekan
Perkusi : suara dull pada ICS ke1-3 dada sebelah kiri , serta ICS
1- 4 pada dada kanan. Suara sonor pada ICS ke 4-6 dada
kiri dan ICS 5-6 dada kanan
Auskultasi : suara nafas vesikuler
2) Jantung
Inspeksi : simetris, tidak tampak kardiomegali
Palpasi : tidak ada pergeseran ictus cordis, ictus cordis teraba
sama kanan dan kiri
Perkusi : tidak ada pelebaran batas jantung, suara redup
Auskultasi : suara jantung S1, S2, regular tidak ada suara tambahan
Abdomen
Inspeksi : tidak ada distensi abdomen
Auskultasi : bising usus 6x/menit
Perkusi : kuadran 1-4 timpani
Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan
Genitalia : tidak terpasang kateter
Ekstremitas
1) Atas
Inspeksi : terpasang infus RL 20 tpm pada tangan sebelah kanan,
tidak ada edema, tidak ada kelainan jari
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
2) Bawah
Inspeksi : tidak ada edema, tidak terdapat bekas luka
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
3. Pemeriksaan psikologis
Pasien mengatakan sedikit cemas, pasien belum pernah menjalani pembedahan
sebelumnya.
4. Kebutuhan Cairan
a. Monitoring cairan
Kebutuhan cairan pasien selama operasi yang harus terpenuhi
1) Rumus maintenance (M): 2cc/kgBB
2cc/80kg = 160 ml
2) Rumus pengganti puasa (PP):
Lama puasa (jam) x maintenance
8 jam x 160 cc = 1280 ml
3) Rumus stress operasi (SO):
Jenis operasi (b/s/k) x BB
6 x 80 = 480 ml
b. Prinsip pemberian cairan durante operasi (Jam I-IV)
1) Jam I : M + ½ PP + SO = 160 ml + 1280 ml + 480 ml = 1280 ml
2) Jam II dan III : M + ¼ PP + SO = 160 ml + 480 ml+ 320 ml= 960 ml
3) Jam IV : M + SO = 160 ml + 320 ml = 480 ml
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Darah Lengkap
12 Desember 2018
Hemoglobin 14.2 g/dL 11.2-17.3
Leukosit 11240 /uL 3800-10600
Hematokrit 43 40-52
Eritrosit 5.1 % 4.4-5.9
Trombosit 311.000 /uL 150.000-440.000
MCV 84.0 fL 80-100
MCH 27.7 pg 26-34
MCHC 33.0 % 32-36
Hitung Jenis
Basofil 0.5 % 0-1
Eosinofil 1.1 % 2-4
Limfosit 22.3 % 25-40
Monosit 4.4 % 2-9
PT 9.5 Detik 9.9 – 11.8
APTT 30.0 detik 26.4 – 37.5
Kimia Klinik
12 Desember 2018
Glukosa Sewaktu 111 mg/dL < 200
Sero Imunologi
12 Desember 2018
HbsAg Non reaktif Non reaktif
b. Hasil Pemeriksaan EKG 19 Desember 2018
Sinus Rhytme, tidak ada gangguan pada jantung
c. Hasil Pemeriksaan Foto Thorax 12 Desember 2018
Cor : CTR < 50%
Bentuk dan letak jantung normal
Pulmo : Corakan vaskuler normal
Tak tampak bercak pada kedua lapangan paru
Diafragma kanan kiri intak
Sinus kostofrenikus kanan kiri lancip
Sistema tulang yang tervisualisasi intak
Kesan : Cor tak membesar
Pullmo dalam batas normal
6. Kesimpulan : Status Fisik ASA 1
7. Rencana Anestesi
General anestesi dengan LMA
a. Persiapan pasien
1) Mengecek kelengkapan status pasien
2) Mengklarifikasi pasien puasa dari jam berapa
3) Memposisikan pasien
4) Mengecek TTV
5) Mengklarifikasi riwayat asma, DM, HT dan alergi
