Vous êtes sur la page 1sur 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kanker serviks atau kanker leher rahim merupakan penyebab kematian akibat kanker
yang terbesarbagi wanita di negara-negara berkembang. Secara global terdapat 600.000 kasus
baru dan 300.000 kematian setiap tahunnya, yang hampir 80% terjadi di negara berkembang.
Fakta-fakta tersebutmembuat kanker leher rahim menempati posisi kedua kanker terbanyak
pada perempuan di dunia, danmenempati urutan pertama di negara berkembang.
Saat ini, kanker leher rahim menjadi kanker terbanyak pada wanita Indonesia yaitu
sekitar 34% dari seluruh kanker pada perempuan dan sekarang48 juta perempuan Indonesia
dalam risiko mendapat kanker leher rahim.Kanker leher rahim adalah kanker yang terjadi
pada area leher rahim yaitu bagian rahim yangmenghubungkan rahim bagian atas dengan
vagina. Usia rata-rata kejadian kanker leher rahim adalah 52tahun, dan distribusi kasus
mencapai puncak 2 kali pada usia 35-39 tahun dan 60 – 64 tahun.
Kanker leher rahim sendiri merupakan keganasan yang dapat dicegah karena :
1. Memiliki masa preinvasif (sebelum menjadi keganasan) yang lama
2. Pemeriksaan sitologi (sel) untuk mendeteksi dini kanker leher rahim sudah tersedia
3. Terapi lesi preinvasif (bibit keganasan) cukup efektif
Penelitian epidemiologi memperlihatkan bahwa infeksi HPV terdeteksi menggunakan
penelitianmolekular pada 99,7% wanita dengan karsinoma sel skuamosa karena infeksi HPV
adalah penyebabmutasi neoplasma (perubahan sel normal menjadi sel ganas). Terdapat 138
strain HPV yang sudah diidentifikasi, 30 diantaranya dapat ditularkan melalui hubungan
seksual. Dari sekian tipe HPV yang menyerang anogenital (dubur dan alat kelamin), ada 4
tipe HPV yang biasa menyebabkan masalah dimanusia seperti 2 subtipe HPV dengan risiko
tinggi keganasan yaitu tipe 16 dan 18 yang ditemukanpada 70% kanker leher rahim serta HPV
tipe 6 dan 11, yang menyebabkan 90% kasus genital warts (kutil kelamin).

1
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan kanker serviks?
2. Bagaiaman gejala-gejala yang ditimbulkan kanker serviks?
3. Bagaiamna cara pencegahan dan pengobatan kanker serviks?
4. Bagaiamana klasifikasi tingkat keparahan kanker serviks?
5. Faktor-faktor apa saja yang memicu pada kanker serviks?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kanker serviks
2. Untuk mengetahui gejala-gejala yang ditimbulkan kanker serviks
3. Untuk mengetahui cara pencegahan dan pengobatan kanker serviks
4. Untuk mengetahui klasifikasi tingkat keparahan kanker serviks
5. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang memicu pada kanker serviks.

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Kanker Serviks dan Penyebabnya


Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel di daerah
skuamokolumner junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa kanalis
servikalis. Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks atau leher rahim, suatu
daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya
antara rahim (uterus) dan liang senggama atau vagina.

Kanker leher rahim biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Sebanyak 90% dari
kanker leher rahim berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal
dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke rahim.

Kanker seviks uteri adalah tumor ganas primer yang berasal dari sel epitel skuamosa.
Sebelum terjadinya kanker, akan didahului oleh keadaan yang disebut lesi prakanker atau
neoplasia intraepitel serviks (NIS). Penyebab utama kanker leher rahim adalah infeksi Human
Papilloma Virus (HPV). Saat ini terdapat 138 jenis HPV yang sudah dapat teridentifikasi yang
40 di antaranya dapat ditularkan lewat hubungan seksual. Beberapa tipe HPV virus risiko
rendah jarang menimbulkan kanker, sedangkan tipe yang lain bersifat virus risiko tinggi. Baik
tipe risiko tinggi maupun tipe risiko rendah dapat menyebabkan pertumbuhan abnormal pada
sel tetapi pada umumnya hanya HPV tipe risiko tinggi yang dapat memicu kanker. Virus HPV
risiko tinggi yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual adalah tipe 7,16, 18, 31, 33, 35,
39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 69, dan mungkin masih terdapat beberapa tipe yang lain.

Beberapa penelitian mengemukakan bahwa lebih dari 90% kanker leher rahim
disebabkan oleh tipe 16 dan 18. Yang membedakan antara HPV risiko tinggi dengan HPV
risiko rendah adalah satu asam amino saja. Asam amino tersebut adalah aspartat pada HPV
risiko tinggi dan glisin pada HPV risiko rendah dan sedang (Gastout et al, 1996). Dari kedua
tipe ini HPV 16 sendiri menyebabkanlebih dari 50% kanker leher rahim. Seseorang yang

3
sudah terkena infeksi HPV 16 memiliki resiko kemungkinan terkena kanker leher rahim
sebesar 5%.

Dinyatakan pula bahwa tidak terdapat perbedaan probabilitas terjadinya kanker serviks
pada infeksi HPV-16 dan infeksi HPV-18 baik secara sendiri-sendiri maupun bersamaan
(Bosch et al, 2002). Akan tetapi sifat onkogenik HPV-18 lebih tinggi daripada HPV-16 yang
dibuktikan pada sel kultur dimana transformasi HPV-18 adalah 5 kali lebih besar
dibandingkan dengan HPV-16. Selain itu, didapatkan pula bahwa respon imun pada HPV-18
dapat meningkatkan virulensi virus dimana mekanismenya belum jelas. HPV-16 berhubungan
dengan skuamous cell carcinoma serviks sedangkan HPV-18 berhubungan dengan
adenocarcinoma serviks.

Prognosis dari adenocarcinoma kanker serviks lebih buruk dibandingkan squamous cell
carcinoma. Peran infeksi HPV sebagai faktor risiko mayor kanker serviks telah mendekati
kesepakatan, tanpa mengecilkan arti faktor risiko minor seperti umur, paritas, aktivitas
seksual dini/prilaku seksual, dan meroko, pil kontrasepsi, genetik, infeksi virus lain dan
beberapa infeksi kronis lain pada serviks seperti klamidia trakomatis dan HSV-2 (Hacker,
2000).

B. Faktor Resiko Kanker Serviks


Menurut Diananda (2007), faktor yang mempengaruhi kanker serviks yaitu :

1. Usia > 35 tahun mempunyai risiko tinggi terhadap kanker leher rahim. Semakin tua usia
seseorang, maka semakin meningkat risiko terjadinya kanker laher rahim. Meningkatnya
risiko kanker leher rahim pada usia lanjut merupakan gabungan dari meningkatnya dan
bertambah lamanya waktu pemaparan terhadap karsinogen serta makin melemahnya
sistem kekebalan tubuh akibat usia.
2. Usia pertama kali menikah. Menikah pada usia kurang 20 tahun dianggap terlalu muda
untuk melakukan hubungan seksual dan berisiko terkena kanker leher rahim 10-12 kali
lebih besar daripada mereka yang menikah pada usia > 20 tahun. Hubungan seks idealnya
dilakukan setelah seorang wanita benar-benar matang.

