Vous êtes sur la page 1sur 14

BAB I

PENDAHULUAN

Kanker serviks merupakan kanker ginekologi yang paling sering terjadi pada
wanita, penyebab utamanya adalah adanya infeksi virus, yaitu oleh human
papilloma virus (HPV) terutama pada tipe 16 dan 18. Infeksi ini terjadi pada
transformasi c sel epitel serviks, pada mulanya terjadi lesi pre kanker kemudian
menjadi frank cancer (Hyacinth et al., 2012).
World Health Organization (WHO) pada tahun 2012 menyatakan bahwa kanker
merupakan penyakit tidak menular yang mengakibatkan kematian terbanyak di
dunia. Dalam hal ini kanker menempati urutan nomor dua penyakit mematikan
setelah penyakit jantung dan pembuluh darah. Setiap tahunnya terdapat 12 juta
penderita kanker serviks dan 7,6 juta jiwa diantaranya meninggal dunia (Depkes,
2012).
Globacan yang merupakan salah satu proyek dari International Agency for
Reasearch on Cancer (IARC) yang juga melaporkan pada tahun 2008, bahwa
kanker serviks menempati urutan kedua setelah kanker payudara. Dengan
kejadian rata-rata 15 per 100.000 wanita, dan sebesar 7,8 % per tahun meninggal
dunia akibat kanker serviks pada seluruh wanita di dunia (Globocan, 2012).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 menunjukkan jumlah wanita
Indonesia yang berusia 30-50 tahun sejumlah 35.950.765 orang. Sampai dengan
tahun 2012 dari 575.503 orang telah melakukan skrining inspeksi visual asam
asetat (IVA), terdapat 25.805 orang dengan hasil IVA positif (Depkes, 2012).
Kanker serviks hingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan yang terjadi
dengan angka kejadian dan kematian yang semakin tinggi di Indonesia.
Keterlambatan diagnosis pada stadium lanjut dan keadaan umum yang lemah,
serta lemahnya status sosial ekonomi yang terjadi pada sebagian besar pengidap
kanker serviks mempengaruhi prognosis dari penderita kanker serviks. Tinggi
rendahnya prognosis pada penderita kanker serviks juga dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan dan kurangnya pengetahuan mengenai kanker serviks yang sebenarnya
dapat dideteksi secara dini sebagai tindakan preventive bagi wanita yang telah
aktif dalam aktivitas seksual seperti menggunakan Pap Smears dan inspeksi visual
asetat (IVA) (Rasjidi dan Sulistiyanto, 2008 ; Rositch et al., 2012).
Dinas kesehatan Provinsi Jawa Tengah melalui profil kesehatan provinsi Jawa
Tengah tahun 2012 melaporkan bahwa kanker serviks merupakan satu dari lima
jenis kanker yang banyak diderita oleh penduduk Indonesia. Lima jenis kanker
yang banyak diderita oleh penduduk Indonesia adalah kanker serviks, kanker
payudara, kanker rektum, kanker kelenjar getah bening, kanker kulit. Pada tahun
2012 kasus penyakit kanker serviks sebesar 2.259 (19,92 %) kasus dari total kasus
kanker yaitu sebesar 11.341 kasus.
Faktor resiko yang berpengaruh terhadap terjadinya kanker serviks adalah
aktivitas seksual pada usia dini (< 16 tahun), memiliki banyak partner sexual,
penderita HIV ataupun, seseorang yang selain terinfeksi HPV juga mengalami
penekanan kekebalan (immunosuppression) dan wanita perokok aktif
(Prawirohardjo, 2011).
Terbukti berdasarkan data Riskesdas 2007, prevalensi merokok di Indonesia
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah prevalensi merokok yang semakin
tinggi akan menambah besar resiko untuk terkena kanker serviks. Sebanyak 35,4
% pada penduduk berumur >15 tahun diketahui sebagai perokok aktif (65,3 %
laki-laki dan 5,6 % wanita), yang artinya terdapat 2 diantara 3 laki-laki adalah
perokok aktif (Depkes, 2012).
Faktor resiko yang berhubungan dengan kanker serviks selain merokok adalah
penderita HIV. Data dari Departemen Kesehatan pada profil kesehatan provinsi
jawa tengah tahun 2012, bahwa terdapat 607 kasus infeksi HIV. Sedangkan untuk
kasus AIDS sebanyak 797 kasus dan jumlah kematian AIDS di Jawa Tengah
mencapai 149 kasus pada tahun 2012, lebih banyak dibanding tahun 2011 (89
kasus).
Data dari hasil penelitian yang dilakukan Eka Setyarini (2009) pada pasien rawat
jalan poli obsgyn Rumah Sakit Dokter Moewardi (48 responden) , diketahui
bahawa kanker leher rahim menyerang sebagian besar responden berusia >35
tahun yaitu sebanyak 21 responden, 14 responden yang menggunakan kontrasepsi
oral dalam jangka waktu >4 tahun, 21 responden yang melakukan aktivitas
seksual petama kali pada usia ≤ 20 tahun serta 22 responden dengan paritas >3
kali ( 20 % ).
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Kanker Serviks


