Vous êtes sur la page 1sur 38

Laporan Kasus

HIPERTENSI SEKUNDER

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular RSUDZA/FK Unsyiah
Banda Aceh

Oleh:

Ruli Syukran Maulana


1607101030153

Pembimbing:
dr. Novita, Sp.JP-FIHA

BAGIAN/ SMF KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat
rahmat dan hidayah-Nya, penulisan laporan kasus ini telah dapat penulis
selesaikan. Selanjutnya shalawat dan salam penulis panjatkan kepangkuan Nabi
Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke
alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Adapun laporan kasus dengan judul ”Hipertensi Sekunder” ini diajukan


sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada
Bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Unsyiah /
BLUD Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Novita, Sp.JP-FIHA


yang telah bersedia meluangkan waktu membimbing penulis untuk penulisan
tugas ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para sahabat dan rekan-
rekan yang telah memberikan dorongan moril dan materil sehingga tugas ini dapat
selesai pada waktunya.

Banda Aceh, Agustus 2018

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi adalah salah satu penyakit yang paling umum di dunia dan
merupakan faktor resiko mayor terjadinya stroke, miokard infark, vaskular disease
dan gagal ginjal kronik. Meskipun banyak penelitian yang luas dalam beberapa
dekade terakhir ini tetapi etiologi dari kebanyakan kasus orang dewasa yang
mengalami hipertensi masih belum diketahui dan kurangnya pengetahuan
masyarakat luas untuk mengontrol tekanan darah. Mengingat morbiditas dan
mortalitas yang disebabkan oleh hipertensi tinggi, maka pencegahan dan
pengobatan hipertensi merupakan tantangan penting bagi petugas kesehatan.
Untungnya, kemajuan dan ujicoba dalam penelitian dalam pemahaman
patofisiologi hipertensi dan penatalaksanaan terhadap penyakit ini meluas.
Data epidemiologis menunjukan bahwa dengan meningkatnya populasi usia
lanjut, maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan
bertambah. Dimana baik hipertensi sitolik dan diastolic sering timbul pada lebih
dari separuh orang yang berusia >65 tahun. Selain itu, laju pengendalian tekanan
darah yang dahulu terus meningkat, dalam dekade terakhir tidak menunjukan
kemajuan lagi (pola kurva mendatar), dan pengendalian tekanan darah ini hanya
mencapai 34% dari seluruh pasien hipertensi.
Sampai saat ini, data hipertensi yang lengkap sebagian besar dari negar-
negara yang sudah maju. Data dari The National Health and Nutrition
Examination Survey (NHNES) menunjukan bahwa dari tahu 1999-2000, insiden
hipertensi pada orang dewasa adalah sekitar 29-31%, yang berarti terdapat 58-65
juta orang hipertensi di Amerika, dan terjadi peningkatan 15 juta dari data
NHNES III tahun 1988-1991. Hipertensi esensial sendiri merupakan 90% dari
seluruh dari seluruh kasus hipertensi.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. FM
Umur : 56 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
No.CM : 1-01-09-49
Alamat : Paya Bujok, Langsa
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
Tanggal Masuk : 26 Agustus 2018
Tanggal Pemeriksaan : 29 Agustus 2018

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama:
Tekanan darah tinggi

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien dikonsulkan ke bagian jantung RSUDZA dengan keluhan tekanan
darah tinggi sujak 2 tahun yang lalu dan tidak rutin minum obat. Pasien memiliki
riwayat penyakit ginjal yang dialami sejam 5 tahun yang lalu dan rutin cuci darah.
Riwayat merokok disangkal. Pasien tidak mengeluhkan pusing, sakit tengkuk
ataupun mata kabur. Keluhan nyeri dada tidak dirasakan.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien tidak pernah menderita hal yang sama sebelumnya
Riwayat Penggunaan Obat:
- Amlodipin 5mg
- Valsartan 80mg
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada keluarga yang mengeluhkan hal yang sama seperti pasien.
Riwayat Kebiasaan:
Pasien merupakan seorang pegawai negri sipil, sehari-hari hanya bekerja
di kantoran, pasien mengaku sering meminum minumam kaleng seperti
(kratindeng)

Faktor Resiko Yang Tidak Dapat Dimodifikasi


- Jenis kelamin
- Usia > 40 tahun

Faktor Resiko Yang Dapat Dimodifikasi


- Olah raga, diet

2.3 Pemeriksaan Fisik

a. Status Present
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : 160/90 mmHg
Nadi : 92 x/menit, reguler
Frekuensi Nafas : 18x/menit
Temperatur : 36,7 0C
Berat Badan : 73kg
Tinggi badan : 165cm

b. Status General
Kulit
Warna : Sawo Matang
Turgor : Kembali Cepat
Ikterus : (-)
Anemia : (-)
Sianosis : (-)
Edema : (-)
Kepala
Bentuk : Kesan Normocepali
Rambut : Bewarna hitam, alopesia (-)
Mata : Cekung (-), Reflek cahaya (+/+), Sklera ikterik (-/-),
Conj.palpebra inf pucat (-/-)
Telinga : Sekret (-/-), Perdarahan (-/-)
Hidung : Sekret (-/-), Perdarahan (-/-), NCH (-/-)
Mulut
Bibir : Pucat (-), Sianosis (-)
Gigi Geligi : Karies (-)
Lidah : Beslag (-), Tremor (-)
Mukosa : Basah (+)
Tenggorokan : Tonsil dalam batas normal
Faring : Hiperemis (-)
Leher
Bentuk : Kesan simetris
Kel. Getah Bening : Kesan simetris, Pembesaran (-)
Peningkatan TVJ : R+2 cmH2O
Axilla : Pembesaran KGB (-)
Thorax
Thorax depan
1. Inspeksi
Bentuk dan Gerak : Normochest, pergerakan simetris
Tipe Pernafasan : Abdominal-thorakal
Retraksi : (-)
2. Palpasi
Stem Fremitus Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Normal Normal
Lap. Paru tengah Normal Normal
Lap. Paru bawah Normal Normal

3. Perkusi
Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Sonor Sonor
Lap. Paru tengah Sonor Sonor

Lap. Paru bawah Sonor Sonor

4. Auskultasi
Suara Pokok Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru tengah Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru bawah Vesikuler Vesikuler
Suara Tambahan Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Lap. Paru tengah Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Lap. Paru bawah Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)

Thoraks Belakang
1. Inspeksi
Bentuk dan Gerak : Normochest, pergerakan simetris
Tipe pernafasan : Abdominal-thorakal
Retraksi : (-)
2. Palpasi
Stem Fremitus Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Normal Normal
Lap. Paru tengah Normal Normal
Lap. Paru bawah Normal Nomal

3. Perkusi
Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Sonor Sonor
Lap. Paru tengah Sonor Sonor
Lap. Paru bawah Sonor Sonor