4
Ukuran kematangan bukan hanyadilihat dari sudah menstruasi atau belum. Kematangan
juga bergantung pada sel-sel mukosa yang terdapat di selaput kulit bagian dalam rongga
tubuh. Umumnya sel-sel mukosa baru matang setelah wanita berusia 20 tahun ke atas.
Jadi, seorang wanita yang menjalin hubungan seks pada usia remaja, paling rawan bila
dilakukan di bawah usia 16 tahun. Hal ini berkaitan dengan kematangan sel-sel mukosa
pada serviks. Pada usia muda, sel-sel mukosa pada serviks belum matang. Artinya, masih
rentan terhadap rangsangan sehingga tidak siap menerima rangsangan dari luar termasuk
zat-zat kimia yang dibawa sperma. Karena masih rentan, sel-sel mukosa bisa berubah
sifat menjadi kanker. Sifat sel kanker selalu berubah setiap saat yaitu mati dan tumbuh
lagi. Dengan adanya rangsangan, sel bisa tumbuh lebih banyak dari sel yang mati,
sehingga perubahannya tidak seimbang lagi. Kelebihan sel ini akhirnya bisa berubah sifat
menjadi sel kanker. Lain halnya bila hubungan seks dilakukan pada usia di atas 20 tahun,
dimana sel-sel mukosa tidak lagi terlalu rentan terhadap perubahan.
3. Wanita dengan aktivitas seksual yang tinggi, dan sering berganti-ganti pasangan.
Berganti-ganti pasangan akan memungkinkan tertularnya penyakit kelamin, salah satunya
Human Papilloma Virus (HPV). Virus ini akan mengubah sel-sel di permukaan mukosa
hingga membelah menjadi lebih banyak sehingga tidak terkendali sehingga menjadi
kanker.
4. Penggunaan antiseptik. Kebiasaan pencucian vagina dengan menggunakan obat-obatan
antiseptik maupun deodoran akan mengakibatkan iritasi di serviks yang merangsang
terjadinya kanker.
5. Wanita yang merokok. Wanita perokok memiliki risiko 2 kali lebih besar terkena kanker
serviks dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. Penelitian menunjukkan, lendir
serviks pada wanita perokok mengandung nikotin dan zat-zat lainnya yang ada di dalam
rokok. Zat-zat tersebut akan menurunkan daya tahan serviks di samping meropakan ko-
karsinogen infeksi virus. Nikotin, mempermudah semua selaput lendir sel-sel tubuh
bereaksi atau menjadi terangsang, baik pada mukosa tenggorokan, paru-paru maupun
serviks. Namun tidak diketahui dengan pasti berapa banyak jumlah nikotin yang
dikonsumsi yang bisa menyebabkan kanker leher rahim.

5
Riwayat penyakit kelamin seperti kutil genitalia. Wanita yang terkena penyakit akibat
hubungan seksual berisiko terkena virus HPV, karena virus HPV diduga sebagai
penyebab utama terjadinya kanker leher rahim sehingga wanita yang mempunyai riwayat
penyakit kelamin berisiko terkena kanker leher rahim.
6. Paritas (jumlah kelahiran). Semakin tinggi risiko pada wanita dengan banyak anak,
apalagi dengan jarak persalinan yang terlalu pendek. Dari berbagai literatur yang ada,
seorang perempuan yang sering melahirkan (banyak anak) termasuk golongan risiko
tinggi untuk terkena penyakit kanker leher rahim. Dengan seringnya seorang ibu
melahirkan, maka akan berdampak pada seringnya terjadi perlukaan di organ
reproduksinya yang akhirnya dampak dari luka tersebut akan memudahkan timbulnya
Human Papilloma Virus (HPV) sebagai penyebab terjadinya penyakit kanker leher rahim.
7. Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama. Penggunaan kontrasepsi oral
yang dipakai dalam jangka lama yaitu lebih dari 4 tahun dapat meningkatkan risiko
kanker leher rahim 1,5-2,5 kali. Kontrasepsi oral mungkin dapat meningkatkan risiko
kanker leher rahim karena jaringan leher rahim merupakan salah satu sasaran yang
disukai oleh hormon steroid perempuan. Hingga tahun 2004, telah dilakukan studi
epidemiologis tentang hubungan antara kanker leher rahim dan penggunaan kontrasepsi
oral. Meskipun demikian, efek penggunaan kontrasepsi oral terhadap risiko kanker leher
rahim masih kontroversional. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Khasbiyah
(2004) dengan menggunakan studi kasus kontrol. Hasil studi tidak menemukan adanya
peningkatan risiko pada perempuan pengguna atau mantan pengguna kontrasepsi oral
karena hasil penelitian tidak memperlihatkan hubungan dengan nilai p>0,05.

6
C. Klasifikasi Stadium Kanker Serviks Menurut FIGO

1. Stadium I. Kanker leher rahim hanya terdapat pada daerah leher rahim (serviks)

a) Stadium IA. Kanker invasive didiagnosis melalui mikroskopik (menggunakan


mikroskop), dengan penyebaran sel tumor mencapai lapisan stroma tidak lebih dari
kedalaman 5 mm dan lebar 7 mm.
b) Stadium IB. tumor yang terlihat hanya terdapat pada leher rahim atau dengan
pemeriksaan mikroskop lebih dalam dari 5 mm dengan lebar 7 mm.
2.Stadium II. Kanker meluas keluar dari leher rahim namun tidak mencapai dinding panggul.
Penyebaran melibatkan vagina 2/3 bagian atas.
1) Stadium IIA. Kanker tidak melibatkan jaringan penyambung (parametrium) sekitar
rahim, namun melibatkan 2/3 bagian atas vagina.
2) Stadium IIB. Kanker melibatkan parametrium namun tidak melibatkan dinding
samping panggul.
3. Stadium III. Kanker meluas sampai ke dinding samping panggul dan melibatkan 1/3 vagina
bagian bawah. Stadium III mencakup kanker yang menghambat proses berkemih sehingga
menyebabkan timbunan air seni di ginjal dan berakibat gangguan ginjal.
1) Stadium IIIA. Kanker melibatkan 1/3 bagian bawah vagina namun tidak meluas
sampai dinding panggul.
2) Stadium IIIB. Kanker meluas sampai dinding samping vagina yang menyebabkan
gangguan berkemih sehingga berakibat gangguan ginjal.

7
4. Stadium IV. Tumor menyebar sampai ke kandung kemih atau rectum, atau meluas melampaui
panggul.
1) Stadium IVA. Kanker menyebar ke kandung kemih atau rectum.
2) Stadium IVB. Kanker menyebar ke organ yang jauh.

