Vous êtes sur la page 1sur 18

Makalah Kultur Jaringan

AKLIMATISASI PADA TANAMAN KULTUR JARINGAN

DISUSUN OLEH :

IRMAWATI / 516 011 235


SUMARLIN / 516 011 044

KELAS C / 2016

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PANCASAKTI MAKASSAR
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya Kami dapat menyelesaikan makalah
tentang “Aklimitisasi pada tanaman Kultur Jaringan” ini dengan baik meskipun
banyak kekurangan didalamnya. Dan juga Kami berterima kasih selaku Dosen mata
Kuliah yang telah memberikan tugas ini kepada Kami .

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna bagi pembaca dan
khususnya bagi Kami untuk menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai
kultur jaringan pada tumbuhan. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, Kami
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah Kami
buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi Kami
maupun orang yang membacanya. Sebelumnya Kami mohon maaf apabila
terdapatkesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan Kami memohon kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Makassar, 26 Juli 2018

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian dari
tanaman (sel, kelompok sel, jaringan, organ, protoplasma) dan menumbuhkannya
dalam kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut berkembang menjadi
tanaman lengkap. Pada umumnya teknik kultur jaringan dapat dibagi menjadi empat
tahapan, yaitu : tahap pertama induksi (penanaman awal), untuk menumbuhkan
jaringan tanaman baik berupa tunas maupun kultur kalus dengan tujuan untuk
membentuk kultur masal sel/tunas yang belum/tidak terdiferensi. Tahap kedua
multiplikasi (perbanyakan), untuk memperbanyak tunas/kalus dari hasil tahap
pertama dimana tunas yang sudah terbentuk dipotong-potong dengan tujuan untuk
memproduksi tunas majemuk. Tahap ketiga rooting (pembentukan akar), yaitu
pemindahan tunas-tunas terbaik hasil multiplikasi ke media perakaran dengan
tujuan untuk merangsang pertumbuhan dan pembentukan akar sehingga menjadi
planlet yang sempurna. Tahap keempat adalah aklimatisasi, yaitu penyesuaian
kondisi tempat tumbuh dari lingkungan in vitro ke tempat tumbuh di rumah kaca dan
atau lapangan agar tanaman mampu beradaptasi terhadap iklim dan lingkungan
yang baru (Herawan, 2000).
Tahapan aklimatisasi ini diperlukan oleh planlet karena terdapat perbedaan
kritis antara kedua tempat tumbuh tersebut. Tanpa proses aklimatisasi planlet tidak
akan mampu tumbuh dan beradaptasi dengan kondisi luar, meliputi kelembaban
udara, intensitas cahaya, suhu dan media tumbuh (Nugroho dan Sugito, 1996). Pada
umumnya tanaman yang tumbuh secara in vitro membutuhkan proses aklimatisasi
untuk meningkatkan ketahanannya ketika dipindahkan ke lapangan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan aklimatisasi ?
2. Apa tujuan aklimatisasi ?
3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi tahap aklimatisasi ?
4. Apa saja faktor-faktor yang harus diperhatikan untuk keberhasilan aklimatisasi ?
5. Bagaimana metode dan tahapan aklimatisasi ?
6. Bagaimana prosedur aklimatisasi
7. Bagaimana teknik penyungkupan tanaman ?
8. Bagaimana aplikasi dari aklimatisasi ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. AKLIMATISASI
Pucuk-pucuk dan planlet dari in vitro yang diregenerasikan di dalam
lingkungan dengan kelembaban yang tinggi dan bersifat heterotroph, harus berubah
menjadi autotroph bila dipindahkan ke tanah atau lapangan. Proses pemindakan
merupakan langkah akhir dari prosedur mikropropagasi dan diistilahkan sebagai
tahap aklimatisasi. Menurut Yusnita (2003), aklimatisasi yaitu suatu upaya
mengkondisikan planlet atau tunas mikro hasil perbanyakan melalui kultur invitro ke
lingkungan in vivo yang aseptik. Aklimatisasi merupakan proses yang penting dalam
rangkaian aplikasi kultur jaringan untuk mendukung pengenmbangan pertanian.
Menurut Basri (2004), aklimatisasi merupakan proses pengadaptasian hasil
kultur jaringan terhadap lingkungan luar yang lebih ekstrim. Perbedaan faktor-faktor
lingkungan yang utama dari kondisi kultur jaringan dan greenhouse antara lain
cahaya, suhu, kelembaban relatif, di samping hara dan media tanam (Seelye et al.,
2003). Komponen cahaya dan suhu dapat disesuaikan dengan pemberian naungan.
Aklimatisasi tanaman hasil kultur jaringan bertujuan untuk menyesuaikan
(prakondisi) dari lingkungan in vitro ke lingkungan in vivo di rumah kaca dan
persemaian, dari kegiatan tersebut diharapkan diperoleh tanaman yang memiliki
formasi perakaran dan tinggi yang lebih baik dan kokoh.
Planlet yang dapat diaklimatisasi adalah planlet yang telah lengkap organ
pentingnya seperti daun akar dan batang (jika ada), sehingga dalam kondisi
lingkungan luar planlet dapat melanjutkan perumbuhannya dengan baik. Selain itu
aklimatisasi juga memerlukan media yang tepat untuk pertumbuhan planlet.
Aklimatisasi dilakukan dengan memindahkan planlet kedalam polybag yang berisi
media dan disungkup dengan plastik bening. Sungkup digunakan untuk melindungi
bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan
sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit
mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup
dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan
pemeliharaan bibit generatif.
Pemindahan eksplan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan
memberikan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan
serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap
serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan
lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan
bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generative (Pierik,
1997).
Masa aklimatisasi merupakan masa yang kritis karena pucuk atau planlet yang
diregenerasikan dari kultur in vitro menunjukkan beberapa sifat yang kurang
menguntungkan seperti lapisan lilin (kutikula) tidak berkembang dengan baik,
kurangnya lignifikasi batang, jaringan pembuluh dari akar ke pucuk kurang
berkembang dan stomata sering sekali tidak berfungsi (tidak menutup ketika
penguapan tinggi). keadaan ini menyebabkan pucuk-pucuk in vitro sangat peka
terhadap transpirasi, serangan candawan dan bakteri, cahaya dengan intensitas yang
tinggi dan suhu yang tinggi. oleh karena itu, aklimatisasi pucuk-pucuk in vitro
memerlukan penanganan yang khusus, bahkan diperlukan modifikasi terhadap
kondisi kondisi lingkungan terutama dalam kaitannya dengan suhu, kelembaban dan
intensitas cahaya. Di samping itu, medium tumbuh pun memiliki peranan yang cukup
penting, khususnya bila pucuk-pucuk mikro yang diaklimatisasikan belum
membentuk sistem perakaran yang baik (Zulkarnain, 2009).

