Vous êtes sur la page 1sur 17

Secara umum fungsi DAS didasarkan pada batasan-batasan mengenai DAS

berdasarkan fungsi, yaitu :


DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk
mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain
dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan
menyimpan air (debit), dan curah hujan.
DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk
dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain
dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan
ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan
sungai, waduk, dan danau.
DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk
dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan
melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan,
dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah
Sedangkan kriteria DAS yang baik dapat dilihat dari kondisi DAS dikatakan baik jika
memenuhi beberapa kriteria :
Debit sungai konstan dari tahun ke tahun.
Kualitas air baik dari tahun ke tahun.
Fluktuasi debit antara debit maksimum dan minimum kecil. Hal ini digambarkan dengan
nisbah.
Ketinggian muka air tanah konstan dari tahun ke tahun.

udul
Peta Kawasan DAS Cisadane (15 DAS Prioritas)
Abstrak
DAS Cisadane adalah salah satu DAS yang termasuk 15 DAS prioritas pada wilayah kerja
BPDASHL Citarum Ciliwung yang menjadi target RPJM Tahun 2015 - 2019 berdasarkan
Keputusan Presiden No. 2 tahun 2015

Judul
Peta Kekritisan Lahan DAS Cisadane (15 DAS Prioritas)
Abstrak
Peta dan data hutan dan lahan kritis nasional tahun 2013 menjadi acuan bagi pemerintah,
pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan masyarakaat dalam penyelenggaraan
rehabilitasi hutan dan lahan, mengacu pada Keputusan Dirjen BPDASHL Nomor : SK.4/V-
DAS/2015 tentang Penetapan Peta dan Data Hutan dan Lahan Kritis Nasional Tahun 2013
tanggal 29 Januari 2015
PDAM PDAM Tirta Kerta Raharja Kab. Tangerang

#xpdccisadane. Sampah, Masih Masalah!

Impian mempunyai sebuah lingkungan bersih, sehat dan ramah bagi penduduknya, sepertinya masih jauh dari
kenyataan. Salah satu aspek lingkungan, yang bisa memberikan gambaran akan masih jauhnya impian kita itu
adalah sungai.

Bagi warga Bogor, baik kotamadya maupun kabupaten, keberadaan dua sungai besar yang melintas di wilayah
ini memiliki arti yang sangat penting. Sungai Ciliwung, yang berhulu di kawasan puncak, menjadi sumber utama
untuk mengairi wilayah persawahan. Namun fungsi penting tersebut seolah terkubur oleh image buruk, “sungai
pembawa bencana”. Hal ini terkait dengan seringnya terjadi banjir di ibukota Jakarta, yang merupakan banjir
“kiriman dari Bogor” dengan Ciliwung sebagai alur perantaranya.

Pun Sungai Cisadane, yang kalah pamor oleh aliran sebelahnya, seringkali terabaikan. Keberadaan sungai ini
pun tidak kalah penting dibanding Ciliwung. Dua perusahaan air minum daerah, milik Kota Bogor maupun
Kabupaten Bogor, memanfaatkan air sungai ini sebagai bahan baku utamanya. Berdasarkan data yang dirilis
PDAM Tirta Pakuan (perusahaan milik Kota Bogor), dari kapasitas terpasang produksi tahun 2009 yang
berjumlah 1.720 lt/dt air baku, hampir 75% atau 1300 lt/dt merupakan air baku yang berasal dari Sungai
Cisadane. Perlu diketahui, per Desember 2013, jumlah warga terlayani mencapai 410.520 jiwa.

Meski penting dalam memenuhi kebutuhan hidup utama, namun upaya pengelolaan wilayah sungai ini seperti
tidak diperhatikan. Saat saya menyusuri Sungai Cisadane di wilayah hulu, saya kaget dengan kondisi sungai ini.
Banyak sekali sampah yang berserakan. Baik itu di pinggir sungai, di bibir sungai, maupun di tengah sungai.
Saat hujan turun, debit air naik, sampah-sampah tadi mengalir berarak, persis seperti karnaval!
Sampah yang berarak selepas turun hujan

