Vous êtes sur la page 1sur 80

ASKEP TRAUMA MEDULA SPINALIS

BAB I
PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN
DENGAN MASALAH TRAUMA MEDULLA SPINALIS

A. LATAR BELAKANG
Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan
seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila Trauma itu mengenai daerah L1-2 dan/atau di
bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta
kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.trauma medulla spinalis diklasifikasikan sebagai
komplet : kehilangan sensasi fungsi motorik volunter total dan tidak komplet : campuran
kehilangan sensasi dan fungsi motorik volunter.
Trauma medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi
150.000 orang di Amerika Serikat, dengan perkiraan10.000 Trauma baru yang terjadi setiap
tahun. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda sekitar lebih dari 75% dari seluruh
Trauma. Data dari bagian rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati didapatkan
dalam 5 bulan terakhir terhitung dari Januari sampai Juni 2003 angka kejadian angka
kejadian untuk fraktur adalah berjumlah 165 orang yang di dalamnya termasuk angka
kejadian untuk Trauma medulla spinalis yang berjumlah 20 orang (12,5%).
Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena
olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak
dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan
hormonal (menopause).klien yang mengalami Trauma medulla spinalis khususnya bone loss
pada L2-3 membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan ADL dan
dalam pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien juga beresiko mengalami
komplikasi Trauma spinal seperti syok spinal, trombosis vena profunda, gagal napas;
pneumonia dan hiperfleksia autonomic.Maka dari itu sebagai perawat merasa perlu untuk
dapat membantu dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan Trauma medulla
spinalis dengan cara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif sehingga masalahnya dapat
teratasi dan klien dapat terhindar dari masalah yang paling buruk.Berdasarkan uraian diatas di
harapkan dengan adanya malkalah yang berjudul “Trauma medulla spinalis” dapat
bermanfaat bagi para pembaca untuk dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan.
BAB II
PEMBAHASAN

KONSEP DASAR
A. ANATOMI FISIOLOGI.
Columna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi medula
spinalis dan menunjang berat kepala serta batang tubuh, yang diteruskannya ke lubang-
lubang paha dan tungkai bawah. Masing-masing tulang dipisahkan oleh disitus
intervertebralis.
Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut :
a. Vetebrata Thoracalis (atlas).
Vetebrata Thoracalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus tetapi hanya berupa
cincin tulang. Vertebrata cervikalis kedua (axis) ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak.
Veterbrata cervitalis ketujuh disebut prominan karena mempunyai prosesus spinasus paling
panjang.
b. Vertebrata Thoracalis.
Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk jantung,
berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thorax.
c. Vertebrata Lumbalis.
Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal, berjumlah 5 buah
yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus vertebra yang besar ukurnanya sehingga
pergerakannya lebih luas kearah fleksi.
d. Os. Sacrum.
Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang dimana ke 5
vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang bayi.
e. Os. Coccygis.
Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami rudimenter.
Lengkung koluma vertebralis.kalau dilihat dari samping maka kolumna vertebralis
memperlihatkan empat kurva atau lengkung antero-pesterior : lengkung vertikal pada daerah
leher melengkung kedepan daerah torakal melengkung kebelakang, daerah lumbal kedepan
dan daerah pelvis melengkung kebelakang. Kedua lengkung yang menghadap pasterior, yaitu
torakal dan pelvis, disebut promer karena mereka mempertahankan lengkung aslinya
kebelakang dari hidung tulang belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin dengna kepala
membengkak ke bawah sampai batas dada dan gelang panggul dimiringkan keatas kearah
depan badan. Kedua lengkung yang menghadap ke anterior adalah sekunder → lengkung
servikal berkembang ketika kanak-kanak mengangkat kepalanya untuk melihat sekelilingnya
sambil menyelidiki, dan lengkung lumbal di bentuk ketika ia merangkak, berdiri dan berjalan
serta mempertahankan tegak.
Fungsi dari kolumna vertebralis. Sebagai pendukung badan yang kokoh dan sekaligus
bekerja sebagai penyangga kedengan prantaraan tulang rawan cakram intervertebralis yang
lengkungnya memberikan fleksibilitas dan memungkinkan membonkok tanpa patah.
Cakramnya juga berguna untuk menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat
badan seperti waktu berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum belkang
terlindung terhadap goncangan. Disamping itu juga untuk memikul berat badan, menyediakan
permukaan untuk kartan otot dan membentuk tapal batas pasterior yang kukuh untuk rongga-
rongga badan dan memberi kaitan pada iga.
Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang bermula ada medula ablongata,
menjulur kearah kaudal melalu foramen magnum dan berakhir diantara vertebra-lumbalis
pertama dan kedua. Disini medula spinalis meruncing sebagai konus medularis, dna
kemudian sebuah sambungan tipis dasri pia meter yang disebut filum terminale, yang
menembus kantong durameter, bergerak menuju koksigis. Sumsum tulang belakang yang
berukuran panjang sekitar 45 cm ini, pada bagian depannya dibelah oleh figura anterior yang
dalam, sementara bagian belakang dibelah oleh sebuah figura sempit.
Pada sumsum tulang belakang terdapat dua penebalan, servikal dan lumbal. Dari
penebalan ini, plexus-plexus saraf bergerak guna melayani anggota badan atas dan bawah dan
plexus dari daerah thorax membentuk saraf-saraf interkostalis.

Fungsi sumsum tulang belakang :


1). Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit.
2). Serabut saraf sensorik ; mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju sel-sel dalam
ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi kelabu pada karnu pasterior
mendula spinalis.
3). Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung menghantarkan
impuls-impuls menuju karnu anterior medula spinalis.
4). sel saraf motorik ; dalam karnu anterior medula spinalis yang menerima dan mengalihkan
impuls tersebut melalui serabut sarag motorik.
5). Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls saraf motorik.
6). Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada daerah torakal
dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis beberapa otot interkostal, paralisis
pada otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker
pada uretra dan rektum.

B. PENGERTIAN.
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan
oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001).Trauma medulla
spinalis adalah buatan kerusakan tulang dan sumsum yang mengakibatkan gangguan sistem
persyarafan didalam tubuh manusia yang diklasifikasikan sebagai :
- komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total)
- tidak komplet (campuran kehilagan sensori dan fungsi motorik)
Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan
sering kali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila Trauma itu mengenai daerah servikal pada
lengan, badan dan tungkai mata penderita itu tidak tertolong. Dan apabila saraf frenitus itu
terserang maka dibutuhkan pernafasan buatan, sebelum alat pernafasan mekanik dapat
digunakan.

C. ETIOLOGI.
Penyebab dari Trauma medulla spinalis yaitu :
a. kecelakaan otomobil, industri
b. terjatuh, olah-raga, menyelam
c. luka tusuk, tembak
d. tumor.

D. PATOFISIOLOGI.
Kerusakan medulla spinalis berkisar dari kamosio sementara (pasien sembuh
sempurna) sampai kontusio, laserasi dan kompresi substansi medulla, (lebih salah satu atau
dalam kombinasi) sampai transaksi lengkap medulla (membuat pasien paralisis).Bila
hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke ekstradul subdural
atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio atau robekan pada
Trauma, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur.

Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi terganggu, tidak hanya ini saja tetapi
proses patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi pada Trauma medulla spinalis akut.
Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulkan iskemia, hipoksia, edema, lesi,
hemorargi.
Trauma medulla spinalis dapat terjadi pada lumbal 1-5
- Lesi L1 : Kehilangan sensorik yaitu sama menyebar sampai lipat paha dan bagian dari
bokong.
- Lesi L2 : Ekstremitas bagian bawah kecuali 1/3 atas dari anterior paha.
- Lesi L3 : Ekstremitas bagian bawah.
- Lesi L4 : Ekstremitas bagian bawah kecuali anterior paha.
- Lesi L5 : Bagian luar kaki dan pergelangan kaki.

E. MANIFESTASI KLINIS.
a. nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena
b. paraplegia
c. tingkat neurologik
d. paralisis sensorik motorik total
e. kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung kemih)
f. penurunan keringat dan tonus vasomoto
g. penurunan fungsi pernafasan
h. gagal nafas

F. PEMERIKSAN DIAGNOSTIK.
a. Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis Trauma tulan (fraktur, dislokasi), unutk kesejajaran, reduksi
setelah dilakukan traksi atau operasi
b. Skan ct
Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural
c. MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
d. Mielografi.
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor putologisnya tidak jelas
atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan
dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).
e. Foto ronsen torak, memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada diafragma,
atelektasis)
f. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume inspirasi
maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian bawah atau pada trauma
torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal).
g. GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi
G. KOMPLIKASI.
a. Neurogenik shock.
b. Hipoksia.
c. Gangguan paru-paru
d. Instabilitas spinal
e. Orthostatic Hipotensi
f. Ileus Paralitik
g. Infeksi saluran kemih
h. Kontraktur
i. Dekubitus
j. Inkontinensia blader
k. Konstipasi

H. PENATALAKSANAAN.
a. Penatalaksanaan Kedaruratan
pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena penatalaksanaan yang
tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan fungsi neurologik.Korban kecelakaan
kendaraan bermotor atau kecelakaan berkendara , Trauma olahraga kontak, jatuh,atau trauma
langsung pada kepala dan leher dan leher harus dipertimbangkan mengalami Trauma medula
spinalis sampai bukti Trauma ini disingkirkan.
1) Ditempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan spinal( punggung) ,dengan
kepala dan leher dalam posisi netral, untuk mencegah Trauma komplit.
2) Salah satu anggota tim harus menggontrol kepala pasien untuk mencegah fleksi, rotasi atau
ekstensi kepala.
3) Tangan ditempatkan pada kedua sisi dekat telinga untuk mempertahankan traksi dan
kesejajaran sementara papan spinalatau alat imobilisasi servikal dipasang.
4) Paling sedikit empat orangharus mengangkat korban dengan hati- hati keatas papan untuk
memindahkan memindahkan kerumah sakit. Adanya gerakan memuntir dapat merusak
medula spinais ireversibel yang menyebabkan fragmen tulang vertebra terputus, patah, atau
memotong medula komplit.
Sebaiknya pasien dirujuk keTrauma spinal regional atau pusat trauma karena personel
multidisiplin dan pelayanan pendukung dituntut untuk menghadapi perubahan dekstruktif
yang tejadi beberapa jam pertama setelah Trauma.Memindahkan pasien, selama pengobatan
didepartemen kedaruratan dan radiologi,pasien dipertahankan diatas papan pemindahan .
Pemindahan pasien ketempat tidur menunjukkan masalah perawat yang pasti. Pasien harus
dipertahankan dalam posisi eksternal.Tidak ada bagian tubuh yang terpuntir atau tertekuk,
juga tidak boleh pasien dibiarkan mengambil posisi duduk.
Pasien harus ditempatkan diatas sebuah stryker atau kerangka pembalik lain ketika
merencanakan pemindahan ketempat tidur. Selanjutnya jika sudah terbukti bahwa ini bukan
Trauma medula, pasien dapat dipindahkan ketempat tidur biasa tanpa bahaya.Sebaliknya
kadang- kadang tindakan ini tidak benar.Jika stryker atau kerangka pembalik lain tidak
tersedia pasien harus ditempatkan diatas matras padat dengan papan tempat tidur
dibawahnya.
b. Penatalaksanaan Trauma Medula Spinalis ( Fase Akut)
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah Trauma medula spinalis lebih lanjut
dan untuk mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologis. Lakukan resusitasi sesuai
kebutuhan dan pertahankan oksigenasi dan kestabilan kardiovaskuler.

I.FARMAKOTERAPY.
Berikan steroid dosis tinggi (metilpredisolon) untuk melawan edema medulla.
Tindakan Respiratori
1) Berikan oksigen untuk mempertahankan PO2 arterial yang tinggi.
2) Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk menghindari fleksi atau eksistensi
leher bila diperlukan inkubasi endrotakeal.
3) Pertimbangan alat pacu diafragma (stimulasi listrik saraf frenikus) untuk pasien dengan
lesi servikal yang tinggi.
Reduksi dan Fraksi skeletal
1) Trauma medulla spinalis membutuhkan immobilisasi, reduksi, dislokasi, dan stabilisasi
koluma vertebrata.
2) Kurangi fraktur servikal dan luruskan spinal servikal dengan suatu bentuk traksi skeletal,
yaitu teknik tong /capiller skeletal atau halo vest.
3) Gantung pemberat dengan batas sehinga tidak menggangu traksi
Intervensi bedah = Laminektomi
Dilakukan Bila :
1) Deformitas tidak dapat dikurangi dengan fraksi
2) Terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal servikal
3) Trauma terjadi pada region lumbar atau torakal
4) Status Neurologis mengalami penyimpanan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi
atau dekompres medulla.

J. PENCEGAHAN.
Faktor – faktor resiko dominan untuk Trauma medula spinalis meliputi usia dan jenis
kelamin. Frekuensi dengan mana faktor- faktor resiko ini dikaitkan dengan Trauma medula
spinalisbertindak untuk menekankan pentingnya pencegahan primer. Untuk mencegah
kerusakan dan bencana ini , langkah- langkah berikut perlu dilakukan :
1) Menurunkan kecepatan berkendara.
2) Menggunakan sabuk keselamatan dan pelindung bahu.
3) Menggunakan helm untuk pengendara motor dan sepeda.
4) Program pendidikaan langsung untuk mencegah berkendara sambil mabuk.
5) Mengajarkan penggunaan air yang aman.
6) Mencegah jatuh.
7) Menggunakan alat- alat pelindung dan tekhnik latihan.
Personel paramedis diajarkan pentingnya memindahkan korban kecelakaan mobil dari
mobilnya dengan tepat dan mengikuti metode pemindahan korban yang tepat kebagian
kedaruratan rumah sakit untuk menghindari kemungkinan kerusakan lanjut dan menetap pada
medula spinalis.

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


DENGAN TRAUMA MEDULLA SPINALIS

A. Pengkajian
a.1. Pengkajian Primer
1). Airway.
Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan
adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat
disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang
wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical
spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari
leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan
hembusan napas yang keluar melalui hidung.
Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari
atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan
pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas.
2). Breathing.
Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat. Apabila tersedia, O2
dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Jika penguasaan jalan napas belum dapat
memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi
endotrakheal.1,3,5,6,7,8.
3). Circulation.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan denyut
nadi Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal,
menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang
teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik.
4). Disability.
Melihat secara keseluruhan kemampuan pasien diantaranya kesadaran pasien.
5). Exprosure,
Melihat secara keseluruhan keadaan pasien. Pasien dalam keadaan sadar (GCS 15)
dengan :Simple head injury bila tanpa deficit neurology
a) Dilakukan rawat luka
b) Pemeriksaan radiology
c) Pasien dipulangkan dan keluarga diminta untuk observasi bila terjadi penurunan kesadaran
segera bawa ke rumah sakit

a.2. Pengkajian Skunder.


1). Aktifitas /Istirahat.
Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi. Kelemahan umum
/ kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).
2). Sirkulasi.
Hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat.
3). Eliminasi.
Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emisis berwarna
seperti kopi tanah /hematemesis.
4). Integritas Ego.
5). Takut, cemas, gelisah, menarik diri.
6). Makanan /cairan.
Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik)
7). Higiene.
Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (bervariasi)
8). Neurosensori.
Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada syok
spinal).Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki normak setelah syok spinal
sembuh).Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks /refleks asimetris termasuk
tendon dalam. Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yang terkena
karena pengaruh trauma spinal.
9). Nyeri /kenyamanan.
Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
10). Pernapasan.
Pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi napas, ronki, pucat, sianosis.
11). Keamanan.
Suhu yang berfluktasi *(suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar).
12). Seksualitas.
Ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur.

B. Diagnosa Keperawatan.
a. Ketidak efektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan /paralisis otot-otot
abdomen dan intertiostal dan ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi.
b. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan sesorik.
c. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan penurunan
immobilitas, penurunan sensorik.
d. Retensi urine yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih secara spontan.
e. Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai akibat gangguan autonomik.
f. Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, Trauma psikis dan alt traksi

C. Perencanaan dan Implementasi.


Tujuan perencanaan dan implementasi dapat mencakup perbaikan pola pernapasan,
perbaikan mobilitas, pemeliharaan integritas kulit, menghilangkan retensi urine, perbaikan
fungsi usus, peningkatan rasa nyaman, dan tidak terdapatnya komplikasi.

D. Intervensi.
a. Tujuan : Meningkatkan pernapasan yang adekuat
Kriteria hasil : Batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan seket, bunyi napas normal, jalan
napas bersih, respirasi normal, irama dan jumlah pernapasan, pasien, mampu melakukan
reposisi, nilai AGD : PaO2 > 80 mmHg, PaCO2 = 35-45 mmHg, PH = 7,35 – 7,45

E. Rencana Tindakan 1.
1). Kaji kemampuan batuk dan reproduksi sekret
R/ Hilangnya kemampuan motorik otot intercosta dan abdomen berpengaruh terhadap
kemampuan batuk.
2). Pertahankan jalan nafas (hindari fleksi leher, brsihkan sekret)
R/ Menutup jalan nafas.
3). Monitor warna, jumlah dan konsistensi sekret, lakukan kultur
R/ Hilangnya refleks batuk beresiko menimbulkan pnemonia.
4). Lakukan suction bila perlu
R/ Pengambilan secret dan menghindari aspirasi.
5). Auskultasi bunyi napas
R/ Mendeteksi adanya sekret dalam paru-paru.
6). Lakukan latihan nafas
R/ mengembangkan alveolu dan menurunkan prosuksi sekret.
7). Berikan minum hangat jika tidak kontraindikasi
R/ Mengencerkan sekret
8). Berikan oksigen dan monitor analisa gas darah
R/ Meninghkatkan suplai oksigen dan mengetahui kadar olsogen dalam darah.
9). Monitor tanda vital setiap 2 jam dan status neurologi
R/ Mendeteksi adanya infeksi dan status respirasi.
b. Tujuan : Memperbaiki mobilitas
Kriteria Hasil : Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya kontraktur,
footdrop, meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang sakit /kompensasi, mendemonstrasikan
teknik /perilaku yang memungkinkan melakukan kembali aktifitas.

F. Rencana Tindakan 2.
1). Kaji fungsi-fungsi sensori dan motorik pasien setiap 4 jam.
R/ Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien setiap 4 jam.
2). Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan memperhatikan kestabilan tubuh dan kenyamanan
pasien.
R/ Mencegah terjadinya dekubitus.
3). Beri papan penahan pada kaki
R/ Mencegah terjadinya foodrop
4). Gunakan otot orthopedhi, edar, handsplits
R/ Mencegah terjadinya kontraktur.
5). Lakukan ROM Pasif setelah 48-72 setelah Trauma 4-5 kali /hari
R/ Meningkatkan stimulasi dan mencehag kontraktur.
6). Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien.
R/ Menunjukan adanya aktifitas yang berlebihan.
7). Konsultasikan kepada fisiotrepi untuk latihan dan penggunaan otot seperti splints
R/ Memberikan pancingan yang sesuai.
c. Tujuan : Mempertahankan Intergritas kulit
Kriteria Hasil : Keadaan kulit pasien utuh, bebas dari kemerahan, bebas dari infeksi pada
lokasi yang tertekan.

G. Rencana Tindakan 3.
1). Kaji faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulit
R/ Salah satunya yaitu immobilisasi, hilangnya sensasi, Inkontinensia bladder /bowel.
2). Kaji keadaan pasien setiap 8 jam
R/ Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus.
3). Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa)
R/ Mengurangi tekanan 1 tekanan sehingga mengurangi resiko dekubitas
4). Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis
R/ Daerah yang tertekan akan menimbulkan hipoksia, perubahan posisi meningkatkan
sirkulasi darah.
5). Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tubuh pasien.
R/ Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya kerusakan kulit
6). Lakukan pemijatan khusus / lembut diatas daerah tulang yang menonjol setiap 2 jam
dengan gerakan memutar.
R/ Meningkatkan sirkulasi darah
7). Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi protein
R/ Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan
8). Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari
R/ Mempercepat proses penyembuhan
d. Tujuan : Peningkatan eliminasi urine
Kriteria Hasil : Pasien dpat mempertahankan pengosongan blodder tanpa residu dan distensi,
keadaan urine jernih, kultur urine negatif, intake dan output cairan seimbang

H. Rencana tindakan 4.
1). Kaji tanda-tanda infeksi saluran kemih
R/ Efek dari tidak efektifnya bladder adalah adanya infeksi saluran kemih
2). Kaji intake dan output cairan
R/ Mengetahui adekuatnya gunsi gnjal dan efektifnya blodder.
3). Lakukan pemasangan kateter sesuai program
R/ Efek trauma medulla spinalis adlah adanya gangguan refleks berkemih sehingga perlu
bantuan dalam pengeluaran urine
4). Anjurkan pasien untuk minum 2-3 liter setiap hari
R/ Mencegah urine lebih pekat yang berakibat timbulnya ……..
5). Cek bladder pasien setiap 2 jam
R/ Mengetahui adanya residu sebagai akibat autonomic hyperrefleksia
6).Lakukan pemeriksaan urinalisa, kultur dan sensitibilitas
R/ Mengetahui adanya infeksi
7). Monitor temperatur tubuh setiap 8 jam
R/ Temperatur yang meningkat indikasi adanya infeksi.
e. Tujuan : Memperbaiki fungsi usus
Kriteria hasil : Pasien bebas konstipasi, keadaan feses yang lembek, berbentuk.

I. Rencana tindakan 5.
1). kaji pola eliminasi bowel
R/ Menentukan adanya perubahan eliminasi
2). Berikan diet tinggi serat
R/ Serat meningkatkan konsistensi feses
3). Berikan minum 1800 – 2000 ml/hari jika tidak ada kontraindikasi
R/ Mencegah konstipasi
4). Auskultasi bising usus, kaji adanya distensi abdomen
R/ Bising usus menentukan pergerakan perstaltik
5). Hindari penggunaan laktasif oral
R/ Kebiasaan menggunakan laktasif akan tejadi ketergantungan
6). Lakukan mobilisasi jika memungkinkan
R/ Meningkatkan pergerakan peritaltik
7). Berikan suppositoria sesuai program
R/ Pelunak feses sehingga memudahkan eliminasi
8). Evaluasi dan catat adanya perdarah pada saat eliminasi
R/ Kemungkinan perdarahan akibat iritasi penggunaan suppositoria
f. Tujuan : Memberikan rasa nyaman
Kriteria hasil : Melaporkan penurunan rasa nyeri /ketidak nyaman, mengidentifikasikan cara-
cara untuk mengatasi nyeri, mendemonstrasikan penggunaan keterampilan relaksasi dan
aktifitas hiburan sesuai kebutuhan individu.

J. Rencana tindakan 6.
1). Kaji terhadap adanya nyeri, bantu pasien mengidentifikasi dan menghitung nyeri,
misalnya lokasi, tipe nyeri, intensitas pada skala 0 – 1-
R/ Pasien biasanya melaporkan nyeri diatas tingkat Trauma misalnya dada / punggung atau
kemungkinan sakit kepala dari alat stabilizer
2). Berikan tindakan kenyamanan, misalnya, perubahan posisi, masase, kompres hangat /
dingin sesuai indikasi.
R/ Tindakan alternatif mengontrol nyeri digunakan untuk keuntungan emosionlan, selain
menurunkan kebutuhan otot nyeri / efek tak diinginkan pada fungsi pernafasan.
3). Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya, pedoman imajinasi visualisasi, latihan
nafas dalam.
R/ Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol, dan dapat meningkatkan
kemampuan koping
4). Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, relaksasi otot, misalnya dontren (dantrium);
analgetik; antiansietis.misalnya diazepam (valium)
R/ Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme /nyeri otot atau untuk menghilangkan-ansietas
dan meningkatkan istrirahat.