Penyesuaian bibit kultur terhadap lingkungan luar merupakan salah satu


tahapan yang harus dilalui dalam kegiatan yang melibatkan kultur in vitro. Menurut
Ziv, 1986 dalam Pierik, 1987, aklimatisasi adalah masa adaptasi planlet dari kultur
heterotrofik menjadi autotrofik, yang merupakan tahap akhir dari kegiatan kultur in
vitro. Aklimatisasi merupakan adaptasi planlet dari lingkungan yang terkendali (in
vitro) ke lingkungan in vivo sebelum ditanam di lapangan (Husni et al. 2004).

B. Karakteristik Planlet Kultur In Vitro


Tanaman yang berasal dari kultur in vitro sangat berbeda bila dibandingkan
dengan tanaman yang hidup pada kondisi in vivo. Beberapa karakteristik khas
tanaman hasil perbanyakan in vitro diuraikan sebagai berikut (Zulkarnain, 2009):
1. Daun
Tanaman yang berasal dari kultur in vitro sering memperlihatkan lapisan
lilin (kutikula) yang kurang berkembang sebagai akibat tingginya kelembapan di
dalam wadah kultur (90-100%). Hal ini menyebabkan tanaman kehilangan air
dalam jumlah yang cukup besar melalui evaporasi kutikula pada saat tanaman
dipindahkan ke tanah karena kelembapan udara pada kondisi in vivo jauh lebih
rendah dibandingkian dengan kondisi in vitro. Planlet kadang-kadang memiliki
daun yang tipis, lunak, tidak aktif berfotosintesis, dan tidak adaptif terhadap
kondisi in vivo. Sel- sel palisade lebih kecil dan lebih sedikit jumlahnya sehingga
tidak dapat menerima cahaya secara efisien dengan rongga udara mesofil yang
lebih besar dibandingkan tanaman normal. Stomata tidak berfungsi dengan
sempurna dan tidak menutup sehingga menyebabkan terjadinya cekaman air
pada beberapa jam pertama aklimatisasi.

2. Jaringan angkut
Pada planlet hasil kultur jaringan, sistem pumbuluh angkut antara pucuk
dan akar sering tidak terhubung dengan sempurna sehingga menyebabkan
berkurangnya transport air dan unsur hara. Harus diingat bahwa dalam keadaan
in vitro tanaman bersifat heterotroph sedangkan pada keadaan in vivo tanaman
dituntut untuk menjadi autotroph, kebutuhan karbohidratnya harus disuplai
melalui fotosintesis yang salah satu bahan bakunya adalah air.
Sistem perakaran pada planlet yang berasal dari kultur jaringan cenderung
mudah rusak dan tidak berfungsi dengan sempurna pada keadaan in vivo,
misalnya akar yang terbentuk sedikit atau tidak ada sama sekali. Akar yang tidak
berkembang dengan sempurna akan membuat pertumbuhanm tanaman pada
kondisi in vivo sangat tertekan, terutama pada evaporasi tinggi.
Untuk mengatasi masalah perkembangan system perakaran pada tahap
aklimatisasi, dapat diterapkan langkah-langkah sebagai berikut :
 Upayakan tanaman yang masih berada pada lingkungan in vitro membentuk
primordial akar yang akan tumbuh menjadi akar fungsional pada kondisi in
vivo,
 Ciptakan kondisi yang memungkinkan untuk terjadinya perkembangan akar in
vitro, misalnya menggunakan medium cair kemudian akar-akar tersebur akan
berfungsi secara normal pada saat planlet dipindahkan ke tanah.
 Aklimatisasikan planlet ke tanah setelah tahap perakaran. Pada saat
memasuki tahap perakaran, rendam bagian pangkal planlet dalam larutan
auksin untuk merangsang pembentukan akar.

