Vous êtes sur la page 1sur 28

Departemen Keperawatan Jiwa

Program Pendidikan Profesi Ners


STIKes Panakkukang Makassar

LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA DENGAN MASALAH
PSIKOSOSIAL KETIDAKBERDAYAAN

DISUSUN OLEH :

CI LAHAN CI
INSTITUSI

( ) (
)
YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PANAKKUKANG MAKASSAR
TAHUN AJARAN 2017/2018
LAPORAN PENDAHULUAN
KETIDAKBERDAYAAN

1. Masalah Utama
Ketidakberdayaan
2. Proses Terjadinya Masalah
A. Pengertian
Ketidakberdayaan adalah persepsi atau tanggapan klien
bahwa perilaku atau tindakan yang sudah dilakukannya tidak
akan membawa hasil yang diharapkan atau tidak akan
membawa perubahan hasil seperti yang diharapkan, sehingga
klien sulit mengendalikan situasi yang terjadi atau
mengendalikan situasi yang akan terjadi (NANDA, 2015).
Menurut Wilkinson (2007) ketidakberdayaan
merupakan persepsi seseorang bahwa tindakannya tidak akan
mempengaruhi hasil secara bermakna, kurang penggendalian
yang dirasakan terhadap situasi terakhir atau yang baru saja
terjadi. Sedangkan menurut Carpenito-Moyet (2007)
ketidakberdayaan merupakan keadaan ketika seseorang
individu atau kelompok merasa kurang kontrol terhadap
kejadian atau situasi tertentu.

B. Rentang Respon

Respon adaptif Respon

Harapa Kesempatan Ketidakpastia Bahay Tidak Bedaya Putus


1) Harapan
Harapan akan mempngaruhi respons psikologis terhadap
penyakit fisik. Kurangnya harapan dapat meningkatkan
stres dan berakhir dengan penggunaan mekanisme koping
yang tidak adekuat. Pada beberapa kasus, koping yang
tidak adekuat dapat menimbulkan masalah kesehatan jiwa.
2) Ketidakpastian
Ketidakpastian adalah suatu keadaan dimana individu tidak
mampu memahami kejadian yang terjadi. Hal ini akan
mempengaruhi kemmapuan individu mengkaji situasi dan
memperkirakan upaya yang akan dilakukan.
Ketidakpastian menjadi berbahaya jika disertai rasa
pesimis dan putus asa.
3) Putus asa
Putus asa ditandai dengan perilaku pasif, perasaan sedih
dan harapan hampa, kondisi ini dapat membawa klien
dalam upaya bunuh diri.

C. Tanda dan gejala ketidakberdayaan


1) Batasan Karakteristik (NANDA)
Menurut NANDA (2015) dan Wilkinson (2007)
ketidakberdayaan yang dialami klien dapat terdiri dari tiga
tingkatan antara lain:
a) Rendah
Klien mengungkapakan ketidakpastian tentang fluktuasi
tingkat energi dan bersikap pasif.
b) Sedang
Klien mengalami ketergantungan pada orang lain yang
dapat mengakibatkan ititabilitas, ketidaksukaan, marah
dan rasa bersalah. Klien tidak melakukan praktik
perawatan diri ketika ditantang. Klien tidak ikut
memantau kemajuan pengobatan. Klien menunjukkan
ekspresi ketidakpuasan terhadap ketidakmampuan
melakukan aktivitas atau tugas sebelumnya. Klien
menujukkan ekspresi keraguan tentang performa peran.
c) Berat
Klien menunjukkan sikap apatis, depresi terhadap
perburukan fisik yang terjadi dengan mengabaikan
kepatuhan pasien terhadap program pengobatan dan
menyatakan tidak memiliki kendali (terhadap perawatan
diri, situasi, dan hasil). Pada klien NAPZA biasanya
klien cenderung jatuh pada kondisi ketidakberdayaan
berat karena tidak memiliki kendali atas situasi yang
memepngaruhinya untuk menggunakan NAPZA atau
ketidakmampuan mempertahankan situasi bebas
NAPZA.
2) Batasan Karakteristik (Carpenito, 2009)

Mayor (harus ada) Minor (mungkin ada)

Memperlihatkan atau menutupi (marah, a) Apatis dan pasif


apatis) ekspresi ketidakpuasan atas b) Ansietas dan depresi
ketidakmampuan mengontrol situasi/ c) Marah dan perilaku
stressor (pekerjaan, penyakit, perawatan) kekerasan
d) Perilaku buruk dan
yang menganggu pandangan, tujuan, dan
kebergantungan yang tidak
gaya hidup.
memuaskan orang lain
e) Gelisah dan cenderung
menarik diri.