D. Jenis Histopatologis Pada Kanker Serviks


Jenis skuamosa merupakan jenis yang paling sering ditemukan, yaitu ± 90% merupakan
karsinoma sel skuamosa (KSS), adenokarsinoma 5% dan jenis lain sebanyak 5%. Karsinoma
skuamosa terlihat sebagai jalinan kelompok sel-sel yang berasal dari skuamosa dengan
pertandukan atau tidak, dan kadang-kadang tumor itu sendiri berdiferensiasi buruk atau dari
sel-sel yang disebut small cell, berbentuk kumparan atau kecil serta bulat seta mempunyai
batas tumor stroma tidak jelas.

Sel ini berasal dari sel basal atau reserved cell. Sedang adenokarsinoma terlihat sebagai
sel-sel yang berasal dari epitel torak endoserviks, atau dari kelenjar endoserviks yang
mengeluarkan mukus (Notodiharjo, 2002).

E. Patofisiologi Kanker Serviks

Karsinoma serviks adalah penyakit yang progresif, mulai dengan intraepitel, berubah
menjadi neoplastik, dan akhirnya menjadi kanker serviks setelah 10 tahun atau lebih. Secara
histopatologi lesi pre invasif biasanya berkembang melalui beberapa stadium displasia
(ringan, sedang dan berat) menjadi karsinoma insitu dan akhirnya invasif. Berdasarkan
karsinogenesis umum, proses perubahan menjadi kanker diakibatkan oleh adanya mutasi gen
pengendali siklus sel. Gen pengendali tersebut adalah onkogen, tumor supresor gene, dan
repair genes. Onkogen dan tumor supresor gen mempunyai efek yang berlawanan dalam
karsinogenesis, dimana onkogen memperantarai timbulnya transformasi maligna, sedangkan
tumor supresor gen akan menghambat perkembangan tumor yang diatur oleh gen yang terlibat
dalam pertumbuhan sel. Meskipun kanker invasive berkembang melalui perubahan intraepitel,

8
tidak semua perubahan ini progres menjadi invasif. Lesi preinvasif akan mengalami regresi
secara spontan sebanyak 3 -35%.

Bentuk ringan (displasia ringan dan sedang) mempunyai angka regresi yang tinggi.
Waktu yang diperlukan dari displasia menjadi karsinoma insitu (KIS) berkisar antara 1 – 7
tahun, sedangkan waktu yang diperlukan dari karsinoma insitu menjadi invasif adalah 3 – 20
tahun (TIM FKUI, 1992). Proses perkembangan kanker serviks berlangsung lambat, diawali
adanya perubahan displasia yang perlahan-lahan menjadi progresif. Displasia ini dapat
muncul bila ada aktivitas regenerasi epitel yang meningkat misalnya akibat trauma mekanik
atau kimiawi, infeksivirus atau bakteri dan gangguan keseimbangan hormon. Dalam jangka
waktu 7 – 10 tahun perkembangan tersebut menjadi bentuk preinvasif berkembang menjadi
invasif pada stroma serviks dengan adanya proses keganasan.

Perluasan lesi di serviks dapat menimbulkan luka, pertumbuhan yang eksofitik atau dapat
berinfiltrasi ke kanalis serviks. Lesi dapat meluas ke forniks, jaringan pada serviks, parametria
dan akhirnya dapat menginvasi ke rektum dan atau vesika urinaria. Virus DNA ini menyerang
epitel permukaan serviks pada sel basal zona transformasi, dibantu oleh faktor risiko lain
mengakibatkan perubahan gen pada molekul vital yang tidak dapat diperbaiki, menetap, dan
kehilangan sifat serta kontrol pertumbuhan sel normal sehingga terjadi keganasan
(Suryohudoyo, 1998; Debbie, 1998). Berbagai jenis protein diekspresikan oleh HPV yang
pada dasarnya merupakan pendukung siklus hidup alami virus tersebut. Protein tersebut
adalah E1, E2, E4, E5, E6, dan E7 yang merupakan segmen open reading frame (ORF).

Di tingkat seluler, infeksi HPV pada fase laten bersifat epigenetic. Pada infeksi fase laten,
terjadi terjadi ekspresi E1 dan E2 yang menstimulus ekspresi terutama terutama L1 selain L2
yang berfungsi pada replikasi dan perakitan virus baru. Virus baru tersebut menginfeksi
kembali sel epitel serviks. Di samping itu, pada infeksi fase laten ini muncul reaksi imun tipe
lambat dengan terbentuknya antibodi E1 dan E2 yang mengakibatkan penurunan ekspresi E1
dan E2. Penurunan ekspresi E1 dan E2 dan jumlah HPV lebih dari ± 50.000 virion per sel
dapat mendorong terjadinya integrasi antara DNA virus dengan DNA sel penjamu untuk
kemudian infeksi HPV memasuki fase aktif (Djoerban, 2000). Ekspresi E1 dan E2 rendah
hilang pada pos integrasi ini menstimulus ekspresi onkoprotein E6 dan E7. Selain itu, dalam

9
karsinogenesis kanker serviks terinfeksi HPV, protein 53 (p53) sebagai supresor tumor diduga
paling banyak berperan.

Fungsi p53 wild type sebagai negative control cell cycle dan guardian of genom
mengalami degradasi karena membentuk kompleks p53-E6 atau mutasi p53. Kompleks p53-
E6 dan p53 mutan adalah stabil, sedangkan p53 wild type adalah labil dan hanya bertahan 20-
30 menit.

Apabila terjadi degradasi fungsi p53 maka proses karsinogenesis berjalan tanpa kontrol
oleh p53. Oleh karena itu, p53 juga dapat dipakai sebagai indikator prognosis molekuler untuk
menilai baik perkembangan lesi pre-kanker maupun keberhasilan terapi kanker serviks
(Kaufman et al, 2000).

Dengan demikian dapatlah diasumsikan bahwa pada kanker serviks terinfeksi HPVterjadi
peningkatan kompleks p53-E6. Dengan pernyataan lain, terjadi penurunan p53 pada kanker
serviks terinfeksi HPV. Dan, seharusnya p53 dapat dipakai indikator molekuler untuk
menentukan prognosis kanker serviks. Bila pembuluh limfe terkena invasi, kanker dapat
menyebar ke pembuluh getah bening pada servikal dan parametria, kelenjar getah bening
obtupator, iliaka eksterna dan kelenjar getah bening hipogastrika. Dari sini tumor menyebar
ke kelenjar getah bening iliaka komunis dan pada aorta.

F. Gejala Klinis Kanker Serviks

Menurut Dalimartha (2004), gejala kanker serviks pada kondisi pra-kanker ditandai
dengan Fluor albus (keputihan) merupakan gejala yang sering ditemukan getah yang keluar
dari vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Dalam hal
demikian, pertumbuhan tumor menjadi ulseratif. Perdarahan yang dialami segera setelah
bersenggama (disebut sebagai perdarahan kontak) merupakan gejala karsinoma serviks (75 -
80%).

