Vous êtes sur la page 1sur 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIPERTENSI
A. Definisi
Hipertensi merupakan “silent killer” (pembunuh diam-diam) yang secara luas
dikenal sebagai penyakit kardiovaskular yang sangat umum. Dengan meningkatnya
tekanan darah dan gaya hidup yang tidak seimbang dapat meningkatkan faktor risiko
munculnya berbagai penyakit seperti arteri koroner, gagal jantung, stroke, dan gagal
ginjal. Salah satu studi menyatakan pasien yang menghentikan terapi anti hipertensi
maka lima kali lebih besar kemungkinannya terkena stroke.1
Hipertensi dianggap sebagai faktor risiko utama stroke, dimana stroke
merupakan penyakit yang sulit disembuhkan dan mempunyai dampak yang sangat
luas terhadap kelangsungan hidup penderita dan keluarganya. Hipertensi sistolik dan
distolik terbukti berpengaruh pada stroke. Dikemukakan bahwa penderita dengan
tekanan diastolik di atas 95 mmHg mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk
terjadinya infark otak dibanding dengan tekanan diastolik kurang dari 80 mmHg,
sedangkan kenaikan sistolik lebih dari 180 mmHg mempunyai risiko tiga kali
terserang stroke iskemik dibandingkan dengan dengan tekanan darah kurang 140
mmHg. Akan tetapi pada penderita usia lebih 65 tahun risiko stroke hanya 1,5 kali
daripada normotensi.3,4
Sasaran pengobatan hipertensi untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas
kardiovaskuler dan ginjal. Dengan menurunkan tekanan darah kurang dari 140/90
mmHg, diharapkan komplikasi akibat hipertensi berkurang. Klasifikasi prehipertensi
bukan suatu penyakit, tetapi hanya dimaksudkan akan risiko terjadinya hipertensi.
Terapi non farmakologi antara lain mengurangi asupan garam, olah raga,
menghentikan rokok dan mengurangi berat badan, dapat dimulai sebelum atau
bersama-sama obat farmakologi.4
B. Etiologi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam.
Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui (essensial atau
hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di
kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab
yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi
sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat
diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial.5

1. Hipertensi primer (essensial)


Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial
(hipertensi primer). Literatur lain mengatakan, hipertensi essensial merupakan 95%
dari seluruh kasus hipertensi. Beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi
untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum satupun teori yang
tegas menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut. Hipertensi sering turun
temurun dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik
memegang peranan penting pada patogenesis hipertensi primer. Menurut data, bila
ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik dan
poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi essensial. Banyak
karakteristik genetik dari gen-gen ini yang mempengaruhi keseimbangan natrium,
tetapi juga di dokumentasikan adanya mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi
kallikrein urine, pelepasan nitric oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan
angiotensinogen.6

2. Hipertensi sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit
komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah (lihat tabel
1). Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau
penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. 7 Obat-obat
tertentu, baik secara langsungataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau
memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Obat-obat ini dapat dilihat
pada tabel 1. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan
menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati / mengoreksi kondisi
komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan
hipertensi sekunder.5
.

C. Klasifikasi Hipertensi
Ada beberapa klasifikasi dari hipertensi, diantaranya menurut The Seventh
Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Eveluation, and
Tretment of High Blood Pressure (JNC7) klasifikasi tekanan darah pada orang
dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan
derajat 2 (dilihat tabel 2), menurut World Health Organization (WHO) dan
International Society Of Hypertension Working Group (ISHWG) (dilihat tabel 3).2
D. Faktor Risiko Hipertensi
1. Faktor yang tidak dapat diubah/dikontrol
a. Umur
Hipertensi erat kaitannya dengan umur, semakin tua seseorang semakin besar
risiko terserang hipertensi. Umur lebih dari 40 tahun mempunyai risiko terkena
hipertensi. Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi lebih besar sehingga
prevalensi hipertensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40 % dengan
kematian sekitar 50 % diatas umur 60 tahun. Arteri kehilangan elastisitasnya atau
kelenturannya dan tekanan darah seiring bertambahnya usia, kebanyakan orang
hipertensinya meningkat ketika 50an dan 60an.8
Dengan bertambahnya umur, risiko terjadinya hipertensi meningkat.
Meskipun hipertensi bisa terjadi pada segala usia, namun paling sering dijumpai pada
orang berusia 35 tahun atau lebih. Sebenarnya wajar bila tekanan darah sedikit
meningkat dengan bertambahnya umur. Hal ini disebabkan oleh perubahan alami
pada jantung, pembuluh darah dan hormon. Tetapi bila perubahan tersebut disertai
faktor-faktor lain maka bisa memicu terjadinya hipertensi.9

b. Jenis Kelamin
Bila ditinjau perbandingan antara wanita dan pria, ternyata terdapat angka
yang cukup bervariasi. Dari laporan Sugiri di Jawa Tengah didapatkan angka
prevalensi 6,0% untuk pria dan 11,6% untuk wanita. Prevalensi di Sumatera Barat
18,6% pria dan 17,4% perempuan, sedangkan daerah perkotaan di Jakarta
(Petukangan) didapatkan 14,6% pria dan 13,7% wanita.10

c. Riwayat Keluarga
Menurut Nurkhalida, orang-orang dengan sejarah keluarga yang mempunyai
hipertensi lebih sering menderita hipertensi. Riwayat keluarga dekat yang menderita
hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi risiko terkena hipertensi terutama
pada hipertensi primer. Keluarga yang memiliki hipertensi dan penyakit jantung
meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lipat. Jika kedua orang tua kita mempunyai
hipertensi, kemungkunan kita mendapatkan penyakit tersebut 60%.11