Saluran pembuangan dari Sekolah Polisi Negara (SPN) di daerah Cisalopa

Ironisnya, masih banyak warga yang memanfaatkan sungai ini untuk tempat cuci kakus dan mandi. Di daerah
Cisalopa, tepat sekitar 50 meter dari saluran pembuangan limbah Sekolah Polisi Negara (SPN), banyak ibu-ibu
dan gadis muda mencuci pakaian dan alat makan. Padahal menurut penuturan Miftah (77) warga sekitar, saat
SPN “mengeluarkan” kotorannya, baunya bisa tercium sampai jarak 300 meter. Dan biasanya, mereka “buang
hajat” saat hujan turun.
Memang biasanya, industri menengah dan besar yang ada di sekitar sungai, membuang sisa kotorannya ke sungai
saat turun hujan. Suatu saat saya sedang berada di camp salah satu operator rafting di daerah Cimande, lalu turun
hujan. Teman-teman operator disana bilang, “lihat deh bang, sebentar lagi air sungai akan berubah” ujar salah
satu teman. Dalam benak saya, wajar akan berubah, karena saya sering menyaksikannya. Air sungai akan
berubah menjadi cokelat karena banyak lumpur yang terkikis air hujan, lalu ikut mengalir. Namun yang saya
saksikan ternyata berbeda. Dari sudut sungai, perlahan keluar aliran hitam. Dari volume awalnya kecil, aliran
hitam itu lalu membesar dan mengeluarkan bau menyengat. Menurut pejelasan teman operator rafting tadi, itu
adalah aliran limbah dari PT. Mayora. Menjijikan!

Menjadi sebuah kewajaran kalau saat ini kualitas Sungai Cisadane, maupun sungai-sungai lain di negeri ini
mengalami mengalami penurunan kualitas. Dan langkah-langkah pembangunan pun selalu difokuskan kepada
pembangunan infrastruktur. Benar itu adalah sesuatu yang penting dan memang perlu segera dilakukan.
Pembuatan waduk sebagai sarana penampung air, normalisasi waduk dan sungai untuk optimalisasi fungsi.
Namun ada hal yang lebih penting dari itu. Pengelolaan sumberdaya manusia dan penegakan hukum.

Manusia-manusia di negeri ini, harus selalu diingatkan untuk menjaga lingkungannya. Himbauan buang sampah
pada tempatnya, bukan ke sungai, hal sederhana namun memiliki dampak luar biasa. Banyak lembaga penelitian
menyebutkan, limbah rumah tangga menjadi tingkat penceraman sungai yang utama. Kalau kita lihat dari
kuantitas, atau dilihat kasat mata, mungkin itu benar. Namun apakah industri yang membuang limbahnya ke
sungai tidak lebih membahayakan? Bahan-bahan kimia yang digelontorkan tersebut, sepertinya lebih memacu
penurunan kualitas air dibanding “air kecil atau air besar” yang dibuang masyarakat.

Kita juga memiliki banyak produk hukum dan regulasi yang dikeluarkan untuk mengatur pengelolaan sungai
atau daerah aliran sungai. Namun lagi-lagi kenyataan dilapangan, semua seperti tak ada aturan. Di daerah Muara
Jaya, ada sebuah pabrik yang mendirikan benteng bangunannya di badan sungai! Bukan lagi di sempadan sungai,
apalagi berjarak 10-50 meter dari sungai sesuai aturan, tapi di badan sungai! Melihat kondisi tersebut, saya jadi
bertanya, apakah perundangan dan peraturan memang dibuat untuk sengaja dilanggar? Atau coba ditegakkan,
tapi pada akhirnya tak berjalan, yah biar saja, yang penting bisa korupsi.

Benteng sebuah pabrik yang "ditanam" di badan sungai


Balik lagi ke sampah, sepertinya di wilayah sini kita bisa ikut berpartisipasi dalam upaya menahan laju
kerusakan. Menghambat penurunan kualitas sungai secara drastis. Teman-teman di Komunitas Peduli Ciliwung
Bogor, rutin setiap akhir pekan melakukan kegiatan mulung sampah di Sungai Ciliwung. Pak Jumanta, penjaga
bendungan Empang Cisadane, setiap pekan “menguras” sampah yang tersangkut di pintu air. “pernah mas saya
emosi banget. Saya lagi capek-capek bersihin, eh diseberang ada orang yang buang keresek sampah, plung!”