3. Kemampuan bersimbiosis

Planlet dari tanaman yang pada kondisi pertumbuhan normal bersimbiosis


dengan bakteri dan mikoriza akan memiliki kemampuan bersimbiosis yang sangat
terbatas pada saat dipindahkan dari lingkungan in vitro ke lingkungan in vivo.

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tahap Aklimatisasi


Keberhasilan aklimatisasi ditentukan oleh berbagai faktor. Secara umum,
faktor- faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan aklimatisasi tanaman adalah
kondisi planlet (ukuran bibit, perakaran), kondisi lingkungan (ketepatan media
tumbuh yang digunakan dan kelembapan udara), ketepatan perlakuan pra dan pasca
transplantasi dari media invitro ke media tanah, dan sanitasi lingkungan dari infeksi
penyakit (Zulkarnain, 2009).

1. Ukuran Bibit
Ukuran bibit kultur memengaruhi keberhasilan tahap aklimatisasi tanaman.
Penggunaan bibit kultur yang kurang vigor menyebabkan tanaman banyak yang mati
(Pardal et al. 2005). Misalnya pada tanaman pepaya yang dilaporkan oleh Damayanti
et al. (2007) pada aklimatisasi tanaman pepaya. Bibit yang besar berpeluang tumbuh
dengan baik dan sehat. Misalnya vigor kuantitatif bibit kultur kedelai yang berhasil
diaklimatisasi adalah tinggi bibit 5−6 cm, jumlah tunas 2−3 buah, dan jumlah akar
2−4 buah (Slamet et al. 2005). Namun, pada tanaman lain, vigor kuantitatif yang
meliputi tinggi tanaman, jumlah akar, dan jumlah daun dalam kaitannya dengan
persentase tanaman hidup hingga kini masih sulit didapatkan sumber informasinya.

2. Akar
Salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan aklimatisasi
adalah perakaran. Akar yang makin banyak dan panjang akan meningkatkan
bidang serapan hara (Lestari et al. 1999). Jangkauan akar yang luas dapat
memenuhi kebutuhan air secara cepat yang hilang akibat laju respirasi yang
tinggi. Laju respirasi bibit kultur umumnya sangat tinggi akibat kurang
sempurnanya jaringan dan sistem pembuluh tanaman. Hal ini juga dipengaruhi
oleh perubahan suhu dan kelembapan dari lingkungan in vitro ke lingkungan in
vivo yang berbeda.
3. Lingkungan
Faktor lingkungan yang mempengaruhi tahap aklimatisasi yaitu (Zulkarnain,
2009):

 Suhu Udara
Selama dalam lingkungan in vitro, planlet memperoleh suhu yang relative
sama, yaitu 25 ± 1°C. saat dipindahkan ke kondisi in vivo maka suhu udara akan
mengalami variasi yang terkadang cukup besar. Suhu lingkungan in vivo dapat
mencapai 18°C pada malam hari atau 32°C pada siang hari. Kondisi suhu yang
ekstrim, terutama suhu tunggi akan mengakibatkan pertumbuhan planlet tertekan,
bahkan dapat berakibat pada kegagalan aklimatisasi. Oleh karena itu, suhu di areal
aklimatisasi harus diatur sedemikian ruipa agar mendekati suhu in vitro, kemudian
secara bertahap dapat dinaikkan seiring dengan semakin kuatnya pertumbuhan
tanaman.

 Kelembaban udara
Planlet hasil mikropropagasi terbiasa hidup di lingkungan dengan kelembapan
tinggi, berkisar 90-100%. Kondisi tersebut menyebabkan planlet tidak
mengembangkan system pertahanan yang baik dalam menghadapi cekaman
kekeringan. Oleh karena itu, aklimatisasi hendaknya dilakukan dengan menurunkan
kelembaban udara secara bertahap. Pada tahap awal, planlet dapat di tempatkan di
bawah sungkup plastik secara individual, kemudian sungkup tersebut dibuka dan
planlet dipelihara di bawah naungan massal sebelum akhirnya dipindahkan ke
lapangan.
 Intensitas cahaya
Intensitas cahaya memiliki hubungan yang erat dengan suhu dan kelembapan.
Biasanya dengan intensitas cahaya yang tinggi dapat menginduksi terciptanya suhu
lingkungan yang tinggi pula disertai dengan rendahnya kelembapan udara, dan
sebaliknya. Oleh karena itu, intensitas cahaya di areal aklimatisasi harus diperhatikan
agar suhu dan kelembapan dapat dipertahankan pada tingkat yang tidak
membahayakan planlet. Pemberian naungan merupakan cara yang baik untuk
menurunkan intensitas cahaya dan suhu dengan mempertahankan kelembapan agar
tetap tinggi.
 Infeksi penyakit
Kematian bibit kultur sering disebabkan oleh serangan hama atau penyakit.
Kondisi lingkungan tumbuh yang kurang steril dapat menyebabkan akar atau batang
bibit terserang hama. Luka akibat serangan hama dapat menjadi tempat infeksi
penyakit. Serangan penyakit yang umum dijumpai adalah karena jamur dan bakteri
(Gunawan 1988). Menurut Lestari et al. (2001), serangan jamur dapat dipicu oleh
pencucian bibit kultur yang kurang bersih dari media in vitro sebelum ditanam pada
media berikutnya. Bakteri yang sering merusak tanaman penting adalah
Pseudomonas sp. (Machmud 1986). Patogen layu bakteri ini dikenal memiliki kisaran
inang dan daerah sebaran yang luas (Suryadi dan Machmud 2002).

