Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
udul
Peta Kawasan DAS Cisadane (15 DAS Prioritas)
Abstrak
DAS Cisadane adalah salah satu DAS yang termasuk 15 DAS prioritas pada wilayah kerja
BPDASHL Citarum Ciliwung yang menjadi target RPJM Tahun 2015 - 2019 berdasarkan
Keputusan Presiden No. 2 tahun 2015
Judul
Peta Kekritisan Lahan DAS Cisadane (15 DAS Prioritas)
Abstrak
Peta dan data hutan dan lahan kritis nasional tahun 2013 menjadi acuan bagi pemerintah,
pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan masyarakaat dalam penyelenggaraan
rehabilitasi hutan dan lahan, mengacu pada Keputusan Dirjen BPDASHL Nomor : SK.4/V-
DAS/2015 tentang Penetapan Peta dan Data Hutan dan Lahan Kritis Nasional Tahun 2013
tanggal 29 Januari 2015
PDAM PDAM Tirta Kerta Raharja Kab. Tangerang
Impian mempunyai sebuah lingkungan bersih, sehat dan ramah bagi penduduknya, sepertinya masih jauh dari
kenyataan. Salah satu aspek lingkungan, yang bisa memberikan gambaran akan masih jauhnya impian kita itu
adalah sungai.
Bagi warga Bogor, baik kotamadya maupun kabupaten, keberadaan dua sungai besar yang melintas di wilayah
ini memiliki arti yang sangat penting. Sungai Ciliwung, yang berhulu di kawasan puncak, menjadi sumber utama
untuk mengairi wilayah persawahan. Namun fungsi penting tersebut seolah terkubur oleh image buruk, “sungai
pembawa bencana”. Hal ini terkait dengan seringnya terjadi banjir di ibukota Jakarta, yang merupakan banjir
“kiriman dari Bogor” dengan Ciliwung sebagai alur perantaranya.
Pun Sungai Cisadane, yang kalah pamor oleh aliran sebelahnya, seringkali terabaikan. Keberadaan sungai ini
pun tidak kalah penting dibanding Ciliwung. Dua perusahaan air minum daerah, milik Kota Bogor maupun
Kabupaten Bogor, memanfaatkan air sungai ini sebagai bahan baku utamanya. Berdasarkan data yang dirilis
PDAM Tirta Pakuan (perusahaan milik Kota Bogor), dari kapasitas terpasang produksi tahun 2009 yang
berjumlah 1.720 lt/dt air baku, hampir 75% atau 1300 lt/dt merupakan air baku yang berasal dari Sungai
Cisadane. Perlu diketahui, per Desember 2013, jumlah warga terlayani mencapai 410.520 jiwa.
Meski penting dalam memenuhi kebutuhan hidup utama, namun upaya pengelolaan wilayah sungai ini seperti
tidak diperhatikan. Saat saya menyusuri Sungai Cisadane di wilayah hulu, saya kaget dengan kondisi sungai ini.
Banyak sekali sampah yang berserakan. Baik itu di pinggir sungai, di bibir sungai, maupun di tengah sungai.
Saat hujan turun, debit air naik, sampah-sampah tadi mengalir berarak, persis seperti karnaval!
Sampah yang berarak selepas turun hujan
Ironisnya, masih banyak warga yang memanfaatkan sungai ini untuk tempat cuci kakus dan mandi. Di daerah
Cisalopa, tepat sekitar 50 meter dari saluran pembuangan limbah Sekolah Polisi Negara (SPN), banyak ibu-ibu
dan gadis muda mencuci pakaian dan alat makan. Padahal menurut penuturan Miftah (77) warga sekitar, saat
SPN “mengeluarkan” kotorannya, baunya bisa tercium sampai jarak 300 meter. Dan biasanya, mereka “buang
hajat” saat hujan turun.