D. Faktor Presdiposisi dan Faktor Prespitasi


1) Faktor predisposisi
a) Biologis :
1) Tidak ada riwayat keturunan (salah satu atau
kedua orang tua menderita gangguan jiwa).
2) Gaya hidup (tidak merokok, alkhohol, obat dan
zat adiktif) dan Pengalaman penggunaan zat
terlarang.
3) Menderita penyakit kronis (riwayat melakukan
general chek up, tanggal terakhir periksa).
4) Ada riwayat menderita penjakit jantung, paru-
paru, yang mengganggu pelaksana aktivitas harian
pasien.
5) Adanya riwayat sakit panas lama saat
perkembangan balita sampai kejang-kejang atau
pernah mengalami riwayat trauma kepala yang
menimbulkan lesi pada lobus frontal, temporal dan
limbic.
6) Riwayat menderita penyakit yang secara
progresif menimbulkan ketidakmampuan, misalnya:
sklerosis multipel, kanker terminal atau AIDS
b) Psikologis :
1) Pengalaman perubahan gaya hidup akibat
lingkungan tempat tinggal.
2) Ketidaknmampuan mengambil keputusan dan
mempunyai kemampuan komunikasi verbal yang
kurang atau kurang dapat mengekspresikan perasaan
terkait dengan penyakitnya atau kondisi dirinya.
3) Ketidakmampuan menjalankan peran akibat
penyakit yang secara progresif menimbulkan
ketidakmampuan, misalnya: sklerosis multipel,
kanker terminal atau AIDS.
4) Kurang puas dengan kehidupannya (tujuan hidup
yang sudah dicapai).
5) Merasa frustasi dengan kondisi kesehatannya
dan kehidupannya yang sekarang.
6) Pola asuh orang tua pada saat klien anak hingga
remaja yang terlalu otoriter atau terlalu
melindungi/menyayangi.
7) Motivasi: penerimaan umpan balik negatif yang
konsisten selama tahap perkembangan balita hingga
remaja, kurang minat dalam mengembangkan hobi
dan aktivitas sehari-hari.
8) Pengalaman aniaya fisik, baik sebagai pelaku,
korban maupun sebagai saksi.
9) Self kontrol: tidak mampu mengontrol perasaan
dan emosi, mudah cemas, rasa takut akan tidak
diakui, gaya hidup tidak berdaya.
10) Kepribadian: mudah marah, pasif dan cenderung
tertutup.
c) Sosial budaya :
1) Usia 30-meninggal berpotensi mengalami
ketidakberdayaan .
2) Jenis kelamin laki-laki ataupun perempuan
mempunyai kecenderungan yang sama untuk
mengalami ketidakberdayaan tergantung dari peran
yang dijalankan dalam kehidupannya.
3) Pendidikan rendah.
4) Kehilangan kemampuan melakukan aktivitas
akibat proses penuaan (misalnya: pensiun, defisit
memori, defisit motorik, status finansial atau orang
terdekat yang berlangsung lebih dari 6 bulan).
5) Adanya norma individu atau masyarakat yang
menghargai kontrol (misalnya kontrol lokus
internal).
6) Dalam kehidupan sosial, cenderung
ketergantungan dengan orang lain, tidak mampu
berpartisipasi dalam sosial kemasyarakatan secara
aktif, enggan bergaul dan kadang menghindar dari
orang lain.
7) Pengalaman sosial, kurang aktif dalam kegiatan
di masyarakat.
8) Kurang terlibat dalam kegiatan politik baik
secara aktif maupun secara pasif.
2) Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat menstimulasi klien jatuh
pada kondisi ketidakberdyaan dipengaruhi oleh kondisi
internal dan eksternal. Kondisi internal dimana pasien
kurang dapat menerima perubahan fisik dan psikologis
yang terjadi. Kondisi eksternal biasanya keluarga dan
masyarakat kurang mendukung atau mengakui
keberadaannya yang sekarang terkait dengan perubahan
fisik dan perannya. Sedangkan durasi stressor terjadi
kurang lebih 6 bulan terakhir, dan waktu terjadinya dapat
bersamaan, silih berganti atau hampir bersamaan, dengan
jumlah stressor lebih dari satu dan mempunyai kualitas
yang berat. Hal tersebut dapat menstimulasi
ketidakberdayaan bahkan memperberat kondisi
ketidakberdayaan yang dialami oleh klien.
Faktor-faktor lain yang berhubungan dengan
faktor presiptasi timbulnya ketidakberdayaan adalah
sebagai berikut :
a) Biologis :
1) Menderita suatu penyakit dan harus dilakukan
terapi tertentu, Program pengobatan yang terkait
dengan penyakitnya (misalnya jangka panjang, sulit
dan kompeks) (proses intoksifikasi dan rehabilitasi).
2) Kambuh dari penyakit kronis dalam 6 bulan
terakhir.
3) Dalam enam bulan terakhir mengalami infeksi
otak yang menimbulkan kejang atau trauma kepala
yang menimbulkan lesi pada lobus frontal, temporal
dan limbic.
4) Terdapat gangguan sistem endokrin.
5) Penggunaan alkhohol, obat-obatan, kafein, dan
tembakau .
6) Mengalami gangguan tidur atau istirahat.
7) Kurang mampu menyesuaikan diri terhadap
budaya, ras, etnik dan gender.
8) Adanya perubahan gaya berjalan, koordinasi dan
keseimbangan
b) Psikologis :
1) Perubahan gaya hidup akibat menderita penyakit
kronis.
2) Tidak dapat menjalankan pekerjaan, hobi,
kesenangan dan aktivitas sosial yang berdampak
pada keputusasaan.
3) Perasaan malu dan rendah diri karena
ketidakmampuan melakukan aktivitas kehidupan
sehari-hari akibat tremor, nyeri, kehilangan
pekerjaan.
4) Konsep diri: gangguan pelaksanaan peran karena
ketidakmampuan melakukan tanggungjawab peran.
5) Kehilangan kemandirian atau perasaan
ketergantungan dengan orang lain.
c) Sosial budaya :
1) Kehilangan pekerjaan dan penghasilan akibat
kondisi kesehatan atau kehidupannya yang sekarang.
2) Tinggal di pelayanan kesehatan dan pisah
dengan keluarga (berada dalam lingkungan
perawatan kesehatan).
3) Hambatan interaksi interpersonal akibat
penyakitnya maupun penyebab yang lain.
4) Kehilangan kemampuan melakukan aktivitas
akibat proses penuaan (misalnya: pensiun, defisit
memori, defisit motorik, status finansial atau orang
terdekat yang berlangsung dalam 6 bulan terakhir).
5) Adanya perubahan dari status kuratif menjadi
status paliatif.
6) Kurang dapat menjalankan kegiatan agama dan
keyakinannya dan ketidakmampuan berpartisipasi
dalam kegiatan sosial di masyarakat