D. Faktor-Faktor Yang Harus Diperhatikan Untuk Keberhasilan Aklimatisasi

Untuk meningkatkan laju keberhasilan pada tahap aklimatisasi, Pierik (1997)


memberikan anjuran sebagai berikut :
 Untuk menghindari infeksi dari cendawan atau bakteri maka sisa-sisa
medium (agar-agar) hendaknya dicuci sampai bersih dan gunakan tanah steril
sebagai substrat aklimatisasi.
 Musnahkan semua hama atau pathogen, seperti serangga, siput, cendawan,
dan bakteri karena kondisi planlet masih lamah sehingga sangat rentan terhadap
serangan hama dan pathogen. Lakukan pemyemprotan pestisida secara teratur.
 Untuk menghindari kerusakan akar, sebaiknya lakukan penanaman planlet
pada tanah yang diayak (strukturnya seragam).
 Gunakan medium dengan kadar garam yang rendah pada tahap perakaran.
Misalnya komposisi medium MS ½
 Terkadang diperlukan perlakuan suhu rendah (5°C) selama 4-8 minggu
pertama untuk mematahkan dormansi, terutama terhadap umbi-umbi in vitro.

E. Tahap Aklimatisasi
1. Seleksi plantlet
Planlet yang akan diaklimatisasi terlebih dahulu diseleksi. Seleksi plantlet
meliputi kondisi penampakan batang dan akar. Plantlet siap untuk diaklimatisasi
ditandai dengan batang hijau tua dan telah mempunyai akar tunggang dan akar
rambut
2. Sterilisasi plantlet
Planlet hasil seleksi dibawa ke ruang aklimatisasi (rumah kaca) kemudian
dikeluarkan dari botol dengan menggunakan pinset secara hati-hati supaya akar
tidak putus. Planlet dibersihkan dari media agar dengan cara dicuci pada air
mengalir, selanjutnya direndam pada larutan fungisida dengan konsentrasi 1 gr/liter
selama 2-3 menit.
3. Penyiapan media aklimatisasi
Media yang digunakan untuk aklimatisasi disesuaikan dengan jenis yang akan
ditanam. Pada umumnya media yang digunakan adalah top soil, pasir halus, sekam
padi, vermikulit dan kompos. Sterilisasi media dapat dilakukan dengan cara media
digoreng, disiram dengan air mendidih dan penyiraman dengan fungisida. Dalam hal
penyiapan dan pemilihan media ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu
antara lain : media cukup terjaga kebersihannya (terbebas dari mikroba), media
cukup aerasi (porositas) dan media cukup mengandung makanan yang dibutuhkan.

4. Penanaman plantlet
Sebelum planlet ditanam terlebih dahulu media tanam disiram dengan air
secukupnya, kemudian dibuat lubang tanam. Pada saat penanaman dilakukan secara
hatihati mengingat formasi perakaran yang halus dan mudah patah. Penanaman
sebaiknya dilakukan pada pagi hari dan di tempat yang terlindung dari sinar
matahari.
5. Pemeliharaan plantlet
Kegiatan pemeliharaan meliputi penyiraman, buka tutup sungkup (sungkup
masal), pengguntingan ujung sungkup (sungkup tunggal) dan penyiangan.
Pembukaan dan pengguntingan sungkup dilakukan secara bertahap sedikit demi
sedikit tiap minggu hingga keseluruhannya terbuka.

F. Metode Aklimatisasi Pada Tanaman Kultur Jaringan


Aklimatisasi atau penyesuaian terhadap lingkungan baru dari lingkungan yang
terkendali ke lingkungan yang relatif berubah. Penyesuaian terhadap iklim pada
lingkungan baru yang dikenal dengan aklimatisasi merupakan masalah penting
apabila membudidayakan tanaman menggunakan bibit yang diperbanyak dengan
teknik kultur jaringan (Khan, 2007). Masalah ini dapat terjadi karena beberapa
faktor:

1. pemindahan tanaman dari botol ke media dalam pot sebenarnya telah


menempatkan tanaman pada lingkungan yang tidak sesuai dengan habitatnya.
2. Tumbuhan yang dikembangkan menggunakan teknik kultur jaringan memiliki kondisi
lingkungan yang aseptik dan senyawa organik yang digunakan tanaman sebagian
besar didapat secara eksogenous. Oleh karena itu, apabila dipindahkan kedalam pot,
maka tanaman dipaksa untuk dapat membuat sendiri bahan organik secara
endogenous.
Perbedaan faktor lingkungan antara habitat asli dan habitat pot atau antara
habitat kultur jaringan dengan habitat pot memerlukan penyesuaian agar faktor
lingkungan tidak melewati batas kritis bagi tanaman. Salah satu metode yang
digunakan pada proses aklimatisasi tanaman anggrek dari botol ke tanaman pot
menurut lc nursery adalah sebagai berikut:
 Bibit yang masih ada didalam botol dikeluarkan dengan hati-hati menggunakan
kawat atau dengan memecahkan botol setelah dibungkus dengan kertas
 Bibit kemudian dibilas diatas tray plastik berlubang sebelum disemprot dengan
air mengalir untuk membersihkan sisa media agar
 Tiriskan bibit yang sudah bersih diatas kertas koran.
 Tanam bibit secara berkelompok tanpa media tanam, kemudian tempatkan
ditempat teduh yang memiliki sirkulasi udara yang baik.
 Tanaman disemprot setiap hari menggunakan hand sprayer.
 Setelah kompot berumur 1-1.5 bulan, bibit dapat ditanam dalam individual pot
menggunakan media pakis atau sabut kelapa.

Metode aklimatisasi ini adalah salah satu dari sekian banyak metode yang
digunakan untuk melakukan aklimatisasi terhadap bibit anggrek botol dan disebut
dengan metode kering. Untuk dapat meningkatkan efektivitas metode yang
digunakan, maka masalah fisiologis yang dihadapi oleh tanaman mungkin juga perlu
diketahui.

Tumbuhan yang dikembangkan menggunakan teknik kultur jaringan


memiliki kondisi lingkungan yang aseptik dan senyawa organik yang digunakan
tanaman sebagian besar didapat secara eksogenous. Oleh karena itu, apabila
dipindahkan kedalam pot, maka tanaman dipaksa untuk dapat membuat sendiri
bahan organik secara endogenous (Santana, 2010).

Metode aklimatisasi dibagi menjadi 2, yaitu metode langsung (direct) dan


metode tidak langsung (indirect).
Metode langsung:
i. Menyiapkan planlet dalam botol yang akan diaklimatisasi dan
mengeluarkan planlet secara hati-hati dari dalam botol.
ii. Membersihkan akar tanaman dari agar-agar yang masih melekat dengan
air.
iii. Merendam akar tanaman dalam larutan fungisida dan bakterisida selama 5
menit.
iv. Menanam tanaman pada bak media arang sekam yang telah dibasahi.
v. Tutup bak dengan plastik transparan selam 1 - 2 minggu.
vi. Setelah 1 -2 minggu plastik dibuka dan tanaman dibiarkan tumbuh dan
berkembang dalam bak aklimatisasi hingga minggu ketiga sampai
keempat.
vii. Selanjutnya tanaman dipindahkan ke dalam polibag-polibag kecil sampai
siap untuk di tanam di lapang.
Metode tidak langsung:
1. Menyiapkan planlet dalam botol yang akan diaklimatisasi dan
mengeluarkan planlet secara hati-hati dari dalam botol
2. Memotong tanaman tepat pada bagian bawah nodus ketiga kemudian
merendamnya dalam larutan fungisida dan bakterisida selama 5 menit.
3. Menanam tanaman pada bak media arang sekam yang telah dibasahi.
4. Tutup bak dengan plastik transparan selam 1 - 2 minggu.

Aklimatisasi Planlet di Rumah Kaca Aklimatisasi merupakan tahap penting


dalam proses kultur jaringan. Tahap ini sering kali menjadi titik kritis dalam aplikasi
teknik kultur jaringan. Aklimatisasi diperlukan karena tanaman hasil kultur jaringan
umumnya memiliki lapisan lilin tipis dan belum berkembang dengan baik, sel-sel
dalam palisade belum berkembang maksimal, jaringan pembuluh dari akar ke pucuk
kurang berkembang, dan stomata sering kali tidak berfungsi, yaitu tidak dapat
menutup pada saat penguapan tinggi.
G. Perbedaan Aklimasi Dan Aklimatisasi
Istilah aklimasi ditujukan pada proses suatu tanaman atau organisme hidup
lain agar dapat menyesuaikan diri dengan kondisi atau situasi lingkungan dan iklim
yang baru sebagai hasil dari proses ilmiah. Misalnya tanaman yang akan tumbuh di
lapangan akan mengalami aklimasi terhadap suhu rendah menjelang memasuki
musim dingin(taji, 2001).
Sementara itu istilah aklimatisasi menunjukan adanya campur tangan manusia
dalam mengarahka proses penyesuaian tersebut. Karena manusia senantiasa terlibat
dalam proses penyapihan tanaman dari kondisi in vitro agar dapat tumbuh dan
berkembang pada kondisi in vivo rumah kaca atau lapangan maka istilah yang
digunakan pada tahap akhir mikropropagasi adalah aklimatisasi, bukan aklimasi (taji,
2001).
H. Prosedur Aklimatisasi
Menurut taji et al.(2002), secara umum prosedur aklimatisasi diuraikan
sebagai berikut.
Planlet-planlet yang akan di aklimatisasi dikeluarkan dalam wadah kultur.
Agar-agar yang masih menempel dicuci bersih untuk membuang sumber
kontaminasi. Selanjutnya, planlet tersebut ditanam pada medium tanah steril
didalam pot kecil atau pada medium siap pakai pot jiffy. Pada awalnya, planlet harus
dilindungi dari kerusakan dengan menempatkanya dibawah naungan, tenda
berkelembapan tinggi, atau dibawah semprotan embun. Dibutuhkan waktu
beberapa hari sebelum terbentuknya akar0akar baru yang fungsional. Suhu udara
diusahakan sama seperti di dalam ruang kultur. Intensitas cahaya merupkan faktor
penting untuk diperhatikan yaitu 30% dari cahaya lingkungan. Nutrisi yang terdapat
di dalam medium tanah pun dapat menjadi faktor pembatas pertumbuhan.