2. Faktor yang dapat diubah/dikontrol


a. Kebiasaan Merokok
Rokok juga dihubungkan dengan hipertensi. Hubungan antara rokok dengan
peningkatan risiko kardiovaskuler telah banyak dibuktikan. Selain dari lamanya,
risiko merokok terbesar tergantung pada jumlah rokok yang dihisap perhari.
Seseoramg lebih dari satu pak rokok sehari menjadi 2 kali lebih rentan hipertensi dari
pada mereka yang tidak merokok.4
Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang diisap
melalui rokok, yang masuk kedalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel
pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses aterosklerosis dan hipertensi.11

b. Konsumsi Asin/Garam
Garam merupakan faktor yang sangat penting dalam patogenesis hipertensi.
Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan garam
yang minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari menyebabkan prevalensi
hipertensi yang rendah, sedangkan jika asupan garam antara 5-15 gram perhari
prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20 %. Pengaruh asupan terhadap
timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan
tekanan darah.13
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena menarik cairan
diluar sel agar tidak keluar, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah.
Pada manusia yang mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang ditemukan tekanan
darah rata-rata rendah, sedangkan asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darahnya
rata-rata lebih tinggi. Konsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih dari 6 gram/hari
setara dengan 110 mmol natrium atau 2400 mg/hari.3,11
Menurut Alison Hull, penelitian menunjukkan adanya kaitan antara asupan
natrium dengan hipertensi pada beberapa individu. Asupan natrium akan meningkat
menyebabkan tubuh meretensi cairan yang meningkatkan volume darah.14

c. Konsumsi Lemak Jenuh


Kebiasaan konsumsi lemak jenuh erat kaitannya dengan peningkatan berat
badan yang berisiko terjadinya hipertensi. Konsumsi lemak jenuh juga meningkatkan
risiko aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan
konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan
dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari minyak
sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat
menurunkan tekanan darah.14

d. Kebiasaan Konsumsi Minum Minuman Beralkohol


Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Peminum alkohol berat
cenderung hipertensi meskipun mekanisme timbulnya hipertensi belum diketahui
secara pasti. Orangorang yang minum alkohol terlalu sering atau yang terlalu banyak
memiliki tekanan yang lebih tinggi dari pada individu yang tidak minum atau minum
sedikit.14
Menurut Ali Khomsan konsumsi alkohol harus diwaspadai karena survei
menunjukkan bahwa 10 % kasus hipertensi berkaitan dengan konsumsi alkohol.
Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun
diduga, peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume sel darah merah serta
kekentalan darah merah berperan dalam menaikkan tekanan darah.11

e. Obesitas
Obesitas erat kaitannya dengan kegemaran mengkonsumsi makanan yang
mengandung tinggi lemak. Obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi karena
beberapa sebab. Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan
untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah
yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan
lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan berat badan juga meningkatkan frekuensi
denyut jantung dan kadar insulin dalam darah. Peningkatan insulin menyebabkan
tubuh menahan natrium dan air.10
Berat badan dan indeks Massa Tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan
tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Risiko relatif untuk menderita
hipertensi pada orang obes 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang
berat badannya normal. Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-30 %
memiliki berat badan lebih.11
f. Olahraga
Kurangnya aktifitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi karena
meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga cenderung
mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya
harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung
harus memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri.11

g. Stres
Stres dapat meningkatkan tekanan darah untuk sementara waktu dan bila stres
sudah hilang tekanan darah bisa normal kembali. Peristiwa mendadak menyebabkan
stres dapat meningkatkan tekanan darah, namun akibat stress berkelanjutan yang
dapat menimbulkan hipertensi belum dapat dipastikan.11

E. Patogenesis Hipertensi
Tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan darah melalui sistem sirkulasi
dilakukan oleh aksi memompa dari jantung (cardiac output/CO) dan dukungan dari
arteri (peripheral resistance/PR). Fungsi kerja masing-masing penentu tekanan darah
ini dipengaruhi oleh interaksi dari berbagai faktor yang kompleks. Hipertensi
sesungguhnya merupakan abnormalitas dari faktor-faktor tersebut, yang ditandai
dengan peningkatan curah jantung dan / atau ketahanan periferal.12

F. Gejala Klinis Hipertensi


Menurut Elizabeth J. Corwin, sebagian besar tanpa disertai gejala yang
mencolok dan manifestasi klinis timbul setelah mengetahui hipertensi bertahun-tahun
berupa:
1. Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat tekanan
darah intrakranium.
2. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina karena hipertensi.
3. Ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan syaraf.
4. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus.
5. Edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler.8

G. Diagnosis Hipertensi
Menurut Slamet Suyono, evaluasi pasien hipertensi mempunyai tiga tujuan:
1. Mengidentifikasi penyebab hipertensi.
2. Menilai adanya kerusakan organ target dan penyakit kardiovaskuler, beratnya
penyakit, serta respon terhadap pengobatan.
3. Mengidentifikasi adanya faktor risiko kardiovaskuler yang lain atau penyakit
penyerta, yang ikut menentukan prognosis dan ikut menentukan panduan
pengobatan.7
Data yang diperlukan untuk evaluasi tersebut diperoleh dengan cara
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan
penunjang. Peninggian tekanan darah kadang sering merupakan satu-satunya tanda
klinis hipertensi sehingga diperlukan pengukuran tekanan darah yang akurat.
Berbagai faktor yang mempengaruhi hasil pengukuran seperti faktor pasien, faktor
alat dan tempat pengukuran.7
Anamnesis yang dilakukan meliputi tingkat hipertensi dan lama
menderitanya, riwayat dan gejala-gejala penyakit yang berkaitan seperti penyakit
jantung koroner, penyakit serebrovaskuler dan lainnya. Apakah terdapat riwayat
penyakit dalam keluarga, gejala yang berkaitan dengan penyakit hipertensi,
perubahan aktifitas atau kebiasaan (seperti merokok, konsumsi makanan, riwayat dan
faktor psikososial lingkungan keluarga, pekerjaan, dan lain-lain). Dalam pemeriksaan
fisik dilakukan pengukuran tekanan darah dua kali atau lebih dengan jarak dua menit,
kemudian diperiksa ulang dengan kontrolatera.12