Kanker leher rahim (Kanker Serviks) adalah tumor ganas yang tumbuh di dalam
leher rahim/serviks (bagian terendah rahim yang menempel pada puncak vagina).
Kanker serviks adalah penyakit akibat tumor ganas pada daerah mulut rahim
sebagai akibat dari adanya pertumbuhan jaringan yang tidak terkontrol dan
merusak jaringan normal disekitarnya . (FKUI, 1990;FKPP, 1997)
Kanker Serviks adalah pertumbuhan sel-sel mulut rahim/serviks yang abnormal
dimana sel-sel ini mengalami perubahan kearah displasia atau mengarah
keganasan. Kanker ini hanya menyerang wanita yang pernah atau sekarang dalam
status sexually active. Tidak pernah ditemukan wanita yang belum pernah
melakukan hubungan seksual pernah menderita kanker ini. Biasanya kanker ini
menyerang wanita yang telah berumur, terutama paling banyak pada wanita yang
berusia 35-55 tahun. Akan tetapi, tidak mustahil wanita yang mudapun dapat
menderita penyakit ini, asalkan memiliki factor risikonya.3

2.2 Epidemiologi Kanker Serviks


Kanker Serviks biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. 90% dari Kanker
serviks berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal
dari sel kelenjar penghasil lender pada saluran servikal yang menuju ke dalam
rahim. Hingga saat ini kanker serviks merupakan penyebab kematian terbanyak
akibat penyakitkanker di Negara berkembang. Sesungguhnya penyakit ini dapat
dicegah bila program skrining sitologi dan pelayanan kesehatan diperbaiki.
Diperkirakan setiap tahun dijumpai sekitar 500.000 penderita baru di seluruh
dunia dan umumnya terjadi di negara berkembang. Menurut Synder (1976)
Kanker serviks umumnya ditemukan pada usia muda setelah hubungan seks
pertama terjadi. Selang waktu antara hubungan seks pertama dengan ditemukan
NIS (Neoplasma Intraepitel Serviks) adalah 2-33 tahun. Sedangkan menurut
Cuppleson LW dan Brown B (1975) menyebutkan bahwa NIS akan berkembang
sesuai dengan pertambahan usia, sehingga NIS pada usia lebih dari 50 tahun
sudah sedikit dan kanker infiltrative meningkat 2x. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan di RSCM Jakarta tahun 1997-1998 ditemukan bahwa stadium IB-IIB
sering terdapat pada kelompok umur 35-44 tahun, sedangkan stadium IIB sering
didapatkan pada kelompok umur 45-54 tahun.

