Vous êtes sur la page 1sur 23

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hepatoma merupakan tumor ganas primer di hati yang berasal dari
sel parenkim atau epitel saluran empedu. Yang pertama (dikenal sebagai
karsinoma hepato seluler ) merupakan 80-90% keganasan hati primer, yang
terakhir disebut sebagai kolangio karsinoma. Sekitar 75% penderita karsinoma
hepato selular mengalami sirosis hati, terutama tipe alkoholik dan pasca
nekrotik.
Karsinoma hepato seluler atau hepatoma merupakan kanker hati primer
yang paling sering ditemukan daripada tumor hati lainnya seperti limfoma
maligna,fibrosarkoma dan hemangio endotelioma. Di Amerika Serikat sekitar
80% - 90% dari tumor ganas hati primer adalah hepatoma. Angka kejadian
tumor ini di Amerika Serikat hanya sekitar 2% dari seluruh karsinoma yang
ada. Sebaliknya di Afrika dan Asia hepatoma adalah karsinoma yang paling
sering ditemukan dengan angka kejadian 100/100.000 populasi.
Pria lebih banyak daripada wanita. Lebih dari 80% pasien hepatoma
menderita sirosis hati Hepatoma biasa dan sering terjadi pada pasien dengan
sirosis hati yang merupakan komplikasi hepatitis virus kronik. Hepatitis virus
kronik adalah faktor risiko penting hepatoma, virus penyebabnya adalah virus
hepatitis B dan C. Bayi dan anak kecil yang terinfeksi virus ini lebih mempunyai
kecenderungan menderita hepatitis virus kronik daripada dewasa yang
terinfeksi virus ini untuk pertama kalinya.
Pasien hepatoma 88% terinfeksi virus hepatitis B atau C. Virus ini
mempunyai hubungan yang erat dengan timbulnya hepatoma. Hepatoma
seringkali tak terdiagnosis karena gejala karsinoma tertutup oleh penyakit yang
mendasari yaitu sirosis hati atau hepatitis kronik. Jika gejala tampak, biasanya
sudah stadium lanjut dan harapan hidup sekitar beberapa minggu sampai
bulan. Keluhan yang paling sering adalah berkurangnya selera makan,
penurunan berat badan, nyeri di perut kanan atas dan mata tampak kuning.
Komplikasi yang sering terjadi pada sirosis adalah asites, perdarahan saluran
cerna bagian atas, ensefalopati hepatika, dan sindrom hepatorenal. Sindrom

1
hepatorenal adalah suatu keadaan pada pasien dengan hepatitis kronik,
kegagalan fungsi hati, hipertensi portal, yang ditandai dengan gangguan fungsi
ginjal dansirkulasi darah. Sindrom ini mempunyai risiko kematian yang tinggi.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Definisi Dari Hepatoma?
2. Bagaimana Etiologi Dari Hepatoma?
3. Bagaimana Patofisiologi Dari Hepatoma?
4. Bagaimana Pathway Dari Hepatoma ?
5. Bagaimana Manifestasi Klinis Hepatoma?
6. Bagaimana Pemeriksaan Penunjang Hepatoma ?
7. Bagaimana Penatalaksanaan Medis Hepatoma ?
8. Bagaimana Komplikasi Hepatoma?
9. Bagaimana Asuhan Keperawatan Dari Hepatoma?

C. Tujuan
1. Untuk mengeahui definisi dari Hepatoma
2. Untuk mengeahui etiologi dari Hepatoma
3. Untuk mengeahui Patofisiologi dari Hepatoma
4. Untuk mengetahui pathway dari Hepatoma
5. Untuk mengeahui manifestasi klinis Hepatoma
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang Hepatoma
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis Hepatoma
8. Untuk mengeahui komplikasi Hepaoma
9. Untuk mengetahui asuhan keperawatan dari Hepatoma

BAB I
KONSEP DASAR MEDIS

A. Definisi
Hepatoma disebut juga kanker hati atau karsinoma hepatoseluler atau

2
karsinoma hepatoprimer. Hepatoma merupakan pertumbuhan sel hati yang
tidak normal yang ditandai dengan bertambahnya jumlah sel dalam hati
yang memiliki kemampuan membelah /mitosis disertai dengan perubahan sel
hati yang menjadi ganas.
Kanker hati sering disebut "penyakit terselubung". Pasien seringkali tidak
mengalami gejala sampai kanker pada tahap akhir, sehingga jarang ditemukan
dini. Pada pertumbuhan kanker hati , beberapa pasien mungkin mengalami
gejala seperti sakit di perut sebelah kanan atas meluas ke bagian belakang dan
bahu, bloating, berat badan, kehilangan nafsu makan, kelelahan, mual, muntah,
demam, dan ikterus. Penyakit-penyakit hati lainnya dan masalah-masalah
kesehatan juga dapat menyebabkan gejala -gejala tersebut, tapi setiap orang
yang mengalami gejala seperti ini harus berkonsultasi dengan dokter (Hussodo,
2006).
Kanker hati atau karsinoma hepato seluler merupakan tumor ganas hati
primer yang sering di jumpai di Indonesia. KHS merupakan tumor ganas
dengan prognosis yang amat buruk, di mana pada umumnya penderita
meninggal dalam waktu 2-3 bulan sesudah diagnosisnya di tegakkan
(Misnadiarly, 2007).

