Vous êtes sur la page 1sur 34

LAPORAN KASUS

ILMU KESEHATAN JIWA

Disusun oleh :

Ashilah Hamidah Assegaff (1102013045)

Pembimbing :

dr. Henny Riana, Sp.KJ

dr. Esther Sinsuw, Sp.KJ

dr. Hening Madonna, Sp.KJ

AKBP dr. Karjana, Sp.KJ


dr. Witri Antariksa, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA Tk. I R.S. SUKANTO
PERIODE 27 DESEMBER 2017 – 27 JANUARI 2018
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. LA
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir: Jakarta, 16 Januari 1992
Agama : Islam
Suku : Kaili – Betawi Arab
Pendidikan Terakhir : SMK
Status Pernikahan : Cerai
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Alamat : Jatisampurna, Bekasi
Masuk RS : 11 Januari 2018
Tanggal Pemeriksaan : 19 Januari 2018
Ruangan Perawatan : Dahlia

II. RIWAYAT PSIKIATRI


 Autoanamnesis : Pada tanggal 19 Januari 2018 di Bangsal Dahlia
 Alloanamnesis : Pada tanggal 17 Januari 2018 dengan Tn. H (Bapak
kandung pasien), wawancara langsung di RS. POLRI
 Rekam Medis Pasien

A. Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan mengamuk, marah-marah tanpa alasan yang
jelas, dan membuat keributan di rumah dan lingkungan sejak siang hari
sebelum masuk rumah sakit.

B. Keluhan Tambahan
Pasien sering berbicara meracau dan mendengar suara bisikan.
C. Riwayat Gangguan Sekarang
Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS Polri pada tanggal
11 Januari 2018 dibawa oleh ayah kandung dan tetangganya karena
mengamuk, marah-marah, bicara meracau tanpa alasan yang jelas dan berbuat
onar di rumah dan lingkungan sekitar rumah.
Awalnya sejak siang sebelum masuk RS pasien mulai marah-marah
tanpa alasan dan pergi dan masuk ke rumah seorang Ulama besar kenalannya
tanpa izin. Saat diajak pulang oleh ayahnya pasien sempat tidak mau lantaran
menurut pasien, jiwa di dalam tubuh ayahnya bukanlah ayahnya. Setelah
dinasehati oleh pemilik rumah, pasien lebih tenang dan dapat dibawa pulang.
Namun, saat malam hari, pasien kembali membuat keributan di
lingkungan rumah dengan melempar barang-barang di rumah, menendang
kendaraan yang lewat dan merusak dagangan warung nasi milik tetangga yang
ada di sebelah rumahnya dengan cara membanting dan membalikkan meja
dagangan tersebut, disertai dengan bicara yang meracau penuh emosi.
Pasien bercerita bahwa masalah yang paling menganggu dirinya saat
ini adalah permasalahan rumah tangganya. Awalnya, Pasien mengenal calon
suaminya yaitu Tn.B dari majlis pengajian yang diikutinya secara rutin.
Karena Tn.B suka saat melihat pasien pertama kali, Tn.B langsung minta
dijodohkan dengan pasien melalui ustadz. Saat itu, pasien sedang merasa sedih
karena adiknya sudah ada yang melamar, dan sudah ada tanggal
pernikahannya, sedangkan pria yang pasien cinta sudah menikah dengan
wanita lain yang merupakan temannya sendiri, sehingga pasien langsung
menyetujui lamaran pernikahan yang diberikan padanya saat itu.
Pertengkaran rumah tangga awalnya terjadi karena pasien menjual
mas kawin berupa perhiasan emas untuk membeli Handphone, hal tersebut
dinilai tidak baik oleh keluarga pihak pria yang saat itu baru mengetahui
bahwa pasien memiliki riwayat sakit jiwa dari ibu tiri pasien, sehingga
menimbulkan perseteruan, Karena merasa tidak nyaman, pasien meminta
suaminya untuk pindah rumah hanya berdua mengontrak di satu tempat.
Permintaan ini ditolak oleh Tn.B dan keluarga besarnya yang berujung dengan
menggugat cerai pasien. Pasien merasa kecewa lalu berpura-pura hamil dan
keguguran, agar Tn.B mencabut gugatan cerai dan kembali bersama pasien,
dan juga mengaku ke seluruh keluarga bahwa pasien telah melalui operasi
kuretase di salah satu rumah sakit. Setelah 4 bulan menikah, pasien mengaku
digugat cerai oleh Tn.B karena keluarga besar dari pihak laki-laki tidak suka
kepadanya dan sering memperlakukan pasien dengan buruk selama mereka
tinggal bersama.
Saat ini, pasien meyakini bahwa ada sesosok iblis bernama Sanim yang
ingin mencelakai dan menyesatkan keluarga pasien terutama pasien, ayah
kandung dan ibu kandung pasien. Pasien meyakini bahwa iblis tersebut
merupakan kiriman dari orang yang iri dan tidak suka melihat keluarga pasien
berhasil. Apapun berbuatan buruk atau tidak baik di sekitar pasien, pasien
meyakini bahwa hal tersebut disebabkan oleh Sanim yang merasuki tubuh
orang yang ada di sekitar pasien.
Menurut penjelasan pasien, iblis tersebut memiliki kekuatan yang
sangat dahsyat sehingga sulit dikalahkan bahkan oleh Tuhan sekalipun dan
dapat merasuki tubuh orang lain untuk menyesatkan orang tersebut. Pasien
meyakini bahwa sosok Sanim selalu mengikutinya. Sanim digambarkan
sebagai sosok hitam besar mengerikan yang memiliki mata satu dengan mulut
yang lebar, memiliki tanduk yang besar serta berambut gimbal panjang
sepundak.
Pasien juga mengaku sering mendengar suara-suara yang banyak, dan
sering menyuruh serta berbicara secara bersamaan, pasien sering melihat
banyak orang berjalan dan berputar-putar didepannya dan meminta
pertolongan pasien. Pasien mengatakan bahwa pasien diberikan beberapa
mukjizat oleh Allah SWT dapat mengetahui masa depan, membaca hati orang,
berkeliling dunia, serta melakukan kontak batin.
Selama beberapa hari dalam perawatan, pasien merasakan perasaan
yang berubah-ubah. Dalam beberapa hari ini pasien merasa sedih dan bersalah
karena merasa dirinya banyak melakukan kesalahan dan menyakiti perasaan
orang lain.

D. Riwayat Gangguan Dahulu


Pasien mulai menunjukkan perubahan sikap dan perilaku setelah ibu
kandung pasien meninggal dunia, dan usaha ayahnya gulung tikar pada tahun
2013. Pasien cenderung seperti orang kebingungan, sering melamun, mudah
marah atau tersinggung dan berjalan ke sana-kemari tanpa tujuan dan kerap
mengganggu orang lain. Pasien sempat diurus oleh tantenya di Sulawesi,
namun belum lama di sana pasien mengamuk dan berbicara meracau sehingga
masuk ke RS Mamboro untuk dirawat.
Setelah dirawat pasien membaik, namun terjadi perubahan perilaku
yaitu menjadi tidak aktif daripada biasanya. Sering melamun serta lebih sering
di dalam rumah hanya untuk berdiam diri dan bermain dengan handphonenya.
Bahkan untuk pekerjaan rumah yang sederhana pun pasien enggan
melakukannya. Pasien juga kerap mudah marah atau gampang tersinggung.
Pasien memiliki riwayat beberapa kali masuk ke rumah sakit karena
mengamuk dan melukai diri sendiri. Setelah dari RS Mamboro pada tahun
2013, pasien sempat dirawat di RS Klender pada Januari 2016. Pada bulan
Desember 2016 pasien juga sempat dirawat di RS Polri lantaran membakar
diri sendiri. Selama rentang tahun 2017, pasien juga pernah dirawat di RS
Cirebon, RS di Bogor dan RS Klender. Prilaku melukai sendiri dilakukan oleh
pasien karena ada suara yang menyuruhnya untuk melakukan hal tersebut.
Setiap kali setelah pasien dirawat, pasien putus obat dan jarang untuk
kontrol ke poli jiwa. Menurut keterangan ayah pasien, karena pasien merasa
sudah sembuh sehingga pasien menganggap tidak perlu untuk minum obat dan
kontrol. Saat dipaksa oleh pihak keluarga selalu berujung dengan pertengkaran
karena pasien emosi dan marah-marah, sehingga keluarga pasien cenderung
untuk mengikuti kemauan pasien.
1. Gangguan Psikiatrik
Berdasarkan keterangan dari ayah pasien, pasien memiliki riwayat
gangguan jiwa. Pada tahun 2013 pasien dirawat di RS Mamboro Sulawesi
karena gelisah, marah-marah, dan menamuk. Setelah dirawat kondisi
pasien membaik.
Pada Januari tahun 2016 pasien dirawat di RS Klender selama 1
minggu dengan gejala yang sama dengan sebelumya karena pengobatan
dihentikan oleh ayah kandungnya sendiri karena pasien susah dan tidak
ingin meminum obat. Pada Desember 2016 pasien kembali dirawat di RS
Polri karena mengamuk dan mencoba membakar tubuh sendiri karena ada
bisikan yang menyuruhnya untuk membakar diri. Selama rentang tahun
2017, pasien juga pernah dirawat di RS Cirebon, RS di Bogor dan RS
Klender.

