Vous êtes sur la page 1sur 42

REFERAT

ASESMEN PRE ANESTESI, KUNJUNGAN PREOPERATIF,

PRAMEDIKASI DAN PEMANTAUAN PASCA OPERATIF DINI

Pembimbing

dr. Arif Basuki, SpAn

Disusun Oleh :

Arima Silvia Septiarly

201810401011093

SMF ANESTESI

RSU HAJI SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2018
LEMBAR PENGESAHAN REFERAT

Referat dengan judul “Asesmen Pre Anestesi. Kunjungan Preoperatif, Premedikasi

dan Pemantauan Pasca Operatif Dini” yang disusun oleh:

Nama : Arima Silvia Septiarly

NIM : 201810401011093

Telah disetujui pada tanggal 8 Oktober 2018

Mengetahui, 8 Oktober 2018

Pembimbing

dr. Arif Basuki, SpAn

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, dengan memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah


Yang Maha Esa serta berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat dengan judul “Assesment Pra Anestesi, Kunjungan Pra Op, Premedikasi, dan
Pemantauan Pasca Op Dini”. Begitu pula Dialah yang menyelaraskan gerakan tangan
dan pikiran dalam merangkai huruf menjadi sebuah kata dan berbuah kalimat dalam
penulisan tugas akhir ini. Segala sesuatu yang benar dalam tugas akhir ini datangnya
dari Allah SWT dan segala kekeliruan dalam penulisan tugas akhir ini datangny dari
diri penulis pribadi.
Dalam penyelesaian tugas akhir ini penulis banyak mengalami kesulitan,
tetapi berkat dukungan dan bimbingan serta bantuan dari dosen pembimbing dalam
rangka penyusunan referat ini dan dorongan dari berbagai pihak, akhirnya penulis
dapat menyelesaikan referat ini tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih belum sempurna, sehingga masih
membutuhkan saran yang membangun dari berbagai pihak. Penulis berharap referat
ini dapat menjadi wujud ibadah penulis kepada Allah SWT dan dapat bermanfaat
bagi para pembaca.

Surabaya, September 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................. i
KATA PENGANTAR ...................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................ iv
DAFTAR TABEL ............................................................................. v
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................ 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................ 3
2.1 Definisi Anestesi Assesment Pra Anestesi ......................... 3
2.2 Assesment Pra Anestesi ...................................................... 3
2.2.1 Persiapan Pre Operatif ................................................ 4
2.2.2 Penilian Status Fisik .................................................... 15
2.3 Kunjungan Pra Operatif ...................................................... 16
2.4 Premedikasi......................................................................... 17
2.4.1 Definisi ........................................................................ 17
2.4.2 Tujuan ......................................................................... 17
2.4.3 Cara ............................................................................. 18
2.4.4 Penggolongan Obat-obat Premedikasi ........................ 18
2.5 Pemantauan Pasca Operasi Dini ......................................... 29
BAB 3 KESIMPULAN ..................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 35

iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Evaluate 3-3-2 rute ....................................................... 8
Gambar 2.2 Klasifikasi Mallapati ..................................................... 9
Gambar 2.3 Klasifikasi mallapati dengan membuka mulut .............. 9
Gambar 2.4 Bromage score ................................................................ 34

iv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Cara Pemberian Premedikasi ............................................ 18
Tabel 2.2 Efek Obat Golongan Narkotik ........................................... 20
Tabel 2.3 Efek Obat Antikolinergik ................................................... 23
Tabel 2.4 Efek Obat Derivat Fenothiazin .......................................... 24
Tabel 2.5 Efek Obat Derivat Benzodiazepin...................................... 26
Tabel 2.6 Efek Obat Derivat Butirofen .............................................. 27
Tabel 2.7 Alderet Score...................................................................... 32

v
BAB 1

PENDAHULUAN

Istilah anestesia ini pertama kali digunakan oleh Oliver Wendell Holmes

pada tahun 1846. Menurut asal katanya, anestesia berasal dan kata “An” yang berarti

“tidak” dan “Aestesia” yang berarti “rasa”. Secara umum berarti suatu tindakan

menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur

lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.

Anastesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai

tindakan meliputi pemberian anastesi maupun analgetik, pengawasan keselamatan

pasien di operasi maupun tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitasi), perawatan

intensif pasien gawat, pemberian terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.

Pengelolaan anestesi pada pasien diawali dengan persiapan preoperatif

psikologis, dan bila perlu, pengobatan preoperatif. Beberapa macam obat dapat

diberikan sebelum dimulainya operasi.Obat-obatan tersebut disesuaikan pada setiap

pasien. Seorang ahli anestesi harus menyadari pentingnya mental dan kondisi fisik

selama visite preoperatif. Sebab hal tersebut akan berpengaruh pada obat-obatan

preanestesi, tehnik yang digunakan, dan keahlian seorang ahli anestesi. Persiapan

yang buruk akan berakibat pada berbagai permasalahan dan ketidaksesuaian setelah

operasi.

Kebutuhan premedikasi bagi masing-masing pasien dapat berbeda. Rasa takut

dan nyeri harus diperhatikan betul pada kunjungan pra-anestasi. Dengan memberikan

1
2

rasa simpati dan pengertian kepada pasien tentang masalah yang dihadapi, maka

pasien dapat dibantu dalam menghadapi rasa sakit dan khawatir menghadapi operasi.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Anestesi

Anestesi merupakan hilangnya rasa nyeri yang disertai atau tidak disertai

dengan hilangnya kesadaran. Secara garis besar, anestesi dibagi 2, yaitu anestesi

umum dan lokal. Anestesi umum bekerja di susunan saraf pusat sedangkan

anestesi lokal bekerja di serabut saraf perifer. Anestesi umum terjadi karena

adanya perubahan neurotransmisi di berbagai bagian SSP. Anestesi lokal terjadi

karena obat anestesi lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf.