Pada tahap awal, terjadinya kanker serviks tidak ada gejala-gejala khusus. Biasanya
timbul gejala berupa ketidak teraturannya siklus haid, amenorhea, hipermenorhea, dan
penyaluran sekret vagina yang sering atau perdarahan intermenstrual, post koitus serta latihan

10
berat. Perdarahan yang khas terjadi pada penyakit ini yaitu darah yang keluar berbentuk
mukoid. Nyeri dirasakan dapat menjalar ke ekstermitas bagian bawah dari daerah lumbal.

Pada tahap lanjut, gejala yang mungkin dan biasa timbul lebih bervariasi, sekret dari
vagina berwarna kuning, berbau dan terjadinya iritasi vagina serta mukosa vulva. Perdarahan
pervagina akan makin sering terjadi dan nyeri makin progresif. Menurut Baird (1991) tidak
ada tanda-tanda khusus yang terjadi pada klien kanker serviks. Perdarahan setelah koitus atau
pemeriksaan dalam (vaginal toussea) merupakan gejala yang sering terjadi. Karakteristik
darah yang keluar berwarna merah terang dapat bervariasi dari yang cair sampai menggumpal.

Gejala lebih lanjut meliputi nyeri yang menjalar sampai kaki, hematuria dan gagal ginjal
dapat terjadi karena obstruksi ureter. Perdarahan rektum dapat terjadi karena penyebaran sel
kanker yang juga merupakan gejala penyakit lanjut. Pada pemeriksaan Pap Smear
ditemukannya sel-sel abnormal di bagian bawah serviks yang dapat dideteksi melalui, atau
yang baru-baru ini disosialisasikan yaitu dengan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat. Sering
kali kanker serviks tidak menimbulkan gejala. Namun bila sudah berkembang menjadi kanker
serviks, barulah muncul gejala-gejala seperti pendarahan serta keputihan pada vagina yang
tidak normal, sakit saat buang air kecil dan rasa sakit saat berhubungan seksual (Wiknjosastro,
1997).

G. Diagnosis Kanker Serviks

Stadium klinik seharusnya tidak berubah setelah beberapa kali pemeriksaan. Apabila ada
keraguan pada stadiumnya maka stadium yang lebih dini dianjurkan. Pemeriksaan berikut
dianjurkan untuk membantu penegakkan diagnosis seperti palpasi, inspeksi, kolposkopi,
kuretase endoserviks, histeroskopi, sistoskopi, proktoskopi, intravenous urography, dan
pemeriksaan X-ray untuk paru-paru dan tulang.

Kecurigaan infiltrasi pada kandung kemih dan saluran pencernaan sebaiknya dipastikan
dengan biopsi. Konisasi dan amputasi serviks dapat dilakukan untuk pemeriksaan klinis.
Interpretasi dari limfangografi, arteriografi, venografi, laparoskopi, ultrasonografi, CT scan
dan MRI sampai saat ini belum dapat digunakan secara baik untuk staging karsinoma atau
deteksi penyebaran karsinoma karena hasilnya yang sangat subyektif.

11
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan sebagai berikut (Suharto,
2007) :

Pemeriksaan Pap Smear

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi sel kanker lebih awal pada pasien yang
tidak memberikan keluhan. Sel kanker dapat diketahui pada sekret yang diambil dari
porsi serviks. Pemeriksaan ini harus mulai dilakukan pada wanita usia 18 tahun atau
ketika telah melakukan aktivitas seksual sebelum itu. Setelah tiga kali hasil pemeriksaan
pap smear setiap tiga tahun sekali sampai usia 65 tahun. Pap smear dapat mendeteksi
sampai 90% kasus kanker leher rahim secara akurat dan dengan biaya yang tidak mahal,
akibatnya angka kematian akibat kanker leher rahim pun menurun sampai lebih dari 50%.
Setiap wanita yang telah aktif secara seksual sebaiknya menjalani pap smear secara
teratur yaitu 1 kali setiap tahun.

Apabila selama 3 kali berturut-turut menunjukkan hasil pemeriksaan yang normal,


maka pemeriksaan pap smearbisa dilakukan setiap 2 atau 3 tahun sekali. Hasil
pemeriksaan pap smear adalah sebagai berikut (Prayetni,1999):

a. Normal.
b. Displasia ringan (perubahan dini yang belum bersifat ganas).
c. Displasia berat (perubahan lanjut yang belum bersifat ganas).
d. Karsinoma in situ (kanker terbatas pada lapisan serviks paling luar).
e. Kanker invasif (kanker telah menyebar ke lapisan serviks yang lebih dalam atau ke
organ tubuh lainnya).

H. Pencegahan Kanker Serviks

Sebagian besar kanker dapat dicegah dengan kebiasaan hidup sehat dan menghindari
faktor- faktor penyebab kanker meliputi (Dalimartha, 2004)

12
1. Menghindari berbagai faktor risiko, yaitu hubungan seks pada usia muda, pernikahan pada
usia muda, dan berganti-ganti pasangan seks. Wanita yang berhubungan seksual dibawah
usia 20 tahun serta sering berganti pasangan beresiko tinggi terkena infeksi. Namun hal ini
tak menutup kemungkinan akan terjadi pada wanita yang telah setia pada satu pasangan saja.
2. Wanita usia di atas 25 tahun, telah menikah, dan sudah mempunyai anak perlu melakukan
pemeriksaan pap smear setahun sekali atau menurut petunjuk dokter. Pemeriksaan Pap smear
adalah cara untuk mendeteksi dini kanker serviks. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cepat,
tidak sakit dengan biaya yang relatif terjangkau dan hasilnya akurat. Disarankan untuk
melakukan tes Pap setelah usia 25 tahun atau setelah aktif berhubungan seksual dengan
frekuensi dua kali dalam setahun. Bila dua kali tes Pap berturut-turut menghasilkan negatif,
maka tes Pap dapat dilakukan sekali setahun. Jika menginginkan hasil yang lebih akurat, kini
ada teknik pemeriksaan terbaru untuk deteksi dini kanker leher rahim, yang dinamakan
teknologi Hybrid Capture II System (HCII). 3. Pilih kontrasepsi dengan metode barrier,
seperti diafragma dan kondom, karena dapat memberi perlindungan terhadap kanker leher
rahim.
3. Memperbanyak makan sayur dan buah segar. Faktor nutrisi juga dapat mengatasi masalah
kanker mulut rahim. Penelitian mendapatkan hubungan yang terbalik antara konsumsi
sayuran berwarna hijau tua dan kuning (banyak mengandung beta karoten atau vitamin A,
vitamin C dan vitamin E) dengan kejadian neoplasia intra epithelial juga kanker serviks.
Artinya semakin banyak makan sayuran berwarna hijau tua dan kuning, maka akan semakin
kecil risiko untuk kena penyakit kanker mulut rahim 5. Pada pertengahan tahun 2006 telah
beredar vaksin pencegah infeksi HPV tipe 16 dan 18 yang menjadi penyebab kanker serviks.
Vaksin ini bekerja dengan cara meningkatkan kekebalan tubuh dan menangkap virus
sebelum memasuki sel-sel serviks. Selain membentengi dari penyakit kanker serviks, vaksin
ini juga bekerja ganda melindungi perempuan dari ancaman HPV tipe 6 dan 11 yang
menyebabkan kutil kelamin.Yang perlu ditekankan adalah, vaksinasi ini baru efektif apabila
diberikan pada perempuan yang berusia 9 sampai 26 tahun yang belum aktif secara seksual.
Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dalam jangka waktu tertentu. Dengan vaksinasi, risiko
terkena kanker serviks bisa menurun hingga 75%.

