Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
B. Etiologi
Penyebab ketuban pecah dini masih belum dapat diketahui dan tidak
dapat ditentukan secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan ada faktor-faktor
yang berhubungan erat dengan ketuban pecah dini, namun faktor-faktor mana
yang lebih berperan sulit diketahui. Adapun yang menjadi faktor risiko menurut
(Manuaba, 2009) adalah :
1) Inskompetensi Serviks
Inkompetensi serviks (leher rahim) adalah istilah untuk menyebut
kelainan pada otot-otot leher atau leher rahim (serviks) yang terlalu lunak
dan lemah, sehingga sedikit membuka ditengah-tengah kehamilan karena
tidak mampu menahan desakan janin yang semakin besar. Inkompetensi
serviks adalah serviks dengan suatu kelainan anatomi yang nyata,
disebabkan laserasi sebelumnya melalui ostium uteri atau merupakan suatu
kelainan kongenital pada serviks yang memungkinkan terjadinya dilatasi
berlebihan tanpa perasaan nyeri dan mules dalam masa kehamilan trimester
kedua atau awal trimester ketiga yang diikuti dengan penonjolan dan
robekan selaput janin serta keluarnya hasil konsepsi.
2) Peninggian Tekanan Intra Uterin
Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihandapat
menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini. Misalnya :
a) Trauma : Hubungan seksual, pemeriksaan dalam, amniosintesis
b) Gemelli (Kehamilan kembar) adalah suatu kehamilan dua janin atau
lebih. Pada kehamilan gemelli terjadi distensi uterus yang berlebihan,
sehingga menimbulkan adanya ketegangan rahim secara berlebihan.
Hal ini terjadi karena jumlahnya berlebih, isi rahim yang lebih besar
dan kantung (selaput ketuban ) relative kecil sedangkan dibagian
bawah tidak ada yang menahan sehingga mengakibatkan selaput
ketuban tipis dan mudah pecah. (Saifudin. 2002).
c) Makrosomia adalah berat badan neonatus >4000 gram kehamilan
dengan makrosomia menimbulkan distensi uterus yang meningkat atau
over distensi dan menyebabkan tekanan pada intra uterin bertambah
sehingga menekan selaput ketuban, manyebabkan selaput ketuban
menjadi teregang,tipis, dan kekuatan membrane menjadi berkurang,
menimbulkan selaput ketuban mudah pecah. (Winkjosastro, 2006)
d) Hidramnion atau polihidramnion adalah jumlah cairan amnion
>2000mL. Uterus dapat mengandung cairan dalam jumlah yang
sangat banyak. Hidramnion kronis adalah peningaktan jumlah cairan
amnion terjadi secara berangsur-angsur. Hidramnion akut, volume
tersebut meningkat tiba-tiba dan uterus akan mengalami distensi nyata
dalam waktu beberapa hari saja
3) Kelinan letak janin dan rahim : letak punggung, letak lintang
4) Kemungkinan kesempitan panggul : bagian terendah belum masuk PAP
(sepalo pelvic disproporsi)
5) Korioamnionitis adalah infeksi selaput ketuban. Biasanya disebabkan oleh
penyebaran organism vagina ke atas. Dua faktor predisposisi terpenting
adalah pecahnya selapit ketuban > 24 jam dan persalinan lama
6) Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh sejumlah
mikroorganisme yang menyebabkan infeksi selaput ketuban. Infeksi yang
terjadi menyebabkan terjadinya proses biomekanik pada selaput ketuban
dalam bentuk proteolitik sehingga memudahkan ketuban pecah
7) Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin C rendah, kelainan
genetik)
8) Riwayat KPD sebelumnya
9) Kelainan atau kerusakan selaput ketuban
10) Serviks (leher rahim) yang pendek (<25mm) pada usia kehamilan 23
minggu
F. Prognosis
Prognosis ketuban pecah dini ditentukan oleh cara penatalaksanaan dan
komplikasi - komplikasi dari kehamilan (Mochtar, 2011). Prognosis untuk janin
tergantung pada :
1. Maturitas janin: bayi yang beratnya di bawah 2500 gram mempunyai
prognosis yang lebih jelek dibanding bayi lebih besar
2. Presentasi: presentasi bokong menunjukkan prognosis yang jelek khususnya
kalau bayinya premature
3. Infeksi intra uterin meningkat mortalitas janin
4. Semakin lama kehamilan berlangsung dengan ketuban pecah , semakin
tinggi insiden infeksi
G. Komplikasi
Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada usia
kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal ataupun neonatal, persalinan
prematur, hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin, meningkatnya
insiden SC, atau gagalnya persalinan normal (Mochtar, 2011).
Persalinan Prematur Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh
persalinan. Periode laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm
90% terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34
minggu 50% persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu
persalinan terjadi dalam 1 minggu (Mochtar, 2011).
Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini. Pada ibu
terjadi korioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septikemia, pneumonia,
omfalitis. Umumnya terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Pada
ketuban pecah dini premature, infeksi lebih sering dari pada aterm. Secara
umum insiden infeksi sekunder pada KPD meningkat sebanding dengan
lamanya periode laten (Mochtar, 2011).
Pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat hingga
terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin
dan derajat oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat.
Ketuban pecah dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin
terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin, serta
hipoplasi pulmonal (Mochtar, 2011).
H. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa warna, konsentrasi, bau,dan
Phnya.
a) Tes lakmus (tes nitrazin, jika kertas lakmus merah berubah menjadi
biru, menunjukkan adanya air ketuban (alkalis).
b) Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada gelas dan
dibiarkan k ering, pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran
daun pakis.
2) Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam
kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit
(Manuaba, 2009).
I. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaa KPD memerlukan pertimbangkan usia kehamilan, adanya
infeksi pada komplikasi ibu dan janin dan adanya tanda-tanda persalinan.
Penanganan ketuban pecah dini menurut Sarwono (2010) , meliputi :
1) Konservatif
a) Pengelolaan konservatif dilakukan bila tidak ada penyulit (baik pada ibu
maupun pada janin) dan harus dirawat dirumah sakit
b) Berikan antibiotika (ampicilin 4 x 500mg atau eritromecin bila tidak
tahan ampicilin) dan metronidazol 2 x 500mg selama 7 hari
c) Jika umur kehamilan <32-34 minggu, dirawat selama air ketuban masih
keluar, atau sampai air ketuban tidak keluar lagi
d) Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum in partu, tidak ada infeksi, tes
buss negatif beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi dan
kesehjahteraan janin, terminasi pada kehamilan 37 minggu
e) Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu tidak ada infeksi
berikan tokolitik (salbutamol), deksametason dan induksi sesudah 24
jam
f) Jika usia kehamilan 32-37 minggu ada infeksi beri antibiotik dan
lakukan induksi
g) Kaji tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intra uterin)
h) Pada usia kehamilan 32-34 minggu berikan streid, untuk memicu
kematangan paru janin, dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin
dan spingomeilin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg sehari dosis
tunggal selama 2 hari, deksametason IM 5 mg setiap 5 jam sebanyak 4
kali
2) Aktif
1. Kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin bila gagal seksio sesarea.
Dapat pula diberikan misoprostol 50mg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4
kali
2. Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi dan persalinan
diakhiri
3. Bila skor pelvik < 5 lakukan pemtangan servik, kemudian induksi. Jika
tidak berhasil, akhiri persalinan dengan SC
4. Jila skor pelvik < 5 induksi persalinan partus pervaginam
2) Riwayat kesehatan
a) Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit kronis atau menular dan menurun seperti jantung, hipertensi,
DM, TBC, hepatitis, penyakit kelamin atau abortus
b) Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat pada saat sebelun inpartus didapatkan cairan ketuban yang
keluar pervagina secara spontan kemudian tidak diikuti tanda-tanda
persalinan
c) Riwayat kesehatan keluarga
Adakah penyakit keturunan dalam keluarga seperti jantung, DM, HT,
TBC, penyakit kelamin, abortus, yang mungkin penyakit tersebut
diturunkan kepada klien
d) Riwayat psikososial
Riwayat klien nifas biasanya cemas bagaimana cara merawat bayinya,
berat badan yang semakin meningkat dan membuat harga diri rendah
3) Pola-pola fungsi kesehatan
a) Pola persepsi dan tata leksana hidup sehat
Karena kurangnya pengetahuan klien tentang ketuban pecah dini, dan
cara pencegahan, penanganan, dan perawatan serta kurangnya mrnjaga
kebersihan tubuhnya akan menimbulkan masalah dalam perawatan
dirinya.