K. Evalusi.
a. Klien dapat meningkatkan pernafasan yang adekuat
b. Klien dapat memperbaiki mobilitas
c. Klien dapat mempertahankan integritas kulit
d. klien mengalami peningkatan eliminasi urine
e. Klien mengalami perbaikan usus / tidak mengalami konstipasi
f. Klien menyatakan rasa nyaman

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan
oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001).Penyebab dari
Trauma medulla spinalis yaitu :kecelakaan otomobil, industri terjatuh, olah-raga, menyelam
,luka tusuk, tembak dan tumor.
Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke
ekstradul subdural atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio
atau robekan pada Trauma, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi
darah ke medulla spinalis menjadi terganggu, tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik
menyebabkan kerusakan yang terjadi pada Trauma medulla spinalis akut. Suatu rantai
sekunder kejadian-kejadian yang menimbulakn iskemia, hipoksia, edema, lesi, hemorargi.
Penatalaksanaan pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena
penatalaksanaan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan fungsi
neurologik.Pada kepala dan leher dan leher harus dipertimbangkan mengalami Trauma
medula spinalis sampai bukti Trauma ini disingkirkan. Memindahkan pasien, selama
pengobatan didepartemen kedaruratan dan radiologi,pasien dipertahankan diatas papan
pemindahan.
Asuhan Keperawatan yang diberikan pada pasien dengan Trauma medula spinalis berbeda
penanganannya dengan perawatan terhadap penyakit lainnya,karena kesalah dalam
memberikan asuhan keperawatan dapat menyebabkan Trauma semakin komplit dan dapat
menyebabkan kematian.

B. SARAN.
Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada mahasiswa agar dapat menjaga
kesehatannya terutama pada bagian tulang belakang agar Trauma medula spinalis dapat
terhindar. Adapun jika sudah terjadi , mahasiswa dapat melakukan perawatan seperti yang
telah tertulis dalam makalah ini

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Tifus Abdominalis (demam tifoid, enteric faver) ialah penyakit infeksi akut yang biasanya
mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu,gangguan
pada pencernaan,dengan gangguan kesadaran.
(Ngastiyah, 2005 : 236)
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam tifoid, Diseluruh
dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian setiap tahunnya. Demam tifoid
merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada anak maupun dewasa. Anak
merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid,walaupun gejala yang dialami anak lebih
ringan dari pada dewasa. Dihampir semua daerah endemik, insiden demam tifoid banyak terjadi
pada anak usia 5-19 tahun.
(Husan, 12 Mei, 2011)
Menurut widodo 2006, Survei pada tahun 1990 diberbagai Rumah Sakit Indonesia dari
tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 53,8 %
yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus. Sedangkan menurut hernawati pada tahun 2005 sampai
dengan tahun 2007 rumah sakit di Indonesia mengalami peningkatan angka penderita typus
abdominalis sebesar 32,552 atau 39.562 kasus.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Sumut di Medan, angka kejadian
(insiden rate) kasus demam Tifoid pada tahun 2005 mencapai 35,69/100.000 penduduk.
Sementara pada tahun 2007 sebesar 34,10/100.000 penduduk, pada tahun 2008 sekitar 34,30
/100.000 penduduk dan pada tahun 2010 hingga akhir September mencapai 36,52 /100.000
penduduk, meski cenderung mengalami peningkatan namun masih dibawah angka rata-rata
Nasional, sebesar 55/100.000 penduduk. (Emelia, 15 juli, 2011)
Penyakit tifus atau yang dikenal Tifus Abdominalis mewabah di Tanah Karo, Kepala Dinas
Kesehatan Tanah Karo mengungkapkan penderita Tifus menembus angka 38.58 kasus.jumlah
ini melebihi penyakit demam berdarah yang hanya dua kasus. Penyakit ini tidak hanya
menyerang anan-anak tetapi juga orang dewasa, karena tifus merupakan penyakit infeksi bakteri
pada usus halus atau aliran darah yang di sebabkan oleh kuman salmonella typhi atau
salmonella paratyphia. Kuman masuk melalui makanan dan minuman kesaluran pencernaan,
setelah berkembang biak kemudian menembus dingding usus menuju saluran limfe kemudian
masuk ke pembuluh darah dalam waktu 24-72 jam biasanya penderita mengalami demam satu
mingggu. Tifus biasa di cegah dengan berperilaku hidup bersih dan sehat, paling tidak dengan
mencuci tangan setiap selesai beraktivitas atau sebelum makan dan tidur dan juga
memperhatikan lingkungan di sekitan rumahnya. (Nasadul, 15 Mei 2011)
Dari latar belakang uraian diatas maka peneliti merasa tertarik untuk melaksanakan
peneliti dengan judul : Gambaran Pengetahuan Pasien tentang Tifus Abdominalis Di Rumah
Sakit Umum Kabanjahe Tahun 2011.

1.2. Perumusan Masalah

Adapun rumusan Masalah adalah “Bagaimanakah Gambaran Pengetahuan Pasien tentang


Tifus Abdominalis Di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Tahun 2011.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum


Untuk mengetahui Gambaran Pengetahuan Pasien Tentang Tifus Abdominalis Di Rumah Sakit
Umum Kabanjahe Tahun 2011.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui Gambaran Pengetahuan Pasien Tentang Tifus Abdominalis Di Rumah Sakit
Umum Kabanjahe Tahun 2011 berdasarkan umur.
b. Untuk mengetahui Gambaran Pengetahuan Pasien Tentang Tifus Abdominalis Di Rumah Sakit
Umum Kabanjahe Tahun 2011 berdasarkan pendidikan.
c. Untuk mengetahui Gambaran Pengetahuan Pasien Tentang Tifus Abdominalis Di Rumah Sakit
Umum Kabanjahe Tahun 2011 berdasarkan pekerjaan.
d. Untuk mengetahui Gambaran Pengetahuan Pasien Tentang Tifus Abdominalis Di Rumah Sakit
Umum Kabanjahe Tahun 2011 berdasarkan sumber informasi.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti
Untuk menambah pengetahuan dan wawasan peneliti dalam penerapan ilmu pengetahuan yang
dapat di peroleh dalam perkuliahan khususnya mengenai Tifus Abdominalis
2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan masukan bagi institusi dalam proses belajar mengajar dalam perkuliahan serta
menambah wawasan dan sebagai bahan referensi di perpustakaan Abid Takasima Kabanjahe.
3. Bagi Rumah Sakit Umum Kabanjahe
Untuk menambah pengetahuan dan sebagai bahan masukan bagi petugas rumah sakit umum
kabanjahe dalam menerapkan asuhan kebidanan pada Pasien Tifus Abdominalis.
4. Bagi Peneliti Berikutnya
Sebagai bahan acuan untuk melakukan penelitian berikutnya dan tambah referensi bagi peneliti
mengenai Tifus Abdominalis sehingga peneliti berikutnya menjadi lebih baik.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengetahuan

2.1.1. Defenisi
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia,
yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
(Notoatmodjo, 2003 : 127-128)
Pengetahuan adalah merupakan hasil mengingat satu hal , mengingat kembali kejadian
yang pernah di alami baik secara sengaja maupun tidak disengaja dan ini terjadi setelah orang
melakukan kontak dan pengamatan suatu objek tertentu.
(Mubarak, 2007 : 28)
Pengetahuan adalah persatuan antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang
diketahui. Persatuan subyek dan obyek didalam pengetahuan dapat dikatakan persatuan yang
mengandung mesteri atau bersifat metafisik. Subyek tetap subyek, dan obyek tetap obyek.
(Agustrisno, 2005 : 23)
2.1.2. Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognit mempunyai 6 tingkatan :
1. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk
kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesitif dari
seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.oleh sebab itu, tahu ini
merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang
tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan,
menyatakan, dan sebagainya. Contoh : dapat menyebutkan tanda-tanda kekurangan kalori dan
protein pada anak balita.
2. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek
yang diketahui, dan dapat menginter-prestasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah
paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,
menyimpulkan, meramalkan, sebagainya terhadap objek yang dipelajari. Misalnya dapat
menjelaskan mengapa harus makan makanan yang bergizi.
3. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada
situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau
penggunaan hukum-hukum rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi
yang lain. Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-perhitungan hasil
penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving
cyclel) didalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.
4. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam
komponen-komponen, tetapi masih didalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya
satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat
menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan
sebagainya.
5. Sintesis (Syntesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-
bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada, misalnya, dapat
menyusun dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dan menyesuaikan, dan sebagainya
terhadap suatu teori atas rumusan-rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap
suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan
sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria telah yang ada. Misalnya, dapat membandingkan
antara anak yang cukup gizi dengan anak kekurangan gizi, dalam menanggapi terjadinya diare
disuatu tempat, dalam menafsirkan sebab-sebab mengapa ibu-ibu tidak mau ikutan dan
sebagainya (Notoatmodjo, 2003 : 128-130).

2.1.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan


1. Umur
Dengan bertambahnya umur seseorang akan tarjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis
(mentah).perubahan pada fisiksecara garis besar ada empat katagori perubahan pertama,
perubahan ukuran, kedua, perubahan proporsi, ketiga, hilangnya cirri-ciri lama, keempat,
timbulnya cirri-ciri baru. Ini terjadi akibat pematangan fungsi organ. Pada aspek psikologis atau
mental taraf berpikir sese orang semakin matang dan dewasa.
2. Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang pada orang lain terhadap suatu hal agar
mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang
makin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula
pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya jika seseorang tingkat pendidikannya rendah, akan
menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan, informasi dan nilai-nilai
yang baru di perkenalkan.
3. Pekerjaan
Lingkungan pekerkjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan
pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung.
4. Sumber Infirmasi
Infirmasi kemudahan untuk memperoleh suatu informasi dapat membantu mempercepat
seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru.
5. Minat
Sebagai suatu kecendrungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu . minat menjadikan
seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu hal dan pada akhirnya di peroleh pengetahuan
yang lebih mendalam.
6. Pengalaman
Suatu kegiatan yang pernak dialami seseorang dalam berintraksi dengan lingkungannya. Ada
kecenderung pengalaman yang kurang baik seseorang akan berusaha untuk melupakan, namun
jika pengalaman yang kurang baik seseorang akan berusaha untuk melupakan, namun jika
pengalaman terhadap obyek tersebut menyenangkan maka secara psikologis akan timbul kesan
yang sangat mendalam dan membekas dalam emosi kejiwaannya, dan akhirnya dapat pula
membentuk sikap positif dalam kehidupannya.
7. Kebudayaan lingkungan sekitar
Kebudayaan dinama kita hidup dan di besarkan mempunyai pengaruh besarkan mempunyai
pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Apabila dalam suatu wilayah mempunyai
suatu wilayah mempunyai budaya untuk menjaga kebersihan lingkungan maka sangat mungkin
masyarakat sekitarnya mempunyai sikap untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan, karena
lingkungan sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap pribadi atau sikap seseorang.
(Mubarak, 2007 : 30-31)

2.2. Tifus Abdominalis

2.2.1. Defenisi
Tifus abdominalis (demam tifoid) adalah penyakit infeksi bakteri akut yang diawali
diselaput lendir usus dan jika tidak diobati, secara progresif menyerbu jaringan diseluruh tubuh
(Tambayong, 2000: 142).
Tifus abdominalis (demam tifoid, enteric fever) ialah penyakit infeksi akut yang biasanya
mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna,
dan gangguan kesadaran (Arif Mansjoer,1999: 432).

2.2.2. Anatomi Dan Fisiologi Saluran Pencernaan


Susunan saluran pencernaan :
a. Mulut (oris)
Mulut adalah permulaan saluran pencernaan yang terdiri atas 2 bagian :
1. Bagian luar yang sempit atau vestibula yaitu ruang diantara gusi, gigi, dan pipi.
2. Bagian rongga mulut bagian dalam yaitu rongga mulut yang dibatasi sisinya oleh tulang
maksilaris, palatum dan mandibularis disebelah belakang bersambung dengan faring.
b. Faring (tekak)
Merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan kerongkongan didalam faring
terdapat tonsil (amandel) yaitu kumpulan kelenjar limfe yang banyak mengandung limfosit dan
merupakan pertahanan terhadap infeksi.
c. Esofagus (kerongkongan)
Merupakan saluran yang menghubungkan tekak dengan lambung panjangnya + 25 cm, mulai
dari faring sampai pintu masuk kardiak dibawah lambung.
d. Gaster (lambung)
Merupakan bagian dari saluran yang dapat mengembang paling banyak terutama didaerah
epigaster.
e. Usus halus (intestinum minor)
Intestinum minor adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang berpangkal pada pilorus
dan berakhir pada seikum panjangnya + 6 m, terdiri dari :
1. Deudenum yang disebut usus 12 jari
2. Yeyenum
3. Ileum
f. Usus besar (intestinum mayor)
Fungsi usus besar terdiri dari :
1. Menyerap air dari makanan
2. Tempat tinggal bakteri koli
3. Tempat feces
Usus besar terdiri dari :
1. Seikum
2. Kolon asendens
3. Kolon tranversum
4. Kolon desendens
5. Kolon sigmoid
g. Rektum
Terletak dibawah kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum mayor dengan anus.
h. Anus
Adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan rektum dengan dunia
luar. (Syaifuddin, 1997 : 75)

2.2.2 Etiologi
Tifus abdominalis kuman penyebabnya adalah salmonella typhi (basil gram-negatif) yang
memasuki tubuh melalui mulut dengan perantaraan makanan dan minuman yang telah
terkontaminasi. Kuman ini dalam tinja, kemih, atau darah, masa inkubasinya sekitar 10 hari
(Tamboyang, 2000:142).
2.2.4 Gejala klinis
Beberapa gejala klinis yang sering terjadi pada demam tipoid adalah sebagai berikut :
1. Demam
Demam atau panas merupakan gejala utama demam tifoid. Suhu tubuh turun naik yakni pada
pagi hari lebih rendah atau normal, sementara sore dan malam hari lebih tinggi. Demam dapat
mencapai 39-400 C. intensitas demam akan makin tinggi disertai gejala lain seperti sakit kepala,
diare, nyeri otot, pegal, insomnia, anoreksia, mual, dan muntah.
2. Gangguan saluran pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama. Bibir kering dan pecah-
pecah. Lidah terlihat kotor dan ditutupi selaput kecoklatan dengan ujung dan tepi lidah
kemerahan dan tremor.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya terdapat gangguan kesadaran berupa penurunan kesadaran ringan, sering ditemui
kesadaran apatis. Bila gejala klinis berat, tidak jarang penderita sampai somnolen dan koma.
4. Hepatosplenomegali
Pada penderita demam tifoid, hati dan atau limpa sering ditemukan membesar. Hati terasa nyeri
bila ditekan. (Magurrobin, 12 Mei 2011)

2.2.5 Patofisologi

1. Kuman masuk malalui mulut. Sebagian kuman akan dimusnahkan dalam lambung oleh asam
lambung dan sebagian lagi masuk, ke usus halus, ke jaringan limfoid dan berkembang biak
menyerang vili usus halus kemudia kuman masuk keperedaran darah (bakterimia primer), dan
mencapai sel-sel retikolu, endoteleal, hati, limpa, dan organ-organ lainnya.

2. Proses ini terjadi dalam masa tunas dan akan berakhir saat sel-sel retikulo endoteleal
melepaskan kuman kedalam pendarahan darah dan menimbulkan baktarimia untuk kedua
kalinya. Selanjutnya kuman masuk kebeberapa jaringan organ tubuh, terutama limpa, usus dan
kandung empedu.
3. Pada minggu pertama sakit, terjadi hiperplasia plaks player.ini terjadi pada kelenjar limfoid usus
halus. Minggu kedua terjadi nekrosis dan pada minggu ketiga terjadi ulserasi plaks peyer. Pada
minggu ke empat terjadi penyembuhan ulkus yang dapat menimbulkan sikatri. Ulkus dapdaat
menyebabkan perdarahan, bahkan sampai prforasi usus. Selain itu hepar, kelenjar-kelenjar
masentrial dan limpa membesar.

4. Gejala demam disebabkan oleh endotoksil, sedangkan gejala pada saluran pencernaan
disebabkan oleh kelainan pada usus halus.
(Suriadi,Yuliani, 2006 : 254)

2.2.6 Komplikasi
Umumnya jarang terjadi, akan tetapi sering fatal, yaitu:
a. Pendarahan usus. Bila hanya di temukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Bila
perdarahan banyak terjadi melena dan bila berat dapat disertai perasaan nyeri perut dengan
tanda-tanda renjatan.
b. Perforasi usus. Timbul biasanya pada mingggu ketiga atau setelah itu dan terjadi pada bagian
distal ileum. Perforasi yang tidak di sertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara
di rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara di antara hati dan
diafragma pada foto Rontgena abdoen yang dibuat dalam keadaan tagak.
c. Peritonitis. Bisanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan
gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang berat, dinding abdomen tegang (defense musculair )
dan nyeri pada tekanan.
(Ilmu Kesehatan Anak , 1985 jilid 2:595)

2.2.7 Pemeriksaan laboratorium


1. Uji Widal
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya agiutinin dalam serum penderita tersangka
demam tifoid yaitu :
a. Agiutinin O (Dari tubuh kuman)
b. Agiutinin H (Fiagela kuman)
c. Agiutinin Vi (sampai kuman)
Dari ketiga agiutinin tersebut hanya agiutini O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam
tifoid, semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.

2. Kultur darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid. Hal ini dapat disebabkan beberapa hal sebagai barikut.
a. Telah mendapat terapi antibiotik, bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat
antibiotik, pertumbuhan, kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif.
b. Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah) bila darah yang dibiak terlalu
sedikit hasil biakan bisa negatif
c. Riwayat vaksinasi. Vaksinasi dimasa lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien.
Antibodi (agiutinin) ini dapat menekan bakteri hingga biakan darah dapat negatif.
d. Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin emakin meningkat
Istirahat.

2.2.8 Pengobatan
1. Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan.
Tirah baring dan perawatan sepenuhnya ditempat seperti makan, minum, mandi, buang air
kecil, dan buang air besar akan membantu mempercepat masa penyembuhan. Dalam
perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai.
2. Diet dan Terapi Penunjang.(simtomatik dan suportif), dengan tujuan mengembalikan rasa
nyaman dan kesehatan pasien secara optimal.
3. Diet yang diberikan yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa dan menghindarai sementara
sayuran yang berserat,dapat di berikan dengan aman pada pasien demam tifoid.
4. Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.
Obat-obatan antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah sebagai
berikut:
a. Kloramfenikol dosis yang diberikan 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau
intravena. Diberikan sampai 7 hari bebas panas
b. Tiamfenikol. Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan
kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hamotologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik
lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demam
rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.
c. Kotrimaksazol. Dosis untuk orang dewas adalah 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung
sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu. (widodo, 2006 :
1753)

2.2.9 Pencegahan
1. Perbaikan sanitasi lingkungan hidup
a. Penyediaan air yang aman,terlindung dan terawasi
b. Tidak terkontaminasi dengan lalat dan serangga lain
c. Kotoran dan sampah,harus benar ,sehingga tidak mencemari lingkungan
d. Pengawasan terhadap kebersihan lingkungan
e. Budayakan prilaku hidup bersih dan lingkungan bersih
2. Peningkatan hygiene makanan dan minuman
a. Hati-hati pilih makanan yang sudah di proses
b. Panaskan kembali secara benar yang sudah dimasak
c. Hindarkan kontak antara makanan mentah dengan yang sudah masak
d. Menyuci tanggan dengan sabun
e. Permukaan dapur di bersihkan dengan cermat
f. Lindungi makanan dari serangga
(Diyan, 01 juli 2011)

2.2.10 Prognosis
Pada umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik, asal pasien cepat berobat,
motalitas pada penderita yang di rawat ialah 6% prognosis menjadi tidak baik bila terdapat
gambaran klinis yang berat seperti :
1. Demam tinggi
2. Kesadaran sangat menurun
3. Terdapat komplikasi yang berat, misalnya dehidrasi asidosis dan perforasi
(Ngastiyah :2005:236)
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep


Adapun kerangka konsep penelitian tentang “Gambaran pengetahuan pasien tentang Tifus
Abdominalis di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Tahun 2011” adalah sebagai berikut :

Variabel Independen

Variabel Dependen

3.2 Defenisi Operasional


1. Pengetahuan adalah pengetahuan pasien untuk menjawab benar pertanyaan yang diajukan
pada pasien tentang tifus abdominalis.
2. Umur adalah interval waktu atau rentang kehidupan yang dijalani oleh responden sampai
dilakukan penelitian.
3. Pendidikan adalah pendidikan formal yang terakhir yang pernah diselesaikan oleh pasien
dengaan kategori :
1. SD
2. SMP
3. SMA
4. Perguruan Tinggi
5. Lainnya
4. Pekerjaan adalah kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh pasien yang dapat menghasilkan
uang atau tidak dengan kategori :
1. Bekerja : PNS, Wiraswasta, petani
2. Tidak Bekerja : Pelajar, Ibu Rumah Tangga
5. Sumber informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan
yang baru.
1. Media Electronic yaitu: TV, Radio, Internet
2. Media Cetak yaitu: Koran, Majalah, Buku
3. Petugas Kesehatan

3.3 Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini adalah bersifat deskriptif, yaitu untuk mengambarkan pengetahuan
pasien tentang Tifus Abdominalis.

3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian


3.4.1 Lokasi penelitian
Adapun lokasi yang yang dipilih untuk melakukan penelitian adalah Rumah Sakit Umum
Kabanjahe. Karena tempat penelitian tersebut dapat memenuhi sample yang di inginkan peneliti
serta tidak menghambat waktu dan biaya.

3.4.2 Waktu Penelitian


Waktu penelitian yang di perlukan untuk melakukan penelitian ini adalah dari tanggal 22
s/d 30 juni Tahun 2011.
3.5 Populasi dan Sampel
3.5.1 Populasi
Yang menjadi Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang di Rawat Ruang
Kelas dan Ruang V Di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Tahun 2011. Sebanyak 30 Orang.

3.5.2 Sampel
Sample dalam penelitian ini adalah total populasi yaitu sebanyak 30 Orang.

3.6 Metode Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan merupakan data primer dengan cara pengisian questioner yang
diberikan kepada pasien, sebelum membagikan kepada pasien. Peneliti terlebih dahulu
menjelaskan secara mengisi questioner kemudian memberikan kesempatan kepada pasien
untuk mengisi questioner penelitian, setelah selesai maka dikumpulkan saat itu jaga.

3.7 Aspek Pengukuran


Aspek pengukuran pengetahuan berdasarkan skala guttman yaitu diambil jawaban
responden dari seluruh pertanyaan pengetahuan yang di berikan dalam bentuk checklist dengan
interprestasi nilai, apabila skor benar nilainya 1 dan apabila salah nilainya 0. Penelitian dilakukan
dengan cara membandingkan jumlah skor jawaban dengan skor yang diharapkan (tertinggi),
kemudian dikalikan 100% dan haslnya berupa persentase dengan rumus yang digunakan
sebagai berikut:

Rumus : P = F/N X 100%

Keterangan :
P = Persentase
F = Jumlah Jawaban Yang Benar
N = Jumlah Soal

Selanjutnya setelah keseluruhan jawaban di hitung dan di jumlahkan berdasarkan skala


ordinal maka hasilnya di kelompokkan dengan kategori :
1. Baik, apabila responden menjawab dengan benar 76-100% dari seluruh pertanyaan benar
(sebanyak 23-30 pertanyaan).
2. Cukup, apabila responden mampu menjawab dengan benar 56-75% dari seluruh pertanyaan
benar ( sebanyak 17-22 pertanyaan).
3. Kurang, apabila responden mampu menjawab dengan benar 40-55% dari seluruh pertanyaan
benar (sebanyak 12-16 pertanyaan).