Kita harus merubah pola pikir bahwa sungai bukan halaman belakang rumah, yang bisa diperlakukan seenaknya.
Buang sampah kesitu, air kecil air besar kesitu, kasur tak terpakai kesitu. Padahal sehari-hari mandi, cuci baju,
cuci pakaian disitu. Orang kota pun sama, mereka menggunakan air yang sama dengan orang diwilayah hulu.
Jadi tidak ada lagi batasan bahwa yang wajib menjaga sungai adalah orang yang tinggal di wilayah hulu. Menjaga
sungai adalah kewajiban kita semua. Karena kita sama-sama menikmati manfaat dari sungai tersebut.
Sampah yang menggunung di pinggir sungai

Pengelolaan DAS Provinsi Banten


Administrator | 24 May 2017
PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

DI PROVINSI BANTEN

A. PENGELOLAAN DAS TERPADU

Kerusakan lingkungan di Indonesia telah menjadi keprihatinan banyak


pihak. Hal ini ditandai dengan meningkatnya bencana alam yang
dirasakan, seperti bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan yang
semakin meningkat dimana-mana. Rendahnya daya dukung Daerah
Aliran Sungai (DAS) sebagai suatu ekosistem diduga merupakan salah
satu penyebab utama terjadinya bencana alam yang terkait dengan air
(water related disaster) tersebut. Kerusakan DAS dipercepat oleh
peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam sebagai akibat dari
pertambahan penduduk dan perkembangan ekonomi, konflik kepentingan
dan kurang keterpaduan antar sektor, antar wilayah hulu-tengah-hilir.

Upaya-upaya untuk memperbaiki kondisi DASdi Indonesia sebenarnya


sudah dimulai sejak tahun 1970-an melalui Program Penyelamatan
Hutan, Tanah dan Air (PPHTA), melalui Inpres Penghijauan dan Reboisasi,
kemudian dilanjutkan dengan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan
Lahan (GN-RHL), Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GNKPA)
dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Tujuan dari
upaya-upaya tersebut pada dasarnya adalah untuk mewujudkan
perbaikan lingkungan seperti penanggulangan bencana alam banjir,
tanah longsor, dan kekeringan secara terpadu, transparan dan
partisipatif, sehingga sumberdaya hutan dan lahan berfungsi optimal
untuk menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS, serta
memberikan manfaat sosial ekonomi yang nyata bagi masyarakat.

Sebagaimana telah kita pahami bersama, Daerah Aliran Sungai yang


selanjutnya disingkat DAS merupakan kesatuan ekosistem alami yang
utuh dari hulu hingga hilir beserta kekayaan sumber daya alam dan
sumber daya buatan merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang perlu
disyukuri, dijaga dan dikelola dengan sebaik mungkin sehingga dapat
menimbulkan manfaat bagi kesejahteraan kehidupan kita.

Dalam melakukan berbagai upaya pengelolaannya, tujuan yang hendak


kita capai dalam melakukan pengelolaan DAS diantaranya adalah untuk
mewujudkan kondisi lahan yang produktif sesuai dengan daya dukung
dan daya tampung lingkungan DAS secara berkelanjutan, mewujudkan
kuantitas, kualitas dan keberlanjutan ketersediaan air yang optimal
menurut ruang dan waktu dan mewujudkan peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Sebagai satu kesatuan ekosistem yang utuh dari hulu sampai hilir
pengelolaan DAS harus dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan
yang dilakukan semua stakeholders terkait sesuai dengan perannya
masing-masing. Pengelolaan DAS dilakukan dengan melibatkan
pemangku kepentingan pengelolaan sumberdaya alam terkait yang terdiri
dari unsur–unsur masyarakat, dunia usaha, Pemerintah, dan Pemerintah
Daerah dengan prinsip-prinsip keterpaduan, kesetaraan dan
berkomitmen untuk menerapkan penyelenggaraan pengelolaan
sumberdaya alam yang adil, efektif, efisien dan berkelanjutan.

Pengelolaan DAS Terpadu adalah rangkaian upaya perumusan tujuan,


sinkronisasi program, pelaksanaan dan pengendalian pengelolaan sumber
daya DAS lintas para pemangku kepentingan secara partisipatif
berdasarkan kajian kondisi biofisik, ekonomi, sosial, politik dan
kelembagaan guna mewujudkan tujuan Pengelolaan DAS.

B. PENGELOLAAN DAS TERPADU DI PROVINSI BANTEN

Provinsi Banten dengan luas wilayah 865.120 Ha yang terdiri dari 4


(empat) Kabupaten dan 4 (empat) Kota memiliki kawasan hutan seluas
208.161,27 Hektar yang terdiri dari Hutan Konservasi seluas 127.889,30
Hektar (61%), Hutan Lindung seluas 9.471,39 Hektar (5%) dan Hutan
Produksi seluas 70.797,58 (34%). Jumlah proporsi luas kawasan hutan
terhadap luasan wilayah di Provinsi Banten mencapai 24,06%.