2.2 Assesment Pra Anestesi

Assesment pra anestesi adalah suatu penilaian dan pemeriksaan yang

memadai sebelum dilakukan tindakan anestesi. Sebagai acuan penerapan

langkah-langkah penilaian sebelum anestesi, dengan tujuan:

1. Melakukan penilaian terhadap fungsi napas, fungsi kardiovaskuler, fungsi

kesadaran, fungsi ginjal, fungsi gastrointestinal.

2. Mengetahui status fisik pasien praoperatif.

3. Mengetahui dan menganalisis jenis operasi.

4. Memilih jenis atau teknik anestesi yang sesuai.

5. Meramalkan penyulit yang mungkin terjadi selama operasi dan atau pasca

bedah.

3
4

6. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang

mungkin terjadi.

2.2.1 Persiapan Pre Anestesi

Secara umum persiapan anestesi meliputi : mengumpulkan data,

menentukan masalah yang ada pada pasien sesuai data, meramalkan

kemungkinan penyulit yang akan terjadi, menentukan status fisik pasien dan

menentukan tindakan anestesi.

1. Anamnesis

Anamnesa dapat dilakukan secara langsung pada pasien (autoanamnesa)

dengan keluarga pasien (hetero anamnesa) yang harus diperhatikan dalam

adalah :

1. Identitas pasien

Segala sesuatu mengenai pasien misalnya : nama, usia, jenis kelamin,

alamat. pekeiaan, dll.

2. Riwavat penyakit pasien sekarang

Penyakit yang sedang diderita pasien dan penyakit penyerta yang dapat

menjadi penyulit anestesi misalnya : penyakit kardiovaskular, penyakit

metabolik, penyakit respiratorik, dll.

3. Riwaat penyakit terdahulu

Penyakit yang pernah diderita pasien yang dapat mempengaruhi

anestesi misalnya : asthma, diabetes.

4. Riwayat penyakit keluarga yang bersifat herediter

5. Riwayat alergi
5

Apakah pasien mempunyai riwayat alergi baik alergi obat, makanan

ataupun alat yang akan dipakai saat anestesi.

6. Riwayat kemungkinan adanya kehamilan

Pada pasien yang hamil pemilihan cara dan obat anestesi harus sangat hati-

hati karena dapat berpengaruh pada kehamilan dan janin.

7. Riwayat anestesi sebelumnya

Apakan pasien pemah dianestesi sebelumnya dan apakah ada masalah

dengan cara atau obat anestesi pada anestesi sebelumnya.

8. Riwayat kebiasaan

Banyak kebiasaan yang akan berpengaruh pada anestesi dan bahkan bisa

menjadi penyulit dalam anestesi misalnya:

 Rokok

Pasien yang memiliki kebiasaan merokok berat dapat menimbulkan

pengaruh dalam anestesi seperti merangsang batuk, merangsang sekret

pada jalan nafas, memicu atelektasis dan pneumoni pasca bedah, oleh

karena itu sebelum dilakukan anestesi dan pembedahan rokok harus

dihentikan minimal 24 jam sebelumnya.

 Alkohol

Kebiasaan mengkonsums alkohol pada umumnya akan menimbulkan

resistensi terhadap obat-obat anestesi terutama golongan barbiturat

sehingga jumlah obat yang diberikan harus di sesuaikan.


6

 Obat-obat yang dikonsumsi

Obat-obatan yang sedang dikonsumsi oleh pasien dapat berpengaruh

pada anestesi sehingga hams diperiksa apakah obatobatan tersebut dapat

terus dikonsumsi atau harus dihentikan sementara.

2. Pemeriksaan Fisik

Perneriksaan fisik yang dilakukan secara umum adalah pemeriksaan

tinggi dan berat badan, kesadaran, tanda-tanda anemia, ikterus, sianosis,

dehidrasi, oedema, tekanan darah, frekuensi nadi, suhu tubuh, frekuensi nafas

dan nyeri. Secara keseluruhan dilakukan pemeriksaan 5B yaitu : Breath, Blood,

Bowel. Bladder, dan Bone.

 Breath (jalan nafas, pola nafas, suara nafas, anatomi dan fungsi paru)

Perhatikan jalan nafas terutama bagian atas dan rencanakan

penatalaksanaan selama anestesi. Evaluasi apakah jalan nafas tersumbat,

apakah ada penyulit dalam intubasi seperti panjang leher, gangguan

membuka mulut (jarak minimal 4 cm), kekakuan otot leher, masalah gigi

(ompong, gigi palsu, gigi goyah), atau lidah yang relatif besar. Hal tersebut

dapat menjadi penyulit dalam pelaksanaan laringoskopi intubasi.

Untuk memprediksi jalan nafas yang berpotensi sulit menggunakan

parameter LEMON score. Skor tersebut memungkinkan kita untuk

mengingat secara eksternal dan melihat parameter – parameter yang akan

membuat melakukan tindakan pembebasan jalan nafas menjadi sederhana

atau sulit.
7

LEMON score :

L – Look Externally

Menilai bentuk wajah dan leher, bentuk pipi, dagu, mulut dan gigi

adakah gigi palsu dan apakah menggunakan kawat gigi

E – Evaluate the 3-3-2 rute

Menilai dan memeriksa dengan menggunakan jari :

o Membuka mulut pasien dan memasukan 3 jari pasien secara

vertikal kedalam mulut, apakah 3 jari bisa masuk atau tidak

o Jarak antara dagu dengan hyoid (mentohyoid) dengan

menggunakan 3 jari pemeriksa, Normal > 7 cm

o Jarak antara lantai mulut bawah dengan thyroid dengan

menggunakan 2 jari pemeriksa

Gambar 2.1 Evaluate 3-3-2 rute


8

M – Mallampati

Mallampati merupakan penilaian untuk menilai dapatkan melihat

soft palate, uvula, fauces dan facial pillars dengan membuka

mulut selebar-lebarnya. Terdapat 4 kelas penilaian mallampati

yaitu kelas I, II, III dan IV, berikut merupakan penilaian

mallampati :