3.8 Tehnik Pengolahan Data dan Analisis Data


3.8.1 Pengolahan data
Setelah data berhasil dikumpulkan,yang dilakukan adalah mengolah data sedemikian
rupa sehingga jelas sifat-sifat yang dimiliki oleh data tersebut bersifat informasi. Pengolahan data
akan dilakukan dengan cara :
1. Editing
Mengelola data sedemikian rupa sehingga jelas sifat-sifat yang dimiliki data tersebut, maka data-
data tersebut diperiksa terlebih dahulu apakah sesuai yang diharapkan atau tidak.
2. Coding
Setelah editing selesai, maka dilakukan pengkodean data yang telah dikumpulkan.
3. Tabulating
Mengumpulkan data tersebut kedalam suatu table menurut sifat yang dimiliki dengan tujuan
penelitian.

3.8.2 Analisa Data


Analisa dilakukan secara deskriptif dengan melihat persentase data yang telah
dikumpulkan dan di sajikan dalam table distrribusi frekuensi. Analisa data kemudian dilanjutkan
dengan membahas hasil penelitian dengan membahas hasil penelitian dengan menggunakan
teori dan kepustakaan yang ada.

BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil penelitian
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap 30 responden di Ruang Kelas dan
Ruang V Rumah Sakit Umum Kabanjahe Tahun 2011 mengenai Gambaran Pengetahuan
Pasien Tentang Tifus Abdominalis, maka didapat hasilnya sebagai berikut:

Tabel 1
Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Tifus Abdominalis di Ruang Kelas dan Ruang
V Rumah Sakit Umum Kabanjahe Tahun 2011
Berdasarkan Pengetahuan

No Kategori Frekuensi Peresentase %


1. Baik 12 40 %
2. Cukup 12 40 %
3. Kurang 6 20 %
Total 30 100 %

Dari tabel diatas diketehui bahwa dari 30 responden berpengetahuan Mayoritas baik dan
cukup dimana masing-masing sebanyak 12 orang (40%), dan berpengetahuan kurang sebanyak
6 orang (20%).

Tabel 2
Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Tifus Abdominalis di Ruang Kelas
Dan Ruang V Rumah Sakit Umum Kabanjahe Tahun 2011
Berdasarkan Umur
No Umur Pengetahuan
Baik Cukup Kurang Total
F % F % F % F %
1 17-24 tahun 4 13,33% 5 16,66% 1 3,33% 10 33,33%
2 25-32 tahun 4 13,33% 3 10% 2 6,66% 9 30%
3 33-40 tahun - - 2 6,66% - - 2 6,66%
4 41-48 tahun 1 3,33% 1 3,33% 1 3,33% 3 10%
5 49-56 tahun 1 3,33% 1 3,33% 1 3,33% 3 10%
6 ≥ 57 tahun 2 6,66% - - 1 3,33% 3 10%
Jumlah 12 39,98% 12 39,98% 6 19,89% 30 100%

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 10 responden berusia 17-24 tahuan
Mayoritas berpengetahuan cukup sebanyak 5 orang (16,66%), berpengetahuan baik sebanyak 4
orang (13,33%), dan Minoritas berpenetahuan kurang sebanyak 1 orang (3,33%), dari 9
responden yang berusia 25-32 tahun Mayoritas berpengetahuan baik sebanyak 4 orang
(13,33%), berpengetahuan cukup sebanyak 3 orang (10%) dan Minoritas berpengetahuan
kurang sebanyak 2 orang (6,66%), dari 2 responden yang berusia 33-40 tahun Mayoritas
berpengetahuan cukup sebanyak 2 orang (6,66%), dari 3 responden yang berusia 41-48 tahun
dan 49-56 tahun baik, cukup, dan kurang, dimana masing-masing sebanyak 1 orang (3,33%),
Dan dari 3 responden yang berusia ≥ 57 tahun Mayoritas berpengetahuan baik sebanyak 2
orang (6,66%), dan Minoritas berpengetahuan kurang sebanyak 1 orang (3,33%).

Tabel 3
Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Tifus Abdominalis di Ruang Kelas
Dan Ruang V Rumah Sakit Umum Kabanjahe Tahun 2011
Berdasarkan Pendidikan
NO Pendidikan Pengetahuan
Baik Cukup Kurang Total
F % F % F % F %
1 SD - - - - 5 16,66% 5 16,66%
2 SMP 2 6,66% 2 6,66% - - 4 13,33%
3 SMA 6 20% 7 23,33% 1 3,33% 14 46,66%
4 Perguruan 4 13,33% 3 10% - - 7 23,33%
Tinggi
Jumlah 12 39,99% 12 39,99% 6 19,99% 30 100%

Dari tabel diatas diketahui bahwa dari 14 responden berpendidikan SMA Mayoritas
berpengetahuan cukup sebanyak 7 orang (23,33%), berpengetahuan baik sebanyak 6 orang
(20%) dan Minoritas berpengetahuan kurang sebanyak 1 orang (3,33%), dari 7 responden
berpendidikan Perguruan Tinggi Mayoritas berpengetahuan baik sebanyak 4 orang (13,33%)
dan Minoritas berpengetahuan cukup sebanyak 3 orang (10%), dari 5 responden berpendidikan
SD Mayoritas berpengetahuan kurang sebanyak 5 orang (16,66%), Dan dari 4 responden
berpendidikan SMP berpengetahuan baik dan cukup dimana masing-masing sebanyak 2 orang
(6,66%).
Tabel 4
Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Tifus Abdominalis di Ruang Kelas
Dan Ruang V Rumah Sakit Umum Kabanjahe Tahun 2011
Berdasarkan Pekerjaan
NO Pekerjaan Pengetahuan
Baik Cukup Kurang Total
F % F % F % F %
1 Bekerja 9 30% 8 26,66% 4 13,33% 21 70%
2 Tidak Bekerja 3 10% 4 13,33% 2 6,66% 9 30%
Jumlah 12 40% 12 39,99% 6 19,99% 30 100%

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 21 responden bekerja Mayoritas
berpengetahuan baik sebanyak 9 orang (30%), berpengetahuan cukup sebanyak 8 orang
(26,66%), mayoritas berpengetehuan kurang sebanyak 4 orang (13,33%) dan 9 responden Tidak
Bekerja Mayoritas berpengetahuan cukup sebanyak 4 orang (13,33%), berpengetahuan baik
sebanyak 3 orang (10%), minoritas berpengetahuan kurang sebanyak 2 orang (6,66%).

Tabel 5
Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Tifus Abdominalis di Ruang Kelas
Dan Ruang V Rumah Sakit Umum Kabanjahe Tahun 2011
Berdasarkan Sumber Informasi
NO Sumber Pengetahuan
Informasi Baik Cukup Kurang Total
F % F % F % F %
1 Media 8 26,66% 8 26,66% 1 3,33% 17 56,66%
Cetak
2 Media 4 13,33% 4 13,33% - - 8 26,66%
Elektronik
3 Petugas - - - - 5 16,66% 5 16,66%
Kesehatan
Jumlah 12 39,99% 12 39,99% 6 19,99% 30 100%
Dari tabel diatas dapat diketahui bahawa dari 17 responden yang mendapat sumber
informasi dari media cetak Mayoritas berpengetahuan baik dan cukup dimana masing-masing
sebanyak 8 orang (26,66%), berpengetahuan kurang sebanyak 1 orang (3,33%), dari 4
responden yang mendapat sumber informasi dari sumber elektronik Mayoritas berpengetahuan
baik dan cukup dimana masing-masing sebanyak 4 orang (13,33%) dan dari 5 responden yang
mendapat sumber informasi dari Petugas Kesehatan Mayoritas berpengetahuan kurang
sebanyak 5 orang (16,66%).

4.2 Pembahasan
Dari hasil penelitian terhadap 30 responden di ruang kelas dan ruang v rumah sakit
umum kabanjahe tahun 2011, mengenai Gambaran Pengetahuan Pasien Tentang Tifus
Abdominalis maka pembahasannya sebagai berikut:
1. Gambaran Pengetahuan Responden Tentang Tifus Abdominalis di Ruang Kelas dan
Ruang V Rumah Sakit Umum Kabanjahe Tahun 2011 Berdasarkan Pengetahuan
Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui dari 30 responden Mayoritas
berpengetahuan baik dan cukup dimana masing-masing sebanyak 12 orang (40%),dan Minoritas
berpengetahuan kurang sebanyak 6 orang (20%).
Sesui dengan penelitian, Mubarak 2007 mengatakan Pengetahuan adalah hasil tahu
dan ini terjadi setelah Seseorang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu.
Pengetahuan merupakan dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.
Semakin baik pengetahuan, maka semakin meningkat pengetahuan pasien tentang tifus
abdominalis.
Menurut asumsi peneliti, pengetahuan responden tentang tifus abdominalis Mayoritas
baik dan cukup namun ini dapat di tingkatkan dengan mengikuti penyuluhan tentang Tifus
Abdominalis yang diadakan oleh petugas kesehatan yang bisa di datangi responden di
Puskesmas atau Rumah Sakit Umum.

2. Gambaran Pengetahuan Responden Tentang Tifus Abdominalis di Ruang kelas dan


Ruang V Rumah Sakit Umum Kabanjahe Tahun 2011 Berdasarkan Umur
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa dari 10 responden
berusia 17-25 tahuan Mayoritas berpengetahuan cukup sebanyak 5 orang (16,66%), Minoritas
berpengetahuan kurangsebanyak 1 orang (3,33), dari 9 responden yang berusia 25-32 tahun
Mayoritas berpengetahuan baik sebanyak 4 orang (13,33%), Minoritas berpengetahuan kurang
sebanyak 2 orang (6,66%), dari 2 responden yang berusia 33-40 tahun Mayoritas
berpengetahuan cukup sebanyak 2 orang (6,66%), dari 3 pasien yang berusia 41-48 tahun dan
49-56 tahun berpengetahuan baik, cukup, kurang dimana masing-masing sebanyak 1 orang
(3,33%), dari 3 pasien yang berusia ≥ 57 tahun Mayoritas berpengetahuan baik sebanyak 2
orang (6,66%), minoritas berpengetahuan kurang sebanyak 1 orang (3,33%).
Sesuai dengan penelitian, Mubarak 2007 mengatakan bahwa dengan bertambahnya
umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis (mental). Ini terjadi
akibat pematangan fungsi organ pada aspek psikologis dan mental yang berpikir seseorang
semakin matang dan dewasa.
Menurut asumsi peneliti dari hasil penelitian sesuai dengan pernyataan teori di atas hal
ini dikarenakan dengan pengetahuaan baik dimana terdapat pada umur ≥ 57 tahun.

3. Gambaran Pengetahuan Responden Tentang Tifus Abdominalis di Ruang Kelas dan


Ruang V Rumah Sakit Umum Kabanjahe Tahun 2011 Berdasarkan Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahuai bahwa dari 14 responden
berpendidikan SMA Mayoritas berpengetahuan baik sebanyak 7 orang (23,33%), Minoritas
berpengetahuan kurang sebanyak 1 orang (3,33%), dari 7 responden berpendidikan Perguruan
Tinggi Mayoritas berpengetahuan baik sebanyak 4 orang (13,33%),minoritas berpengetahuan
cukup sebanyak 3 orang (10%), dari 5 responden berpendidikan SD Mayoritas berpengetahuan
kurang sebanyak 5 orang (16,66%) dan 4 responden berpendidikan SMP Mayoritas
berpengetahuan baik dan cukup dimana masing-masing,sebanyak 2 orang (6,66%).
Sesuai dengan penelitian, Mubarak 2007 mengatakan tidak dapat di pungkiri bahwa
semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan
akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang di milikinya.
Menurut asumsi peneliti dari hasil penelitian sesuai dengan pernyataan teori diatas hal ini
dikarenakan dengan pengetahuan baik dan cukup dimana terdapat pada pendidikan SMA,
karena pendidikan sangat mempengaruhi pengetahuan, dimana semakin banyak informasi yang
di jumpai dan semakin banyak hal yang di kerjakan sehingga menambah pengetahuan
responden dari membaca atau dengan melihat televisi.

4. Gambaran Pengetahuan Responden Tentang Tifus Abdominalis di Ruang Kelas dan


Ruang V Rumah sakit Umum Kabanjahe Tahun 2011 Berdasarkan Pekerjaan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa dari 21 responden
yang bekerja Mayoritas berpengetahuan baik sebanyak 9 orang (30%), Minoritas
berpengetehuan kurang sebanyak 4 orang (13,33%), dari 9 responden Tidak Bekerja Mayoritas
berpengetahuan cukup sebanyak 4 orang (13,33%), Minoritas berpengetahuan kurang sebanyak
2 orang (6,66%).
Sesuai dengan penelitian, Mubarak 2007 mengatakan lingkungan pekerjaan dapat
menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Menurut asumsi peneliti hal ini sesuai dengan pernyataan teori di atas dikarenakan
dengan pengetahuan baik terdapat Mayoritas pada responden yang bekerja hal ini di pengaruhi
oleh pekerjaan responden untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang baru.

5. Gambaran Pengetahuan Responden Tentang Tifus Abdominalis di Ruang Kelas dan


Ruang V Rumah Sakit Umum Kabanjahe Berdasarkan Sumber Informasi
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahawa dari 17 responden
yang mendapat sumber informasi dari Media cetak Mayoritas berpengetahuan baik dan cukup
dimana masing-masing, sebanyak 8 orang (26,66%), Minoritas berpengetahuan kurang
sebanyak 1 orang (3,33%),dari 4 responden yang mendapat sumber informasi dari Media
Elektronik mayoritas berpengetahuan baik dan cukup dimana masing-masing, sebanyak 4 orang
(13,33%), dari 5 pasien yang mendapat sumber informasi dari Petugas Kesehatan Mayoritas
berpengetahuan kurang sebanyak 5 orang (16,66%).
Sesuai dengan penelitian, Mubarak 2007 mengatakan kemudahan seseorang untuk
memperoleh suatu informasi dan membantu mempercepat seseorang memperoleh pengetahuan
yang baru.
Menurut asumsi peneliti dari hasil penelitian responden memperoleh informasi Mayoritas
dari media cetak, karena kalau media cetak lebih dapat memberikan informasi terhadap
responden. Hal ini dapat di tingkatkan dengan memberi informasi yang lebih menarik yang dapat
diterima oleh responden yang dapat mempengaruhi pengetahuannya melalui Majalah, Koran,
dan Buku. Semakin luas sumber informasi yang diterima oleh pasien maka dapat
mempengaruhi tingkat pengetahuan yang di milikinya.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang berjudul “ Gambaran Pengetahuan Pasien Tentang Tifus
Abdominalis Di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Tahun 2011” dapat di simpulkan sebagai berikut
:
1. Distribusi pengetahuan responden tentang Tifus Abdominalis di Ruang Kelas dan Ruang V Di
Rumah Sakit Umum Kabanjahe Tahun 2011 adalah Mayoritas responden berpengetahuan baik
dan cukup dimana masing-masing sebanyak 12 orang (40%), dan berpengetahuan kurang
sebanyak 6 orang (20%).
2. Distribusi pengetahuan responden berdasarkan umur Mayoritas responden berpengetahuan
baik pada umur 17-25 tahun dan Minoritas responden berpengetahuan cukup pada umur 33-40
tahun. Jadi umur tidak selamanya mempengaruhi pengetahuan. Walaupun lebih muda umur
seseorang karena semakin banyak informasi yang didapatnya maka semakin baik pula
pengetahuan yang dimilikinya.
3. Distribusi pengetahuan responden berdasarkan pendidikan Mayoritas responden
berpengetahuan baik dan cukup pada pendidikan SMA dan Minoritas responden
berpengetahuan baik dan cukup dengan berpendidikan SMP. Karena Tidak selamanya
pendidikan mempengaruhi pengetahuan, dimana semakin banyak informasi yang di jumpai dan
semakin banyak hal yang di kerjakan sehingga menambah pengetahuannya.
4. Distribusi pengetahuan responden berdasarkan pekerjaan ditemukan Mayoritas responden baik
pada pasien yang bekerja dan Minoritas responden berpengetahuan cukup pada responden
yang tidak bekerja. Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh
pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung.
5. Ditribusi pengetahuan responden berdasarkan sumber informasi ditemukan Mayoritas
responden berpengetahuan baik dan cukup pada responden yang mendapat sumber informasi
dari Media Cetak dan Minoritas responden berpengetahuan kurang pada responden yang
mendapat informasi dari Petugas Kesehatan. Karena kalau Media cetak lebih jelas dan dapat
dibaca ulang oleh pasien.

5.2 Saran
1. Bagi Institusi Pendidikan
a. Diharapkan kepada institusi pendidikan supaya dalam penatalaksanaan praktek lapangan (PBL)
dapat memberikan penyuluhan tentang Tifus Abdominalis pada saat melakukan PBL di desa dan
bekerja sama dengan puskesmas atau tenaga kesehatan.
b. Menambah refrensi buku di Perpustakaan

2. Bagi Lokasi Penelitian / Rumah Sakit Umum Kabanjahe


Diharapkan kepada petugas kesehatan lebih sering memberikan penyuluhan tentang Tifus
Abdominalisa agar masyarakat atau responden lebih mengerti tentang tifus abdominalis.
3. Bagi Responden
Diharapkan kepada reasponden agar lebih sering mengikuti penyuluhan yang dilakukan oleh
Tenaga Kesehatan dan diharapkan kepada Responden untuk mencari informasi khususnya
penyuluhan tentang Tifus Abdominalis.
4. Bagi peneliti selanjutnya
Diharapkan pada peneliti selanjutnya agar lebih mengembangkan lebih dalam lagi penelitian
Tentang Tifus Abdominalis dan lebih mampu dalam menganalisis suatau masalah khususnya
mengenai Tifus Abdominalis.
Diposting 25th July 2012 oleh eldepratama mehagamedan
Label: Kedokteran Gadjah Mada

0
Tambahkan komentar
2.
JUL

25
ASKEP SISTEM SARAF TRIGEMINUS
SISTEM SARAF KE 5
SARAF TRIGEMINUS ( TRIGEMINAL NERVUS )

Saraf Trigeminal merupakan suatu keluhan serangan nyeri wajah satu sisi yang berulang. Disebut
Trigeminal neuralgia, karena nyeri di wajah ini terjadi pada satu atau lebih saraf dari tiga cabang saraf
Trigeminal.Saraf yang cukup besar ini terletak di otak dan membawa sensasi dari wajah ke otak.
Rasa nyeri disebabkan oleh terganggunya fungsi saraf Trigeminal sesuai dengan daerah distribusi
persarafan salah satu cabang saraf Trigeminal yang diakibatkan oleh berbagai penyebab.
Serangan neuralgia Trigeminal dapat berlangsung dalam beberapa detik sampai semenit. Beberapa
orang merasakan sakit ringan, kadang terasa seperti ditusuk. Sementara yang lain merasakan nyeri yang
cukup kerap, berat, seperti nyeri saat kena setrum listrik.Prevalensi penyakit ini diperkirakan sekitar 107.5
pada pria dan 200.2 pada wanita per satu juta populasi.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada sisi kanan wajah dibandingkan dengan sisi kiri (rasio 3:2),
dan merupakan penyakit pada kelompok usia dewasa (dekade enam sampai tujuh). Hanya 10 % kasus yang
terjadi sebelum usia empat puluh tahun.Sumber lain menyebutkan, penyakit ini lebih umum dijumpai pada
mereka yang berusia di atas 50 tahun, meskipun terdapat pula penderita berusia muda dan anak-
anak.Neuralgia Trigeminal merupakan penyakit yang relatif jarang, tetapi sangat mengganggu
kenyamanan hidup penderita, namun sebenarnya pemberian obat untuk mengatasi Trigeminal neuralgia
biasanya cukup efektif.
Obat ini akan memblokade sinyal nyeri yang dikirim ke otak, sehingga nyeri berkurang, hanya
saja banyak orang yang tidak mengetahui dan menyalahartikan Neuralgia Trigeminal sebagai nyeri yang
ditimbulkan karena kelainan pada gigi, sehingga pengobatan yang dilakukan tidaklah tuntas.

ANATOMI NERVUS TRIGEMINUS


Nervus Trigeminus merupakan nervus cranialis yang terbesar dan melayani arcus branchialis
pertama. Nervus ini mengandung serat-serat branchiomotorik dan aferen somatik umum (yang terdiri atas
komponen ekteroseptif dan komponen proprioseptif), dengan nuclei sebagai berikut :
a. Nucleus Motorius Nervus Trigemini
Dari Nucleus ini keluar serat-serat branchiomotorik yang berjalan langsung ke arah ventrolateral
menyilang serat-serat pedunculus cerebellaris medius (fibrae pontocerebellares) dan pada akhirnya akan
melayani m. Masticatores melalui rami motori nervi mandibularis dan m. Tensor Veli Palatini serta m.
Mylohyoideus.
b. Nucleus Pontius, Nervi Trigemini dan Nucleus Spinalis Nervi Trigemini
Kedua Nucleus ini menerima impuls-impuls eksteroseptif dari daerah muka dan daerah calvaria
bagian ventral sampai vertex.Di antara kedua nucleus di atas terdapat perbedaan fungsional yang penting :
di dalam nucleus Pontius berakhir serat-serat aferan N. V yang relatif kasar, yang mengantarkan impuls-
impuls rasa raba, sedangkan nucleus spinalis N. V terdiri atas sel-sel neuron kecil dan menerima serat-serat
N. V yang halus yang mengantarkan impuls-impuls eksteroseptif nyeri dan suhu.

FISIOLOGI NERVUS TRIGEMINUS


Fungsi nervus Trigeminus dapat dinilai melalui pemeriksaan rasa suhu, nyeri dan raba pada daerah
inervasi N. V (daerah muka dan bagian ventral calvaria), pemeriksaan refleks kornea, dan pemeriksaan
fungsi otot-otot pengunyah. Fungsi otot pengunyah dapat diperiksa, misalnya dengan menyuruh penderita
menutup kedua rahangnya dengan rapat, sehingga gigi-gigi pada rahang bawah menekan pada gigi-gigi
rahang atas, sementara m. Masseter dan m. Temporalis dapat dipalpasi dengan mudah.
Pada kerusakan unilateral neuron motor atas, mm. Masticatores tidak mngelami gangguan fungsi,
oleh karena nucleus motorius N. V menerima fibrae corticonucleares dari kedua belah cortex cerebri.
Sebagai tambahan terhadap fungsi cutaneus, cabang maxillaris dan mandibularis penting pada
kedokteran gigi. Nervus maxillaris memberikan inervasi sensorik ke gigi maxillaris, palatum, dan gingiva.
Cabang mandibularis memberikan persarafan sensorik ke gigi mandibularis, lidah, dan gingiva. Variasi
nervus yang memberikan persarafan ke gigi diteruskan ke alveolaris, ke soket di mana gigi tersebut berasal
nervus alveolaris superior ke gigi maxillaris berasal dari cabang maxillaris nervus trigeminus. Nervus
alveolaris inferior ke gigi mandibularis berasal dari cabang mandibularis nervus trigeminus.