Apabila dilihat dari jumlah keseluruhan DAS (DAS besar dan DAS kecil)
yang ada berdasarkan overlay citra satelit, jumlah DAS di Provinsi Banten
sebanyak ± 299 DAS. Akantetapi apabila DAS-DAS tersebut
dikelompokan berdasarkan Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) yang
menggabungkan DAS yang berukuran kecil kedalam DAS besar jumlah
DAS di Provinsi Banten berjumlah sebanyak 54 DAS yang terbagi kedalam
SWP DAS Ciujung Teluk Lada sebanyak 47 DAS dan SWP DAS Ciliwung –
Cisadane - Cimandiri sebanyak 7 DAS.

Dalam melakukan pengelolaannya, beberapa DAS yang memiliki urgensi


dan tingkat kerawanan yang cukup tinggi seperti DAS Cisadane, DAS
Ciujung, DAS Cidanau dan DAS Cibanten telah dilakukan upaya
pengelolaan DAS secara terpadu. Untuk merealisasikan hal tersebut
Pemerintah Provinsi Banten yang bersinergi dengan pihak-pihak terkait
telah mengupayakan pembentukan Forum DAS dan mengupayakan
penyusunan Dokumen Rencana Pengelolaan DAS Terpadu. Uraian dari
kondisi umum, permasalahan, upaya tindak lanjut serta upaya yang telah
dilakukan pada DAS-DAS tersebut adalah sebagai berikut :

1. DAS Cisadane

Berdasarkan letak geografi, DAS Cisadane berada pada posisi 6,72 –


6,76 o LS dan 106,58 – 106,51 o BT. Sebelah Barat DAS Cisadane
berbatasan dengan DAS Cimanceuri, Ciujung, Cidurian dan Cibareno.
Sebelah Selatan berbatasan dengan DAS Cimandiri. Sebelah Timur
berbatasan dengan DAS Kali Angke dan DAS Ciliwung. Total luas DAS
Cisadane adalah 154.654 Ha. Terbagi menjadi 4 sub DAS, yaitu 2 sub
DAS di bagian hulu (Cianten dan Cisadane Hulu), 1 sub DAS di bagian
tengah dan 1 sub DAS di bagian hilir. Sungai utama yang mengalir di DAS
Cisadane adalah Sungai Cisadane yang berasal dari Gunung Gede (2.958
m dpl), mengalir sepanjang 126 Km menuju muara di sekitar Tanjung
Burung di Kabupaten Tangerang. Bagian Hulu Sub DAS Cianten terdapat
Gunung Kendeng (1.749 m dpl) dan Gunung Salak (2.211 m dpl). Dari
Gunung Kendeng, air mengalir melewati Sungai Cikaniki dan bergabung
dengan Sungai Cianten di Desa Cijujung Kecamatan Cibungbulang
Kabupaten Bogor.

Terdapat 11 top isu paling banyak diangkat di DAS Cisadane yang


dikelompokkan ke dalam isu fisik, isu ekonomi, dan isu social sebagai
berikut :

1. Isu fisik : limpasan permukaan yang tinggi, laju erosi tinggi dan longsor yang sering terjadi,
sumber dan mata air yang semakin terbatas, dan kualitas air yang semakin memburuk.
2. Isu ekonomi : tambang atau galian C yang tidak mengindahkan lingkungan, kemiskinan dan
kesenjangan ekonomi yang tidak kunjung teratasi, dan penyediaan air bagi pertanian dan
industri yang semakin tidak memadai.
3. Isu sosial : ketidakpatuhan terhadap tata ruang, alih fungsi lahan yang semakin banyak
terjadi, tumpang tindih kawasan atau tata batas yang tidak jelas, serta penanganan sampah
dan limbah yang sangat tidak memadai.
Berdasarkan data potensi dan analisis terhadap permasalah yang ada
beberapa rekomendasi yang harus dilakukan di DAS Cisadane adalah
sebagai berikut :

