Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
WOUND
Oleh:
Pembimbing:
dr. Iqmal Perlianta, Sp.BP-RE
1
HALAMAN PENGESAHAN
Referat
Judul
Wound
Oleh:
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian/Departemen Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin
Palembang.
2
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Wound” dengan
baik. Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Iqmal Perlianta,
Sp.BP-RE sebagai dosen pembimbing.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan referat ini masih
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
referat ini di masa yang akan datang. Demikianlah penulisan laporan ini, semoga
bermanfaat.
Penulis
3
DAFTAR ISI
4
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Luka
adalah kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ
tubuh lain. Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul :
1. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
2. Respon stres simpatis
3. Perdarahan dan pembekuan darah
4. Kontaminasi bakteri
5. Kematian sel
6
a. Luka insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh instrumen
yang tajam dan kerusakan sangat minimal. Misal, yang terjadi akibat
pembedahan.
b. Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu
tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak,
perdarahan dan bengkak.
c. Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan
benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.
d. Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda seperti
peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang
kecil.
e. Luka gores (Lacerated Wound), terjadi jika kekuatan trauma melebihi
kekuatan regang jaringan.
f. Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ
tubuh. Biasanya pada bagian awal masuk luka diameternya kecil,
tetapi pada bagian ujung luka biasanya akan melebar (Samper ,2007;
libby, 2011).
g. Luka Bakar (Combustio), merupakan kerusakan kulit tubuh yang
disebabkan oleh api, atau penyebab lain seperti oleh air panas, radiasi,
listrik dan bahan kimia. Kerusakan dapat menyertakan jaringan bawah
kulit (Julia, 2000; Sudjatmiko, 2010).
3. Berdasarkan Derajat Kontaminasi
a. Luka bersih (Clean Wounds), yaitu luka tak terinfeksi, dimana tidak
terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi, dan kulit disekitar
luka tampak bersih. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang
tertutup. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% – 5%.
b. Luka bersih terkontaminasi (Clean-contamined Wounds), merupakan
luka dalam kondisi terkontrol, tidak ada material kontamin dalam
luka. Kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% – 11%.
7
c. Luka terkontaminasi (Contamined Wounds), yaitu luka terbuka kurang
dari empat jam, dengan tanda inflamasi non-purulen. Kemungkinan
infeksi luka 10% – 17%.
d. Luka kotor atau infeksi (Dirty or Infected Wounds), yaitu luka terbuka
lebih dari empat jam dengan tanda infeksi di kulit sekitar luka, terlihat
pus dan jaringan nekrotik. Kemungkinan infeksi luka 40%.
8
tegas sering meninggalkan jaringan yang tidak dapat hidup yang pada
pemeriksaan pertama sukar dikenal. Keadaan ini diperkirakan akan
menyebabkan infeksi bila luka langsung dijahit. Luka yang demikian akan
dibersihkan dan dieksisi (debridement) dahulu, selanjutnya baru dijahit
dan dibiarkan sembuh secara primer. Cara ini disebut penyembuhan
primer tertunda.
Selain itu, jika luka baik yang belum dijahit, atau jahitan terlepas dan
kemudian dijahit kembali, dua permukaan granulasi yang berlawanan akan
tersambungkan. Hal ini mengakibatkan jaringan parut yang lebih dalam
dan luas dibandingkan dengan penyembuhan primer (Diegelmann and
Evans, 2004).
9
Gambar 1. Macam-macam proses penutupan luka
10
2.4 Fase penyembuhan luka
Setiap proses penyembuhan luka akan melalui 3 tahapan yang dinamis,
saling terkait dan berkesinambungan, serta tergantung pada tipe/jenis dan
derajat luka. Sehubungan dengan adanya perubahan morfologik, tahapan
penyembuhan luka terdiri dari:
1. Fase Hemostasis dan Inflamasi (Schwartz and Neumeister, 2006)
Fase hemostasis dan inflamasi adalah adanya respons vaskuler dan
seluler yang terjadi akibat perlukaan pada jaringan lunak. Tujuannya
adalah menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda
asing, sel-sel mati, dan bakteri, untuk mempersiapkan dimulainya proses
penyembuhan.
Pada awal fase ini, kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan
keluarnya platelet yang berfungsi hemostasis. Platelet akan menutupi
vaskuler yang terbuka (clot) dan juga mengeluarkan substansi
vasokonstriktor yang mengakibatkan pembuluh darah kapiler
vasokonstriksi, selanjutnya terjadi penempelan endotel yang akan
menutup pembuluh darah. Periode ini hanya berlangsung 5-10 menit, dan
setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler karena stimulasi saraf sensoris
(local sensoris nerve ending), local reflex action, dan adanya substansi
vasodilator : histamin, serotonin dan sitokin.