H. Penatalaksanaan Hipertensi
1. Penatalaksanaan Non Farmakologis
Pendekatan nonfarmakologis merupakan penanganan awal sebelum
penambahan obat-obatan hipertensi, disamping perlu diperhatikan oleh seorang yang
sedang dalam terapi obat. Sedangkan pasien hipertensi yang terkontrol, pendekatan
nonfarmakologis ini dapat membantu pengurangan dosis obat pada sebagian
penderita. Oleh karena itu, modifikasi gaya hidup merupakan hal yang penting
diperhatikan, karena berperan dalam keberhasilan penanganan hipertensi.11

Pendekatan nonfarmakologis dibedakan menjadi beberapa hal:


1. Menurunkan faktor risiko yang menyebabkan aterosklerosis.
Menurut Corwin berhenti merokok penting untuk mengurangi efek jangka
panjang hipertensi karena asap rokok diketahui menurunkan aliran darah ke berbagai
organ dan dapat meningkatkan beban kerja jantung. Selain itu pengurangan makanan
berlemak dapat menurunkan risiko aterosklerosis.8
Penderita hipertensi dianjurkan untuk berhenti merokok dan mengurangi
asupan alkohol. Berdasarkan hasil penelitian eksperimental, sampai pengurangan
sekitar 10 kg berat badan berhubungan langsung dengan penurunan tekanan darah
rata-rata 2-3 mmHg per kg berat badan.11
2. Olahraga dan aktifitas fisik
Selain untuk menjaga berat badan tetap normal, olahraga dan aktifitas fisik
teratur bermanfaat untuk mengatur tekanan darah, dan menjaga kebugaran tubuh.
Olahraga seperti jogging, berenang baik dilakukan untuk penderita hipertensi.
Dianjurkan untuk olahraga teratur, minimal 3 kali seminggu, dengan demikian dapat
menurunkan tekanan darah walaupun berat badan belum tentu turun.11
Olahraga yang teratur dibuktikan dapat menurunkan tekanan perifer sehingga
dapat menurunkan tekanan darah. Olahraga dapat menimbulkan perasaan santai dan
mengurangi berat badan sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Yang perlu
diingat adalah bahwa olahraga saja tidak dapat digunakan sebagai pengobatan
hipertensi.13
3. Perubahan pola makan
a. Mengurangi asupan garam
Pada hipertensi derajat I, pengurangan asupan garam dan upaya penurunan
berat badan dapat digunakan sebagai langkah awal pengobatan hipertensi. Nasihat
pengurangan asupan garam harus memperhatikan kebiasaan makan pasien, dengan
memperhitungkan jenis makanan tertentu yang banyak mengandung garam.
Pembatasan asupan garam sampai 60 mmol per hari, berarti tidak menambahkan
garam pada waktu makan, memasak tanpa garam, menghindari makanan yang sudah
diasinkan, dan menggunakan mentega yang bebas garam. Cara tersebut diatas akan
sulit dilaksanakan karena akanmengurangi asupan garam secara ketat dan akan
mengurangi kebiasaan makan pasien secara drastis.13

b. Diet rendah lemak jenuh


Lemak dalam diet meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis yang
berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh,
terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan
konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian
dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan darah.
c. Memperbanyak konsumsi sayuran, buah-buahan dan susu rendah lemak.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa mineral bermanfaat
mengatasi hipertensi. Kalium dibuktikan erat kaitannya dengan penurunan tekanan
darah arteri dan mengurangi risiko terjadinya stroke. Selain itu, mengkonsumsi
kalsium dan magnesium bermanfaat dalam penurunan tekanan darah. Banyak
konsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan mengandung banyak mineral, seperti
seledri, kol, jamur (banyak mengandung kalium), kacang-kacangan (banyak
mengandung magnesium). Sedangkan susu dan produk susu mengandung banyak
kalsium.11

4. Menghilangkan stress
Stres menjadi masalah bila tuntutan dari lingkungan hampir atau bahkan
sudah melebihi kemampuan kita untuk mengatasinya. Cara untuk menghilangkan
stres yaitu perubahan pola hidup dengan membuat perubahan dalam kehidupan rutin
sehari-hari dapat meringankan beban stres.
2. Penatalaksanaan Farmakologis
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan
oleh JNC 7:
a. Diuretic, terutama jenis Thiazide (Thiaz) Aldosteron Antagonist (Ald Ant)
b. Beta Blocker (BB)
c. Calcium channel blocker atau Calcium antagonist (CCB)
d. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
e. Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 Receptor angiotensint/ blocker (ARB).12

Adapun Tatalaksana hipertensi menurut menurut JNC7 dapat dilihat pada tabel 5
dibawah ini :
Masing-masing obat antihipertensi memliki efektivitas dan keamanan dalam
pengobatan hipertensi, tetapi pemilihan obat antihipertensi juga dipengaruhi beberapa
faktor, yaitu :
a. Faktor sosio ekonomi
b. Profil factor resiko kardiovaskular
c. Ada tidaknya kerusakan organ target
d. Ada tidaknya penyakit penyerta
e. Variasi individu dari respon pasien terhadap obat antihipertensi
f. Kemungkinan adanya interaksi dengan obat yang digunakan pasien untuk penyakit
lain
g. Bukti ilmiah kemampuan obat antihipertensi yang akan digunakan dalam
menurunkan resiko kardiovasskular.2