Memang biasanya, industri menengah dan besar yang ada di sekitar sungai, membuang sisa kotorannya ke sungai
saat turun hujan. Suatu saat saya sedang berada di camp salah satu operator rafting di daerah Cimande, lalu turun
hujan. Teman-teman operator disana bilang, “lihat deh bang, sebentar lagi air sungai akan berubah” ujar salah
satu teman. Dalam benak saya, wajar akan berubah, karena saya sering menyaksikannya. Air sungai akan
berubah menjadi cokelat karena banyak lumpur yang terkikis air hujan, lalu ikut mengalir. Namun yang saya
saksikan ternyata berbeda. Dari sudut sungai, perlahan keluar aliran hitam. Dari volume awalnya kecil, aliran
hitam itu lalu membesar dan mengeluarkan bau menyengat. Menurut pejelasan teman operator rafting tadi, itu
adalah aliran limbah dari PT. Mayora. Menjijikan!
Menjadi sebuah kewajaran kalau saat ini kualitas Sungai Cisadane, maupun sungai-sungai lain di negeri ini
mengalami mengalami penurunan kualitas. Dan langkah-langkah pembangunan pun selalu difokuskan kepada
pembangunan infrastruktur. Benar itu adalah sesuatu yang penting dan memang perlu segera dilakukan.
Pembuatan waduk sebagai sarana penampung air, normalisasi waduk dan sungai untuk optimalisasi fungsi.
Namun ada hal yang lebih penting dari itu. Pengelolaan sumberdaya manusia dan penegakan hukum.
Manusia-manusia di negeri ini, harus selalu diingatkan untuk menjaga lingkungannya. Himbauan buang sampah
pada tempatnya, bukan ke sungai, hal sederhana namun memiliki dampak luar biasa. Banyak lembaga penelitian
menyebutkan, limbah rumah tangga menjadi tingkat penceraman sungai yang utama. Kalau kita lihat dari
kuantitas, atau dilihat kasat mata, mungkin itu benar. Namun apakah industri yang membuang limbahnya ke
sungai tidak lebih membahayakan? Bahan-bahan kimia yang digelontorkan tersebut, sepertinya lebih memacu
penurunan kualitas air dibanding “air kecil atau air besar” yang dibuang masyarakat.
Kita juga memiliki banyak produk hukum dan regulasi yang dikeluarkan untuk mengatur pengelolaan sungai
atau daerah aliran sungai. Namun lagi-lagi kenyataan dilapangan, semua seperti tak ada aturan. Di daerah Muara
Jaya, ada sebuah pabrik yang mendirikan benteng bangunannya di badan sungai! Bukan lagi di sempadan sungai,
apalagi berjarak 10-50 meter dari sungai sesuai aturan, tapi di badan sungai! Melihat kondisi tersebut, saya jadi
bertanya, apakah perundangan dan peraturan memang dibuat untuk sengaja dilanggar? Atau coba ditegakkan,
tapi pada akhirnya tak berjalan, yah biar saja, yang penting bisa korupsi.
Kita harus merubah pola pikir bahwa sungai bukan halaman belakang rumah, yang bisa diperlakukan seenaknya.
Buang sampah kesitu, air kecil air besar kesitu, kasur tak terpakai kesitu. Padahal sehari-hari mandi, cuci baju,
cuci pakaian disitu. Orang kota pun sama, mereka menggunakan air yang sama dengan orang diwilayah hulu.
Jadi tidak ada lagi batasan bahwa yang wajib menjaga sungai adalah orang yang tinggal di wilayah hulu. Menjaga
sungai adalah kewajiban kita semua. Karena kita sama-sama menikmati manfaat dari sungai tersebut.
Sampah yang menggunung di pinggir sungai
DI PROVINSI BANTEN
Apabila dilihat dari jumlah keseluruhan DAS (DAS besar dan DAS kecil)
yang ada berdasarkan overlay citra satelit, jumlah DAS di Provinsi Banten
sebanyak ± 299 DAS. Akantetapi apabila DAS-DAS tersebut
dikelompokan berdasarkan Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) yang
menggabungkan DAS yang berukuran kecil kedalam DAS besar jumlah
DAS di Provinsi Banten berjumlah sebanyak 54 DAS yang terbagi kedalam
SWP DAS Ciujung Teluk Lada sebanyak 47 DAS dan SWP DAS Ciliwung –
Cisadane - Cimandiri sebanyak 7 DAS.