13
I. Pengobatan Kanker Serviks

Terapi karsinoma serviks dilakukan bila mana diagnosis telah dipastikan secara
histologik dan sesudah dikerjakan perencanaan yang matang oleh tim yang sanggup
melakukan rehabilitasi dan pengamatan la njutan (tim kanker / tim onkologi). Pemilihan
pengobatan kanker leher rahim tergantung pada lokasi dan ukuran tumor, stadium penyakit,
usia, keadaan umum penderita, dan rencana penderita untuk hamil lagi. Lesi tingkat rendah
biasanya tidak memerlukan pengobatan lebih lanjut, terutama jika daerah yang abnormal
seluruhnya telah diangkat pada waktu pemeriksaan biopsi. Pengobatan pada lesi prekanker
bisa berupa kriosurgeri (pembekuan), kauterisasi (pembakaran, juga disebut diatermi),
pembedahan laser untuk menghancurkan sel-sel yang abnormal tanpa melukai jaringan yang
sehat di sekitarnya dan LEEP (loop electrosurgical excision procedure) atau konisasi
(Wiknjosastro, 1997).

1. Pembedahan
Pada karsinoma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks paling luar), seluruh
kanker sering kali dapat diangkat dengan bantuan pisau bedah ataupun melalui LEEP
(loop electrosurgical excision procedure) atau konisasi. Dengan pengobatan tersebut,
penderita masih bisa memiliki anak. Karena kanker bisa kembali kambuh, dianjurkan

14
untuk menjalani pemeriksaan ulang dan Pap smear setiap 3 bulan selama 1 tahun pertama
dan selanjutnya setiap 6 bulan. Jika penderita tidak memiliki rencana untuk hamil lagi,
dianjurkan untuk menjalani histerektomi. Pembedahan merupakan salah satu terapi yang
bersifat kuratif maupun paliatif. Kuratif adalah tindakan yang langsung menghilangkan
penyebabnya sehingga manifestasi klinik yang ditimbulkan dapat dihilangkan.
Sedangkan tindakan paliatif adalah tindakan yang berarti memperbaiki keadaan
penderita. Histerektomi adalah suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk
mengangkat uterus dan serviks (total) ataupun salah satunya (subtotal). Biasanya
dilakukan pada stadium klinik IA sampai IIA (klasifikasi FIGO). Umur pasien sebaiknya
sebelum menopause, atau bila keadaan umum baik, dapat juga pada pasien yang berumur
kurang dari 65 tahun. Pasien juga harus bebas dari penyakit umum (resiko tinggi) seperti
penyakit jantung, ginjal dan hepar.

2. Terapi penyinaran (radioterapi)


Terapi radiasi bertujuan untuk merusak sel tumor pada serviks serta mematikan
parametrial dan nodus limpa pada pelvik. Kanker serviks stadium II B, III, IV sebaiknya
diobati dengan radiasi. Metoda radioterapi disesuaikan dengan tujuannya yaitu tujuan
pengobatan kuratif atau paliatif. Pengobatan kuratif ialah mematikan sel kanker serta sel
yang telah menjalar ke sekitarnya atau bermetastasis ke kelenjar getah bening panggul,
dengan tetap mempertahankan sebanyak mungkin kebutuhan jaringan sehat di sekitar
seperti rektum, vesika urinaria, usus halus, ureter. Radioterapi dengan dosis kuratif hanya
akan diberikan pada stadium I sampai III B. Apabila sel kanker sudah keluar ke rongga
panggul, maka radioterapi hanya bersifat paliatif yang diberikan secara selektif pada
stadium IV A. Terapi penyinaran efektif untuk mengobati kanker invasif yang masih
terbatas pada daerah panggul. Pada radioterapi digunakan sinar berenergi tinggi untuk
merusak sel-sel kanker dan menghentikan pertumbuhannya.
Ada dua jenis radioterapi yaitu radiasi eksternal yaitu sinar berasal dari sebuah mesin
besar dan penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit, penyinaran biasanyadilakukan
sebanyak 5 hari/minggu selama 5-6 minggu. Keduannya adalah melalui radiasi internal
yaitu zat radioaktif terdapat di dalam sebuah kapsul dimasukkan langsung ke dalam

15
serviks. Kapsul ini dibiarkan selama 1-3 hari dan selama itu penderita dirawat di rumah
sakit. Pengobatan ini bisa diulang beberapa kali selama 1-2 minggu.
Efek samping dari terapi penyinaran adalah iritasi rektum dan vagina, kerusakan kandung
kemih dan rektum dan ovarium berhenti berfungsi (Gale & Charette, 2000).

3. Kemoterapi
Kemoterapi adalah penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat melalui infus, tablet,
atau intramuskuler. Obat kemoterapi digunakan utamanya untuk membunuh sel kanker
dan menghambat perkembangannya. Tujuan pengobatan kemoterapi tegantung pada jenis
kanker dan fasenya saat didiag nosis. Beberapa kanker mempunyai penyembuhan yang
dapat diperkirakan atau dapat sembuh dengan pengobatan kemoterapi. Dalam hal lain,
pengobatan mungkin hanya diberikan untuk mencegah kanker yang kambuh, ini disebut
pengobatan adjuvant. Dalam beberapa kasus, kemoterapi diberikan untuk mengontrol
penyakit dalam periode waktu yang lama walaupun tidak mungkin sembuh. Jika kanker
menyebar luas dan dalam fase akhir, kemoterapi digunakan sebagai paliatif untuk
memberikan kualitas hidup yang lebih baik. Kemoterapi secara kombinasi telah
digunakan untuk penyakit metastase karena terapi dengan agen-agen dosis tunggal belum
memberikan keuntungan yang memuaskan. Contoh obat yang digunakan pada kasus
kanker serviks antara lain CAP (Cyclophopamide Adrem ycin Platamin), PVB (Platamin
Veble Bleomycin) dan lain –lain (Prayetni, 1997).

