Vous êtes sur la page 1sur 14

LAPORAN PENDAHULUAN

GAGAL GINJAL KRONIK DIRUANG HCU


RSUD K.R.M.T. WONGSONEGORO

DISUSUN OLEH :
ARYA ADI CAHYONO
20101440116012

AKADEMI KEPERAWATAN KESDAM IV/ DIPONEGORO


SEMARANG
2018
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN STEMI
(ST Elevation Myocardial Infarction)
A. Definisi

ST elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan salah satu spektrum


sindroma koroner akut yang paling berat. Sindroma koroner akut (SKA) merupakan satu
subset akut dari penyakit jantung koroner (PJK) (Firdaus I, 2012). SKA merupakan spektrum
klinis yang mencakup angina tidak stabil, infark mikard akut tanpa elevasi segmen ST
(NSTEMI) dan infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI) (Myrtha R, 2011).

(a)
(b)

Gambar 1. (a) gambaran EKG jantung normal; (b) gambaran EKG jantung STEMI

B. Etiologi

Umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi
trombus pada plak ateroskerotik yang sudah ada sebelumnya. Ini disebabkan karena injuri
yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid (Nurarif
AH & Hardhi K, 2013). Penyebab lain infark tanpa aterosklerosis koronaria antara lain emboli
arteri koronaria, anomali arteri koronaria kongenital, spasme koronaria terisolasi, arteritis
trauma, gangguan hematologik, dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Libby, Bonow,
Mann, Zipes, 2008).
C. Diagnosis IMA

Diagnosis IMA dengan elevasi segmen ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri


dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST >2 mm, minimal pada 2 sandapan
prekordial yang berdampingan atau >1 mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim
jantung terutama troponin T yang meningkat akan memperkuat diagnosis (Santoso &
Setiawan, 2005).
Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa beristirahat
(gelisah) dengan ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal
>30 menit dan banyak keringat merupakan kecurigaan kuat adanya STEMI (Sudoyo AW dkk,
2010).
D. Patofisiologi

Infark miokard (serangan jantung) terjadi ketika arteri korener (setidaknya sebagian)
tiba-tiba terhalang oleh bekuan darah yang menyebabkan setidaknya beberapa dari otot
jantung yang mendapat suplai darah oleh arteri menjadi infark (mati). Pada kasus STEMI
arteri koroner benar-benar diblokir oleh bekuan darah dan sebagai hasilnya hampir semua otot
jantung yang disuplai oleh arteri yang terkena mulai mati (Fogoros RN, 2008).
Serangan jantung tipe ini biasanya ditunjukkaan oleh perubahan karakteristik pada
hasil EKG. Slah satu perubahan EKG adalah elevasi pada “segmen ST”. Segmen ST yang
tinggi menunjukkan bahwa terjadi kerusakan otot jantung yang relatif besar (karena arteri
koroner benar-benar tersumbat) (Fogoros RN, 2008). Faktor risiko biologis infark miokard
yang tidak dapat diubah yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. sedangkan faktor
risiko yang masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik,
antara lain kadar serum lipid, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa, dan diet yang
tinggi lemak jenuh, kolesterol, serta kalori (Santoso & Setiawan, 2005).
E. Tanda dan Gejala

Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada substernum yang
terasa berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang dijalarkan ke leher, rahang,
epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak enak di dada. IMA sering
didahului oleh serangan angina pektoris pada sekitar 50% pasien. Namun, nyeri pada IMA
biasanya berlangsung beberapa jam sampai hari, jarang ada hubungannya dengan aktivitas
fisik dan biasanya tidak banyak berkurang dengan pemberian nitrogliserin, nadi biasanya
cepat dan lemah, pasien juga sering mengalami diaforesis. Pada sebagian kecil pasien
(20% sampai 30%) IMA tidak menimbulkan nyeri dada. Silent AMI ini terutama terjadi
pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien berusia lanjut
(Robbins SL, Cotran RS, Kumar V, 2007; Sudoyo AW dkk, 2010).
F. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana


pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi terapi reperfusi. Pemeriksaan
petanda kerusakan jantung yang dianjurkan adalah creatinin kinase (CK) MB dan cardiac
specific troponin (cTn) T atau cTn I, yang dilakukan secara serial. cTn digunakan sebagai
petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal karena pada
keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB (Sudoyo AW dkk, 2010).
Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien dengan elevasi ST dan
gejala IMA serta tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai enzim
diatas dua kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung (Sudoyo AW
dkk, 2010).
1. CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis, dan
kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.

2. cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada
infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi
setelah 5-14 hari sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin, creatinine kinase (CK),
Lactic dehydrogenase (LDH). Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah
leukositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri
dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/ul (Sudoyo AW
dkk, 2010).
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri
dada atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu 10 menit sejak kedatangan di IGD
sebagai landasan dalam menentukan keputusan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG
awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat
kecurigaan kuat STEMI, EKG serian dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12
sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan
elevasi segmen ST. EKG sisi kanan harus diambil pada pasien dengan STEMI inferior,
untuk mendeteksi kemungkinan infark ventrikel kanan (Sudoyo AW dkk, 2010).
G. Penatalaksanaan Medis

Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat, menghilangkan


nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi yang mungkin dilakukan,
memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat penunjang. Terdapat beberapa
pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA
tahun 2009 dan ESC tahun 2008, tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas
di masing-masing tempat dan kemampuan ahli yang ada (Sudoyo AW dkk, 2010; Fauci et
al, 2010).
1. Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi oksigen <90%.
Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam
pertama.

2. Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4
mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit.

 Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan
dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang
dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.
 Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif
pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan
dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan dosis 75-162
mg.
 Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat
beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-
5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan
darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari
diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral
dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam
(Sudoyo AW dkk, 2010).

H. Masalah Keperawatan

Anamnesis (Doenges, 2000)


1. Aktifitas
Gejala : Kelemahan, kelelahan
Tanda : Takikardi, dispnea pada istirahat atau aktifitas.
2. Sirkulasi
Gejala : riwayat IMA sebelumnya, penyakit arteri koroner, masalah tekanan darah, diabetes
mellitus.
Tanda :
a) Tekanan darah, dapat normal / naik / turun, perubahan postural dicatat dari tidur sampai
duduk atau berdiri.
b) Nadi: Dapat normal , penuh atau tidak kuat atau lemah / kuat kualitasnya dengan
pengisian kapiler lambat, tidak teratur (disritmia).
c) Bunyi jantung: Bunyi jantung ekstra : S3 atau S4 mungkin menunjukkan gagal jantung
atau penurunan kontraktilits atau komplain ventrikel.
d) Murmur: Bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot jantung
e) Friksi ; dicurigai Perikarditis.
f) Irama jantung dapat teratur atau tidak teratur
g) Edema: Distensi vena juguler, edema dependent , perifer, edema umum, krekles mungkin
ada dengan gagal jantung atau ventrikel.
h) Warna : Pucat atau sianosis, kuku datar , pada membran mukossa atau bibir
3. Integritas ego
Gejala : menyangkal gejala penting atau adanya kondisi takut mati, perasaan ajal sudah
dekat, marah pada penyakit atau perawatan, khawatir tentang keuangan , kerja , keluarga.
Tanda : menoleh, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah, perilaku
menyerang, fokus pada diri sendiri, koma nyeri.
4. Eliminasi
Tanda : normal, bunyi usus menurun.
5. Makanan atau cairan
Gejala : mual, anoreksia, bersendawa, nyeri ulu hati atau rasa terbakar
Tanda : berkeringat, muntah, perubahan berat badan
6. Higiene
Gejala atau tanda : kesulitan melakukan tugas perawatan
7. Neurosensori
Gejala : pusing, berdenyut selama tidur atau saat bangun (duduk atau istrahat )
Tanda : perubahan mental, kelemahan
8. Nyeri atau ketidaknyamanan
Gejala :
a) Nyeri dada yang timbulnya mendadak (dapat atau tidak berhubungan dengan aktifitas ),
tidak hilang dengan istirahat atau nitrogliserin (meskipun kebanyakan nyeri dalam dan
viseral).