B. Etiologi
1. Virus Hepatitis B
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya hepatoma
terbukti kuat, baik secara epidemiologis, klinis maupun eksperimental.
Sebagian besar wilayah yang hiperendemik HBV menunjukkan angka
kekerapan hepatoma yang tinggi. Umur saat terjadinya infeksi merupakan
faktor resiko penting karena infeksi HBV pada usia dini berakibat akan
terjadinya kronisitas. Karsinogenitas HBV terhadap hati mungkin terjadi
melalui proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi
HBV DNA ke dalam DNA sel penjamu, dan aktifitas protein spesifik-HBV
berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya, perubahan hepatosit dari
kondisi inaktif menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat
karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan secara tidak langsung akibat
dipicu oleh ekspresi berlebihan suatu atau beberapa gen yang berubah
3
akibat HBV. Infeksi HBV dengan pajanan agen onkogenik seperti aflatoksin
dapat menyebabkan terjadinya hepatoma tanpa melalui sirosis hati.
2. Virus Hepatitis C
Di wilayah dengan tingkat infeksi HBV rendah, HCV merupakan faktor
resiko penting dari hepatoma. Infeksi HCV telah menjadi penyebab paling
umum karsinoma hepatoseluler di Jepang dan Eropa, dan juga bertanggung
jawab atas meningkatnya insiden karsinoma hepatoseluler di Amerika
Serikat, 30% dari kasus karsinoma hepatoseluler dianggap terkait dengan
infeksi HCV. Sekitar 5-30% orang dengan infeksi HCV akan berkembang
menjadipenyakit hati kronis. Dalam kelompok ini, sekitar 30% berkembang
menjadi sirosis, dan sekitar 1-2% per tahun berkembang menjadi karsinoma
hepatoseluler. Resiko karsinoma hepatoseluler pada pasien dengan HCV
sekitar 5% dan muncul 30 tahun setelah infeksi. Penggunaan alkohol oleh
pasien dengan HCV kronis lebih beresiko terkena karsinoma hepatoseluler
dibandingkan dengan infeksi HCV saja. Penelitian terbaru menunjukkan
bahwa penggunaan antivirus pada infeksi HCV kronis dapat mengurangi
risiko karsinoma hepatoseluler secara signifikan.
3. Sirosis Hati
Sirosis hati merupakan faktor resiko utama hepatoma di dunia dan
melatarbelakangi lebih dari 80% kasus hepatoma. Penyebab utama sirosis di
Amerika Serikat dikaitkan dengan alkohol, infeksi hepatitis C, dan infeksi
hepatitis B. Setiap tahun, 3-5% dari pasien dengan sirosis hati akan
menderita hepatoma. Hepatoma merupakan penyebab utama kematian pada
sirosis hati. Pada otopsi pada pasien dengan sirosis hati , 20-80% di
antaranya telah menderita hepatoma.
4. Aflatoksin
Aflatoksin B1 (AFB1) meruapakan mikotoksin yang diproduksi oleh
jamur Aspergillus. Dari percobaan pada hewan diketahui bahwa AFB1
bersifat karsinogen. Aflatoksin B1 ditemukan di seluruh dunia dan terutama
banyak berhubungan dengan makanan berjamur. 1 Pertumbuhan jamur yang
menghasilkan aflatoksin berkembang subur pada suhu 13°C, terutama pada
makanan yang menghasilkan protein. Di Indonesia terlihat berbagai

4
makanan yang tercemar dengan aflatoksin seperti kacang-kacangan, umbi-
umbian (kentang rusak, umbi rambat rusak,singkong, dan lain-lain), jamu,
bihun, dan beras berjamur.
Salah satu mekanisme hepatokarsinogenesisnya ialah kemampuan AFB1
menginduksi mutasi pada gen supresor tumor p53. Berbagai penelitian dengan
menggunakan biomarker menunjukkan ada korelasi kuat antara pajanan
aflatoksin dalam diet dengan morbiditas dan mortalitas hepatoma.
5. Obesitas
Suatu penelitian pada lebih dari 900.000 individu di Amerika Serikat
diketahui bahwa terjadinya peningkatan angka mortalitas sebesar 5x akibat
kanker pada kelompok individu dengan berat badan tertinggi (IMT 35-40
kg/m2) dibandingkan dengan kelompok individu yang IMT-nya normal.
Obesitas merupakan faktor resiko utama untuk non-alcoholic fatty liver
disesease (NAFLD), khususnya non-alcoholic steatohepatitis (NASH) yang
dapat berkembang menjadi sirosis hati dan kemudian berlanjut menjadi
hepatoma.
6. Diabetes Mellitus
Tidak lama ditengarai bahwa DM menjadi faktor resiko baik untuk
penyakit hati kronis maupun untuk hepatoma melalui terjadinya perlemakan
hati dan steatohepatitis non-alkoholik (NASH). Di samping itu, DM
dihubungkan dengan peningkatan kadar insulin dan insulin-like growth
factors (IGFs) yang merupakan faktor promotif potensial untuk kanker.
Indikasi kuatnya aasosiasi antara DM dan hepatoma terlihat dari banyak
penelitian. Penelitian oleh El Serag dkk. yang melibatkan173.643 pasien DM
dan 650.620 pasien bukan DM menunjukkan bahwa insidensi hepatoma
pada kelompok DM lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan insidensi
hepatoma kelompok bukan DM.
7. Alkohol
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat
alkohol (>50-70 g/hari atau > 6-7 botol per hari) selama lebih dari 10 tahun
meningkatkan risiko karsinoma hepatoseluler 5 kali lipat. Hanya sedikit bukti
adanya efek karsinogenik langsung dari alkohol. Alkoholisme juga