3. POHON MASALAH

Efek:
Harga diri rendah

Core problem:
Ketidakberdayaan

Causa:
Disfungi proses berduka.
Kurangnya umpan balik positif.
Umpan balik negatif yang
konsisten.
1) Patofisiologi
Setiap proses penyakit, baik akut maupun kronis, dapat
menyebabkan ketidakberdayaan atau berperan
menyebabkan ketidakberdayaan.
Beberapa sumber umum antara lain:
a) Berhubungan dengan ketidakmampuan
berkomunikasi, sekunder akibat CVA, trauma servikal,
infark miokard, nyeri.
b) Berhubungan dengan ketidakmampuan
menjalani tanggung jawab peran, sekunder akibat
pembedahan, trauma, artritis.
c) Berhubungan dengan proses penyakit yang
melemahkan, sekunder akibat sklerosis multipel, kanker
terminal.
d) Berhubungan dengan penyalahgunaan zat.
e) Berhubungan dengan distorsi kognitif, sekunder
akibat depresi.
2) Situasional (Personal, Lingkungan)
a) Berhubungan dengan perubahan status kuratif
menjadi paliatif.
b) Berhubungan dengan perasaan kehilangan
kontrol dan pembatasan gaya hidup, sekunder akibat
(sebutkan)
c) Berhubungan dengan pola makan yang
berlebihan.
d) Berhubungan dengan karakteristik personal yang
sangat mengontrol nilai (mis., lokus kontrol internal).
e) Berhubungan dengan pengaruh pembatasan
rumah sakit atau lembaga.
f) Berhubungan dengan gaya hidup berupa
ketidakmampuan (helplessness).
g) Berhubungan dengan rasa takut akibat penolakan
(ketidaksetujuan).
h) Berhubungan dengan kebutuhan dependen yang
tidak terpenuhi.
i) Berhubungan dengan umpan balik negatif yang
terus-menerus.
j) Berhubungan dengan hubungan abusive jangka
panjang.
k) Berhubungan dengan kurangnya pengetahuan.
l) Berhubungan dengan mekanisme koping yang
tidak adekuat.
3) Maturasional :
a) Anak remaja berhubungan dengan masalah
pengasuhan anak.
b) Dewasa berhubungan dengan peristiwa
kehilangan lebih dari satu kali, sekunder akibat
penuaan (mis., pensiun, defisit sensori, defisit motorik,
uang, orang terdekat.