b) Lokasi : Tipikal pada dada anterior, substernal , prekordial, dapat menyebar ke tangan,
ranhang, wajah. Tidak tertentu lokasinya seperti epigastrium, siku, rahang, abdomen,
punggung, leher.

c) Kualitas : “Crushing ”, menyempit, berat, menetap, tertekan.

d) Intensitas : Biasanya 10 (pada skala 1 -10), mungkin pengalaman nyeri paling buruk yang
pernah dialami.

Catatan : nyeri mungkin tidak ada pada pasien pasca operasi, diabetes mellitus, hipertensi,
lansia
9. Pernafasan
Gejala : dispnea saat aktivitas ataupun saat istirahat, dispnea nokturnal, batuk dengan atau
tanpa produksi sputum, riwayat merokok, penyakit pernafasan kronis.
Tanda : peningkatan frekuensi pernafasan, nafas sesak / kuat, pucat, sianosis
· bunyi nafas ( bersih, krekles, mengi ), sputum
I. Diagnosa Keperawatan ((NANDA International, 2009; Nurarif AH & Hardhi K, 2013)
1. Nyeri akut b.d agen injuri (fisik) iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri.

2. Penurunan curah jantung b.d perubahan faktor-faktor listrik, penurunan karakteristik


miokard.

3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d iskemik, kerusakan otot jantung,


penyempitan/ penyumbatan pembuluh darah arteri koronaria.

4. Gangguan pertukaran gas b.d gangguan aliran darah ke alveoli atau kegagalan utama paru,
perubahan membran alveolar-kapiler (atelektasis, kolaps jalan napas/ alveolar edem paru/
efusi, sekresi berlebihan/ perdarahan aktif)

5. Ansietas b.d ancaman aktual terhadap integritas biologis

6. Kurang pengetahuan b.d kurang informasi tentang fungsi jantung/ implikasi penyakit
jantung.

7. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai oksigen miokard dan kebutuhan,
adanya iskemia/ nekrosis jaringan miokard.

No Diagnosa NOC NIC


Kep
1 Nyeri akut Setelah diberikan Manajemen nyeri
b.d agen asuhan keperawatan 1. Lakukan pengkajian menyeluruh pada nyeri
injuri (fisik) 1 x 30 menit termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi
iskemia diharapkan nyeri
2. Kaji adanya nyeri secara rutin, biasanya
jaringan yang dirasakan
dilakukan pada pemeriksaan TTV dan selama
sekunder klien berkurang
aktivitas dan istirahat.
terhadap Tingkat nyeri,
sumbatan kontrol nyeri. 3. Minta klien untuk menjelaskan pengalaman

arteri Kriteria hasil: nyeri sebelumnya, keefektifan intervensi

a) Mampu manajemen nyeri, respon pengobatan analgetik

mengontrol nyeri termasuk efek samping, dan informasi yang

(tahu penyebab dibutuhkan.

nyeri, mampu 5. Jelaskan pada klien mengenai pendekatan

menggunakan manajemen nyeri, termasuk intervensi

teknik farmakologi dan nonfarmakologi.


nonfarmakologi 6. Minta klien untuk menjelaskan nafsu
untuk mengurangi makan, eliminasi, dan kemampuan untuk
nyeri, mencari istirahat dan tidur. Administrasikan terapi dan
bantuan) pengobatan untuk meningkatkan/ memperbaiki
fungsi ini.
b) Melaporkan
bahwa nyeri 7. Sebagai tambahan administrasi obat
berkurang dengan analgesik, dukung klien untuk menggunakan
menggunakan metode nonfarmakologi untuk membantu
manajemen nyeri mengontrol nyeri, seperti distraksi, imaginary,
relaksasi dengan menarik napas dalam.
c) Mampu
mengenali nyeri 8. Kolaborasi pemberian oksigen tambahan
(skala, intensitas, dengan kanula nasal atau masker sesuai
frekuensi, dan tanda indikasi.
nyeri)
9. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi
d) Menyatakan rasa
nyaman setelah
nyeri berkurang.