Berdasarkan uji klinis, hampir seluruh pedoman penanganan hipertensi


menyatakan bahwa keuntungan pengobatan antihipertensi adalah penurunan tekanan
darah itu sendiri, terlepas dari jenis atau kelas obat antihipertensi yang digunakan.
Tetapi terdapat pula bukti-bukti yang menyatakan bahwa kelas obat antihipertensi
tertentu memiliki kelebihan untuk kelompok pasien tertentu. Untuk keperluan
pengobatan, ada pengelompokan pasien berdasar yang memerlukan pertimbangan
khusus (special considerations), yaitu kelompok indikasi yang memaksa (compelling
indication) dan keadaan khusus lainnya (special situations).2

Indikasi yang memaksa meliputi:


a. Gagal jantung
b. Pasca infark miokardium
c. Resiko penyakit pembuluh darah koroner tinggi
d. Diabetes
e. Penyakit ginjal kronis
f. Pencegahan strok berulang.2,12
Keadaan khusus lainnya meliputi :
a. Populasi minoritas
b. Obesitas dan sindrom metabolic
c. Hipertrofi ventrikel kanan
d. Penyakit arteri perifer
e. Hipertensi pada usia lanjut
f. Hipotensi postural
g. Demensia
h. Hipertensi pada perempuan
i. Hipertensi pada anak dan dewasa muda
j. Hipertensi urgensi dan emergensi.2,12

Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap, dan
target tekanan darah dicapai secara progresif dalam beberapa minggu. Dianjurkan
untuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang atau yang
memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan apakah memulai
terapi dengan satu jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung pada
tekanan darah awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi dimulai dengan satu
jenis obat dan dalam dosis rendah, dan kemudian darah belum mencapai target, maka
langkah selanjutnya adalah meningkatnya dosis obat tertentu, atau berpindah ke
antihipertensi lain dengan rendah. Efek samping umumnya bisa dihindari dengan
menggunakan dosis rendah, baik tunggal maupun kombinasi. Sebagian besar pasien
memerlukan kombinasi obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah,
tetapi kombinasi dapat meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan kepatuhan
pasien karena jumlah obat yang harus diminum bertambah.2

Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien adalah :
a. Diuretik dan ACEI atau ARB
b. CCB dan BB
c. CCB dan ACEI atau ARB
d. CCB dan diuretika
e. AB dan BB
f. Kadang diperlukan tiga atau empat kombinasi obat.2,12

2.2 DIABETES MELITUS

A. Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus

merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus sebagai suatu

kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah

faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi

insulin. 15

B. Klasifikasi

Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA),

2005, yaitu16 :

1. Diabetes Melitus Tipe 1

DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat

kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering kencing

(terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita

DM tipe ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda

dan memerlukan insulin seumur hidup.


2. Diabetes Melitus Tipe 2

DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar

insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk

metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam darah

tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II

ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia 30

tahun.

3. Diabetes Melitus Tipe lain

a. Defek genetik pada fungsi sel beta


b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi
4. DM Gestasional
KLASIFIKASI DIABETES MELITUS PERKENI
1998

DM TIPE 1: DM TIPE 2 : DM TIPE LAIN : DM


Defisiensi Defisiensi insulin 1. Defek genetik fungsi sel beta : GESTASIONAL
insulin absolut relatif : Maturity onset diabetes of the young
A
akibat destuksi 1, defek sekresi Mutasi mitokondria DNA 3243 dan lain-lain
sel beta, insulin lebih 2. Penyakit eksokrin pankreas :Pankreatitis
karena: dominan daripada Pankreatektomy
1.autoimun resistensi insulin. 3.Endokrinopati : akromegali, cushing,
2. idiopatik 2. resistensi insulin hipertiroidisme
lebih dominan 4.akibat obat : glukokortikoid, hipertiroidisme
daripada defek 5.Akibat virus: CMV, Rubella
sekresi insulin. 6.Imunologi: antibodi anti insulin
7. Sindrom genetik lain: sdr. Down, Klinefelter
C. Prevalensi

World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global

diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366

juta tahun 2030. WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia

dalam hal jumlah penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada

tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada

tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi,

hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka menderita

diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara teratur.17

D. Patogenesis

 Diabetes mellitus tipe 1

Pada saat diabetes mellitus tergantung insulin muncul, sebagian besar

sel pankreas sudah rusak. Proses perusakan ini hampir pasti karena proses

autoimun, meskipun rinciannya masih samar. Ikhtisar sementara urutan

patogenetiknya adalah: pertama, harus ada kerentanan genetik terhadap

penyakit ini. Kedua, keadaan lingkungan seperti infeksi virus diyakini

merupakan satu mekanisme pemicu, tetapi agen noninfeksius juga dapat

terlibat. Tahap ketiga adalah insulitis, sel yang menginfiltrasi sel pulau adalah

monosit/makrofag dan limfosit T teraktivasi. Tahap keempat adalah

perubahan sel beta sehingga dikenal sebagai sel asing. Tahap kelima adalah

perkembangan respon imun. Karena sel pulau sekarang dianggap sebagai sel

asing, terbentuk antibodi sitotoksik dan bekerja sama dengan mekanisme


imun seluler. Hasil akhirnya adalah perusakan sel beta dan penampakan

diabetes.18

 Diabetes Melitus Tipe 2

Pasien DM tipe 2 mempunyai dua defek fisiologik : sekresi insulin

abnormal dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran (target).

Abnormalitas yang utama tidak diketahui. Secara deskriptif, tiga fase dapat

dikenali pada urutan klinis yang biasa. Pertama, glukosa plasma tetap normal

walaupun terlihat resistensi insulin karena kadar insulin meningkat. Pada fase

kedua, resistensi insulin cenderung memburuk sehingga meskipun konsentrasi

insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia

setelah makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi

insulin menurun, menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang

nyata.18

E. Manifestasi Klinik

Berdasarkan keluhan klinik, biasanya pasien Diabetes Melitus akan

mengeluhkan apa yang disebut 4P : polifagi dengan penurunan berat badan, Polidipsi

dengan poliuri, juga keluhan tambahan lain seperti sering kesemutan, rasa baal dan

gatal di kulit 16.