5
meningkatkan resiko terjadinya sirosis hati dan hepatoma pada pengidap
infeksi HBV atau HVC. Sebaliknya, pada sirosis alkoholik terjadinya HCC
juga meningkat bermakna pada pasien dengan HBsAg positif atau anti-HCV
positif. Ini menunjukkan adanya peran sinergistik alkohol terhadap infeksi
HBV maupun infeksi HCV.

C. Patofisiologi
Inflamasi, nekrosis, fibrosis, dan regenerasi dari sel hati yang terus
berlanjut merupakan proses khas dari cirrhosis hepatic yang juga merupakan
proses dari pembentukan hepatoma walaupun pada pasien – pasien dengan
hepatoma, kelainan cirrhosis tidak selalu ada. Hal ini mungkin berhubungan
dengan proses replikasi DNA virus dari virus hepatitis yang juga memproduksi
HBV X protein yang tidak dapat bergabung dengan DNA sel hati, yang
merupakan host dari infeksi Virus hepatitis, dikarenakan protein tersebut
merupakan suatu RNA. RNA ini akan berkembang dan mereplikasi diri di
sitoplasma dari sel hati dan menyebabkan suatu perkembangan dari
keganasan yang nantinya akan mengahambat apoptosis dan meningkatkan
proliferasi sel hati. Para ahli genetika mencari gen – gen yang berubah dalam
perkembangan sel hepatoma ini dan didapatkan adanya mutasi dari gen p53,
PIKCA, dan β-Catenin.
Sementara pada proses cirrhosis terjadi pembentukan nodul – nodul di
hepar, baik nodul regeneratif maupun nodul diplastik. Penelitian prospektif
menunjukan bahwa tidak ada progresi yang khusus dari nodul – nodul diatas
yang menuju kearah hepatoma tetapi, pada nodul displastik didapatkan bahwa
nodul yang terbentuk dari sel – sel yang kecil meningkatkan proses
pembentukan hepatoma. Sel sel kecil ini disebut sebagai stem cel dari hati. Sel
– sel ini meregenrasi sel – sel hati yang rusak tetapi sel – sel ini juga
berkembang sendiri menjadi nodul – nodul yang ganas sebagai respons dari
adanya penyakit yang kronik yang disebabkan oleh infeksi virus.nodul – nodul
inilah yang pada perkembangan lebih lanjut akan menjadi hepatoma.
Stadium Hepatoma
 Stadium I : Satu fokal tumor berdiameter < 3 cm

6
 Stadium II : Satu fokal tumor berdiameter > 3 cm. Tumor terbatas pada
segment I atau multi-fokal tumor terbatas padlobus kanan atau lobus kiri
hati.
 Stadium III : Tumorpada segment I meluas ke lobus kiri (segment IV) atau
ke lobus kanan segment V dan VIII atau tumordengan invasi peripheral ke
sistem pembuluh darah (vascular) atau pembuluh empedu (biliary duct)
tetapi hanya terbatas pada lobus kanan atau lobus kiri hati.
 Stadium IV : Multi-fokal atau diffuse tumor yang mengenai lobus kanan dan
lobus kiri hati. atau tumor dengan invasi ke dalam pembuluh darah hati
(intra hepaticvaskuler ) ataupun pembuluh empedu (biliary duct) atau tumor
dengan invasi ke pembuluh darah di luar hati (extra hepatic vessel) seperti
pembuluh darah vena di limpa (vena lienalis) atau vena cava inferior atau
adanya metastase keluar dari hati (extra hepatic metastase)

7
D. Manifestasi Klinik
1. Hepatoma fase subklinis
Yang dimaksud hepatoma fase subklinis atau stadium dini adalah
pasien yang tanpa gejala dan tanda fisik hepatoma yang jelas, biasanya
ditemukan melalui pemeriksaan AFP dan teknik pencitraan. Caranya adalah
dengan gabungan pemeriksaan AFP dan pencitraan, teknik pencitraan
terutama dengan USG lebih dahulu, bila perlu dapat digunakan CT atau MRI.