1. Persiapan pengembangan kelembagaan untuk imbal jasa lingkungan terkait sumber daya air
yang bersifat mandatory.
2. Aspek hukum harus ditegakkan untuk menjamin terlaksananya mekanisme reward and
punishmentdalam pengelolaan DAS Cisadane.
3. Penguatan kembali aturan hukum dan penegakannya (law enforcement) berkaitan dengan
tata ruang (RTRW), sistem tenurial (masalah konflik lahan, penelantaran lahan dan lahan
gontai).
4. Pelibatan masyarakat sejak dini dalam kegiatan perencanaan menjadi kunci keberlangsungan
kegiatan rehabilitasi sehingga dari awal tergambar dengan jelas tangungjawab dan peran
masing-masing pihak.
5. Permasalahan di dalam kawasan hutan diselesaikan secara struktural di internal Departemen
Kehutanan dan pelibatan masyarakat yang tergabung dalam LMDH.
6. Pendekatan rehabilitasi DAS harus didasari dengan program-program untuk meningkatkan
atau menciptakan pendapatan masyarakat (income generating).
7. Kepemimpinan dan dorongan politik menjadi penentu keberhasilan kegiatan ini di lapangan
sehingga diperlukan leadership yang kuat dari bupati, kepala dinas terkait, BPDAS, Perhutani
untuk sama-sama mendorong pelaksanaan secara menyeluruh dan memahami tangung
jawab masing-masing dengan mengedepankan fungsional dibanding kewenangan yang
dimiliki.
8. Ada keberlanjutan kebijakan jangka panjang yang tidak terpengaruh oleh pergantian personil
di lembaga pemangku kepentingan (menjaga tidak terjadi time in consistency).
9. Penyadaran publik tentang pola penggunaan lahan yang lestari dan berwawasan lingkungan,
penggunaan bahan kimia dalam budidaya pertanian sesuai aturan dan secara ekonomi
menguntungkan perlu mendapat dukungan yang nyata sehingga penyuluhan dan penyadaran
serta perubahan nilai di masyarakat menjadi kunci dalam pelaksanaan program.
10. Perlu pendampingan dan pelatihan dengan melibatkan perguruan tinggi dalam mendampingi
pemda dan masyarakat menjadi salah satu faktor keberhasilan kegiatan.
11. Perlu dibentuk Komisi Pengendali DAS Cisadane yang beranggotakan seluruh
perwakilan stakeholder yang berfungsi untuk merumuskan pengelolaan DAS Cisadane
terpadu.

2. DAS Ciujung

DAS Ciujung secara administrasi berada dalam 5 (lima) wilayah


administrasi kabupaten / kota, yaitu Kabupaten Bogor (Propinsi Jawa
Barat), dan Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang,
dan Kota Serang (Propinsi Banten); serta berada dalam 4 (empat puluh
enam) wilayah kecamatan, yakni Kecamatan Cigudeg, Jasinga, Cijaku,
Cipanas, Leuwidamar, Bojongmanik, Gunungkencana, Banjarsari, Cileles,
Warung Gunung, Cikulur, Cimarga, Rangkasbitung, Cibadak, Sajira,
Curug-bitung, Tenjo, Sobang, Muncang, Mandalawangi, Pandeglang,
Cimanuk, Cipeucang, Mekarjaya, Keduhejo, Karang Tanjung, Cadas Sari,
Ciomas, Pabuaran, Baros, Petir, Cikeusal, Kragilan, Ciruas, Carenang,
Kasemen, Pontang, Kronjo, Tirtayasa, Cikande, Kiblin, Jawilan,
Pamarayan, Cisoka, Kopo, Curug, Walantaka, dan Cipocok Jaya.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung merupakan satu kesatuan ekosistem


yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan
vegetasi serta sumberdaya manusia sebagai pelaku pemanfaat
sumberdaya alam tersebut. Sebagai suatu kesatuan tata air, DAS Ciujung
dipengaruhi kondisi bagian hulu khususnya kondisi biofisik daerah
tangkapan dan daerah resapan air yang di banyak tempat rawan terhadap
ancaman gangguan manusia. Hal ini mencerminkan bahwa kelestarian
DAS Ciujung ditentukan oleh pola perilaku, keadaan sosial-ekonomi dan
tingkat pengelolaan yang sangat erat kaitannya dengan pengaturan
kelembagaan (institutional arrangement).