2.3 Patofisiologi Kanker Serviks


1. Kanker serviks terjadi jika sel-sel serviks menjadi abnormal dan membelah
secara tak terkendali. 90% dari kanker serviks berasal dari sel skuaomosa
yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil
lendir pada saluran servikal yang menuju kedalam rahim. Perubahan
prekanker pada serviks biasanya tidak meminimalkan gejala dan
perubahan ini tidak terdeteksi kecuali jika wanita tersebut menjalani
pemeriksaan panggul dan pap smear.
Dari infeksi virus HPV sampai menjadi kanker serviks memerlukan waktu
bertahun-tahun, bahkan lebih dari 10 tahun. Pada tahap awal infeksi virus
akan menyebabkan perubahan sel-sel epitel pada mulut rahim, sel-sel
menjadi tidak terkendali perkembangannya dan bila berlanjut akan
menjadi kanker. Pada tahan awal infeksi sebelum menjadi kanker
didahului oleh adanya lesi prakanker yang disebut Cervical Intraepthelial
Neoplasia (CIN) atau Neoplasia Intraepitel Serviks (NIS). Lesi prakanker
ini berlangsung cukup lama yaitu memakan waktu antara 10 - 20 tahun.
Dalam perjalanannya CIN I (NIS I) akan berkembang menjadi CIN II (NIS
II) kemudian menjadi CIN III (NIS III) yang bila penyakit berlanjut maka
akan berkembang menjadi kanker serviks.
Konsep regresi spontan serta lesi yang persiten menyatakan bahwa tidak
semua lesi pra kanker akan berkembang menjadi lesi invasive atau kanker
serviks, sehingga diakui masih banyak faktor yang mempengaruhi. CIN I
(NIS I) hanya 12 % saja yang berkembang ke derajat yang lebih berat,
sedangkan CIN II (NIS II) dan CIN III (NIS III) mempunyai risiko
berkembang menjadi kanker invasif bila tidak mendapatkan penanganan.
2.3 Faktor Penyebab dan Faktor Resiko Kanker Serviks
1. Factor Penyebab
HPV (Human Papiloma Virus) merupakan penyebab terbanyak.

2. Faktor risiko

a. Pola hubungan seksual

Studi epidemiologi mengungkapkan bahwa risiko terjangkit kanker serviks


meningkat seiring meningkatnya jumlah pasangan. Aktifitas seksual yang
dimulai pada usia dini, yaitu kurang dari 20 tahun juga dapat dijadikan
sebagai factor risiko. Hal ini dapat dihubungkan dengan belum matangnya
daerah transformasi alat kelamin. Frekuensi hubungan seksual juga
berpengaruh lebih tinggi

b. Paritas

Kanker serviks sering dijumpai pada wanita yang sering melahirkan.


Semakin sering melahirkan, semakin besar risiko terjangkit kanker serviks.
c. Merokok
Beberapa penelitian menunjukkan hubungan yang kuat antara merokok
dengan kanker serviks, bahkan setelah dikontrol dengan variabel
cofounding seperti pola hubungan seksual. Penemuan lain memperlihatkan
temuan nikotin pada cairan serviks wanita perokok, bahan ini bersifat
karsinogen yang selanjutnya mendorong pertumbuhan ke arah kanker.

d. Kontrasepsi Oral

Penelitian secara perspektif yang dilakuakn oleh Vessey dkk tahun 1983
(Schiffman, 1996) mendapatkan bahwa peningkatan insiden kanker
serviks dipengaruhi oleh lama pemakaian kontrasepsi oral. Penelitian lain
mendapatkan bahwa insiden kanker setelah 10 tahun pemakaian 4 x lebih
tinggi daripada bukan pengguna kontrasepsi oral. WHO mereview
berbagai penelitian yang menghubungkan 5penggunaan kontrasepsi oral
dengan risiko terjadinya kanker serviks, sulit menyimpulkan hubungan
tersebut mengingat lama penggunaan kontrasepsi oral bereaksi dengan
factor lain khususnya pola kebiasaan seksual dalam mempengaruhi risiko
Kanker Serviks. Selain itu, adanya kemungkinan bahwa wanita yang
menggunakan kontrasepsi oral lebih sering melakukan pemeriksaan pap
smear serviks, sehingga dysplasia karsinoma in situ nampak lebih frekuen
pada kelompok tersebut.
e. Defisiensi Gizi