4. DATA YANG PERLU DIKAJI

Data Masalah
keperawatan
Subjektif: Ketidakberdayaan
1) Mengatakan secara verbal ketidakmampuan
mengendalikan atau mempengaruhi
situasi.
2) Mengatakan tidak dapat menghasilkan
sesuatu.
3) Mengatakan ketidakmampuan perawatan diri.
Objektif:
1) Tidak berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan saat kesempatan diberikan.
2) Segan mengekspresikan perasaan yang
sebenarnya.
3) Apatis,pasif.
4) Ekspresi muka murung.
5) Bicara dan gerakan lambat.
6) Nafsu makan tidak ada atau berlebihan.
7) Tidur berlebihan.
8) Menghindari orang lain.

5. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Ketidakberdayaan

6. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


1. Intervensi Keperawatan pada Pasien
a. Tujuan Umum :
1) Pasien mampu membina hubungan saling
percaya
2) Pasien mampu mengenali dan mengekspresikan
emosinya
3) Pasien mampu memodifikasi pola kognitiif yang
negatif
4) Pasien mampu berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan yang berkenaan dengan perawatan pasien.
5) Pasien mampu termotivasi untuk aktif mencapai
tujuan realistis.
b. Tindakan Keperawatan
SP1 Pasien: Assesmen ketidakberdayaan dan latihan
berpikir positif.
1) Bina hubungan saling percaya
a) Mengucapkan salam terapeutik,
memperkenalkan diri, panggil pasien sesuai nama
panggilan yang disukai.
b) Menjelaskan tujuan interaksi: melatih
pengendalian ketidakberdayaan agar proses
penyembuhan lebih cepat.
2) Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan
latihan pengendalian ketidakberdayaan
3) Bantu pasien mengenal ketidakberdayaan:
a) Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan
menguraikan perasaannya.
b) Bantu pasien mengenal penyebab
ketidakberdayaan.
c) Bantu klien menyadari perilaku akibat
ketidakberdayaan.
d) Bantu Bantu klien untuk mengekspresikan
perasaannya dan identifikasi area-area situasi
kehidupannya yang tidak berada dalam kemampuannya
untuk mengontrol.
e) Bantu klien untuk mengidentifikasi faktor-faktor
yang dapat berpengaruh terhadap ketidak berdayaannya.
f) Diskusikan tentang masalah yang dihadapi klien
tanpa memintanya untuk menyimpulkan.
g) Identifikasi pemikiran yang negatif dan bantu
untuk menurunkan melalui interupsi atau subtitusi .
h) Bantu pasien untuk meningkatkan pemikiran
yang positif.
i) Evaluasi ketepatan persepsi, logika dan
kesimpulan yang dibuat pasien.
j) Identifikasi persepsi klien yang tidak tepat,
penyimpangan dan pendapatnya yang tidak rasional
4) Latih mengembangkan harapan positif (afirmasi positif)

SP2 Pasien: Evaluasi ketidakberdayaan, manfaat


mengembangkan harapan positif dan latihan mengontrol
perasaan ketidakberdayaan
1) Pertahankan rasa percaya pasien
a) Mengucapkan salam dan memberi motivasi
b) Asesmen ulang ketidakberdayaan dan
kemampuan mengembangkan pikiran postif.
2) Membuat kontrak ulang: latihan mengontrol perasaan
ketidakberdayaan.
3) Latihan mengontrol perasaan ketidakberdayaan melalui
peningkatan kemampuan mengendalikan situasi yang masih
bisa dilakukan pasien (Bantu klien mengidentifikasi area-
area situasi kehidupan yang dapat dikontrolnya. Dukung
kekuatan – kekuatan diri yang dapat di identifikasi oleh
klien) misalnya klien masih mampu menjalankan peran
sebagai ibu meskipun sedang sakit.

