Vous êtes sur la page 1sur 10

ANALISIS VEGETASI MANGROVE DI PESISIR

PANTAI MARA’BOMBANG - KABUPATEN PINRANG


Tri Santi Dama Alik, Muh. Ruslan Umar, Dody Priosambodo
Email :trisanti13@gmail.com

Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam


Universitas Hasanuddin, Makassar

ABSTRAK
Analisis struktur vegetasi mangrove di pesisir pantai Mara’bombang dilakukan pada bulan
November–Desember 2012, yang bertujuan mengetahui komposisi jenis, struktur, dan kondisi
vegetasi ekosistem mangrove di pesisir pantai Mara’bombang, Kabupaten Pinrang, Sulawesi
Selatan. Penelitian ini bersifat eksploratif dengan menggunakan metode plot bertingkat (Nested
Quadrat). Hasil penelitian menunjukkan struktur jenis vegetasi mangrove yang tumbuh di pesisir
pantai Mara’bombang, terdiri atas 7 jenis yaitu Avicennia alba, Avicennia lanata, Bruguiera
gymnorrhiza, Rhizopora apiculata, Rhizopora mucronata, Sonneratia alba, dan Sonneratia
caseolaris. Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi untuk tingkat pohon ditemukan pada Sonneratia
alba dengan nilai mencapai 300%. Nilai penting tertinggi untuk tingkat tiang, pancang, dan semai
ditemukan pada Sonneratia alba, Avicennia alba, dan Rhizopora mucronata dengan INP berturut-
turut sebesar 186,62%, 190,16%, dan 213,33%. Pola penyebaran spesiesnya seragam dan acak yang
ditunjukkan dengan nilai Indeks Dispersi Morisita antara 0,004-1,33, sedangkan Indeks Kemiripan
Komunitas 55,22% - 77,56%, dengan demikian dikatakan bahwa antara stasiun I dan II dan antara
stasiun I dan III menunjukkan struktur komunitas yang tidak sama sedangkan antara stasiun II dan
III struktur komunitasnya relatif sama.
Kata Kunci: Vegetasi Mangrove, Struktur Komunitas, Pesisir Pantai Mara’bombang, Pinrang.

MANGROVE VEGETATION ANALYSIS AT MARA’BOMBANG COASTAL


PINRANG REGENCY

ABSTRACT
Research about mangrove vegetation structure in Mara’bombang coastal has been conducted
in November to December 2012. The aim of this research was to know the species composition,
structure, and condition of mangrove in Mara’bombang coastal, Pinrang Regency, South Sulawesi.
The research is explorative with design using Nested Quadrat method. Result showed that mangrove
vegetation in the Mara’bombang coastal, consist of seven species: Avicennia alba, Avicennia lanata,
Bruguiera gymnorrhiza, Rhizopora apiculata, Rhizopora mucronata, Sonneratia alba, and
Sonneratia caseolaris. The highest Importance Value Index (IVI) for tree was found in Sonneratia
alba which value reach 300%. The highest Importance Value for pole, sapling and seedling were
found in Sonneratia alba, Avicennia alba, and Rhizophora mucronata which IVI reach 186.62%,
190.16%, and 213.33 % respectively. The species distribution patterns that uniform and random
indicated by Morisita Dispersion Index range from 0.004 to 1.33. While Similarity index range from
55.22% to 77.56%, it can be concluded that between station I and II ad between station I and III
showed the community structure not similar, while between station II and III have the same
community structure.
Key Word: Mangrove vegetation, Community structure, Mara’bombang coastal, Pinrang.