DEFINISI SARAF TRIGEMINUS


Secara harfiah, Neuralgia Trigeminal berarti nyeri pada nervus Trigeminus, yang menghantarkan
rasa nyeri menuju ke wajah.Neuralgia Trigeminal adalah suatu keadaan yang memengaruhi N. V, nervus
kranialis terbesar. Dicirikan dengan suatu nyeri yang muncul mendadak, berat, seperti sengatan listrik, atau
nyeri yang menusuk-nusuk, biasanya pada satu sisi rahang atau pipi. Pada beberapa penderita, mata,
telinga atau langit-langit mulut dapat pula terserang. Pada kebanyakan penderita, nyeri berkurang saat
malam hari, atau pada saat penderita berbaring.
Gambaran Klinis Neuralgia Trigeminal
Serangan Trigeminal neuralgia dapat berlangsung dalam beberapa detik sampai semenit. Beberapa
orang merasakan sakit ringan, kadang terasa seperti ditusuk. Sementara yang lain merasakan nyeri yang
cukup kerap, berat, seperti nyeri saat kena setrum listrik. Penderita Trigeminal neuralgia yang berat
menggambarkan rasa sakitnya seperti ditembak, kena pukulan jab, atau ada kawat di sepanjang wajahnya
serangan ini hilang timbul.
Bisa jadi dalam sehari tidak ada rasa sakit. Namun, bisa juga sakit menyerang setiap hari atau
sepanjang Minggu. Lalu, tidak sakit lagi selama beberapa waktu. Trigeminal neuralgia biasanya hanya
terasa di satu sisi wajah, tetapi bisa juga menyebar dengan pola yang lebih luas. Jarang sekali terasa di
kedua sisi wajah dlm waktu bersamaan.

DIAGNOSIS SARAF TRIGEMINUS


Kunci diagnosis adalah riwayat. Umumnya, pemeriksaan dan test neurologis (misalnya CT scan)
tak begitu jelas. Faktor riwayat paling penting adalah distribusi nyeri dan terjadinya ’serangan’ nyeri
dengan interval bebas nyeri relatif lama. Nyeri mulai pada distribusi divisi 2 atau 3 saraf kelima, akhirnya
sering menyerang keduanya. Beberapa kasus mulai pada divisi 1.
Biasanya, serangan nyeri timbul mendadak, sangat hebat, durasinya pendek (kurang dari satu
menit), dan dirasakan pada satu bagian dari saraf Trigeminal, misalnya bagian rahang atau sekitar pipi.
Nyeri seringkali terpancing bila suatu daerah tertentu dirangsang (trigger area atau trigger zone).
Trigger zones sering dijumpai di sekitar cuping hidung atau sudut mulut. Yang unik dari trigger
zone ini adalah rangsangannya harus berupa sentuhan atau tekanan pada kulit atau rambut di daerah
tersebut. Rangsang dengan cara lain, misalnya dengan menggunakan panas, walaupun menyebabkan nyeri
pada tempat itu, tidak dapat memancing terjadinya serangan neuralgi. Pemeriksaan neurologik pada
neuralgi Trigeminal hampir selalu normal. Tidak terdapat gangguan sensorik pada neuralgi Trigeminal
murni.
Dilaporkan adanya gangguan sensorik pada neuralgia Trigeminal yang menyertai multiple
sclerosis. Sebaliknya, sekitar 1-2% pasien dengan MS juga menderita neuralgia Trigeminal yang dalam hal
ini bisa bilateral.
Suatu varian neuralgia Trigeminal yang dinamakan tic convulsive ditandai dengan kontraksi
sesisih dari otot muka yang disertai nyeri yang hebat. Keadaan ini perlu dibedakan dengan gerak otot muka
yang bisa menyertai neuralgi biasa, yang dinamakantic douloureux. Tic convulsive yang disertai nyeri
hebat lebih sering dijumpai di daerah sekitar mata dan lebih sering dijumpai pada wanita.
Secara sistematis, anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan sebagai berikut:
Anamnesis
 Lokalisasi nyeri, untuk menentukan cabang nervus trigeminus yang terkena.
 Menentukan waktu dimulainya neuralgia Trigeminal dan mekanisme pemicunya.
 Menentukan interval bebas nyeri.
 Menentukan lama, efek samping, dosis, dan respons terhadap pengobatan.
 Menanyakan riwayat penyakit herpes.
Pemeriksaan Fisik
 Menilai sensasi pada ketiga cabang nervus trigeminus bilateral (termasuk refleks kornea).
 Menilai fungsi mengunyah (masseter) dan fungsi pterygoideus (membuka mulut, deviasi dagu).
 Menilai EOM.
 Pemeriksaan penunjang diagnostik seperti CT-scan kepala atau MRI dilakukan untuk mencari etiologi
primer di daerah posterior atau sudut serebelo-pontin.

PENATALAKSANAAN
Pengobatan pada dasarnya dibagi atas 3 bagian:
1. Penatalaksanaan pertama dengan menggunakan obat.
2. Pembedahan dipertimbangkan bila obat tidak berhasil secara memuaskan.
3. Penatalaksanaan dari segi kejiwaan.
4. Terapi Medis (obat).
Perlu diingatkan bahwa sebagian besar obat yang digunakan pada penyakit ini mempunyai cukup
banyak efek samping. Penyakit ini juga terutama menyerang mereka yang sudah lanjut usia.Karena itu,
pemilihan dan pemakaian obat harus memperhatikan secara cermat kemungkinan timbulnya efek samping.
Dasar penggunaan obat pada terapi neuralgia Trigeminal dan neuralgi saraf lain adalah kemampuan obat
untuk menghentikan hantaran impulse afferent yang menimbulkan serangan nyeri.

Carbamazepine
Obat yang hingga kini dianggap merupakan pilihan pertama adalah carbamazepine. Bila efektif
maka obat ini sudah mulai tampak hasilnya setelah 4 hingga 24 jam pemberian, kadang-kadang bahkan
secara cukup dramatis. Dosis awal adalah 3 x 100 hingga 200 mg. Bila toleransi pasien terhadap obat ini
baik, terapi dilanjutkan hingga beberapa minggu atau bulan.
Dosis hendaknya disesuaikan dengan respons pengurangan nyeri yang dapat dirasakan oleh
pasien. Dosis maksimal adalah 1200 mg/hari. Karena diketahui bahwa pasien bisa mengalami remisi maka
dosis dan lama pengobatan bisa disesuaikan dengan kemungkinan ini. Bila terapi berhasil dan pemantauan
dari efek sampingnya negatif, maka obat ini sebaiknya diteruskan hingga sedikitnya 6 bulan sebelum
dicoba untuk dikurangi.
Pemantauan laboratorium biasanya meliputi pemeriksaan jumlah lekosit, faal hepar, dan reaksi
alergi kulit. Bila nyeri menetap maka sebaiknya diperiksa kadar obat dalam darah. Bila ternyata kadar
sudah mencukupi sedangkan nyeri masih ada, maka bisa dipertimbangkan untuk menambahkan obat lain,
misalnya baclofen.
Dosis awal baclofen 10 mg/hari yang bertahap bisa dinaikkan hingga 60 hingga 80 mg/hari. Obat
ketiga boleh ditambahkan bila kombinasi dua obat ini masih belum sepenuhnya mengendalikan nyerinya.
Tersedia phenytoin, sodium valproate, gabapentin, dan sebagainya. Semua obat ini juga dikenal sebagai
obat anti epileptik.

Gabapentin
Gabapentin adalah suatu antikonvulsan baru yang terbukti dari beberapa uji coba sebagai obat
yang dapat dipertimbangkan untuk nyeri neuropatik. Obat ini mulai dipakai di Amerika pada 1994, sebagai
obat anti epilepsi. Kemampuannya untuk mengurangi nyeri neuropatik yang membandel dilaporkan secara
insidentil mulai 1995 hingga 1997 oleh Mellick, Rosner, dan Stacey.
Waldeman menganjurkan pemberian obat ini bila carbamazepin dan phenitoin gagal
mengendalikan nyerinya. Dosis awal 300 mg, malam hari, selama 2 hari. Bila tidak terjadi efek samping
yang mengganggu seperti pusing/dizzy, ngantuk, gatal, dan bingung, obat dinaikkan dosisnya setiap 2 hari
dengan 300 mg hingga nyeri hilang atau hingga tercapai dosis 1800 mg/hari. Dosis maksimal yang
diperbolehkan oleh pabrik obat ini adalah 2400 mg/hari. Waldeman menganjurkan 1800 mg sebagai dosis
tertinggi.
Rowbotham dkk. menemukan bahwa gabapentin dalam dosis mulai 900 hingga 3600 mg sehari
berhasil mengurangi nyeri, memperbaiki gangguan tidur, dan secara umum memperbaiki quality of life
dari para pasien mereka.
Untuk neuralgi yang menyertai pasien dengan multipel sklerosis ternyata gabapentin dalam dosis antara
900 hingga 2400 mg/hari juga efektif pada 6 dari 7 pasiennya.
Cara kerja gabapentin dalam menghilangkan nyeri masih belum jelas benar. Yang pasti dapat
dikemukakan adalah bahwa obat ini meningkatkan sintesis GABA dan menghambat degradasi
GABA. Karena itu, pemberian gabapentin akan meningkatkan kadar GABA di dalam otak. Karena obat ini
lipophilic maka penetrasinya ke otak baik.

Terapi Non-medis (Bedah)


Pilihan terapi non-medis (bedah) dipikirkan bilamana kombinasi lebih dari dua obat belum
membawa hasil seperti yang diharapkan. Dr. Stephen B. Tatter menyebutkan bahwa pembedahan
disiapkan untuk mereka yang tidak dapat mentoleransi efek samping dari terapi medis atau ternyata terapi
medis tidak efektif.
Terdapat beraneka ragam cara pembedahan, dari yang paling kuno, yang dapat menimbulkan
kecacatan (biasanya pendengaran dan gerak otot wajah) cukup besar, sampai cara yang lebih sophisticated,
yang hanya sedikit atau hampir tidak pernah dijumpai efek samping.
J. Keith Campbell menulis dalam artikelnya “Are All of the Treatment Options Being Considered?
bahwa penatalaksanaan medik sering gagal dalam menghilangkan nyeri dalam periode yang panjang. Hal
ini sering didapati pada pasien usia lanjut. Untuk pasien-pasien muda, merujuk ke ahli bedah untuk
dekompresi mikrovaskular perlu dipertimbangkan segera sesudah diagnosis ditegakkan.
Dua cara operasi kuno, yaitu ablatio total dari saraf perifer dan reseksi bagian sensorik dari saraf
Trigeminal, kini tidak dikerjakan lagi karena ada metode yang lebih baik. Walaupun demikian, Waldeman
masih menganjurkan Trigeminal nerve block dengan menggunakan anestesi lokal + methylprednisolone.
Yang dipakai adalah bupivacaine tanpa pengawet yang diberi bersama dengan
methylprednisolone. Suntikan dilakukan tiap hari sampai obat oral yang dimulai pada saat sama, mulai
efektif.

Radiofrequency rhizotomy (Meglio and Cioni, 1989)


Hingga kini masih populer karena relatif aman dan murah. Sayang, cara ini mempunyai
kemungkinan kekambuhan sebesar 25%. Efek samping lain yang kurang enak adalah terjadinya anestesi
kornea, rasa kesemutan, dan kelemahan rahang yang kadang-kadang bisa mengganggu. Bahkan, ada pasien
yang merasa menyesal karena rasa kesemutan yang terus-menerus ini lebih tidak nyaman daripada nyeri
yang masih ada masa bebasnya.

Percutaneous retrogasserian rhizolisis dengan gliserol


Cara ini adalah cara yang dianjurkan oleh Jho dan Lunsforf (1997). Konon, hasilnya sangat baik
dengan gangguan minimal pada kepekaan muka. Hipotesis yang dikemukakan adalah bahwa gliserol
adalah neurotoksik dan bekerja pada serabut saraf yang sudah mengalami demielinisasi, menghilangkan
compound action potential pada serabut Trigeminal yang terkait dengan rasa nyeri. Cara ini cepat dan
pasien bisa cepat dipulangkan. Kerugiannya adalah masih tetap bisa terjadi gangguan sensorik yang
mungkin mengganggu atau kumat lagi sakitnya.
Microvascular Decompression
Dasar dari prosedur ini adalah anggapan bahwa adanya penekanan vaskular merupakan penyebab
semua keluhan ini. Neuralgi adalah suatu compressive cranial mononeuropathy.
Para penganut cara pengobatan ini mengganggap bahwa penyembuhan yang terjadi adalah yang
paling sempurna dan permanen. Kerugian cara ini adalah bahwa bagaimanapun juga ini suatu kraniotomi
dan pasien perlu tinggal sekitar 4-10 hari di rumah sakit, dilanjutkan dengan masa rekonvalesensi yang
juga perlu 1-2 minggu.
Pertimbangan lain adalah bahwa walaupun jarang, mikrovaskular dekompression bisa
menyebabkan kematian atau penyulit lain seperti stroke, kelemahan nervus facialis, dan tuli. Di tangan ahli
bedah yang berpengalaman, komplikasi ini tentunya sangat kecil. Pada operasi yang berhasil, pengurangan
atau bahkan hilangnya nyeri sudah dapat dirasakan setelah 5-7 hari pasca bedah. Dr. Fred Barker dan
timnya melaporkan dalam suatu pertemuan ilmiah tentang pengalamannya dengan mikrovaskular
dekompression pada 1430 pasien yang dilakukan di Universitas Pittsburgh.
Sebagian besar dari pasien tersebut mendapatkan pengurangan nyeri secara lengkap atau
bermakna. Dua tahun setelah operasi, insidens kekambuhan 1% per tahunnya. Kekambuhan ini secara
umum dikarenakan adanya pembuluh darah baru yang muncul pada nervus trigeminus.

Stereotactic radiosurgery dengan gamma knife


Merupakan perkembangan yang masih relatif baru. Gamma Knife merupakan alat yang
menggunakan stereotactic radiosurgery. Tekniknya dengan cara memfokuskan sinar Gamma sehingga
berlaku seperti prosedur bedah, namun tanpa membuka kranium.
Gamma Knife pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Lars Leksell dari Stockholm, Swedia pada
1950. Cara ini hanya memerlukan anestesi lokal dan hasilnya konon cukup baik.Sekitar 80-90% dari
pasien dapat mengharapkan kesembuhan setelah 3-6 bulan setelah terapi.
Cara kerja terapi adalah lewat desentisisasi pada saraf Trigeminal setelah radiasi yang ditujukan
pada saraf ini dengan bantuan komputer. Seorang ahli bedah saraf dari Seattle Dr. Ronald Young
mengatakan bahwa dengan Gamma Knife hasilnya sangat memuaskan juga dengan komplikasi yang
minimal.
Meglio dan Cioni melaporkan cara dekompresi baru dengan menggunakan suatu balon kecil yang
dimasukkan secara perkutan lewat foramen ovale. Balon diisi sekitar 1 ml sehingga menekan ganglion
selama 1 hingga 10 menit. Konon cara ini membawa hasil pada sekitar 90% dari kasus. Belum ada laporan
mengenai berapa banyak yang mengalami residif.
Diposting 25th July 2012 oleh eldepratama mehagamedan
Label: Kedokteran Gadjah Mada

0
Tambahkan komentar
3.
JUL

25

ASKEP AUTISME
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan
adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan
interaksi sosial.
Dengan adanya metode diagnosis yang kian berkembang hampir dipastikan jumlah
anak yang ditemukan terkena Autis akan semakin meningkat pesat. Jumlah penyandang autis
semakin mengkhawatirkan mengingat sampai saat ini penyebab autis masih misterius dan
menjadi bahan perdebatan diantara para ahli dan dokter di dunia. Autis adalah gangguan yang
dipengaruhi oleh multifaktorial. Tetapi sejauh ini masih belum terdapat kejelasan secara pasti
mengenai penyebab dan faktor resikonya.
Dalam keadaan seperti ini, strategi pencegahan yang dilakukan masih belum optimal.
Sehingga saat ini tujuan pencegahan mungkin hanya sebatas untuk mencegah agar gangguan
yang terjadi tidak lebih berat lagi, bukan untuk menghindari kejadian autis,.

B. Rumusan Masalah
A.Pengertian autisme
B.Prevalensi
C.Klasifikasi dan jenis-jenis
D.Karakteristik autisme
E.Faktor penyebab autisme
F.Mengidentifikasi dini autis
G.Sistem pelayanan pendidikan bagi anak autisme
H.Masalah psikologi sosial anak autisme

C. Tujuan
Makalah ini ditulis bertujuan agar para pembaca dapat memahami lebih dalam apa
sebenarnya Autisme, serta apa saja layanan yang diberikan kepada anak autisme,dan
mengetahui cara agar anak tidak mengalami autis. Kita sebagai pendidik harus mengetahui
dan memahaminya.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Autisme
Kata autis berasal dari bahasa Yunani "auto" berarti sendiri yang ditujukanpada seseorang
yang menunjukkan gejala "hidup dalam dunianya sendiri". Pada umumnya penyandang
autisma mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian yang melibatkan mereka. Jika ada
reaksi biasanya reaksi ini tidak sesuai dengan situasi atau malahan tidak ada reaksi sama
sekali. Mereka menghindari atau tidak berespon terhadap kontak sosial (pandangan mata,
sentuhan kasih sayang, bermain dengan anak lain dan sebagainya).
Pemakaian istilah autis kepada penyandang diperkenalkan pertama kali oleh Leo Kanner,
seorang psikiater dari Harvard (Kanner, Austistic Disturbance of Affective Contact) pada
tahun 1943 berdasarkan pengamatan terhadap 11 penyandang yang menunjukkan gejala
kesulitan berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, perilaku yang tidak biasa dan cara
berkomunikasi yang aneh.
Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi,
interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai tampak sebelum anak berusia 3
tahun. Bahkan pada autistik infantil gejalanya sudah ada sejak lahir.
B. Prevalensi
Autis dapat terjadipada semua kelompok masyarakat kaya miskin, di desa dikota,
berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia.
Sekalipun demikian anak-anak di negara maju pada umumnya memiliki kesempatan
terdiagnosis lebih awal sehingga memungkinkan tatalaksana yang lebih dini dengan hasil
yang lebih baik.
C. Klasifikasi Aan Jenis-Jenis

1. Autisme Persepsi
autisme persepsi dianggap autisme asli dan disebut juga autisme internal (endogenous)
karena kelainan sudah timbul sebelum lahir, gejala yang diamati, antara lain:
 Rangsangan dari luar baik yang kecil maupun yang kuat, akan menimbulkan kecemasan.
 Banyaknya pengaruh rangsangan dari orang tua, tidak bisa ditentukan.
 Pada kondisi begini, baru orang tua mulai peduli atas kelainan anaknya, sambil terus
menciptakan rangsangan-rangsangan yang memperberat kebingungan anaknya, mulai
berusaha mencari pertolongan
 Pada saat ini si Bapak malah sering menyalahkan Si Ibu kurang memiliki keekaan naluri
keibuan.

2. Autisme Reaktif
pada autisme reaktif, penderita membuat gerakan-gerakan tertentu berulang-ulang dan
kadang-kadang disertai kejang-kejang. Gejala yang dapat diamati, antara lain:
 autisme ini biasa mulai terlihat pada anak usia lebih besar (6-7 tahun) sebelum anak
memasuki tahap berpikir logis. Namun demikian, bisa saja terjadi sejak usia minggu-minggu
pertama.
 Mempunyai sifat rapuh, mudah terkena pengaruh luar yang timbul setelah lahir, baik karena
trauma fisisk atau psikis. Tetapi bukan disebabkan karena kehilangan ibu.
 Setiap kondisi, bisa saja merupakan trauma pada anak yang berjiwa rapuh ini, sehingga
mempengaruhi perkembangan normal kemudian harinya.

3. Autisme Yang Timbul Kemudian


Kalau kelainan dikenal setelah anak agak besar tentu akan sulit memberikan pelatihan dan
pendidikan untuk mengubah perilakunya yang sudah melekat, ditambah beberapa
pengalaman baru dan mungkin diperberat dengan kelainan jaringan otak yang terjadi setelah
lahir.
D. Karakteristik autisme

1. Gangguan Pada Bidang Komunikasi Verbal Dan Nonverbal


 Terlambat bicara atau tidak dapat berbicara
 Mengeluarkan kata – kata yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain yang sering disebut
sebagai bahasa planet.
 Tidak mengerti dan tidak menggunakan kata – kata dalam konteks yang sesuai
 Bicara tidak digunakan untuk komunikasi
 Meniru atau membeo , beberapa anak sangat pandai menirukan nyanyian , nada , maupun
kata – katanya tanpa mengerti artinya.
 Kadang bicara monoton seperti robot
 Mimik muka datar
 Seperti anak tuli, tetapi bila mendengar suara yang disukainya akan bereaksi dengan cepat

2. Gangguan pada bidang interaksi sosial


 Menolak atau menghindar untuk bertatap muka
 Anak mengalami ketulian
 Merasa tidak senang dan menolak bila dipeluk
 Tidak ada usaha untuk melakukan interaksi dengan orang
 Bila menginginkan sesuatu ia akan menarik tangan orang yang terdekat dan mengharapkan
orang tersebut melakukan sesuatu untuknya
 Bila didekati untuk bermain justru menjauh
 Tidak berbagi kesenangan dengan orang lain
 Kadang mereka masih mendekati orang lain untuk makan atau duduk di pangkuan sebentar,
kemudian berdiri tanpa memperlihatkan mimik apapun
 Keengganan untuk berinteraksi lebih nyata pada anak sebaya dibandingkan terhadap orang
tuanya

3. Gangguan Pada Bidang Perilaku Dan Bermain

 Seperti tidak mengerti cara bermain, bermain sangat monoton dan melakukan gerakan yang
sama berulang – ulang sampai berjam – jam
 Bila sudah senang satu mainan tidak mau mainan yang lain dan cara bermainnya juga aneh
 Keterpakuan pada roda (dapat memegang roda mobil – mobilan terus menerus untuk waktu
lama)atau sesuatu yang berputar
 Terdapat kelekatan dengan benda – benda tertentu, seperti sepotong tali, kartu, kertas,
gambar yang terus dipegang dan dibawa kemana- mana
 Sering memperhatikan jari – jarinya sendiri, kipas angin yang berputar, air yang bergerak
 Anak dapat terlihat hiperaktif sekali, misal; tidak dapat diam, lari kesana sini, melompat -
lompat, berputar -putar, memukul benda berulang – ulang
4. gangguan pada bidang perasaan dan emosi

 Tidak ada atau kurangnya rasa empati, misal melihat anak menangis tidak merasa kasihan,
bahkan merasa terganggu, sehingga anak yang sedang menangis akan di datangi dan
dipukulnya
 Tertawa – tawa sendiri , menangis atau marah – marah tanpa sebab yang nyata
 Sering mengamuk tidak terkendali ( temper tantrum) , terutama bila tidak mendapatkan apa
yang diingginkan, bahkan dapat menjadi agresif dan dekstruktif

5. Gangguan dalam persepsi sensoris

 Mencium – cium , menggigit, atau menjilat mainan atau benda apa saja
 Bila mendengar suara keras langsung menutup mata
 Tidak menyukai rabaan dan pelukan . bila digendong cenderung merosot untuk melepaskan
diri dari pelukan
 Merasa tidak nyaman bila memakai pakaian dengan bahan tertentu

E. Faktor Penyebab Terjadinya Autisme


1. Faktor Genetik

Lebih kurang 20% dari kasus-kasus autisme disebabkan oleh faktor genetik.Penyakit
genetik yang sering dihubungkan dengan autisme adalah tuberous sclerosis (17-58%) dan
sindrom fragile X (20-30%). Disebut fragile-X karena secara sitogenetik penyakit ini ditandai
oleh adanya kerapuhan (fragile) yang tampak seperti patahan diujung akhir lengan panjang
kromosom X 4. Sindrome fragile X merupakan penyakit yang diwariskan secara X-linked (X
terangkai) yaitu melalui kromosome X. Pola penurunannya tidak umum, yaitu tidak seperti
penyakit dengan pewarisan X-linked lainnya, karena tidak bisa digolingkan sebagai dominan
atau resesi, laki-laki dan perempuan dapat menjadi penderita maupun pembawa sifat (carrier).