b. Pesiapan mesin
1) Mengecek sumber gas apakah sudah terpasang dan tidak ada kebocoran
2) Mengecek isi volatil agent
3) Mengecek kondisi absorben
4) Mengecek apakah ada kebocoan mesin
c. Persiapan alat :
1) S (Scope) : Laryngoscope dan stesoscope
2) T (Tube) : LMA No.3
3) A (Aiway) : OPA
4) T (Tape) : Plester ± 25 cm 2 lembar
5) I (Introducer) : Mandrin dan stilet
6) C (Conector)
7) S (Suction) : Spuit, Kanul dan selang suction
d. Persiapan obat
1) Induksi : Propofol 100 mg dan Sevoflurane
2) Analgetik : Fentanyl 50 mcg
3) Pelumpuh otot : Rocuronium 30 mg
4) Pre medikasi : Ondansetron 4 mg
5) Emegency :
a) Epinefrin 25 mg
b) Dexametasone 4 mg
c) Atropin 1mg
d) Ephidrine 50 mg
Henti napas
0
3 Tekanan darah :
Berubah sampai 20% dari 2
prabedah 2
A. Analisa Data
No. Tgl/Jam Data Masalah Etiologi
1. Kamis, Pre Anestesi Nyeri akut Agen cedera
20/12/2018 S: biologis
14.15 WIB Klien mengatakan merasa
nyeri :
- P : Nyeri pada pipi kanan
ketika digunakan untuk
mengunyah makanan
- Q : Seperti dipukul benda
tumpul
- R : Pipi kanan menjalar
ke belakang telinga dan
kepala
- S : Skala nyeri 5
- T : Hilang timbul
O:
- Terdapat benjolan
sebesar telur ayam, tidak
berdarah, tidak keluar
nanah
- TD : 114/71 mmHg
- N : 71 x/mnt
- RR : 20 x/mnt
2. Kamis, S : Pasien mengatakan Ansietas Kurang
20/12/2018 sedikit cemas, pasien belum pengetahuan
14.17 WIB pernah menjalani masalah
pembedahan sebelumnya pembiusan/
O: operasi
- Pasien tampak gelisah
TD :144/102mmHg;
N : 85 x/mnt;
RR : 22 x/mnt
3. Kamis, Intra Anestesi Resiko aspirasi Penurunan
20/12/2018 S:- tingkat
14.30 WIB O: kesadaran
- Pasien tidak sadar
- RR : 20 x/menit
- terpasang LMA no. 3
4. Kamis, S:- Resiko Vasodilatasi
20/12/2018 O: gangguan pembuluh darah
14.45 WIB - TD : 100/76 mmHg keseimbangan dampak obat
- N : 69 x/menit cairan dan anestesi
- RR : 20 x/menit elektrolit
- akral dingin
- bibir tampak kering
5. Kamis, Post Anestesi Resiko Mukus banyak,
kecelakaan
20/12/2018 S:- sekresi tertahan
cedera
16.45 WIB O: efek dari obat
- terdapat darah dan general anestesi
lendir di mulut dan
hidung pasien
- nafas spontan
dengan bantuan alat
6. Kamis, S: Resiko Efek anestesi
kecelakaan
20/12/2018 O: umum
cedera
16.50 WIB - Pasien post anestesi
general anestesi
LMA
- Pasien belum sadar
penuh
- Pasien bergerak tak
terkontrol (mulai
sadar atau bangun)
- TD = 123/85 mmHg
- N = 72 x/menit
- S = 36OC
- RR = 20 x.menit,
- SpO2 = 100%
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen cedera biologis ditandai dengan Klien mengatakan merasa nyeri
pada pipi kanan ketika digunakan untuk mengunyah makanan, seperti dipukul
benda tumpul, Pipi kanan menjalar ke belakang telinga dan kepala, skala nyeri 5,
hilang timbul.
2. Ansietas b.d kurang pengetahuan masalah pembiusan/ operasi ditandai dengan
pasien tampak gelisah, pasien mengatakan sedikit cemas, pasien belum pernah
menjalani pembedahan sebelumnya.
3. Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran ditandai dengan
pasien tidak sadar, RR : 20 x/menit, terpasang LMA no. 3
4. Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b.d vasodilatasi pembuluh
darah dampak obat anestesi di tandai dengan TD : 100/76 mmHg, N : 69 x/menit,
RR : 20 x/menit, akral dingin, bibir tampak kering
5. Bersihan napas tidak efektif b.d mukus banyak tertahan efek dari obat general
anestesi di tandai dengan terdapat darah dan lendir di mulut dan hidung pasien ,
napas spontan dengan bantuan alat
6. Resiko kecelakaan cidera berhubungan dengan efek anestesi umum ditandai
dengan pasien post op general anestesi LMA no. 3, belum sadar penuh, pasien
mulai bergerak sadar tak terkontrol, TD = 123/85 mmHg, N = 72 x/menit, S = 36OC,
RR = 20 x.menit, SpO2 = 100%
C. Intervensi Keperawatan
4. Resiko gangguan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Kaji tingkat kekurangan volume cairan.
keseimbangan cairan keseimbangan cairan dalam ruangan intrasel Kolaborasi untuk pemberian cairan dan elektrolit.
dan elektrolit b/d dan ekstrasel tubuh tercukupi dengan kriteria Monitor masukan dan keluaran cairan dan
vasodilatasi hasil: elektrolit.
pembuluh darah obat Akral kulit hangat Monitor haemodinamik.
anestesi Haemodinamik dalam batas normal Monitor perdarahan.
TD 120-140/80-90 mmHg, nadi 80-
100 x/menit, RR 12-20 x/menit
Masukan cairan dan keluaran cairan
seimbang
5. Post Anestesi Setelah pasien sadar dari efek anestesi umum Atur posisi pasien
Bersihan napas tidak bersihan jalan nafas efektif dengan kriteria Pantau tanda-tanda ketidakefektifan dan pola
efektif b/d mukus hasil : nafas
banyak tertahan efek Pola nafas normal: frekuensi Pantau respirasi dan status oksigen
dari obat general kedalaman, dan irama Buka jalan nafas
anestesi Suara napas bersih Bersihkan sekresi
Tidak sianosis Auskultasi suara nafas
6. Resiko kecelakaan Pasien aman selama proses anestesi dan post Tingkatkan keamanan lingkungan sekitar pasien
cidera berhubungan anestesi dengan kriteria : Jaga posisi pasien
dengan efek anestesi Pasien tenang Pasang pengaman tempat tidur
Pasien aman tidak jatuh Pantau efek anestesi yang timbul
Pasien mampu untuk bergerak yang Latihan mengangkat atau menggerakan
bertujuan dan berkomunikasi ekstremitas
Lakukan penilaian aldrete skor
D. Implementasi dan Evaluasi
Tanggal,
Diagnosa Implementasi Evalusi Paraf
waktu
Kamis, Pre Anestesi mengkaji nyeri termasuk S : Pasien mengatakan nyeri sedikit berkurang
20/12/2018 Nyeri akut b.d lokasi, karakteristik, durasi setelah nafas dalam, klien mengatakan merasa nyeri
14.16 WIB agen cedera frekuensi, kualitas dan faktor :
biologis presipitasi - P : Nyeri pada pipi kanan ketika digunakan untuk
Mengobservasi reaksi non mengunyah makanan
verbal dan ketidaknyamanan - Q : Seperti dipukul benda tumpul
Mengajarkan tentang teknik - R : Pipi kanan menjalar ke belakang telinga dan
non farmakologi nafas dalam kepala
- S : Skala nyeri 4
- T : Hilang timbul
O : pasien tampak lebih tenang
A : nyeri akut teratasi sebagian
P : observasi reaksi nonverbal pasien
Kamis, Cemas b.d kurang Mengorientasikan dengan S : Pasien mengatakan siap dilakukan pembiusan dan
20/12/2018 pengetahuan tim anestesi/kamar operasi operasi, pasien mengatakan lebih tenang setelah
14.18 WIB masalah Menjelaskan jenis prosedur berdoa
pembiusan/operasi tindakan anestesi yang akan O :
dilakukan - Pasien tampak lebih tenang dan kooperatif
Memberi dorongan pasien - TD :134/97mmHg;
untuk mengungkapkan - N : 90 x/mnt;
perasaan - RR : 21 x/mnt
Mendampingi pasien untuk A : Cemas teratasi
mengurangi cemas P : Monitor TTV
Mengajarkan teknik relaksasi
nafas dalam
Menganjurkan untuk berdoa
menurut kepercayaan
Kamis, Intra Anestesi Mengatur posisi miring S:
20/12/2018 Resiko aspirasi pasien -
15.00 WIB berhubungan Memantau tanda-tanda O:
dengan penurunan aspirasi - Pasien tidak muntah
tingkat kesadaran Memantau bersihan jalan - Pasien mampu menelan
nafas dan status paru - Tidak ada suara paru tambahan
Melakukan penilaian aldrete dan tiang infus berada pada sebelah samping
A. Kesimpulan
Asuhan keperawatan merupakan serangkaian tindakan atau proses keperawatan
anestesi yang diberikan kepada seorang pasien pada sebuah pelayanan kesehatan
dengan cara mengikuti aturan dan kaidah keperawatan dan berdasarkan pada masalah
kesehatan pasien. Asuhan keperawatan peri anestesi meliputi pra anestesi, intra anestesi
dan post anestesi. peran dari seorang perawat anestesi dalam asuhan keperawatan
anestesi adalah sebagai pelaksana atau pemberi asuhan keperawatan. Setiap tahap
dalam proses anestesi seorang perawat selalu melakukan pengkajian kepada pasien
pasien, hal ini membuktikan bahwa proses asuhan keperawatan merupakan proses yang
berkesinambungan dan tidak terpisah.