2. Intervensi Generalis pada Keluarga


a. Tujuan:
1) Keluarga mampu mengenal masalah
ketidakberdayaan pada anggota keluarganya.
2) Keluarga mampu merawat anggota keluarga
yang mengalami ketidakberdayaan.
3) Keluarga mampu memfollow up anggota
keluarga yang mengalami ketidakberdayaan
b. Tindakan keperawatan pada keluarga
1) Mendiskusikan kondisi pasien:
ketidakberdayaan, penyebab, proses terjadi, tanda dan
gejala, akibat.
2) Melatih keluarga merawat ketidakberdayaan
pasien.
3) Melatih keluarga melakukan follow up

SP1 Keluarga: Penjelasan Kondisi Pasien dan Cara


Merawat.
1) Bina hubungan saling percaya
a) Mengucapkan salam terapeutik,
memperkenalkan diri .
b) Menjelaskan tujuan interaksi: menjelaskan
ketidakberdayaan pasien dan cara merawat agar proses
penyembuhan lebih cepat
2) Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan
latihan cara merawat ketidakberdayaan pasien.
3) Bantu keluarga mengenal ketidakberdayaan:
a) Menjelaskan ketidakberdayaan, penyebab,
proses terjadi, tanda dan gejala, serta akibatnya.
b) Menjelaskan cara merawat ketidakberdayaan
pasien: membantu mengembangkan motivasi bahwa
pasien dapat mengendalikan situasi dan memotivasi
cara afirmasi positif yang telah dilatih perawat pada
pasien.
c) Sertakan keluarga saat melatih afirmasi positif

SP 2 Keluarga: Evaluasi peran keluarga merawat pasien,


cara latihan mengontrol perasaan ketidakberdayaan dan
follow up
1) Pertahankan rasa percaya keluarga dengan mengucapkan
salam, menanyakan peran keluarga merawat pasien &
kondisi pasien
2) Membuat kontrak ulang: latihan lanjutan cara merawat dan
follow up
3) Menyertakan keluarga saat melatih pasien latihan
mengontrol perasaan tidak berdaya
4) Diskusikan dengan keluarga cara perawatan di rumah,
follow up dan kondisi pasien yang perlu dirujuk (klien
tidak mau terlibat dalam perawatan diri) dan cara merujuk
pasien.

