Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
DISUSUN OLEH :
KELAS C / 2016
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PANCASAKTI MAKASSAR
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya Kami dapat menyelesaikan makalah
tentang “Aklimitisasi pada tanaman Kultur Jaringan” ini dengan baik meskipun
banyak kekurangan didalamnya. Dan juga Kami berterima kasih selaku Dosen mata
Kuliah yang telah memberikan tugas ini kepada Kami .
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna bagi pembaca dan
khususnya bagi Kami untuk menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai
kultur jaringan pada tumbuhan. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, Kami
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah Kami
buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
saran yang membangun.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian dari
tanaman (sel, kelompok sel, jaringan, organ, protoplasma) dan menumbuhkannya
dalam kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut berkembang menjadi
tanaman lengkap. Pada umumnya teknik kultur jaringan dapat dibagi menjadi empat
tahapan, yaitu : tahap pertama induksi (penanaman awal), untuk menumbuhkan
jaringan tanaman baik berupa tunas maupun kultur kalus dengan tujuan untuk
membentuk kultur masal sel/tunas yang belum/tidak terdiferensi. Tahap kedua
multiplikasi (perbanyakan), untuk memperbanyak tunas/kalus dari hasil tahap
pertama dimana tunas yang sudah terbentuk dipotong-potong dengan tujuan untuk
memproduksi tunas majemuk. Tahap ketiga rooting (pembentukan akar), yaitu
pemindahan tunas-tunas terbaik hasil multiplikasi ke media perakaran dengan
tujuan untuk merangsang pertumbuhan dan pembentukan akar sehingga menjadi
planlet yang sempurna. Tahap keempat adalah aklimatisasi, yaitu penyesuaian
kondisi tempat tumbuh dari lingkungan in vitro ke tempat tumbuh di rumah kaca dan
atau lapangan agar tanaman mampu beradaptasi terhadap iklim dan lingkungan
yang baru (Herawan, 2000).
Tahapan aklimatisasi ini diperlukan oleh planlet karena terdapat perbedaan
kritis antara kedua tempat tumbuh tersebut. Tanpa proses aklimatisasi planlet tidak
akan mampu tumbuh dan beradaptasi dengan kondisi luar, meliputi kelembaban
udara, intensitas cahaya, suhu dan media tumbuh (Nugroho dan Sugito, 1996). Pada
umumnya tanaman yang tumbuh secara in vitro membutuhkan proses aklimatisasi
untuk meningkatkan ketahanannya ketika dipindahkan ke lapangan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan aklimatisasi ?
2. Apa tujuan aklimatisasi ?
3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi tahap aklimatisasi ?
4. Apa saja faktor-faktor yang harus diperhatikan untuk keberhasilan aklimatisasi ?
5. Bagaimana metode dan tahapan aklimatisasi ?
6. Bagaimana prosedur aklimatisasi
7. Bagaimana teknik penyungkupan tanaman ?
8. Bagaimana aplikasi dari aklimatisasi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. AKLIMATISASI
Pucuk-pucuk dan planlet dari in vitro yang diregenerasikan di dalam
lingkungan dengan kelembaban yang tinggi dan bersifat heterotroph, harus berubah
menjadi autotroph bila dipindahkan ke tanah atau lapangan. Proses pemindakan
merupakan langkah akhir dari prosedur mikropropagasi dan diistilahkan sebagai
tahap aklimatisasi. Menurut Yusnita (2003), aklimatisasi yaitu suatu upaya
mengkondisikan planlet atau tunas mikro hasil perbanyakan melalui kultur invitro ke
lingkungan in vivo yang aseptik. Aklimatisasi merupakan proses yang penting dalam
rangkaian aplikasi kultur jaringan untuk mendukung pengenmbangan pertanian.
Menurut Basri (2004), aklimatisasi merupakan proses pengadaptasian hasil
kultur jaringan terhadap lingkungan luar yang lebih ekstrim. Perbedaan faktor-faktor
lingkungan yang utama dari kondisi kultur jaringan dan greenhouse antara lain
cahaya, suhu, kelembaban relatif, di samping hara dan media tanam (Seelye et al.,
2003). Komponen cahaya dan suhu dapat disesuaikan dengan pemberian naungan.
Aklimatisasi tanaman hasil kultur jaringan bertujuan untuk menyesuaikan
(prakondisi) dari lingkungan in vitro ke lingkungan in vivo di rumah kaca dan
persemaian, dari kegiatan tersebut diharapkan diperoleh tanaman yang memiliki
formasi perakaran dan tinggi yang lebih baik dan kokoh.