Gambar 2.2. klasifikasi mallampati

Gambar 2.3 klasifikasi mallampati dengan membuka mulut


9

O – Obstruction

Adakah obstruksi pada jalan nafas bagian atas, misalnya abses

peritonsiler, retro faringeal abses dan tonsilitis

N – Neck mobility

Gerakan fleksi dan ekstensi leher secara normal tanpa rasa

sakit / parestesi

Periksa juga sistem pemafasan, perhatikan frekuensi nafas, suara

nafas, apakah ada suara nafas tambahan seperti ronki

atau wheezing. perhatikan gerakan dada saat bemafas simetris atau dan

apakah pasien sesak atau nyeri saat bernafas.

 Blood (tensi. suara jantung, kelainan anatomis dan fungsi jantung)

Periksalah apakah pasien memiliki masalah dengan jantung dan

pembuluh darah, khususnya penyakit katup jantung, hipertensi dan gagal

jantung baik kiri maupun kanan. Pemeriksaan dilakukan dengan melihat

adanya peningkatan tekanan vena, oedem pada ekstremitas bawah maupun

pembesaran hepar. Dengarkan suara jantung apakah ada suara tambahan

atau tidak.

 Brain (GCS, kelainan saraf pusat atau perifer)

Periksa apakah pasien ada gangguan kesadaran atau tidak, adakah

gangguan pada saraf perifer atau pusat. Hal mi penting untuk ngelo1aan

anestesi baik sebelum, selama dan sesudah anestesi dan bedah.


10

 Bowel (makan minum terakhir, bising usus, gangguan peristaltik, gangguan

lambung, kehamilan)

Pada abdomen banyak yang hams diperhatikan, pembesaran hepar

akibat konsumsi alkohol atau penyakit lain akan berpengaruh terhadap obat

anestesi yang akan digunakan. Makan minum terakhir hams diperhatikan

oleh karena dapat menimbulkan efek muntah, yang dapat mengakibatkan

aspirasi muntahan ke dalam paru.

Jika pasien dalam keadaan hamil harus diperhatikan obat-obat yang

akan diberikan karena dapat berpengaruh pada kehamilan dan janin.

 Blader (produksi urine)

Periksa fungsi ginjal apakah ada gangguan atau tidak, misalnya

gagal ginjal akut. Secara umum urine dapat menggambarkan :

- Fungsi ginjal dan salurannya

- Kemodinamik penderita

- Hidrasi

- Hormonal

Pemeriksaan dilakukan dengan memeriksa :

- Produksi urine

Harus dinilai produksi urine apakah normal atau tidak

 Normal 0,5-1 ml/kg BB/jam

 Anuri : 20m1/24jam

 Oliguri : 25m1/jamatau400ml/24jam
11

 Poliuri 2500 ml/24 jm

- Serum kreatinin

- BUN

- Sedimen urine

 Bone (kelainan postur tubuh, kelainan neuro muskuler, patah tulang)

Kelainan postur tubuh dapat mempengaruhi fungsi tubuh dan

menjadi penyulit saat anestesi. Bentuk tulang belakang yang abnormal dapat

mempengaruhi anatomi tubuh, misalnya trakhea menjadi tertarik ke lateral

sehingga mempersulit intubasi.

Patah tulang leher terutama C2 menyebabkan tetraplegi dan

kelumpuhan otot diafragma. Patah tulang terbuka ataupun tertutup dapat

menyebabkan syok hipovolemik karena perdarahan. Patah tulang panjang

dapat menyebabkan emboli lemak.

3. Pemeriksaan Penunjang

Setelah melakukan pemeriksaan fisik dapat diketahui apakah terdapat

atau tidak. Namun, jika dirasa masih meragukan maka untuk mendapat

kepastian dapat dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan

radiologi, EKG atau pemeriksaan laboratorium.

Ada pemeriksaaan penunjang yang rutin harus dilakukan ada juga yang

kan jika ada indikasi untuk pemeriksaan penunjang. Adapun indikasi

kukan pemeriksaan penunjang antara lain : usia, penyakit yang sedang diderita,

penyakit penyerta, penyakit dahulu, penyakit keluarga yang herediter,

kehamilan, dll
12

 Pemeriksaan Rutin

- Pemeriksaan rutin darah (Hb, leukosit, trombosit, hematokrit)

- Pemeriksaan Kimia Klinik

 Fungsi hepar (SGOT, SGPT, albumin)

 Fungsi ginjal (Urine lengkap, BUN, Serum kreatinin)

 Faal hemostasis

 Serum elektrolit (Na. K, Cl)

 Pemeriksaan berdasarkan indikasi

 Radiologi (foto thoraks, BOF, CT Scan, USG, dll)

 Laboratorium (gula darah)

 EKG. Echocardiogram, treadmil, dll

Setelah pemeriksaan pre operatif dilakukan dan memperoleh gambaran

tentang keadaan fisik dan mental pasien beserta rnasalah-masalah yang ada,

1anjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesia yang akan

digunakan.

4. Persiapan Penyulit Yang Akan Terjadi

 Penyakit Kardiovaskular

- Resiko serius Terapi oksigen dan pemantauan EKG harus diteruskan

sampai pasca operasi.