Histamin selain menyebabkan vasodilatasi juga mengakibatkan
meningkatnya permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar
dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka. Secara klinis terjadi
edema jaringan dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis. Eksudasi
ini juga mengakibatkan migrasi sel lekosit (terutama netrofil) ke ekstra
vaskuler. Fungsi netrofil adalah melakukan fagositosis benda asing dan
bakteri di daerah luka selama 3 hari dan kemudian akan digantikan oleh
sel makrofag yang berperan lebih besar jika dibanding dengan netrofil
pada proses penyembuhan luka. Fungsi makrofag disamping fagositosis
adalah (MacKay and Miller, 2003):
11
a. Sintesa kolagen
b. Membentuk jaringan granulasi bersama dengan fibroblast
c. Memproduksi growth factor yang berperan pada re-epitelisasi
d. Membentuk pembuluh kapiler baru atau angiogenesis
Dengan berhasil dicapainya luka yang bersih, tidak terdapat infeksi
serta terbentuknya makrofag dan fibroblas, keadaan ini dapat dipakai
sebagai pedoman/parameter bahwa fase inflamasi ditandai dengan adanya
eritema, hangat pada kulit, edema, dan rasa sakit yang berlangsung sampai
hari ke-3 atau hari ke-4.
12
fibroblast sangat besar pada proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab
pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan
selama proses rekonstruksi jaringan.
Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel
fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan
penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblast akan aktif bergerak dari
jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang
(proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, asam
hyaluronat, fibronectin dan proteoglikans) yang berperan dalam
membangun jaringan baru (Mallefet and Dweck, 2008).
Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal
jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannnya
subtrat oleh fibroblast, memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh
darah baru dan juga fibroblast sebagai satu kesatuan unit dapat memasuki
kawasan luka. Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di
dalam jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan
proses proliferasi fibroblast dengan aktifitas sintetiknya disebut
fibroplasia. Respons yang dilakukan fibroblast terhadap proses fibroplasia
adalah (MacKay and Miller, 2003):
a. Proliferasi
b. Migrasi
c. Deposit jaringan matriks
d. Kontraksi luka
Angiogenesis, suatu proses pembentukan pembuluh kapiler baru
didalam luka, mempunyai arti penting pada tahap proleferasi proses
penyembuhan luka. Kegagalan vaskuler akibat penyakit (diabetes),
pengobatan (radiasi) atau obat (preparat steroid) mengakibatkan lambatnya
proses sembuh karena terbentuknya ulkus yang kronis. Jaringan vaskuler
yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respons untuk
memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka, karena
biasanya pada daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan
13
oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses
terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet
dan makrofag (growth factors).
Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblast mengeluarkan
keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis
sel epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya
membentuk barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa
kolagen oleh fibroblast, pembentukan lapisan dermis ini akan
disempurnakan kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan
granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan baru tersebut menutup
luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi myofibroblast yang
mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi
kontraksi akan lebih menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan
dengan defek luka minimal (David, 2004; Monaco and Lawrence, 2003).
3. Fase Remodelling
Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir
sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase remodelling adalah
menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan
penyembuhan yang kuat dan berkualitas. Fibroblast sudah mulai
meninggalkan jaringan grunalasi, warna kemerahan dari jaringan mulai
14
berkurang karena pembuluh mulai regresi, dan serat fibrin dari kolagen
bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari
jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah
perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan
dilanjutkan pada fase remodelling. Selain pembentukan kolagen, juga akan
terjadi pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Kolagen muda
(gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah
menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat, dengan struktur yang
lebih baik (proses re-modelling).
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan
keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan.
Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau
hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan
kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan
sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit
mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal.
Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun
outcome atau hasil yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologik
masing-masing individu, lokasi, serta luasnya luka (David, 2004; Mallefet
and Dweck, 2008; Schwartz and Neumeister, 2006).
15
Gambar 5. Tahapan penyembuhan luka. Pada individu sehat, penyembuhan
berlangsung secara berurutan melalui tiga fase yang saling tumpang tindih: (1)
fase inflamasi, (2) fase proliferatif, dan (3) fase remodelling. Stress dapat
mempengaruhi perkembangan melalui tahap-tahap melalui jalur kekebalan tubuh
dan beberapa neuroendokrin. Review saat ini berfokus pada peran interaktif
glukokortikoid dan sitokin (misalnya IL-8, IL-1α, IL-1β, IL-6, TNF-α, dan IL-10).