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa defisiensi zat giai tertentu seperti


betakaroten dan Vit A serta asam folam, berhubungan dengan peningkatan
risiko terhadap dysplasia ringan dan sedang. Namun sampai saat ini tidak
ada indikasi bahwa perbaikan defisiensi gizi tersebut akan menurunkan
risiko.
f. Sosial Ekonomi
Studi secara deskriptif maupun analitik menunjukkan hubungan yang kuat
antara kejadian kanker serviks dengan tingkat social ekonomi yang rendah.
Hal ini juga diperkuat oleh penelitian yang menunjukkan bahwa infeksi
HPV lebih prevalen pada wanita dengan tingkat pendidikan dan
pendapatan rendah. Factor defisiensi nutrisi, multilaritas dan kebersihan
genitalia juga diduga berhubungan dengan masalah tersebut.

g. Pasangan Seksual

Peranan pasangan seksual dari penderita kanker serviks mulai menjadi bahan yang
menarik untuk diteliti. Penggunakan kondom yang frekuen ternyata memberi
risiko yang rendah terhadap terjadinya kanker serviks. Rendahnya keberhasilan
genetalia yang dikaitkan dengan sirkumsisi juga menjadi pembahasan panjang
terhadap kejadian kanker serviks. Jumlah pasangan ganda selain istri juga
merupakan factor risiko yang lain.

2.4 Manifestasi Klinis Kanker Servik


Tidak khas pada stadium dini. Sering hanya sebagai fluos dengan sedikit darah,
pendarahan postkoital atau perdarahan pervagina yang disangka sebagai
perpanjangan waktu haid. Pada stadium lanjut baru terlihat tanda-tanda yang lebih
khas, baik berupa perdarahan yang hebat (terutama dalam bentuk eksofilik), fluor
albus yang berbau dan rasa sakit yang sangat hebat.7Pada fase prakanker, sering
tidak ada gejala atau tanda-tanda yang khas. Namun, kadang bisa ditemukan
gejala-gejala sebagai berikut:

a. Keputihan atau keluar cairan encer dari vagina. Getah yang keluar dari
vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis
jaringan.

b. Perdarahan setelah senggama (post coital bleeding) yang kemudian


berlanjut menjadi perdarahan yang abnormal

c. Timbulnya perdarahan setelah menopause

d. Pada fase invasive dapat keluar cairan berwarna kekuning-kuningan,


berbau dan dapat bercampur dengan darah

e. Timbul gejala-gejala anemia bila terjadi perdarahan kronis

f. Timbul nyeri panggul (pelvis) atau di perut bagian bawah bila ada radang
panggul. Bila nyeri terjadi di daerah pinggang ke bawah, kemungkinan
terjadi hidronefrosisi. Selain itu, bisa juga timbul nyeri di tempat-tempat
lainnya.

g. Pada stadium lanjut, badan menjadi kurus kering karena kurang gizi,
edema kaki, timbul iritasi kandung kencing dan poros usus besar bagian
bawah (rektum), terbentuknya fistel vesikovaginal atau rektovaginal atau
timbul gejala-gejala akibat metastasis jauh.

2.5 Pemeriksaan Diagnostik Kanker Serviks

1. Vaginal Swab
Standar Operasional Prosedur Vagina Swab
1) Alat dan Bahan
a. Spekulum steril
b. APD lengkap
c. Senter
d. Lidi kapas seri
e. Tabung reaksi yang telah ditutup kapas berlemak
f. Baskom yang berisi desinkfektan
g. Garam Fisiologis
2) Prosedur Kerja
a. Berkomunikasilah dengan baik dengan pasien terlebih dahulu,
setelah suasana mulai kondusif, mulailah langkah-langkah
pengambilan sampel
b. Suruh pasien berbaring pada kursi yang telah disiapkan khusus
untuk pengambilan sample swab vagina dengan menekuk lutut
hingga dekat paha
c. Bersihkan labia mayora dengan garam fisiologis
d. Masukkan spekulum ke lubang vagina, buka spekulum hingga
terlihat serviks
e. Oleskan lidi kapas pada bagian tersebut sebanyak dua kali
pengambilan
f. Kembalikan posisi spekulum pada posisi semula
g. Keluarkan perlahan
h. Rendam pada baskom yang berisi desinkfektan
i. Taruh lidi kapas tadi pada tabung reaksi
j. Tutup rapat dengan kapas berlemak yang terbungkus kertas
perkamen
k. Bawa ke laboratorium untuk diperiksa dengan gram dan kultur