Terapi Aktivitas Kelompok pada Klien


dengan ketidakberdayaan

1. Pengertian
Terapi aktivitas kelompok adalah salah satu upaya untuk
memfasilitasi psikoterapis terhadap sejumlah klien pada waktu
yang sama untuk memantau dan meningkatkan hubungan antar
anggota (Depkes RI, 1997).
Terapi kerja atau terapi okupasi adalah suatu ilmu dan
seni pengarahan partisipasi seseorang untuk melaksanakan tugas
tertentu yang telah ditetapkan. Terapi ini berfokus pada
pengenalan kemampuan yang masih ada pada seseorang,
pemeliharaan dan peningkatan bertujuan untuk membentuk
seseorang agar mandiri, tidak tergantung pada pertolongan orang
lain (Riyadi dan Purwanto, 2009).
2. Tujuan terapi okupasi
Adapun tujuan terapi okupasi menurut Riyadi dan Purwanto
(2009), adalah:
a. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi mental:
1. Menciptakan kondisi tertentu sehingga klien
dapat mengembangkan kemampuannya untuk dapat
berhubungan dengan orang lain dan masyarakat
sekitarnya.
2. Membantu melepaskan dorongan emosi secara
wajar.
3. Membantu menemukan kegiatan sesuai bakat
dan kondisinya.
4. Membantu dalam pengumpulan data untuk
menegakkan diagnosa dan terapi.
b. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi fisik :
1. Meningkatkan gerak, sendi, otot dan koordinasi
gerakan.
2. Mengajarkan adl seperti makan, berpakaian, bak,
bab dan sebagainya.
3. Membantu klien menyesuaikan diri dengan tugas
rutin di rumah.
4. Meningkatkan toleransi kerja, memelihara dan
meningkatkan kemampuan yang dimiliki.
5. Menyediakan berbagai macam kegiatan agar
dicoba klien untuk mengetahui kemampuan mental dan
fisik, kebiasaan, kemampuan bersosialisasi, bakat, minat
dan potensinya.
6. Mengarahkan minat dan hobi untuk dapat
digunakan setelah klien kembali di lingkungan
masyarakat.
3. Aktivitas
Muhaj (2009), mengungkapkan aktivitas yang digunakan
dalam terapi okupasi, sangat dipengaruhi oleh konteks terapi
secara keseluruhan, lingkungan, sumber yang tersedia, dan juga
oleh kemampuan si terapi sendiri (pengetahuan, keterampilan,
minat dan kreativitasnya).
a. Jenis
Jenis kegiatan yang dapat dilakukan meliputi: latihan
gerak badan, olahraga, permainan tangan, kesehatan,
kebersihan, dan kerapian pribadi, pekerjaan sehari-hari
(aktivitas kehidupan sehari-hari, seperti dengan mengajarkan
merapikan tempat tidur, menyapu dan mengepel),
praktik pre-vokasional, seni (tari, musik, lukis, drama, dan
lain-lain), rekreasi (tamasya, nonton bioskop atau drama),
diskusi dengan topik tertentu (berita surat kabar, majalah,
televisi, radio atau keadaan lingkungan) (Muhaj, 2009).
b. Aktivitas
Aktivitas adalah segala macam aktivitas yang dapat
menyibukan seseorang secara produktif yaitu sebagai suatu
media untuk belajar dan berkembang, sekaligus sebagai
sumber kepuasan emosional maupun fisik. Oleh karena itu
setiap aktivitas yang digunakan harus mempunyai
karakteristik sebagai berikut:
1) Setiap gerakan harus mempunyai alasan dan
tujuan terapi yang jelas. Jadi, bukan hanya sekedar
menyibukkan klien.
2) Mempunyai arti tertentu bagi klien, artinya
dikenal oleh atau ada hubungannya dengan klien.
3) Klien harus mengerti tujuan mengerjakan
kegiatan tersebut, dan apa kegunaanya terhadap upaya
penyembuhan penyakitnya.
4) Harus dapat melibatkan klien secara aktif
walaupun minimal.
5) Dapat mencegah lebih beratnya kecacatan atau
kondisi klien, bahkan harus dapat meningkatkan atau
setidaknya memelihara kondisinya.
6) Harus dapat memberi dorongan agar klien mau
berlatih lebih giat sehingga dapat mandiri.
7) Harus sesuai dengan minat, atau setidaknya tidak
dibenci olehnya.
8) Harus dapat dimodifikasi untuk tujuan
peningkatan atau penyesuaian dengan kemampuan klien.

4. Indikasi terapi okupasi


Riyadi dan Purwanto (2009), menyatakan bahwa indikasi dari
terapi okupasi sebagai berikut:
a. Klien dengan kelainan tingkah laku, seperti klien harga
diri rendah yang disertai dengan kesulitan berkomunikasi.
b. Ketidakmampuan menginterpretasikan rangsangan
sehingga reaksi terhadap rangsang tidak wajar.
c. Klien yang mengalami kemunduran.
d. Klien dengan cacat tubuh disertai gangguan
kepribadian.
e. Orang yang mudah mengekspresikan perasaan melalui
aktivitas.
f. Orang yang mudah belajar sesuatu dengan praktik
langsung daripada membayangkan.

5. Karakteristik aktivitas terapi


Riyadi dan Purwanto, (2009), mengemukakan bahwa
karateristik dari aktivitas terapi okupasi, yaitu: mempunyai tujuan
jelas, mempunyai arti tertentu bagi klien, harus mampu
melibatkan klien walaupun minimal, dapat mencegah bertambah
buruknya kondisi, dapat memberi dorongan hidup, dapat
dimodifikasi, dan dapat disesuaikan dengan minat klien.