16
BAB III

Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Masalah Kesehatan Reproduksi

(CA Cervix – Pap Smear)

1. PENGKAJIAN
a. Identitas pasien

b. Riwayat keluarga

c. Status kesehatan

 Status kesehatan saat ini


 Status kesehatan masa lalu
 Riwayat penyakit keluarga

d. Pola fungsi kesehatan Gordon

1. Pemeliharaan dan persepsi kesehatan.


Kanker serviks dapat diakibatkan oleh higiene yang kurang baik pada daerah
kewanitaan. Kebiasaan menggunakan bahan pembersih vagina yang mengandung zat –
zat kimia juga dapat mempengaruhi terjadinya kanker serviks.
2. Pola istirahat dan tidur.
Pola istirahat dan tidur pasien dapat terganggu akibat dari nyeri akibat progresivitas
dari kanker serviks ataupun karena gangguan pada saat kehamilan.gangguan pola tidur
juga dapat terjadi akibat dari depresi yang dialami oleh ibu.
3. Pola eliminasi
Dapat terjadi inkontinensia urine akibat dari uterus yang menekan kandung kemih.
Dapat pula terjadi disuria serta hematuria. Selain itu biisa juga terjadi inkontinensia
alvi akibat dari peningkatan tekanan otot abdominal
4. Pola nutrisi dan metabolik
Asupan nutrisi pada Ibu hamil dengan kanker serviks harus lebih banyak jika
dibandingkan dengan sebelum kehamilan. Dapat terjadi mual dan muntah pada awal
kehamilan. Kaji jenis makanan yang biasa dimakan oleh Ibu serta pantau berat badan

17
Ibu sesuai dengan umur kehamilan karena Ibu dengan kanker serviks juga biasanya
mengalami penurunan nafsu makan. Kanker serviks pada Ibu yang sedang hamil juga
dapat mengganggu dari perkembangan janin.
5. Pola kognitif – perseptual
Pada Ibu hamil dengan kanker serviks biasanya tidak terjadi gangguan pada pada
panca indra meliputi penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, pengecap.
6. Pola persepsi dan konsep diri
Pasien kadang merasa malu terhadap orang sekitar karena mempunyai penyakit kanker
serviks, akibat dari persepsi yang salah dari masyarakat. Dimana salah satu etiologi
dari kanker serviks adalah akibat dari sering berganti – ganti pasangan seksual.
7. Pola aktivitas dan latihan.
Kaji apakah penyakit serta kehamilan pasien mempengaruhi pola aktivitas dan latihan.
Dengan skor kemampuan perawatan diri (0= mandiri, 1= alat bantu, 2= dibantu orang
lain, 3= dibantu orang lain dan alat, 4= tergantung total).
Ibu hamil wajar jika mengalami perasaan sedikit lemas akibat dari asupan nutrisi yang
berkurang akibat dari harus berbagi dengan janin yang dikandungnya. Namun pada ibu
hamil yang disertai dengan kanker serviks ibu akan merasa sangat lemah terutama
pada bagian ekstremitas bawah dan tidak dapat melakukan aktivitasnya dengan baik
akibat dari progresivitas kanker serviks sehingga harus beristirahat total.
8. Pola seksualitas dan reproduksi
Kaji apakah terdapat perubahan pola seksulitas dan reproduksi pasien selama pasien
menderita penyakit ini. Pada pola seksualitas pasien akan terganggu akibat dari rasa
nyeri yang selalu dirasakan pada saat melakukan hubungan seksual (dispareuni) serta
adanya perdarahan setelah berhubungan. Serta keluar cairan encer (keputihan) yang
berbau busuk dari vagina.
9. Pola manajemen koping stress
Kaji bagaimana pasien mengatasi masalah-masalahnya. Bagaimana manajemen
koping pasien. Apakah pasien dapat menerima kondisinya setelah sakit. Ibu hamil
dengan kanker serviks biasanya mengalami gangguan dalam manajemen koping stres
yang diakibatkan dari cemas yang berlebihan terhadap risiko terjadinya kematian janin
serta keselamatan dirinya sendiri.

18
10. Pola peran - hubungan
Bagaimana pola peran hubungan pasien dengan keluarga atau lingkungan sekitarnya.
Apakah penyakit ini dapat mempengaruhi pola peran dan hubungannya. Ibu hamil
dengan kanker serviks harus mendapatkan dukungan dari suami serta orang – orang
terdekatnya karena itu akan mempengaruhi kondisi kesehatan Ibu serta janin yang
dikandungnya. Biasanya koping keluarga akan melemah ketika dalam anggota
keluarganya ada yang menderita penyakit kanker serviks.
11. Pola keyakinan dan nilai
Kaji apakah penyakit pasien mempengaruhi pola keyakinan dan nilai yang diyakini.

a. Analisis data

1. Data subyektif :

 Pasien mengatakan merasa sakit ketika senggama dan terjadi perdarahan setelah
senggama yang kemudian berlanjut menjadi perdarahan yang abnormal
 Pasien mengatakan merasa lemah pada ekstremitas bawah
 Pasien mengatakan merasa nyeri pada panggul (pelvis) atau di perut bagian bawah
 Pasien mengatakan merasa nyeri ketika buang air kecil dan urine bercampur darah
 Pasien mengatakan nafsu makan berkurang
 Pasien mengatakan merasa tidak bertenaga dan lemas
 Pasien mengatakan kurang mengetahui mengenai kanker serviks
 Pasien mengatakan merasa cemas tentang kondisinya serta kondisi janin yang
dikandungnya
 Pasien mengatakan merasa kurang perhatian dari keluarganya

2. Data obyektif

 TTV tidak dalam batas normal


Dimana batas normal TTV meliputi :
 Nadi : 60-100 x / menit
 Nafas : 16 - 24 x / menit

19
 Tekanan Darah : 110-140 / 60-90 mmHg
 Suhu : 36,5 0C – 37,5 0C
 Membran mukosa kering
 Turgor kulit buruk akibat perdarahan
 Pengisian kapiler lambat ( tidak kembali dalam < 2-3 detik setelah ditekan )
 Ekspresi wajah pasien pucat
 Pasien tampak lemas
 Warna kulit kebiruan
 Kulit pecah – pecah, rambut rontok, kuku rapuh
 Nilai profil biofisik janin normal tidak sesuai dengan usia kehamilan
 DJJ tidak dalam batas normal ± 120 - 180 x / menit
 Gerakan janin kurang aktif
 Ekspresi wajah pasien meringis
 Pasien tampak gelisah
 Pasien mengalami kejang
 Tampak tanda - tanda infeksi (kalor, rubor, dolor, tumor, fungsio laesia)
 Terjadi hematuria
 Terjadi inkontinensia urine
 Terjadi inkontinensia alvi
 Berat badan pasien tidak stabil (tidak sesuai dengan BB pasien dalam kondisi
kehamilan)
 Mual ataupun muntah
 Keluar cairan encer yang berbau busuk dari vagina.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kekurangan volume cairan b/d kehilangan volume cairan tubuh secara aktif akibat
pendarahan
2. Gangguan perfusi jaringan b/d penurunan suplai O2 ke jaringan
3. Nyeri kronis b/d nekrosis jaringan pada serviks akibat penyakit kanker serviks
4. Hipertermi b/d penyakit kanker serviks dan peningkatan aktivitas metabolik