2. Pemeriksaan pap smear

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi sel kanker lebih awal pada pasien
yang tidak memberikan keluhan.Sel kanker dapat diketahui pada sekret yang
diambil dari porsi serviks. Pemeriksaan ini harus mulai dilakukan pada wanita
usia 18 tahun atau ketika telah melakukan aktivitas seksual sebelum itu. Setelah
tiga kali hasil pemeriksaan pap smear setiap tiga tahun sekali sampai usia 65
tahun. Pap smear dapat mendeteksi sampai 90% kasus kanker leher rahim secara
akurat dan dengan biaya yang tidak mahal, akibatnya angka kematian akibat
kanker leher rahim pun menurun sampai lebih dari 50%. Setiap wanita yang telah
aktif secara seksual sebaiknya menjalani pap smear secara teratur yaitu 1 kali
setiap tahun. Apabila selama 3 kali berturut-turut menunjukkan hasil pemeriksaan
yang normal, maka pemeriksaan pap smearbisa dilakukan setiap 2 atau 3 tahun
sekali.
3. Pemeriksaan DNA HPV

Pemeriksaan ini dimasukkan pada skrining bersama-sama dengan Pap’s smear


untuk wanita dengan usia di atas 30 tahun. Tes ini dapat dilakukan pada sediaan
apusan atau cairan vagina dan sel sisa bahan pada sediaan sitologi Pap
smear ataupun dengan biopsis. Deteksi dengan tes DNA HPV adalah salah satu
jenis tes pelengkap tes sitologi seperti pap smear. Deteksi DNA HPV bisa dengan
menggunakan PCR dan Hybrid Capture II. PCR pertama kali dikembangkan
oleh Kary Mullis pada tahun 1985 (Nuswantara, 2002). Pada tahun
1990 Ting dan Manos telah mengembangkan suatu metode deteksi human
papilloma virus dengan PCR. Metode tersebut dikembangkan dengan
mengidentifikasi suatu daerah homologi di dalam genom tipe-tipe HPV yang
kemudian digunakan sebagai dasar untuk mendesain primer untuk amplifikasi.
Sedangkan teknik pemeriksaan dengan hibridisasi dikenal dengan istilah
teknik Hybrid Capture II System (HC-II). HC-II pada intinya adalah melakukan
teknik hibridisasi yang dapat mendeteksi semua tipe HPV high risk pada
seseorang yang diduga memiliki virus HPV dalam tubuhnya (Lörincz,
1998).Penggunaan teknik komputerisasi dilakukan untuk pemeriksaan di tingkat
DNA dan RNA, apakah terdapat kemungkinan pasien tersebut sudah terinfeksi
HPV. Jika teknik Pap smear memeriksa adanya perubahan pada sel (sitologi),
teknik HC-II memeriksa pada kondisi yang lebih awal yaitu terdapatnya
kemungkinan seseorang terinfeksi HPV di dalam tubuhnya sebelum virus tersebut
membuat perubahan pada serviks yang akhirnya dapat mengakibakan terjadinya
kanker serviks.

Pengembangan teknik deteksi DNA HPV akhir-akhir ini berupa HC-II merupakan
teknik sederhana dan cara alternatif yang menarik; seperti produk HC-II. Teknik
HC-II adalah sebuah antibody capture/solution hybridization/signal amplication
assay yang memakai deteksi kualitatif chemiluminescence terhadap DNA HPV
(Suwiyoga, 2006) namun secara umum HC-II ialah suatu teknik berbasis DNA-
RNA yang dapat mendeteksi secara akurat dan cepat (Nainggolan, 2006).