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Pada klien nifas biasanaya terjadi peningkatan nafsu makan karena dari
keinginan untuk menyusui bayinya
c) Pola aktifitas
Pada pasien pos partum klien dapat melakukan aktivitas seperti
biasanya, terbatas pada aktifitas ringan, tidak membutuhkan tenaga
banyak, cepat lelah, pada klien nifas didapatkan keterbatasan aktivitas
karena mengalami kelemahan dan nyeri
d) Pola eleminasi
Pada pasien pos partum sering terjadi adanya perasaan sering /susah
kencing selama masa nifas yang ditimbulkan karena terjadinya odema
dari trigono, yang menimbulkan inveksi dari uretra sehingga sering
terjadi konstipasi karena penderita takut untuk melakukan BAB
e) Pola istirahat dan tidur
Pada klien nifas terjadi perubagan pada pola istirahat dan tidur karena
adanya kehadiran sang bayi dan nyeri epis setelah persalinan
f) Pola hubungan dan peran
Peran klien dalam keluarga meliputi hubungan klien dengan keluarga
dan orang lain
g) Pola penagulangan sters
Biasanya klien sering melamun dan merasa cemas
h) Pola sensori dan kognitif
Pola sensori klien merasakan nyeri pada prineum akibat luka janhitan
dan nyeri perut akibat involusi uteri, pada pola kognitif klien nifas
primipara terjadi kurangnya pengetahuan merawat bayinya
i) Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan terhadap keadaan kehamilanya, lebih-lebih
menjelang persalinan dampak psikologis klien terjadi perubahan konsep
diri antara lain dan body image dan ideal diri
j) Pola reproduksi dan sosial
erjadi disfungsi seksual yaitu perubahan dalam hubungan seksual atau
fungsi dari seksual yang tidak adekuat karena adanya proses persalinan
dan nifas
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Biasanya pada saat menjelang persalinan dan sesudah persalinan klien
akan terganggu dalam hal ibadahnya karena harus bedres total setelah
partus sehingga aktifitas klien dibantu oleh keluarganya
4) Pemeriksaan fisik
a) Kepala
Bagaimana bentuk kepala, kebersihan kepala, kadang-kadang terdapat
adanya cloasma gravidarum, dan apakah ada benjolan
b) Leher
Kadang-kadang ditemukan adanya penbesaran kelenjar tiroid, karena
adanya proses menerang yang salah
c) Mata
Terkadang adanya pembengkakan pada kelopak mata, konjungtiva, dan
kadang-kadang keadaan selaput mata pucat (anemia) karena proses
persalinan yang mengalami perdarahan, sklera kuning
d) Telinga
Biasanya bentuk telinga simetris atau tidak, bagaimana kebersihanya,
adakah cairan yang keluar dari telinga
e) Hidung
Adanya polip atau tidak dan apabila pada pos partum kadang-kadang
ditemukan pernapasan cuping hidung
f) Dada
Terdapat adanya pembesaran payudara, adanya hiperpigmentasi areola
mamae dan papila mamae
g) Abdomen
Pada klien nifas abdomen kendor kadang-kadang striae masih terasa
nyeri. Fundus uteri 3 jari dibawa pusat
h) Genitalia
Pengeluaran darah campur lendir, pengeluaran air ketuban, bila terdapat
pengeluaran mekomium yaitu feses yang dibentuk anak dalam
kandungan menandakan adanya kelainan letak anak
i) Anus
Kadang-kadang pada klien nifas ada luka pada anus karena ruptur
j) Ekstermitas
Pemeriksaan odema untuk melihat kelainan-kelainan karena
membesarnya uterus, karena preeklamsia atau karena penyakit jantung
atau ginjal
k) Muskulus skeleta
Pada klien post partum biasanya terjadi keterbatasan gerak karena
adanya luka episiotomi
l) Tanda-tanda vital
Apabila terjadi perdarahan pada pos partum tekanan darah turun, nadi
cepat, pernafasan meningkat, suhu tubuh turun
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko infeksi, (factor resiko: infeksi intra partum, infeksi uterus berat,
gawat janin)
2. Kecemasan (Ansietas) b.d Perubahan dalam: status kesehatan
3. Defisiensi Pengetahuan b.d keterbatasan kognitif dalam hal mengenal tanda
dan gejala penyakit
4. Nyeri akut b.d agen cidera (fisik) luka operasi
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1) Risiko infeksi, (factor resiko: infeksi intra partum, infeksi uterus berat, gawat janin)
3) Defisiensi Pengetahuan b.d keterbatasan kognitif dalam hal mengenal tanda dan
gejala penyakit
D. IMPLEMENTASI
Implementasi keperawatan merupakan bagian dari proses keperawatan.
Tujuan implementasi adalah mengatasi masalah yang terjadi pada manusia.
Setelah rencana keperawatan disusun, maka rencana tersebut diharapkan dalam
tindakan nyata untuk mencapai tujuan yang diharapkan, tindakan tersebut harus
terperinci sehingga dapat diharapkan tenaga pelaksanaan keperawatan dengan
baik dan sesuai dengan waktu yang ditentukan Implementasi ini juga dilakukan
oleh perawat dan harus menjunjung tinggi harkat dan martabat sebagai manusia
yang unik (Hidayat, 2002).
E. EVALUASI
Evaluasi adalah tahapan akhir dari proses keperawatan. Evaluasi
menyediakan nilai informasi mengenai pengaruh intervensi yang telah
direncanakan dan merupakan perbandingan dari hasil yang diamati dengan
kriteria hasil yang telah dibuat pada tahap perencanaan(Hidayat, 2002).
Menurut Rohman dan Walid (2009), evaluasi keperawatan ada 2 yaitu:
1. Evaluasi proses (formatif) yaitu valuasi yang dilakukan setiap selesai
tindakan. Berorientasi pada etiologi dan dilakukan secara terus-menerus
sampai tujuan yang telah ditentukan tercapai
2. Evaluasi hasil (sumatif) yaitu evaluasi yang dilakukan setelah akhir
tindakan keperawatan secara paripurna. Berorientasi pada masalah
keperawatan dan menjelaskan keberhasilan atau ketidakberhasilan.
Rekapitulasi dan kesimpulan status kesehatan klien sesuai dengan
kerangka waktu yang ditetapkan
DAFTAR PUSTAKA
Mochtar Rustam. 2011. Sinopsis Obstentri Fisiologi dan Obstentri Patofisiologi. Edisi 3
Jilid I. Jakarta. EGC