PENDAHULUAN muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang


surut air laut. Mangrove tumbuh pada pantai
Hutan mangrove adalah tipe hutan yang terlindung atau pantai yang datar,
yang khas terdapat di sepanjang pantai atau biasanya di sepanjang sisi pulau yang ter-
lindung dari angin atau di belakang terumbu Untuk mempertahankan fungsi eko-
karang di lepas pantai yang terlindung. sistem hutan mangrove diperlukan tindakan
Sebagian masyarakat pesisir dalam pengelolaan terarah yang melibatkan semua
memenuhi kebutuhan hidupnya telah meng- unsur yang berkepentingan di daerah tersebut.
intervensi ekosistem mangrove, melalui alih Salah satu tindakan yang dapat dilakukan di
fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, per- pesisir pantai Mara’bombang adalah penge-
mukiman, industri, dan penebangan oleh lolaan hutan mangrove dengan sistem zonasi
masyarakat untuk berbagai kepentingan. untuk mempertahankan dan menjaga eko-
Menurut Arisandi (2001), hal tersebut sistem hutan mangrove. Untuk mendukung
disebab-kan letak ekosistem mangrove yang upaya pengelolaannya, maka diperlukan data
me-rupakan daerah peralihan antara laut mengenai jenis, struktur vegetasi mangrove
dengan daratan, sehingga sering mengalami dan data ekologis lainnya di sekitar perairan
gangguan untuk kepentingan manusia, dan pantai Mara’bombang. Berdasarkan uraian di
akibatnya kawasan mangrove mengalami atas maka dilakukan penelitian tentang
kerusakan dan penyempitan lahan, dan analisis vegetasi mangrove di pesisir pantai
penurunan keaneka-ragamannya. Mara’bombang, Kabupaten Pinrang, Sulawesi
Menurut Setyawan et al. (2003 dan Selatan.
2006), pemanfaatan langsung dalam
ekosistem mangrove dan penggunaan lahan di METODE PENELITIAN
sekitarnya secara nyata mempengaruhi 1. Alat dan bahan
kelestarian eko-sistem mangrove. Beberapa Alat yang digunakan adalah termo-
aktivitas yang mempengaruhi kehidupan meter, salinometer, pH meter, tali rafia,
mangrove secara luas adalah konversi habitat gunting, rol meter, Global Positioning System
ke pertambakan (ikan atau udang dan garam), (GPS), kamera digital, alat tulis, nampan, dan
penebangan secara berlebih untuk pelabuhan buku Identifikasi Panduan Pengenalan
dan jalan raya. Mangrove di Indonesia (Noor, et al., 1999).
Salah satu daerah yang memiliki Bahan yang digunakan adalah kantong
vegetasi hutan mangrove adalah pesisir Pantai sampel, kertas label, contoh sampel jenis
Mara’bombang di Kabupaten Pinrang. Pesisir mangrove dan substrat mangrove.
pantai Mara’bombang telah lama dimanfaat-
kan oleh sebagian besar penduduk sebagai 2. Penentuaan Titik Sampling
sumber penghidupan, terutama untuk per- Berdasarkan survei awal, maka titik
tambakan ikan dan udang, pembudidayaan pengambilan data penelitian dibagi menjadi
rumput laut, serta pembangunan dermaga beberapa stasiun pengamatan, berdasarkan
untuk mengangkut hasil pertanian penduduk. sebaran mangrove, kondisi mangrove dan
Hal ini tentunya akan memberi tekanan pada keadaan lingkungan sekitar mangrove.
hutan mangrove di daerah tersebut. Aktivitas Peletakan plot bertingkat (Nested Quadrat)
penduduk menyebabkan rusaknya hutan dilakukan pada setiap stasiun pengamatan,
mangrove adalah penebangan untuk yang berjumlah 3 buah plot bertingkat yang
dikonversi menjadi lahan tambak dan sumber disesuaikan dengan panjang vegetasi
daya kayu, sehingga terjadi pengurangan mangrove yang berada sejajar dengan garis