Setelah diberikan 1. Pantau tanda


asuhan keperawatan vital : frekuensi jantung, TD,nadi
Rasional
1 x 30 menit
Untuk mengetahui adanya
diharapkan nyeri perubahan TD,nadi secara dini
yang dirasakan sehingga memudahkan dalam
melakukan intervensi karena TD
klien berkurang
dapat meningkatkan rangsangan
Tingkat nyeri, simpatis, kemudian turun bila curah
kontrol nyeri. jantung dipengaruhi.
2. Evaluasi adanya
Kriteria hasil:
bunyi jantung S3,S4
Rasional
a) TD, curah Untuk megetahui adanya
jantung dalam batas komplikasi pada GJK gagal mitral
normal untuk S3, sedangkan S4 karena
b)Haluaran urine iskemia miokardia, kekakuan
adekuat ventrikel, dan hipertensi
c)Tidak ada pulmonal /sistemik
disritmia 3. Auskultasi bunyi
d)Penurunan napas
dispnea, angina Rasional
e)Peningkatan Untuk mengetahui adanya kongesti
toleransi terhadap paru akibat penurunan fungsi
miokard
aktivitas
4. Berikan
makanan porsi makan kecil dan
mudah dikunyah, batasi asupan
kafein,kopi, coklat, cola
Rasional
Untuk menghindari kerja
miokardia, bradikardi,peningkatan
frekuensi jantung
Kolaborasi
1. Berikan oksigen sesuai indikasi
Rasional
Untuk memenuhi kebutuhan
miokard, menurunkan iskemia dan
disritmia lanjut
2. Pertahankan cairan IV
Rasional
Jalur yang paten untuk pemberian
obat darurat pada disritmia/nyeri
dada
3. Kaji ulang seri EKG
Rasional
Memberikan informasi sehubungan
dengan kemajuan/perbaikan infark,
fungsi ventrikel, keseimbangan
elektrolit, dan efek terapi obat
4. Pantau laboratorium (enzim
jantung, GDA, elektrolit)
Rasional
Untuk mengetahui
perbaikan/perluasan infark adanya
hipoksia,hipokalemia/hiperkalsemia
Berikan obat antidisritmia
Daftar Pustaka
Ackley BJ, Ladwig GB. 2011. Nursing Diagnosis Handbook an Evidence-Based Guide to
Planning Care. United Stated of America : Elsevier.
Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2010. 17th Edition Harrison’s
Principles of Internal Medicine. New South Wales : McGraw Hill.
Firdaus I. 2012. Strategi Farmako-invasif pada STEMI Akut. J Kardiol Indones; 33: 266-71.
Fogoros RN. 2008. STEMI-ST Segment Elevation Myocardial Infarction. Heart Health
Center. Diakses pada tanggal 28 April 2013.
http://heartdisease.about.com/od/heartattack/g/STEMI.htm
Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP. 2008. Braunwald’s Heart Disease : A textbook of
Cardiovascular Medicine. Philadephia: Elsevier.
Moorhead, Sue, et all. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fourth Edition. USA:
Mosbie Elsevier.
Myrtha R. 2011. Perubahan Gambaran EKG pada Sindrom Koroner Akut (SKA). CDK 188;
38 (7): 541-542.
NANDA International. 2009. Nursing Diagnosis: Definition and Classification 2009-2011.
USA: Willey Blackwell Publication.
Nurarif AH, Hardhi K. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis
dan Nanda Nic Noc. Jilid 1. Yogyakarta: Mediaction.
Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta: EGC.
Santoso M, Setiawan T. Penyakit Jantung Koroner. 2005. Cermin Dunia Kedokteran; 147:6-
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi
V. Jakarta: Interna Publishing.

Vous aimerez peut-être aussi