2. Gangguan Medik
Riwayat kelainan bawaan, infeksi, trauma kepala, dan kejang disangkal.

3. Gangguan Zat Psikoaktif dan Alkohol


Riwayat konsumsi rokok, alkohol ataupun zat adiktif lainnya disangkal.

TIMELINE PERJALANAN PENYAKIT

3,5

2,5

1,5

0,5

0
2013 2014 2015 2016 2017 2018

 Tahun 2013 : Ibu kandung pasien meninggal dunia. Pasien mulai


merasa asing dengan diri sendiri. Perubahan perilaku dan sikap (seperti
orang kebingungan, sering melamun, mudah marah dan tersinggung,
juga sering berjalan ke sana-kemari tanpa tujuan dan kerap
mengganggu orang lain). Pasien mulai mendengar suara-suara dan
meyakini bahwa penyebab ibunya meninggal adalah kiriman dari
orang yang tidak menyukai keluarganya yang membuat ibu
kandungnya meninggal dunia dan usaha ayahnya gulung tikar. Pasien
sempat dirawat di RS Mamboro Sulawesi karena gelisah, marah-
marah, bicara meracau, dan melukai orang. Setelah dirawat, pasien
membaik dan dapat pulang.
 Tahun 2014 – 2015 : Pasien masih melanjutkan kuliahnya di
UNINDRA namun hanya sampai semester 6, menurut ayah pasien
tidak konsisten dalam kuliah, karena masih merasa sedikit terganggu
dengan kondisi jiwanya, namun tidak menonjol. Sehingga pasien
memutuskan untuk bekerja saja. Pasien bekerja di lembaga kursus
sebagai pengajar bahasa inggris, namun tidak lama pasien
mengundurkan diri dari pekerjaannya.
 Bulan Januari 2016 : Pasien kembali dirawat di RS Klender kurang
lebih selama 1 minggu dengan keluhan yang sama dengan sebelumnya.
Pasien jarang kontrol dan berhenti meminum obat karena dihentikan
oleh ayahnya sendiri sebab pasien sulit sekali minum obat. Setelah
dirawat, pasien membaik dan pulang kembali.
 Bulan Desember 2016 : Pasien dirawat di RS Polri dengan keluhan
yang sama. Pasien mengamuk, lalu ayah pasien mengikatnya dengan
kain, pasien juga sempat membakar dirinya karena mendapat bisikan
yang menyuruhnya.
 Tahun 2017 : Sempat dirawat di 3 rumah sakit dengan keluhan yang
sama (RS Cirebon, Bogor, Klender). Bulan Oktober, berpisah dengan
suami pada usia pernikahan 4 bulan.
 Bulan Januari 2018 : Pasien masuk kembali ke RS Polri dengan
keluhan mengamuk dan berbuat onar.

E. Riwayat Kehidupan Pribadi


 Riwayat Perkembangan Pribadi
a. Masa prenatal dan perinatal
Pasien lahir di Jakarta pada tanggal 16 Januari 1992. Kehamilan
selama 9 bulan dan persalinan secara normal ditolong oleh dokter di
Rumah Sakit. Kondisi kesehatan ibu secara fisik baik selama
kehamilan.
b. Riwayat masa kanak awal (0-3 tahun)
Pasien diasuh oleh kedua orangtuanya. Selama masa ini, proses
perkembangan dan pertumbuhan sesuai dengan anak sebaya. Pasien
tidak pernah mendapat sakit berat, demam tinggi, kejang ataupun
trauma kepala. Tidak ada kelainan prilaku yang menonjol.
c. Riwayat masa kanak pertengahan (3-11 tahun)
Masa ini dilalui dengan baik, tumbuh kembang baik dan normal seperti
anak seusianya. Pasien tergolong anak yang aktif, baik, dan mudah
bergaul.
d. Masa kanak akhir dan remaja (12-18 tahun)
Pasien tumbuh dan kembang seperti anak lainnya. Prestasi pasien
disekolah baik, tidak pernah tinggal kelas.
e. Masa dewasa (>18 tahun)
Pasien adalah sosok yang memiliki kepribadian keras kepala. Pasien
juga kurang semangat dalam bekerja dan belajar. Pasien cenderung
manja dibandingkan dengan adik-adiknya dan kurang mandiri dalam
kegiatan sehari-hari. Banyak keinginan yang pasien miliki namun
pasien cenderung tidak fokus. Pergaulan pasien baik dengan keluarga,
teman dan masyarakat.

 Riwayat Pendidikan
a. SD : Pasien menyelesaikan pendidikan SD tanpa pernah tinggal
kelas.
b. SMP : Pasien menyelesaikan pendidikan SMP tanpa pernah tinggal
kelas.
c. SMK : Pasien menyelesaikan pendidikan SMK tanpa pernah tinggal
kelas.
d. Kuliah : Pasien sempat berkuliah di UNINDRA jurusan Bahasa
Inggris namun hanya sampai semester 6 karena pasien tidak konsisten
dengan kuliahnya.

 Riwayat Pekerjaan
Pasien mengaku saat ini bekerja serabutan hanya membantu
mengumpulkan sadaqoh keliling sambil ikut membantu agen umroh.
Menurut keterangan ayah pasien, pasien mendapat tawaran pekerjaan
untuk menjadi pengajar bahasa inggris di sebuah sekolah swasta ternama,
namun pasien tidak mengambil kesempatan tersebut karena malas.
Sebelumnya setelah pasien berhenti kuliah, pasien pernah bekerja
menjadi admin proyek alat kesehatan namun keluar lantaran gajinya
stagnan. Setelahnya bekerja sebagai marketing di sebuah perusahaan
asuransi (2014 – 2015). Lalu bekerja sebagai guru pengajar bahasa Inggris
selama ±1 tahun (2015 – 2016) di sebuah lembaga kursus namun dengan
jam kerja yang tidak pasti.
 Kehidupan Beragama
Pasien seorang penganut agama Islam dan baik dalam menjalankan
ibadah.
 Kehidupan Sosial dan Perkawinan
Pasien telah menikah pada bulan Juni 2017 dengan seorang laki-laki
yang bernama Tn. B, sekarang pasien telah bercerai.
 Riwayat Pelanggaran Hukum
Pasien tidak pernah berurusan dengan aparat penegak hukum, dan
tidak pernah terlibat dalam proses peradilan yang terkait dengan hukum.

F. Riwayat Keluarga
Pasien sejak kecil tinggal bersama orang tua pasien. Pasien adalah
anak pertama dari tiga bersaudara. Ibu kandung pasien meninggal pada tahun
2013. Saat ini bapak kandung pasien telah menikah kembali. Pasien saat ini
tinggal bersama bapak, ibu tiri, dan seorang adik kandung laki-laki. Hubungan
pasien dengan bapak kandung dan adik-adiknya tidak ada masalah. Namun
pasien mengatakan bahwa dirinya merasa kesepian dan kurang diperhatikan
karena keluarganya sudah sibuk dengan urusannya masing-masing. Pasien
kurang akur dengan ibu tirinya yang sering menasihati pasien. Didalam
keluarga, ibu kandung pasien memiliki riwayat gangguan jiwa.

G. Genogram

Keterangan :

: Perempuan Pasien gangguan jiwa

: Laki-laki

: Perempuan

: Perempuan pasien gangguan jiwa wafat

H. Persepsi Pasien tentang Diri dan Kehidupannya


Pasien menyangkal jika pasien mengalami gangguan jiwa. Pasien
hanya mengatakan bahwa pasien hanya sakit “hati nurani”nya karena diguna-
guna oleh orang yang iri dan dengki dengan pasien.
I. Impian, Fantasi, dan Cita-cita Pasien
Pasien mengatakan ingin pulang dan melanjutkan kuliah hingga
selesai. Setelah itu pasien ingin bekerja sebagai pengajar / guru karena
menurut pasien pekerjaan tersebut mulia dan dapat bermanfaat bagi orang lain.
Selain itu pasien juga berkeinginan untuk mempunyai usaha. Pasien juga ingin
kembali rujuk dengan Tn.B berkeluarga yang sakinah dan memiliki anak yang
banyak dan mendidik mereka secara agama.