6. Analisa aktivitas
Riyadi dan Purwanto (2009), menyatakan bahwa analisa
dari kegiatan terapi okupasi, meliputi: jenis kegiatan yang
dilakukan seperti latihan gerak badan atau pekerjaan sehari-hari,
maksud dan tujuan dari kegiatan dilakukan dan manfaatnya bagi
klien, sarana atau alat atau aktivitas dilakukan disesuaikan
dengan jenis kegiatan yang dilakukan, persiapan terhadap sarana
pendukung dan klien maupun perawat, pelaksanaan dari kegiatan
yang telah direncanakan, kontra indikasi dan disukai klien atau
tidak disukai yang disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki
oleh klien.

7. Proses terapi okupasi


Adapun proses dari terapi okupasi, sebagai berikut:
a. Pengumpulan data, meliputi data tentang identitas klien,
gejala, diagnosis, perilaku dan kepribadian klien. Misalnya
klien mudah sedih, putus asa, marah.
b. Analisa data dan identifikasi masalah dari data yang
telah dikaji ditegakkan diagnosa sementara tentang masalah
klien maupun keluarga.
c. Penentuan tujuan dan sasaran dari diagnosa yang
ditegakkan dapat dibuat sasaran dan tujuan yang ingin
dicapai.
d. Penentuan aktivitas jenis kegiatan yang ditentukan harus
disesuaikan dengan tujuan terapi.
e. Evaluasi kemampuan klien, inisiatif, tanggungjawab,
kerjasama, emosi dan tingkah laku selama aktivitas
berlangsung. Dari hasil evaluasi rencanakan kembali
kegiatan yang sesuai dan akan dilakukan. Evaluasi dilakukan
secara periodik, misalnya 1 minggu sekali dan setiap selesai
melaksanakan kegiatan.

8. Pelaksanaan Terapi
Terapi okupasi dapat dilakukan secara individu maupun
kelompok tergantung dari kondisi klien dan tujuan terapi.
a. Metode
1) Individual: dilakukan untuk klien baru masuk,
klien yang belum mampu berinteraksi dengan kelompok
dan klien lain yang sedang menjalani persiapan
aktivitas.
2) Kelompok: klien dengan masalah sama, klien
yang lama dan yang memiliki tujuan kegiatan yang
sama. Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah
kelompok kecil yang anggotanya berkisar antara 5-12
orang (Keliat dan Akemat, 2005). Jumlah anggota
kelompok kecil menurut Stuart dan Laraia (2001, dalam
Keliat dan Akemat, 2005) adalah 7-10 orang, Rawlins,
Williams, dan Beck (1993, dalam Keliat dan Akemat,
2005) menyatakan jumlah anggota kelompok adalah 5-
10 orang. Jika anggota kelompok terlalu besar akibatnya
tidak semua anggota mendapat kesempatan
mengungkapkan perasaan, pendapat, dan
pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi
informasi dan interaksi yang terjadi. Johnson (dalam
Yosep, 2009) menyatakan terapi kelompok sebaiknya
tidak lebih dari 8 anggota karena interaksi dan reaksi
interpersonal yang terbaik terjadi pada kelompok dengan
jumlah sebanyak itu. Apabila keanggotaanya lebih dari
10, maka akan terlalu banyak tekanan yang dirasakan
oleh anggota sehingga anggota merasa lebih terekspos,
lebih cemas, dan seringkali bertingkah laku irrasional.
b. Waktu
Terapi dilakukan 1-2 jam setiap sesi baik metode
individual maupun kelompok dengan frekuensi kegiatan per
sesi 2-3 kali dalam seminggu. Setiap kegiatan dibagi menjadi
2 bagian,pertama: ½-1 jam yang terdiri dari tahap persiapan
dan tahap orientasi, kedua: 1-1/2 jam yang terdiri dari tahap
kerja dan tahap terminasi (Riyadi dan Purwanto, 2009)
9. Pengorganisasian
1. Waktu
Kegiatan terapi kognitif ini akan dilaksanakan selama 1
hari yaitu pada:
Hari :
Jam :
Lama :
2. Terapis
Adapun terapis yang akan terlibat adalah
a. Fasilitator.
Menyusun rencana terapi kognitif
- Mengarahkan kelompok mencapai tujuan
- Memberikan contoh cara kerja membuat ket pot
bunga
- Memfasilitasi anggota untuk mengekspresikan
perasaan dapat dan memberi umpan balik
- Sebagai role model
- Mempertahankan kehadiran anggota
3. Klien
4. Metode dan media
a. Metode
Adapun metode yang digunakan pada terapi okupasi
ini adalah dinamika kelompok
b. Media
Media yang akan digunakan meliputi:
- Spidol
- Buku catatan
Skema Ruang Terapi