4. Auskultasi
Suara pokok Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru tengah Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru bawah Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Lap. Paru tengah Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Lap. Paru bawah Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Jantung
Inspeksi :
Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS IV LMCS
Perkusi : Batas batas jantung atas = ICS II LPSD
Batas jantung kanan = ICS IV LPSD
Batas jantung kiri = ICS V LMCS 2 jari ke lateral
Auskultasi : Area trikuspid dan mitral = BJ 1 > BJ 2
Area aorta dan pulmonal = BJ 2 > BJ 1
Murmur diastolik (-)
Abdomen
Inspeksi : Sikatrik (-), massa (-)
Palpasi : Distensi (-), Undulasi (-)
Perkusi : Tympani, Shifting Dullnes (-)
Auskultasi : Peristaltik usus (+)

Genetalia : tidak dilakukan pemeriksaan


Anus : tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas
Ekstremitas Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Sianotik - - - -
Edema - - - -
Ikterik - - - -
Gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif
Tonus otot Normotonus Normotonus Normotonus Normotonus
Sensibilitas N N N N
Atrofi otot - - - -

2.4 Pemeriksaan Penunjang

2.4.1 Hasil Laboratorium (29/08/2018)

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan


Hemoglobin 7,9 12,0 - 15,0 g/dl
Leukosit 14,1 4,5- 10,5 x 103/mm3
Trombosit 334 150- 450 x 103/mm3
Eritrosit 2,8 4,2-5,4 x 106/mm3
Hematokrit 24 % 37 - 47 %
MCV 88 80-100 fL
MCH 29 27-31 pg
MCHC 33 32-36%
RDW 16,6 11,5-14,5%
MPV 10,5 7,2-11,1 fL
Hitung Jenis Leukosit
Eosinofil 5% 0-6 %
Basofil 1% 0-2 %
Neutrofil Segmen 70% 50-70 %
Neutrofil Batang 0% 2-6 %
Limfosit 15% 20-40 %
Monosit 8% 2-8 %
Ginjal-Hipertensi
Ureum 48 mg/dl 13-43 mg/dl
Kreatinin 6,56 mg/dl 0,67-1,17 mg/dl
Elektrolit
Natrium 150 mmol/L 132 - 146 mmol/L
Kalium 4,2 mmol/L 3,7 – 5,4 mmol/L
Klorida 106 mmol/L 98 - 106 mmol/L
2.4.2 Elektrokardiografi
Tanggal 18 Agustus 2018

Irama : Sinus ritme normal


Heart rate : 92x/menit
Axis : Normoaxis
Gelombang P : 0.085
PR Interval : 0.25
QRS duration : 0.15
ST segmen : Normal
QT duration : 0.35
T Wave : Normal
Kesimpulan : Normal Sinus Ritme
Normal Axis
2.5 Diagnosa Kerja

- Hipertensi Stage II
- Chronic Kindey Disease Satge V
2.6 Penatalaksanaan

 Bed rest
 Valsartan 1x80mg
 Amlodipin 1x5mg
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Pengaturan Tekanan Darah


Tekanan darah ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu curah jantung
(cardiac output) dan resistensi vascular perifer (perifer vascular resistance). Curah
jantung merupakan hasil kali antara frekuensi denyut jantung dengan isi sekuncup
(stroke volume), sedangkan isi sekuncup ditentukan oleh aliran balik vena (venous
return) dan kekuatan kontraksi miokard. Resistensi perifer ditentukan oleh tonus
otot polos pembuluh darah, elastilitas pembuluh darah dan viskositas darah.
Semua parameter di atas dipengaruhi beberapa faktor antara lain sistem syaraf
simpatis dan parasimpatis, sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (SRAA) dan
faktor lokal berupa bahan-bahan vasoaktif yang diproduksi oleh sel endotel
pembuluh darah.1
Sistem saraf simpatis bersifat presif yaitu cenderung meningkatkan tekanan
darah dengan meningkatkan frekuensi denyut jantung, memperkuat kontraktilitas
miokard dan meningkatkan resistensi pembuluh darah. Sistem parasimpatis
bersifat depresif, yaitu menurunkan tekanan darah karena menurunkan frekuensi
denyut jantung. SRAA juga bersifat presif berdasarkan efek vasokontriksi
angiotensin II dan perangsangan aldosteron yang menyebabkan retensi air dan
natrium di ginjal sehingga meningkatkan volume darah. Selain itu terdapat
sinergisme antara sistem simpatis dan SRAA yang saling memperkuat efek
masing-masing.1
Sel endotel pembuluh darah memproduksi berbagai bahan xasoaktif yang
sebagiannya bersifat vasokonstriktor seperti endotelin, tromboksan A2 dan
angiotensin II lokal dan sebagian lagi bersifat vasodilator seperti endothelium-
derived relaxing factor (EDRF) yang dikenal juga dengan nitric oxide (NO) dan
prostasiklin (PGI2). Selain itu, jantung terutama atrium kanan memproduksi
hormone yang disebut atriopeptin (atrial natriuretic peptide, APN) yang bersifat
diuretik, natriuretik dan vasodilator yang cenderung menurunkan tekanan darah.1

3.2 Definisi
Hipertensi adalah tekanan darah yang meningkat dengan sistolik
≥140mmHg atau diastolik ≥90mmHg.2
3.3 Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder adalah peningkatan tekanan darah di atas normal untuk
usianya karena penyebab klinis yang sebelumnya terdeteksi. Penyebab utama
umum tekanan darah tinggi sekunder adalah, penyakit ginjal, penyakit endokrin,
koarktasio aorta, kehamilan, dan obat-obatan. Kegagalan ginjal kronis dan akut
yang ditandai dengan kegagalan penghilangan cairan. Oleh karena itu, ada
akumulasi cairan, peningkatan volume darah, dan peningkatan tekanan darah.
Kortisol meningkatkan tekanannan darah, denyut jantung dan merelokasi darah
dari sirkulasi perifer ke organ-organ vital. Penyakit Cushing adalah karena sekresi
berlebihan kortisol. Sindrom conns adalah karena sekresi berlebihan dari
aldosteron. Aldosteron mempertahankan cairan. Koarktasio dari aorta menghasil
di aliran vena balik yang buruk terhadap sensor tekanan rendah dan menaikan
tekanan darah sekunder.2

3.4 KLASIFIKASI HIPERTENSI


1. Joint National Committee 7
Ada beberapa klasifikasi dari hipertensi, diantaranya menurut The Seventh
Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Eveluation,
and Tretment of High Blood Pressure (JNC7) klasifikasi tekanan darah pada
orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat
1 dan derajat 2. 4
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7
Klasifikasi TDS (mmHg) TDD (mmHg)
Tekanan Darah