- Zat anestesi membuat jantung sensitive terhadap kerja katekolamin yang

dilepaskan. Selanjutnya dapat terjadi kemunduran hemodinamik dan

dapat terjadi aritmia, takikardi ventricular sampai fibrilasi ventricular.


13

- Pada pasien dengan gagal jantung perfusi organ menjadi buruk.

Ambilan gas dan uap ihalasi terhalangi.

- Pada pasien hipertensi, terapi antihipertensi harus diteruskan sepanjang

operasi. Bahaya hipertensi balik dengan resiko gangguan kardiovaskular

setelah penghentian obat jauh lebih berat diandingkan dengan resiko

karena meneruskan terapi.

 Penyakit Pernafasan

- Penyakit saluran nafas dan paru-paru mempengaruhi oksigenasi,

eliminasi karbondioksida, ambilan gas-gas inhalasi dan meningkatkan

insidens infeksi pascaoperasi.

- Bronkospasme berat yang mengancam jiwa kadang-kadang timbul pada

pasien asma atau pecandu nikotin.

- Penundaan operasi elektif pada pasien yang menderita infeksi saluran

nafas atas karena efek obat sedative dan atropine, dan penurunan

respons imunologi yang terjadi karena anestesi umum dapat

meningkatkan resiko infeksi dada pascaoperasi

 Diabetes Mellitus

Hampir semua obat anestesi bersifat meningkatkan glukosa darah. Penderita

diabetes yang tidak stabil seharusnya tidak dianestesi untuk pembedahan

elektif, kecuali jika kondisi bedah itu sendiri merupakan penyebab

ketidakstabilan tersebut.

 Penyakit Hati
14

Metabolisme obat-obatan anestesi akan terganggu akibat adanya gagal hati.

Obat-obatan analgesic dan sedative juga menjadi memiliki masa kerja yang

panjang karena metabolisme oleh otak juga berubah karena penyakit

hati.Anestesi pada pasien ikterus mempunyai dua resiko nyata. Pertama

adalah perdarahan akibat kekurangan protrombin. Resiko yang kedua adalah

gagal ginjal akibat bilirubin yang berakumulasi pada tubulus renalis

5. Persiapan Sebelum Pembedahan

Pada hari operasi perlu dilakukan persiapan sebelum pasien dibawa ke

ruang operasi. Terjadinya kasus salah identitas dan salah operasi dapat saja

terjadi, oleh karenanya pemeriksaan status pasien berulang kali harus selalu

dilakukan. Adapun persiapan yang harus dilakukan adalah :

 Pengosongan dan Pembersihan Lambung

Pengosongan dan pembersihan lambung sangat penting untuk

menghindari aspirasi isi lambung akibat regurgitasi atau muntah. Pada

pembedahan elektif dilakukan puasa 6-8 jam sebelum operasi dan

pemberian urus-urus (kumbah lambung). Pada anak-anak dan bayi puasa

dilakukan selama 3-6 jam sebelum operasi. Pada operasi darurat dilakukan

dengan cara merangsang muntah, memasang pipa nasogastrik, ataupun

memberikan obat-obat yang merangsang muntah. Cara ini kurang

menyenangkan bagi pasien, karena itu jarang dilakukan.

 Gigi palsu, bulu mata palsu, cincin, gelang, perhiasan dan logam

maupun non logam, kosmetik (lipstick, cat kuku) karena dapat


15

mempengaruhi pemeriksaan selama anestesi, misalnya dapat mengaburkan

tanda-tanda sianotik.

 Mengosongkan vesika urinaria, pasien disuruh miksi habis pada pagi

harinya. Bila perlu dipasang kateter.

 Untuk membersihkan jalan napas, pasien dapat disuruh batuk-batuk

beberapa kali.

 Mengganti pakaian penderita dengan pakaian khusus, dapat diberi label

identifikasi.

 Mengulang pemeriksaan fisik, pastikan tidak ada perubahan yang bermakna

yang dapat menyulitkan perjalanan anestesi, misalnya hipertensi mendadak,

febris mendadak, dehidrasi, atau serangan akut asthma.

2.2.2 Penilaian Status Fisik

Setelah melakukan pemeriksaan pre-operatif dokter anestesi dapat

menentukan prognosis dan dinyatakan dengan status fisik berdasarkan ASA

(American Society of Anesthesiology) dengan beberapa kategori :

ASA 1 : Pasien dalam keadaan sehat organik, fisiologik,

biokimia dan psikiatrik yang memerlukan operasi.

ASA 2 : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang.

ASA 3 : Pasien dengan kelainan sistemik berat sehingga

aktivitas rutin terbatas.


16

ASA 4 : Pasien dengan penyakit sistenik berat tak dapat

melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan

ancaman bagi kehidupannya setiap saat.

ASA 5 : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa

pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

ASA 6 : Pasien yang telah dinyatakan telah mati otaknya yang

mana organnya akan diangkat untuk kemudian diberikan

sebagai organ donor bagi yang membutuhkan.

Untuk operasi darurat, di belakang angka diberi huruf E (emergency) atau D

(darurat), mis: operasi apendiks diberi kode ASA 1.E

2.3 Kunjungan Pra Operatif

Seperti yang sudah diketaliui, setiap akan melakukan anestesi dan

operasi pembedahan diperlukan persiapan untuk memberikan rasa nyaman dan

menjaga keselamatan pasien sebelum, selama dan sesudah anestesi dan operasi

pembedahan. Kunjungan pre-operatif bertujuan untuk :

1. Membina hubungan baik dengan pasien

2. Mengetahui riwayat anestesi, riwayat penyakit dahulu dan sekarang,

dan riwayat pembedahan

3. Menyelenggarakan pemeriksaan fisik

4. Melakukan pemeriksaan khusus

5. Menentukan status fisik dan menilai resiko anestesi dan pembedahan,

bila perlu menunda atau membatalkan operasi


17

6. Mengadakan pengelolaan pre-operatif

7. Merencanakan dan menentukan obat premedikasi, obat anestesi dan

pengelolaan anestesi yang sesuai dengan kondisi pasien

Secara umum, tujuan kunjungan pra anestesi adalah menekan mobiditas dan

mortalitas.