III. STATUS MENTAL


A. DESKRIPSI UMUM
1. Penampilan
Pasien perempuan berumur 26 tahun dengan penampakan fisik sesuai
dengan usianya. Kulit berwarna sawo matang, pasien menggunakan jilbab
namun terkadang dilepas dan memiliki rambut hitam lurus pendek. Pada
saat wawancara, pasien berpakaian bersih. Perawatan diri dan kebersihan
cukup.
2. Kesadaran

Kesadaran Neurologik : Kesadaran tidak terganggu


3. Perilaku dan aktivitas psikomotor
a. Sebelum wawancara : Pasien tampak agak gelisah dan berjalan-jalan
di sekitar ruangan. (tidak bisa diam)
b. Selama wawancara : Pasien terlihat lebih tenang dan dapat
menjawab pertanyaan secara spontan.
c. Sesudah wawancara : Pasien terlihat tenang dan kembali kedalam
kamar perawatan.
4. Sikap terhadap pemeriksa
Selama wawancara pasien menunjukkan sikap kooperatif, dan banyak
bicara.
5. Pembicaraan
Pasien dapat berbicara spontan, lancar dan artikulasi jelas. Pasien
cenderung banyak berbicara tentang keyakinan dirinya.

B. ALAM PERASAAN (EMOSI)


1. Suasana perasaan (mood) : Irritable (saat pemeriksaan)
2. Afek ekspresi : Labil (saat pemeriksaan)
C. GANGGUAN PERSEPSI
1. Halusinasi : Ada
 Halusinasi auditorik : Pasien mengaku sering mendengar suara-suara
orang banyak yang bermacam-macam, terkadang mengajak pasien
berbicara, meminta tolong atau menyuruh pasien untuk melakukan
sesuatu.
 Halusinasi Visual : Pasien mengaku dapat melihat sosok iblis yang
mengikutinya, melihat orang bergerombol berjalan-jalan dan berputar-
putar.
2. Ilusi : Ada (Suara jam di dinding dianggap suara Tuhan yang
sedang berkomunikasi dengannya)
3. Depersonalisasi : Ada (Menganggap dirinya sudah mati, tetapi hidup
kembali namun dirinya yang sekarang bukan yang dulu lagi; pasien pun
merasa kesulitan ketika ditanya lebih detail, mengaku ada yang menulis
nama suaminya dengan kata umpatan di dinding tapi bukan dirinya)
4. Derealisasi : Ada (merasa berada di belahan dunia yang berbeda
dan dapat berpindah sesuka hatinya)

D. SENSORIUM DAN KOGNITIF (FUNGSI INTELEKTUAL)


1. Taraf pendidikan : SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) jurusan
Pariwisata
2. Pengetahuan umum : Baik
3. Kecerdasan : Baik
4. Konsentrasi : Baik
5. Orientasi :
a. Waktu : Baik (Pasien dapat menyebutkan pemeriksaan pada
pagi hari)
b. Tempat : Baik (Pasien tahu sekarang berada di rumah sakit)
c. Orang : Baik (Pasien dapat mengenali dirinya dan orang
disekitarnya)
d. Situasi : Baik (Pasien tahu sedang diwawancara oleh dokter)
6. Daya ingat :
a. Jangka panjang : Baik (Pasien dapat mengingat tanggal lahir)
b. Jangka pendek : Baik (Pasien ingat menu makan paginya)
c. Segera : Baik (Pasien dapat menyebutkan 3 benda yang
disebutkan oleh pemeriksa)
7. Pikiran abstraktif : Baik (Pasien dapat menyebutkan persamaan buah
jeruk dan buah apel).
8. Visuospasial : Baik (Pasien dapat menggambarkan bentuk yang diminta
oleh pemeriksa).
9. Kemampuan menolong diri : Baik (Pasien tidak membutuhkan bantuan
orang lain untuk makan, mandi dan berganti pakaian).

E. PROSES PIKIR
1. Arus pikir
 Kontinuitas : Flight of Ideas, sirkumstansial
 Hendaya bahasa : Tidak ada
2. Isi pikir
 Preokupasi : Tidak ada
 Waham : Ada
– Waham kebesaran (Pasien meyakini bahwa dia diberikan
mukjizat oleh Allah SWT contohnya dapat melihat hati nurani
manusia, dan melihat masa depan)
– Waham Bizzare (Pasien meyakini bahwa ada iblis yang dapat
merasuki tubuh orang di sekitarnya, sering masuk menjadi
sosok ayahnya dan sahabat-sahabatnya)
– Waham kejar (Pasien meyakini bahwa ada sosok iblis yang
mengikutinya terus dan berusaha untuk melukainya)
– Ide rujukan / reference (Pasien meyakini bahwa banyak pihak
yang tidak suka, iri, dengan pasien dengan keluarganya jika
senang atau berhasil.)
 Obsesi : Tidak ada
 Kompulsi : Tidak ada
 Fobia : Tidak ada
F. PENGGENDALIA IMPULS
Baik, selama wawancara pasien dapat bersikap tenang dan tidak menunjukkan
gejala yang agresif.

G. DAYA NILAI
1. Daya nilai sosial : Baik (Pasien dapat membedakan perbuatan baik dan
buruk)
2. Uji daya nilai : Baik (Diberikan simulasi bila menemukan dompet
dijalan maka apa yang harus dilakukan)
3. RTA : Terganggu

H. TILIKAN

Derajat 2 (Pasien sedikit menyadari bahwa dirinya sakit dan butuh


bantuan namun dalam waktu yang bersamaan juga menyangkal bahwa ia
sakit).

I. RELIABILITAS (TARIF DAPAT DIPERCAYA)


Pemeriksa memperoleh kesan bahwa keseluruhan jawaban pasien dapat
dipercaya.

IV. PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG


PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
a) Keadaan Umum : Baik
b) Kesadaran : Compos Mentis
c) Tanda-tanda Vital :
TD : 120/80 mmHg
RR : 22 x/menit
HR : 85x/menit
Suhu : 36,70C
d) Sistem Kardiovaskular : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
e) Sistem Respirasi : Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
f) Sistem Gastrointestinal : Bising usus normal, thympani di semua
kuadran
g) Sistem Ekstremitas : Edema (-), sianosis (-), akral hangat.
B. Status Neurologik
Tidak dilakukan pemeriksaan neurologis.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakuan pemeriksaan penunjang.

V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


 Pasien perempuan usia 26 tahun datang ke IGD Rumah Sakit Polri dengan
keluhan mengamuk, marah-marah tanpa alasan yang jelas, dan membuat
keributan di rumah dan lingkungan. Keluhan disertai dengan pasien sering
berbicara meracau dan mendengar bisikan.
 Pasien merasa tidak mengenal dirinya sendiri, ada perubahan prilaku dan
sikap, sering mendengar, melihat, dan mengalami hal-hal aneh semenjak
ditinggalkan oleh ibunya yang meninggal dunia pada tahun 2013.
 Pasien memiliki riwayat gangguan mental sebelumnya dan beberapa kali
pernah dirawat di Rumah Sakit karena gangguan mental tersebut.
 Pasien meyakini bahwa banyak orang yang tidak senang dan iri jika
keluarga pasien dan pasien bahagia sehingga sampai ada yang mengirim
guna-guna / santet kepada keluarganya  idea of reference
 Pasien meyakini bahwa ada sesosok iblis yang berusaha untuk melukai
dan menyesatkan keluarga pasien dan selalu mengikuti pasien  Waham
persekutorik (Kejar)
 Pasien meyakini bahwa pasien meyakini bahwa iblis tersebut dapat masuk
ke raga tubuh orang di dekatnya berpindah-pindah atau secara bersamaan,
seperti keluarga dan teman pasien  Waham Bizzare
 Pasien meyakini dirinya mendapat mukjizat dari Allah SWT untuk dapat
berkomunikasi atau kontak batin, membaca hati orang lain, mengetahui
masa depan  Waham Kebesaran
 Pasien mendengar banyak suara bisikan yang sering mengajaknya
berbicara, mengomentarinya, dan menyuruh melakukan sesuatu 
Halusinasi Auditorik
 Pasien mengatakan dapat melihat sosok iblis yang mengikutinya tersebut
dan dapat menjelaskan seperti apa sosok tersebut  Halusinasi Visual
 Pasien memiliki masalah akhir-akhir ini yaitu perceraian.
 Saat pemeriksaan dilakukan pasien sudah lebih tenang, walaupun masih
menunjukkan perasaan yang sangat sensitif dan mudah menangis. Pasien
menjawab wawancara dengan perpindahan dari satu ide ke ide lain dan
disertai rincian yang berlebihan, perawatan diri cukup.
Saat pemeriksaan dilakukan tilikan pasien derajat 2, pasien sedikit menyadari bahwa
dirinya sakit dan butuh bantuan namun dalam waktu yang bersamaan juga
menyangkal bahwa ia sakit.