Pada prinsipnya, tidak ada nutrisi tambhan yang perlu diberikan pada tiga
hingga empat minggu pertama masa aklimatisasi. Saat planlet tunbuh dengan baik
pada medium dalam pot, lplanlet tersebut harus secara perlahan-perlahan
digadapkan pada kelembapan yang rendah dan intensitas cahaya yang tinggi. Setiap
keadaan dormansi atau kondisi istirahat yang terjadi pada tanaman harus diatasi
sebagai bagian dari proses transplantasi.

I. Teknik Penyungkupan
Penyungkupan yaitu suatu teknik untuk menjaga kestabilan suhu dan
kelembaban, serta meningkatkan daya tahan terhadap cahaya matahari secara
langsung. Penyungkupan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
1. Sungkup tunggal
Sungkup tunggal yaitu sungkup yang dilakukan satu persatu terhadap setiap
tanaman. Penggunaan sungkup tunggal untuk skala besar secara ekonomis tidak
menguntungkan dan memakan waktu, tetapi kelebihannya suhu dan kelembaban
yang diperoleh oleh tanaman dapat lebih stabil.
2. Sungkup masal
Sungkup masal yaitu penyungkupan yang dilakukan terhadap seluruh
tanaman, misalnya dalam satu bedeng atau areal tertentu. Pengaturan suhu dan
kelembaban dilakukan dengan cara buka tutup dimana secara ekonomis penggunaan
sungkup ini lebih menguntungkan dan lebih praktis.

J. Aplikasi Aklimatisasi Di Kehutanan


Tanaman hasil kultur jaringan khususnya tanaman kehutanan secara umum
masih sulit untuk dipelihara sesuai dengan kondisi rumah kaca karena masih sangat
peka. Oleh karena itu, perlu ada tahap aklimatisasi atau penyesuaian untuk
menghadapi kondisi yang sulit bagi tanaman yang lemah terutama menghadapi
transisi dari media agar ke media tanah. Sehingga diharapkan tanaman mempunyai
perakaran yang lebih baik, ketinggian yang memadai dan lebih kokoh.
Tanaman kehutanan yang telah dikembangkan perbanyakannya melalui kultur
jaringan seperti halnya jati, cendana, Acacia, Eucalyptus, suren, dll. Dari hasil
pengamatan persen tumbuh untuk jenis tanaman jati, Acacia, Eucalyptus, suren dan
cendana seperti pada Tabel berikut
Menurut Bonga (1985) beberapa masalah yang juga dialami oleh tanaman
kehutanan (berkayu) dari hasil kultur jaringan pada saat akan dipindahkan ke
lapangan, yaitu :
1. Planlet tidak dapat bertahan hidup jika dipindah secara tiba-tiba
2. Planlet mengering setelah dipindahkan
3. Damping off yang disebabkan oleh jamur, dan
4. Terjadi dorman jika planlet terlalu besar pada saat dipindahkan
Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan aklimatisasi, dimana
aklimatisasi dari tanaman berkayu bervariasi antara satu jenis dengan jenis lainnya,
tergantung pada sistem yang digunakan dan respon jenis tanaman terhadap
manipulasi setelah dikulturkan. Alternatif yang sering digunakan adalah dengan
mengakarkan plantlet pada media non agar secara in vivo, misal pada vermikulit atau
media lainnya.