20
3.RENCANA TINDAKAN
1. Kekurangan volume cairan b/d kehilangan volume cairan tubuh secara aktif akibat
pendarahan
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam, diharapkan
keseimbangan volume cairan adekuat
Kriteria Hasil :
1. TTV pasien dalam batas normal, meliputi :
 Nadi normal ( ± 60 - 100 x / menit)
 Pernapasan normal (± 16 - 24 x / menit)
 Tekanan darah normal ( ± 100 - 140 mmHg / 60 - 90 mmHg)
 Suhu normal (± 36,5oC - 37,5oC)
2. Membran mukosa lembab
3. Turgor kulit baik (elastis)
4. Pengisian kapiler cepat ( kembali dalam ± 2-3 detik setelah ditekan )
5. Ekspresi wajah pasien tidak pucat

NO INTERVENSI RASIONALISASI

1 Awasi masukan dan haluaran. Memberikan pedoman untuk


Ukur volume darah yang keluar penggantian cairan yang perlu
melalui pendarahan diberikan sehingga dapat
mempertahankan volume
sirkulasi yang adekuat untuk
transport oksigen pada ibu dan
janin.

2 Catat kehilangan darah ibu dan Bila kontraksi uterus disertai


kemungkinan adanya kontraksi dilatasi serviks, tirah baring
uterus dan medikasi mungkin tidak
efektif di dalam
mempertahankan kehamilan.
Kehilangan darah ibu secara

21
berlebihan menurunkan perfusi
plasenta

3 Hindari trauma dan pemberian Mengurangi potensial


tekanan berlebihan pada daerah terjadinya peningkatan
yang mengalami pendarahan pendarahan dan trauma
mekanis pada janin

4 Pantau status sirkulasi dan Kejadian perdarahan potensial


volume darah ibu merusak hasil kehamilan,
kemungkinan menyebabkan
hipovolemia atau hipoksia
uteroplasenta

5 Pantau TTV. Evaluasi nadi Menunjukkan keadekuatan


perifer, dan pengisian kapiler volume sirkulasi

6 Catat respon fisiologis individual Simtomatologi dapat berguna


pasien terhadap pendarahan, untuk mengukur berat /
misalnya kelemahan, gelisah, lamanya episode pendarahan.
ansietas, pucat, berkeringat / Memburuknya gejala dapat
penurunan kesadaran menunjukkan berlanjutnya
pendarahan / tidak adekuatnya
penggantian cairan

7 Kaji turgor kulit, kelembaban Merupakan indikator dari


membran mukosa, dan perhatikan status hidrasi / derajat
keluhan haus pada pasien kekurangan cairan

8 Kolaborasi : Penggantian cairan tergantung


Berikan cairan IV sesuai indikasi pada derajat hipovolemia dan
lamanya pendarahan (akut /
kronis). Cairan IV juga
digunakan untuk
mengencerkan obat

22
antineoplastik pada penderita
kanker.

9 Kolaborasi : Transfusi darah diperlukan


Berikan transfusi darah (Hb, Hct) untuk memperbaiki jumlah
dan trombosit sesuai indikasi darah dalm tubuh ibu dan
mencegah manifestasi anemia
yang sering terjadi pada
penderita kanker.
Transfusi trombosit penting
untuk memaksimalkan
mekanisme pembekuan darah
sehingga pendarahan lanjutan
dapat diminimalisir.

10 Kolaborasi : Perlu dilakukan untuk


Awasi pemeriksaan laboratorium, menentukan kebutuhan
misalnya : Hb, Hct, sel darah resusitasi cairan dan
merah mengawasi keefektifan terapi

2. Gangguan perfusi jaringan b/d penurunan suplai O2 ke jaringan


Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam, diharapkan
perfusi jaringan kembali adekuat
Kriteria Hasil :
1. TTV pasien dalam batas normal, meliputi :
 Nadi normal ( ± 60 - 100 x / menit)
 Pernapasan normal (± 16 - 24 x / menit)
 Tekanan darah normal ( ± 100 - 140 mmHg / 60 - 90 mmHg)
 Suhu normal (± 36,5oC - 37,5oC)
2. Pasien tidak tampak lemas
3. Pengisian kapiler cepat ( kembali dalam ± 2-3 detik setelah ditekan)
4. Denyut nadi teraba

23
NO INTERVENSI RASIONALISASI

1 Awasi tanda vital, kaji Identifikasi ketidakadekuatan


pengisian kapiler dan warna derajat perfusi jaringan dan
dasar kuku membantu dalam menentukan
intervensi

2 Perhatikan status fisiologis ibu, Pada ibu hamil yang menderita


status sirkulasi, dan volume kanker serviks rentan mengalami
darah perdarahan yang potensial
merusak hasil kehamilan, dan
kemungkinan menyebabkan
hipovolemia hingga hipoksia
pada uteroplasenta

3 Auskultasi dan laporkan DJJ, Identifikasi berlanjutnya hipoksia


catat bradikardi atau takikardi. janin. Pada awalnya janin
Catat perubahan pada aktivitas berespon terhadap penurunan
janin (hipoaktif atau kadar oksigen dengan takikardia
hiperaktif). dan peningkatan gerakan. Bila
tetap defisit, bradikardia dan
penurunan aktivitas terjadi.

4 Anjurkan tirah baring pada Menurunkan tekanan vena cava


posisi miring kiri inferior dan superior serta
meningkatkan sirkulasi plasenta
(janin) dan pertukaran oksigen.

5 Kolaborasi : Reduksi pada kadar Hb, Hct atau


Awasi pemeriksaan volume sirkulasi darah
laboratorium (Hct, Hb, SDM) mengurangi persediaan oksigen
untuk jaringan ibu yang akan
berdampak pada janin yang
dikandungnya

24
6 Kolaborasi : Meningkatkan jumlah mediator
Berikan transfusi sel darah transport oksigen ke sel-sel tubuh
merah lengkap sesuai indikasi.
Awasi adanya komplikasi
transfusi

7 Kolaborasi : Meningkatkan ketersediaan


Berikan terapi oksigen oksigen untuk ambilan janin,
tambahan sesuai indikasi sehingga kapasitas oksigen untuk
janin meningkat

3. Risiko cedera pada janin berhubungan dengan penurunan perfusi plasenta


Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam, diharapkan risiko
cedera terhadap janin dapat dicegah sehingga tidak menjadi aktual
Kriteria Hasil :
1. Tidak terjadi cedera pada janin
2. Nilai profil biofisik janin normal sesuai dengan usia kehamilan
3. DJJ berada dalam batas normal ± 120 - 180 x / menit
4. Gerakan janin aktif seperti biasanya
5. Bayi lahir tanpa gangguan

NO INTERVENSI RASIONALISASI

1 Perhatikan kondisi ibu yang Faktor yang mempengaruhi atau


berdampak pada sirkulasi janin menurunkan sirkulasi /
oksigenasi ibu mempunyai
dampak yang sama pada kadar
oksigen janin melalui plasenta.
Janin yang tidak mendapatkan
cukup oksigen untuk kebutuhan
metabolismenya, akan
mengalihkan menjadi

25
metabolisme anaerob yang
menghasilkan asam laktat yang
dapat menimbulkan kondisi
asidosis

2 Awasi dan pantau DJJ dan Terjadinya hipoksia pada ibu


keaktifan gerakan janin dapat mengakibatkan kelainan
SSP janin. Krisis berulang dapat
meningkatkan prevalensi ibu
dan janin pada peningkatan
mortalitas dan laju morbiditas.
Pengkajian yang cermat dan
konsisten pada janin dapat
mengidentifikasi perubahan
status janin secara dini sehingga
dapat segera menentukan
intervensi yang tepat untuk
dilakukan.