Kunjungan pre operatif dilakukan berdasarkan jenis operasi yang akan

dilakukan. Kunjungan pada operasi elektif umumnya 1-2 hari sebelum operasi

sedangkan operasi emergensi dilakukan beberapa jam sebelum operasi atau

pada saat dikonsulkan oleh ahli bedah. 4 hal penting yang di evaluasi pada saat

kunjungan pre operatif :

1. “Surgical disease” yaitu penyakit yang menyebabkan penderita di operasi

2. “Internal disease” yaitu penyakit lain yang menyertai surgical disease, misal

penderita hernia dengan penyakit diabetes melitus

3. Kesulitan pemberian anestesi, misalnya kesulitan intubasi atau kesulitan

penyuntikan pada analgesia regional

4. Komplikasi anestesi yang mungkin terjadi baik selama dan sesudah operasi
2.4 Premedikasi
18

2.4.1 Definisi

Premedikasi adalah tindakan awal anestesia untuk memberikan obat –

obat pendahuluan yang terdiri dari obat – obat golongan antikolinergik, sedatif

/ trankuilizer dan analgetik

2.4.2 Tujuan

 Pasien tenang, rasa takutnya berkurang

 Mengurangi nyeri/sakit saat anestesi dan pembedahan

 Mengurangi dosis dan efek samping anestetika

 Menambah khasiat anestetika

2.4.3 Cara

Cara pemberian obat premesikasi diberikan berdasarkan rute pemberian

obatnya, sesuai tabel dibawah sehingga jika akan dilakukan anestesi, obat

premedikasi harus diberikan sebelum mulai kerja obat tersebut.

Cara mula kerja masa kerja


Oral 1 – 2 jam 6 – 8 jam
Intravena + 2 – 5 menit + 2 – 3 jam
Intramuskular + 30 – 60 menit 4 – 6 jam
Supositoria 10 – 15 menit 4 – 8 jam

Tabel 2.1. Cara pemberian premedikasi

2.4.4 Penggolongan Obat-Obat Premedikasi

Obat – obat yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah :

1. Golongan Narkotika
19

Berdasarkan struktur kimia, analgetik narkotik atau opioid, dibedakan menjadi

3 kelompok :

a. Alkaloid opium ( natural ) : Morfin dan kodein

b. Derivat semisintetik : Diasetilmorfin (heroin), hidromorfin,

oksimorfon, hidrokodon dan oksikodon

c. Derivat sintetik :

 Fenilpiperidine : petidin, fentanil, sulfentanil dan alfentanil

 Benzmorfans : pentazosin, fenazosin dan siklazosin

 Morfinans : lavorvanol

 Propionanilides : metadon

 Tramadol

Sebagai analgesik, opioid bekerja secara sentral pada reseptor – reseptor

opioid yang diketahui ada 4 reseptor, yaitu :

a. Reseptor Mu

Morfin bekerja secara agonis pada reseptor ini, stimulasi pada reseptor ini

akan menimbulkan analgesia, rasa segar, euphoria dan depresi respirasi

b. Reseptor Kappa

Stimulasi reseptor ini menimbulkan analgesia, sedasi dan anestesia.

Morfin bekerja pada reseptor ini

c. Reseptor Sigma

Stimulasi reseptor ini menimbulkan perasaan disforia, halusinasi, pupil

midriasis dan stimulasi respirasi


20

d. Reseptor Delta

Pada manusia peran reseptor ini belum diketahui dengan jelas. Diguga

memperkuat reseptor Mu

Efek obat terhadap sistem tubuh :

Sistem saraf pusat Sebagai analgetik, obat ini bekerja pada


talamus dan substansia gelatinosa medula
spinalis dan sebagai efek sedasi
Sistem respirasi Menimbulkan depresi pusat nafas terutama
pada bayi dan orangtua. Terhadap bronkus,
petidin menyebabkan dilatasi bronkus,
sedangkan morfin menimbulkan konstriksi
akibat pengaruh peran histamin
Sistem sirkulasi Tidak menimbulkan depresi sistem sirkulasi
Sistem lain Merangsang pusat muntah, spasme spinter
kandung empedu sehingga mengakibatkan
kolik abdomen. Morfin merangsang pelepasan
histamin sehingga menimbulkan efek gatal
diseluruh tubuh sedangkan petidin pelepasan
histamin terjadi dilokasi suntikan saja.
Tabel 2.2 efek obat golongan narkotik

Cara pemberian dan dosis :

Morfin memiliki kekuatan 10 kali dibanding petidin, ini berarti bahwa dosis

morfin sepersepuluh dari petidin, sedangkan fentanil 100 kali dari petidin

Analgesik narkotik digunakan sebagai :


21

a. Premedikasi : petidin diberikan intramuskular dengan dosis 1 mg/kgBB atau

intravena 0,5 mg/kgBB. Sedangkan morfin sepersepuluh dari petidin dan

fentanil seperseratus dari petidin

b. Analgetik untuk pasien yang menderita nyeri akut / kronis, diberikan

sistemik atau regional intratekal / epidural

c. Suplemen anestesi atau analgesik

d. Analgetik pada tindakan endoskopi atau diagnostik lain

e. Suplemen sedasi dan analgetik di unit terapi intensif

Kontraindikasi :

Pemberian narkotik harus hati – hati pada pasien orang tua atau bayi dan

keadaan umum yang buruk. Tidak boleh diberikan pada pasien yang

mendapatkan preparat penghambat monoamin oksidase, pasien asma dan

penderita penyakit hati

Kemasan dan sifat fisik :

a. Petidin dalam bentuk ampul 2 ml yang mengandung 50 mg/ml dan tidak

berwarna

b. Fentanil dikemas steril dalam bentuk ampul 2 dan 10 ml tiap ml

mengandung 50 ug

c. Morfin dalam bentuk ampul 1 ml yang mengandung 10 mg atau 20 mg,

tidak berwarna dan bisa dicampur dengan obat lain.