Namun, sitokin tambahan, kemokin, dan faktor pertumbuhan yang penting untuk
penyembuhan. Ini termasuk kemokin CXC ligan 1 (CXCL1), kemokin CC ligan 2
(CCL2), granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), protein
chemotactic monosit-1 (MCP-1), makrofag inflamasi protien-1 alpha (MIP -lα),
faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), mengubah faktor pertumbuhan-β
(TNF-β), faktor pertumbuhan keratinosit (KGF), faktor pertumbuhan platelet-
derived (PDGF), dan faktor pertumbuhan fibroblas dasar (bFGF)
16
2.5 Gangguan Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari tubuh sendiri
(endogen) dan oleh penyebab dari luar tubuh (eksogen). Penyebab endogen
terpenting adalah gangguan koagulasi yang disebut koagulopati, dan
gangguan sistem imun. Semua gangguan pembekuan darah akan menghambat
penyembuhan luka, sebab homeostatis merupakan titik tolak dan dasar fase
inflamasi. Gangguan sistem imun akan menghambat dan mengubah reaksi
tubuh terhadap luka, kematian jaringan dan kontaminasi.
Penyebab eksogen meliputi penyinaran sinar ionisasi yang akan
mengganggu mitosis dan merusak sel dengan akibat dini maupun lanjut.
Pemberian sitostatik, obat penekan imun misalnya setelah transplantasi organ,
dan kortikosteroid juga akan mempengaruhi penyembuhan luka. Pengaruh
setempat seperti infeksi, hematom, benda asing, serta jaringan mati seperti
sekuester dan nekrosis sangat menghambat penyembuhan luka
(Sjamsuhidajat and Jong, 1997).
17
toksinnya terhadap sel sehat. Untuk membersihkan luka hanya diperlukan
normal saline. Citotoxic agent seperti povidine iodine, dan asam asetat,
seharusnya tidak secara sering digunakan untuk membersihkan luka, karena
dapat menghambat penyembuhan dan mencegah reepitelisasi. Luka dengan
sedikit debris dipermukaannya dapat dibersihkan dengan kassa yang dibasahi
dengan sodium klorida dengan tidak terlalu banyak manipulasi gerakan. Tepi
luka seharusnya bersih, berdekatan dengan lapisan sepanjang tepi luka. Tepi
luka ditandai dengan kemerahan dan sedikit bengkak dan hilang kira-kira satu
minggu. Kulit menjadi tertutup hingga normal dan tepi luka menyatu.
Adapun tujuan dari perawatan luka antara lain (Dudley, 2000; Julia,
2000):
1. Memberikan lingkungan yang memadai untuk penyembuhan luka
2. Absorbsi drainase
3. Menekan dan imobilisasi luka
4. Mencegah luka dan jaringan epitel baru dari cedera mekanis
5. Mencegah luka dari kontaminasi bakteri
6. Meningkatkan hemostasis dengan menekan dressing
7. Memberikan rasa nyaman mental dan fisik pada pasien
18
bawah, leher, wajah, telinga, dan dahi. Keloid agak jarang dilihat di bagian
sentral wajah pada mata, cuping hidung, atau mulut.
Pengobatan keloid pada umumnya tidak memuaskan. Biasanya
dilakukan penyuntikan kortikosteroid intrakeloid, bebat tekan, radiasi ringan
dan salep madekasol (2 kali sehari selama 3-6 bulan). Untuk mencegah
terjadinya keloid, sebaiknya pembedahan dilakukan secara halus, diberikan
bebat tekan dan dihindari kemungkinan timbulnya komplikasi pada proses
penyembuhan luka (Sjamsuhidajat and Jong, 1997).
19
2.10 Penatalaksanaan
a. Perawatan Dasar
Perawatan yang baik dan penggunaan kasur anti dekubitus memiliki
peranan dalam mengurangi tekanan pada pasien dengan ulkus
dekubitus. Demikian pula debridemen kalus secara teratur, perawatan
kuku, dan sepatu khusus untuk mengurangi tekanan penting untuk
perawatan kaki diabetik akibat neuropati diabetik. Penggunaan verban
kompresi dan stoking penting dan efektif dalam mengobati ulkus vena.