luasan hutan mangrove yang pada akhirnya pantai. Jarak antar plot yaitu 20 meter, tiap
berdampak pada kerusakan ekosistem plot didalamnya terdapat subplot dengan
mangrove. Selain itu penduduk yang ukuran plot 20 x 20 meter untuk pohon, sub
bermukim di sekitar pinggiran pantai plot 10 x 10 meter untuk tiang (poles), dan
membuang limbah rumah tangga dan sampah subplot 5 x 5 meter untuk pancang (sapling),
lainnya di pesisir pantai sehingga sampah dan ukuran sub plot 1 x 1 meter untuk semai
tersebut terbawa arus dan terperangkap di (seedling).
daerah mangrove. Sampah yang terperangkap Adapun letak posisi stasiun sampling
akan menutupi akar mangrove sehingga dapat dilihat pada gambar 3 berikut :
tumbuhan tersebut tidak dapat menyerap a) Stasiun I, berada di bagian utara yang
oksigen secara maksimal. berbatasan dengan tambak yang tidak
digunakan lagi dan terlihat mangrove dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
dengan kerapatan yang agak padat. Hasanuddin, Makassar.
b) Stasiun II, berada di perbatasan dengan
tambak ikan dan permukiman penduduk, 5. Analisis Data
dengan kerapatan mangrove yang kurang Hasil pengukuran data vegetasi
dan terlihat banyak sampah. mangrove dari pesisir pantai Mara’bombang
c) Stasiun III, berada di bagian selatan tambak yang telah dikumpulkan kemudian diolah dan
yang merupakan tempat penambatan selanjutnya dianalisis sebagai berikut:
perahu nelayan dan dekat dengan 1. Kerapatan
pembudidayaan rumput laut penduduk Kerapatan masing-masing spesies pada
sekitar. setiap stasiun dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut (Odum, 1993):
 Kerapatan Mutlak (KM)
()
KM =
 Kerapatan Relatif (KR)
()
KR = x 100%
2. Frekuensi
Frekuensi spesies dapat dihitung dengan
rumus (Odum, 1993):
 Frekuensi Mutlak (FM)
()
FM =
 Frekuensi Relatif (FR)
()
FR = .
x 100%
3. Dominansi
Dominansi dapat diukur dengan rumus
Gambar 1. Peta Lokasi Stasiun Pengamatan sebagai berikut (Odum, 1993):
 Dominansi Mutlak (DM)
3.Pengambilan Data ()
DM =
Untuk analisis vegetasi hutan, vegetasi
dibedakan ke dalam beberapa tingkat per-  Dominansi Relatif (DR)
tumbuhan sebagai berikut (Kusmana, 1997): DR=
()
a) Semai (permudaan tingkat kecambah x 100%
sampai setinggi < 1,5 m)
4. Indeks Nilai Penting (INP)
b) Pancang (permudaan dengan > 1,5 m
Indeks Nilai Penting ini menunjukkan
sampai pohon muda berdiameter < 10 cm)
jenis yang mendominasi di lokasi penelitian
c) Tiang (pohon muda berdiameter 10 sampai
(Soerianegara dan Indrawan, 1988). Untuk
20 cm)
menghitung Indeks Nilai Penting digunakan
d) Pohon dewasa(diameter > 20 cm).
rumus berikut (Odum,1993):
Parameter data yang dikumpulkan
INP = Kerapatan Relatif (%) + Frekuensi
adalah jenis mangrove, jumlah individu tiap
relatif (%) + Dominansi Relatif (%)
jenis (pohon, pancang, tiang, dan semai),
5. Summed Dominace Ratio (SDR)
diameter batang (DBH), jenis (fraksi) substrat,
Menurut Odum (1993), nilai SDR tidak
dan parameter fisik-kimia lainnya seperti pH,
pernah lebih dari 100%, dapat dihitung
suhu, dan salinitas.
dengan rumus berikut:
4. Identifikasi Sampel SDR =
Sampel jenis mangrove dan substrat 6. Penyebaran (Dispersi)
yang diperoleh selanjutnya diidentifikasi Analisis pola penyebaran setiap spesies
berdasarkan Noor, et al. (1999), di digunakan rumus Indeks Penyebaran Morisita
Laboratorium Ilmu Lingkungan dan Kelautan sebagai berikut (Odum, 1993):
(ILK), Jurusan Biologi, Fakultas Matematika