VI. FORMULA DIAGNOSTIK


1. Setelah wawancara, pasien ditemukan adanya sindroma atau perilaku dan
psikologi yang bermakna secara klinis dan menimbulkan penderitaan
(distress) dan ketidakmampuan/ hendaya (disability/impairment) dalam
fungsi serta aktivitasnya sehari-hari. Oleh karena itu dapat disimpulkan
bahwa pasien mengalami gangguan jiwa yang sesuai dengan definisi yang
tercantum dalam PPDGJ III.
2. Pasien ini tidak termasuk gangguan mental organik karena pasien pada
saat di periksa dalam keadaan sadar, tidak ada kelainan secara medis atau
fisik yang bermakna dan tidak adanya penurunan fungsi kognitif. (F0)
3. Pasien ini tidak termasuk dalam gangguan mental dan perilaku akibat
penggunaan zat karena pasien tidak mengkonsumsi rokok, alkohol dan zat
psikotropika. (F1)
4. Pasien ini termasuk dalam gangguan skizofrenia paranoid karena
didapatkan adanya gejala yang memenuhi kriteria umum diagnosis
skizofrenia yaitu adanya waham yang tidak wajar / mustahil (Waham
bizzare), Waham Kebesaran dan halusinasi auditorik dalam masa > 1
bulan. Waham dan halusinasi sangat menonjol dan terdapatnya waham
kejar (F2).
Susunan formulasi diagnostik ini berdasarkan dengan penemuan bermakna dengan
urutan untuk evaluasi multiaksial, seperti berikut:
 Aksis I (Gangguan Klinis dan Gangguan Lain yang Menjadi Fokus
Perhatian Klinis)
Berdasarkan riwayat perjalanan penyakit, pasien tidak pernah memiliki
riwayat trauma kepala, kejang, dan kelainan fisik yang bermakna. Pasien juga
tidak menggunakan zat psikoaktif. Sehingga gangguan mental dan perilaku
akibat gangguan mental organik dan penggunaan zat psikoaktif dapat
disingkirkan.
Berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa pasien mengalami gejala
Skizofrenia, dari hal tersebut, kriteria diagnostik menurut PPDGJ III pada
ikhtisar penemuan bermakna pasien digolongkan dalam F20.0 Skizofrenia
Paranoid.
 Aksis II (Gangguan Kepribadian dan Retardasi Mental)
Z03.2 Tidak ada diagnosis aksis II
 Aksis III (Kondisi Medis Umum)
Tidak ada diagnosis aksis III
 Aksis IV (Problem Psikososial dan Lingkungan)
- Masalah dengan primary support group (keluarga), yaitu pencetus
awalnya dikarenakan meninggalnya ibu kandung pasien, dan usaha
ayahnya yang gulung tikar. Pasien merasa kesepian dan merasa kurang
diperhatikan oleh keluarganya. Menghadapi perceraian, dan pasien juga
kurang akur dengan ibu tirinya.
 Aksis V (Penilaian Fungsi secara Global)
Penilaian kemampuan penyesuaian menggunakan skala Global Assement Of
Functioning (GAF) menurut PPDGJ III didapatkan GAF pada saat
pemeriksaan didapatkan 60 - 51 yaitu gejala sedang (moderate), disabilitas
sedang.
Evaluasi multiaksial
Aksis I : F20.0 Skizofrenia Paranoid
Aksis II : Z03.2 Tidak ada diagnosis aksis II
Aksis III : Tidak ada diagnosis aksis III
Aksis IV :Masalah primary support group (keluarga)
Aksis V : GAF 60-51

VII. DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja : F20.0 Gangguan Skizofrenia Paranoid
Dianosis Banding : F25 Gangguan Skizoafektif

VIII. PROGNOSIS
 Quo ad Vitam : Ad Bonam (tidak ada gangguan mental
organik)
 Quo ad Sanationam : Dubia ad malam
 Quo ad Fungsionam : Dubia ad malam
Prognosis tersebut mengacu pada :
1. Riwayat keluarga yaitu ibu kandung yang mengalami gangguan jiwa
2. Onset pada usia yang terbilang muda
3. Perilaku patuh minum obat yang buruk
4. Status janda yang ada pada pasien memiliki stigma tersendiri di
masyarakat, dan tidak adanya support dari pasangan tentang kondisi
kejiwaannya.
5. Riwayat sering dirawat di rumah sakit jiwa, menandakan pasien sering
kambuh.

IX. TERAPI
 Rawat Inap
Indikasi : Pasien mengamuk dan melempar barang-barang di rumah.
Mencegah kejadian merugikan atau mencelakai orang lain.
 Medikamentosa (Psikofarmaka)
Oral : Olanzapine 1 x 10 mg
Atypical antipsikotik kelas Dibenzodiazepin. Bersifat antipsikotik dan neuroleptic;
efektif dalam mengatasi gejala positif dan negative pada skizofrenia.
Obat ini digunakan untuk mengatasi gangguan mental seperti skizofrenia dan
gangguan bipolar pada pasien dewasa dan anak-anak yang berusia di atas 13 tahun.
Dengan merk dagang: Remital; Olandoz; Onzapin; Zyprexa; Zyprexa Zydis; Zyprexa
IM; Olandoz
 Non-medikamentosa
- Psikoedukasi
a. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang
dialami pasien, rencana terapi, efek samping pengobatan, dan
prognosis penyakit.
b. Mengingatkan pasien dan keluarga tentang pentingnya minum obat
sesuai aturan dan datang kontrol ke poli kejiwaan.
c. Menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa dukungan keluarga akan
membantu keadaan pasien.
- Psikoterapi
Suportif
a. Ventilasi : Pasien diberikan kesempatan untuk menceritakan
masalahnya.
b. Sugesti : Menanamkan kepada pasien bahwa gejala-gejala
gangguannya akan hilang atau dapat dikendalikan.
c. Reassurance : Memberitahukan kepada pasien bahwa minum obat
sangat penting untuk menghilangkan gejala.

Kognitif

a. Menerangkan tentang gejala penyakit pasien yang timbul akibat cara


berpikir yang salah, mengatasi perasaan, dan sikapnya terhadap
masalah yang dihadapi.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Skizofrenia Paranoid

Pengertian
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizein” yang berarti “terpisah”
atau “pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau
ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku. Secara umum, simptom
skizofrenia dapat dibagi menjadi tiga golongan: yaitu simptom positif, simptom
negative, dan gangguan dalam hubungan interpersonal.
Skizofrenia adalah suatu diskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum
diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau deteriorating) yang
luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik,
fisik dan sosial budaya (Hawari, 2003).
Skizofrenia adalah gangguan terhadap fungsi otak yang timbul akibat
ketidakseimbangan dopamine (salah satu sel kimia dalam otak), dan juga disebabkan
oleh tekanan yang dialami oleh individu. Merupakan gangguan jiwa psikotik paling
lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri
dari hubungan sosial. Sering kali diikuti dengan delusi / waham (keyakinan yang
salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang panca indra).
Skizofrenia paranoid adalah yang terbanyak dialami oleh penderita skizofrenia.
Terapi pada pasien ini bertujuan untuk mengembalikan fungsi sosial sehingga dapat
memiliki peran sosial di masyarakat. Adapun jenis farmakoterapi yang diberikan
harus melalui beberapa pertimbangan tertentu. Seperti pada kasus di atas pada pasien
skizofrenia paranoid diberikan Obat Antipsikotik Golongan II sebagai utama
pengobatannya.

Epidemiologi
DSM-IV-TR, insidensi tahunan skizofrenia antara 0,5-5,0/10.000 dengan
beberapa variasi geografik. Menyerang <1% populasi, biasanya bermula <25 tahun,
berlangsung seumur hidup, dan mengenai orang dari semua kelas sosial. Terjadi pada
15 - 20/100.000 individu per tahun, dengan risiko morbiditas 0,85% (pria/wanita) dan
kejadian puncak pada akhir masa remaja atau awal dewasa. Laki-laki memiliki onset
skizofrenia yang lebih awal daripada wanita; (Lk 15-25th, Pr 25-35th) Pria cenderung
mengalami hendaya akibat gejala negative. Wanita cenderung memiliki kemampuan
fungsi sosial yang lebih baik sebelum awitan penyakit. Hasil akhir pasien skizofrenia
wanita lebih baik dibandingkan pria.