1. DAS Cisadane
1. Isu fisik : limpasan permukaan yang tinggi, laju erosi tinggi dan longsor yang sering terjadi,
sumber dan mata air yang semakin terbatas, dan kualitas air yang semakin memburuk.
2. Isu ekonomi : tambang atau galian C yang tidak mengindahkan lingkungan, kemiskinan dan
kesenjangan ekonomi yang tidak kunjung teratasi, dan penyediaan air bagi pertanian dan
industri yang semakin tidak memadai.
3. Isu sosial : ketidakpatuhan terhadap tata ruang, alih fungsi lahan yang semakin banyak
terjadi, tumpang tindih kawasan atau tata batas yang tidak jelas, serta penanganan sampah
dan limbah yang sangat tidak memadai.
Berdasarkan data potensi dan analisis terhadap permasalah yang ada
beberapa rekomendasi yang harus dilakukan di DAS Cisadane adalah
sebagai berikut :
1. Persiapan pengembangan kelembagaan untuk imbal jasa lingkungan terkait sumber daya air
yang bersifat mandatory.
2. Aspek hukum harus ditegakkan untuk menjamin terlaksananya mekanisme reward and
punishmentdalam pengelolaan DAS Cisadane.
3. Penguatan kembali aturan hukum dan penegakannya (law enforcement) berkaitan dengan
tata ruang (RTRW), sistem tenurial (masalah konflik lahan, penelantaran lahan dan lahan
gontai).
4. Pelibatan masyarakat sejak dini dalam kegiatan perencanaan menjadi kunci keberlangsungan
kegiatan rehabilitasi sehingga dari awal tergambar dengan jelas tangungjawab dan peran
masing-masing pihak.
5. Permasalahan di dalam kawasan hutan diselesaikan secara struktural di internal Departemen
Kehutanan dan pelibatan masyarakat yang tergabung dalam LMDH.
6. Pendekatan rehabilitasi DAS harus didasari dengan program-program untuk meningkatkan
atau menciptakan pendapatan masyarakat (income generating).
7. Kepemimpinan dan dorongan politik menjadi penentu keberhasilan kegiatan ini di lapangan
sehingga diperlukan leadership yang kuat dari bupati, kepala dinas terkait, BPDAS, Perhutani
untuk sama-sama mendorong pelaksanaan secara menyeluruh dan memahami tangung
jawab masing-masing dengan mengedepankan fungsional dibanding kewenangan yang
dimiliki.
8. Ada keberlanjutan kebijakan jangka panjang yang tidak terpengaruh oleh pergantian personil
di lembaga pemangku kepentingan (menjaga tidak terjadi time in consistency).
9. Penyadaran publik tentang pola penggunaan lahan yang lestari dan berwawasan lingkungan,
penggunaan bahan kimia dalam budidaya pertanian sesuai aturan dan secara ekonomi
menguntungkan perlu mendapat dukungan yang nyata sehingga penyuluhan dan penyadaran
serta perubahan nilai di masyarakat menjadi kunci dalam pelaksanaan program.
10. Perlu pendampingan dan pelatihan dengan melibatkan perguruan tinggi dalam mendampingi
pemda dan masyarakat menjadi salah satu faktor keberhasilan kegiatan.
11. Perlu dibentuk Komisi Pengendali DAS Cisadane yang beranggotakan seluruh
perwakilan stakeholder yang berfungsi untuk merumuskan pengelolaan DAS Cisadane
terpadu.