Id = n
( )
Keterangan :
Id = Indeks Penyebaran Morisita
n = Jumlah plot
N = Jumlah total individu dalam plot
∑ = Kuadrat jumlah individu dalam plot
Kriteria penilaian
Id = 1 ; Pola penyebaran secara acak
Id> 1; pola penyebaran secara mengelompok
Id < 1; pola penyebaran secara seragam

7. Indeks Kemiripan Komunitas (Is)


Kesamaan relatif pada setiap stasiun Keterangan :  = ada
maka dihitung koefisien kesamaan komunitas ─ = tidak ada
dengan menggunakan rumus formulasi Bray–
Pada Tabel 1,terlihat ada 4 spesies
Curtis sebagai berikut (Odum, 1993):
mangrove pada stasiun I, pada stasiun II
Is = x 100 % terdapat 5 spesies, dan pada stasiun III
Keterangan : tumbuh 7 jenis mangrove.
Is = Nilai kemiripan/kesamaan
a =jumlah nilai dari komunitas/tegakan a. Tingkat Semai
pertama Struktur vegetasi mangrove di tingkat
b = jumlah nilai dari komunitas/tegakan semai pada ketiga stasiun penelitian di pantai
kedua Mara’bombang, Kabupaten Pinrang, disajikan
w = jumlah nilai terkecil untuk masing- pada Tabel 2, sebagai berikut.
masing jenis di dalam kedua komunitas.
Tabel 2. Hasil Analisis Data Vegetasi
Kriteria penilaian :
Mangrove, Tingkat Semai Pada Ketiga
Is<75%; Komunitas dianggap tidak sama
Stasiun Penelitian di Pesisir Pantai
Is ≥ 75% ; Komunitas dianggap sama Mara’bombang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Komposisi dan Struktur Vegetasi


Mangrove
Hasil analisis data vegetasi mangrove
dari Pesisir Pantai Mara’bombang yang
disampling menggunakan metode plot ber-
tingkat (Nested Quadrat), pada 3 stasiun ber-
beda, diperoleh jenis dan komposisi vegetasi
mangrove terlihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1. Komposisi Familia dan Jenis