Kriteria diagnostik :

 Gejala klasik DM ditambah Gula Darah Sewaktu ≥200 mg/dl. Gula darah sewaktu

merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memerhatikan waktu

makan terakhir, atau


Kadar Gula Darah Puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat

kalori tambahan sedikit nya 8 jam, atau

Kadar gula darah 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dl. TTGO dilakukan dengan

standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa

anhidrus yang dilarutkan dalam air.19

 Gejala tidak klasik ditambah hasil pemeriksaan gula darah abnormal minimal

2x.20

Dengan cara pelaksanaan TTGO berdasarkan WHO ’94

 Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan

karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.

 Berpuasa paling sediikt 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum

air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.

 Diperiksa kadar glukosa darah puasa

 Diberikan glukosa 75 gram (dewasa) atau 1,75 g/kg BB (anak-anak) , dilarutkan

dalam 250 ml air dan diminum dalam 5 menit.

 Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam

setelah minum larutan glukosa selesai

 Diperiksa kadar gula darah 2 jam setelah beban glukosa

 Selama proses pemeriksaan tidak boleh merokok dan tetap istirahat

 Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat

digolongkan ke dalamkelompok TGT (toleransi glukosa terganggu) atau GDPT

(glukosa darah puasa terganggu) dari hasil yang diperoleh


 TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah pembenanan antara 140-199 mg/dl

 GDPT : glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dl

F. Komplikasi

a. Penyulit akut

1. Ketoasidosis diabetik

KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau

relatif dan penningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin,

kortisol dan hormon pertumbuhan). Keadaan tersebut menyebabkan produksi

glukosa hati meningkat dan penggunaan glukosa oleh sel tubuh menurun

dengan hasil akhir hiperglikemia. Berkurangnya insulin mengakibatkan

aktivitas kreb cycle menurun, asetil Ko-A dan Ko-A bebas akan meningkat

dan asetoasetil asid yang tidak dapat diteruskan dalam kreb cycle tersebut juga

meningkat. Bahan-bahan energi dari lemak yang kemudian di oksidasi untuk

menjadi sumber energi akibat sinyaling sel yang kekurangan glukosa akan

mengakibatkan end produk berupa benda keton yang bersifat asam.

Disamping itu glukoneogenesis dari protein dengan asam amino yang

mempunyai ketogenic effect menambah beratnya KAD. Kriteria diagnosis

KAD adalah GDS > 250 mg/dl, pH <7,35, HCO3 rendah, anion gap tinggi dan

keton serum (+). Biasanya didahului gejala berupa anorexia, nausea, muntah,

sakit perut, sakit dada dan menjadi tanda khas adalah pernapasan kussmaul

dan berbau aseton.

2. Koma Hiperosmolar Non Ketotik


Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan gula darah lebih besar dari 600

mg% tanpa ketosis yang berartidan osmolaritas plasma melebihi 350 mosm.

Keadaan ini jarang mengenai anak-anak, usia muda atau diabetes tipe non

insulin dependen karena pada keadaan ini pasien akan jatuh kedalam kondisi

KAD, sedang pada DM tipe 2 dimana kadar insulin darah nya masih cukup

untuk mencegah lipolisis tetapi tidak dapat mencegah keadaan hiperglikemia

sehingga tidak timbul hiperketonemia

3. Hipoglikemia

Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg% tanpa gejala

klinis atau GDS < 80 mg% dengan gejala klinis. Dimulai dari stadium

parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun. Stadium gangguan otak ringan

: lemah lesu, sulit bicara gangguan kognitif sementara. Stadium simpatik,

gejala adrenergik yaitukeringat dingin pada muka, bibir dan gemetar dada

berdebar-debar. Stadium gangguan otak berat, gejala neuroglikopenik :

pusing, gelisah, penurunan kesadaran dengan atau tanpa kejang.

b. Penyulit menahun

1. Mikroangiopati

Terjadi pada kapiler arteriol karena disfungsi endotel dan thrombosis

• Retinopati Diabetik

retinopati diabetik nonproliferatif, karena hiperpermeabilitas dan

inkompetens vasa. Kapiler membentuk kantung-kantung kecil menonjol


seperti titik-titik mikroaneurisma dan vena retina mengalami dilatasi dan

berkelok-kelok. Bahayanya dapat terjadi perdarahan disetiap lapisan retina.

Rusaknya sawar retina darah bagian dalam pada endotel retina menyebabkan

kebocoran cairan dan konstituen plasma ke dalam retina dan sekitarnya

menyebabkan edema yang membuat gangguan pandang. Pada retinopati

diabetik prolferatif terjadi iskemia retina yang progresif yang merangsang

neovaskularisasi yang menyebabkan kebocoran protein-protein serum dalam

jumlah besar. Neovaskularisasi yang rapuh ini berproliferasi ke bagian dalam

korpus vitreum yang bila tekanan meninggi saat berkontraksi maka bisa

terjadi perdarahan masif yang berakibat penurunan penglihatan mendadak.

Dianjurkan penyandang diabetes memeriksakan matanya 3 tahun sekali

sebelum timbulnya gejala dan setiap tahun bila sudah mulai ada kerusakan

mikro untuk mencegah kebutaan. Faktor utama adalah gula darah yang

terkontrol memperlambat progresivitas kerusakan retina.

• Nefropati Diabetik

Ditandai dengan albuminura menetap > 300 mg/24 jam atau > 200 ig/menit

pada minimal 2x pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan. Berlanjut menjadi

proteinuria akibat hiperfiltrasi patogenik kerusakan ginjal pada tingkat

glomerulus. Akibat glikasi nonenzimatik dan AGE, advanced glication

product yang ireversible dan menyebabkan hipertrofi sel dan kemoatraktan

mononuklear serta inhibisi sintesis nitric oxide sebagai vasadilator, terjadi

peningkatan tekanan intraglomerulus dan bila terjadi terus menerus dan

inflamasi kronik, nefritis yang reversible akan berubah menjadi nefropati


dimana terjadi keruakan menetap dan berkembang menjadi chronic kidney

disease.21

• Neuropati diabetik

Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya

sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi.

Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri dan

lebih terasa sakit di malam hari. Setelah diangnosis DM ditegakkan, pada

setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati

distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana, dengan monofilamen 10

gram, dilakukan sedikitnya setiap tahun.22

2. Makroangiopati

• Pembuluh darah jantung atau koroner dan otak

Kewaspadaan kemungkinan terjadinya PJK dan stroke harus ditingkatkan

terutama untuk mereka yang mempunyai resiko tinggi seperti riwayata

keluarga PJK atau DM

• Pembuluh darah tepi

Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes, biasanya

terjadi dengan gejala tipikal intermiten atau klaudikasio, meskipun sering anpa gejala.

Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.21

G. Penatalaksanaan
Tujuan pengobaan mencegah komplikasi akut dan kronik, meningkatkan kualitas

hidup dengan menormalkan KGD, dan dikatakan penderita DM terkontrol sehingga

sama dengan orang normal. Pilar penatalaksanaan Diabetes mellitus dimulai dari :

1. Edukasi

Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,

keluarga dan masyarakat.

2. Terapi gizi medis

Terapi gizi medik merupakan ssalah satu dari terapi non farmakologik yang

sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Terapi ini pada

prinsipnya melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status

gizi diabetes dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan

individual.

Tujuan terapi gizi ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan :

1. Kadar glukosa darah yang mendekati normal

a) Glukosa darah berkisar antaara 90-130 mg/dl

b) Glukosa darah 2 jam post prandial < 180 mg/dl

c) Kadar HbA1c < 7%

2. Tekanan darah <130/80

3. Profil lipid :

a) Kolesterol LDL <100 mg/dl

b) Kolesterol HDL >40 mg/dl

c) Trigliserida <150 mg/dl


4. Berat badan senormal mungkin, BMI 18 – 24,9

Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan perubahan pola

makan diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan, status gizi,, status

kesehatan, aktivitas fisik dan faktor usia. Selain itu ada beberapa faktor

fisiologi seperti masa kehamilan, masa pertumbuhan, gangguan pencernaan

pada usia tua, dan lainnya. Pada keadaan infeksi berat dimana terjadi proses

katabolisme yang tinggi perlu dipertimbangkan pemberian nutrisi khusus.

Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah masalah status ekonomi,

lingkungan kebiasaan dan tradisi dalam lingkungan yang bersangkutan serta

kemampuan petugas kesehatan yang ada.

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :

Komposisi nutrien berdasarkan konsensus nasional adalah Karbohidrat 60-70%,

Lemak 20-25% dan Protein 10-15%.

KARBOHIDRAT (1 gram=40 kkal)

 Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat lebih

ditentukan oleh jumlahnya dibandingkan jenis karbohidrat itu sendiri.

 Total kebutuhan kalori perhari, 60-70 % diantaranya berasal dari sumber

karbohidrat

 Jika ditambah MUFA sebagai sumber energi maka jumlah karbohidrat maksimal

70% dari total kebutuhan perhari

 Jumlah serat 25-50 gram/hari.

 Penggunaan alkohol dibatasi dan tidak boleh lebih dari 10 ml/hari.


 Pemanis yang tidak meningkatkan jumlah kalori sebagai penggantinya adalah

pemanis buatan seperti sakarin, aspartam, acesulfam dan sukralosa.

Penggunaannya pun dibatasi karena dapat meningkatkan resiko kejadian kanker.

 Fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gr/hari

 Makanan yang banyak mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.

PROTEIN

 Kebuthan protein 15-20% dari total kebutuhan energi perhari.

 Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak akan

mempengaruhi konsentrasi glukosa darah .

 Pada keadaan kadar glukosa darah yang tidak terkontrol, pemberian protein sekitar

0,8-1,0 mg/kg BB/hari .

 Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampa 0,85 gr/kg

BB/hari dan tidak kurang dari 40 gr.

 Jika terdapat komplikasi kardiovaskular maka sumber protein nabati lebih

dianjurkan dibandingkan protein hewani.

LEMAK

 Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal 10%

dari total kebutuhan kalori perhari.

 Jika kadar kolesterol LDL ≥ 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh diturunkan

sampai maksimal 7% dari total kalori perhari.

 Konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol LDL ≥100

mg/dl, maka maksimal kolesterol yag dapat dikonsumsi 200 mg perhari.


B. Kebutuhan Kalori

Menetukan kebutuhan kalori basa yang besarnya 25-30 kalori/ kg BB ideal ditambah

atau dikurangi bergantung pada beberapa factor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas,

berat badan dan lain-lain.

PENENTUAN KEBUTUHAN KALORI

Kebutuhan basal :

Laki-laki = berat badan ideal (kg) x 30 kalori

Wanita = berat badan ideal (kg) x 25 kalori

Koreksi :

umur

• 40-59 th : -5%

• 60-69 : -10%

• >70% : -20

aktivitas

• Istirahat : +10%

• Aktivitas ringan : +20%

• Aktivitas sedang : +30%

• Aktivitas berat : +50%

berat badan

• Kegemukan : - 20-30%

• Kurus : +20-30%

stress metabolik : + 10-30%


Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi 20%, makan siang

30% dan makan malam 25%, serta 2-3 porsi ringan 10-15% diantara porsi besar.

Berdasarkan IMT  dihitung berdasarkan berat badan (kg) dibagi dengan tinggi

badan kuadrat (m2).