Dalam aplikasi sehari-hari, ketiga golongan obat – obat premedikasi ini

dicampur dalam satu spuit kecuali diazepam, dan disuntikkan secara


22

intramuskular. Pemberian dengan cara ini dimaksudkan untuk mengurangi

suntikan berulang.

2. Obat golongan antikolinergik

Obat golongan antikolinergik adalah obat-obatan yang berfungsi menekan

atau menghambat aktivitas kolinergik atau parasimpatis

Tujuan utama pemberian obat golongan antikolinergik untuk premedikasi

adalah

a. Mengurangi sekresi kelenjar saliva, saluran cerna dan saluran nafas

b. Mencegah spasme laring dan bronkus

c. Mencegah bradikardi

d. Mengurangi motilitas usus

e. Melawan efek depresi narkotik terhadap pusat nafas

Obat golongan antikolinergik yang digunakan dalam praktik anestesi adalah

preparat ALKALOID BELLADONA, yang turunannya adalah : Sulfas atropin

dan skopolamin

Mekanisme Kerja : menghambat asetil kolin pada organ yang diinervasi oleh

serabut saraf otonom parasimpatis atau serabut saraf yang mempunyai

neurotransmitter asetil kolin. Alkaloid belladona menghambat muskarinik

secara kompetitif yang ditimbulkan oleh asetil kolin pada sel efektor organ

terutama pada kelenjar eksokrin, otot polos dan otot jantung. Efek atropin

lebih dominan pada otot jantung, usus dan bronkus sedangkan skopolamin

lebih dominan pada iris, korpuas siliare dan kelenjar.

Efek obat pada beberapa sistem :


23

Sistem saraf pusat Atropin : tidak menimbulkan depresi saraf pusat


Skopolamin : menimbulkan depresi susunan
saraf pusat sehingga menimbulkan rasa ngantuk,
euphoria, amnesia dan rasa lelah
Sistem respirasi Menghambat sekresi kelenjar hidung, mulut,
faring, trakea dan bronkus. Menyebabkan
mukosa jalan nafas kekeringan, relaksasi otot
polos bronkus dan bronkial, sehingga diameter
lumen melebar akan menyebabkan volume
ruang rugi (death space) bertambah
Sistem Kardiovaskuler Menghambat aktivitas vagus pada jantung,
sehingga denyut jantung meningkat, tetapi
berpengaruh langsung pada tekanan darah.
Sistem saluran cerna Menghambat sekresi air liur sehingga mulut
terasa kering dan sulit menelan, mengurangi
sekresi getah lambung, mengurangi tonus otot
polos sehingga motilitas usus menurun
Kelenjar keringat Menghambat sekresi kelenjar keringat sehingga
menyebabkan kulit kering dan badan terasa
panas akibat pelepasan panas tubuh terhalang
melalui proses evaporasi
Tabel 2.3 efek obat anti kolinergik

Cara pemberian dan dosis :

1. Intramuskular, dosis 0,01 mg/kgBB, diberikan 30-45 menit sebelum

induksi

2. Intravena, dengan dosis 0,005

Kontraindikasi :

Pasien demam, takikardi, glaukoma dan tirotoksikosis


24

Kemasan dan sifat fisik :

Dikemas dalam bentuk ampul 1 ml mengandung 0,25 dan 0,50 mg, tidak

berwarna dan larut dalam air

3. Obat golongan sedatif / trankuilizer

Obat golongan sedatif adalah obat – obat yang berguna untuk anti cemas dan

menimbulkan rasa kantuk. Tujuan pemberian obat golongan ini adalah untuk

memberikan suasanya nyaman bagi pasien prabedah, bebas dari rasa cemas

dan takut, sehingga pasien menjadi tidak peduli dengan lingkungannya.

Untuk keperluan ini, obat golongan sedatif / trankuilizer yang sering

digunakan adalah :

a. Derivat fenothiazin

Yang banyak digunakan premedikasi adalah prometazin.

Efek obat terhadap beberapa sistem tubuh :

Sistem saraf pusat Menimbulkan depresi saraf pusat, bekerja pada


formasio retikularis dan hipotalamus menekan
pusat muntah dan mengatur suhu
Sistem respirasi Menyebabkan dilatasi otot polos saluran nafas dan
menghambat sekresi kelenjar
Sistem Menyebabkan vasodilatasi sehingga dapat
Kardiovaskuler memperbaiki perfusi jaringan
Sistem saluran cerna Menurunkan peristaltik usus, mencegah spasme
dan mengurangi sekresi kelenjar. Efek lainya
menekan katekolamin dan sebagai antikolinergik

Tabel 2.4 efek obat derivat fenothiazin


25

Sehingga dapat disimpulkan bahwa efek prometazin sebagai obat

premedikasi adalah sebagai sedatif, antiemetik, antikolinergik,

antihistamin, bronkodilator dan antipiretik

Cara pemberian dan dosis :

1. Intramuskular dosis 1 mg/kgBB dan diberikan 30 – 45 menit sebelum

induksi

2. Intravena dengan dosis 0,5 mg/kgBB diberikan 5 – 10 menit sebelum

induksi

Kemasan dan sifat fisik :

Dikemas dalam bentuk ampul 2 ml mengandung 50 mg. Tidak berwarna

dan larut dalam air

b. Derivat benzodiazepin

Derivat benzodiazepin yang banyak digunakan untuk premedikasi adalah

diazepam dan midazolam, derivat yang lain namun jarang digunakan

adalah klordiazepoksid, nitrazepam dan oksazepam.