2. Ganguan pada Sistem Syaraf

Banyak penelitian yang melaporkan bahwa anak autis memiliki kelainan pada hampir
semua struktur otak. Tetapi kelainan yang paling konsisten adalah pada otak kecil. Hampir
semua peneliti melaporkan berkurangnya sel purkinye di otak kecil pada autisme.
Berkurangnya sel purkinye diduga dapat merangsang pertumbuhan akson, glia dan myelin
sehingga terjadi pertumbuhan otak yang abnormal, atau sebaliknya pertumbuhan akson yang
abnormal dapat menimbulkan sel purkinye mati.
Otak kecil berfungsi mengontrol fungsi luhur dan kegiatan motorik, juga sebagai
sirkuit yang mengatur perhatian dan pengindraan. Jika sirkuit ini rusak atau terganggu maka
akan mengganggu fungsi bagian lain dari sistem saraf pusat, seperti misalnya sistem limbik
yang mengatur emosi dan perilaku.

3. Ketidakseimbangan Kimiawi

Beberapa peneliti menemukan sejumlah kecil dari gejala autistik berhubungan dengan
makanan atau kekurangan kimiawi di badan. Alergi terhadap makanan tertentu, seperti
bahan-bahan yang mengandung susu, tepung gandum, daging, gula, bahan pengawet,
penyedap rasa, bahan pewarna, dan ragi.

4. Kemungkinan Lain
Infeksi yang terjadi sebelum dan setelah kelahiran dapat merusak otak seperti virus
rubella yang terjadi selama kehamilan dapat menyebabkan kerusakan otak.Kemungkinan
yang lain adalah faktor psikologis, karena kesibukan orang tuanya sehingga tidak memiliki
waktu untuk berkomunikasi dengan anak, atau anak tidak pernah diajak berbicara sejak kecil,
itu juga dapat menyebabkan anak menderita autisme.

F. Mengidentifikasi dini Autis


Gejala autisme mulai tampak pada anak sebelum mencapai usia 3 tahun , secara
umum gejala paling jelas terlihat antara umur 2 – 5 tahun. Pada beberapa kasus aneh gejala
terlihat pada masa sekolah. Berdasarkan penelitian lebih banyak didapatkan pada anak laki-
laki daripada anak perempuan. Beberapa tes untukmendeteksi dini kecurigaan autisme hanya
dapat dilakukan pada bayi berumur 18 bulan ke atas.
Autisme pada anak bisa diatasi lebih efektif jika diketahui sejak dini gejalanya.
Banyak orang tua terlambat menyadari buah hatinya mengalami autisme karena tak tahu
gejalanya.
Menurut penelitian terbaru, autisme bisa didiagnosis lebih dini dengan melihat
bagaimana respon batita saat menonton serial kartun atau animasi. Batita akan sangat senang
dan memfokuskan perhatian ketika melihat gerakan.
Dalam serial kartun terdapat banyak gerakan dan biasanya batita senang untuk
melihatnya. Tetapi bagi batita autisme, mereka akan mengacuhkan gerakan dalam serial
kartun tersebut.
Penelitian tersebut dilakukan oleh para peneliti dari Universitas Yale, Inggris.
Kesimpulan tersebut didapatkan setelah mengadakan penelitian pada seorang anak berusia
dua tahun. Ia di diagnosa terkena autisme melalui gerakan dan suara yang berasal dari serial
kartun.
Para peneliti mengungkapkan, tes dengan kartun yang dilakukan pada anak tersebut,
bisa dilakukan pada anak lain dan dapat mengidentifikasi gejala autis lebih dini. Karena anak-
anak yang berusia delapan bulan sebenarnya sudah bisa mengenali gerakan dan gambar. Dan,
dengan cara memperlihatkan kartun animasi, autisme dapat diidentifikasi.
Identifikasi autisme dengan serial kartun atau animasi ini dilakukan di Inggris dan
melibatkan 55 batita. Hasilnya adalah 21 batita mengalami Autistic Spectrum Disorders
(ASD), 39 batita normal dan 16 batita memiliki masalah perkembangan tetapi bukan autisme.
Batita normal dan yang memiliki masalah perkembangan, menyukai dan fokus
melihat animasi yang diperlihatkan. Tetapi, batita dengan ASD tidak fokus pada animasi
yang diperlihatkan pada dua layar berbeda.
Batita dengan ASD dapat diketahui secara dini. Dengan begitu dapat diberikan terapi
dengan lebih cepat dan tepat," kata Dr Ami Klin, dari theYale Child Study Center.
G. Sistem Pelayanan Pendidikan Anak Atisme
Pada anak autistik yang telah diterapi dengan baik dan memperlihatkan keberhasilan
yang menggembirakan, anak tersebut dapat dikatakan "sembuh" dari gejala autistiknya.Ini
terlihat bila anak tersebut sudah dapat mengendalikan perilakunya sehingga tampak
berperilaku normal, berkomunikasi dan berbicara normal,serta mempunyai wawasan
akademik yang cukup sesuai anak seusianya.
Pada saat ini anak sebaiknya mulai diperkenalkan untuk masuk kedalam kelompok
anak-anak normal, sehingga ia (yang sangat bagus dalam meniru/imitating) dapat mempunyai
figur/role model anak normal dan meniru tingkah laku anak normal seusianya

1. Kelas Terpadu Sebagai Kelas Transisi


Kelas ini ditujukan untuk anak autistik yang telah diterapi secara terpadu dan
terrstruktur, dan merupakan kelas persiapan dan pengenalan akan pengajaran dengan
kurikulum sekolah biasa, tetapi melalui tata cara pengajaran untuk anak autistik ( kelas kecil
dengan jumlah guru besar, dengan alat visual/gambar/kartu, instruksi yang jelas, padat dan
konsisten)
Tujuan kelas terpadu adalah:
a. Membantu anak dalam mempersiapkan transisi ke sekolah reguler2. Belajar secara intensif
pelajaran yang tertinggal di kelas reguler, sehingga dapat mengejar ketinggalan dari teman-
teman sekelasnya
Prasyarat:
1) Diperlukan guru SD dan terapis sebagai pendamping, sesuai dengan keperluan anak didik
(terapis perilaku, terapis bicara, terapis okupasi dsb)
2) Kurikulum masing-masing anak dibuat melalui pengkajian oleh satu team dari berbagai
bidang ilmu ( psikolog, pedagogi, speech patologist, terapis, guru dan orang tua/relawan)
3) Kelas ini berada dalam satu lingkungan sekolah reguler untuk memudahkan proses transisi
dilakukan (mis: mulai latihan bergabung dengan kelas reguler pada saat olah raga atau
istirahat atau prakarya dsb)

b. Program inklusi (mainstreaming)


Program ini dapat berhasil bila ada:
1) Keterbukaan dari sekolah umum
2) Test masuk tidak didasari hanya oleh test IQ untuk anak normal
3) Peningkatan SDM/guru terkait
4) Proses shadowing/dapat dilaksanakan Guru Pembimbing Khusus (GPK)
5) Idealnya anak berhak memilih pelajaran yang ia mampu saja (Mempunyai IEP/Program
Pendidikan Individu sesuai dengan kemampuannya)
6) Anak dapat "tamat" (bukan lulus) dari sekolahnya karena telah selesai melewati pendidikan
di kelasnya bersama-sama teman sekelasnya/peers.
7) Tersedianya tempat khusus (special unit) bila anak memerlukan terapi 1:1 di sekolah umum

c. Sekolah Khusus
Pada kenyataannya dari kelas Terpadu terevaluasi bahwa tidak semua anak autistik
dapat transisi ke sekolah reguler. Anak-anak ini sangat sulit untuk dapat berkonsentrasi
dengan adanya distraksi di sekeliling mereka. Beberapa anak memperlihatkan potensi yang
sangat baik dalam bidang tertentu misalnya olah raga, musik, melukis, komputer,
matematika, ketrampilan dsb.Anak-anak ini sebaiknya dimasukkan ke dalam Kelas khusus,
sehingga potensi mereka dapat dikembangkan secara maksimal.
Contoh sekolah khusus: Sekolah ketrampilan, Sekolah pengembangan olahraga,
Sekolah Musik, Sekolah seni lukis, Sekolah Ketrampilan untuk usaha kecil, Sekolah
computer.
d. Program sekolah dirumah (Homeschooling Program)
Adapula anak autistik yang bahkan tidak mampu ikut serta dalam Kelas Khusus
karena keterbatasannya, misalnya anak non verbal, retardasi mental, masalah motorik dan
auditory dsb. Anak ini sebaiknya diberi kesempatan ikut serta dalam Program Sekolah
Dirumah (Homeschooling Program). Melalui bimbingan para guru/terapis serta kerjasama
yang baik dengan orangtua dan orang-orang disekitarnya, dapat dikembangkan
potensi/strength anak. Kerjasama guru dan orangtua ini merupakan cara terbaik untuk
mengeneralisasi program dan membentuk hubungan yang positif antara keluarga dan
masyarakat. Bila memungkinkan, dengan dukungan dan kerjasama antara guru sekolah dan
terapis di rumah anak-anak ini dapat diberi kesempatan untuk mendapat persamaan
pendidikan yang setara dengan sekolah reguler/SLB untuk bidang yang ia kuasai. Dilain
pihak, perlu dukungan yang memadai untuk keluarga dan masyarakat sekitarnya untuk dapat
menghadapi kehidupan bersama seorang autistik

H. Dampak psikologi anak autisme

1. Dampak psikologis bagi orang tua


Tidak mudah bagi orang tua untuk menerima kenyataan bahwa anaknya mengalami
kelainan. Hilangnya impian, harapan, kebingungun-kekhewatiran atas masa depan anak,
biaya financial yang harus dikeluarkan, dan kerepotan-kerepotan lainnya merupakan beban
berat yang harus dihadapi orang tua. Semua hal tersebut sangat berpotensi menjadi stressor
dalam kehidupan dan preses interaksi dengan anak.
2. Dampak psikologis bagi anggota keluarga
Pertama dampak psikologis terhadap sang kakak pada awal kelahirannya hal ini
belum menjadi masalah. Permasalahan muncul setelah sekian lama sang kakak menyadari
bahwa dengan hadir si adik perhatian ayah, ibu dan anggota keluarga yang lain tercurah
kepada si adik. Bahkan kecenburuannya sitambah lagi dengan perasaan kesal, menyaksikan
semua perhatian orang tua tercurah kepada adiknya yang autisme.
3. Dampak psikologis bagi lingkungan masyarakat
Umumnya anggota masyarakat belum bisa menerima penyandang autisme dalam
kelompok sosialnya. Orang tua anak normal sering melarang anaknya bergaul dengan anak
autistic. Pernah juga kejadian orang tua anak normal memindahkan anaknya sekolah karena
disekolah yang lama terdapat anak autistic.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut
komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai tampak sebelum anak
berusia 3 tahun. Bahkan pada autistik infantil gejalanya sudah ada sejak lahir.
Autisme disebabkan oleh karena kombinasi makanan yang salah atau lingkungan
yang terkontaminasi zat-zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar yang
mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis.
Selain itu pengaruh virus seperti rubella, toxo, herpes; jamur; nutrisi yang buruk;
perdarahan; keracunan makanan, dsb pada kehamilan dapat menghambat pertumbuhan sel
otak yang dapat menyebabkan fungsi otak bayi yang dikandung terganggu terutama fungsi
pemahaman, komunikasi dan interaksi.

B. SARAN
Hendaknya saat hamil ibu harus memperhatikan asupan gizi yang baik untuk anaknya
serta bagi orang tua yang memiliki anak autisme harus memperbanyak pengetahuan tentang
autisme agar mengetahui bagaimana cara menangani anak autis dengan baik. Begitu juga
seorang guru agar tahu bagaimana penyelenggaraan pendidikan bagi anak autisme tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Azwandi, yosfan. 2005. mengenal dan membantu penyandang autisme.Jakarta. Direktorat
jendral pendidikan tinggi.
Yatim, Faisal. 2003. Austisme suatu gangguan jiwa pada anak- anak. Jakarta: pustaka
popular obor
Dr Widodo Judarwanto SpA email : wido25@hotmail.com
htpp://www.alergianak.bravehost.com
www.google.com jam 19.00 wib tgl 28 november 2009a
Diposting 25th July 2012 oleh eldepratama mehagamedan
Label: Kedokteran Gadjah Mada

0
Tambahkan komentar
4.
JUL

25

ASKEP DIARE PADA ANAK


BAB I
PENDAHULUAN

A. Pengertian
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cairan atau setengah
cairan, dengan demikian kandungan air pada tinja lebih banyak dari keadaan normal yakni
100-200 ml sekali defekasi (Hendarwanto, 1999).Menurut WHO (1980) diare adalah buang
air besar encer atau cair lebih dari tiga kali sehari.Diare ialah keadaan frekuensi buang air
besar lebih dari 4 kali pada bayi dan lebih dari 3 kali pada anak dengan konsistensi feses
encer, dapat berwarna hijau atau dapat bercampur lendir dan darah (Ngastiyah, 1997).

B. Penyebab
1. Faktor infeksi
a. Infeksi enteral ; infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama diare,
meliputi infeksi bakteri (Vibrio, E. coli, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia,
Aeromonas, dsb), infeksi virus (Enterovirus, Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus, dll), infeksi
parasit (E. hystolytica, G.lamblia, T. hominis) dan jamur (C. albicans).
b. Infeksi parenteral ; merupakan infeksi di luar sistem pencernaan yang dapat menimbulkan
diare seperti: otitis media akut, tonsilitis, bronkopneumonia, ensefalitis dan sebagainya.
2. Faktor Malabsorbsi
Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa),
monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Intoleransi laktosa merupakan
penyebab diare yang terpenting pada bayi dan anak. Di samping itu dapat pula terjadi
malabsorbsi lemak dan protein.
3. Faktor Makanan
Diare dapat terjadi karena mengkonsumsi makanan basi, beracun dan alergi terhadap
jenis makanan tertentu.
4. Faktor Psikologis
Diare dapat terjadi karena faktor psikologis (rasa takut dan cemas).

C. Patofisiologi
1. Gangguan osmotik
Adanya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan
osmotik dalam lumen usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektroloit ke dalam
lumen usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya
sehingga timbul diare.
2. Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi
peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke dalam lumen usus dan selanjutnya timbul diare
kerena peningkatan isi lumen usus.
3. Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan menyebabkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap
makanan sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan
mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan, selanjutnya dapat timbul diare pula.

D. Manifestasi Klinis
Diare akut karena infeksi dapat disertai muntah-muntah, demam, tenesmus,
hematoschezia, nyeri perut dan atau kejang perut. Akibat paling fatal dari diare yang
berlangsung lama tanpa rehidrasi yang adekuat adalah kematian akibat dehidrasi yang
menimbulkan renjatan hipovolemik atau gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik
yang berlanjut. Seseoran yang kekurangan cairan akan merasa haus, berat badan berkurang,
mata cekung, lidah kering, tulang pipi tampak lebih menonjol, turgor kulit menurun serta
suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan oleh deplesi air yang isotonik.
Karena kehilangan bikarbonat (HCO3) maka perbandingannya dengan asam karbonat
berkurang mengakibatkan penurunan pH darah yang merangsang pusat pernapasan sehingga
frekuensi pernapasan meningkat dan lebih dalam (pernapasan Kussmaul).
Gangguan kardiovaskuler pada tahap hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan
dengan tanda-tanda denyut nadi cepat (> 120 x/menit), tekanan darah menurun sampai tidak
terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, akral dingin dan kadang-kadang sianosis. Karena
kekurangan kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun sampai timbul
oliguria/anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatsi akan timbul penyulit nekrosis tubulus
ginjal akut yang berarti suatu keadaan gagal ginjal akut.

E. Penatalaksanaan
Ada 4 hal yang penting diperhatikan agar dapat memberikan rehidrasi yang cepat dan
akurat, yaitu:
1) Jenis cairan yang hendak digunakan.
Pada saat ini cairan Ringer Laktat merupakan cairan pilihan karena tersedia cukup
banyak di pasaran meskipun jumlah kaliumnya rendah bila dibandingkan dengan kadar
kalium tinja. Bila RL tidak tersedia dapat diberiakn NaCl isotonik (0,9%) yang sebaiknya
ditambahkan dengan 1 ampul Nabik 7,5% 50 ml pada setiap satu liter NaCl isotonik. Pada
keadaan diare akut awal yang ringan dapat diberikan cairan oralit untuk mencegah dehidrasi
dengan segala akibatnya.
2) Jumlah cairan yang hendak diberikan.
Pada prinsipnya jumlah cairan pengganti yang hendak diberikan harus sesuai dengan
jumlah cairan yang keluar dari badan. Jumlah kehilangan cairan dari badan dapat dihitung
dengan cara/rumus:
- Mengukur BJ Plasma
Kebutuhan cairan dihitung dengan rumus:
BJ Plasma – 1,025
——————— x BB x 4 ml
0,001
- Metode Pierce
Berdasarkan keadaan klinis, yakni:
* diare ringan, kebutuhan cairan = 5% x kg BB
* diare sedang, kebutuhan cairan = 8% x kg BB
* diare ringan, kebutuhan cairan = 10% x kg BB
- Metode Daldiyono
Berdasarkan skoring keadaan klinis sebagai berikut:
* Rasa haus/muntah = 1
* BP sistolik 60-90 mmHg = 1
* BP sistolik <60 mmHg = 2
* Frekuensi nadi >120 x/mnt = 1
* Kesadaran apatis = 1
* Kesadaran somnolen, sopor atau koma = 2
* Frekuensi napas >30 x/mnt = 1
* Facies cholerica = 2
* Vox cholerica = 2
* Turgor kulit menurun = 1
* Washer women’s hand = 1
* Ekstremitas dingin = 1
* Sianosis = 2
* Usia 50-60 tahun = 1
* Usia >60 tahun = 2
Kebutuhan cairan =
Skor
——– x 10% x kgBB x 1 ltr
15
3) Jalan masuk atau cara pemberian cairan
Rute pemberian cairan pada orang dewasa meliputi oral dan intravena. Larutan orali
dengan komposisi berkisar 29 g glukosa, 3,5 g NaCl, 2,5 g NaBik dan 1,5 g KCl stiap liternya
diberikan per oral pada diare ringan sebagai upaya pertama dan juga setelah rehidrasi inisial
untuk mempertahankan hidrasi.
4) Jadual pemberian cairan
Jadwal rehidrasi inisial yang dihitung berdasarkan BJ plasma atau sistem skor
diberikan dalam waktu 2 jam dengan tujuan untuk mencapai rehidrasi optimal secepat
mungkin. Jadual pemberian cairan tahap kedua yakni untuk jam ke-3 didasarkan pada
kehilangan cairan selama 2 jam fase inisial sebelumnya. Dengan demikian, rehidrasi
diharapkan lengkap pada akhir jam ke-3.
Untuk mengetahui penyebab infeksi biasanya dihubungkan dengan dengan keadaan
klinis diare tetapi penyebab pasti dapat diketahui melalui pemeriksaan biakan tinja disertai
dengan pemeriksaan urine lengkap dan tinja lengkap.
Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa diperjelas melalui pemeriksaan
darah lengkap, analisa gas darah, elektrolit, ureum, kreatinin dan BJ plasma.
Bila ada demam tinggi dan dicurigai adanya infeksi sistemik pemeriksaan biakan
empedu, Widal, preparat malaria serta serologi Helicobacter jejuni sangat dianjurkan.
Pemeriksaan khusus seperti serologi amuba, jamur dan Rotavirus biasanya menyusul setelah
melihat hasil pemeriksaan penyaring.
Secara klinis diare karena infeksi akut digolongkan sebagai berikut:
1) Koleriform, diare dengan tinja terutama terdiri atas cairan saja.
2) Disentriform, diare dengan tinja bercampur lendir kental dan kadang-kadang
darah.Pemeriksaan penunjang yang telah disinggung di atas dapat diarahkan sesuai
manifestasi klnis diare.
3. Memberikan terapi simtomatik
Terapi simtomatik harus benar-benar dipertimbangkan kerugian dan keuntungannya.
Antimotilitas usus seperti Loperamid akan memperburuk diare yang diakibatkan oleh bakteri
entero-invasif karena memperpanjang waktu kontak bakteri dengan epitel usus yang
seyogyanya cepat dieliminasi.
4. Memberikan terapi definitif.
Terapi kausal dapat diberikan pada infeksi:
1) Kolera-eltor: Tetrasiklin atau Kotrimoksasol atau Kloramfenikol.
2) V. parahaemolyticus,
3) E. coli, tidak memerluka terapi spesifik
4) C. perfringens, spesifik
5) A. aureus : Kloramfenikol
6) Salmonellosis: Ampisilin atau Kotrimoksasol atau golongan Quinolon seperti
Siprofloksasin
7) Shigellosis: Ampisilin atau Kloramfenikol Helicobacter: Eritromisin
9) Amebiasis: Metronidazol atau Trinidazol atau Secnidazol
10) Giardiasis: Quinacrine atau Chloroquineitiform atau Metronidazol
11) Balantidiasis: Tetrasiklin
12) Candidiasis: Mycostatin
13) Virus: simtomatik dan suportif
BAB II
TINJAUAN TIORITIS
Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian (Anak Usia 3 Tahun)
a. Keluhan Utama : Buang air berkali-kali dengan konsistensi encer
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada umumnya anak masuk Rumah Sakit dengan keluhan buang air cair berkali-kali baik
disertai atau tanpa dengan muntah, tinja dpat bercampur lendir dan atau darah, keluhan lain
yang mungkin didapatkan adalah napsu makan menurun, suhu badan meningkat, volume
diuresis menurun dan gejala penurunan kesadaran
c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Meliputi pengkajian riwayat :
1). Prenatal
Kehamilan yang keberapa, tanggal lahir, gestasi (fulterm, prematur, post matur), abortus atau
lahir hidup, kesehatan selama sebelumnya/kehamilan, dan obat-obat yang dimakan serta
imunisasi.
2). Natal
Lamanya proses persalinan, tempat melahirkan, obat-obatan, orang yang menolong
persalinan, penyulit persalinan.
3). Post natal
Berat badan nomal 2,5 Kg – 4 Kg, Panjang Badan normal 49 -52 cm, kondisi kesehatan baik,
apgar score , ada atau tidak ada kelainan kongenital.
4). Feeding
Air susu ibu atau formula, umur disapih (2 tahun), jadwal makan/jumlahnya, pengenalan
makanan lunak pada usia 4-6 bulan, peubahan berat-badan, masalah-masalah feeding
(vomiting, colic, diare), dan penggunaan vitamin dan mineral atau suplemen lain.
5). Penyakit sebelumnya
Penyebabnya, gejala-gejalanya, perjalanan penyakit, penyembuhan, kompliksi, insiden
penyakit dalam keluarga atau masyarakat, respon emosi terhadap rawat inap sebelumnya.
6). Alergi
Apakah pernah menderita hay fever, asthma, eksim. Obat-obatan, binatang, tumbuh-
tumbuhan, debu rumah
7) Obat-obat terakhir yang didapat
Nama, dosis, jadwal, lamanya, alasan pemberian.
8). Imunisasi
Polio, hepatitis, BCG, DPT, campak, sudah lengkap pada usia 3 tahun, reaksi yang terjadi
adalah biasanya demam, pemberian serum-serum lain, gamma globulin/transfusi, pemberian
tubrkulin test dan reaksinya.
9). Tumbuh Kembang
Berat waktu lahir 2, 5 Kg – 4 Kg. Berat badan bertambah 150 – 200 gr/minggu, TB
bertambah 2,5 cm / bulan, kenaikan ini terjadi sampai 6 bulan. Gigi mulai tumbuh pada usia
6-7 bulan, mulai duduk sendiri pada usia 8-9 bulan, dan bisa berdiri dan berjalan pada usia
10-12 bulan.
d. Riwayat Psikososial
Anak sangat menyukai mainannya, anak sangat bergantung kepada kedua orang tuanya dan
sangat histeris jika dipisahkan dengan orang tuanya. Usia 3 tahun (toddlers) sudah belajar
bermain dengan teman sebaya.
e. Riwayat Spiritual
Anak sudah mengenal beberapa hal yang bersifat ritual misalnya berdoa.
f. Reaksi Hospitalisasi
1. Kecemasan akan perpisahan : kehilangan interaksi dari keluarga dan lingkungan yang
dikenal, perasaan tidak aman, cemas dan sedih
2. Perubahan pola kegiatan rutin
3. Terbatasnya kemampuan untuk berkomunikasi
4. Kehilangan otonomi
5. Takut keutuhan tubuh
6. Penurunan mobilitas seperti kesempatan untuk mempelajari dunianya dan terbatasnya
kesempatan untuk melaksanakan kesenangannya
g. Aktivitas Sehari-Hari
1. Kebutuhan cairan pada usia 3 tahun adalah 110-120 ml/kg/hari
2. Output cairan :
(a) IWL (Insensible Water Loss)
(1) Anak : 30 cc / Kg BB / 24 jam
(2) Suhu tubuh meningkat : 10 cc / Kg BB + 200 cc (suhu tubuh – 36,8 oC)
(b) SWL (Sensible Water Loss) adalah hilangnya cairan yang dapat diamati, misalnya berupa
kencing dan faeces. Yaitu :
(1) Urine : 1 – 2 cc / Kg BB / 24 jam
(2) Faeces : 100 – 200 cc / 24 jam
3. Pada usia 3 tahun sudah diajarkan toilet training.
h. Pemeriksaan Fisik
a) Tanda-tanda vital
Suhu badan : mengalami peningkatan
Nadi : cepat dan lemah
Pernafasan : frekuensi nafas meningkat
Tekanan darah : menurun
b) Antropometri
Pemeriksaan antropometri meliputi berat badan, Tinggi badan, Lingkaran kepala, lingkar
lengan, dan lingkar perut. Pada anak dengan diare mengalami penurunan berat badan.
c) Pernafasan
Biasanya pernapasan agak cepat, bentuk dada normal, dan tidak ditemukan bunyi nafas
tambahan.
d) Cardiovasculer
Biasanya tidak ditemukan adanya kelainan, denyut nadi cepat dan lemah.
e) Pencernaan
Ditemukan gejala mual dan muntah, mukosa bibir dan mulut kering, peristaltik usus
meningkat, anoreksia, BAB lebih 3 x dengan konsistensi encer
f) Perkemihan
Volume diuresis menurun.
g) Muskuloskeletal
Kelemahan fisik akibat output yang berlebihan.
h) Integumen
lecet pada sekitar anus, kulit teraba hangat, turgor kulit jelek
i) Endokrin
Tidak ditemukan adanya kelaianan.
J) Penginderaan
Mata cekung, Hidung, telinga tidak ada kelainan
k) Reproduksi
Tidak mengalami kelainan.
l) Neorologis
Dapat terjadi penurunan kesadaran.