8
Yang dimaksud kelompok risiko tinggi hepatoma umumnya adalah:
masyarakat di daerah insiden tinggi hepatoma; pasien dengan riwayat
hepatitis atau HBsAg positif; pasien dengan riwayat keluarga hepatoma;
pasien pasca reseksi hepatoma primer.
2. Hepatoma fase klinis
Hepatoma fase klinis tergolong hepatoma stadium sedang, lanjut,
manifestasi utama yang sering ditemukan adalah:
a) Nyeri abdomen kanan atas: hepatoma stadium sedang dan lanjut sering
datang berobat karena kembung dan tak nyamanatau nyeri samar di
abdomen kanan atas. Nyeri umumnya bersifat tumpul (dullache) atau
menusuk intermiten atau kontinu, sebagianmerasa area hati terbebat
kencang, disebabkan tumor tumbuh dengan cepat hingga menambah
regangan pada kapsul hati. Jika nyeri abdomen bertambah hebat atau
timbul akut abdomen harus pikirkan ruptur hepatoma.
b) Massa abdomen atas: hepatoma lobus kanan dapat menyebabkan batas
atas hati bergeser ke atas, pemeriksaan fisik menemukan hepatomegali
di bawah arkus kostae berbenjol benjol; hepatoma segmen inferior
lobus kanan sering dapat langsung teraba massa di bawah arkus
kostae kanan; hepatoma lobus kiri tampil sebagai massa di bawah
prosesus xifoideus atau massa di bawah arkus kostae kiri.
c) Perut kembung: timbul karena massa tumor sangat besar, asites dan
gangguan fungsi hati.
d) Anoreksia: timbul karena fungsi hati terganggu, tumor mendesak saluran
gastrointestinal, perut tidak bisa menerima makanan dalam jumlah banyak
karena terasa begah.
e) Letih, mengurus: dapat disebabkan metabolit dari tumor ganas dan
berkurangnya masukan makanan dll, yang parah dapat sampai kakeksia.
f) Demam: timbul karena nekrosis tumor, disertai infeksi dan metabolit tumor,
jika tanpa bukti infeksi disebut demam kanker, umumnya tidak disertai
menggigil.
g) Ikterus: tampil sebagai kuningnya scler adan kulit, umumnya karena
gangguan fungsi hati, biasanya sudah stadium lanjut,juga dapat karena

9
sumbat kanker di saluran empedu atau tumor mendesak saluran empedu
hingga timbul ikterusobstruktif.
h) Asites: juga merupakan tanda stadium lanjut. Secara klinis ditemukan
perut membuncit dan pekak bergeser, seringdisertai udem kedua tungkai.
i) Lainnya: selain itu terdapat kecenderungan perdarahan, diare, nyeri bahu
belakang kanan, udem kedua tungkai bawah, kulitgatal dan lainnya, juga
manifestasi sirosis hati seperti splenomegali, palmar eritema, lingua
hepatik, spider nevi, venodilatasi dinding abdomen dll. Pada stadium akhir
hepatoma sering timbul metastasis paru, tulang dan banyak organ lain.

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Biopsi
Biopsi aspirasi dengan jarum halus (fine needle aspiration biopsy)
terutama ditujukan untuk menilai apakah suatu lesi yang ditemukan pada
pemeriksaan radiologi imaging dan laboratorium AFP itu benar pasti suatu
hepatoma.
Cara melakukan biopsi dengan dituntun oleh USG ataupun CT scan
mudah, aman, dan dapat ditolerir oleh pasien dan tumor yang akan dibiopsi
dapat terlihat jelas pada layar televisi berikut dengan jarum biopsi yang
berjalan persis menuju tumor, sehingga jelaslah hasil yang diperoleh
mempunyai nilai diagnostik dan akurasi yang tinggi karena benar jaringan
tumor ini yang diambil oleh jarum biopsi itu dan bukanlah jaringan sehat di
sekitar tumor.

2. Radiologi
Untuk mendeteksi kanker hati stadium dini dan berperan sangat
menentukan dalam pengobatannya. Kanker hepato selular ini bisa dijumpai
di dalam hati berupa benjolan berbentuk kebulatan (nodule) satu buah, dua
buah atau lebih atau bisa sangat banyak dan diffuse (merata) pada seluruh
hati atau berkelompok di dalam hati kanan atau kiri membentuk benjolan
besar yang bisa berkapsul.
3. Ultrasonografi