Prosedur aklimatisasi aklimatisasi


1. Menyiapkan wadah
Wadah merupakan tempat yang brisi media tumbuh tanaman hasil kultur. Jenis
wadah yang dapat digunakan meliputi ; Pot terbuat dari tanah liat atau plastik, sabut
kelapa tua, tempurung kelapa tua dan batang pakis. Wadah yang digunakan harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
 Harus memiliki lubang pembuangan air (draenase)
 Harus memiliki kemampuan untuk mempertahankan kelembaban media tanam
 Tidak mudah lapuk
 Harus bersih dan bebas dari berbagai penyakit
 Mudah diperoleh dan harganya murah
2. Menyiapkan media
Media merupakan tempat tumbuh dan berdiri tegaknya tanaman. Persyaratan
Media tanam Untuk aklimatisasi adalah :
 Mampu mengikat air dan unsur hara secara baik
 Harus memiliki kemampuan untuk menjaga kelembaban
 Mempunyai aerasi yang baik
 Tahan lama /Tidak mudah lapuk
 Tidak menjadi sumber penyakit
 Derajat keasaman (pH) 5 – 6
 Mudah didapat dan harganya murah
Media yang biasa digunakan Untuk tanaman hasil kultur meliputi ; Pakis (
anggrek ), Moss, Potongan kayu pinus, Arang sekam (pisang), Pasir steril ( Jati) dan
Sabut Kelapa. Sebelum digunakan media tersebut harus diseterilkan selama 4 jam
agar serangga, mikroba, serta biji-bijian gulma mati.
3. Menyiapkan tempat
Tempat yang digunakan Untuk memelihara tanaman hasil kultur harus
mempunyai Intensitas cahaya matahari : 35 – 45%, Suhu : malam 18-240 C, siang 21-
320 C, Ketinggian tempat : 0 – 700 meter DPL, Kelembaban : 60 – 85% dan
mempunyai Aerasi / sirkulasi udara. Dalam memilih tempat harus memperhatikan
hal-hal berikut :
>Lingkungan harus bersih dan bebas dari segala hama dan penyakit
>Kondisi lingkungan disesuaikan dengan kondisi tanaman: suhu, kelembaban dan cahaya

3. Media Tumbuh
Tanaman juga memerlukan akar untuk menyerap hara agar dapat tumbuh
dengan baik, sehingga dalam tahap aklimatisasi ini diperlukan suatu media yang
dapat mempermudah pertumbuhan akar dan dapat menyediakan hara yang cukup
bagi tanaman (planlet) yang diaklimatisasi tersebut. Media yang remah akan
memudahkan pertumbuhan akar dan melancarkan aliran air, mudah mengikat air
dan hara, tidak mengandung toksin atau racun, kandungan unsur haranya tinggi,
tahan lapuk dalam waktu yang cukup lama.
Media harus bersifat menyimpan air dan tidak mudah memadat. Media
padat menyebabkan air tergenang sehingga aerasi udara rendah. Gejala yang
tampak, daun dan batang menjadi layu. Akar sehat biasanya bewarna putih dan
memiliki rambut-rambut halus. Jika aerasi rendah, akar yang putih berubah jadi
coklat lalu menghitam. Jumlah rambut akar berkurang bahkan tak ada. Padahal ia
berfungsi untuk menyerap hara. Selain masalah aerasi, media padat juga
mengundang bakteri dan cendawan penyebab busuk.
Pakis baik untuk media anggrek karena memiliki daya mengikat air, serta
aerasi dan draenase yang baik. Pakis juga sangat awet karena melapuk secara
perlahan-lahan dan mengandung unsur hara yang dibutuhkan anggrek untuk
pertumbuhannya. Arang merupakan media yang cukup baik untuk digunakan karena
tidak cepat lapuk dan tidak mudah ditumbuhi cendawan dan bakteri. Namun, arang
sukar mengikat air dan miskin zat hara. Serabut kelapa mudah melapuk dan mudah
busuk, sehingga dapat menjadi sumber penyakit tetapi daya menyimpan air sangat
baik dan mengandung unsur-unsur hara yang diperlukan serta mudah didapat dan
murah harganya.().

4. Bahan dan alat

Alat :
1. Pinset,
2. Hand sprayer
3. Pot Penampan
Bahan :
1. Air
2. 12 plantet tanaman anggrek hasil kultur in vitro
3. Akar pakis
4. Arang kayu

5. Teknik pelaksanaan aklimatisasi


Adapun teknik yang digunakan dalam aklimatisasi adalah sebagai berikut :
a. Planlet Dikeluarkan dari botol

 Diisi air ke dalam bibit botolan, kocok-kocok dan membuang air serta media agar
 Bibit dikeluarkan dari botol menggunakan pinset / kawat pengait satu persatu
 Dicuci bibit hingga bersih dari media agar
 Akar-akar yang terlalu panjang dipotong dengan gunting

b. Direndam bibit dalam larutan fungisida


 Bibit direndam selama 5 menit
 Ditiriskan bibit di hamparan kertas koran
 Bibit dikelompokkan berdasarkan ukurannya
c. Diisi media dalam wadah
 Media sebelum digunakan direndam dalam larutan fungisida
 Pot diisi dengan media ¾ tinggi pot
d. Ditanam bibit dalam pot
 Bibit ditanam dengan bantuan pinset, letakkan secara tegak
 Bibit ditanam 8 tanaman per pot
e. Diletakkan pot bibit dalam green house / ruang aklimatisasi