Tinjauan Teori
1. Teori somatogenik
a. Keturunan
Telah dibuktikan dengan penelitian bahwa angka kesakitan bagi saudara tiri
0,9- 1,8%, bagi saudara kandung 7-15 %, bagi anak dengan salah satu orang
tua yang menderita Skizofrenia 40-68 %, kembar 2 telur 2-15 % dan kembar
satu telur 61-86 % (Maramis, 1998;215).
b. Endokrin
Teori ini dikemukakan berhubung dengan sering timbulnya Skizofrenia pada
waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium dan waktu klimakterium.,
tetapi teori ini tidak dapat dibuktikan.
c. Metabolisme
Teori ini didasarkan karena penderita Skizofrenia tampak pucat, tidak sehat,
ujung extremitas agak sianosis, nafsu makan berkurang dan berat badan
menurun serta pada penderita dengan stupor katatonik konsumsi zat asam
menurun. Hipotesa ini masih dalam pembuktian dengan pemberian obat
halusinogenik.
d. Susunan saraf pusat
Penyebab Skizofrenia diarahkan pada kelainan SSP yaitu pada diensefalon
atau kortek otak, tetapi kelainan patologis yang ditemukan mungkin
disebabkan oleh perubahan postmortem atau merupakan artefakt pada waktu
membuat sediaan.
2. Teori Psikogenik
a. Teori Adolf Meyer :
Skizofrenia tidak disebabkan oleh penyakit badaniah sebab hingga sekarang
tidak dapat ditemukan kelainan patologis anatomis atau fisiologis yang khas
pada SSP tetapi Meyer mengakui bahwa suatu suatu konstitusi yang inferior
atau penyakit badaniah dapat mempengaruhi timbulnya Skizofrenia. Menurut
Meyer Skizofrenia merupakan suatu reaksi yang salah, suatu maladaptasi,
sehingga timbul disorganisasi kepribadian dan lama kelamaan orang tersebut
menjauhkan diri dari kenyataan (otisme).
b. Teori Sigmund Freud
Pada Skizofrenia Paranoid terdapat:
1) Kelemahan ego, yang dapat timbul karena penyebab psikogenik ataupun
somatic
2) Superego dikesampingkan sehingga tidak bertenaga lagi dan Id yamg
berkuasa serta terjadi suatu regresi ke fase narsisisme
3) Kehilangaan kapasitas untuk pemindahan (transference) sehingga terapi
psikoanalitik tidak mungkin.
c. Eugen Bleuler
Penggunaan istilah Skizofrenia menonjolkan gejala utama penyakit ini yaitu
jiwa yang terpecah belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses
berfikir, perasaan dan perbuatan. Bleuler membagi gejala Skizofrenia menjadi 2
kelompok yaitu gejala primer (gangguan proses pikiran, gangguan emosi,
gangguan kemauan dan otisme) gejala sekunder (waham, halusinasi dan gejala
katatonik atau gangguan psikomotorik yang lain).
d. Teori lain
Skizofrenia sebagai suatu sindroma yang dapat disebabkan oleh bermacam-
macamsebab antara lain keturunan, pendidikan yang salah, maladaptasi, tekanan
jiwa, penyakit badaniah seperti lues otak, arterosklerosis otak dan penyakit lain
yang belumdiketahui.

Patofisiologi
Hipotesis dopamine pada gangguan psikosis serupa dengan penderita
skizofrenia adalah yang paling berkembang dari berbagai hipotesis, dan merupakan
dasar dari banyak terapi obat yang rasional. Hipotesis ini menyatakan bahwa
skizofrenia disebabkan oleh terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik. Beberapa bukti
yang terkait hal tersebut yaitu: (1) kebanyakan obat-obat antipsikosis menyekat
reseptor D2 pascasinaps di dalam sistem saraf pusat, terutama di sistem mesolimbik
frontal; (2) obat-obat yang meningkatkan aktifitas dopaminergik, seperti levodopa
(suatu precursor), amphetamine (perilis dopamine), atau apomorphine (suatu agonis
reseptor dopamine langsung), baik yang dapat mengakibatkan skizofrenia atau
psikosis pada beberapa pasien; (3) densitas reseptor dopamine telah terbukti,
postmortem, meningkat diotak pasien skizofrenia yang belum pernah dirawat dengan
obat-obat antipsikosis; (4) positron emission tomography (PET) menunjukkan
peningkatan densitas reseptor dopamine pada pasien skizofrenia yang dirawat atau
yang tidak dirawat, saat dibandingkan dengan hasil pemeriksaan PET pada orang
yang tidak menderita skizofrenia; dan (5) perawatan yang berhasil pada pasien
skizofrenia telah terbukti mengubah jumlah homovanilic acid (HVA), suatu metabolit
dopamine, di cairan serebrospinal, plasma, dan urine. Namun teori dasar tidak
menyebutkan hiperaktivitas dopaminergik apakah karena terlalu banyaknya pelepasan
dopaminergik, terlalu banyaknya reseptor dopaminergik atau kombinasi mekanisme
tersebut. Neuron dopaminergik di dalam jalur mesokortikal dan mesolimbik berjalan
dari badan selnya di otak tengah ke neuron dopaminoseptif di sistem limbik dan
korteks serebral (Trimble, 2010).

Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap individu.
Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi beberapa
fase yang dimulai dari keadaan:
a. Premorbid, merupakan tanda pertama penyakit skizofrenia, walaupun gejala
yang ada dikenali hanya secara retrospektif.
b. Prodromal, Tanda dan gejala prodromal skizofrenia dapat berupa cemas,
gundah (gelisah), merasa diteror atau depresi. gejala prodromal yang
berlangsung beberapa hari sampai beberapa bulan.
c. Fase aktif, ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara klinis, yaitu
adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan perilaku. Penilaian pasien
skizofrenia terhadap realita terganggu dan pemahaman diri (tilikan) buruk
sampai tidak ada.
d. Keadaan residual, ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala klinis
skizofrenia. Yang tinggal hanya satu atau dua gejala sisa yang tidak terlalu
nyata secara klinis, yaitu dapat berupa penarikan diri (withdrawal) dan
perilaku aneh

Penegakkan diagnosis
Pedoman Diagnostik Skizofrenia menurut PPDGJ-III, adalah sebagai berikut
(Maslim, 2003).:
 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a. “thought echo”, yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun
isinya sama, namun kualitasnya berbeda atau
“thought insertion or withdrawal” yang merupakan isi yang asing dan luar
masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar
oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
“thought broadcasting”, yaitu isi pikiranya tersiar keluar sehingga orang
lain atau umum mengetahuinya;
b. “delusion of control”, adalah waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar atau
“delusion of passivitiy” merupaka waham tentang dirinya tidak berdaya
dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” diartikan
secara jelas merujuk kepergerakan tubuh/anggota gerak atau ke pikiran,
tindakan, atau penginderaan khusus), atau
“delusional perception”yang merupakan pengalaman indrawi yang tidak
wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik
atau mukjizat.
c. Halusinasi auditorik yang didefinisikan dalam 3 kondisi dibawah ini:
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien, atau
- Mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka sendiri
(diantara berbagai suara yang berbicara), atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di
atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau
berkomunikasi dengan mahluk asing dan dunia lain).

 Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas
:
. Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan
(over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu minggu atau berbulan-bulan terus menerus;
a. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan, atau neologisme;
b. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme,
dan stupor;
c. Gejala-gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang,
dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya
kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
e. Adanya gejala-gejala khas di atas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
(prodromal)
f. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi
(personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak
bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self-
absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.
* adapun gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal);
* Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak
berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitute), dan
penarikan diri secara sosial.

Berdasarkan PPDGJI-III, pedoman diagnostik skizofrenia paranoid (F20.0),


yaitu :
• Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
• Sebagai tambahan :
• Halusinasi dan/atau waham harus menonjol
– Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah,
atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit
(whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing);
– Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau
lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang
menonjol;
– Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan
(delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau
“passivity” (delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang
beraneka ragam, adalah yang paling khas
– Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol

Adapun kriteria diagnosis skizofrenia menurut DSM IV adalah :


A. Gejala-gejala yang khas :
2 atau lebih dari gejala berikut yang bermakna dalam periode 1 bulan (atau
kurang jika berhasil diterapi):
 waham.
 halusinasi.
 pembicaraan yang janggal (mis. Sering derailment atau incohorensia).
 perilaku janggal atau katatonik
 adanya gejala negatif (spt afek datar,alogia,abulia).
Cat. : Hanya satu dari kriteria A yang diperlukan jika waham-nya janggal atau
jika halusinasinya berupa suara yang terus menerus mengomentari tingkah laku
atau pikiran yang bersangkutan atau berisi 2 (atau lebih) suara-suara yang saling
bercakap-cakap.