10
Dengan USG hitam putih (grey scale) yang sederhana (conventional)
hati yang normal tampak warna ke-abuan dan texture merata (homogen).
USG conventional hanya dapat memperlihatkan benjolan kanker
hatidiameter 2 cm – 3 cm saja. Tapi bila USG conventional ini dilengkapi
dengan perangkat lunak harmonik sistem bisa mendeteksi benjolan kanker
diameter 1 cm – 2 cm13, namun nilai akurasi ketepatan diagnosanya hanya
60%.
4. CT scan
CT scan sebagai pelengkap yang dapat menilai seluruh segmen hati
dalam satu potongan gambar yang dengan USG gambar hati itu hanya bisa
dibuat sebagian-sebagian saja. CTscann dapat membuat gambar kanker
dalam tiga dimensi dan empat dimensi dengan sangat jelas dan dapat pula
memperlihatkan hubungan kanker ini dengan jaringan tubuh sekitarnya.
5. Angiografi
Angiografi ini dapat dilihat berapa luas kanker yang sebenarnya.
Kanker yang kita lihat dengan USG yang diperkirakan kecil sesuai dengan
ukuran pada USG bisa saja ukuran sebenarnya dua atau tiga kali lebih
besar. Angigrafi bisa memperlihatkan ukuran kanker yang sebenarnya.
6. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI yang dilengkapi dengan perangkat lunak Magnetic Resonance
Angiography (MRA) sudah pula mampu menampilkan dan membuat peta
pembuluh darah kanker hati ini.
7. PET (Positron Emission Tomography)
Positron Emission Tomography (PET) yang merupakan alat
pendiagnosis kanker menggunakan glukosa radioaktif yang dikenal sebagai
flourine18 atau Fluorodeoxyglucose (FGD) yang mampu mendiagnosa
kanker dengan cepat dan dalam stadium dini. Caranya, pasien disuntik
dengan glukosa radioaktif untuk mendiagnosis sel-sel kanker di dalam tubuh.
Cairan glukosa ini akan bermetabolisme di dalam tubuh dan memunculkan
respons terhadap sel-sel yang terkena kanker. PET dapat menetapkan
tingkat atau stadium kanker hati sehingga tindakan lanjut penanganan

11
kanker ini serta pengobatannya menjadi lebih mudah. Di samping itu juga
dapat melihat metastase (penyebaran).

F. Penatalaksanaan Medis
Pemilihan terapi kanker hati ini sangat tergantung pada hasil pemeriksaan
radiologi dan biopsi. Sebelum ditentukan pilihan terapi hendaklah dipastikan
besarnya ukuran kanker,lokasi kanker di bagian hati yang mana, apakah
lesinya tunggal (soliter) atau banyak (multiple), atau merupakan satu kanker
yang sangat besar berkapsul, atau kanker sudah merata pada seluruh hati,
serta ada tidaknya metastasis (penyebaran) ke tempat lain di dalam tubuh
penderita ataukah sudah ada tumor thrombus di dalam vena porta dan apakah
sudah ada sirrhosis hati. Tahap penatalaksanaan dibagi menjadi dua yaitu
tindakan non-bedah dan tindakan bedah.
1. Tindakan Bedah Hati Digabung dengan Tindakan Radiologi
Terapi yang paling ideal untuk kanker hati stadium dini adalah tindakan
bedah yaitu reseksi (pemotongan) bahagian hati yang terkena kanker dan
juga reseksi daerah sekitarnya. Pada prinsipnya dokter ahli bedah akan
membuang seluruh kanker dan tidak akan menyisakan lagi jaringan kanker
pada penderita, karena bila tersisa tentu kankernya akan tumbuh lagi jadi
besar, untuk itu sebelum menyayat kanker dokter ini harus tahu pasti batas
antara kanker dan jaringan yang sehat.
Radiologilah satu-satunya cara untuk menentukan perkiraan pasti batas
itu yaitu dengan pemeriksaan CT angiography yang dapat memperjelas
batas kanker dan jaringan sehat sehingga ahli bedah tahu menentukan di
mana harus dibuat sayatan. Maka harus dilakukan CT angiography terlebih
dahulu sebelum dioperasi.
Dilakukan CT angiography sekaligus membuat peta pembuluh darah
kanker sehingga jelas terlihat pembuluh darah mana yang bertanggung
jawab memberikan makanan (feeding artery) yang diperlukan kanker untuk
dapat tumbuh subur. Sesudah itu barulah dilakukan tindakan radiologi Trans
Arterial Embolisasi (TAE) yaitu suatu tindakan memasukkan suatu zat yang
dapat menyumbat pembuluh darah (feeding artery) itu sehingga menyetop