4. Biopsi

Biopsi serviks dilakukan dengan cara mengambil sejumlah contoh jaringan


serviks untuk kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Dibutuhkan hanya
beberapa detik untuk melakukan biopsi contoh jaringan dan hanya menimbulkan
ketidaknyamanan dalam waktu yang tidak lama. Jika diperlukan maka akan
dilakukan biospi disekitar area serviks, tergantung pada temuan saat melakukan
colposcopy.Bersamaan dengan biopsi serviks, kuretase endoserviks juga bisa
dilakukan. Selama kuretase, dokter akan menggunakan sikat kecil untuk
menghilangkan jaringan pada saluran endoserviks, area antara uterus dan serviks.
Kuretase akan menimbulkan sedikit nyeri, tapi nyeri akan hilang setelah kuretase
dilakukan. Hasil biopsi dan kuretase biasanya baru bisa dilihat paling tidak 2
minggu.

Biopsi dilakukan jika pada pemeriksaan panggul tampak suatu pertumbuhan atau
luka pada serviks, atau jika hasil pemeriksaan pap smear menunjukkan suatu
abnormalitas atau kanker. Biopsi ini dilakukan untuk melengkapi hasil pap smear.
Teknik yang biasa dilakukan adalah punch biopsy yang tidak memerlukan
anestesi dan teknik cone biopsy yang menggunakan anestesi. Biopsi dilakukan
untuk mengetahui kelainan yang ada pada serviks.Jaringan yang diambil dari
daerah bawah kanal servikal. Hasil biopsi akan memperjelas apakah yang terjadi
itu kanker invasif atau hanya tumor saja (Prayetni, 1997).

5. Kolposkopi (pemeriksaan serviks dengan lensa pembesar)

Kolposkopi dilakukan untuk melihat daerah yang terkena proses metaplasia.


Pemeriksaan ini kurang efisien dibandingkan dengan pap smear, karena
kolposkopi memerlukan keterampilan dan kemampuan kolposkopis dalam
mengetes darah yang abnormal (Prayetni, 1997).Colposcopy adalah suatu
pengujian yang memungkinkan dokter untuk melihat serviks (leher rahim) lebih
dekat dengan menggunakan sebuah alat bernama colposcope. Colposcope akan
dimasukkan ke dalam vagina dan kemudian gambar yang ditangkap oleh alat
tersebut akan ditampilkan pada layar computer atau televisi.Dengan cara seperti
ini, kondisi yang terjadi dalam leher rahim akan sangat jelas terlihat. Sebelumnya
diberi cairan ke dalam vagina, apabila pada sel-sel yang abnormal akan terwarnai
suatu warna putih atau lainnya, lalu sample yg abnormal (sudah terwarnai) itu
diambil dengan biopsi, dan dibawa ke laboratorium.