Kualifikasi status gizi :

BB kurang : < 18,5

BB normal : 18,5 – 22,9

BB lebih : 23 – 24,9

3. Latihan Jasmani

Kegiatan fisik bagi penderita diabetes sangat dianjurkan karena mengurangi

resiko kejadian kardiovaskular dimana pada diabetes telah terjadi

mikroangiopati dan peningkatan lipid darah akibat pemecahan berlebihan

yang membuat vaskular menjadi lebih rentan akan penimbunan LDL

teroksidasi subendotel yang memperburuk kualitas hidup penderita. Dengan

latihan jasmani kebutuhan otot akan glukosa meningkat dan ini akan

menurunkan kadar gula darah.

Aktivitas latihan :

 5-10 menit pertama : glikogen akan dipecah menjadi glukosa

 10-40 menit berikutnya : kebutuhan otot akan glukosa akan meningkat

7-20x. Lemak

juga akan mulai dipakai untuk pembakaran sekitar 40%

 > 40 menit : makin banyak lemak dipecah ±75-90% .


Dengan makin banyaknya lemak dipecah, makin banyakk pula benda keton

yang terkumpul dan ini menjadi perhatian karena dapat mengarah ke keadaan

asidosis. Latihan berat hanya ditujukan pada penderita DM ringan atau

terkontrol saja, sedangkan DM yang agak berat, GDS mencapai > 350 mg/dl

sebaiknya olahraga yang ringan dahulu. Semua latihan yang memenuhi

program CRIPE : Continous, Rhythmical, Interval, Progressive, Endurance.

Continous maksudnya berkesinambungan dan dilakukan terus-menerus tanpa

berhenti. Rhytmical artinya latihan yang berirama, yaitu otot berkontraksi dan

relaksi secara teratur. Interval, dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan

lambat. Progresive dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari

intensitas ringa sampai sedang hingga 30-60 menit. Endurance, latihan daya

tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiopulmoner seperti jalan santai,

jogging dll.

4. Intervensi Farmakologis

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum

tercapai degan pengaturan makanan dan latihan jasmani.

1. obat hipoglikemik oral

a. insulin secretagogue :

sulfonilurea : meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Merupakan obat

pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurangm namun masih

boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Contohnya glibenklamid.
Glinid : bekerja cepat, merupakan prandial glucose regulator. Penekanan pada

peningkatan sekresi insulin fase pertama.obat ini berisiko terjadinya hipoglikemia.

Contohnya : repaglinid, nateglinid.

b. insulin sensitizers

Thiazolindindion. Mensensitisasi insulin dengan jalan meningkatkan efek insulin

endogen pada target organ (otot skelet dan hepar). Menurunkan resistensi insulin

dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga ambilan glukosa

di perifer meningkat. Agonis PPARγ yang ada di otot skelet, hepar dan jaringan

lemak.

c. glukoneogenesis inhibitor

Metformin. Bekerja mengurangi glukoneogenesis hepar dan juga memperbaiki

uptake glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk.

Kontraindikasi pada pasien dengan gangguan ginjal dan hepar dan pasien dengan

kecendrungan hipoksemia.

d. Inhibitor absorbsi glukosa

α glukosidase inhibitor (acarbose). Bekerja menghambat absorbsi glukosa di usus

halus sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.

Obat ini tidak menimbulkan efek hipoglikemi

Hal-hal yang harus diperhatikan :

OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan decara bertahap sesuai respon

kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis maksimal.sulfonilurea generasi I

dan II 15-30 menit sebelum makan. Glimepirid sebelum/sesaat sebelum makan.

Repaglinid, Nateglinid sesaat/sebelum makan. Metformin sesaat/pada saat/sebelum


makan. Penghambat glukosidase α bersama makan suapan pertama. Thiazolidindion

tidak bergantung jadwal makan.

2. Insulin

 Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi insulin basal dan sekresi insulin

prandial. Terapi insulin diupayakan mampu meniru pada sekresi insulin yang

fisiologis.

 Defisiensi insulin mungkin hanya berupa defisiensi insulin basa, insulin prandial

atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia

pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi nsulin prandial akan menimbulkan

hiperglikemia setelah makan.

 Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap

defisiensi yang terjadi.

 Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal berupa insulin kerja cepat (rapid

insulin), kerja pendek (short acting), kerja menengah (intermediate acting) atau

insuli campuran tetap (premixed insulin)

Insulin diperlukan dalam keadaan : penurunan berat badan yang cepat,

hiperglikemia yang berta disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia

hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan

kombinasi OHO dengan dosis yang hampir maksimal, stress berat (infeksi sistemik,

operasi besar, IMA, stroke), kehamilan dengan DM/DM Gestasional yang tidak

terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi hepar atau ginjal yang berat,

kontraindikasi atau alergi OHO.

3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah untuk

kemudian diinaikan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah.

Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak dipakai adalah kombinasi OHO

dan insulin basal (kerja menengah atau kerja lama) yang divberikan pada malam hari

atau menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat

diperoleh kendali glukosa yag baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal

insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian

dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar gula darah puasa keesokan

harinya. Bila dengan cara seperti ini kadar gula darah sepanjang hari masih tidak

terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan insulin

PENCEGAHAN

• Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang

memiliki faktor resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi

untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa. Materi penyuluhan

meliputi program penurunan berat badan, diet sehat, latihan jasmani dan

menghentikan kebiasaan merokok. Perencanaan kebijakan kesehatan ini

tentunya diharapkan memahami dampak sosio-ekonomi penyakit ini,

pentingnya menyediakan fasilitas yang memadai dalam upaya pencegahan

primer22.

• Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya

penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Program ini dapat dilakukan

dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit

sejak awal pengelolaan penyakit DM. Penyulihan ditujukan terutama bagi

pasien baru, yang dilakukan sejak pertemuan pertama dan selalu diulang pada

setiap pertemuan berikutnya. Pemberian antiplatelet dapat menurunkan resiko

timbulnya kelainan kardiovaskular pada penyandang Diabetes.

• Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah

mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih

menlanjut. Pada pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan kepada pasien

dan juga kelurganya dengan materi upaya rehabilitasi yang dapat dilakakukan

untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Upaya rehabilitasi pada pasien

dilakukan sedini mungkin sebelum kecacatan menetap, misalnya pemberian

aspirin dosis rendah80-325 mg/hari untuk mengurangi dampak

mikroangiopati. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin,

jantung, ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi

medik, gizi, pediatrist dll sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan

pencegahan tersier.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kusmana D. 2009. Hipertensi : definisi, prevalensi, farmakoterapi danlatihan


fisik. Departemen Kardiologi dan KedokteranVaskular FKUI. Cermin Dunia
Kedokteran. 161-7.
2. Yogiantoro M. 2006. Hipertensi Essensial. Dalam : Sudoyo WA, et al.Buku Ajar
ilmu Penyakit dalam Jilid 1. Edisi ke-4. Pusatpenerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.Jakarta.
3. Cheung BWY. 2010. Dalam : Cheung BMY. 2012. Nice new
hypertensionguidelines. World Journal of Hypertension 2 (5): 45-9.
4. Basile J. 2012. Hypertension 2012: what will the JNC 8 Guideline looklike?.
Annual primary care Kiawah conference Carolina.South carolina.
5. Irmalita, et al. 2009. Standar pelayanan medik RS Jantung dan PembuluhDarah
Harapan Kita. Pusat Jantung Nasional. Jakarta.
6. The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation
andTreatment of High Blood Pressure. 1997. The seventhreport of The Joint
National Committee on Prevention,Detection, Evaluation and Treatment of High
BloodPressure. Arch Intern Med 157: 2413-45.
7. Muchid A et al. 2006. Pharmaceutical untuk penyakit hipertensi.Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen BinaKefarmasian dan Alat kesehatan
Departemen kesehatan.Jakarta.
8. Hajjar I, Kotchen TA. 2003. Trends In Prevalence, Awareness, Treatment,
AndControl Of Hypertension In The United States, 1998 – 2000.JAMA 290:199-
206. Dalam : Muchid A et al. 2006.Pharmaceutical untuk penyakit hipertensi.
Direktorat BinaFarmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasiandan Alat
kesehatan Departemen kesehatan.
9. Chobaniam AV et al. 2003. Seventh Report of the Joint National Committee
onPrevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High BloodPressure.
JAMA 289:2560-2572. Dalam : Muchid A et al.2006. Pharmaceutical untuk
penyakit hipertensi. DirektoratBina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen
BinaKefarmasian dan Alat kesehatan Departemen kesehatan.
10. Dosh SA. 2001. The diagnosis of essential and secondary hypertension inadults.
J.Fam Pract 50:707-712. Dalam : Muchid A et al.2006. Pharmaceutical untuk
penyakit hipertensi. DirektoratBina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen
BinaKefarmasian dan Alat kesehatan Departemen kesehatan.
11. Oparil S et al. 2003. Pathogenesis of Hypertension. Ann Intern Med 139:761776
12. Price, S. A., & Lorraine M. W. 1994. Patofisiologis KonsepKlinis Proses-Proses
Penyakit edisi 4. Jakarta: EGC.
13. CHEP. 2012. (Canadian Hypertension Education program)Canadian
recomendation for the management ofhypertension. 2012. Canada.
14. Mancia G, Laurent S, et al.2009. Reappraisal of Europeanguidelines on
hypertension management: a EuropeanSociety of Hypertension Task Force
document Giuseppe.Journal of Hypertension 2009, 27:000–000
15. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. 2006. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Jakarta.
2006
16. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : buku ajar ilmu
penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV.
Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006; 1857.
17. Persi.Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup Berperan Besar Memicu Diabetes.2008
[ diakses tanggal 12 Januari 2011] http: //pdpersi.co.id
18. Foster DW.Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit
dalam. Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196.
19. Gustavani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006; hal.
1873
20. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes : mekanisme terjadinya, diagnosis dan
strategi pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI,
2006; 1906.
21. Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes mellitus.
Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses/ Sylvia Anderson price, Lorraine Mc
Carty Wilson; alih bahasa, Brahm U. Pendit[et.al.]editor bahasa Indonesia.
Jakarta;2005; hal.1259
22. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. 2006. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Jakarta.
2006
23. Pical FI. Prevalensi dandeterminan hipertensi di Posyandu Lansia wilayah
kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur thaun 2010. Jakarta : UI, 2011
24. Sarwanto, Wilujeng LK, Rukmini. Prevalensi hipertensi penduduk Indonesia dan
factor yang berisiko. Jakarta : Buleting Penelitian Kesehatan(12):2009
25. Sihombing M. Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi pada Penduduk
Indonesia yang Menderita Diabetes Melitus (Data Riskesdas 2013). Jakarta:
Buletin Penelitian Kesehatan(45)1: 2017: 53 – 64
26. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Laporan Hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;2014.
27. Toruan DPL, karim D, Woferst R. Hubungan motivasi diri dengan kepatuhan diet
pada penderita diabetes melitus tipe 2. Riau: JOM Univ. Riau, 2018
28. Awad N. Gambaran faktor resiko pasien diabetes melitus tipe II di poliklinik
endokrin bagian/SMF FK-UNSRAT RSU Prof. Dr. R D. Kandou Manado periode
Mei 2011- Oktober 2011. 2013.
29. Trisnawati SK. Faktor risiko kejadian diabetes melitus tipe II di Puskesmas
Kecamatan cengkareng Jakarta Barat tahun 2012. 2013.
30. Eckel RH dkk. Obesity and type 2 diabetes: what can be unified and what needs
to be individualized?. Diabetes care 2011,34: 1424-30.
31. Dewi M. Resitensi insulin terkait obesitas: mekanisme endokrin dan intrinsik sel.
2007, 2(2):49-54.

Vous aimerez peut-être aussi