12
suplai makanan ke sel-sel kanker dan dengan demikian kemampua hidup
(viability) dari sel-sel kanker akan sangat menurun sampai menghilang.
Sebelum dilakukan TAE dilakukan dulu tindakan Trans Arterial
Chemotherapy (TAC) dengan tujuan sebelum ditutup feeding artery lebih
dahulu kanker-nya disirami racun (chemotherapy) sehingga sel-sel kanker
yang sudah kena racun dan ditutup lagi suplai makanannya maka sel-sel
kanker benar-benar akan mati dan tak dapat berkembang lagi dan bila sel-
sel ini nanti terlepas pun saat operasi tak perlu dikhawatirkan, karena sudah
tak mampu lagi bertumbuh. Tindakan TAE digabung dengan tindakan TAC
yang dilakukan olehdokter spesialis radiologi disebut tindakan Trans Arterial
Chemoembolisation (TACE). Selain itu TAE ini juga untuk tujuan supportif
yaitu mengurangi perdarahan pada saat operasi dan juga untuk mengecilkan
ukuran kanker dengan demikian memudahkan dokter ahli bedah.
Setelah kanker disayat, seluruh jaringan kanker itu harus diperiksakan
pada dokter ahli patologi yaitu satu-satunya dokter yang berkompentensi dan
yang dapat menentukan dan memberikan kata pasti apakah benar pinggir
sayatan sudah bebas kanker. Bila benar pinggir sayatan bebas kanker
artinya sudahlah pasti tidak ada lagi jaringan kanker yang masih tertinggal di
dalam hati penderita. Kemudian diberikan chemotherapy (kemoterapi) yang
bertujuan meracuni sel-sel kanker agar tak mampu lagi tumbuh berkembang
biak.
Pemberian Kemoterapi dilakukan oleh dokter spesialis penyakit dalam
bahagian onkologi (medical oncologist) ini secara intra venous (disuntikkan
melalui pmbuluh darah vena) yaitu epirubucin/dexorubicin 80 mg digabung
dengan mitomycine C 10 mg. Dengan cara pengobatan seperti ini usia
harapan hidup penderita per lima tahun 90% dan per 10 tahun 80%.
2. TindakanNon-bedah Hati
Tindakan non-bedah merupakan pilihan untuk pasien yang datang pada
stadium lanjut. Termasuk dalam tindakan non-bedah ini adalah:
a) Embolisasi Arteri Hepatika (Trans Arterial Embolisasi = TAE)
Pada prinsipnya sel yang hidup membutuhkan makanan dan oksigen
yang datangnyabersama aliran darah yang menyuplai sel tersebut. Pada
kanker timbul banyak sel-sel baru sehingga diperlukan banyak makanan
13
dan oksigen, dengan demikian terjadi banyak pembuluh darah baru (neo-
vascularisasi) yang merupakan cabang-cabang dari pembuluh darah yang
sudah ada disebut pembuluh darah pemberi makanan (feeding artery)
Tindakan TAE ini menyumbat feeding artery.
Caranya dimasukkan kateter melalui pembuluh darah di paha (arteri
femoralis) yang seterusnya masuk ke pembuluh nadi besar di perut (aorta
abdominalis) dan seterusnya dimasukkan ke pembuluh darah hati (artery
hepatica) dan seterusnya masuk ke dalam feeding artery. Lalu feeding
artery ini disumbat (di-embolisasi) dengan suatu bahan seperti gel foam
sehingga aliran darah ke kanker dihentikan dan dengan demikian suplai
makanan dan oksigen ke sel-sel kanker akan terhenti dan sel-sel kanker
ini akan mati. Apalagi sebelum dilakukan embolisasi dilakukan tindakan
trans arterial chemotherapy yaitu memberikan obat kemoterapi melalui
feeding artery itu maka sel-sel kanker jadi diracuni dengan obat yang
mematikan.
Bila kedua cara ini digabung maka sel-sel kanker benar-benar
terjamin mati dan tak berkembang lagi.Dengan dasar inilah embolisasi dan
injeksi kemoterapi intra-arterial dikembangkan dan nampaknya memberi
harapan yang lebih cerah pada penderita yang terancam maut ini. Angka
harapan hidup penderita dengan cara ini per lima tahunnya bisa mencapai
sampai 70% dan per sepuluh tahunnya bisa mencapai 50%.

b) Infus Sitostatika Intra-arterial


Menurut literatur 70% nutrisi dan oksigenasi sel-sel hati yang normal
berasal dari vena porta dan 30% dari arteri hepatika, sehingga sel-sel
ganas mendapat nutrisi dan oksigenasi terutama dari sistem arteri
hepatika. Bila Vena porta tertutup oleh tumor maka makanan dan oksigen
ke sel-sel hati normal akan terhenti dan sel-sel tersebut akan mati.
Dapatlah dimengerti kenapa pasien cepat meninggal bila sudah ada
penyumbatan vena porta ini. Infus sitostatika intra-arterial ini dikerjakan
bila vena porta sampai ke cabang besar tertutup oleh sel-sel tumor di
dalamnya dan pada pasien tidak dapat dilakukan tindakan transplantasi
hati oleh karena ketiadaan donor, atau karena pasien menolak atau