(Harding and Morris, 2002)
b. Debridement yang adekuat
Luka kronik umumnya memiliki banyak jaringan parut, debris, dan
jaringan nekrotik yang menghambat penyembuhan. (Sudjatmiko, 2010)
c. Penanganan infeksi
Pada luka kronik harus dicurigai adanya infeksi. Kultur jaringan dan
perhitungan kwantitatif sebaiknya dilakukan. (Sudjatmiko, 2010)
d. Penutupan luka yang baik
Desikasi merupakan faktor yang seringkali menyebabkan gangguan
penyembuhan luka dan epitelisasi pada luka kronik. (Sudjatmiko, 2010)
Fokus utama dari perawatan luka kronis dalam beberapa tahun terakhir
adalah mengembangkan metode penutupan luka yang baik sehingga
dapat menciptakan lingkungan yang lembab untuk membantu
penyembuhan luka. Winter menunjukkan pada model hewan bahwa
proses reepitelialisasi luka akut berjalan 1,5 kali lebih cepat jika luka
ditutup. Penutupan luka belum menunjukkan efek bermakna dalam
studi klinis terhadap pasien dengan luka kronis, namun penerapannya
masih memiliki manfaat bagi pasien dengan mengurangi rasa sakit dan
dengan meningkatkan kenyamanan serta efektivitas biaya. Kemajuan
dalam teknologi penutupan luka belum dapat menemukan zat yang
dapat mengobati kelainan pada kaskade penyembuhan luka, kecuali
penutupan luka dengan bahan yang mengandung asam hyaluronat, yang
20
secara khusus membantu penyembuhan luka. (Harding and Morris,
2002)
e. Penanganan faktor lokal dan sistemik yang dapat menghambat
penyembuhan luka
Misalnya gangguan vaskular, edema, diabetes, malnutrisi, tekanan
lokal, dan gravitasi.
21
BAB III
PENUTUP
3. Kesimpulan
Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Luka adalah
kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh
lain. Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul, antara lain hilangnya
seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, perdarahan dan
pembekuan darah, kontaminasi bakteri, dan bahkan kematian sel.
Ada 3 pengelompokan jenis luka, yaitu berdasarkan waktu penyembuhan,
berdasarkan proses terjadinya luka, dan berdasarkan derajat kontaminasi luka.
Terdapat 3 fase penyembuhan luka, yaitu fase hemostasis dan inflamasi,
fase proliferasi, dan fase remodeling.
Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari tubuh sendiri
(endogen) dan oleh penyebab dari luar tubuh (eksogen). Penyebab endogen
terpenting adalah gangguan koagulasi yang disebut koagulopati, dan gangguan
sistem imun. Penyebab eksogen meliputi penyinaran sinar ionisasi yang akan
mengganggu mitosis dan merusak sel dengan akibat dini maupun lanjut.
Pemberian sitostatik, obat penekan imun misalnya setelah transplantasi organ,
dan kortikosteroid juga akan mempengaruhi penyembuhan luka.
Keloid dan jaringan parut hipertrofik timbul karena reaksi serat kolagen
yang berlebihan dalam proses penyembuhan luka. Keloid dapat ditemukan di
seluruh permukaan tubuh. Tempat predileksi merupakan kulit, toraks terutama
di muka sternum, pinggang, daerah rahang bawah, leher, wajah, telinga, dan
dahi. Keloid agak jarang dilihat di bagian sentral wajah pada mata, cuping
hidung, atau mulut.
Dalam tatalaksana luka, perlu dipertimbangkan beberapa hal antara lain
perawatan dasar, debridement yang adekuat, penanganan infeksi, penutupan
luka yang baik, penggunaan faktor pertumbuhan topikal, dan penanganan
faktor lokal dan sistemik yang dapat menghambat penyembuhan luka.
22
DAFTAR PUSTAKA
Dudley HAF, Eckersley JRT, et al. 2000. Pedoman Tindakan Medik dan Bedah.
Jakarta : EGC
David LD. 2004. Ethicon: Wound Closure Manual. Minnesota: Ethicon inc. pp: 6-
8.
Harding, KG; Morris, G K patel. 2002. Science, medicine, and the future Healing
chronic wounds. BMJ Vol 324
MacKay D and Miller AL. 2003. Nutritional support for wound healing. Alt med
rev. 8(4): 360-1.
Mangram AJ, Horan TC, et al. 1999. Guideline for prevention of surgical site
infection. Infect Control Hosp Epidemiol 1999;20:247-80.
www.medscape.com/viewarticle/414393_4 ( diakses 17 Mei 2011)
23
Monaco JL and Lawrence WT. 2003. Acute wound healing: an overview. Clin
Plastic Surg. 30: 1-12.
Samper Gimenez. 2007. Orbital Penetrating Wound By A Bull Horn, Arch Soc
ESP Oftamol 2007; 82: 645-648.
www.oftalmo.com/seo/archivos/maquetas/1/...D8FA.../articulo.pdf.
(diakses 17 Mei 2011)
Sjamsuhidajat, R and Jong, W D. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi.
Jakarta : EGC. 3: 72-81.
24