Mangrove yang Tumbuh di Pesisir
Pantai Mara’bombang Kabupaten Keterangan:
KM : Kerapatan Mutlak
Pinrang.
DM : Dominansi Mutlak
FM : Frekuensi Mutlak
INP : Indeks Nilai Penting
Dari tabel 2, terlihat vegetasi mangrove Tabel 3. Hasil Analisis Struktur Vegetasi
tingkat semai di pesisir pantai Mara’bombang, Mangrove Tingkat Pancang di Pantai
menunjukkan di ketiga stasiun sampling lebih Mara’bombang.
didominasi oleh genus Rhizopora. Hal ini
didukung oleh keadaan substrat yang umum-
nya berjenis lempung yang sangat cocok
untuk pertumbuhan anakan Rhizopora.
Kerapatan individu Rhizopora ditingkat semai
genus ter-masuk tinggi dengan rata 30555,6
individu per hektarnya (Tabel 2). Sedangkan
menurut Peraturan Menteri Kehutanan (2004),
ke-rapatan mangrove pada tingkat semai di-
katakan tinggi jika mencapai 5500 batang/ha.
Dengan demikian jika anakan berupa semai
tersebut dapat tumbuh dengan baik sampai ke
tingkat pohon, maka dapat diperkirakan
bahwa kemungkinan di masa akan datang
hutan mangrove di pantai Mara’bombang
akan tumbuh dan berkembang menjadi hutan
bakau.
Jenis Rhizopora spp. umumnya mampu
hidup pada substrat berlumpur dan berpasir. Jenis mangrove pada tingkat pancang
Bengen (1999) dan Arief (2003), menyatakan juga didominasi oleh Rhizophora mucronata
bahwa jenis Rhizophora sp. umumnya tumbuh khususnya pada stasiun I dan II. Steenis
di daerah yang bersubstrat lunak, dan dalam Aksornkoae (1993), menyatakan bahwa
memiliki penyebaran yang luas. Lebih lanjut Rhizophora mucronata akan tumbuh dengan
menurut Abdulhaji (2011), bahwa sebagian baik pada tipe substrat lumpur yang relatif
besar hutan mangrove yang ada di Indonesia tebal, pH tanah berkisar 6,2 - 6,6, serta ber-
didominasi oleh familia Rhizophoracaceae. kembang dengan baik pada kisaran salinitas
Nilai penting terendah pada ketiga 10 – 30‰ (Bengen dan Dutton, 2004).
stasiun pengamatan adalah adalah Avicennia Berdasarkan padahasil penelitian yang
alba, hal ini disebabkan karena stasiun dilaporkan oleh Barkey dalam Erwin (2005),
pengamatan terletak dekat dengan pemukiman bahwa jenis Rhizophora spp. berkembang
warga dan tambak, sehingga dari aktivitas pada tanah-tanah yang relatif lebih kasar di-
manusia banyak menghasilkan sampah- bandingkan dengan Avicennia spp., tetapi
sampah anorganik misalnya plastik yang dapat secara umum masih dapat digolongkan pada
menutupi akar nafas pada Avicennia alba. Hal tanah bertekstur halus. Kadar bahan organik
ini sesuai dengan hasil penelitian Mandura pada tanah dibawah tegakan Rhizophora
dalam Kusmana (2010), yang menemukan apiculata pada umumnya relatif tinggi dan
pembuangan sampah ke habitat mangrove salinitas tanah yang sedang.
telah mematikan banyak akar pasak dari Jenis Avicennia alba pada tingkat
Avicennia spp. yang tumbuh di laut merah. pancang merupakan jenis dengan indeks nilai
Hilangnya banyak akar pasak tersebut akan penting tertinggi yaitu dengan nilai 190,16%
menurunkan luasan permukaan respirasi dan di stasiun III, walaupun pada tingkat semai
pengambilan nutrient oleh tanaman yang pada spesies ini jarang ditemukan. Hal ini mungkin
akhirnya menurunkan pertumbuhan tanaman. sebagai akibat dari tingkat adaptasi tumbuhan
jenis ini pada tingkat semai relatif rendah,
b. Tingkat Pancang namun demikian tingkat adaptasi akan
Struktur vegetasi mangrove ditingkat meningkat seiring dengan bertambahnya umur
pancang, disajikan pada Tabel 3 sebagai tingkat permudaannya.
berikut.
c. Tingkat tiang Sonneratia spp. umumnya berkembang pada
Hasil perhitungan struktur vegetasi tanah bertekstur halus, kaya akan bahan
mangrove pada tingkat tiang di pesisir pantai organik, dan salinitas tinggi.
Mara’bombang, Kabupaten Pinrang, dapat
dilihat pada Tabel 4, sebagai berikut. d. Tingkat pohon
Hasil perhitungan struktur vegetasi
Tabel 4. Hasil Analisis Struktur Vegetasi mangrove pada tingkat pohon, disajikan pada
Mangrove Tingkat Tiang di Pantai Tabel 5, sebagai berikut.
Mara’bombang.
Tabel 5.Hasil Analisis Vegetasi Mangrove
Tingkat Pohon di Pesisir pantai
Mara’bombang.