3 Diskusikan efek negatif yang Retardasi pertumbuhan


potensial terjadi akibat kelainan intrauterus/ pascanatal,
genetik malformasi dan retardasi mental
dapat terjadi.

4 Kolaborasi : Identifikasi dan evaluasi


Lakukan screening, pertumbuhan janin
pemeriksaan ultrasonografi
(USG) sesuai indikasi

26
4. Nyeri kronis b/d nekrosis jaringan pada serviks akibat penyakit kanker serviks
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam, diharapkan nyeri
pasien berkurang atau terkontrol
Kriteria hasil :
1. Pasien mengatakan skala nyeri yang dialaminya menurun
2. Pasien melaporkan nyeri yang sudah terkontrol maksimal dengan pengaruh / efek
samping minimal
3. TTV pasien dalam batas normal, meliputi :
 Nadi normal (± 60 - 100 x / menit)
 Pernapasan normal ( ± 16 - 24 x / menit)
 Tekanan darah normal ( ± 100 - 140 mmHg / 60 - 90 mmHg)
 Suhu normal (36,5oC - 37,5oC)
4. Ekspresi wajah pasien tidak meringis
5. Pasien tampak tenang (tidak gelisah)
6. Pasien dapat melakukan teknik relaksasi dan distraksi dengan tepat sesuai indikasi
untuk mengontrol nyeri

NO INTERVENSI RASIONALISASI

1 Lakukan pengkajian nyeri secara Membantu membedakan


komprehensif [catat keluhan, penyebab nyeri dan
lokasi nyeri, frekuensi, durasi, dan memberikan informasi
intensitas (skala 0-10) dan tentang kemajuan atau
tindakan penghilangan nyeri yang perbaikan penyakit,
dilakukan] terjadinya komplikasi dan
keefektifan intervensi.

2 Pantau tanda - tanda vital Peningkatan nyeri akan


mempengaruhi perubahan
pada tanda - tanda vital

3 Dorong penggunaan keterampilan Memungkinkan pasien


manajemen nyeri seperti teknik untuk berpartisipasi secara

27
relaksasi dan teknik distraksi, aktif untuk mengontrol rasa
misalnya dengan mendengarkan nyeri yang dialami, serta
musik, membaca buku, dan dapat meningkatkan koping
sentuhan terapeutik. pasien

4 Berikan posisi yang nyaman Memberikan rasa nyaman


sesuai kebutuhan pasien pada pasien, meningkatkan
relaksasi, dan membantu
pasien untuk memfokuskan
kembali perhatiannya.

5 Dorong pengungkapan perasaan Dapat mengurangi ansietas


pasien dan rasa takut, sehingga
mengurangi persepsi pasien
akan intensitas rasa sakit.

6 Evaluasi upaya penghilangan Tujuan yang ingin dicapai


nyeri / kontrol pada pasien melalui upaya kontrol
adalah kontrol nyeri yang
maksimum dengan
pengaruh / efek samping
yang minimum pada pasien.

7 Tingkatkan tirah baring, bantulah Menurunkan gerakan yang


kebutuhan perawatan diri yang dapat meningkatkan nyeri
penting

8 Kolaborasi pemberian analgetik Nyeri adalah komplikasi


sesuai indikasi tersering dari kanker,
meskipun respon individual
terhadap nyeri berbeda-
beda. Pemberian analgetik
dapat mengurangi nyeri
yang dialami pasien

28
9 Kolaborasi untuk pengembangan Rencana manajemen nyeri
rencana manajemen nyeri dengan yang terorganisasi dapat
pasien, keluarga, dan tim mengembangkan
kesehatan yang terlibat kesempatan pada pasien
untuk mengontrol nyeri
yang dialami. Terutama
dengan nyeri kronis, pasien
dan orang terdekat harus
aktif menjadi partisipan
dalam manajemen nyeri di
rumah.

10 Kolaborasi untuk pelaksanaan Mungkin diperlukan untuk


prosedur tambahan, misalnya mengontrol nyeri berat
pemblokan pada saraf (kronis) yang tidak
berespon pada tindakan lain

29
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kanker serviks merupakan kanker peringkat pertama di Indonesia dan peringkat kedua di
dunia yang diderita oleh wanita. Di seluruh dunia setiap dua menit atau setiap satu jam di
Indonesia seorang perempuan meninggal akibat kanker serviks. Dari data diatas maka sangat
penting bagi perempuan untuk mengetahui dengan baik apa itu kanker serviks, sehingga
dapat mengambil langkah pencegahan yang tepat.
2. Serviks adalah bagian bawah dan menyempit dari uterus atau rahim. Serviks membentuk
saluran yang berujung pada vagina, dan bagian luar tubuh. Kanker serviks adalah kelainan
yang terjadi pada sel-sel tubuh, dalam hal ini sel-sel serviks, yang berkembang dengan cepat
dan tidak terkontrol.
3. Kanker leher rahim adalah kanker yang terjadi pada area leher rahim yaitu bagian rahim
yangmenghubungkan rahim bagian atas dengan vagina. Usia rata-rata kejadian kanker leher
rahim adalah 52 tahun, dan distribusi kasus mencapai puncak 2 kali pada usia 35-39 tahun
dan 60 – 64 tahun.
4. Kanker leher rahim sendiri merupakan keganasan yang dapat dicegah karena memiliki masa
preinvasif (sebelum menjadi keganasan) yang lama, Pemeriksaan sitologi (sel) untuk
mendeteksi dini kanker leher rahim sudah tersedia,Terapi lesi preinvasif (bibit keganasan)
cukup efektif.

B. Saran
Untuk pencegahan kanker serviks diharapkan untuk melakukan deteksi dini, dan apabila
timbul gejala-gejala maka segera menindak lanjuti, agar kanker serviks dapat diatasi cepat
oleh petugas kesehatan. Selain itu diharapkan untuk membiasakan diri dengan pola hidup
sehat dan bersih dan menghindari faktor-faktor resiko pemicu kanker serviks.

30

Vous aimerez peut-être aussi