Vous êtes sur la page 1sur 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penggunaan pestisida sangat berperan penting dalam keberhasilan pertanian. Hal ini
disebabkan karena pestisida menunjukkan hasil yang mengagumkan dalam efektifitas dan
efisiensinya mengendalikan hama, sehingga mendatangkan keuntungan ekonomi yang besar bagi
petani. Semakin banyak pestisida yang digunakan semakin baik karena produksi pertanian
menjadi semakin tinggi. Pandangan umum tersebut yang masih berlaku di dunia sampai saat ini
termasuk juga Indonesia (Arif, 2015). Joko et al. (2017) mengasumsikan bahwa pada tahun 2050
penggunaan pestisida akan menjadi 2,7 kali lebih besar dari tahun 2000 terkait dengan adanya
peningkatan produksi pertanian akibat penggunaan pestisida yang lebih intensif, akan tetapi,
penggunaan pestisida yang tidak terkontrol tersebut dapat mengkontaminasi tanah, air, dan
membunuh organisme nontarget lainnya, selain itu, aplikasi pestisida yang berlebihan juga
menyebabkan resistensi hama. Resistensi hama mengakibatkan fakta bahwa petani harus
meningkatkan dosis pestisida yang digunakan hingga 2-3 kali jumlah yang ditambahkan
sebelumnya.
Penggunaan pestisida yang kurang tepat baik sasaran, jenis pestisida maupun tidak tepat
dosis atau konsentrasi akan berdampak pada pencemaran lingkungan (Damayanti dkk., 2016).
Gangguan pestisida akibat adanya residu pada tanah, yaitu pada tingkat kejenuhan karena
tingginya kandungan pestisida per satuan volume tanah. Sifat pestisida yang persisten sehingga
mengalami pengendapan yang lama pada tanah menyebabkan terjadinya degradasi tanah
(Puspitasari dan Khaeruddin, 2016). Tanah yang tercemar oleh pestisida jika dibiarkan saja tanpa
penanganan, maka secara berangsur-angsur akan menyebabkan berkurangnya populasi dan
diversitas fauna, terganggunya siklus nitrit, dan menghambat proses dekomposisi humus dalam
tanah, selain itu, penggunaan pestisida dalam pertanian juga dapat mengganggu kesehatan
masyarakat, di mana manusia sebagai makhluk hidup yang letaknya paling ujung dari rantai
makanan dapat memperoleh efek biomagnifikasi yang paling besar akibat bioakumulasi residu
pestisida oleh tingkatan organisme di bawahnya (Adriyani, 2006).
Pestisida golongan piretroid merupakan jenis pestisida yang paling banyak digunakan secara
ekstensif di Pasar Cina, serta paling banyak digunakan dalam pestisida rumah tangga. Hal ini
dikarenakan insektisida golongan piretroid pada umumnya memiliki spektrum pengendalian
yang luas dan efektif terhadap banyak spesies hama serangga (Buyang dan Pasaribu, 2014;
Sunaryo dkk., 2015). Pestisida golongan piretroid dapat dibedakan menjadi dua, yaitu piretroid
alam yang berasal dari bunga Chrysanthemum cinerariafolium dan piretroid sintetis. Sintetik
piretroid adalah insektisida dari tumbuh-tumbuhan yang berasal dari bubuk bunga matahari yang
telah dimodifikasi pada gugus ester. Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat akson
pada kanal ion sehingga mengakibatkan impuls syaraf akan mengalami stimulasi terus menerus
dan mengakibatkan serangga mengalami hipereksitasi (kegelisahan) dan konvulsi (kekejangan)
(Sunaryo dkk., 2015). Sintetik piretroid diklasifikasikan sebagai tipe I atau tipe II berdasarkan
gejala toksik dan ketidakhadiran atau kehadiran kelompok cyano pada posisi alpha karboksil.
Adanya pembatasan penggunaan organofosfat dan karbamat menjadikan piretroid secara umum
dianggap sebagai pestisida pengganti, sehingga piretroid adalah insektisida dominan saat ini,
bahkan telah dilaporkan bahwa hampir semua sampel sedimen dari sungai di perkotaan
mengandung residu piretroid dan bifenthrin merupakan kontributor terbesarnya (65% dari 66%
unit toksik insektisida) (Chen et al., 2012; Hintzen et al., 2009).
Bifenthrin (2-methylbiphenyl-3-ylmethyl-(Z)-(IRS)-3-(2-chloro-3,3,3-trifluoroprop-1-enyl)-
2,2-dimethylcyclopropane carboxylate) merupakan salah satu dari golongan piretroid yang
paling terkenal efektif melawan spektrum luas dari hama serangga pada tanaman (Chen et al.,
2012). Bifenthrin adalah insektisida sintetik piretroid yang diklasifikasikan sebagai piretroid non