Jenis mangrove yang tumbuh dipesisir


pantai Mara’bombang pada tingkat tiang di
stasiun I dan II, yang memiliki kerapatan
tertinggi adalah Sonneratia alba, lebih tinggi
bila dibandingkan pada tingkat semai dan Vegetasi mangrove tingkat pohon pada
tingkat pancang. Sedangkan pada stasiun III stasiun I, didominasi Sonneratia alba,
kerapatan tertinggi adalah Avicennia. alba, menunjukkan bahwa telah terjadi gangguan di
jenis ini mampu beradaptasi pada keadaan dalam komunitas mangrove tersebut, dan
salinitasnya yang cukup tinggi. Sedangkan vegetasi mangrove mayoritas dominan masih
kerapatan terendah adalah Bruguiera terbilang muda. Menurut Setyawan et al.
gymnorrhiza. Menurut Syahril (1995), pada (2005), sedikitnya jumlah spesies mangrove
umumnya Bruguiera gymnorrhiza tumbuh disebabkan besarnya pengaruh antropogenik
baik pada substrat berupa tanah kering dengan yang mengubah habitat mangrove untuk ke-
genangan pasang tidak menentu dan salinitas pentingan lain seperti pembukaan lahan untuk
berada di bawah 25‰. pertambakan dan pemukiman. Lebih lanjut
Tingkat penguasaan ruang tertinggi pada menurut Heddy dan Kurniaty dalam Suwondo
stasiun I ditemukan pada Sonneratia alba, (2006), bahwa rendahnya keaneka-ragaman
dimana spesies ini mendominasi lebih dari menandakan ekosistem mengalami tekanan
50% luasan ruang. Tingginya dominansi atau kondisi lingkungan telah mengalami
spesies ini menunjukkan bahwa spesies ini penurunan. Hal ini bisa terjadi karena
mampu beradaptasi lebih baik di lingkungan- mangrove hidup pada lingkungan ekstrim
nya ketika berada pada tingkat permudaan seperti kadar garam yang tinggi serta substrat
yang tua. Menurut Barkey dalam Erwin yang berlumpur, sehingga untuk dapat hidup
(2005), bahwa jenis Avicennia spp. dan harus melalui seleksi yang sangat ketat dan
daya adaptasi yang tinggi, juga dapat di-
sebabkan karena aktivitas manusia. Tingginya Tabel 6. Nilai Indeks Kemiripan Komunitas
tingkat eksploitasi, habitat yang tidak cocok, Mangrove antar Stasiun di Pesisir
dan adanya interaksi antara spesies dapat Pantai Mara’bombang
menyebabkan rendahnya frekuensi kehadiran
jenis mangrove di suatu lokasi (Kepel,
et.al.,2012).
Sebagian besar hutan mangrove telah
dipengaruhi kegiatan manusia (antropogenik),
sehingga zonasi sulit ditentukan, zonasi
mangrove juga bisa dipengaruhi tingginya
sedimentasi dan perubahan habitat.
Ketersediaan propagul diduga lebih ber-
pengaruh dalam proses reproduksi. Mangrove
akan bereproduksi jika kondisi lingkungan Keterangan :
cocok atau sesuai. Hal ini berkaitan dengan Is < 75% : Komunitas dianggap relatif kurang
daya adaptasi mangrove terhadap kondisi memiliki kesamaan
yang ekstrim, seperti beting lumpur baru akan Is ≥75% : Komunitas dianggap relatif sama.
didominasi tumbuhan yang propagulnya
paling banyak sampai di tempat tersebut Berdasarkan Indeks Kemiripan
(Djohan dalam Setyawan, 2008). Komunitas vegetasi menggunakan formulasi
Spesies Sonneratia alba tumbuh pada dari Bray–Curtis, ternyata antara stasiun I dan
substrat lumpur berpasir dan banyak II memiliki nilai kemiripannya 55,22%, dan
ditemukan pada daerah tepian yang menjorok antara stasiun I dan III nilai kemiripannya
ke laut dengan salinitas yang relatif tinggi adalah 69,56%, hal menunjukkan bahwa
yang berkisar 24,3‰. Noor et al. (1999), komunitas kedua komunitas tersebut dianggap
menyatakan bahwa Sonneratia alba adalah relatif tidak sama. Perbedaan struktur komuni-
jenis tumbuhan pionir yang tidak toleran tas antar stasiun kemungkinan disebabkan
terhadap air tawar dalam periode lama, oleh faktor lingkungan dan faktor
menyukai tanah yang bercampur lumpur dan antropogenik, pada stasiun I letaknya sangat
pasir, kadang-kadang pada batuan dan karang. dekat dengan perumahan penduduk.
Areal hutan mangrove di pesisir Sedangkan antara stasiun II dan stasiun III
Mara’bombang pada umumnya telah di- nilai kemiripannya adalah 77,52% (75%)
konversi menjadi tambak dan permukiman sehingga dapat di-kategorikan memiliki
penduduk. Kondisi ini menyebabkan kelestari- kesamaan komunitas penyusunnya. Hal ini
an mangrove di daerah ini terancam rusak, dapat dilihat pada hampir seluruh spesies
akibat aktivitas penebangan yang tidak diikuti mangrove yang ter-dapat pada stasiun II dapat
dengan penanaman. Aktivitas penduduk yang pula ditemukan pada stasiun III, dengan
bermukim di sekitar pantai menghasilkan spesies yang paling mendominasi pada kedua
banyak limbah rumah tangga dan sampah- stasiun adalah adalah Rhizopora mucronata,
sampah anorganik yang dibuang ke laut, Avicennia alba, dan Sonneratia alba.
sehingga terperangkap oleh akar dan menutupi
lentisel akar mangrove, dan mengurangi C. Pola Penyebaran
suplai oksigen untuk proses transpor aktif di Hasil perhitungan data pola
akar. penyebaran struktur vegetasi mangrove
disajikan pada Tabel 7 berikut.
B. Indeks Kemiripan Komunitas (Is)
Indeks kemiripan komunitas menunjuk-
kan tingkat kesamaan spesies dan jumlah
relatif individu penyusun struktur vegetasi
disuatu areal (Odum, 1993).
Tabel 7. Hasil analisis pola penyebaran Pola sebaran Sonneratia alba pada
mangrove menggunakan Indeks stasiun I tingkat pohon menunjukkan pola
Penyebaran Morisita. sebaran mengelompok. Pola penyebaran
mengelompok ini umum dijumpai di alam,
karena adanya kebutuhan akan faktor
lingkungan yang sama. Menurut Sirante
(2011), bahwa terbentuknya pola penyebaran
yang mengelompok berhubungan dengan pola
atau cara makan, dimana spesies-spesies akan
mengelompok pada daerah-daerah yang
tersedia sumber makanan yang banyak. Selain
itu juga dipengaruhi oleh faktor reproduksi
secara eksternal dan karakteristik substrat.