Normal < 120 Dan < 80

Prehipertensi 120 – 139 Atau 80 – 89

Hipertensi stadium 1 140 – 159 Atau 90 – 99

Hipertensi stadium 2 ≥ 160 Atau ≥ 100


TDS = Tekanan Darah Sistolik, TDD = Tekanan Darah Diastolik

2. World Health Organization (WHO)


WHO dan International Society of Hypertension Working Group
(ISHWG) telah mengelompokan hipertensi kedalam klasifikasi optimal, normal-
tinggi, hipertensi ringan, hipertensi sedang, dan hipertensi berat. 4
Tabel 2. Klasifikasi Tekanan Darah World Health Organization (WHO)
dan International Society Of Hypertension Working Group (ISHWG)
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Optimal < 120 Dan < 80

Normal < 130 Dan < 85

Normal tinggi / 130 – 139 Atau 85 – 89


pra hipertensi
Hipertensi derajat I 140 – 159 Atau 90 – 99

Hipertensi derajat II 160 – 179 Atau 100 – 109

Hipertensi derajat III ≥ 180 Atau ≥ 110

3. Chinese Hypertension Society (CHS)


Menurut Chinese Hypertension Society, pembacaan tekanan darah
<120/80 mmHg termasuk normal dan kisaran 120/80 hingga 139/89 mmHg
termasuk normal tinggi. 4

Tabel 3. Klasifikasi menurut Chinese Hypertension Society (CHS)

Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal < 120 < 80

Normal Tinggi 120 – 129 80 – 84


130 – 139 85 – 89

Hipertensi tingkat 1 140 – 159 90 – 99

Hipertensi tingkat 2 160 – 179 100 – 109

Hipertensi tingkat 3 ≥180 ≥ 110

Hipertensi sistol ≥140 ≤90


terisolasi ( ISH )

4. European Society of Hypertension (ESH)

Klasifikasi yang dibuat oleh European Society of Hypertension adalah :

1. Jika tekanan darah sistol dan diastol pasien berada pada kategori yang
berbeda, maka resiko kardiovaskuler, keputusan pengobatan dan
perkiraan efektivitas pengobatan difokuskan pada kategori dengan nilai
lebih tinggi.
2. Hipertensi sistol terisolasi harus dikategorikan berdasarkan pada
hipertensi sistol-diastol ( tingkat 1, 2 dan 3 ). Namun tekanan diastol
yang rendah (60-70 mmHg) harus dipertimbangkan sebagai resiko
tambahan.
3. Nilai batas untuk tekanan darah tinggi dan kebutuhan untuk memulai
pengobatan adalah fleksibel tergantung pada resiko kardiovaskular
total. 4
Tabel 4. Klasifikasi menurut European Society of Hypertension
(ESH)
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Optimal < 120 < 80

Normal 120 – 129 80 – 84

Normal Tinggi 130 – 139 85 – 89


Hipertensi tahap 1 140 – 159 90 – 99

Hipertensi tahap 2 160 – 179 100 – 109

Hipertensi tahap 3 ≥180 ≥ 110

Hipertensi sistol ≥140 < 90


terisolasi ( ISH )

5. International Society on Hypertension in Black (ISHIB)


(ISHIB) memberikan rekomendasi klasifikasi dan pedoman baru karena
kejadian hipertensi yang lebih tinggi serta hasil pengobatan kardiovaskular dan
ginjal yang buruk pada etnis Amerika keturunan Afrika. 4

Tabel 5. Klasifikasi hipertensu menurut ISHIB

Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Optimal < 120 < 80

Normal < 130 < 85

Normal Tinggi 130 – 139 85 – 89

Hipertensi tingkat 1 140 – 159 90 – 99

Hipertensi tingkat 2 160 – 179 100 – 109

Hipertensi tingkat 3 ≥180 ≥ 110

Hipertensi sistol ≥140 < 90


terisolasi ( ISH )

6. Konsensus Perhimpunan Hipertensi Indonesia


Pada perhimpunan ilmiah nasional 13-14 januari 2007 di Jakarta
diluncurkan suatu konsensus mengenai pedoman penanganan hipertensi di
Indonesia. 4
1. pedoman yang disepakati para pakar berdasarkan prosedur standard
dan ditujukan untuk meningkatkan hasil penanggulangan ini
kebanyakan diambil dari pedoman Negara maju dan Negara tetangga.
2. Tingkat hipertensi ditentukan berdasarkan ukuran tekanan darah
sistolik dan diastolic dengan merujuk hasil JNC 7 dan WHO
3. Penentuan stratifikasi resiko hipertensi dilakukan berdasarkan :
tingginya tekanan darah, adanya faktor resiko lain, kerusakan organ
target dan penyakit penyerta tertentu.

Tabel 6. Klasifikasi hipertensi hasil konsensus perhimpunan hipertensi


Indonesia.

Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal < 120 < 80

Prehipertensi 120 – 139 80 – 89

Hipertensi tingkat 1 140 – 159 90 – 99

Hipertensi tingkat 2 ≥ 160 ≥ 100

Hipertensi sistolok ≥ 140 < 90


terisolasi

3.5 Patogenesis
Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktor yang timbul terutama karena
interaksi antara faktor-faktor resiko tertentu. Faktor- faktor resiko yang
mendorong timbulnya kenaikan tekanan darah tersebut adalah :
1. Diet dan asupan garam, stress, ras, obesitas, merokok, genetik.
2. Sistem saraf simpatis
3. Keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokontriksi
Endotel pembuluh darah berperan utama, tetapi remodeling dari endotel,
otot polos dan interstitium juga memberikan konstribusi akhir.
4. Pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem renin,
angiotensin dan aldostreon.3

3.6 Patofisiologi

1. hemodinamik pada hipertensi


keseimbangan antara curah jantung dan resistensi vaskuler perifer berperan
penting dalam pengaturan tekanan darah normal. Pada hipertensi esensial, pasien
mempunyai curah jantung normal dan terjadi peningkatan resistensi perifer.
Resistensi perifer ditentukan oleh ateriol. Kontraksi otot polos yang
berkepanjangan mengakibatkan penebalan dinding pembuluh darah ateriol,
sehingga menyebabkan peningkatan resistensi perifer yang tidak dapat pulih
kembali.4
Dimulai sejak remaja, bertambahnya usia menyebabkan terjadinya
perubahan hemodinamik tekanan darah sistol yang berbanding lurus dengan usia
yang bersifat parallel dengan peningkatan tekanan darah diastol dan tekanan darah
arteri rata-rata (MAP/Mean Arterial Pressure). Peningkatan pada sistol, diastol
dan tekanan arteri rata-rata hingga usia 50 tahun disebabkan oleh adanya
peningkatan resistensi perifer vaskuler. Setelah mencapai 50 tahun hingga 60
tahun, tekanan diastol menurun dan tekanan detak jantung meningkat. Tekanan
darah sistol mengalami peningkatan pada usia lanjut.4