Planlet yang dapat diaklimatisasi adalah planlet yang telah lengkap organ
pentingnya seperti daun akar dan batang (jika ada), sehingga dalam kondisi
lingkungan luar planlet dapat melanjutkan perumbuhannya dengan baik. Selain itu
aklimatisasi juga memerlukan media yang tepat untuk pertumbuhan planlet.
Aklimatisasi dilakukan dengan memindahkan planlet kedalam polybag yang berisi
media dan disungkup dengan plastik bening. Sungkup digunakan untuk melindungi
bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan
sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit
mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup
dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan
pemeliharaan bibit generatif.
Pemindahan eksplan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan
memberikan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan
serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap
serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan
lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan
bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generative (Pierik,
1997).
Masa aklimatisasi merupakan masa yang kritis karena pucuk atau planlet yang
diregenerasikan dari kultur in vitro menunjukkan beberapa sifat yang kurang
menguntungkan seperti lapisan lilin (kutikula) tidak berkembang dengan baik,
kurangnya lignifikasi batang, jaringan pembuluh dari akar ke pucuk kurang
berkembang dan stomata sering sekali tidak berfungsi (tidak menutup ketika
penguapan tinggi). keadaan ini menyebabkan pucuk-pucuk in vitro sangat peka
terhadap transpirasi, serangan candawan dan bakteri, cahaya dengan intensitas yang
tinggi dan suhu yang tinggi. oleh karena itu, aklimatisasi pucuk-pucuk in vitro
memerlukan penanganan yang khusus, bahkan diperlukan modifikasi terhadap
kondisi kondisi lingkungan terutama dalam kaitannya dengan suhu, kelembaban dan
intensitas cahaya. Di samping itu, medium tumbuh pun memiliki peranan yang cukup
penting, khususnya bila pucuk-pucuk mikro yang diaklimatisasikan belum
membentuk sistem perakaran yang baik (Zulkarnain, 2009).
2. Jaringan angkut
Pada planlet hasil kultur jaringan, sistem pumbuluh angkut antara pucuk
dan akar sering tidak terhubung dengan sempurna sehingga menyebabkan
berkurangnya transport air dan unsur hara. Harus diingat bahwa dalam keadaan
in vitro tanaman bersifat heterotroph sedangkan pada keadaan in vivo tanaman
dituntut untuk menjadi autotroph, kebutuhan karbohidratnya harus disuplai
melalui fotosintesis yang salah satu bahan bakunya adalah air.
Sistem perakaran pada planlet yang berasal dari kultur jaringan cenderung
mudah rusak dan tidak berfungsi dengan sempurna pada keadaan in vivo,
misalnya akar yang terbentuk sedikit atau tidak ada sama sekali. Akar yang tidak
berkembang dengan sempurna akan membuat pertumbuhanm tanaman pada
kondisi in vivo sangat tertekan, terutama pada evaporasi tinggi.
Untuk mengatasi masalah perkembangan system perakaran pada tahap
aklimatisasi, dapat diterapkan langkah-langkah sebagai berikut :
Upayakan tanaman yang masih berada pada lingkungan in vitro membentuk
primordial akar yang akan tumbuh menjadi akar fungsional pada kondisi in
vivo,
Ciptakan kondisi yang memungkinkan untuk terjadinya perkembangan akar in
vitro, misalnya menggunakan medium cair kemudian akar-akar tersebur akan
berfungsi secara normal pada saat planlet dipindahkan ke tanah.
Aklimatisasikan planlet ke tanah setelah tahap perakaran. Pada saat
memasuki tahap perakaran, rendam bagian pangkal planlet dalam larutan
auksin untuk merangsang pembentukan akar.
3. Kemampuan bersimbiosis
1. Ukuran Bibit
Ukuran bibit kultur memengaruhi keberhasilan tahap aklimatisasi tanaman.
Penggunaan bibit kultur yang kurang vigor menyebabkan tanaman banyak yang mati
(Pardal et al. 2005). Misalnya pada tanaman pepaya yang dilaporkan oleh Damayanti
et al. (2007) pada aklimatisasi tanaman pepaya. Bibit yang besar berpeluang tumbuh
dengan baik dan sehat. Misalnya vigor kuantitatif bibit kultur kedelai yang berhasil
diaklimatisasi adalah tinggi bibit 5−6 cm, jumlah tunas 2−3 buah, dan jumlah akar
2−4 buah (Slamet et al. 2005). Namun, pada tanaman lain, vigor kuantitatif yang
meliputi tinggi tanaman, jumlah akar, dan jumlah daun dalam kaitannya dengan
persentase tanaman hidup hingga kini masih sulit didapatkan sumber informasinya.