B. Disfungsi sosial atau pekerjaan:


1 atau lebih dari area fungsional utama menunjukkan penurunan nyata di
bawah tingkat yang dicapai sebelum onset dalam suatu rentang waktu yang
bermakna sejak onset gangguan (atau bila onset pada masa anak-anak atau
remaja terdapat kegagalan pencapaian tingkat interpersonal, akademik atau
okupasi lainnya) seperti pekerjaan, hubungan interpersonal atau perawatan
diri.
.
C. Durasi:
Tanda-tanda gangguan terus berlanjut dan menetap sedikitnya 6 bulan.
Periode 6 bulan ini meliputi 1 bulan gejala-gejala fase aktif yang memenuhi
kriteria A (atau kurang bila berhasil diterapi) dan dapat juga mencakup fase
prodromal atau residual. Selama berlangsung. fase prodormal atau residual ini,
tanda-tanda gangguan dapat bermanifestasi hanya sebagai gejala-gejala
negatif saja atau lebih dariatau=2 dari gejala-gejala dalam kriteria A dalam
bentuk yang lebih ringan (seperti kepercayaan –kepercayaan ganjil,
pengalaman perseptual yang tidak biasa).

D. Penyingkiran skizofektif dan gangguan mood:


Gangguan skizoafektif dan mood dengan gambaran psikotik
dikesampingkan karena : (1) tidak ada episode depresi, mania atau campuran
keduanya yang terjadi bersamaan dengan gejala-gelala fase aktif, (2) jika
episode mood terjadi intra fase aktif maka perlangsungannya relatif singkat
dibanding periode fase aktif dan residual.

E. Penyingkiran kondisi medis dan zat:


Gangguan ini bukan disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu
zat (seperti obat-obatan medikasi atau yang disalah gunakan) atau oleh suatu
kondisi medis umum.

F. Hubungan dengan suatu gangguan perkembangan pervasif:


Jika terdapat riwayat autistik atau gangguan pervasif lainnya maka
tambahan diagnosa skizofernia hanya dibuat bila juga terdapat delusi atau
halusinasi yang menonjol dalam waktu sedikitnya 1 bulan (atau kurang jika
berhasil diterapi).

Penatalaksanaan

Pengobatan harus secepat mungkin, karena keadaan psikotik yang lama


menimbulkan kemungkinan lebih besar penderita menuju ke kemunduran mental.

A. Farmakoterapi
Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah untuk
mengendalikan gejala aktif dan mencegah kekambuhan. Obat antipsikotik
mencakup dua kelas utama: antagonis reseptor dopamin, dan antagonis serotonin-
dopamin.

Antagonis Reseptor Dopamin


Antagonis reseptor dopamin efektif dalam penanganan skizofrenia, terutama
terhadap gejala positif. Obat-obatan ini memiliki dua kekurangan utama.
Pertama, hanya presentase kecil pasien yang cukup terbantu untuk dapat
memulihkan fungsi mental normal secara bermakna. Kedua, antagonis reseptor
dopamin dikaitkan dengan efek samping yang mengganggu dan serius. Efek yang
paling sering mengganggu aalah akatisia adan gejala lir-parkinsonian berupa
rigiditas dan tremor. Efek potensial serius mencakup diskinesia tarda dan
sindrom neuroleptik maligna.

Antagonis Serotonin-Dopamin
SDA menimbulkan gejala ekstrapiramidal ayng minimal atau tidak ada,
berinteraksi dengan subtipe reseptor dopamin yang berbeda di banding
antipsikotik standar, dan mempengaruhi baik reseptor serotonin maupun
glutamat. Obat ini juga menghasilkan efek samping neurologis dan
endokrinologis yang lebih sedikit serta lebih efektif dalam menangani gejala
negatif skizofrenia. Obat yang juga disebut sebagai obat antipsikotik atipikal ini
tampaknya efektif untuk pasien skizofrenia dalam kisaran yang lebih luas
dibanding agen antipsikotik antagonis reseptor dopamin yang tipikal. Golongan
ini setidaknya sama efektifnya dengan haloperidol untuk gejala positif
skizofrenia, secara unik efektif untuk gejala negatif, dan lebih sedikit, bila ada,
menyebabkan gejala ekstrapiramidal. Beberapa SDA yang telah disetujui di
antaranya adalah klozapin, risperidon, olanzapin, sertindol, kuetiapin, dan
ziprasidon. Obat-obat ini tampaknya akan menggantikan antagonis reseptor
dopamin, sebagai obat lini pertama untuk penanganan skizofrenia.
Pada kasus sukar disembuhkan, klozapin digunakan sebagai agen
antipsikotik, pada subtipe manik, kombinasi untuk menstabilkan mood ditambah
penggunaan antipsikotik. Pada banyak pengobatan, kombinasi ini digunakan
mengobati keadaan skizofrenia

Kategori obat: Antipsikotik – memperbaiki psikosis dan kelakuan agresif.


Nama Obat
Haloperidol Untuk manajemen psikosis. Juga untuk saraf motor dan suara pada
(Haldol) anak dan orang dewasa. Mekanisme tidak secara jelas ditentukan,
tetapi diseleksi oleh competively blocking postsynaptic dopamine
(D2) reseptor dalam sistem mesolimbic dopaminergic; meningkatnya
dopamine turnover untuk efek tranquilizing. Dengan terapi subkronik,
depolarization dan D2 postsynaptic dapat memblokir aksi antipsikotik.
Risperidone Monoaminergic selective mengikat lawan reseptor D2 dopamine
(Risperdal) selama 20 menit, lebih rendah afinitasnya dibandingkan reseptor 5-
HT2. Juga mengikat reseptor alpha1-adrenergic dengan afinitas lebih
rendah dari H1-histaminergic dan reseptor alpha2-adrenergic.
Memperbaiki gejala negatif pada psikosis dan menurunkan kejadian
pada efek ekstrpiramidal.
Olanzapine Antipsikotik atipikal dengan profil farmakologis yang melintasi sistem
(Zyprexa) reseptor (seperti serotonin, dopamine, kolinergik, muskarinik, alpha
adrenergik, histamine). Efek antipsikotik dari perlawanan dopamine
dan reseptor serotonin tipe-2. Diindikasikan untuk pengobatan
psikosis dan gangguan bipolar.
Clozapine Reseptor D2 dan reseptor D1 memblokir aktifitas, tetapi
(Clozaril) nonadrenolitik, antikolinergik, antihistamin, dan reaksi arousal
menghambat efek signifikan. Tepatnya antiserotonin. Resiko
terbatasnya penggunaan agranulositosis pada pasien nonresponsive
atau agen neuroleptik klasik tidak bertoleransi.
Quetiapine Antipsikotik terbaru untuk penyembuhan jangka panjang. Mampu
(Seroquel) melawan efek dopamine dan serotonin. Perbaikan lebih awal
antipsikotik termasuk efek antikolinergik dan kurangnya distonia,
parkinsonism, dan tardive diskinesia.
Aripiprazole Memperbaiki gejala positif dan negatif skizofrenia. Mekanisme
(Abilify) kerjanya belum diketahui, tetapi hipotesisnya berbeda dari antipsikotik
lainnya. Aripiprazole menimbulkan partial dopamine (D2) dan
serotonin (5HT1A) agonis, dan antagonis serotonin (5HT2A).

Nama Obat Sediaan Dosis Anjuran


Haloperidol (Haldol) Tab. 2 – 5 mg 5 – 15 mg/hari
Risperidone (Risperdal) Tab. 1 – 2 – 3 mg 2 – 6 mg/hari
Olanzapine (Zyprexa) Tab. 5 – 10 mg 10 – 20 mg/hari
Clozapine (Clozaril) Tab. 25 – 100 mg 25 – 100 mg/hari
Quetiapine (Seroquel) Tab. 25 – 100 mg
50 – 400 mg/hari
200 mg
Aripiprazole (Abilify) Tab. 10 – 15 mg 10 – 15 mg/hari

Profil Efek Samping


Efek samping obat anti-psikosis dapat berupa:
 Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang,
kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun).
 Gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik: mulut kering,
kesulitan miksi&defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler
meninggi, gangguan irama jantung).
 Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut,akathisia, sindrom parkinson: tremor,
bradikinesia, rigiditas).
 Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia), metabolik (jaundice),
hematologik (agranulocytosis), biasanya pada pemakaian panjang.
Efek samping ini ada yang dapat di tolerir pasien, ada yang lambat, ada yang
sampai membutuhkan obat simptomatik untuk meringankan penderitaan pasien.
Efek samping dapat juga irreversible : Tardive dyskinesia (gerakan berulang
involunter pada: lidah, wajah, mulut/rahang, dan anggota gerak, dimana pada
waktu tidur gejala tersebut menghilang). Biasanya terjadi pada pemakaian jangka
panjang (terapi pemeliharaan) dan pada pasien usia lanjut. Efek samping ini tidak
berkaitan dengan dosis obat anti-psikosis.
Pada penggunaan obat anti-psikosis jangka panjang, secara periodik harus
dilakukan pemeriksaan laboratorium: darah rutin, urin lengkap, fungsi hati, fungsi
ginjal, untuk deteksi dini perubahan akibat efek samping obat. Obat anti-psikosis
hampir tidak pernah menimbulkan kematian sebagai akibat overdosis atau untuk
bunuh diri. Namun demikian untuk menghindari akibat yang kurang
menguntungkan sebaiknya dilakukan “lacage lambung” bila obat belum lama
dimakan.

b. SKIZOAFEKTIF

DEFINISI
Skizoafektif adalah kelainan mental yang ditandai adanya kombinasi gejala
skizofrenia (gangguan berpikir, delusi dan halusinasi) dan gejala afektif (gajala
depresif atau manik).
Gangguan Skizoafektif mempunyai gambaran baik skizofrenia
maupun gangguan afektif. Gangguan skizoafektif memiliki gejala khas
skizofrenia yang jelas dan pada saat bersamaan juga memiliki gejala
gangguan afektif yang menonjol. Gangguan skizoafektif terbagi dua yaitu,
tipe manik dan tipe depresif.