Berdasarkan beberapa isu pokok di wilayah DAS Ciujung diantaranya


meluasnya lahan kritis yaitu seluas 17.741,49 (8,17%), dan tingkat
kerentanan terhadap kekritisan lahan dengan kategori agak kritis sekitar
47.362,33 ha (21,81) dan sangat kritis mencakup luas sekitar 109,10 ha
(0.05%), fluktuasi debit air di bendung Pamarayan sangat tajam yaitu
sekitar 100 m3/detik pada musim hujan dan sekitar 5-12 m3/detik pada
musim kemarau, pencemaran air sungai di Sungai Ciujung wilayah hilir
dalam tingkat berat, tingkat kerentanan kekurangan air untuk
penyediaan air irigasi seluas 21.454 ha dan serta air baku untuk
Kabupaten Lebak, Kabupaten Serang dan Kota Serang.

Hasil identifikasi permasalahan pengelolaan DAS Ciujung diantaranya


adalah sebagai berikut :

1. Lahan kritis (penyebab, luas dan distribusi);


2. Kondisi habitat (daerah perlindungan keanekaragaman hayati);
3. Sedimentasi (sumber, laju, dampak);
4. Debit dan kualitas air (sumber polutan, kelas, waktu);
5. Masalah penggunaan air tanah dan air permukaan;
6. Daerah rawan bencana (banjir, longsor, dan kekeringan);
7. Masalah sosial-ekonomi dan kelembagaan;
8. Masalah tata ruang dan penggunaan lahan;
9. Permasalahan antara hulu dan hilir,
10. Konflik pemanfaatan sumberdaya.

Pengelolaan DAS Ciujung yang berkelanjutan mempersyaratkan


dipenuhinya kriteria dan indikator untuk setiap komponen/aktivitas
pengelolaan DAS yang terdiri atas perencanaan, pengorganisasian,
implementasi, monitoring dan evaluasi (monev). Untuk masing-masing
komponen pengelolaan DAS tersebut, kriteria yang digunakan dan
dianggap relevan untuk menentukan tercapainya pengelolaan DAS
Ciujung yang berkelanjutan.

Dalam perjalanannya Dokumen Rencana Pengelolaan DAS Ciujung


terpadu terkendala dalam tahap penyusunan, penilaian dan pengesahan
(SUNLAISAH). Terdapat koreksi dan perbaikan yang harus dilakukan
dalam penyempurnaan isi dokumen tersebut. Sampai dengan saat
legalisasi dokumen tersebut masih belum terselesaikan.

Pemerintah Provinsi Banten telah membentuk forum multi-pihak, yang


bernama “Forum Pelestarian DAS Ciujung”. Forum DAS didefiniskan
sebagai wadah koordinasi pengelolaan DAS bagi organisasi para
pemangku kepentingan yang terkoordinasi dan dilegalisasi oleh Gubernur
Banten.

3. DAS CIDANAU

DAS Cidanau dengan luas 22.620 Ha termasuk kedalam SWP DAS Ciujung
Teluk Lada yang berada di dua wilayah Administratif yaitu Kabupaten
Pandeglang dan Kabupaten Serang. Secara geografis Daerah Aliran
Sungai (DAS) Cidanau terletak pada 105o51’23” – 106o03’04” Bujur
Timur dan 06o07’35” – 06o17’19” Lintang Selatan dengan luas sekitar
22.690 Ha dengan batas topografi :

 Sebelah Utara Gunung Gede dan Gunung Saragian

 Sebelah Timur Gunung Karang

 Sebelah Selatan Gunung Aseupan dan Gunung Condong


 Sebelah Barat Selat Sunda

Secara administratif, DAS Cidanau terletak di Kabupaten Serang dan


Kabupaten Pandeglang. Wilayah Kabupaten Serang meliputi 5 kecamatan
yaitu Kecamatan Padarincang, Cinangka, Ciomas, Mancak dan
Gunungsari. Sedangkan Wilayah Kabupaten Pandeglang terletak di
Kecamatan Mandalawangi.

Dalam mendukung upaya pembangunan berkelanjutan (sustainable


development) di DAS Cidanau, telah dibentuk Forum Komunikasi DAS
Cidanau (FKDC) melalui Surat Keputusan Gubernur Banten Nomor:
124.3/Kep.64-Huk/2002, tanggal 24 Mei 2002. Forum DAS tersebut
dibentuk dengan melibatkan seluruh stakeholders terkait baik di tingkat
Provinsi, Kabupaten/Kota, Swasta maupun Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) .

Forum Komunikasi DAS Cidanau tersebut berfungsi sebagai wadah untuk


menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, memberikan
sumbangan pemikiran, menumbuhkan dan mengembangkan peran
pengawasan masyarakat maupun membantu menyelesaikan masalah/
konflik yang terjadi di sekitar DAS Cidanau.