14
karena ketidakmampuan pasien. Sitostatika yang dipakai adalah
mitomycin C 10 – 20 Mg kombinasi dengan adriblastina 10-20 Mg
dicampur dengan NaCl (saline) 100 – 200 cc. Atau dapat juga cisplatin
dan 5FU (5 Fluoro Uracil).
Metoda ballon occluded intra arterial infusion adalah modifikasi infus
sitostatika intra-arterial, hanya kateter yang dipakai adalah double lumen
balloncatheter yang di-insert (dimasukkan) ke dalam arteri hepatika.
Setelah ballon dikembangkan terjadi sumbatan aliran darah, sitostatika
diinjeksikan dalam keadaan ballon mengembang selama 10 – 30 menit,
tujuannya adalah memperlama kontak sitostatika dengan tumor. Dengan
cara ini maka harapan hidup pasien per lima tahunnya menjadi 40% dan
per sepuluh tahunnya 30% dibandingkan dengan tanpa pengobatan
adalah20% dan 10%.
c) Injeksi Etanol Perkutan (Percutaneus Etanol Injeksi = PEI)
Pada kasus-kasus yang menolak untuk dibedah dan juga menolak
semua tindakan atau pasien tidak mampu membiayai pembedahan dan
tak mampu membiayai tindakan lainnya maka tindakan PEI-lah yang
menjadi pilihan satu-satunya.
Tindakan injeksi etanol perkutan ini mudah dikerjakan, aman, efek
samping ringan, biaya murah, dan hasilnya pun cukup memberikan
harapan. PEI hanya dikerjakan pada pasien stadium dini saja dan tidak
pada stadium lanjut. Sebagian besar peneliti melakukan pengobatan
dengan cara ini untuk kanker bergaris tengah sampai 5 cm, walaupun
pengobatan paling optimal dikerjakan pada garis tengah kurang dari 3 cm.
Pemeriksaan histopatologi setelah tindakan membuktikan bahwa tumor
mengalami nekrosis yang lengkap. Sebagian besar peneliti menyuntikkan
etanol perkutan pada kasus kanker ini dengan jumlah lesi tidak lebih dari3
buah nodule, meskipun dilaporkan bahwa lesi tunggal merupakan kasus
yang paling optimal dalam pengobatan. Walaupun kelihatannya cara ini
mungkin dapat menolong tetapi tidak banyak penelitian yang memadai
dilakukan sehingga hanya dikatakan membawa tindakan ini memberi hasil
yang cukup baik.

15
d) Terapi Non-bedah Lanilla
Terapi non-bedah lainnya saat ini sudah dikembangkan dan hanya
dilakukan bila terapi bedah reseksi dan Trans Arterial Embolisasi (TAE)
ataupun Trans Arterial Chemoembolisation ataupun Trans Arterial
Chemotherapy tak mungkin dilakukan lagi. Di antaranya yaitu terapi Radio
Frequency Ablation Therapy (RFA),Proton Beam Therapy, Three
Dimentional Conformal Radiotherapy (3DCRT), Cryosurgery yang
kesemuanya ini bersifat palliatif (membantu) bukan kuratif
(menyembuhkan) keseluruhannya.
e) Tindakan Transplantasi Hati
Bila kanker hati ini ditemukan pada pasien yang sudah ada sirrhosis
hati dan ditemukan kerusakan hati yang berkelanjutan atau sudah hampir
seluruh hati terkena kanker atau sudah ada sel-sel kanker yang masuk ke
vena porta (thrombus vena porta) maka tidak ada jalan terapi yang lebih
baik lagi dari transplantasi hati. Transplantasi hati adalah tindakan
pemasangan organ hati dari orang lain ke dalam tubuh seseorang.
Langkah ini ditempuh bila langkah lain seperti operasi dan tindakan
radiologi seperti yang disebut di atas tidak mampu lagi menolong pasien.
Akan tetapi,langkah menuju transplantasi hati tidak mudah, pasalnya
ketersediaan hati untuk di-transplantasikan sangat sulit diperoleh seiring
kesepakatan global yang melarang jual beli organ tubuh. Selain itu, biaya
transplantasi tergolong sangat mahal. Dan pula sebelum proses
transplantasi harus dilakukan serangkaian pemeriksaan seperti tes
jaringan tubuh dan darah yang tujuannya memastikan adanya
kesamaan/kecocokan tipe jaringan tubuh pendonor dan pasien agar tidak
terjadi penolakan terhadap hati baru. Penolakan bisa berupa
penggerogotan hati oleh zat-zat dalam darah yang akan menimbulkan
kerusakan permanen dan mempercepat kematian penderita. Seiring
keberhasilan tindakan transplantasi hati, usia pasien setidaknya akan lebih
panjang lima tahun.

G. Komplikasi

16
Komplikasi yang sering terjadi pada sirosis adalah asites, perdarahan
saluran cerna bagian atas, ensefalopati hepatika, dan sindrom hepatorenal.
Sindrom hepatorenal adalah suatu keadaan pada pasien dengan hepatitis
kronik, kegagalan fungsi hati, hipertensi portal, yang ditandai dengan gangguan
fungsi ginjal dan sirkulasi darah Sindrom ini mempunyai risiko
kematianyangtinggi. Terjadinya gangguan ginjal pada pasien dengan sirosis hati
ini baru dikenal pada akhir abad 19 dan pertamakali dideskripsikan oleh Flint
dan Frerichs. Penatalaksanaan sindrom hepatorenal masih belum memuaskan;
masih banyak kegagalan sehingga menimbulkan kematian. Prognosis pasien
dengan penyakit ini buruk.