EPIDEMIOLOGI
Prevalensi seumur hidup gangguan skizoafektif kurang dari 1%,
mungkin berkisar antara 0,5% – 0,8%. Tetapi gambaran tersebut masih
merupakan perkiraan. Gangguan skizoafektif tipe depresif mungkin lebih
sering terjadi pada orang tua daripada orang muda, prevalensi gangguan
tersebut dilaporkan lebih rendah pada laki -laki dibanding perempuan,
terutama perempuan menikah. Usia awitan perempuan lebih lanjut
daripada laki-laki, seperti pada skizofrenia. Laki -laki dengan gangguan
skizoafektif mungkin memperlihatkan perilaku antisosial dan
mempuinyai afek tumpul yang nyata atau tidak sesuai. National comorbidity
study : 66 orang yang di diagnosa skizofrenia, 81% pernah didiagnosa gangguan
afektif yang terdiri dari 59% depresi dan 22% gangguan bipolar .

ETIOLOGI
Sulit untuk menentukan penyebab penyakit yang telah berubah begitu banyak
dari waktu ke waktu. Dugaan saat ini bahwa penyebab gangguan skizoafektif
mungkin mirip dengan etiologi skizofrenia. Oleh karena itu teori etiologi mengenai
gangguan skizoafektif juga mencakup kausa genetik dan lingkungan.
Penyebab gangguan skizoafektif adalah tidak diketahui, tetapi empat model
konseptual telah diajukan :
1. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe skizofrenia atau suatu
tipe gangguan mood
2. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan ekspresi bersama-sama dari
skizofrenia dan gangguan mood
3. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe psikosis ketiga yang
berbeda, tipe yang tidak berhubungan dengan skizofrenia maupun suatu
gangguan mood
4. Kemungkinan terbesar adalah bahwa gangguan skizoafektif adalah kelompok
gangguan yang heterogen yang meliputi semua tiga kemungkinan yang
pertama.

Penelitian yang dilakukan untuk menggali kemungkinan-kemungkinan tersebut telah


memeriksa riwayat keluarga, petanda biologis, respon pengobatan jangka pendek, dan
hasil akhir jangka panjang.
Walaupun banyak pemeriksaan terhadap keluarga dan genetika yang
dilakukan untuk mempelajari gangguan skizoafektif didasarkan pada anggapan bahwa
skizofrenia dan gangguan mood adalah keadaan yang terpisah sama sekali, namun
beberapa data menyatakan bahwa skizofrenia dan gangguan mood mungkin
berhubungan secara genetic. Beberapa kebingungan yang timbul dalam penelitian
keluarga pada pasien dengan gangguan skizoafektif dapat mencerminkan perbedaan
yang tidak absolute antara dua gangguan primer. Dengan demikian tidak mengejutkan
bahwa penelitian terhadap sanak saudara pasien dengan gangguan skizoafektif telah
melaporkan hasil yang tidak konsisten. Peningkatan prevalensi skizofrenia tidak
ditemukan diantara sank saudara pasien yang pasien dengan skizoafektif, tipe bipolar;
tetapi, sanak saudara pasien dengan gangguan skizoafektif, tipe depresif, mungkin
berada dalam resiko yang lebih tinggi menderita skizofrenia daripada suatu gangguan
mood.

MANISFESTASI KLINIS
Pada gangguan Skizoafektif gejala klinis berupa gangguan episodik
gejala gangguan mood maupun gejala skizofreniknya menonjol dalam
episode penyakit yang sama, baik secara simultan atau secara bergantian
dalam beberapa hari. Bila gejala skizofrenik d an manik menonjol pada
episode penyakit yang sama, gangguan disebut gangguan skizoafektif tipe
manik. Dan pada gangguan skizoafektif tipe depresif, gejala depresif
yang menonjol.
Gejala yang khas pada pasien skizofrenik berupa waham, halusinasi,
perubahan dalam berpikir, perubahan dalam persepsi disertai dengan
gejala gangguan suasana perasaan baik itu manik maupun depresif.

Gejala klinis berdasarkan pedoman penggolongan dan diagnosis


gangguan jiwa (PPDGJ-III):
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan
biasanya dua gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau
kurang jelas):

a) - “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau


bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda ; atau

- “thought insertion or withdrawal” = isi yang asing dan luar masuk


ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar
oleh sesuatu dari luar dirinya ( withdrawal); dan

- “thought broadcasting”= isi pikirannya tersiar keluar sehingga


orang lain atau umum mengetahuinya;

b) - “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh


suatu kekuatan tertentu dari luar; atau

- “delusion of passivitiy” = waham tentang dirinya tidak b erdaya dan


pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” = secara
jelas merujuk kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke pikiran,
tindakan, atau penginderaan khusus)

- “delusional perception” = pengalaman indrawi yang tidak wajar,


yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik
atau mukjizat;

c) Halusinasi Auditorik:

- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap


perilaku pasien, atau

- Mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka sendiri


(diantara berbagai suara yang berbicara), atau

- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian
tubuh.

d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya


setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya
perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan
kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan
cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dan dunia lain)
Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada
secara jelas:

a. Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai


baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah
berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh
ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila
terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau berbulan -bulan
terus menerus;
b. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang
tidak relevan, atau neologisme;
c. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement),
posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea,
negativisme, mutisme, dan stupor;
d. Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang,
dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar , biasanya
yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan
menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;

Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama


kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase
nonpsikotik (prodromal). Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan
bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek
perilaku pribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya
minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu sikap larut dalam diri
sendiri (self-absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial.

DIAGNOSIS

Karena konsep gangguan skizoafektif melibatkan konsep diagnostik baik


skizofrenia maupun gangguan mood, beberapa evolusi dalam kriteria diagnostik
untuk gangguan skizoafektif mencerminkan perubahan yang telah terjadi di dalam
kriteria diagnostik untuk kedua kondisi lain.
Kriteria diagnostik utama untuk gangguan skizoafektif (Tabel 1) adalah bahwa
pasien telah memenuhi kriteria diagnostik untuk episode depresif berat atau episode
manik yang bersama-sama dengan ditemukannya kriteria diagnostik untuk fase aktif
dari skizofrenia. Di samping itu, pasien harus memiliki waham atau halusinasi selama
sekurangnya dua minggu tanpa adanya gejala gangguan mood yang menonjol. Gejala
gangguan mood juga harus diteukan untuk sebagian besar periode psikotik aktif dan
residual. Pada intinya, kriteria dituliskan untuk membantu klinisi menghindari
mendiagnosis suatu gangguan mood dengan ciri psikotik sebagai suatu gangguan
skizoafektif.
Tabel 1. Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Skizoafektif (DSM-IV)

Kriteria Diagnostik Untuk Gangguan Skizoafektif


A. Suatu periode penyakit yang tidak terputus selama mana, pada suatu waktu.
Terdapat baik episode depresif berat, episode manik, atau suatu episode
campuran dengan gejala yang memenuhi kriteria A untuk skizofrenia.
Catatan: Episode depresif berat harus termasuk kriteria A1: mood terdepresi.
B. Selama periode penyakit yang sama, terdapat waham atau halusinasi selama
sekurangnya 2 minggu tanpa adanya gejala mood yang menonjol.
C. Gejala yang memenuhi kriteria untuk episode mood ditemukan untuk sebagian
bermakna dari lama total periode aktif dan residual dari penyakit.
D. Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat
yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis umum.
Sebutkan tipe:
Tipe bipolar: jika gangguan termasuk suatu episode manik atau campuran (atau suatu
manik suatu episode campuran dan episode depresif berat)
Tipe depresif: jika gangguan hanya termasuk episode depresif berat.
Tabel dari DSM-IV, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. Ed. 4.
Hak cipta American Psychiatric Association. Washington. 1994.