2. Pemeriksaan Tingkat Perkembangan


1) Motorik Kasar.
Sudah bisa naik/turun tangga tanpa dibantu, mamakai baju dengan bantuan, mulai bisa
bersepeda roda tiga.
2) Motorik Halus.
Menggambat lingkaran, mencuci tangan sendiri dan menggosok gigi
3) Personal Sosial.
Sudah belajar bermain dengan teman sebayanya.
4. Diagnosa Keperawatan.
a. Kekurangan volume cairan b.d kehilangan berlebihan melalui feses dan muntah serta
intake terbatas (mual).
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d gangguan absorbsi nutrien dan
peningkatan peristaltik usus.
c. Nyeri (akut) b.d hiperperistaltik, iritasi fisura perirektal.
d. Kecemasan keluarga b.d perubahan status kesehatan anaknya
e. Kurang pengetahuan keluarga tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan terapi b.d
pemaparan informasi terbatas, salah interpretasi informasi dan atau keterbatasan kognitif.
f. Kecemasan anak b.d perpisahan dengan orang tua, lingkungan yang baru

5. Rencana Keperawatan.
Dx.1 Kekurangan volume cairan b/d kehilangan berlebihan melalui feses dan muntah serta
intake terbatas (mual)
Tujuan : Kebutuhan cairan akan terpenuhi dengan kriteria tidak ada tanda-tanda dehidrasi
Intervensi : Berikan cairan oral dan parenteral sesuai dengan program rehidrasiPantau intake
dan output.
Rasional : Sebagai upaya rehidrasi untuk mengganti cairan yang keluar bersama
feses.Memberikan informasi status keseimbangan cairan untuk menetapkan kebutuhan cairan
pengganti.
Intervensi : Berikan cairan oral dan parenteral sesuai dengan program rehidrasiPantau intake
dan output.
Rasional :Sebagai upaya rehidrasi untuk mengganti cairan yang keluar bersama
feses.Memberikan informasi status keseimbangan cairan untuk menetapkan kebutuhan cairan
pengganti.
Intervensi : Kaji tanda vital, tanda/gejala dehidrasi dan hasil pemeriksaan laboratorium
Rasional : Menilai status hidrasi, elektrolit dan keseimbangan asam basa
Intervensi : Kolaborasi pelaksanaan terapi definitif
Rasional : Pemberian obat-obatan secara kausal penting setelah penyebab diare diketahui.

Dx.2 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi nutrien dan
peningkatan peristaltik usus.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan kriteria terjadi peningkatan bera badan
Intervensi : Pertahankan tirah baring dan pembatasan aktivitas selama fase akut.
Rasional : Menurunkan kebutuhan metabolik
Intervensi : Pertahankan status puasa selama fase akut (sesuai program terapi) dan segera
mulai pemberian makanan per oral setelah kondisi klien mengizinkan
Rasional : Pembatasan diet per oral mungkin ditetapkan selama fase akut untuk menurunkan
peristaltik sehingga terjadi kekurangan nutrisi. Pemberian makanan sesegera mungkin
penting setelah keadaan klinis klien memungkinkan.
Intervensi : Bantu pelaksanaan pemberian makanan sesuai dengan program diet
Rasional : Memenuhi kebutuhan nutrisi klien
Intervensi : Kolaborasi pemberian nutrisi parenteral sesuai indikasi
Rasional : Mengistirahatkan kerja gastrointestinal dan mengatasi/mencegah kekurangan
nutrisi lebih lanjut.

Dx.3 : Nyeri (akut) b/d hiperperistaltik, iritasi fisura perirektal.


Tujuan : Nyeri berkurang dengan kriteria tidak terdapat lecet pada perirektal
Intervensi : Atur posisi yang nyaman bagi klien, misalnya dengan lutut fleksi.
Rasional : Menurunkan tegangan permukaan abdomen dan mengurangi nyeri
Intervensi : Lakukan aktivitas pengalihan untuk memberikan rasa nyaman seperti masase
punggung dan kompres hangat abdomen
Rasional : Meningkatkan relaksasi, mengalihkan fokus perhatian kliendan meningkatkan
kemampuan koping
Intervensi : Bersihkan area anorektal dengan sabun ringan dan airsetelah defekasi dan berikan
perawatan kulit
Rasional : Melindungi kulit dari keasaman feses, mencegah iritasi
Intervensi : Kolaborasi pemberian obat analgetika dan atau antikolinergik sesuai indikasi
Rasional : Analgetik sebagai agen anti nyeri dan antikolinergik untuk menurunkan spasme
traktus GI dapat diberikan sesuai indikasi klinis
Intervensi : Kaji keluhan nyeri dengan Visual Analog Scale (skala 1-5), perubahan
karakteristik nyeri, petunjuk verbal dan non verbal
Rasional : Mengevaluasi perkembangan nyeri untuk menetapkan intervensi selanjutnya
Dx.4 : Kecemasan keluarga b/d perubahan status kesehatan anaknya.
Tujuan : Keluarga mengungkapkan kecemasan berkurang.
Intervensi : Dorong keluarga klien untuk membicarakan kecemasan dan berikan umpan balik
tentang mekanisme koping yang tepat.
Rasional : Membantu mengidentifikasi penyebab kecemasan dan alternatif pemecahan
masalah
Intervensi : Tekankan bahwa kecemasan adalah masalah yang umum terjadi pada orang tua
klien yang anaknya mengalami masalah yang sama
Rasional : Membantu menurunkan stres dengan mengetahui bahwa klien bukan satu-satunya
orang yang mengalami masalah yang demikian
Intervensi : Ciptakan lingkungan yang tenang, tunjukkan sikap ramah tamah dan tulus dalam
membantu klien.
Rasional : Mengurangi rangsang eksternal yang dapat memicu peningkatan kecemasan.

Dx.5 : Kurang pengetahuan keluarga tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan terapi b/d
pemaparan informasi terbatas, salah interpretasi informasi dan atau keterbatasan kognitif.
Tujuan : Keluarga akan mengerti tentang penyakit dan pengobatan anaknya, serta mampu
mendemonstrasikan perawatan anak di rumah.
Intervensi : Kaji kesiapan keluarga klien mengikuti pembelajaran, termasuk pengetahuan
tentang penyakit dan perawatan anaknya.
Rasional : Efektivitas pembelajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan mental serta latar
belakang pengetahuan sebelumnya.
Intervensi : Jelaskan tentang proses penyakit anaknya, penyebab dan akibatnya terhadap
gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari aktivitas sehari-hari.
Rasional : Pemahaman tentang masalah ini penting untuk meningkatkan partisipasi keluarga
klien dan keluarga dalam proses perawatan klien
Intervensi : Jelaskan tentang tujuan pemberian obat, dosis, frekuensi dan cara pemberian serta
efek samping yang mungkin timbul
Rasional : Meningkatkan pemahaman dan partisipasi keluarga klien dalam pengobatan.
Intervensi : Jelaskan dan tunjukkan cara perawatan perineal setelah defekasi
Rasional : Meningkatkan kemandirian dan kontrol keluarga klien terhadap kebutuhan
perawatan diri anaknya.

Dx. 6 : Kecemasan anak b.d Perpisahan dengan orang tua, lingkugan yang baru
Tujuan : Kecemasan anak berkurang dengan kriteria memperlihatkan tanda-tanda
kenyamanan.
Intervensi : Anjurkan pada keluarga untuk selalu mengunjungi klien dan berpartisipasi dalam
perawatn yang dilakukan.
Rasional : Mencegah stres yang berhubungan dengan perpisahan.
Intervensi : Berikan sentuhan dan berbicara pada anak sesering mungkin.
Rasional : Memberikan rasa nyaman dan mengurangi stress
Intervensi : Lakukan stimulasi sensory atau terapi bermain sesuai dengan ingkat
perkembangan klien
Rasional : Meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan secara optimum

6. Implementasi.
Melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan rencana tindakan yang telah
direncanakan sebelumnya.

7. Evaluasi.
Evaluasi merupakan pengukuran keberhasilan sejauhmana tujuan tersebut tercapai.
Bila ada yang belum tercapai maka dilakukan pengkajian ulang, kemudian disusun rencana,
kemudian dilaksanakan dalam implementasi keperawatan lalau dievaluasi, bila dalam
evaluasi belum teratasi maka dilakukan langkah awal lagi dan seterusnya sampai tujuan
tercapai.

BAB III
PENUTUP

Selalu sediakan larutan elektrolit di dalam kotak obat. Oralit buatan pabrikan boleh
saja digunakan namun tidak disarankan untuk penggunaan jangka panjang karena kandungan
gula dan garamnya yang sangat tinggi.
Pemberian makanan yang lebih awal bertujuan untuk menyediakan nutrisi yang
diperlukan dan bisa juga sebagai langkah untuk mempercepat penyembuhan. Diet BRATY
(banana/pisang, rice/nasi/cereal, apel/saus apel, toast/roti. dan yoghurt) perlu dilakukan dalam
beberapa diare yang tergolong berat.
Selama masa diare, sari buah bukanlah asupan cairan yang tepat. Selain karena
terkadang kandungan sarbitol yang terdapat pada sari buah juga bisa mempersulit kerja usus
dalam menyerap air dari lapisan usus ke tinja sehingga bisa memperparah diare.
Jangan pernah berhenti memberikan ASI kepada bayi dan aneka cairan (kecuali sari
buah pabrikan) kepada anak selama masa diare. Ini sangat penting untuk menghindarkan
anak dan bayi kita dari dehidrasi yang bila dibiarkan bisa menimbulkan kematian.
Diposting 25th July 2012 oleh eldepratama mehagamedan
Label: Kedokteran Gadjah Mada

0
Tambahkan komentar
5.
JUL

25

ASKEP TRAUMA MEDULA SPINALIS


BAB I
PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN
DENGAN MASALAH TRAUMA MEDULLA SPINALIS

A. LATAR BELAKANG
Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan
seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila Trauma itu mengenai daerah L1-2 dan/atau di
bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta
kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.trauma medulla spinalis diklasifikasikan sebagai
komplet : kehilangan sensasi fungsi motorik volunter total dan tidak komplet : campuran
kehilangan sensasi dan fungsi motorik volunter.
Trauma medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi
150.000 orang di Amerika Serikat, dengan perkiraan10.000 Trauma baru yang terjadi setiap
tahun. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda sekitar lebih dari 75% dari seluruh
Trauma. Data dari bagian rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati didapatkan
dalam 5 bulan terakhir terhitung dari Januari sampai Juni 2003 angka kejadian angka
kejadian untuk fraktur adalah berjumlah 165 orang yang di dalamnya termasuk angka
kejadian untuk Trauma medulla spinalis yang berjumlah 20 orang (12,5%).
Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena
olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak
dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan
hormonal (menopause).klien yang mengalami Trauma medulla spinalis khususnya bone loss
pada L2-3 membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan ADL dan
dalam pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien juga beresiko mengalami
komplikasi Trauma spinal seperti syok spinal, trombosis vena profunda, gagal napas;
pneumonia dan hiperfleksia autonomic.Maka dari itu sebagai perawat merasa perlu untuk
dapat membantu dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan Trauma medulla
spinalis dengan cara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif sehingga masalahnya dapat
teratasi dan klien dapat terhindar dari masalah yang paling buruk.Berdasarkan uraian diatas di
harapkan dengan adanya malkalah yang berjudul “Trauma medulla spinalis” dapat
bermanfaat bagi para pembaca untuk dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan.
BAB II
PEMBAHASAN

KONSEP DASAR
A. ANATOMI FISIOLOGI.
Columna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi medula
spinalis dan menunjang berat kepala serta batang tubuh, yang diteruskannya ke lubang-
lubang paha dan tungkai bawah. Masing-masing tulang dipisahkan oleh disitus
intervertebralis.
Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut :
a. Vetebrata Thoracalis (atlas).
Vetebrata Thoracalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus tetapi hanya berupa
cincin tulang. Vertebrata cervikalis kedua (axis) ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak.
Veterbrata cervitalis ketujuh disebut prominan karena mempunyai prosesus spinasus paling
panjang.
b. Vertebrata Thoracalis.
Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk jantung,
berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thorax.
c. Vertebrata Lumbalis.
Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal, berjumlah 5 buah
yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus vertebra yang besar ukurnanya sehingga
pergerakannya lebih luas kearah fleksi.
d. Os. Sacrum.
Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang dimana ke 5
vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang bayi.
e. Os. Coccygis.
Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami rudimenter.
Lengkung koluma vertebralis.kalau dilihat dari samping maka kolumna vertebralis
memperlihatkan empat kurva atau lengkung antero-pesterior : lengkung vertikal pada daerah
leher melengkung kedepan daerah torakal melengkung kebelakang, daerah lumbal kedepan
dan daerah pelvis melengkung kebelakang. Kedua lengkung yang menghadap pasterior, yaitu
torakal dan pelvis, disebut promer karena mereka mempertahankan lengkung aslinya
kebelakang dari hidung tulang belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin dengna kepala
membengkak ke bawah sampai batas dada dan gelang panggul dimiringkan keatas kearah
depan badan. Kedua lengkung yang menghadap ke anterior adalah sekunder → lengkung
servikal berkembang ketika kanak-kanak mengangkat kepalanya untuk melihat sekelilingnya
sambil menyelidiki, dan lengkung lumbal di bentuk ketika ia merangkak, berdiri dan berjalan
serta mempertahankan tegak.
Fungsi dari kolumna vertebralis. Sebagai pendukung badan yang kokoh dan sekaligus
bekerja sebagai penyangga kedengan prantaraan tulang rawan cakram intervertebralis yang
lengkungnya memberikan fleksibilitas dan memungkinkan membonkok tanpa patah.
Cakramnya juga berguna untuk menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat
badan seperti waktu berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum belkang
terlindung terhadap goncangan. Disamping itu juga untuk memikul berat badan, menyediakan
permukaan untuk kartan otot dan membentuk tapal batas pasterior yang kukuh untuk rongga-
rongga badan dan memberi kaitan pada iga.
Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang bermula ada medula ablongata,
menjulur kearah kaudal melalu foramen magnum dan berakhir diantara vertebra-lumbalis
pertama dan kedua. Disini medula spinalis meruncing sebagai konus medularis, dna
kemudian sebuah sambungan tipis dasri pia meter yang disebut filum terminale, yang
menembus kantong durameter, bergerak menuju koksigis. Sumsum tulang belakang yang
berukuran panjang sekitar 45 cm ini, pada bagian depannya dibelah oleh figura anterior yang
dalam, sementara bagian belakang dibelah oleh sebuah figura sempit.
Pada sumsum tulang belakang terdapat dua penebalan, servikal dan lumbal. Dari
penebalan ini, plexus-plexus saraf bergerak guna melayani anggota badan atas dan bawah dan
plexus dari daerah thorax membentuk saraf-saraf interkostalis.

Fungsi sumsum tulang belakang :


1). Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit.
2). Serabut saraf sensorik ; mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju sel-sel dalam
ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi kelabu pada karnu pasterior
mendula spinalis.
3). Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung menghantarkan
impuls-impuls menuju karnu anterior medula spinalis.
4). sel saraf motorik ; dalam karnu anterior medula spinalis yang menerima dan mengalihkan
impuls tersebut melalui serabut sarag motorik.
5). Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls saraf motorik.
6). Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada daerah torakal
dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis beberapa otot interkostal, paralisis
pada otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker
pada uretra dan rektum.

B. PENGERTIAN.
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan
oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001).Trauma medulla
spinalis adalah buatan kerusakan tulang dan sumsum yang mengakibatkan gangguan sistem
persyarafan didalam tubuh manusia yang diklasifikasikan sebagai :
- komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total)
- tidak komplet (campuran kehilagan sensori dan fungsi motorik)
Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan
sering kali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila Trauma itu mengenai daerah servikal pada
lengan, badan dan tungkai mata penderita itu tidak tertolong. Dan apabila saraf frenitus itu
terserang maka dibutuhkan pernafasan buatan, sebelum alat pernafasan mekanik dapat
digunakan.

C. ETIOLOGI.
Penyebab dari Trauma medulla spinalis yaitu :
a. kecelakaan otomobil, industri
b. terjatuh, olah-raga, menyelam
c. luka tusuk, tembak
d. tumor.

D. PATOFISIOLOGI.
Kerusakan medulla spinalis berkisar dari kamosio sementara (pasien sembuh
sempurna) sampai kontusio, laserasi dan kompresi substansi medulla, (lebih salah satu atau
dalam kombinasi) sampai transaksi lengkap medulla (membuat pasien paralisis).Bila
hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke ekstradul subdural
atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio atau robekan pada
Trauma, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur.

Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi terganggu, tidak hanya ini saja tetapi
proses patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi pada Trauma medulla spinalis akut.
Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulkan iskemia, hipoksia, edema, lesi,
hemorargi.
Trauma medulla spinalis dapat terjadi pada lumbal 1-5
- Lesi L1 : Kehilangan sensorik yaitu sama menyebar sampai lipat paha dan bagian dari
bokong.
- Lesi L2 : Ekstremitas bagian bawah kecuali 1/3 atas dari anterior paha.
- Lesi L3 : Ekstremitas bagian bawah.
- Lesi L4 : Ekstremitas bagian bawah kecuali anterior paha.
- Lesi L5 : Bagian luar kaki dan pergelangan kaki.

E. MANIFESTASI KLINIS.
a. nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena
b. paraplegia
c. tingkat neurologik
d. paralisis sensorik motorik total
e. kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung kemih)
f. penurunan keringat dan tonus vasomoto
g. penurunan fungsi pernafasan
h. gagal nafas

F. PEMERIKSAN DIAGNOSTIK.
a. Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis Trauma tulan (fraktur, dislokasi), unutk kesejajaran, reduksi
setelah dilakukan traksi atau operasi
b. Skan ct
Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural
c. MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
d. Mielografi.
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor putologisnya tidak jelas
atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan
dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).
e. Foto ronsen torak, memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada diafragma,
atelektasis)
f. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume inspirasi
maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian bawah atau pada trauma
torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal).
g. GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi

G. KOMPLIKASI.
a. Neurogenik shock.
b. Hipoksia.
c. Gangguan paru-paru
d. Instabilitas spinal
e. Orthostatic Hipotensi
f. Ileus Paralitik
g. Infeksi saluran kemih
h. Kontraktur
i. Dekubitus
j. Inkontinensia blader
k. Konstipasi

H. PENATALAKSANAAN.
a. Penatalaksanaan Kedaruratan
pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena penatalaksanaan yang
tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan fungsi neurologik.Korban kecelakaan
kendaraan bermotor atau kecelakaan berkendara , Trauma olahraga kontak, jatuh,atau trauma
langsung pada kepala dan leher dan leher harus dipertimbangkan mengalami Trauma medula
spinalis sampai bukti Trauma ini disingkirkan.
1) Ditempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan spinal( punggung) ,dengan
kepala dan leher dalam posisi netral, untuk mencegah Trauma komplit.
2) Salah satu anggota tim harus menggontrol kepala pasien untuk mencegah fleksi, rotasi atau
ekstensi kepala.
3) Tangan ditempatkan pada kedua sisi dekat telinga untuk mempertahankan traksi dan
kesejajaran sementara papan spinalatau alat imobilisasi servikal dipasang.
4) Paling sedikit empat orangharus mengangkat korban dengan hati- hati keatas papan untuk
memindahkan memindahkan kerumah sakit. Adanya gerakan memuntir dapat merusak
medula spinais ireversibel yang menyebabkan fragmen tulang vertebra terputus, patah, atau
memotong medula komplit.
Sebaiknya pasien dirujuk keTrauma spinal regional atau pusat trauma karena personel
multidisiplin dan pelayanan pendukung dituntut untuk menghadapi perubahan dekstruktif
yang tejadi beberapa jam pertama setelah Trauma.Memindahkan pasien, selama pengobatan
didepartemen kedaruratan dan radiologi,pasien dipertahankan diatas papan pemindahan .
Pemindahan pasien ketempat tidur menunjukkan masalah perawat yang pasti. Pasien harus
dipertahankan dalam posisi eksternal.Tidak ada bagian tubuh yang terpuntir atau tertekuk,
juga tidak boleh pasien dibiarkan mengambil posisi duduk.
Pasien harus ditempatkan diatas sebuah stryker atau kerangka pembalik lain ketika
merencanakan pemindahan ketempat tidur. Selanjutnya jika sudah terbukti bahwa ini bukan
Trauma medula, pasien dapat dipindahkan ketempat tidur biasa tanpa bahaya.Sebaliknya
kadang- kadang tindakan ini tidak benar.Jika stryker atau kerangka pembalik lain tidak
tersedia pasien harus ditempatkan diatas matras padat dengan papan tempat tidur
dibawahnya.
b. Penatalaksanaan Trauma Medula Spinalis ( Fase Akut)
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah Trauma medula spinalis lebih lanjut
dan untuk mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologis. Lakukan resusitasi sesuai
kebutuhan dan pertahankan oksigenasi dan kestabilan kardiovaskuler.