1
2

cyano, berwujud lilin krem padat dengan aroma sedikit manis (Sharma, 2011). Bifenthrin
memiliki kelarutan air yang rendah (< 1 μg/L) dan stabilitas yang baik terhadap hidrolisis dan
fotolisis (2 tahun pada suhu 50⁰C di bawah sinar matahari alami), oleh sebab itu, bifenthrin
adalah golongan piretroid yang memiliki waktu paruh paling lama daripada insektisida lain,
sehingga dapat bertahan pada sedimen untuk periode waktu yang lebih panjang (Hougard et al.,
2002; Hintzen et al., 2009). Waktu paruh bifenthrin dalam tanah biasanya antara 65 dan 125 hari,
tetapi dapat berkisar dari 2 minggu hingga lebih dari 1 tahun tergantung pada jenis tanah,
kelembaban, pH, suhu, dan kondisi lainnya (Chen et al., 2012).
Perbaikan lahan secara bioremediasi dilakukan dengan memanfaatkan mikroorganisme yang
mampu mendegradasi insektisida bifenthrin dan piretroid lainnya di alam (Chen et al., 2012).
Bioremediasi adalah proses penguraian polutan organik/anorganik dengan menggunakan
organisme (bakteri, fungi, tanaman atau enzimnya) dalam mengendalikan pencemaran pada
kondisi terkontrol menjadi suatu bahan yang tidak berbahaya atau konsentrasinya di bawah batas
yang ditentukan oleh lembaga berwenang dengan tujuan mengontrol atau mereduksi bahan
pencemar dari lingkungan (Puspitasari dan Khaeruddin, 2016). Bioremediasi bisa langsung
dilakukan di lahan tercemar dengan menggunakan inokulan yang mampu mendegradasi
kontaminan organik (Sulaeman dkk., 2016). Mikroorganisme pendegradasi piretroid dari
beberapa spesies bakteri dan jamur telah diisolasi dan dilakukan penelitian untuk menentukan
potensi dalam mendegradasi residu pestisida piretroid, di antaranya berasal dari genus Bacillus,
Brevibacillus, Ochrobactrum, Pseudomonas, Serratia, dan Sphingobium, sedangkan beberapa
genus jamur yang telah diisolasi di antaranya adalah Aspergillus, Trichoderma, Cladosporium,
Phanerochaete, dan Candida, namun penelitian tentang mikroorganisme pendegradasi bifenthrin
sendiri masih sangat terbatas (Cycon and Piotrowska-Seget, 2016; Chen et al., 2012).
Khamir (yeast) merupakan agen biologis pendegradasi piretroid yang lebih baik
dibandingkan bakteri atau kapang karena yeast lebih efektif dalam memecah komponen bahan
kimia, memiliki sifat tahan terhadap stress lingkungan, dapat tumbuh dalam larutan yang pekat,
misalnya asam yang berlebih, dan mampu sepenuhnya melakukan metabolisme terhadap
piretroid tanpa menghasilkan hasil metabolit yang toksik. Hal ini berbeda dengan bakteri dan
kapang yang memiliki keterbatasan dalam mendegradasi piretroid disebabkan oleh salah satu
metabolit intermediet yang muncul dari hidrolisis kebanyakan piretroid, yaitu 3-
phenoxybenzaldehyde (3-PBA) yang merupakan senyawa antimikroba bersifat toksik dan dapat
mencegah proliferasi sel sehingga menghasilkan degradasi tidak lengkap dari senyawa parental
(Satife dkk., 2011; Cycon and Piotrowska-Seget, 2016).
Chen et al. (2012) mengemukakan bahwa mekanisme degradasi bifenthrin (salah satu
golongan piretroid) yang dilakukan oleh yeast tidak menghasilkan metabolit yang bersifat toksik
(3-PBA), di mana yeast menghidrolisis ikatan ester dari bifenthrin untuk menghasilkan
cyclopropanecarboxylic acid dan 2-methyl-3-biphenylyl methanol yang menyebabkan hilangnya
aktivitas insektisida. Selanjutnya, 2-methyl-3-biphenylyl methanol diubah dengan pembelahan
biphenyl untuk membentuk 4-trifluoromethoxy phenol, 2-chloro-6-fluoro benzylalcohol, serta
3,5-dimethoxy phenol yang menghasilkan detoksifikasi dan akhirnya, semua produk degradasi
tersebut telah sepenuhnya didegradasi oleh yeast tanpa metabolit akumulatif sama sekali.
Keunggulan yeast sebagai agen biodegradasi bifenthrin membuatnya dipilih untuk dijadikan
subjek dalam penelitian ini, di mana akan dilakukan uji biodegradasi bifenthrin dari isolat yeast
koleksi Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi ITS. Parameter yang diamati adalah
pertumbuhan inokulan yeast dengan mengukur nilai densitas optik (DO) menggunakan
spektrofotometer dan pengukuran penurunan konsentrasi residu bifenthrin dengan metode High
Performance Liquid Chromatography (HPLC).
3

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimana pengaruh konsentrasi bifenthrin terhadap pertumbuhan yeast dan
terhadap persentase degradasi bifenthrin?