L. Contoh Aklimatisasi Planlet Kentang


a. Bahan dan Alat
bahan dan alat yang diperlukan dalam prosedur aklimatisasi ini adalah
1. Pucuk invitro kentang yang sehat dan yang telah dihadapkan pada cahaya dengan
intensitas tinggi.
2. Medium tumbuh dapat menggunakan :
a. Medium pot jiffy yang merupkan medium siap pakai
b. Medium campuran buatan sendiri terdiri atas kompos steril tanah steril,
dan pasir steril dengan komposisi 1:1:1
3. Botol selai untuk menutupi pucuk agar kelembapan udara terjaga.
4. Baskom plastik untuk tempat meletakan pot planlet.
5. Screen house yang terbuat dari rumah plastik sederhana
6. Pinset
7. Kantong plastik transparan ukuran besar untuk menyungkup baskom plastik
8. Hand sprayer

b. cara kerja

1. Siapkan medium tumbuh :


a) Isi bak plastik dengan air sampai kira-kira 1 cm dari dasar bak, lalu masukan pot
jiffy di dalamnya.
b) Rendam pot jiffy didalam air sampai mengembang.
2. Pucuk kentang dikeluarkan dari botol dengan pinset secara hati-hati
3. Bersihkan pucuk dari sisa-sisa agar-agar dengan mencucinya di kran atau gelas piala
besar sambil di kocok-kocok. Agar-agar yang tertinggar di planlet dapat menjadi
sumber infeksi patogen
4. Pucuk-pucuk yang terlalu panjang dapat di potong menjadi dua bagian
5. Rendam pucuk tersebut didalam larutan dithane M-45® atau Benlate® selama kira-
kira 10 menit, lalu keringkan.
6. Setelah kering tanamkan pucuk pada medium tumbuh (pot jiffy)atau campuran
kompos+tanah+pasir steril) dan letakkan di dalam baskom plastik.
7. Tutuplah (sungkuplah) pot-pot di dalam plastik tersebut dengan botol selai
8. Keseluruhan baskom selanjutnya disungkup dengan kantong plastik
9. Letakkan baskom di dalam screen house
10. Lakukan pemeriksaan setiap hari
11. Jangan memberikan air secara berlebihan dan catat presentasi pucuk yang kering
atau mati.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tanaman hasil kultur jaringan tidak bisa langsung ditanam begitu saja dalam
pot. Pucuk-pucuk dan planlet in vitro yang diregenerasikan di dalam lingkungan
dengan kelembaban tinggi dan bersifat heterotrof, harus berubah menjadi autotrof
bila dipindahkan ke tanah atau lapangan. Tanaman hasil kultur jaringan (planlet atau
tunas mikro) perlu mendapatkan perlakuan khusus untuk dapat hidup di lingkungan
baru hingga menjadi bibit baru yang siap ditanam di lapang. Proses pemindahan
merupakan langkah akhir dari prosedur mikropropagasi dan diistilahkan sebagai
tahap aklimatisasi. Tahap aklimatisasi merupakan tahapan kritis karena kondisi iklim
dilapang sangat berbeda dengan kondisi dalam botol, sehingga diperlukan
penyesuaian. Aklimatisasi merupakan proses yang penting dalam rangkaian aplikasi
teknik kultur jaringan untuk mendukung pengembangan pertanian.
Untuk dapat meningkatkan efektivitas metode yang digunakan, maka
masalah fisiologis yang dihadapi oleh tanaman mungkin juga perlu diketahui.
Tumbuhan yang dikembangkan menggunakan teknik kultur jaringan memiliki
kondisi lingkungan yang aseptik dan senyawa organik yang digunakan tanaman
sebagian besar didapat secara eksogenous. Oleh karena itu, apabila dipindahkan
kedalam pot, maka tanaman dipaksa untuk dapat membuat sendiri bahan organik
secara endogenous.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bonga, J.M. 1985. Tissue Culture Technique. Di dalam J.M. Bonga and D.J. Durzan
(Penyunting). Tissue Culture in Forestry. Martinus Nijhoff/DR.W.Junk. Publ,.
Nedherlands.
2. Endin Izudin. 2013. Teknik Aklimatisasi Tanaman Hasil Kultur Jaringan. Balai Besar
Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta.Jurnal Informasi
Teknis Vol.11 No. 2, September 2013, 49 – 56
3. Gunardi, Tom. 1985. Anggrek untuk pemula. Penerbit Angkasa, Bandung
4. Herawan, T. dan Hendrati., R.L. 1996. Petunjuk Teknis Kegiatan Kultur
Jaringan.Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Balai Penelitian dan
Pengembangan Pemuliaan Benih Tanaman Hutan. Yogyakarta.
5. Husni, A., S. Hutami, M. Kosmiatin, dan I. Mariska. 2004. Seleksi in vitrotanaman
kedelai untuk meningkatkan sifat ketahanan terhadap cekaman kekeringan. Laporan
Tahunan Penelitian TA 2003. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi
dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. 16 hlm.
6. Khan, S., 2007. Callus induction, plant and regeneration acclimatization of African
Violet (Saintpaulia ionatha) using leaves as explants. Universitas Karachi, Karachi-
75270, Pakistan

Vous aimerez peut-être aussi