2. Sistem Renin-Angiotensin
Renin merupakan enzim yang dihasilkan oleh sel jukstaglomelurar ginjal.
Berbagai faktor seperti status volume, asupan natrium dan stimulasi saraf simpatik
menentukan kecepatan sekresi renin. Hampir 20% pasien dengan hipertensi
esensial mengalami penekanan aktivitas renin. Sekitar 15% pasien mengalami
aktivitas renin di atas normal. Peningkatan plasma renin ini meningkatkan tekanan
arteri. Sistem Renin – Angiotensin adalah salah satu sistem endokrin penting yang
dapat mengatur tekanan darah secara efektif. Renin berperan mengubah
angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang dengan cepat diubah menjadi
angiotensin II pada paru-paru oleh enzim pengubah angiotensin (Angiotensin
Converting Anzyme, ACE).4
Angiotensin II adalah vasokonstriktor kuat yang menyebabkan peningkatan
tekanan darah. Angiotensin II juga menstimulasi pelepasan aldosteron dari
bagaian glomerulus kelenjar adrenal yang menyebabkan retensi natrium dan air,
sehingga meningkatkan tekanan darah. Sistem renin lokal pada ginjal, jantung,
pembuluh arteri, dan renin angiotensin lokal epikrin atau sistem parakrin juga
berperan mengatur tekanan darah.4

3. Sistem Saraf Otonom


Sistem saraf otonom memegang peranan penting dalam pengaturan tekanan
arteri. Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis telah diimplikasi sebagai
prekursor utama hipertensi. Terjadi ketidakseimbangan beberapa neurotransmitter
dan neuromodulator pada kondisi hipertensi, yang secara langsung atau tidak
langsung menyebabkan peningkatan pelepasan noradrenalin dari pasca-sinap saraf
simpatik. Pada subjek yang sensitif dan hipertensif terhadap NaCl, asupan NaCl
meningkatkan aktivitas sisten saraf simpatik. Stimulasi sistem saraf simpatik
dapat menyebabkan konstriksi arteriolar dan juga dilatasi. Hal ini menyebabkan
perubahan tekanan darah jangka pendek akibat stress dan olahraga.4
Hipertensi merupakan akibat dari interaksi beberapa mekanisme dalam
tubuh seperti sistem saraf otonom, sistem renin angiotensin dan faktor lain seperti
natrium, hormon dan volume sirkulasi darah.4

4. Disfungsi Endotel
Sel endotel melepaskan faktor relaksasi dan faktor konstriksi yang
memperngaruhi tonus otot polos pembuluh darah dan juga berperan dalam
patofisiologi hipertensi esensial. Vasodilatasi akibat endotellium diatur oleh nitrit
oksida (NO) dan prostasiklin. Faktor konstriksi turunan endotel adalah endotelin-
1, prostanoid vasokonstriktor, angiotensin II dan anion superoksida. Pelepasan
faktor relaksasi dan kontraksi terjadi secara seimbang pada keadaan fisiologis.4

5. Bahan Vasoaktif
Banyak bahan vasoaktif yang terlibat pada pengaturan tekanan darah
normal. Bradikinin adalah vasodilator kuat yang diinaktivasi oleh ACE. Endotelin
adalah vasokonstriktor endotel yang kuat yang menghasilkan peningkatan tekanan
darah yang dipicu oleh makan asin/berkadar garam tinggi. Ini juga mengaktifkan
sistem renin-angiotensin lokal. Nitrit oksida yang dihasilkan oleh endotel arteri
dan vena menyebabkan vasodilatasi, peptide natriuretic atrial adalah hormone
yang dihasilkan dari atrium jantung yang berperan pada peningkatan volume
darah. Akibatnya natrium meningkat dan terjadi ekskresi air dari ginjal. Gangguan
pada sistem ini dapat menyebabkan retensi air sehinga menyebabkan hipertensi.
Transpor natrium melintasi dinding sel pembuluh darah otot polos juga
diperkirakan mempengaruhi tekanan darah melalui interrelasinya dengan transport
kalsium.4

6. Sensitivitas Insulin
Pada pasien hipertensi, adanya kondisi resistensi insulin atau
hiperinsulinemia berperan dalam peningkatan tekanan arteri. Hal ini diperkirakan
merupakan bagian dari sindrom x atau sindrom Reaven. Dan disebabkan oleh
obesitas sentral, dyslipidemia dan tekanan darah tinggi. Kebanyakan dari populasi
dengan hipertensi mengalami resistensi insulin atau hiperinsulinemia. Peningkatan
tekanan arteri pada keadaan hiperinsulinemia kemungkinan disebabkan oleh 4
mekanisme, yaitu :

1. Peningkatan aktivitas simpatik sebagai hasil peningkatan retensi natrium


akibat hiperinsulinemia.
2. Hipertrofi otot polos sebagai akibat aksi mitogenik insulin.
3. Peningkatan kadar kalsium sitosolik pada pembuluh darah yang sensitif
terhadap insulin dan jaringan ginjal.
4. Nonmodulasi akibat resistensi insulin.4

7. Faktor Genetik
Hipertensi merupakan salah satu gangguan genetik yang bersifat kompleks.
Hipertensi esensial biasanya terkait dengangen dan faktor genetik, dimana banyak
gen turut berperan pada perkembangan gangguan hipertensi. Seseorang yang
mempunyai riwayat keluarga sebagai pembawa (carrier) hipertensi mempunyai
resiko dua kali lebih besar untuk terkena hipertensi. Faktor genetik menyumbang
30% terhadap perubahan tekanan pada populasi yang berbeda. Sebanyak 50 gen
telah diketahui mempunyai keterkaitan dengan hipertensi.perubahan gaya hidup
seperti pola asupan makanan juga berperan penting dalam terjadinya hipertensi
pada keluarga. Gen yang berperan pada patofisiologi penyakit hipertensi adalah :

1. Gen simerik yang mengandung promotor gen 11β-hidroksilase dan gen


urutan selanjutnya untuk memberi kode pada gen aldosteron sintase,
sehingga menghasilkan produksi ektopik aldosteron.
2. Saluran natrium endotel yang sensitif terhadap amilorid yang terdapat pada
tubulus pengumpul. Mutasi gen ini menyebabkan peningkatan aktivitas
aldosteron, penekanan sistem renin plasma dan hipokalemia.
3. Kerusakan gen 11β-hidroksilase dehydrogenase menyebabkan sirkulasi
konsentrasi kortisol normal untuk mengaktifkan reseptor
mineralokortikoid, sehingga menyebabkan sindrom kelebihan
mineralokortikoid.4

8. Faktor Intrauterine
Hipertensi pada remaja dipengaruh oleh berat badan saat lahir. Bukti
menunjukan bahwa kebanyakan bayi dengan berat badan rendah dapat mengalami
hipertensi pada masa remaja dan dewasanya dan biasanya terkait dengan beberapa
ketidknormalan metabolit seperti diabetes mellitus, hyperlipidemia dan obesitas.
Bayi dengan berat badan lahir rendah uang lahir dari ibu yang mempunyai
tekanan darah di atas rata-rata selama kehamilan juga dapat menderita hipertensi.4