D. Parameter Lingkungan
Parameter lingkungan yang mem-
pengaruhi keadaan vegetasi mangrove di
pesisir Mara’bombang, Kabupaten Pinrang,
terlihat pada Tabel 8, berikut ini.
Tabel 8. Hasil Pengukuran Parameter Fisik-
Kimia pada Areal Mangrove di Pantai
Mara’bombang.

Keterangan :
Id = 1 ; Pola penyebaran secara acak
Id >1 ;pola penyebaran secara mengelompok
Id <1; pola penyebaran secara seragam

Berdasarkan analisis Indeks Dispersi


Morisita, mangrove dari pesisir pantai
Mara’bombang diperoleh IDM antara 0,004–
1,333. Pada umumnya pola terbanyak adalah
seragam (nilai id<1) dan mendekati pola
Suhu pada setiap stasiun penelitian
sebaran acak, dan hanya Sonneratia alba di
berkisar antara 31,67 - 32,33°C (Tabel 8).
tingkat pohon pada stasiun I yang menunjuk-
Kisaran nilai ini masih dalam batas toleransi
kan pola penyebaran mengelompok.
mangrove, karena mangrove merupakan
Menurut Soegianto (1994), penyebaran
tumbuhan khas pantai daerah tropis yang
secara merata umum terdapat pada tumbuhan.
hidupnya berkembang baik pada temperatur
Penyebaran semacam ini terjadi apabila ada
dari 19 - 40°C dengan toleransi fluktuasi suhu
persaingan yang kuat di antara individu-
tidak lebih dari 10°C (Irwanto, 2006).
individu dalam populasi, misalnya persaingan
Nilai pH pada setiap stasiun penelitian
untuk mendapatkan nutrisi dan ruang. Lebih
diperoleh kisaran antara 6,1-6,3. Nilai kisaran
lanjut dijelaskan Kusmana dan Istomo (1995),
pH masih pada batas toleransi pertumbuhan
bahwa penyebaran seragam (uniform) men-
mangrove, secara umum dapat hidup pada pH
cerminkan adanya interaksi negatif antara
berkisar 5,0–8,5 (Widyastuti dan Wahyu,
individu seperti persaingan untuk ruang dan
1998). Nilai pH air merupakan salah satu
unsur hara serta cahaya matahari. Pada daerah
faktor yang dapat mempengaruhi
penelitian umumnya ditemukan pola
produktivitas perairan, dimana perairan
penyebar-an seragam karena substrat pada
dengan pH 6,5-7,5 termasuk perairan yang
daerah tersebut miskin kandungan unsur
produktif, perairan dengan pH 7,5-8,5, adalah
haranya sehingga terjadi persaingan yang kuat
perairan yang memiliki produktivitas yang
antar individu dalam populasi untuk
sangat tinggi, dan perairan dengan pH yang
mendapatkan nutrisi dan ruang.
lebih besar dari 8,5 dikategorikan sebagai semai, pancang, dan tiang adalah
perairan yang tidak produktif lagi (Mubarak Rhizopora mucronata sedangkan di tingkat
dalam Jesus, 2012). pohon didominasi oleh Sonneratia alba.
Hasil pengukuran salinitas disetiap 2. Pola penyebaran individu jenis mangrove
stasiun penelitian diperoleh data kisaran umumnya berpola seragam dan satu spesies
salinitas antara 24,33‰-27‰, kisaran ini berpola acak, hal ini menujukkan adanya
masih dalam batas toleransi untuk per- tingkat persaingan yang tinggi, dalam
tumbuhan mangrove, yang secara umum memanfaatkan sumber daya lingkungan.
berkisar antara 10‰-30‰. Menurut Noor, et 3. Perairan mangrove di pesisir pantai
al. (1999) jenis-jenis Sonneratia umumnya Mara’bombang telah mengalami degradasi
ditemui hidup di daerah dengan salinitas tanah akibat berbagai faktor, terutama hasil dari
mendekati salinitas air laut. Beberapa jenis aktivitas masyarakat.
lain juga dapat tumbuh pada salinitas tinggi
seperti Rhizopora mucronata dan R. stylosa
yang dapat tumbuh pada salinitas 55‰ DAFTAR PUSTAKA
(Chapman, 1976). Jenis-jenis Bruguiera
umumnya tumbuh pada daerah dengan Abdulhaji, R., 2001. Problem of issues
Salinitas di bawah 25‰. Mac Nae (1968), affecting biodiversity in Indonesia.
menyebutkan bahwa kadar salinitas optimum Situation analysis. Paper. Presented in
B. gymnorrhiza adalah 10 – 25‰. Workshop on Tanning Net Assessment
Hasil analisis subsrat menunjukkan pada for Biodiversity Conservation in
stasiun I dan II memiliki jenis substrat Indonesia 1-2 Februari 2001, Bogor,
lempung berpasir, persentase pasir pada Indonesia.
stasiun ini berkisar antara 58-68%. Pada Aksornkoae, S., 1993. Ecology and
stasiun I dan II, yang paling mendominasi Management of Mangrove. IUCN.
tumbuh adalah jenis Rhizopora sp. dan Bangkok. Thailand.
Sonneratia alba. Bengen (2004), menyatakan Arief, A., 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan
bahwa bakau dapat tumbuh dengan baik pada Manfa-atnya. Penerbit Kanisius,
substrat (tanah) yang berlumpur dan dapat Yogyakarta.
mentoleransi tanah lumpur berpasir. Arisandi, P., 2001. Mangrove Jawa Timur,
Sedangkan pada stasiun III memiliki jenis Hutan Pantai yang Terlupakan.
substrat lempung berliat dengan persentase Ecological Observation and Wetlands