Penatalaksanaan Asuhan Keperawatan Perianestesi Pada Ny. P dengan
Tumor Parotis dalam Parotidektomi Dilakukan Anestesi Umum di IBS RSUD
Prof Dr Margono Soekarjo Purwokerto didapatkan 6 diagnosa keperawatan anestesi
yaitu :
7. Nyeri akut b.d agen cedera biologis, masalah teratasi dengan 2 tujuan semua
tercapai
8. Ansietas b.d kurang pengetahuan masalah pembiusan/ operasi, masalah teratasi
dengan 4 tujuan semua tercapai
9. Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, masalah teratasi
dengan 3 tujuan semua tercapai
10. Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b.d vasodilatasi pembuluh
darah dampak obat anestesi, masalah teratasi dengan 3 tujuan semua tercapai
11. Bersihan napas tidak efektif b.d mukus banyak tertahan efek dari obat general
anestesi, masalah teratasi dengan 3 tujuan semua tercapai
12. Resiko kecelakaan cidera berhubungan dengan efek anestesi umum, masalah
teratasi dengan 3 tujuan semua tercapai
B. Saran
Seorang perawat anestesi harus mahir dalam melakukan pengkajian, merumuskan
diagnosa, menetapkan intervesi, melaksanakan implementasi dan mengevaluasi respon
pasien pasien pada tahap pre anestesi, intra anestesi hingga post anestesI
DAFTAR PUSTAKA
Harahap, Y.S. 2016. Perbandingan Angka Keberhasilan Pemasangan Laryngeal Mask Airway
(LMA) Jenis Klasik pada Usaha Pertama dantara Teknik Balon Dikempiskan dan
Dikembangkan Sebagian pada Pasien Dewasa. Jurnal Anestesi Perioperatif.
Judith.M.Wilkison dan Nancy. R. 2013. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Ed 9. Jakarta:
EGC
Latief, S. A., Kartini, A., Suryadi, M., Dahlan, R. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Mangku, G. dan Senapathi, T. GA. 2017. Buku Ajar Ilmu Anestesi Dan Reanimasi. Jakarta:
Indeks
Miller, R. 2010. Miller’s Anesthesia 7th. Amerika : Churcill Livingstone Elsevier.
Mansjoer, Arief. 2010. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Jakarta :Media Aesculapius.
Modul 19 Bedah KL. http://bedah.usu.ac.id/images/Modul/Modul_KL/19-
PAROTIDEKTOMI-REV.pdf (Diakses pada tanggal 21 Desember 2018 pukul 16.21
WIB)
Pramono, Ardi. 2017. Buku Kuliah Anestesi. Jakarta: EGC.
Purnomo, B.B. 2010. Pedoman Diagnosis & Terapi SMF Urologi Lab Ilmu Bedah. Malang:
Universitas Kedokteran Brawijaya.
Wijayaningsih, Kartika Sari. 2013. Standar Asuhan Keperawatan. Jakarta : Trans Info Medika.