9. Ginjal dan obesitas


Tekanan ginjal natriuresis memegang peranan penting dalam pathogenesis
hipertensi. Penelitian menunjukan pada hipertensi kronis terdapat gangguan
tekanan natriuresis. Pencegahan tekanan natriuresis dengan mengatur tekanan
perfusi ginjal dapat mencegah ketidak seimbangan natrium dan karenanya
mencegah hipertensi.4
Terdapat penelitian yang menunjukan bahwa kelebihan berat badan dan
obesitas memegang peranan penting dalam patofisiologi hipertensi. Hipertensi
terkait dengan obesitas disertai gangguan tekanan natriuresis. Hal ini disebabkan
oleh adanya peningkatan reabsorpsi natrium akibat kecepatan filtrasi glomerular
dan aliran plasma ginjal yang meningkat.4
Pada obesitas yang berkepanjangan terdapat kerusakan glomerular dan
gangguan tekanan natriuresis ginjal akibat peningkatan tekanan arteri, vasodilatasi
ginjal, hiperfiltrasi glomelrular, dan aktivitas neurohumoral. Kesemuanya ini
mengakibatkan terjadinya pengurangan fungsi ginjal dan hipertensi yang lebih
hebat.4
Reabsorpsi natrium terkait dengan penambahan berat badan adalah akibat :

1. Peningkatan aktivitas simpatik ginjal


2. Aktivasi sistem renin-angiotensin
3. Perubahan fisiologi didalam ginjal.4

3.7 Kerusakan Organ Target 3

Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung


maupun tidak langsung. Kerusakan organ-organ target yang umum ditemui pada
pasien hipertensi adalah :

1. Jantung
a. Hipertrofi ventrikel kiri
b. Angina atau Infark miokard
c. Gagal jantung
2. Otak
a. Stroke atau Transien Ischemic Attack
3. Penyakit ginjal kronis
4. Penyakit arteri perifer
5. Retinopati4

Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ


tersebut dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ,
atau karena efek tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor
AT1 angiotensin II, stress oksidatif, down regulation dari ekspresi nitric oxide
synthase, dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi garam
dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ
target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi
transforming growth factors-β (TGF- β).4
Adanya kerusakan organ target, terutama pada jantung dan pembuluh darah,
akan memperburuk prognosis pasien hipertensi. Tingginya morbiditas dan
mortalitas pasien hipertensi terutama disebabkan oleh timbulnya penyakit
kardiovaskuler.4
Faktor resiko penyakit kardiovaskular pada pasien hipertensi antara lain
adalah :

1. Merokok
2. Obesitas
3. Kurangnya aktivitas
4. Dyslipidemia
5. Diabetes mellitus
6. Mikroalbuminuria atau perhitungan LFG < 60 ml/menit
7. Umur ( laki-laki >55 tahun, perempuan 65 tahun)
8. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung kardiovaskular premature (laki-
laki <55 tahun, perempuan < 65 tahun)4

Pasien dengan prehipertensi beresiko mengalami peningkatan tekanan darah


menjadi hipertensi; mereka yang tekanan darahnya berkisar antara 130-139/80-89
mmHg dalam sepanjang hidupnya akan memiliki dua kali resiko menjadi
hipertensi dan mengalami penyakit kardiovaskular dari pada yang tekanan
darahnya lebih rendah.4
Pada orang yang berumur lebihh dari 50 tahun, tekanan darah sistolik >140
mmhg merupakan faktor resiko yang lebih penting untuk terjadinya penyakit
kardiovaskular dari pada yang tekanan diastolik :
1. Resiko penyakit kardiovaskular dimulai pada tekanan darag 115/75
mmHg, meningkat dua kali dengan tiap kenaikan 20/10 mmHg.
2. Resiko penyakit kardiovaskular bersifat kontinyu, konsisten, dan
independen dari faktor resiko lainnya.
3. Individu berumur 55 tahun memiliki 90% resiko untuk mengalami
hipertensi.4
3.8 DIAGNOSIS
Evaluasi pada pasien penyakit hipertensi bertujuan untuk :
1. Menilai pola hidup dan identifikasi faktor-faktor resiko kardiovaskular
lainnya atau menilai adanya penyakit penyerta yang mempengaruhi
prognosis dan menentukan pengobatan.
2. Mencari penyebab kenaikan tekanan darah.
3. Menentukan ada tidaknya kerusakan target organ dan penyakit
kardiovaskular.7

Diagnosis dengan melakukan anamnesis tentang keluhan pasien, riwayat


penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang.7

Anamnesis meliputi :

1. Lama penderita hipertensi dan derajat tekanan darah


2. Indikasi adanya hipertensi sekunder
a. Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal
b. Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuria,
pemakaian obat-obat analgesic dan obat bahan lain.
c. Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi
d. Episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme)
3. Faktor- faktor resiko
a. Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga
pasien
b. Riwayat hyperlipidemia pada pasien atau keluarganya
c. Riwayat diabetes mellitus pada pasien atau keluarganya
d. Kebiasaan merokok
e. Pola makan
f. Kegemukan, intensitas olah raga
g. Kepribadian
4. Gejala kerusakan organ
a. Otak dan mata : sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, TIA,
deficit sensoris atau motoris
b. Jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki
c. Ginjal : haus, polyuria, nokturia, hematuria
d. Arteri perifer : ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten
5. Pengobatan antihipertensi sebelumnya
6. Faktor- faktor pribadi, keluarga dan lingkungan7

Pemeriksaan fisik selain memeriksa tekanan darah, juga untuk mengevaluasi


adanya penyakit penyerta, kerusakan organ target serta kemungkinan adanya
hipertensi sekunder.7
Pengukuran tekanan darah :

1. Pengukuran di kamar pemeriksa


2. Pengukuran 24 jam (ambulatory Blood Pressure Monitoring-ABPM)
3. Pengukuran sendiri oleh pasien7

Pengukuran di kamar pemeriksa dilakukan pada posisi duduk di kursi


setelah pasien istirahat selama 5 menit, kaki di lantai dan lengan pada posisi
setinggi jantung. Ukuran dan peletakan manset (panjang 12-13 cm, lebar 35 cm
untuk standar orang dewasa) dan stetoskop harus benar (gunakan suara Korotkoff
fase I dan V untuk penentuan sistolik dan diastolic). Pengukuran dilakukan dua
kali, dengan sela antara 1 sampai 5 menit, pemgukuran tambahan dilakukan jika
hasil kedua pengukuran sebelumnya sangat berbeda. Konfirmasi pengukuran pada
lengan kontralateral dilakukan pada kunjungan pertama dan jika didapatkan
kenaikan tekanan darah. Pengukuran denyut jantung dengan menghitung nadi (30
detik) dilakukan saat duduk segera sesudah pengukuran tekanan darah. Untuk
orang usia lanjut, diabetes dan kondisi lain dimana diperkirakan ada hipotensi
ortostatik, perlu dilakukan juga pengukuran tekanan darah pada posisi berdiri.7
Beberapa indikasi pengukuran ABPM antara lain :
1. Hipertensi yang borderline atau yang bersifat episodik
2. Hipertensi office atau white coat
3. Adanya disfungsi saraf otonom
4. Hipertensi sekunder
5. Sebagai pedoman dalam pemilihan jenis obat antihipertensi
6. Tekanan darah yang resisten terhadap pengobatan antihipertensi
7. Gejala hipotensi yang berhubungan dengan pengobatan antihipertensi

Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari :


1. Tes darah rutin
2. Glukosa darah (sebaiknya puasa)
3. Kolesterol total serum
4. Kolesterol LDL dan HDL serum
5. Trigliserida serum (puasa)
6. Asam urat serum
7. Kreatinin serum
8. Kalium serum
9. Hemoglobin dan hematocrit
10. Urinalisis
11. Elektrokardiogram7

3.9 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah :


1. Target tekanan darah < 140/90 mmHg, untuk individu beresiko tinggi
(diabetes, gagal ginjal proteinuria) < 130/80 mmHg
2. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular
3. Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria8

Selain pengobatan hipertensi, pengobatan terhadap faktor resiko atau


kondisi penyerta lainnya seperti diabetes mellitus atau dyslipidemia juga
dilaksanakan hingga mencapai mencapai target terapi masing-masing kondisi.8
Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi nonfarmakologis dan farmakologis.
Terapi nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua penderita hipertensi
dengan tujuan menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor resiko
serta penyakit penyerta lainnya.8

Terapi nonfarmakologis berupa :


1. Menghentikan merokok
2. Menurunkan berat badan berlebihan
3. Menurunkan konsumsi alcohol berlebih
4. Latihan fisik
5. Menurunkan asupan garam
6. Meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak.8

Terapi Farmakologis berupa :

Obat-obat antihipertensi meliputi Diuretik, penghambat sistem adrenergic,


vasodilator, penghambat sistem-renin-angiotensin, antagonis kalsium.8

1. Diuretik
Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida sehingga
menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibtanya terjadi penurunan
curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretic
juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya. Efek
ini diduga kuat akibat penurunan natrium di ruang interstitial dan di dalam sel otot
polos pembuluh darah yang selanjutnya menghambat influks kalsium. Hal ini
terlihat jelas pada diuretic tertentu seperti golongan tiazid yang mulai menunjukan
efek hipotensif pada dosis kecil sebelum timbulnya diuresis yang nyata. Pada
pemberian kronik curah jantung akan kembali normal, namun efek hipotensif
masih tetap ada. Efek ini diduga akibat penurunan resistensi perifer.8

A. Golongan Tiazid
Terdapat beberapa golongan obat yang termasuk golongan tiazid antara lain
hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid dan diuretic lain yang memiliki
gugus aryl-sulfonamida (indapamid dan klortalidon). Obat golongan ini bekerja
dengan menghambat transport bersama (symport) Na-Cl di tubulus distal ginjal,
sehingga ekskresi Na+ dan Cl- meningkat.8

B. Diuretik Kuat (Loop Diuretics, Ceiling Diuretics)


Diuretik kuat bekerja di ansa henle asenden begian epitel tebal dengan cara
menghambat kontransport Na+ ,K+, Cl- dan menghambat resorpsi air dan
elektrolit. Mula kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat dari golongan
tiazid, oleh karena itu diuretik kuat jarang digunakan sebagai antihipertensi,
kecuali pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >2,5 mg/dl)
atau gagal jantung.8
Termasuk dalam golongan diuretik kuat antara lain furosemide, torasemid,
bumetamid dan asam etakrinat. Waktu paruh diuretik kuat umumnya pendek
sehingga diperlukan 2 atau 3 kali sehari.8

Efek samping diuretik kuat hampir sama dengan tiazid, kecuali bahwa diuretik
kuat menimbulkan hiperkalsiuria dan menurunkan kalsium darah, sedangkan
tiazid menimbulkan hipokalsiuria dan meningkatkan kalsium darah.8

C. Diuretik Hemat Kalium


Amirolid, triamterene dan spironolakton merupakan diuretik lemah.
Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain untuk mencegah
hipokalemia. Diuretik hemat kalium dapat menimbulkan hiperkalemia bila
diberikan pada pasien dengan gagal ginjal atau bila kombinasi dengan ACEI,
ARB, β-blocker, AINS atau dengan suplemen kalium. Penggunaan harus
dihindarkan bila kreatinin serum >2,5mg/dl.8
Spironolakton merupakan antagonis aldosteron sehingga merupakan obat
pilihan pada hiperaldosteronisme primer (Sindrom Conn). Obat ini sangat berguna
pada pasien dengan hiperurisemia, hipokalemia dan dengan intoleransi glukosa.
Berbeda dengan golongan tiazid, spironolakton tidak mempengaruhi kadar
kalsium dan gula darah.8
Efek samping spironolakton antara lain ginekomastia, mastodinia, gangguan
menstruasi dan penurunan libido pada pria.8

2. Penghambat Sistem Adrenergik


A. Penghambat Adrenoreseptor Beta (β-Blocker)
Mekanisme antihipertensi, berbagai mekanisme penurunan tekanan darah
akibat pemberian β-blocker dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β1, antara
lain :

1. Penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga


menurunkan curah jantung
2. Hambatan sekresi renin di sel jukstaglomeruler ginjal dengan akibat
penurunan produksi angiotensin II
3. Efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada
sensitivitas baroreseptor, perubahan aktivitas neuron adrenergic perifer
dan peningkatan biosintesis prostasiklin.8

Penurunan tekanan darah oleh β-blocker yang diberikan per oral


berlangsung lambat. Efek ini mulai terlihat dalam 24 jam sampai 1 minggu setelah
terapi dimulai, dan tidak diperoleh tekanan darah lebih lanjut stelah 2 minggu bila
dosisnya tetap. Obat ini tidak menimbulkan hipotensi ortostatik dan tidak
menimbulkan retensi air dan garam.8
Penggunaan β-blocker digunakan sebagai obat tahap pertama pada
hipertensi ringan sampai sedang terutama pada pasien dengan penyakit jantung
coroner (khususnya sesudah infark miokard akut), pasien dengan aritmia
supraventrikel dan ventrikel tanpa kelainan konduksi, dan pada pasien yang
memerlukan antidepresan trisiklik atau amtipsikotik (karena efek antihipertensi β-
blocker tidak dihambat oleh obat-obatan tersebut). β-blocker lebih efektif pada
pasien usia muda dan kurang efektif pada pasien usia lanjut.8
Semua β-blocker di kontraindikasikan pada pasien asma bronkial atau
PPOK karena dapat menyebabkan bronkospasme dan β-blocker dapat
menyebabkan bradikardia, blokade AV, hambatan nodus SA. Β-blocker
merupakan obat yang paling baik untuk hipertensi dengan angina stabil kronik.8