6. Tes Schiller

Pada pemeriksaan ini serviks diolesi dengan larutan yodium. Pada serviks normal
akan membentuk bayangan yang terjadi pada sel epitel serviks karena adanya
glikogen. Sedangkan pada sel epitel serviks yang mengandung kanker akan
menunjukkan warna yang tidak berubah karena tidak ada glikogen ( Prayetni,
1997).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
3.2 Data dasar
Pengumpulan data pada pasien dan keluarga dilakukan dengan cara
anamnesa, pemeriksaan fisik dan melalui pemeriksaan penunjang
3.2.1 Data pasien
Identitas pasien, usia, status perkawinan, pekerjaan jumlah anak,
agama, alamat jenis kelamin dan pendidikan terakhir.
3.2.2 Keluhan utama
Pasien biasanya datang dengan keluhan intra servikal dan
disertai keputihan menyerupai air.
3.2.3 Riwayat penyakit sekarang
Biasanya klien pada stadium awal tidak merasakan keluhan
yang mengganggu, baru pada stadium akhir yaitu stadium 3 dan
4 timbul keluhan seperti : perdarahan, keputihan dan rasa nyeri
intra servikal.
3.2.4 Riwayat penyakit sebelumnya
Data yang perlu dikaji adalah :
Riwayat abortus, infeksi pasca abortus, infeksi masa nifas,
riwayat operasi kandungan, serta adanya tumor. Riwayat
keluarga yang menderita kanker.
3.2.5 Keadaan Psiko-sosial-ekonomi dan budaya:
Kanker Serviks sering dijumpai pada kelompok sosial ekonomi
yang rendah, berkaitan erat dengan kualitas dan kuantitas
makanan atau gizi yang dapat mempengaruhi imunitas tubuh,
serta tingkat personal hygiene terutama kebersihan dari saluran
urogenital.
3.3 Data khusus
1.2.1 Riwayat kebidanan ; paritas, kelainan menstruasi, lama,jumlah
dan warna darah, adakah hubungan perdarahan dengan aktifitas,
apakah darah keluar setelah koitus, pekerjaan yang dilakukan
sekarang
1.2.2 Pemeriksaan penunjang
Sitologi dengan cara pemeriksaan Pap Smear, kolposkopi,
servikografi, pemeriksaan visual langsung, gineskopi.
4 Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman ( cemas ) berhubungan dengan kurangnya
pengetahuan tentang penyakit dan penatalaksanaannya.

5 Perencanaan
1. Gangguan rasa nyaman ( cemas ) berhubungan dengan kurangnya
pengetahuan tentang penyakit dan penatalaksanaannya.
Tujuan : Setelah 1 X 24 Jam diberi tindakan, gangguan rasa nyaman
(cemas)
berkurang.
a. Kaji dan pantau terus tingkat kecemasan klien.
R/ mengidentifikasi lingkup masalah secara dini, sebagai pedoman
tindakan
selanjutnya
b. Berikan penjelasan tentang semua permasalahan yang berkaitan dengan
penyakitnya.
R/ Informasi yang tepat menambah wawasan klien sehingga klien tahu
tentang
keadaan dirinya
c. Bina hubungan yang terapeutik dengan klien.
R/ Hubungan yang terapeutuk dapat menurunkan tingkat kecemasan klien.
2. Nyeri berhubungan dengan proses desakan pada jaringan intraservikal
Tujuan
- Setelah dilakukan tindakan 1 X 24 jam diharapka klien tahu cara-cara mengatasi nyeri
yang timbul akibat kanker yang dialami
Kriteria hasil :
- Klien dapat menyebutkan cara-cara menguangi nyeri yang dirasakan
- Intensitas nyeri berkurangnya
- Ekpresi muka dan tubuh rileks
a. Tanyakan lokasi nyeri yang dirasakan klien
rasional : Tanyakan lokasi nyeri yang dirasakan klien
b. Tanyakan derajat nyeri yang dirasakan klien dan nilai dengan skala nyeri.
Rasional : Nyeri merupakan perasaan subjektif, setiap orang berbeda ambang nyerinya
C. Ajarkan teknik relasasi dan distraksi
Rasional : Ajarkan teknik relasasi dan distraksi
Anjurkan keluarga untuk mendampingi klien
Rasional : Dukungan keluarga dapat mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien

3. Gangguan pola tidur b/d nyeri


Kriteria hasil : Melaporkan rasa sejahtera dan istirahat.
a. Kaji tingkat kelelahan dan kebutuhan untuk istirahat
Rasional : Dengan mengetahui tingkat kelelahan klien dapat memberikan
intervensi yang tepat sesuai kebutuhan
b. Kaji factor-factor bila ada yang mempengaruhi istirahat.
Organisasikan perawatan untuk meminimalkan gangguan dan memberi
istirahat serta periode tidur yang ekstra Rasional : Dapat membantu
meningkatkan istirahar, tidur dan relaksasi sehingga terpenuhi kepenuhan
tidurnya.
c. Kaji lingkungan rumah, bantuan dirumah, dan anggota keluarga
yang lain.
Rasional : Bantu klien dalam merencanakan periode tidur atau istirahat
pada siang hari secara realistic.

6 Outcome

Vous aimerez peut-être aussi