Sebagai lembaga independen dan mitra dari lembaga atau instansi teknis,
forum DAS Cidanau bukanlah sebagai pelaku/eksekutor dalam melakukan
berbagai kegiatan, melainkan hanya memberikan arahan yang efektif
sebagai bagian dari pengembangan kelembagaan dalam pengelolaan DAS
dari hulu ke hilir secara utuh.

Semenjak dibentuknya forum tersebut sampai dengan saat ini, berkat


eksistensi dan keberadaan anggota forum telah membuahkan hasil yang
cukup menggembirakan sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat yang berada di wilayah hulu, tengah maupun hilir. Berbagai
program dan kegiatan dari Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota maupun
Swasta terus diupayakan dan di koordinasikan bersama dengan Forum
DAS Cidanau yang dilakukan di sekitar DAS Cidanau. Mekanisme timbal
balik jasa lingkungan air antara masyarakat dengan Perusahaan pun terus
di kembangkan.

Dalam melakukan upaya pengembangan timbal balik jasa lingkungan,


masyarakat yang berada di wilayah hulu memperoleh insentif atas upaya
mempertahankan kelestarian tanaman untuk tidak menebang/merusak
pohon. Aliran sungai yang memiliki kualitas dan kontinyuitas yang baik
juga dirasakan oleh masyarakat yang berada di wilayah tengah. Bahkan
masyarakat maupun berbagai pelaku industri yang berada di wilayah hilir
dapat memanfaatkan air tersebut untuk keberlangsungan kehidupannya.

Dengan memberikan jaminan atas keutuhan/kelestarian tanaman yang


dimilikinya, masyarakat selakuk penyedia (seller) jasa air di wilayah hulu
bersedia untuk menandatangani kontrak perjanjian kerjasama dengan
pihak pengguna (buyer) jasa air dengan di fasilitasi oleh Forum DAS
Cidanau.

Efek timbal balik yang saling menguntungkan antara pihak-pihak terkait


itu lah yang selama ini harus tetap dijaga dan ditumbuh kembangkan
sehingga manfaat yang dirasakan akan lebih optimal. Keterlibatan dari
pihak penyedia jasa air terus dilakukan, begitu pula dengan keberadaan
pengguna jasa air pun terus dikembangkan.

4. DAS CIBANTEN

Sungai Cibanten sebagai salah satu potensi sumber daya alam penting
yang dimiliki Kabupaten (bagian hulu) dan Kota Serang (bagian hilir),
dalam menunjang keberlanjutan pembangunan dan mendukung
pertumbuhan ekonomi di wilayah perkotaan dan industri, terutama
industri di kawasan Kecamatan Bojonegara dan Pulau Ampel, wilayah
yang juga merupakan lokasi rencana pembangunan pelabuhan
Bojonegara. Akan tetapi dengan kondisi DAS Cibanten yang terus
terdegradasi dan debit Sungai Cibanten saat ini yang memiliki
kecenderungan menurun, maka Sungai Cibanten sulit untuk dijadikan
modal dasar pembangunan, untuk mendukung pertumbuhan Kota Serang
sebagai pusat pemerintahan Propinsi Banten, kawasan wisata Banten
Lama dan kawasan Perlindungan hutan Cagar Alam Pulo Dua (Pulau
Burung). Diperlukan upaya rehabilitasi, normalisasi dan penataan
kawasan DAS Cibanten, agar debit Sungai Cibanten bisa meningkat dan
mencukupi kebutuhan air baku yang diprediksi akan meningkat 5 – 10
kali lipat dari kebutuhan air baku saat ini.

Degradasi tersebut di atas merupakan dampak dari semakin cepatnya


pertumbuhan penduduk yang menjadi beban tersendiri bagi lahan DAS di
luar perkotaan. Beban ini mulai dari hulu sampai dengan hilir, lahan
diekploitir dengan berlebihan dan dengan cara yang tidak mengindahkan
aspek pelestarian lingkungan (penambangan pasir). Sebagai akibatnya
kemampuan DAS untuk menyimpan air atau menahan laju air limpasan
menjadi sangat terbatas, akibat selanjutnya adalah saat musim
penghujan terjadi banjir, sebaliknya pada saat musim kemarau terjadi
kekurangan air. Debit puncak Sungai Cibanten pada musim penghujan
mencapai 26,74 m³/detik, sedangkan debit terendah pada musim
kemarau mencapai 9,73 m³/detik (Sumber : Balai Pengelolaan Sumber
Daya Air, Tahun 2013)

Selain itu, pola pemanfaatan lahan yang tidak mengindahkan kaidah


konservasi tanah berakibat pada tingginya tingkat erosi. Hal ini
mengakibatkan pendangkalan di sungai maupun muara sungai serta
semakin kurusnya tanah, karena lapisan subur (top soil) terbawa erosi.