2. DAS Ciujung
3. DAS CIDANAU
DAS Cidanau dengan luas 22.620 Ha termasuk kedalam SWP DAS Ciujung
Teluk Lada yang berada di dua wilayah Administratif yaitu Kabupaten
Pandeglang dan Kabupaten Serang. Secara geografis Daerah Aliran
Sungai (DAS) Cidanau terletak pada 105o51’23” – 106o03’04” Bujur
Timur dan 06o07’35” – 06o17’19” Lintang Selatan dengan luas sekitar
22.690 Ha dengan batas topografi :
Sebagai lembaga independen dan mitra dari lembaga atau instansi teknis,
forum DAS Cidanau bukanlah sebagai pelaku/eksekutor dalam melakukan
berbagai kegiatan, melainkan hanya memberikan arahan yang efektif
sebagai bagian dari pengembangan kelembagaan dalam pengelolaan DAS
dari hulu ke hilir secara utuh.
4. DAS CIBANTEN
Sungai Cibanten sebagai salah satu potensi sumber daya alam penting
yang dimiliki Kabupaten (bagian hulu) dan Kota Serang (bagian hilir),
dalam menunjang keberlanjutan pembangunan dan mendukung
pertumbuhan ekonomi di wilayah perkotaan dan industri, terutama
industri di kawasan Kecamatan Bojonegara dan Pulau Ampel, wilayah
yang juga merupakan lokasi rencana pembangunan pelabuhan
Bojonegara. Akan tetapi dengan kondisi DAS Cibanten yang terus
terdegradasi dan debit Sungai Cibanten saat ini yang memiliki
kecenderungan menurun, maka Sungai Cibanten sulit untuk dijadikan
modal dasar pembangunan, untuk mendukung pertumbuhan Kota Serang
sebagai pusat pemerintahan Propinsi Banten, kawasan wisata Banten
Lama dan kawasan Perlindungan hutan Cagar Alam Pulo Dua (Pulau
Burung). Diperlukan upaya rehabilitasi, normalisasi dan penataan
kawasan DAS Cibanten, agar debit Sungai Cibanten bisa meningkat dan
mencukupi kebutuhan air baku yang diprediksi akan meningkat 5 – 10
kali lipat dari kebutuhan air baku saat ini.
Akibat ikutan erosi ini adalah tercemarnya perairan Teluk Banten oleh
sedimen yang terbawa air Sungai Cibanten. Sedimen Sungai Cibanten
meningkatkan kekeruhan (turbidity) air laut di Teluk Banten, yang
menyebabkan eutrofikasi dan terhambatnya proses fotosintesa untuk
mendukung proses ekologi ekosistem perairan laut (coral reef dan
seaweed). Kerusakan dua ekosistem penting perairan laut tersebut, dapat
dipastikan akan menurunkan produktivitas hasil tangkap ikan laut dari
kawasan perairan Teluk Banten. Akhir dari proses degradasi lingkungan
di DAS Cibanten, yang dimulai dari hulu sampai dengan hilir adalah
penurunan penghasilan nelayan dan kenyamanan hidup masyarakat
Kabupaten Serang dan Kota Serang secara luas, dimulai dari kelangkaan
air, banjir, kelangkaan ikan dan lain sebagainya.
Aliran sungai merupakan suatu aliran yang melintasi dan menuju suatu
mulut pelepasan, fluktuasi aliran sungai dapat menyebabkan banjir dan
erosi tanah. Aliran sungai merupakan output suatu DAS, pada DAS
Cibanten terjadi perbedaan yang mencolok antara musim penghujan dan
musim kering (perbedaan antara debit maksimum dengan minimum).
Fluktuasi aliran sungai yang cukup besar yang terjadi di DAS Cibanten
dapat mengakibatkan bahaya banjir pada musim penghujan dan bencana
kekeringan pada musim kemarau, debit maksimum untuk lima tahun
terakhir terjadi pada bulan Desember 2012 mencapai 63,82 m3/detik
sedangkan debit minimum terjadi pada bulan September 2011 sebesar
0,004 m3/detik.
Dari gejala tersebut diperlukan kajian yang lebih detail tentang kondisi
DAS Cibanten secara menyeluruh, disamping diperlukan pula upaya
pengelolaan secara terintegrasi dari seluruh stakeholders yang terlibat
dalam pengelolaan dan pemanfaatan DAS Cibanten.