DSM-IV juga membantu klinisi untuk menentukan apakah pasien menderita


gangguan skizoafektif, tipe bipolar, atau gangguan skizoafektif, tipe depresif. Seorang
pasien diklasifikasikan menderita tipe bipolar jika episode yang ada adalah dari tipe
manik atau suatu episode campuran dan episode depresif berat. Selain itu, pasien
diklasifikasikan menderita tipe depresif.
Pada PPDGJ-III, gangguan skizoafektif diberikan kategori yang terpisah
karena cukup sering dijumpai sehingga tidak dapat diabaikan begitu saja. Kondisi-
kondisi lain dengan gejala-gejala afektif saling bertumpang tindih dengan atau
membentuk sebagian penyakit skizofrenik yang sudah ada, atau di mana gejala-gejala
itu berada bersama-sama atau secara bergantian dengan gangguan-gangguan waham
menetap jenis lain, diklasifikasikan dalam kategori yang sesuai dalam F20-F29.
Waham atau halusinasi yang tak serasi dengan suasana perasaan (mood) pada
gangguan afektif tidak dengan sendirinya menyokong diagnosis gangguan
skizoafektif.

Tabel 2. Pedoman Diagnostik Gangguan Skizoafektif berdasarkan PPDGJ-III


 Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala definitif
adanya skizofrenia dan gangguan skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama
menonjol pada saat yang bersamaan (simultaneously), atau dalam beberapa hari
yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode penyakit yang sama, dan
bilamana, sebagai konsekuensi dari ini, episode penyakit tidak memenuhi
kriteria baik skizofrenia maupun episode manik atau depresif.
 Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gejala skizofrenia dan
gangguan afektif tetapi dalam episode penyaki yang berbeda.
 Bila seorang pasien skizofrenik menunjukkan gejala depresif setelah mengalami
suatu episode psikotik, diberi kode diagnosis F20.4 (Depresi Pasca-skizofrenia)
Beberapa pasien dapat mengalami episode skizoafektif berulang, baik berjenis
manik (F25.0) maupun depresif (F25.1) atau campuran dari keduanya (F25.2).
Pasien lain mengalami satu atau dua episode manik atau depresif (F30-F33)
Menurut PPDGJ-III :
F25.0 Gangguan skizoafektif tipe manic
Pedoman Diagnostik
 Kategori ini digunakan baik untuk episode skizoafektif tipe manic yang
tunggal maupun untuk gangguan berulang dengan sebagian besar episode
skizoafektif tipe manic.
 Afek harus meningkat secara menonjol atau ada peningkatan afek yang tak
begitu menonjol dikombinasi dengan iritabilitas atau kegelisahan yang
memuncak.
 Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu, atau lebih baik lagi
dua, gejala skizofrenia yang khas (sebagaimana ditetapkan untuk skizofrenia,
F20.-pedoman diagnostic (a) sampai (d).
F 25.1 Skizoafektif tipe depresif
Pedoman diagnostik
 Kategori ini harus dipakai baik untuk episode skizoafektif tipe depresif yang
tunggal, dan untuk gangguan berulang dimana sebagian besar di dominasi oleh
skizoafektif tipe depresif.
 Afek depresif harus menonjol, disertai oleh sedikitnya 2 gejala khas, baik
depresif maupun kelainan prilaku terkait seperti tercantum dalam uraian untuk
episode depresif (F 32)
 Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu, atau lebih baik lagi
dua, gejala skizofrenia yang khas (sebagaimana ditetapkan untuk skizofrenia,
F20.-pedoman diagnostic (a) sampai (d).

F25.2 Gangguan Skizoafektif Tipe Campuran


 Gangguan dengan gejala-gejala skizofrenia (F20.-) berada secara bersama-
sama dengan gejala-gejala afektif bipolar campuran (F31.6)
F25.8 Gangguan Skizoafektif Lainnya
F25.9 Gangguan Skizoafektif YTT

PROGNOSIS
Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif mempunyai
prognosis di pertengahan antara prognosis pasien dengan skizofrenia dan pasien
dengan gangguan mood. Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan
skizoafektif mempunyai prognosis yang jauh lebih buruk dibandingkan pasien dengan
gangguan depresif, memiliki prognosis yang lebih buruk dari pasien dengan gangguan
bipolar, dan memiliki prognosis yang lebih baik daripada pasien dengan skizofrenia.
Generalitas tersebut telah didukung oleh beberapa penelitian yang mngikuti pasien
selama dua sampai lima tahun setelah episode yang ditunjuk dan yang menilai fungsi
sosial dan pekerjaan, dan juga perjalanan gangguan itu sendiri.
Data menunjukkan bahwa pasien dengan gangguan skizoafektif, tipe bipolar,
mempunyai prognosis yang mirip dengan pasien dengan gangguan bipolar I dan
bahwa pasien dengan gangguan pramorbid yang buruk; onset yang perlahan-perlahan;
tidak ada factor pencetus; menonjolnya gejala psikotik, khususnya gejala deficit atau
gejala negative; onset yang awal; perjalanan yang tidak mengalami remisi; dan
riwayat keluarga adanya skizofrenia. Lawan dari masing-masing karakteristik tersebut
mengarah pada hasil akhir yang baik. Adanya atau tidak adanya gejala urutan pertama
dari Scheneider tampaknya tidak meramalkan perjalanan penyakit.
PENATALAKSANAAN
Modalitas terapi yang utama untuk gangguan skizoafektif adalah
perawatan di rumah sakit, medikasi, dan intervensi psikososial.

• Terapi kognitif (Cognitive Behavioral Therapy) dengan


megembangkan cara berpikir alternatid, fleksibel, dan positif serta
melatih kembalirespon kognitif dan pikiran yang baru.
• Psikoedukasi terhadap pasien jika kondisi sudah membaik:
- Pengenalan terhadap penyakit, manfaat pengobatan, cara pengobotan,
efek samping pengobatan.
- Memotivasi pasien agar minum obat secara teratur dan rajin kontrol
setelah pulang dari perawatan.
- Menggali kemampuan pasien yang bisa dikembangkan.

A. Pengobatan Psikososial
Pasien dapat terbantu dengan kombinasi terapi keluarga, latihan
keterampilan sosial, dan rehabilitasi kognitif. Oleh karena bidang
psikiatri sulit memutuskan diagnosis dan prognosis gangguan skizoafektif
yang sebenarnya, ketidakpastian tersebut harus dijelaskan kepada pasien.
Kisaran gejala mungkin sangat luas, karena pasien mengal amaikeadaan
psikosis dan variasi kondisi mood yang terus berlangsung. Anggota
keluarga dapat mengalami kesulitan untuk menghadapi perubahan sifat
dan kebutuhan pasien tersebut. 1

B. Pengobatan Farmakoterapi
Prinsip dasar yang mendasari farmakoterapi untuk gan gguan
skizoafektif adalah dengan pemberian antipsikotik disertai dengan
pemberian antimanik atau antidepresan. Pemberian obat antipsikotik
diberikan jika perlu dan untuk pengendalian jangka pendek.
Pasien dengan gangguan skizoafektif tipe manik dapat diber ikan
farmakoterapi berupa lithium carbonate, carbamazepine (tegretol),
valproate (Depakene), ataupun kombinasi dari obat anti mania jika satu
obat saja tidak efektif. Sedangkan pasien dengan gannguan skizoafektif
tipe depresif dapat diberikan antidepresan. Pemilihan obat antidepresan
memperhatikan kegagalan atau keberhasilan antidepresan sebelumnya.
Inhibitor reuptake serotonin selektif (SSRI) sering digunakan sebagai
agen lini pertama, namun pasien teragitasi atau insomnia dapat
disembuhkan dengan antidepresan trisiklik. Apabila pengobatan dengan
antidepresan tidak efektif dapat dicoba dengan terapi elektrokonvulsif.
Pemantauan laboratorium terhadap konsentrasi obat dalam plasma
dan tes fungsi ginjal, tiroid, dan fungsi hematologik harus dilakukan
secara berkala.
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association (2013) Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders, 5th Edition,. Washington DC: American Psychiatry Association.
Andreasen, N,C., Carpenter, M.T., Kane, J.M.,Lasser, R.A.,Marder, S.R.,
Weinberger, D.R. 2005. Remission in Schizophrenia: Proposed Criteria and
Rationale for Consensus. Am J Psychiatry. 162:441–449.
Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010. Buku Ajar Psikiatri. Badan
Penerbit FK UI. Jakarta pp. 230-234.
Maslim, Rusdi. 2003. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ – III. Jakarta: Nuh Jaya.
Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P (2015) Synopsis of psychiatry: Behavioral sciences
and clinical psychiatry 10th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.
World Health Organization (1996) Psychosocial Rehabilitation : A Concensus
Statement. WHO, Geneva

Vous aimerez peut-être aussi