Akibat ikutan erosi ini adalah tercemarnya perairan Teluk Banten oleh
sedimen yang terbawa air Sungai Cibanten. Sedimen Sungai Cibanten
meningkatkan kekeruhan (turbidity) air laut di Teluk Banten, yang
menyebabkan eutrofikasi dan terhambatnya proses fotosintesa untuk
mendukung proses ekologi ekosistem perairan laut (coral reef dan
seaweed). Kerusakan dua ekosistem penting perairan laut tersebut, dapat
dipastikan akan menurunkan produktivitas hasil tangkap ikan laut dari
kawasan perairan Teluk Banten. Akhir dari proses degradasi lingkungan
di DAS Cibanten, yang dimulai dari hulu sampai dengan hilir adalah
penurunan penghasilan nelayan dan kenyamanan hidup masyarakat
Kabupaten Serang dan Kota Serang secara luas, dimulai dari kelangkaan
air, banjir, kelangkaan ikan dan lain sebagainya.

Disamping itu DAS Cibanten sebagai salah satu wilayah hidrologis


memiliki kondisi biofisik, sosial ekonomi dan budaya yang sangat
bervariasi. Sehingga upaya pengelolaan harus didasarkan pada kondisi
yang ada, dengan pendekatan yang komprehesif. Sehingga kepentingan
ekologi dan sosial ekonomi dapat dilakukan secara selaras, dan
keberlanjutan DAS Cibanten sebagai modal dasar untuk mendukung
pembangunan yang berkelanjutan.

Pembentukan kelembagaan Pengelolaan DAS Cibanten dengan mengacu


pada konsep one river, one plan dan one management diharapkan mampu
memberikan jalan keluar dari berbagai tantangan dan persoalan yang
ada. Sehingga setiap stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan dan
pemanfaatan DAS Cibanten, dapat memahami peran, hak dan kewajiban
sesuai dengan kewenangannya masing – masing. Disamping pengelolaan
yang terintegrasi, mampu menahan laju degradasi lingkungan yang
terjadi, diharapkan juga mampu mempercepat proses rehabilitasi DAS
Cibanten, yang pada akhirnya mampu mengembalikan fungsi DAS
Cibanten dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama.

Dari pengamatan dan wawancara dengan warga di sekitar muara Sungai


Cibanten, Pulo Dua (Pulau Burung) yang semula terpisah dari daratan,
saat ini telah menyatu. Hal ini diperkirakan akibat dari sedimentasi yang
besar terjadi di muara. Sedimentasi tersebut berasal dari material yang
terbawa arus air sungai Cibanten saat terjadi banjir ditambah dengan
sampah dari perkotaan yang terangkut arus air sungai, sehingga terjadi
penumpukan sampah dimuara Cibanten (muara cengkok).

Aliran sungai merupakan suatu aliran yang melintasi dan menuju suatu
mulut pelepasan, fluktuasi aliran sungai dapat menyebabkan banjir dan
erosi tanah. Aliran sungai merupakan output suatu DAS, pada DAS
Cibanten terjadi perbedaan yang mencolok antara musim penghujan dan
musim kering (perbedaan antara debit maksimum dengan minimum).
Fluktuasi aliran sungai yang cukup besar yang terjadi di DAS Cibanten
dapat mengakibatkan bahaya banjir pada musim penghujan dan bencana
kekeringan pada musim kemarau, debit maksimum untuk lima tahun
terakhir terjadi pada bulan Desember 2012 mencapai 63,82 m3/detik
sedangkan debit minimum terjadi pada bulan September 2011 sebesar
0,004 m3/detik.

Dari gejala tersebut diperlukan kajian yang lebih detail tentang kondisi
DAS Cibanten secara menyeluruh, disamping diperlukan pula upaya
pengelolaan secara terintegrasi dari seluruh stakeholders yang terlibat
dalam pengelolaan dan pemanfaatan DAS Cibanten.

Vous aimerez peut-être aussi