pasir sekitar 48% dan liat 28%. Jenis Conservation (ECOTON). Gresik.
mangrove yang mendominasi adalah Bengen, D.G., 1999. Pedoman Teknis
Rhizopora mucronata dan Avicennia alba. pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Lebih lanjut dikatakan Bengen (2004), jenis Mangrove. PKSPL – IPB. Bogor.
Api-api (Avicennia spp.) lebih cocok ditanam Bengen. D. G. dan I. M. Dutton 2004.
pada substrat (tanah) pasir berlumpur terutama Interaction: Mangroves, Fisheries and
dibagian terdepan pantai. Forestry Management in Indonesia. H.
632-653.
KESIMPULAN Chapman,V.J., 1976. Mangrove Vegetation. J.
Cramer, Valduz, P. 447.
Berdasarkan analisis penelitian struktur Erwin, 2005. Studi Kesesuaian Lahan Untuk
vegetasi mangrove di pesisir pantai Penanaman Mangrove Ditinjau Dari
Mara’bombang, Kabupaten Pinrang, maka Kondisi Fisika Oseanografi dan
dapat ditarik kesimpulkan bahwa: Morfologi Pantai pada Desa Sanjai Pasi
1. Terdapat 7 spesies mangrove yang tumbuh Marannu Kabupaten Sinjai. Skripsi.
di pesisir pantai Mara’bombang yaitu Program Studi Kelautan, UNHAS.
Avicennia alba Bl., Avicennia lanata Makassar.
(Ridley)., Bruguiera gymnorrhiza (L.) Google Earth, 2013. Peta Kecamatan Suppa,
Lamk., Rhizopora apiculata Bl., Rhizopora Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan,
mucronata (L.) Lamk., Sonneratia alba Indonesia. US Dept of State
J.E.Smith, Sonneratia caseolaris (L.) Engl. Geographer@ 2013 Google. Data SIO,
Spesies yang paling dominan pada tingkat NOAA, U.S. Navy. NGA. GEBCO.
Image@2013 Terrametrics. Diakses Setyawan, A. D. dan K. Winarno, 2006.
tanggal 25 April 2013. Pemanfaatan langsung ekosistem
Irwanto, 2006. Keanekaragaman Fauna Pada mangrove di Jawa Tengah dan
Habitat Mangrove. Artikel Ilmiah. penggunaan lahan di sekitarnya;
http://www.irwantoshut.com. Diakses kerusakan dan upaya restorasinya.
pada tanggal 16 Februari 2013. Biodiversitas. 7 (3). Hal.282-291.
Jesus, Antonio de, 2012. Kondisi ekosistim Setyawan, A. D., K. Winarno, dan P. C.
mangrove di sub district Liquisa Timor- Purnama, 2003. REVIEW: Ekosistem
Leste. Pascasarjana Fakultas Perikanan mangrove di Jawa: 1. Kondisi
dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya, Terkini.Biodiversitas.4 (2). Hal.130-142.
Malang. Jurnal Ilmiah.Depik, 1(3). P.136- Sirante, R., 2011. Studi Struktur Komunitas
143. ISSN 2089-7790. Gastro-poda Di Perairan Kawasan
Kepel, R. Ch., L. J. L. Lumingas, dan Hendrik Mangrove Kelu-rahan Lappa dan Desa
B. A. Lumimbus, 2012. Komunitas Tongke-Tongke, Kabu-paten Sinjai.
Mangrove di Pesi-sir Namano dan Jurnal Biologi Indonesia . 06 (01). Hal. 1-
Waisisil, Provinsi Maluku. Pasific 7.
Journal. 2 (7). Hal 1350-1353. Soegianto, 1994. Kualitas Flora Pulau Kuta.
Kusmana, C, 2010. Respon Mangrove Penerbit Widya Jaya. Departemen
Terhadap Pencemaran. Artikel Ilmiah. Managemen Hutan. Fakultas Kehutanan
Departemen Silvikultur, Fakultas IPB. Bogor.
Kehutanan IPB. Soerianegara, I. dan Indrawan, A., 1988.
Kusmana, C. dan Istomo, 1995. Ekologi Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium
Hutan. Laboratorium Kehutanan. Ekologi. Fakultas Kehutanan.Institut
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Pertanian Bogor. Bogor.
Bogor. Bogor. Syahril, A. R., 1995. Studi Pola Sebaran
MacNae, W., 1968. A General Account of the Mangrove Berdasarkan Variasi Salinitas
Fauna and Flora of Mangrove Swamps di Pantai Malili, Kabupaten Luwu.
and Forests in the Indo-West-Pacific Skripsi Jurusan Ilmu Kelautan Unhas
Region. Adv. mar. Biol., 6. P. 73-270. Makassar.
Noor, Y. R., M.Khazali dan I.N.N. Widyastuti, M. dan S. L. Wahyu, 1998.
Suryadiputra. 1999. Panduan Identifikasi dan Pengukuran Parameter
Pengenalan Mangrove di Indonesia. Fisik di Lapangan. Kerjasama Fakultas
Wetlands International, Indonesia
Geografi-UGM dengan Bakosurtanal
Programme, Jakarta.
Odum, E.P., 1993 Dasar-Dasar Ekologi. Edisi BANGDA dalam rangka Proyek MREP
ke III. Terjemahan Tjahjono Samingan. Sulawesi Selatan.
Penerbit Gadjah Mada Press. Yogyakarta.
Peraturan Menteri Kehutanan, 2004. Pedoman
Pembuatan Tanaman Rehabilitasi Hutan
Mangrove Gerakan Rehabilitasi Hutan
dan Lahan. Diakses tanggal 28 Maret
2013.
Setyawan, A.D., 2008. Biodiversitas
Ekosistem Mangrove di Jawa; Tinjauan
Pesisir Utara dan Selatan Jawa Tengah.
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Biodiversitas, LPPM.
Jurusan Biologi FMIPA UNS. Surakarta
Setyawan, A. D., Indrowuryatno, Wiryanto,
K. Winarno, & A. Susilowati, 2005.
Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa
Tengah: 1. Keanekaragaman Jenis.
Jurnal Biodiversitas. 6 (2): Hal. 90-94.

Vous aimerez peut-être aussi