Efek obat pada beberapa sistem

Sistem saraf pusat Menyebabkan sedasi dan anticemas yang


bekerja pada sistem limbik dan pada ARAS
sehingga bisa menimbulkan amnesia
anterograd. Sebagai anti kejang yang bekerja
pada kornu anterior medula spinalis dan
hubungan saraf otot, pada dosis kecil sebagai
sedatif, dosis tinggi sebagai hipnotik
Sistem respirasi Pada dosis kecil IV menimbulkan depresi
26

ringan yang tidak serius, namun jika


dikombinasikan dengan narkotik menimbulkan
depresi nafas yang lebih berat
Sistem Pada dosis kecil tidak ada efek, namun pada
Kardiovaskuler dosis besar menimbulkan hipotensi yang
disebabkan oleh efek dilatasi pembuluh darah
Saraf otot Menimbulkan penurunan tonus otot rangka
yang bekerja di tingkat supra spinal dan spinal,
sehingga sering digunakan pada pasien
menderita kekakuan otot rangka seperti tetanus
Tabel 2.5 efek obat derivat benzodiazepin

Cara pemberian dan dosis :

1. Pramedikasi, Intramuskular (IM) dengan dosis 0,2 mg/kgBB atau

peroral dengan dosis 5-10 mg

2. Induksi, diberikan intravena dengan dosis 0,2 – 0,5 mg/kgBB

3. Sedasi pada analgesia regional, diberikan intravena

4. Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin

Penggunaan lainnya adalah :

1. Antikejang pada kasus – kasus epilepsi, tetanus dan eklamsia

2. Sedasi pasien rawat inap

3. Sedasi pada tindakan kardioversi atau endoskopi

Pada pemberian intramuskular atau intravena, obat ini tidak bisa

dicampur dengan obat lain karena bisa terjadi presipitasi. Jalur vena yang

dipilih sebaiknya melalui vena – vena besar untuk mencegah flebitis.


27

Pemberian intramuskular kurang disenangi oleh karena menimbulkan rasa

nyeri pada daerah suntikan.

Kemasan dan sifat fisik :

Kemasan injeksi berbentuk larutan emulsi dalam ampul 2 ml

mengandung 10 mg. Berwarna kuning, sukar larut dalam air dan bersifat

asam. Kemasan oral dalam bentuk tablet 2 dan 5 mg. Kemasan

suppositoria atau rectal tube diberikan kepada anak – anak, sedangkan

midazolam yang ada dipasaran adalah hanya dalam bentuk larutan tidak

berwarna, mudah larut dalam air dan kemasan dalam ampul 3 dan 5 ml

mengandung 5 mg/ml

c. Derivat butirofenon

Derivat ini biasa disebut juga sebagai obat golongan neuroleptika, karena

sering digunakan sebagai neuroleptik. Derivat butirofenon yang sering

digunakan sebagai obat premedikasi adalah dehidrobenzperidol atau

populer disebut DHBP.

Efek obat pada beberapa sistem :

Sistem saraf pusat Sebagai sedatif atau transkuilizer, antimuntah


yang bekerja pada pusat mntah “chemoreseptor
trigger zone”. Efek samping yang tidak
dikehendaki adalah timbulnya rangsangan
ekstrapiramidal sehingga menimbulkan
gerakan tak terkendali
Sistem respirasi Menimbulkan sumbatan jalan nafas, dilatasi
pembuluh darah rongga hidung. Menimbulkan
28

dilatasi pembuluh darah paru sehingga KI


untuk pasien asma
Sistem sirkulasi Menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah
perifer, sehingga sering digunakan sebagai anti
syok, hipotensi
Tabel 2.6 efek obat derivat butirofen

Cara pemberian dan dosis :

1. Premedikasi, diberikan intramuskular dosis 0,1 mg/kgBB

2. Sedasi untuk tindakan endoskopi dan analgesia regional

3. Antihipertensi

4. Anti muntah

5. Suplemen anestesi

Kemasan dan sifat fisik :

Dalam bentuk ampul 2 ml dan 10 ml, mengandung 2,5 mg/ml tidak

berwarna dan bisa bercampur dengan obat lain

d. Derivat barbiturat

Derivat barbiturat yang sering digunakan sebagai obat premedikasi adalah

penobarbital dan sekobarbital. Digunakan sebagai sedasi dan penenang

prabedah, terutama pada anak – anak.

Pada dosis lazim, menimbulkan depresi ringan pada respirasi dan

sirkulasi. Sebagai premedikasi diberikan intramuskular dengan dosis 2

mg/kgBB

e. Antihistamin
29

Obat golongan ini yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah

derivat defenhidramin. Manfaat dan efek yang diharapkan adalah sedatif,

antimuntah ringan dan antipiretik sedangkan efek sampingnya adalah

hipotensi yang sifatnya ringan. Dosis 25 – 50 mg 3 kali pemberian secara

peroral. IV/IM dengan dosis 10-50 mg

2.5 Pemantauan Pasca Operasi Dini

Pasca Operasi adalah masa setelah dilakukan pembedahan yang dimulai

saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan berakhir sampai evaluasi

selanjutnya. Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi

dan anestesi yang biasa dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room,

yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca bedah atau anestesi.