B. Penghambat Adrenoreseptor Alfa (α-blocker)


Hanya α-blocker yang selektif menghambat reseptor alfa-1 yang digunakan
sebagai antihipertensi. α-blocker non selektif kurang efektif sebagai antihipertensi
karena hambatan reseptor α2 di ujung saraf adrenergik akan meningkatkan
pelepasan norepinefrin dan meningkatkan aktivitas simpatis.8
Mekanisme antihipertensi, hambatan reseptor α-1 menyebabkan vasodilatasi
di ateriol dan venula sehingga menurunkan resistensi perifer. Di samping itu,
venodilatasi menyebabkan aliran balik vena berkurang yang selanjutnya
menurunkan curah jantung venodilatasi ini dapat menyebabkan hipotensi
ortostatik terutama pada pemberian dosis awal, menyebabkan reflex takikardia
dan peningkatan aktivitas renin plasma. Pada pemakaian jangka panjang reflex
kompensasi ini akan hilang, sedangkan efek antihipertensi tetap bertahan.8
α-blocker memiliki beberapa keunggulan antara lain efek positif terhadapt
lipid darah (menurunkan LDL, dan trigliserida, dan meningkatkan HDL) dan
mengurangi resistensi insulin, sehingga cocok intuk pasien hipertensi dengan
dyslipidemia dan/atau diabetes mellitus. α-blocker juga sangat baik untuk pasien
hipertensi dengan hipertrofi prostat, karena hambatan reseptor α-1 akan
merelaksasi otot polos prostat dan sfingter uretra sehingga mengurangi retensi
urin. Obat ini juga memperbaiki insufisiensi vascular perifer, tidak mengganggu
fungsi jantung, tidak mengganggu aliran darah ginjal dan tidak berinteraksi
dengan AINS.8
Efek samping, hipotensi ortostatik sering terjadi pada pemberian dosis awal
atau pada peningkatan dosis, terutama dengan obat yang singkat seperti prazosin.
Gejalanya berupa pusing sampai sinkop. Sebaiknya gunakan dosis kecil dan
diberikan sebelum tidur. Efek sampingnya sakit kepala, palpitasi, edema perifer,
hidung tersumbat, mual dan lain-lain.8

C. Adrenolitik Sentral
Metildopa, klonidin, guanfasin, guanabenz, moksinidin, rilmedin. Yang
palimg sering digunakan adalah metildopa dan klonidin. Guanabenz dan
guanfasin sudah jarang digunakan dan analog klonidin yaitu moksonidin dan
rilmedin masih dalam penelitian.8

D. Penghambat Saraf Adrenergik


Reserpin, guanetidin, guanadrel

E. Penghambat Ganglion
Trimetafan, obat ini merupakan satu-satunya penghambat ganglion yang
digunakan, walaupun sudah semakin jarang. Kerjanya cepat dan singkat dan
digunakan untuk menurunkan tekanan darah pada :
1. Hipertensi darturat, anuerisma aorta
2. Untuk menghasilkan hipotensi yang terkendali selama operasi besar
3. Vasodilator8
4. Penghambat Sistem Renin-Angiotensin
A. Penghambat Angiotensin-Converting Enzyme (ACE-Inhibitor)
Kaptopril merupakan ACE-Inhibitor yang terutama dan banyak digunakan
untuk pengobatan hipertensi dan gagal jantung. Secara umum ACE-Inhibitor
dibedakan atas dua kelompok :
1. Yang bekerja langsung, contohnya kaptopril dan lisinopril
2. Prodrug, contohnya enalapril, kuinapril, perindopril, ramipril, silazapril,
benazepril, fosinopril dan lain-lain.8

Obat ini dalam tubuh diubah menjadi bentuk aktif. ACE-Inhibitor


menghambat Angiotensin I menjadi Angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi
dan penurunan sekresi aldosteron. Selain itu, degradasi bradikinin juga dihambat
sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek
vasodilatasi ACE-Inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan
tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan eksresi air
dan natrium dan retensi kalium.8
Efek samping berupa hipotensi, batuk kering, hyperkalemia, rash, gagal
ginjal akut, proteiunuria. Kontraindikasi ACE-Inhibitor pada wanita hamil karena
sifat teratogenik. Pemberian pada ibu menyusui juga kontraindikasi karena ACE-
Inhibitor dieksresikan melalui ASI dan berakibat buruk terhadap fungsi ginjal
bayi.8
Dalam JNC VII, ACE-Inhibitor diindikasikan untuk hipertensi dengan
penyakit ginjal kronik. Namun harus berhati-hati terutama bila ada hiperkalemia
karena akan memperberat keadaan.8

B. Antagonis Reseptor Angiotensin II (Angiotensin Receptor Blocker, ARB)


Reseptor Angiotensin II terdiri dari dua kelompok besar yaitu reseptor AT1
dan AT2. Reseptor AT1 terdapat di otot polos pembuluh darah dan di otot
jantung, selain itu terdapat juga di ginjal, otak dan kelenjar adrenal. Reseptor AT1
memperantai semua efek fisiologik Angiotensin II terutama sebagai homeostasis
kardiovaskular. Reseptor AT2 terdapat di medulla adrenal dan mungkin juga
SSP.8
Losartan merupakan prototype obat golongan ARB yang bekerja selektif
pada reseptor AT1. Pemberian obat ini akan menghambat semua efek Angiotensin
II : vasokontriksi, sekresi aldosteron, rangsangan saraf simpatis, efek sentral
Angiotensin II, stimulasi jantung, efek renal serta efek jangka panjang berupa
hipertrofi otot polos pembuluh darah dan miokard. ARB menimbulkan efek yang
mirip dengan ACE-Inhibitor tetapi tidak mempengaruhi metabolism bradikinin,
maka tidak ada efek samping batuk kering dan angioedema.8
ARB ssangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi
dengan kadar renin yang tinggi seperti hipertensi renovaskular dam hipertensi
genetik, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan aktivitas renin rendah.8
Efek samping dan perhatian, hipotensi dapat terjadi pada pasien kadar renin
tinggi seperti hipovolemia, gagal jantung, hipertensi renovaskular dan sirosi
hepatis. Fetotoksik maka dari itu jangan diberikan pada wanita hamil.
Kontraindikasi sama seperti ACE-Inhibitor.8

5. Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada sel otot polos,
pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh darah, antagonis kalsium terutama
menimbulkan relaksasi ateriol, sedangkan vena kurang dipengaruhi. Penurunan
resistensi perifer ini sering diikuti oleh reflek takiradia dan vasokontriksi,
terutama bila menggunakan golongan dihidropiridin kerja pendek (nifedipin).8
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang
dianjurkan JNC 7 :

1. Diuretika : terutama jenis Thiazide (thiaz) atau Aldosteron Antagonist


(Aldo Ant)
2. Beta Blocker (BB)
3. Calcium Channel Blocker atau Calcium Antagonist (CCB)
4. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
5. Angiotensin II Reseptor Blocker atau AT1 receptor antagonist/blocker
(ARB)8

Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap, dan
target tekanan darah dicapai secara progresif dalam beberapa minggu. Dianjurkan
untuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang atau yang
memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan apakah
memulai terapi dengan satu jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi
tergantung pada tekanan darah awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi
dimulai dengan satu jenis obat dan dalam dosis rendah, dan kemudian darah
belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah meningkatnya dosis obat
tertentu, atau berpindah ke antihipertensi lain dengan rendah. Efek samping
umumnya bisa dihindari dengan menggunakan dosis rendah, baik tunggal maupun
kombinasi. Sebagian besar pasien memerlukan kombinasi obat antihipertensi
untuk mencapai target tekanan darah, tetapi kombinasi dapat meningkatkan biaya
pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien karena jumlah obat yang harus
diminum bertambah.8
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien umur 56 tahun dikonsulkan ke bagian kardiologi datang dengan


keluhan tekanan darah yang tingg. Pasien tidak mengeluhkan pusing, nyeri
dikuduk, ataupun mata kabur. Hipertensi jarang sekali menimbulkan gejala klinis
apabila belum mencapai fase komplikasi dan untuk mengetahui apakah seorang
pasien mengidap hipertensi atau tidak, diperlukan pemeriksaan tekanan darah.
Pada anamnesis, ditemukan bahwa pasien mempunyai riwayat penyakit
ginjal kronik. Penyakit parenkim ginjal penyebab paling umum dari hipertensi
sekunder. Hipertensi bisa disebabkan karena kelainan glomerolus, tubulus
iterstitial dan kelaina polikistik. Kebanyakan kasus berhubungan dengan
peningkatan volume intravaskuler atau peningkatan aktivitas sistem renin-
engiotensin-aldosteron. Hipertensi mempercepat progresi ke renal insufisiensi dan
kotrol yang ketat agar tekanan darah menjadi 130/85mmHg atau lebih rendah
akan memperlambat proses ini. Dilatasi arteriol eferen oleh angiotensin-konferting
enzm inhibitor mengurangi progresi penyakit ini.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah meningkat yaitu
160/90mmHg. Pasien dinyatakan hipertensi apabila didapatkan tekanan darah
sistol ≥140mmHg dan diastol ≥90mmhg, dan hipertensi merupakan perjalanan
kronis dan jarang memberikan gejala sehingga pasien bisa saja tidak mengetahui
keadaan hipertensi apabila tidak memeriksakan diri atau sudah menimbulkan
gejala.
Diagnosis pada pasien ini adalah hipertensi stadium 2. Ini sesuai dengan
klasifikasi hipertensi menurut JNC-7 yang membagi stadium hipertensi
berdasarkan tekanan darah yang diukur. Klasifikasi menurut JNC-7 adalah normal
(120/80mmhg), pre-hipertensi (121-139/80-89mmHg), hipertensi stadium 1 (140-
159/90-99mmHg) dan hipertensi stadium 2 (≥160/≥100mmHg). Diagnosis pasien
dengan hipertensi haruslah dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah pada 2
waktu, ini untuk membuktikan apakah peningkatan tekanan darah terjadi hanya
sesaat, dan alat yang paling akurat untuk mengukur tekanan darah adalah
spyghmomanometer air raksa dikarenakan akurasi yang tepat, sedangkan pada
manometer tipe lain seperti aneroid dan manometer otomatis masih memerlukan
kalibrasi agar tidak terjadi kesalahan saat mengukur tekanan darah.
Pada tatalaksana pasien ini diberikan valsartan dan amlodipin. Valsartan
adalah obat anti hipertensi golongan angiotensin receptor blocker atau ARB, obat
jenis ini bekerja pada sistem renin angiotensi aldosteron. ARB akan menghambat
proses RAAS dengan menmpel pada reseptor angiotensin 1 atau AT1 sehingga
angiotensin tidak dapat masuk ke reseptor, yang pada ahirnya tidak menimbulkan
vasokonstriksi pada pembuluh darah, valsartan juga tidak mempengaruhi
bradikinin. Sedangkan amlodipin adalah obat anti hipertensi golongan calcium
chanel blocker atau CCB, obat jenis ini bekerja pada otot jantung dan resistensi
perifer. Pada otot jantung, CCB akan mencegah pergerakan kalsium sehingga
tidak terjadi influks dan potensial aksi, menyebabkan detak jantung yang lebih
lambat sehingga menurunkan laju jantung, sedangkan pada resistensi perifer,
penghambatan perpindahan kalsium menyebabkan kurangnya vasokontriksi pada
dinding vaskular sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan resistensi perifer
sistemik. Sesuai dengan rumus sederhana tekanan darah, pengurangan pada laju
jantung dan resistensi perifer sistemik akan menurunkan tekanan darah.
BAB V
KESIMPULAN

Hipertensi esensial merupakan peningkatan tekanan darah di atas normal


untuk usianya karena penyebab klinis yang sebelumnya terdeteksi. Hipertensi
akibat dari kelainan ginjal dapat terjadi karena kelainan jaringan parenkim
maupun kelainan vaskular ginjal. Kelainan parenkim dapat berupa proliferasi dan
jaringan parut, sedangkan kelainan vaskular dapat berupa penyempitan,
aterosklerosis, atau displasia yang menyebabkan hipoksia jaringan sehingga
terjadi pelepasan renin.
DAFTAR PUSTAKA

1. Gan Gunawan, Sulistia. Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Elysabeth.


Farmakologi dan Terapi. Edisi V. 2012. Bagian 21; Antihipertensi; p341-
360.
2. Longo, Dan L. Kasper, Dennis L. Jameson, J Larry. Fauci, Anthony S.
Hauser, Stephen L. Loscalzo, Joseph. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 18th Edition. 2012. Chapter 247 ; Hipertensive vascular Disease.
3. Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K,
Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi V.
2009. Bagian 169;Hipertensi Esensial; p1079-1085.
4. Sani, Aulia. Hypertension Current Perspective.2008. p 7-30.
5. Young, Vicent B. Kormos, William A. Chick, Davoren A. Goroll, Allan
H.Blueprints Medicine. 5th Edition. 2010. Chapter 8 ; Hypertension.
6. Ferri, Fred F. Color Atlas and Text of Clinical Medicine. 2009. Chapter
127; hypertension.
7. Martin, Jeffery. The journal of Lancaster General Hospital. Volume 3.
2008. Hypertension Guidelines : Revisting The JNC 7 Recommendations.
p91-97.
8. Chobanian, Aram V. Baktris, Geogre L. Black, Henry R. Cushman,
William C. Green, Lee A. Izzo, Joseph L. W, Jones, Jr.Daniel W.
Materson, Barry J. Oparil, Suzanne. Wright, Jackson T. Rocella, Edward J.
and National High Blood Pressures Education Program Coordinating
Committee. Seventh Report of The Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evalution, and Treatment oh High Blood
Pressure.2013. Hypertension.

Vous aimerez peut-être aussi