BAB III
Konsep Dasar Keperawatan

Asuhan keperawatan :
A. Pengkajian
1. Identitas
Nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, suku, bangsa, no. registrasi

2. Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama: klien biasanya mengeluh mual, muntah, nyeri perut
kanan atas, pembesaran perut, berak hitam

17
b) Riwayat penyakit sekarang: biasanya klien awalnya mengalami mual,
nyeri perut kanan atas, berak hitam, kemudian perut klien membesar
dan sesak nafas.
c) Riwayat penyakit dahulu: biasanya klien pernah mengalami penyakit
hepatitis B atau C atau D. Dan mengalami sirosis hepatic
d) Riwayat penyakit keluarga: biasanya salah satu atau lebih keluarga klien
menderita penyakit hepatitis B atau C atau D. Biasanya ibu klien
menderita hepatitis B atau C atau D yang diturunkan kepada anaknya
pada waktu hamil.
e) Riwayat imunisasi: biasanya klien tidak diimunisasi untuk penyakit
hepatitis B

3. Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum
Biasanya klien terlihat lemah, letih, dengan perut membesar dan sesak
nafas, penurunan BB.
b) TTV
TD: >120/80 mmHg
N: >100 x/mnt
RR: <16 x/mnt
S: >37,5oC
c) Kepala dan leher
Biasanya terjadi pernafasan cuping hidung, ikterus, muntah
d) Thoraks
Biasanya terjadi retraksi dada dikarenakan kesulitas bernafas,
penggunaan otot-otot bantu pernafasan
e) Abdomen
Biasanya terjadi pembesaran hati (hepatomegali), permukaan hati
terasa kasar, asites, nyeri perut bagian kanan atas dengan skala 7-10,
splenomegali
f) Ekstremitas
Biasanya terjadi gatal-gatal, kelenahan otot
g) Breath
Biasanya klien mengalami sesak nafas
h) Blood
Biasanya klien anemi dikarenakan adanya perdarahan
i) Brain
Jika sudah metastase akan terjadi enselofaty hepatik
j) Bowel

18
Biasanya klien mengalami anoreksia, mual, muntah, melena, bahkan
mungkin terjadi hematomesis. Terjadi penurunan BB, turgor kulit lebih
dari 2 detik, rambut kering, mukosa oral kering, penurunan serum
albumin.
k) Blader
Biasanya klien mengeluarkan urin berwarna seperti teh pekat
l) Bone
Jika terjadi metastase ke tulang akan terjadi nyeri tulang

4. Pola fungsi kesehatan


a) Pola aktivitas
Biasanya klien mengalami gangguan dalam beraktivitas dikarenakan
nyeri, kelemahan otot, mual, dan muntah
b) Pola nutrisi
Biasanya klien mengalami anoreksia, mual dan muntah

c) Pola eliminasi
Biasanya klien mengeluarkan urin berwarna seperti teh dan pekat.
d) Pola istirahat
Biasanya klien mengalami insomnia
e) Pola seksual
Biasanya klien mengalami penurunan libido
f) Pola spiritual
Biasanya klien terganggu dalam menjalani ibadah

19
20
21
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kanker hati atau karsinoma hepato seluler merupakan tumor ganas hati
primer yang sering di jumpai di Indonesia. KHS merupakan tumor ganas
dengan prognosis yang amat buruk, di mana pada umumnya penderita
meninggal dalam waktu 2-3 bulan sesudah diagnosisnya di tegakkan
(Misnadiarly, 2007).
Karsinoma hepato seluler atau hepatoma merupakan kanker hati primer
yang paling sering ditemukan daripada tumor hati lainnya seperti limfoma
maligna,fibrosarkoma dan hemangio endotelioma. Di Amerika Serikat sekitar
80% - 90% dari tumor ganas hati primer adalah hepatoma. Angka kejadian
tumor ini di Amerika Serikat hanya sekitar 2% dari seluruh karsinoma yang
ada. Sebaliknya di Afrika dan Asia hepatoma adalah karsinoma yang paling
sering ditemukan dengan angka kejadian 100/100.000 populasi.
Pria lebih banyak daripada wanita. Lebih dari 80% pasien hepatoma
menderita sirosis hati Hepatoma biasa dan sering terjadi pada pasien dengan
sirosis hati yang merupakan komplikasi hepatitis virus kronik. Hepatitis virus
kronik adalah faktor risiko penting hepatoma, virus penyebabnya adalah virus
hepatitis B dan C. Bayi dan anak kecil yang terinfeksi virus ini lebih mempunyai
kecenderungan menderita hepatitis virus kronik daripada dewasa yang
terinfeksi virus ini untuk pertama kalinya.

22
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Doenges, Marilynn. E. 2000. Rencana asuhan keperawatan. Edisi III. Jakarta :


Penerbit Buku kedokteran EGC

Nurarih Huda Amin dan Kusuma Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan

Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda NIC – NOC Jilid 3.Jogjakarta : Mediaction

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2006. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth (8 ed. Vol. 3). Jakarta: EGC.

23

Vous aimerez peut-être aussi