K F

F K

K
F

F K
K
F

KETERANGAN:

F : Fasilitator

K : Klien

10. MEKANISME KEGIATAN


1. Persiapan
a) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
b) mengumpulkan informasi mengenai riwayat dan
pengalaman pekerjaan pasien, pola hidup sehari-hari,
minat, dan kebutuhannya
c) analisa tampilan pekerjaan seperti kemampuan
untuk melaksanakan aktivitas dalam kehidupan
keseharian, yang meliputi aktivitas dasar hidup sehari-
hari, pendidikan, bekerja, bermain, mengisi waktu luang,
dan partisipasi sosial.

2. Orientasi
a. Salam tarapeutik
1) Salam dari terapis kepada klien
2) Terapis dan klien memakai papan nama.
b. Evaluasi / validasi
1) Menanyakan perasaan klien saat ini
c. Kontrak
1) Terapis menjelaskan tujuan terapi
2) Menjelaskan aturan main berikut:
 Jika ada klien yang ingin meninggalkan
kelompok, harus minta izin kepada terapis.
 Lama kegiatan ± 60 menit.
 Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal
sampai selesai.
d. Tahap Kerja
e. Tahap terminasi.
f. Evaluasi
1) Terapis menanyakan perasan klien setelah
mengikuti terapi okupasi
2) Terapis memberikan pujian atas keberhasilan
kelompok.
g. Tindak lanjut
Menganjurkan klien membuat ketrampilan seperti yang
telah diajarkan
h. Kontrak yang akan datang
Buat kesepakatan baru untuk kegiatan berikutnya
11. Evaluasi Dan Dokumentasi
Hal-hal yang perlu di evalausi antara lain adalah sebagi berikut:
a. Kemampuan membuat keputusan
b. Tingkah laku selama bekerja
c. Kesadaran adanya orang lain yang bekerja bersama dia
dan yang mempunyai kebutuhan sendiri
d. Kerjasama
e. Cara memperlihatkan emosi (spontan, wajar, jelas, dan
lain-lain)
f. Inisiatif dan tanggung jawab
g. Kemampuan untuk diajak atau mengajak berunding
h. Menyatakan perasaan tanpa agresi
i. Kompetisi tanpa permusuhan
j. Menerima kritik dari atasan atau teman sekerja
k. Kemampuan menyatakan pendapat sendiri dan apakah
bertanggung jawab atas pendapatnya tersebut
l. Wajar dalam penampilan
m. Orientasi, tempat, waktu, situasi, orang lain
n. Kemampuan menerima instruksi dan mengingatnya
o. Kemampuan bekerja tanpa terus menerus diawasi
p. Kerapian bekerja
q. Lambat atau cepat.
DAFTAR PUSTAKA

Angreni. (2010). Askep Gangguan Alam Perasaan Depresi. Diambil


dari http://anggreniniluhputu.blogspot.com/2010/12/askep-
gangguan-alam-perasaan-depresi.html. diakses pada 15 Mei
2017.

Carpenito, LJ. (2009). Diagnosis Keperawatan: Aplikasi Pada Praktik


Klinis ed. 9. Jakarta: EGC.

Keliat, B.A. dan Akemat. (2005). Keperawatan Jiwa: Terapi Akitivitas


Kelompok. Jakarta: EGC.

Muhaj, K. (2009). Terapi Okupasi dan Rehabilitasi.


Available:http://khaidirmuhaj.blogspot.com/2009/01/terapi-
okupasi-dan-rehabilitasi.html.diakses pada 15 Mei 2017.

NANDA Internasional. (2012). Diagnosis Keperawatan Definisi dan


Klasifikasi 2012-2014 terj. Made Sumarwati. Jakarta: EGC.
Riyadi, S. dan Purwanto, T. (2009). Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Graha Ilmu.

Vous aimerez peut-être aussi