I.FARMAKOTERAPY.
Berikan steroid dosis tinggi (metilpredisolon) untuk melawan edema medulla.
Tindakan Respiratori
1) Berikan oksigen untuk mempertahankan PO2 arterial yang tinggi.
2) Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk menghindari fleksi atau eksistensi
leher bila diperlukan inkubasi endrotakeal.
3) Pertimbangan alat pacu diafragma (stimulasi listrik saraf frenikus) untuk pasien dengan
lesi servikal yang tinggi.
Reduksi dan Fraksi skeletal
1) Trauma medulla spinalis membutuhkan immobilisasi, reduksi, dislokasi, dan stabilisasi
koluma vertebrata.
2) Kurangi fraktur servikal dan luruskan spinal servikal dengan suatu bentuk traksi skeletal,
yaitu teknik tong /capiller skeletal atau halo vest.
3) Gantung pemberat dengan batas sehinga tidak menggangu traksi
Intervensi bedah = Laminektomi
Dilakukan Bila :
1) Deformitas tidak dapat dikurangi dengan fraksi
2) Terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal servikal
3) Trauma terjadi pada region lumbar atau torakal
4) Status Neurologis mengalami penyimpanan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi
atau dekompres medulla.

J. PENCEGAHAN.
Faktor – faktor resiko dominan untuk Trauma medula spinalis meliputi usia dan jenis
kelamin. Frekuensi dengan mana faktor- faktor resiko ini dikaitkan dengan Trauma medula
spinalisbertindak untuk menekankan pentingnya pencegahan primer. Untuk mencegah
kerusakan dan bencana ini , langkah- langkah berikut perlu dilakukan :
1) Menurunkan kecepatan berkendara.
2) Menggunakan sabuk keselamatan dan pelindung bahu.
3) Menggunakan helm untuk pengendara motor dan sepeda.
4) Program pendidikaan langsung untuk mencegah berkendara sambil mabuk.
5) Mengajarkan penggunaan air yang aman.
6) Mencegah jatuh.
7) Menggunakan alat- alat pelindung dan tekhnik latihan.
Personel paramedis diajarkan pentingnya memindahkan korban kecelakaan mobil dari
mobilnya dengan tepat dan mengikuti metode pemindahan korban yang tepat kebagian
kedaruratan rumah sakit untuk menghindari kemungkinan kerusakan lanjut dan menetap pada
medula spinalis.

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


DENGAN TRAUMA MEDULLA SPINALIS

A. Pengkajian
a.1. Pengkajian Primer
1). Airway.
Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan
adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat
disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang
wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical
spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari
leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan
hembusan napas yang keluar melalui hidung.
Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari
atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan
pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas.
2). Breathing.
Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat. Apabila tersedia, O2
dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Jika penguasaan jalan napas belum dapat
memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi
endotrakheal.1,3,5,6,7,8.
3). Circulation.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan denyut
nadi Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal,
menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang
teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik.
4). Disability.
Melihat secara keseluruhan kemampuan pasien diantaranya kesadaran pasien.
5). Exprosure,
Melihat secara keseluruhan keadaan pasien. Pasien dalam keadaan sadar (GCS 15)
dengan :Simple head injury bila tanpa deficit neurology
a) Dilakukan rawat luka
b) Pemeriksaan radiology
c) Pasien dipulangkan dan keluarga diminta untuk observasi bila terjadi penurunan kesadaran
segera bawa ke rumah sakit

a.2. Pengkajian Skunder.


1). Aktifitas /Istirahat.
Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi. Kelemahan umum
/ kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).
2). Sirkulasi.
Hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat.
3). Eliminasi.
Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emisis berwarna
seperti kopi tanah /hematemesis.
4). Integritas Ego.
5). Takut, cemas, gelisah, menarik diri.
6). Makanan /cairan.
Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik)
7). Higiene.
Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (bervariasi)
8). Neurosensori.
Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada syok
spinal).Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki normak setelah syok spinal
sembuh).Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks /refleks asimetris termasuk
tendon dalam. Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yang terkena
karena pengaruh trauma spinal.
9). Nyeri /kenyamanan.
Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
10). Pernapasan.
Pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi napas, ronki, pucat, sianosis.
11). Keamanan.
Suhu yang berfluktasi *(suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar).
12). Seksualitas.
Ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur.

B. Diagnosa Keperawatan.
a. Ketidak efektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan /paralisis otot-otot
abdomen dan intertiostal dan ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi.
b. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan sesorik.
c. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan penurunan
immobilitas, penurunan sensorik.
d. Retensi urine yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih secara spontan.
e. Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai akibat gangguan autonomik.
f. Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, Trauma psikis dan alt traksi

C. Perencanaan dan Implementasi.


Tujuan perencanaan dan implementasi dapat mencakup perbaikan pola pernapasan,
perbaikan mobilitas, pemeliharaan integritas kulit, menghilangkan retensi urine, perbaikan
fungsi usus, peningkatan rasa nyaman, dan tidak terdapatnya komplikasi.

D. Intervensi.
a. Tujuan : Meningkatkan pernapasan yang adekuat
Kriteria hasil : Batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan seket, bunyi napas normal, jalan
napas bersih, respirasi normal, irama dan jumlah pernapasan, pasien, mampu melakukan
reposisi, nilai AGD : PaO2 > 80 mmHg, PaCO2 = 35-45 mmHg, PH = 7,35 – 7,45

E. Rencana Tindakan 1.
1). Kaji kemampuan batuk dan reproduksi sekret
R/ Hilangnya kemampuan motorik otot intercosta dan abdomen berpengaruh terhadap
kemampuan batuk.
2). Pertahankan jalan nafas (hindari fleksi leher, brsihkan sekret)
R/ Menutup jalan nafas.
3). Monitor warna, jumlah dan konsistensi sekret, lakukan kultur
R/ Hilangnya refleks batuk beresiko menimbulkan pnemonia.
4). Lakukan suction bila perlu
R/ Pengambilan secret dan menghindari aspirasi.
5). Auskultasi bunyi napas
R/ Mendeteksi adanya sekret dalam paru-paru.
6). Lakukan latihan nafas
R/ mengembangkan alveolu dan menurunkan prosuksi sekret.
7). Berikan minum hangat jika tidak kontraindikasi
R/ Mengencerkan sekret
8). Berikan oksigen dan monitor analisa gas darah
R/ Meninghkatkan suplai oksigen dan mengetahui kadar olsogen dalam darah.
9). Monitor tanda vital setiap 2 jam dan status neurologi
R/ Mendeteksi adanya infeksi dan status respirasi.
b. Tujuan : Memperbaiki mobilitas
Kriteria Hasil : Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya kontraktur,
footdrop, meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang sakit /kompensasi, mendemonstrasikan
teknik /perilaku yang memungkinkan melakukan kembali aktifitas.

F. Rencana Tindakan 2.
1). Kaji fungsi-fungsi sensori dan motorik pasien setiap 4 jam.
R/ Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien setiap 4 jam.
2). Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan memperhatikan kestabilan tubuh dan kenyamanan
pasien.
R/ Mencegah terjadinya dekubitus.
3). Beri papan penahan pada kaki
R/ Mencegah terjadinya foodrop
4). Gunakan otot orthopedhi, edar, handsplits
R/ Mencegah terjadinya kontraktur.
5). Lakukan ROM Pasif setelah 48-72 setelah Trauma 4-5 kali /hari
R/ Meningkatkan stimulasi dan mencehag kontraktur.
6). Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien.
R/ Menunjukan adanya aktifitas yang berlebihan.
7). Konsultasikan kepada fisiotrepi untuk latihan dan penggunaan otot seperti splints
R/ Memberikan pancingan yang sesuai.
c. Tujuan : Mempertahankan Intergritas kulit
Kriteria Hasil : Keadaan kulit pasien utuh, bebas dari kemerahan, bebas dari infeksi pada
lokasi yang tertekan.

G. Rencana Tindakan 3.
1). Kaji faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulit
R/ Salah satunya yaitu immobilisasi, hilangnya sensasi, Inkontinensia bladder /bowel.
2). Kaji keadaan pasien setiap 8 jam
R/ Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus.
3). Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa)
R/ Mengurangi tekanan 1 tekanan sehingga mengurangi resiko dekubitas
4). Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis
R/ Daerah yang tertekan akan menimbulkan hipoksia, perubahan posisi meningkatkan
sirkulasi darah.
5). Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tubuh pasien.
R/ Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya kerusakan kulit
6). Lakukan pemijatan khusus / lembut diatas daerah tulang yang menonjol setiap 2 jam
dengan gerakan memutar.
R/ Meningkatkan sirkulasi darah
7). Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi protein
R/ Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan
8). Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari
R/ Mempercepat proses penyembuhan
d. Tujuan : Peningkatan eliminasi urine
Kriteria Hasil : Pasien dpat mempertahankan pengosongan blodder tanpa residu dan distensi,
keadaan urine jernih, kultur urine negatif, intake dan output cairan seimbang

H. Rencana tindakan 4.
1). Kaji tanda-tanda infeksi saluran kemih
R/ Efek dari tidak efektifnya bladder adalah adanya infeksi saluran kemih
2). Kaji intake dan output cairan
R/ Mengetahui adekuatnya gunsi gnjal dan efektifnya blodder.
3). Lakukan pemasangan kateter sesuai program
R/ Efek trauma medulla spinalis adlah adanya gangguan refleks berkemih sehingga perlu
bantuan dalam pengeluaran urine
4). Anjurkan pasien untuk minum 2-3 liter setiap hari
R/ Mencegah urine lebih pekat yang berakibat timbulnya ……..
5). Cek bladder pasien setiap 2 jam
R/ Mengetahui adanya residu sebagai akibat autonomic hyperrefleksia
6).Lakukan pemeriksaan urinalisa, kultur dan sensitibilitas
R/ Mengetahui adanya infeksi
7). Monitor temperatur tubuh setiap 8 jam
R/ Temperatur yang meningkat indikasi adanya infeksi.
e. Tujuan : Memperbaiki fungsi usus
Kriteria hasil : Pasien bebas konstipasi, keadaan feses yang lembek, berbentuk.

I. Rencana tindakan 5.
1). kaji pola eliminasi bowel
R/ Menentukan adanya perubahan eliminasi
2). Berikan diet tinggi serat
R/ Serat meningkatkan konsistensi feses
3). Berikan minum 1800 – 2000 ml/hari jika tidak ada kontraindikasi
R/ Mencegah konstipasi
4). Auskultasi bising usus, kaji adanya distensi abdomen
R/ Bising usus menentukan pergerakan perstaltik
5). Hindari penggunaan laktasif oral
R/ Kebiasaan menggunakan laktasif akan tejadi ketergantungan
6). Lakukan mobilisasi jika memungkinkan
R/ Meningkatkan pergerakan peritaltik
7). Berikan suppositoria sesuai program
R/ Pelunak feses sehingga memudahkan eliminasi
8). Evaluasi dan catat adanya perdarah pada saat eliminasi
R/ Kemungkinan perdarahan akibat iritasi penggunaan suppositoria
f. Tujuan : Memberikan rasa nyaman
Kriteria hasil : Melaporkan penurunan rasa nyeri /ketidak nyaman, mengidentifikasikan cara-
cara untuk mengatasi nyeri, mendemonstrasikan penggunaan keterampilan relaksasi dan
aktifitas hiburan sesuai kebutuhan individu.

J. Rencana tindakan 6.
1). Kaji terhadap adanya nyeri, bantu pasien mengidentifikasi dan menghitung nyeri,
misalnya lokasi, tipe nyeri, intensitas pada skala 0 – 1-
R/ Pasien biasanya melaporkan nyeri diatas tingkat Trauma misalnya dada / punggung atau
kemungkinan sakit kepala dari alat stabilizer
2). Berikan tindakan kenyamanan, misalnya, perubahan posisi, masase, kompres hangat /
dingin sesuai indikasi.
R/ Tindakan alternatif mengontrol nyeri digunakan untuk keuntungan emosionlan, selain
menurunkan kebutuhan otot nyeri / efek tak diinginkan pada fungsi pernafasan.
3). Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya, pedoman imajinasi visualisasi, latihan
nafas dalam.
R/ Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol, dan dapat meningkatkan
kemampuan koping
4). Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, relaksasi otot, misalnya dontren (dantrium);
analgetik; antiansietis.misalnya diazepam (valium)
R/ Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme /nyeri otot atau untuk menghilangkan-ansietas
dan meningkatkan istrirahat.

K. Evalusi.
a. Klien dapat meningkatkan pernafasan yang adekuat
b. Klien dapat memperbaiki mobilitas
c. Klien dapat mempertahankan integritas kulit
d. klien mengalami peningkatan eliminasi urine
e. Klien mengalami perbaikan usus / tidak mengalami konstipasi
f. Klien menyatakan rasa nyaman

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan
oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001).Penyebab dari
Trauma medulla spinalis yaitu :kecelakaan otomobil, industri terjatuh, olah-raga, menyelam
,luka tusuk, tembak dan tumor.
Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke
ekstradul subdural atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio
atau robekan pada Trauma, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi
darah ke medulla spinalis menjadi terganggu, tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik
menyebabkan kerusakan yang terjadi pada Trauma medulla spinalis akut. Suatu rantai
sekunder kejadian-kejadian yang menimbulakn iskemia, hipoksia, edema, lesi, hemorargi.
Penatalaksanaan pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena
penatalaksanaan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan fungsi
neurologik.Pada kepala dan leher dan leher harus dipertimbangkan mengalami Trauma
medula spinalis sampai bukti Trauma ini disingkirkan. Memindahkan pasien, selama
pengobatan didepartemen kedaruratan dan radiologi,pasien dipertahankan diatas papan
pemindahan.
Asuhan Keperawatan yang diberikan pada pasien dengan Trauma medula spinalis berbeda
penanganannya dengan perawatan terhadap penyakit lainnya,karena kesalah dalam
memberikan asuhan keperawatan dapat menyebabkan Trauma semakin komplit dan dapat
menyebabkan kematian.

B. SARAN.
Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada mahasiswa agar dapat menjaga
kesehatannya terutama pada bagian tulang belakang agar Trauma medula spinalis dapat
terhindar. Adapun jika sudah terjadi , mahasiswa dapat melakukan perawatan seperti yang
telah tertulis dalam makalah ini
Diposting 25th July 2012 oleh eldepratama mehagamedan
Label: Kedokteran Gadjah Mada

0
Tambahkan komentar
6.
JUL

25

ASKEP MATERNITAS

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.
Kehamilan merupakan anugerah terindah yang diidamkan olehsetiap wanita. Bagi
wanita, mengetahui sedini mungkin bahwa dirinya positif hamil adalah sangat penting karena
pada beberapa minggu pertama kehamilan, akan terjadi pembentukan organ-organ tubuh
yang vital.Perubahan-perubahan fisik dan emosi pada diri ibu hamil biasanya terjadisetiap
trimester selama kehamilan.
Setiap trimester mempunyaikarakteristik yang harus diketahui oleh ibu hamil.Pada
trimester pertama, ibu hamil akan merasa mual pada pagihari, merasa lelah, dan ingin tidur
terus menerus, timbul vena tipis di permukaan kulit, payudara mulai membesar dan daerah
sekitar puting susumulai berwarna gelap, menjadi sering buang air kecil karena
perubahanhormon dan bertambah besarnya janin yang menekan kandung kemih.Kemudian
secara emosi akan terjadi penurunan libido, perubahanemosi/suasana hati, khawatir dan
cemas bentuk tubuh akan berubah dantidak menarik lagi.
Trimester kedua kehamilan, ibu mengalami peningkatan nafsu makan dan terasa lebih
berenergi, pengeluaran cairanvagina bertambah, payudara bertambah besar dan nyeri
berkurang, perut bagian bawah semakin besar, bayi kadang terasa bergerak, denyut
jantungmeningkat, kaki dan tumit membengkak, perut terasa gatal karena kulitmulai
meregang, timbul tanda bergaris pada perut, sakit pinggang dan kadang hemoroid (ambeien).
Perubahan emosi pada trimester kedua sudahmulai berkurang dan stabil, seluruh
perhatian tertuju pada anak yang akandilahirkan, rasa cemas akan meningkat sejalan dengan
usia kehamilan.Pada trimester terakhir, ibu mulai merasakan bayi mulaimenendang dengan
keras dan gerakannya mulai tampak dari luar, suhutubuh meningkat sehingga ibu merasa
kepanasan, terjadi kontraksi ringan(Braxton-Hicks), mulai keluar cairan putih encer dari
payudara(kolostrom), cairan vagina meningkat dan mulai mengental.
Secara emosiibu akan mengalami perasaan gembira bercampur takut karena
kelahiransudah dekat, khawatir akan proses persalinan dan apakah akan melahirkan bayi yang
sehat atau tidak.Perubahan-perubahan yang terjadi selama kehamilan tersebut biasanya
merangsang ibu melakukan pengobatan untuk menghilangkanatau mengurangi gejala/ rasa
sakit yang timbul. Pemakaian obat selamahamil ini akan menimbulkan masalah jika ibu tidak
berhati-hati danmelanggar aturan pemakaian obat yang dianjurkan.
Hal ini mengingat bahwa dalam pemakaian obat selama kehamilan, tidak saja dihadapi
berbagai kemungkinan yang dapat terjadi pada ibu, tetapi juga pada janin.Salah satu contoh
kasus obat yang dapat memberikan pengaruh sangat buruk terhadap janin jika diberikan pada
periode kehamilan adalah talidomid, yang memberi efek kelainan pada bayi berupa tidak
tumbuhnyaanggota gerak.
Pengaruh buruk obat terhadap janin, secara umum dapat bersifattoksik, teratogenik,
maupun letal tergantung pada sifat obat dan umur kehamilan pada saat minum obat. Pengaruh
toksik adalah jika obat yang diminum selama masa kehamilan menyebabkan terjadinya
gangguan fisiologik atau bio-kimiawi dari janin yang dikandung, dan biasanya gejalanya baru
muncul beberapa saat setelah kelahiran.
Pengaruh obat bersifat teratogenik, jika menyebabkan terjadinya malformasi
anatomic(kelainan/kekurangan organ tubuh) pada pertumbuhan organ janin.Pengaruh
teratogenik ini biasanya terjadi pada dosis subletal.Sedangkan pengaruh obat yang bersifat
letal adalah yang mengakibatkan kematian janin dalam kandunganPemakaian obat selama
hamil sebaiknya memang dihindari, akantetapi bagi tubuh yang sakit dan kondisi sakit
tersebut akan bertambah parah jika terus dibiarkan, maka pengobatan adalah jalan yang
terbaik.Ketepatan dalam pemilihan obat diperlukan untuk mengurangi sekecilmungkin efek
samping merugikan yang dapat timbul.
Bagi ibu hamil, sakityang diderita akan mempengaruhi dirinya dan janin yang
dikandungnya.Peran perawat dalam pemberian obat dan pengobatan telah berkembang
dengan cepat dan luas seiring dengan perkembangan pelayanan kesehatan. Perawat
diharapkan terampil dan tepat saatmelakukan pemberian obat. Tugas perawat tidak sekedar
memberikan piluntuk diminum atau injeksi obat melalui pembuluh darah, namun
jugamengobservasi respon klien terhadap pemberian obat tersebut.
Oleh karena itu, pengetahuan tentang manfaat dan efek samping obat sangat penting
untuk dimiliki perawat.Perawat memiliki peran yang utama dalam meningkatkan
danmempertahankan dengan mendorong klien untuk proaktif jikamembutuhkan pengobatan.
Dengan demikian, perawat membantu klienmembangun pengertian yang benar dan
jelas tentang pengobatan,mengkonsultasikan setiap obat yang dipesankan, dan turut
bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan tentang pengobatan bersama
tenagakesehatan lainnya.Keberhasilan promosi kesehatan sangat tergantung pada cara
pandang klien sebagai bagian dari pelayanan kesehatan, yang juga bertanggung jawab
terhadap menetapkan pilihan perawatan dan pengobatan, baik itu berbentuk obat alternative,
diresepkan oleh dokter,atau obat bebas tanpa resep dokter. Sehingga, tenaga kesehatan
terutama perawat harus dapat membagi pengetahuan tentang obat-obatan sesuaidengan
kebutuhan klien.

B.Tujuan Penulisan Makalah.


Dalam penulisan makalah ini kami memiliki beberapa tujuan antara lain:
1.Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah maternitas.
2.Untuk mengetahui obat- obat pada wanita hamil dapat menimbulkan masalah terhadap
kesehatan reproduksi

C.Rumusan dan Pembatasan Masalah.


1. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat
dirumuskanmasalah sebagai berikut :a)Apakah yang dimaksud dengan kesehatan reproduksi?
b)Apakah yang dimaksud dengan obat teratogenik?c)Apakah yang dimaksud dengan obat
uterotonika?d)Apakah yang dimaksud dengan obat anestesi?e)Bagaimana penatalaksanaan
terhadap obat –obatan yang bersifatteratogenik, uterotonika dan anestesi terhadap kesehatan
reproduksi?
2.Pembatasan Masalah Dalam penulisan makalah ini hanya akan membahas
pengertiankesehatan reproduksi, obat yang bersifat teratogenik, uterotonika dan anestesiserta
bagaimana penatalaksanaan terhadap obat-obat tersebut yang berhubungan dengan kesehatan
reproduksi wanita, yang diambil dari berbagaisumber/ literature.

D. Sistematika Penulisan.
Dalam penulisan makalah ini sistematika penulisan adalah sebagai berikut :a) Bab I
Pendahuluan meliputi : Latar belakang, rumusan masalah dan pembatasannya, tujuan
penulisan makalah, dan sistematika penulisan. b) Bab II Pembahasanc) Bab III Penutup
meliputi : Kesimpulan dan saran

BAB II
PEMBAHASAN

1.Definisi Kesehatan Reproduksi.