Di ruang pulih sadar dilakukan pengamatan ketat jalan nafasnya apakah

bebas atau tidak, ventilasinya cukup atau tidak dan sirkulasinya sudah baik atau

tidak. Pasien dengan gangguan jalan nafas dan ventilasi harus ditangani secara

dini. Selain obstruksi jalan nafas karena lidah yang jatuh ke belakang atau

spasme laring, pasca bedah dini kemungkinan terjadi mual-muntah yang dapat

berakibat aspirasi. Anestesi yang masih dalam, dan sisa pengaruh obat

pelumpuh otot akan berakibat penurunan ventilasi.

Pada saat melakukan observasi di ruang pulih, agar lebih sistematis dan

lebih mudah dapat dilakukan monitoring B6, yaitu :

1. Breath (nafas) : sistem respirasi

 Pasien belum sadar dilakukan evaluasi : Pola nafas


30

- Tanda-tanda obstruksi

- Pernafasan cuping hidung

- Frekuensi nafas

- Pergerakan rongga dada : simetris/tidak

- Suara nafas tambahan : tidak ada pada obstruksi total

- Udara nafas yang keluar dari hidung

- Sianosis pada ekstremitas

- Auskultasi : wheezing, ronki

 Pasien sadar : tanyakan adakah keluhan pernafasan.

- Jika tidak ada keluhan : cukup berikan O2

- Jika terdapat tanda-tanda obstruksi : terapi sesuai kondisi

(aminofilin,kortikosteroid, tindakan tri ple manuver airway).

2. Blood (darah) : sistem kardiovaskuler

 Tekanan darah

 Nadi

 Perfusi perifer

 Status hidrasi (hipotermi ± syok)

 Kadar Hb

3. Brain (otak) : sistem SSP

 Menilai kesadaran pasien dengan GCS (Glasgow Coma Scale)

 Perhatikan gejala kenaikan TIK

4. Bladder (kandung kencing) : sistem urogenitalis


31

 Periksa kualitas, kuantitas, warna, kepekatan urine

 Untuk menilai : Apakah pasien masih dehidrasi, Apakah ada kerusakan

ginjal saat operasi, acute renal failure

5. Bowel (usus) : sistem gastrointestinalis

Periksa :

 Dilatasi lambung

 Tanda-tanda cairan bebas

 Distensi abdomen

 Perdarahan lambung post operasi

 Obstruksi atau hipoperistaltik, gangguan organ lain, misal: hepar,lien,

pancreas

 Dilatasi usus halus,

Hati-hati, pasien operasi mayor sering mengalami kembung yang

mengganggu pernafasan, karena ia bernafas dengan diafragma.

6. Bone (tulang) : sistem musculoskeletal

Periksa :

 Tanda-tanda sianosis

 Warna kuku

 Perdarahan post operasi

Gangguan neurologis : gerakan ekstremitas


32

Kriteria yang digunakan dan umunya yang dinilai pada saat observasi di ruang pulih

adalah warna kulit, kesadaran, sirkulasi, pernafasan, dan aktivitas motorik,seperti

skor Aldrete. Idealnya pasien baru boleh dikeluarkan bila jumlah skor total adalah 10.

Namun bila skor total telah di atas 8 , pasien boleh keluar ruang pemulihan.

Tabel 2.7 Alderet Score

Namun bila pasien tersebut anak-anak kriteria pemulihan yang digunakan adalah skor

Steward, yang dinilai antara lain pergerakan, pernafasan dan kesadaran. Bila skor

total di atas 5, pasien boleh keluar dari ruang pemulihan.


33

Untuk pasien dengan spinal anestesi digunakan kriteria skor Bromage, yang dinilai

adalah pergerakan kaki, lutut dan tungkai, apabila total skor di atas 2, pasien boleh di

pindahkan ke ruang rawat.


34

Gambar 2.4 Bromage Score


BAB 3

KESIMPULAN

Asesmen atau penilaian sebelum tindakan anestesi ini merupakan rangkaian

kegiatan yang mengawali suatu operasi yang akan dilaksanakan. Kunjungan pre

operatif dilakukan untuk mempersiapkan pasien pada kondisi fisiologis dan mental

yang optimal untuk menurunkan angka kejadian morbiditas dan mortalitas yang dapat

diakibatkan oleh tindakan bedah dan anestesi.

Pre-operative visite sebaiknya dilakukan sebelum melakukan anestesi di

kamar operasi karena sangat bermanfaat bagi pasien, operator dan ahli anestesi. Pre-

operative visit bertujuan untuk menilai kelayakan pasien untuk dilakukan anestesi dan

juga untuk menentukan jenis dan obat anestesi yang akan digunakan. Hal ini penting

untuk menjaga keselamatan pasien. Tindakan anestesi yang baik, bila mulai

persiapan, durante operasi dan pasca operasi berjalan dengan aman.

Persiapan pre anestesi meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

laboratorium dan persiapan penyakit penyulit dan persiapan pembedahan. Dari hasil

anamnesa, pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan

penunjang yang ada ditentukan status fisik pasien dan prognosis / resiko terhadap

anestesi dengan asesmen ASA, sehingga dapat memilih obat premedikasi anestesi.

Obat premedikasi terdiri dari golongan antikolinergik, sedatif dan narkotika.

34
DAFTAR PUSTAKA

Arief Mansjoer, Suprohaita, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan. Kapita


Selekta Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2000.
Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2010. Anestesiologi, Edisi Kedua . Jakarta:
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
Mangku, Gde dr, Senaphati, Tjokorda gde agung dr, 2017, Buku Ajar Ilmu Anestesi
dan Reanimasi, Jakarta : Indeks
M. Roesli Thaib. 2004. Monitoring Selama Anestesi, Anestesiologi. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Omoigui S. 2014. Buku Saku Obat-obatan Anestesia, Edisi 2. Jakarta: EGC

Vous aimerez peut-être aussi