1.3 Batasan Masalah


Batasan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Yeast yang digunakan yaitu dari koleksi Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi
Biologi ITS.
2. Mineral Salt Medium (MSM) ditambahkan dengan pestisida bifenthrin sebagai medium
pertumbuhan yeast.
3. Pestisida bifenthrin diperoleh dari Toko Trubus Surabaya.

1.4 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi bifenthrin yang berpengaruh terhadap
kemampuan yeast dalam mendegradasi bifenthrin, ditunjukkan dari peningkatan pertumbuhan
yeast melalui pengukuran OD dan penurunan konsentrasi bifenthrin.

1.5 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah dapat digunakan sebagai salah satu metode alternatif
bioremediasi tanah tercemar bifenthrin dengan penambahan yeast.
4

“Halaman ini sengaja dikosongkan”


DAFTAR PUSTAKA

Adriyani, R. 2006. Usaha Pengendalian Pencemaran Lingkungan Akibat Penggunaan Pestisida


Pertanian. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 3(1) : 95 – 106.
Arif, A. 2015. Pengaruh Bahan Kimia Terhadap Penggunaan Pestisida Lingkungan. JF FIK
UINAM, 3(4) : 134 – 143.
Buyang, Y., dan Pasaribu, Y. 2014. Analisis Residu Pestisida Golongan Piretroid Pada Beberapa
Sayuran di Kota Merauke. Agricola, 4(1) : 41 – 48.
Chen, S., Luo, J., Hu, M., Geng, P., and Zhang, Y. 2012. Microbial Detoxification of Bifenthrin
by a Novel Yeast and Its Potential for Contaminated Soils Treatment. PloS ONE, 7(2) : 1 –
13.
Cycon, M., and Piotrowska-Seget, Z. 2016. Pyrethroid-Degrading Microorganisms and Their
Potential for the Bioremediation of Contaminated Soils: A Review. Frontiers in
Microbiology, Volume 7 : 1 – 26.
Damayanti, R., Hanani, Y., dan Yunita, N. A. 2016. Hubungan Penggunaan dan Penanganan
Pestisida Pada Petani Bawang Merah Terhadap Residu Pestisida Dalam Tanah di Lahan
Pertanian Desa Wanasari Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes. Jurnal Kesehatan
Masyarakat (e-Journal), 4(3) : 879 – 887.
Hintzen, E. P., Lydy, M. J., and Belden, J. B. 2009. Occurrence and Potential Toxicity of
Pyrethroids and Other Insecticides in Bed Sediments of Urban Streams in Central Texas.
Environmental Pollution, Volume 157 : 110 – 116.
Hougard, J. M., Duchon, S., Zaim, M., and Guillet, P. 2002. Bifenthrin: A Useful Pyrethroid
Insecticide for Treatment of Mosquito Nets. J. Med. Entomol, 39(3) : 526 – 533.
Joko, T., Anggoro, S., Sunoko, H. R., and Rachmawati, S. 2017. Pesticides Usage in The Soil
Quality Degradation Potential in Wanasari Subdistrict, Brebes, Indonesia. Hindawi
Applied and Environmental Soil Science, Volume 2017 : 1 – 2.
Puspitasari, D. J., dan Khaeruddin. 2016. Kajian Bioremediasi Pada Tanah Tercemar Pestisida.
KOVALEN, 2(3) : 98 – 106.
Satife, D. O., Rahmawati, A., dan Yazid, M. 2011. Potensi Yeast Pada Pengurangan Konsentrasi
Uranium Dalam Limbah Organik TBP-Kerosin yang Mengandung Uranium. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah IX. Pusat Teknologi Limbah
Radioaktif-BATAN. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. ISSN 1410-6086.
Sharma, D. 2011. Microbial Degradation of Bifenthrin in Water and Soil. Thesis. New Delhi :
Indian Agricultural Research Institute.
Sulaeman, E., Ardiwinata, A. N., dan Yani, M. 2016. Eksplorasi Bakteri Pendegradasi Insektisida
Klorpirifos di Tanah Sayuran Kubis di Jawa Barat. Jurnal Tanah dan Iklim, 40(2) : 103 –
112.
Sunaryo, Astuti, P., dan Widiastuti, D. 2015. Gambaran Pemakaian Insektisida Rumah Tangga di
Daerah Endemis DBD Kabupaten Grobogan Tahun 2013. BALABA, 11(1) : 9 – 14.

Vous aimerez peut-être aussi