Adapun definisi tentang arti kesehatan reproduksi yang telahditerima secara
internasional yaitu : sebagai keadaan kesejahteraan fisik,mental, sosial yang utuh dalam
segala hal yang berkaitan dengan sistim,fungsi-fungsi dan proses reproduksi. Selain itu juga
disinggung hak produksi yang didasarkan pada pengakuan hak asasi manusia bagi setiap
pasangan atau individu untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai
jumlah anak, penjarakan anak, dan menentukan kelahiran anak mereka.
Indikator Permasalahan Kesehatan Reproduksi Wanita.Dalam pengertian kesehatan
reproduksi secara lebih mendalam, bukan semata-mata sebagai pengertian klinis (kedokteran)
saja tetapi jugamencakup pengertian sosial (masyarakat). Intinya goal kesehatan
secaramenyeluruh bahwa kualitas hidupnya sangat baik. Namun, kondisi sosialdan ekonomi
terutama di negara-negara berkembang yang kualitas hidupdan kemiskinan memburuk, secara
tidak langsung memperburuk pulakesehatan reproduksi wanita.Kesehatan reproduksi
merupakan masalah penting untuk mendapatkan perhatian terutama dikalangan remaja.
Remaja yang kelak akan menikah dan menjadi orang tua sebaiknya mempunyai
kesehatanreproduksi yang prima sehingga dapat menurunkan generasi sehatdikalangan
remaja telah terjadi reproduksi hubungan seksual yangmenjurus ke arah liberalisasi yang
dapat berakibat timbulnya berbagai penyakit hubungan sex yang merugikan alat reproduksi.
Bila pada saat diperlukan untuk hamil normal besar kemungkinankesehatan
reproduksi sudah tidak optimal dan dapat menimbulkan berbagai akibat samping kehamilan
dengan demikian dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan sehingga dapat
mempersiapkan diriuntuk hamil dalam keadaan optimal.
Gangguan yang terkenal adalah akibat thalidomid;10--40% ibu hamil yang
memakainya selama masa kritis kehamilanmelahirkan bayi cacad. Sesungguhnya hanya
sejumlah kecil obat yangsecara pasti menyebabkan deformitas fetus bila diberikan pada ibu
hamil.Secara eksperimental, beratus-ratus bahan dismorfogenik telahditemukan di antaranya :
a).Faktor fisika seperti sinar X dan anoksia.
b).Infeksi virus seperti, rubella, varicella dan cytomegalovirus.
c)Endotoksin.
Sejumlah besar bahan kimia seperti racun, bahan kimia industri, pertanian dan
berbagai obat.Beberapa dari senyawa-senyawa kimia ini toksisitasnya rendah,misalnya
hormon, tetapi ada juga yang lebih toksis seperti obat sitotoksik dan antineoplasma.
Meskipun ditemukan berbagai dismorfogen padahewan, hanya pada beberapa kasus saja
terbukti memberikan efek toksik pada embrio manusia.
Berbagai mekanisme mengatur perkembangan prenatal manusia dan obat hanya
merupakan satu dari sejumlah factor yang terlibat dalam etiologi suatu kelainan bawaan
tertentu.Obat-obat yang bersifat teratogenik adalah asam lemah, misalnyatalidomid, asam
valproat, isotretinoin, warfarin.
Hal ini diduga karenaasam lemah akan mengubah pH sel embrio. Dan dari hasil
penelitian padahewan menunjukkan bahwa pH cairan sel embrio lebih tinggi dari pH plasma
ibu, sehingga obat yang bersifat asam akan tinggi kadarnya di selembrio.Tahap kehamilan
saat obat mungkin memberikan efek dismorfogenik.
Sebelum periode implantasi, blastosis bebas dalam rahim danmemperoleh nutrisi dari
sekret rahim; pada tahap ini tidak terbukti adanyazat-zat eksogen yang dapat menyebabkan
kelainan bawaan. Setelahimplantasi, mulai masa kritis. Pada tahap dini mungkin embrio mati
atauada induksi malformasi mayor, sedangkan malformasi minor terjadi padatahap lebih
lanjut.
Oleh karena itu pada tahap embrionik (56 hari pertama) bahaya serius mungkin,
timbul, tetapi justru pada akhir masa ini si ibu baru sadar bahwa ia hamil.Setelah 8 minggu,
mulai periode fetal di mana diferensiasi organutama telah terjadi tetapi diferensiasi genital
ekstern, perkembangansusunan saraf pusat dan penutupan palate sedang berlangsung.
Selamamasa ini obat dapat menyebabkan kelainan otak, gangguan penutupan palate atau
pseudo hemaphroditisme.
Obat mungkin memberikan efek langsung pada janin (thalidomid) atau mungkin dapat
mengubah metabolisme ibu (misalnya obat-obat hipoglikemik).Banyak obat atau
metabolitnya dapat menembus plasenta, tetapihati janin masih belum mempunyai banyak
enzim seperti pada ibunya. Hal ini mungkin menyebabkan zat-zat tertentu berdifusi kembali
dalam bentuk tetap ke dalam sirkulasi ibu.
Hams diingat bahwa tidak hanya obat yang dapat mempengaruhi janin, tetapi juga
minum alkohol berlebih, infeksi(khususnya virus), gangguan metabolisme dan status nutrisi.
Pemakaian vitamin A berlebih selama hamil dapat menyebabkan kelainan fetus.Belum ada
bukti bahwa obat pada pria dapat menyebabkankelainan fetus, tetapi ada sejumlah bahan
seperti senyawa alkilasi dannitroffirantoin yang dapat mengganggu fertilitas pria. Tidak
semua reaksiobat tidak diharapkan yang terjadi selama dua triwulan terakhir kehamilan
bersifat teratogen.
Susunan genetik dan kepekaan individual dalam hal inikurang penting dibandingkan
dengan sifat obat, dosis dan lama pe-makaian obat. Misalnya penggunaan jangka panjang dan
berlebih obat-obat golongan opiat, barbiturat, benzodiazepin dan hipnotik lainnyaselama
kehamilan sampai pada saat melahirkan dapat menyebabkan ketergantungan pada ibu dan
dapat menyebabkan sindrom withdrawal pada bayi.
Demikian pula pemakaian hampir semua anti depresan dalam dosistinggi selama
proses kelahiran akan mengganggu pernafasan bayi waktu lahir.Kerja dismorfogen pada fetus
bergantung pada tiga kondisi utama yaitu :
1.Tahap perkembangan embrio : blastogenesis, embriogenesis danfetogenesisSesaat sebelum
implantasi, embrio mengalami transformasi cepat dan penting. Pada akhir minggu ke dua
embrio berubah menjadi struktur berbentuk daun tri laminar, dalam minggu ke tiga lubang-
lubang saraf timbul serta bakal jantung telah tampak. Setelah itu neurophoren tertutup dan
pada minggu ke empat optic cup mulai dapat dibedakan; pada saat yang sama terjadi
diferensiasi saluran penceranan dan lain-lainnya.
Urut-urutan kejadian embrionik menunjukkan bahwa tiap organ dansistem mengalami
masa krisis diferensiasi pada saat tertentu dalam perkembangan prenatal dan selama masa
krisis inilah kepekaan embrio paling besar, sehingga mungkin dapat terjadi kematian fetus.
Bila dosisobat ada di atas ambang minimal teratogen mungkin terbentuk kelainan
bawaan.Periode fetogenesis mulai pada akhir minggu ke-8 kehamilan; yang penting dalam
mass ini adalah penutupan lengkap plate, reduksi herniaumbilikus pada akhir minggu ke-9,
diferensiasi genital eksterna danhistogenesis system saraf pusat yang berlangsung selama
periode perkembangan intra uterin dan barn selesai beberapa bulan setelahlahir. Karena itu
selama periode fetal bahan dismorfogenik tidak menyebabkan kelainan morfologis tetapi
dapat mengganggudiferensiasi genital eksterna dan berbagai perubahan tingkah laku
ataugangguan perkembangan mental dalam kehidupan post natal.

2.Kepekaan genetik embrio.


Ada interaksi tetap antra gen-gen dan bahan-bahan eksogen. Perbedaanreaksi'terhadap
bahan yang berbahaya antara individu, strain-strain hewan dan spesies disebabkan oleh
kekhususan biokimia yang berhubungan dengan gen-gen. Misalnya kepekaan tinggi
embrioterhadap kortikosteroid yang menyebabkan cleft palate.Mungkin disebabkan oleh
perbedaan-perbedaan metabolik antara mencit dan spesies lain dalam hal kecepatan absorpsi
atau degradasi hormontersebut.

3.Kerja obat teratogenik.


Penggunaan obat pada saat perkembangan janin dapat mempengaruhistruktur janin
pada saat terpapar. Thalidomid adalah contoh obat yang besar pengaruhnya pada
perkembangan anggota badan (tangan, kaki)segera sesudah terjadi pemaparan. Pemaparan ini
akan berefek padasaat waktu kritis pertumbuhan anggota badan yaitu selama minggu
keempat sampai minggu ke tujuh kehamilan. Mekanisme berbagai obatyang menghasilkan
efek teratogenik belum diketahui dan mungkindisebabkan oleh multi faktor.
– Obat dapat bekerja langsung pada jaringan ibu dan jugasecara tidak langsung
mempengaruhi jaringan janin.
– Obat mungkin juga menganggu aliran oksigen atau nutrisilewat plasenta sehingga
mempengaruhi jaringan janin.
– Obat juga dapat bekerja langsung pada proses perkembangan jaringan janin, misalnya
vitamin A (retinol) yangmemperlihatkan perubahan pada jaringan normal.Derivat vitamin A
(isotretinoin, etretinat) adalah teratogenik yang potensial.
– Kekurangan substansi yang esensial diperlukan juga akan berperan pada abnormalitas.
Misalnya pemberian asam folat selama kehamilan dapat menurunkan insiden kerusakan
padaselubung saraf , yang menyebabkan timbulnya spina bifida.Paparan berulang zat
teratogenik dapat menimbulkan efek kumulatif.
Misalnya konsumsi alkohol yang tinggi dan kronik padakehamilan , terutama pada
kehamilan trimester pertama dan kedua akanmenimbulkan fetal alcohol syndrome yang
berpengaruh pada sistemsaraf pusat, pertumbuhan dan perkembangan muka.
Uterotonika (misal: oxitosin) adalah obat yang memberikan efek selektif terhadap otot
polos uterus, terutama selama periode akhir kehamilan, selama persalinan dan segera setelah
persalinan denganmerangsang kontraksi ritmik uterus, meningkatkan frekuensi kontraksiyang
sudah ada dan meningkatkan tonus otot uterus.( oksitosin dalam Data Obat Indonesia,edisi
1994)Jika diberikan dalam dosis yang tepat selama kehamilan, dapatmeningkatkan motilitas
uterus dalam hal kecepatan dan kekuatan aktivitasmotorik spontan yang sedang menjadi
kontraksi tetanik.Uterus akan menghasilkan respon setelah diberikan parenteraldalam 3-5
menit dan menetap selama 2-3 jam, lebih diindikasikan untuk tujuan medic daripada elektif
untuk induksi persalinan.
Penggunaan uterotonika :1.Pra persalinanDiindikasikan untuk mengawali atau
memperbaiki kontraksi uterus,dimana hal ini dianggap lebih menguntungkan atau sesuai
untuk janinmaupun ibu guna menghasilkan persalinan normal pervaginam yang lebih dini.
Pasca persalinan di indikasikan untuk menghasilkan kontraksi uterus pada kala III
persalinan dan untuk mengontrol perdarahan pasca persalinan.Kontra indikasi Pemberian
obat Uterotonika :
1.Pada kasus ibu hamil dengan kelainan anatomi tulang panggul yang bermakna ( CPD:
Chepalo Pelvix Disporpotion), posisi/ presentasi janin yang tidak menguntungkan, dimana
persalinan pevaginan tidak mungkin terjadi tanpa dilakukan konversi/ tindakan bedah, pada
kasusgawat janin dimana persalinan tidak perlu segera diakhiri.
2.Pola uterus hipertonik/ hipersensitivitas terhadap obat uterotonika.
3.Penggunaan jangka panjang pada inersia uteri/ toksemia berat.
4.Presentasi/ prolaps tali pusat, plasenta previa total . Cara Penggunaan UterotonikaHanya
boleh diberikan secara infuse intra vena ( metode tetesan) disertai pemantauan medic lengkap
di rumah sakit jika digunakan untuk induksi/ perangsangan persalinan
4. Definisi Obat Anestetika.
Anestetika dibagi menjadi dua:
1.Anestetika umum
Adalah obat yang dapat menimbulkan anesthesia atau narkosa (yaknisuatu keadaan
depresi umum yang bersifat reversible dari berbagai pusatdari SSP dimana seluruh perasaan
atau keadaan ditiadakan, sehinggaagak mirip keadaan pingsan.
Anestetika digunakan pada pembedahandengan maksud mencapai keadaan pingsan
merintangi rangsangan(analgesia), memblokir reaksi reflexs terhadap manipulasi
pembedahan,serta menimbulkan pelemasan otot. Anastetika umum yang kini tersediatidak
dapat memenuhi tujuan ini secara keseluruhan, maka padaanastesia untuk pembedahan umum
di gunakan untuk kombinasihiponotika, analgetika dan relaksansia otot.
PengolonganBerdasarkan cara penggunaannya anestetika umum di bagi dalam
duakelompok yakni :
A.Anestetika inhalasi : gas tertawa, halotan, enfluran,isofluran, dansevofluran.
B.Anestetika intravena: thiopental, diazepam dan midazolam,ketamin, profopol.Mekanisme
kerja anastetika umum berdasarkan perkiraan bahwa anastetika umum dibawah pengaruh
protein SSP dapatmembentuk hidrat dengan air yang bersifat stabil. Hidrat gas inimungkin
dapat merintangi transmisi rangsangan di sinaps dan dengandemikian mengakibatkan
anastesia.Efek sanpingnya hampir semua anastetika inhalasi mengakibatkansejumlah efek
samping dan yang terpenting adalah: –Menekan pernafasan –Menekan system
kardiovaskular –Merusak hati dan ginjal
2.Anastetika Lokal adalah obat yang pada penggunaan local merintangi secara revelsibel
penelurusan impuls-impuls saraf ke SSP dengan demikian menghilangkan atau mengurangi
rasa nyeri, gatal-gatal, rasa panas atau dingin.
Struktur dan penggolonganStruktur dasar anastetika lokal pada umumnya terdiri dari
duagolongan, yakni suatu gugus-amino hidrofil (sekunder atau tersier) yang dihubungkan
oleh suatu ikatan ester (alcohol)atau amida dengan suatugugusaromatis lipofil.
Semakin panjang gugus alkoholnya, semakin besar daya kerja anestetikanya, tetapi
toksisitasnya juga menigkatKhasiat dan mekanisme kerjanya
Anastetika lokal mengakibatkan kehilangan rasa dengan jalan beberapa cara misalnya,
dengan jalan menghindarkan untuk sementara pembentukan dan transmisi impuls melalui sel-
sel saraf dan ujungnya.Pusat mekanisme kerjanya terletak di membrane sel. Seperti
jugaalkohol dan barbital, anestetika lokal menghambat penerusan implusdengan jalan
menurunkan permeabitas memberan sel saraf untuk ionnatrium,yang perlu di bagi fungsi
saraf yang layak.
Hal ini disebabkanadanya persaingan dengan ion-ion kalsium yang berada
berdekatandengan saluran-saluran natrium di membran sel saraf.pada waktu bersamaan,
akibat turunya laju depolasasi, ambang kepekaan terhadaprangsangan listrik lambat-laun
meningkat, sehingga akhirnya terjadikehilangan rasa setempat secara reversible.Dikalangan
obat bius lokal (lidocaine, mepivacine, dan bupivacine) telahmenggantikan ester (seperti
procaine) dikarenakan stabilitasnya danfakta bahwa obat bius lokal tidak menyebabkan reaksi
alergi. Karenatingginya kelarutan lemak dan ketinggian affinitas untuk situs pengikatan
protein, maka bupivacine mempunyai durasi aksi yang lebih panjang dibanding obat bius
lokal lainnya.
Walaupun demikian, besarnya kecenderungan pengikatan bupivacine dengan situs
ikatan protein kardiak tertentu setelah penginjeksian intravena yang tidak disengaja mungkin
akan menyebabkan depresi miokardial yangmendalam yang menyebabkan penghentian
kardiak intractabel. Denganmenggunakan obat bius lokal lain, seperti lidocaine, sistem saraf
pusatakan terkena efeknya dikarenakan penggunaan dosis yang berlebih atau penginjeksian
intravenus yang tidak disengaja yang terjadi pada leveltekanan darah yang rendah (8 atau 10
μg per milimeter) dibanding obat bius lokal yang berpengaruh terhadap efek racun
kardiovaskular (20 μg per milimeter).
KOMPLIKASI PASCA OPERASI
Komplikasi pasca operasi dihubungkan secara langsung dengan pemberian anesthesia
berkisar dari permasalahan yang akut hingga permasalahan pribadi, seperti nausca protacted
dan muntah, hinggakomplikasi yang lebih serius, seperti aspirasi pneumonitis,
kegagalanrenal, dan disfungsi hati. Nausea dan muntah Nausea dan muntah memberikan
sumbangan untuk komplikasi yangterjadi setelah operasi ambulasi, terutama pada anak-anak.
Pada studimultipusat berbagai teknik anesthetik, Forrest, dkk. Melaporkan bahwainsiden
nausea pasca operasi dan muntah sebesar 18 hingga 25 persen.
Hanya 0,15 persen pasien mengalami muntah yang parah. Insiden nauseadan muntah
terbesar dikarenakan pemberian anesthesia dari fentanyl.Studi lainnya menunjukkan bahwa
insiden tersebut lebih rendah jikamenggunakan propofol dibanding menggunakan thiopental
untuk induksi anesthesia.
Efek-efek muntah dimodulasi dalam zona yangdipengaruhi chemoreseptor dan pusat
muntah dari sistem saraf pusat,yaitu reseptor scrotonergic, histamin, muscarinic, dan
dopaminergic.Obat antiemetik (antimuntah) tradisional mencakup promethazine(histamin-
reseptor antagonist), atropine (muscarinic-reseptor antagonist),dan droperidol (dopaminergic-
reseptor antagonist). Ondansetron,tropisetron, dan granistron (sertonergic-reseptor
antagonist) dinyatakansangat efektif dalam pengontrolan nausea dan muntah pasca
operasi.Biaya untuk membeli obat-obat yang baru ini diimbangi dengan pengurangan admisi
rumah sakit yang tidak dapat diantisipasi.Aspirasi PneumonitisWarner, dkk. Dahulu
mereview insiden dan konsekuensi aspirasi paru- paru kandungan gastric selama 215.488
prosedur anesthetik yang dilakukan pada tahun 1985 hingga 1991. Aspirasi kandungan
gastricterjadi pada i dari 3126 prosedur, tetapi kematian total hanya 1dibanding 71.829. enam
puluh empat persen pasien yang mempunyaiaspirasi kandungan gastric tidak mempunyai
“sequelac”. Enam pasienmemerlukan ventilasi mekanis untuk lebih dari 24 jam; tiga dari
enam pasien tersebut tidak bertahan hidup. Tiga pasien yang meninggal mengalami kondisi
predisposing parah, seperti hambatan gastrointestinal.
Oleh karena itu, perhatian dan manajemen faktor-faktor yang menyebabkan pasien
menanggung resiko aspirasi tampaknyasemakin mengurangi keseriusan komplikasi ini seperti
yang dahuludideskripsikan oleh Mendelson. Kegagalan Renal Dan Disfungsi HatiEfek
hepatotoksik setelah ekspos penghirupan anesthetik dianggapdisebabkan oleh sitokrom P-
450- oksidativ bermediasi atau metabolismereduktif dengan produksi metabolit reaktif.
Metabolit ini mungkinmengawali respons imun yang menyebabkan necrosis hati. Efek
nephrotoksik dihubungkan dengan metabolisme dan durasi level Florida bebas yang sangat
tinggi dalam darah. Efek-efek toksik yang relevansecara klinis dibatasi untuk ginjal dan hati.
Obat-obat yang telahdigunakan dalam organ yang gagal mencakup halothane dan
gasklorofom yang saat ini sudah kadaluwarsa, trikloroetilen, dan metoksifluran. Efek yang
parah, tetapi jarang terjadi, telah dilaporkankarena penggunaan enfluran dan isofluran.
Metabolisme sevofluran jugamempunyai potensi untuk menghasilkan nephrotorik
fluoride.Sevofluran dan desfluran belum dinyatakan menyebabkan disfungsi hati.Sebagai
tambahan untuk efek-efek metabolit, penghirupan anesthetik menyebabkan disfungsi organ
dikarenakan penurunan perfusi. Halothan mengurangi secara signifikan portal venus dan
aliran darah pada arterihati dalam proporsi yang sesuai dengan derajat anesthesia.

BAB III
KESIMPULAN dan SARAN

1.Kesimpulan
Kehamilan, persalinan dan menyusui merupakan proses fisiologiyang perlu
dipersiapkan oleh wanita dari pasangan subur agar dapat dilalui dengan aman. Selama masa
kehamilan, ibu dan janin adalah unit fungsiyang tak terpisahkan. Kesehatan ibu hamil adalah
persyaratan penting untuk fungsi optimal dan perkembangan kedua bagian unit tersebut.Obat
dapat menyebabkan efek yang tidak dikehendaki pada janinselama masa kehamilan.
Selama kehamilan dan menyusui, seorang ibudapat mengalami berbagai keluhan atau
gangguan kesehatan yang membutuhkan obat. Banyak ibu hamil menggunakan obat dan
suplemen pada periode organogenesis sedang berlangsung sehingga risiko terjadicacat janin
lebih besar.
Di sisi lain, banyak ibu yang sedang menyusui menggunakan obat-obatan yang dapat
memberikan efek yang tidak dikehendaki pada bayi yang disusui.Karena banyak obat yang
dapat melintasi plasenta, maka penggunaan obat pada wanita hamil perlu berhati-hati. Dalam
plasenta obat mengalami proses biotransformasi, mungkin sebagai upaya perlindungan dan
dapat terbentuk senyawa antara yang reaktif, yang bersifat teratogenik/dismorfogenik. Obat-
obat teratogenik atau obat-obatyang dapat menyebabkan terbentuknya senyawa teratogenik
dapatmerusak janin dalam pertumbuhan.
Informasi perlu diberikan kepada semua wanita yangmerencanakankehamilan, peran
farmasis selain memberikan informasitentang obat, jugamemberikan penyuluhan tentang
kesuburan danperencanaan kehamilan.Informasi yang diberikan secara umum adalah
untukmenghindari segala jenisobat, alkohol, rokok, dan obat penenang. Yang harus
ditekankan dalam pemberian penyuluhantentang penggunaan obat pada wanita hamil adalah
manfatpengobatan pada wanita hamil harus lebih besar daripada.risiko jika tidak diberikan
pengobatan.
Contohnya adalahpada wanita hamil yang menderita epilepsi, lebih berbahaya apabila
tidak diberikan pengobatan karena risiko terjadi kejang pada ibu dan janin lebih berbahaya
dibandingkan dengan potensi kelainan janin sebagai akibat pemberian obat.Oleh karena itu,
nasehat tentang pengobatan secara berkesinambungan padawanita hamil yang menderita
penyakit kronis sangat diperlukan. Apabila pemberian obattidak dapat dihentikan selama
kehamilan, maka pengobatan harus berada dalam pengawasan dan pemantauan dokter.
2.Saran
Beberapa hal perlu dipertimbangkan selama hamil antara lain :
a.Penggunaan obat hanya yang betul bermanfaat dan pemilihan obatdengan rasio
risk/benefitterkecil.
b.Informasi pada ibu tentang implikasi pemaparan obat selamahamil.
c.Pada pemaparan obat yang diharuskan/terpaksa maka diperlukan penjelasan pada ibu
tentang prioritas tindakan pencegahan kehamilan.
d.Penentuan pemaparan obat yang menyebabkan kelainan dan pelaporannya.
e.Melakukan pengambilan riwayat penggunaan obat ibuhamil / menyusui.
f.Meminta ibu hamil/menyusui untuk memperlihatkansemua obat yangsedang digunakannya
g.Melakukan cek silang antara informasi yang diberikanibu hamil/ menyusui dengan data
yang ada di catatanmedis, catatan pemberian obat dan hasil pemeriksaanterhadap obat yang
diperlihatkanh.Melakukan tindakan yang sesuai untuk masalah yangteridentifikasi.

Vous aimerez peut-être aussi