2. Akar
Salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan aklimatisasi
adalah perakaran. Akar yang makin banyak dan panjang akan meningkatkan
bidang serapan hara (Lestari et al. 1999). Jangkauan akar yang luas dapat
memenuhi kebutuhan air secara cepat yang hilang akibat laju respirasi yang
tinggi. Laju respirasi bibit kultur umumnya sangat tinggi akibat kurang
sempurnanya jaringan dan sistem pembuluh tanaman. Hal ini juga dipengaruhi
oleh perubahan suhu dan kelembapan dari lingkungan in vitro ke lingkungan in
vivo yang berbeda.
3. Lingkungan
Faktor lingkungan yang mempengaruhi tahap aklimatisasi yaitu (Zulkarnain,
2009):
Suhu Udara
Selama dalam lingkungan in vitro, planlet memperoleh suhu yang relative
sama, yaitu 25 ± 1°C. saat dipindahkan ke kondisi in vivo maka suhu udara akan
mengalami variasi yang terkadang cukup besar. Suhu lingkungan in vivo dapat
mencapai 18°C pada malam hari atau 32°C pada siang hari. Kondisi suhu yang
ekstrim, terutama suhu tunggi akan mengakibatkan pertumbuhan planlet tertekan,
bahkan dapat berakibat pada kegagalan aklimatisasi. Oleh karena itu, suhu di areal
aklimatisasi harus diatur sedemikian ruipa agar mendekati suhu in vitro, kemudian
secara bertahap dapat dinaikkan seiring dengan semakin kuatnya pertumbuhan
tanaman.
Kelembaban udara
Planlet hasil mikropropagasi terbiasa hidup di lingkungan dengan kelembapan
tinggi, berkisar 90-100%. Kondisi tersebut menyebabkan planlet tidak
mengembangkan system pertahanan yang baik dalam menghadapi cekaman
kekeringan. Oleh karena itu, aklimatisasi hendaknya dilakukan dengan menurunkan
kelembaban udara secara bertahap. Pada tahap awal, planlet dapat di tempatkan di
bawah sungkup plastik secara individual, kemudian sungkup tersebut dibuka dan
planlet dipelihara di bawah naungan massal sebelum akhirnya dipindahkan ke
lapangan.
Intensitas cahaya
Intensitas cahaya memiliki hubungan yang erat dengan suhu dan kelembapan.
Biasanya dengan intensitas cahaya yang tinggi dapat menginduksi terciptanya suhu
lingkungan yang tinggi pula disertai dengan rendahnya kelembapan udara, dan
sebaliknya. Oleh karena itu, intensitas cahaya di areal aklimatisasi harus diperhatikan
agar suhu dan kelembapan dapat dipertahankan pada tingkat yang tidak
membahayakan planlet. Pemberian naungan merupakan cara yang baik untuk
menurunkan intensitas cahaya dan suhu dengan mempertahankan kelembapan agar
tetap tinggi.
Infeksi penyakit
Kematian bibit kultur sering disebabkan oleh serangan hama atau penyakit.
Kondisi lingkungan tumbuh yang kurang steril dapat menyebabkan akar atau batang
bibit terserang hama. Luka akibat serangan hama dapat menjadi tempat infeksi
penyakit. Serangan penyakit yang umum dijumpai adalah karena jamur dan bakteri
(Gunawan 1988). Menurut Lestari et al. (2001), serangan jamur dapat dipicu oleh
pencucian bibit kultur yang kurang bersih dari media in vitro sebelum ditanam pada
media berikutnya. Bakteri yang sering merusak tanaman penting adalah
Pseudomonas sp. (Machmud 1986). Patogen layu bakteri ini dikenal memiliki kisaran
inang dan daerah sebaran yang luas (Suryadi dan Machmud 2002).
E. Tahap Aklimatisasi
1. Seleksi plantlet
Planlet yang akan diaklimatisasi terlebih dahulu diseleksi. Seleksi plantlet
meliputi kondisi penampakan batang dan akar. Plantlet siap untuk diaklimatisasi
ditandai dengan batang hijau tua dan telah mempunyai akar tunggang dan akar
rambut
2. Sterilisasi plantlet
Planlet hasil seleksi dibawa ke ruang aklimatisasi (rumah kaca) kemudian
dikeluarkan dari botol dengan menggunakan pinset secara hati-hati supaya akar
tidak putus. Planlet dibersihkan dari media agar dengan cara dicuci pada air
mengalir, selanjutnya direndam pada larutan fungisida dengan konsentrasi 1 gr/liter
selama 2-3 menit.
3. Penyiapan media aklimatisasi
Media yang digunakan untuk aklimatisasi disesuaikan dengan jenis yang akan
ditanam. Pada umumnya media yang digunakan adalah top soil, pasir halus, sekam
padi, vermikulit dan kompos. Sterilisasi media dapat dilakukan dengan cara media
digoreng, disiram dengan air mendidih dan penyiraman dengan fungisida. Dalam hal
penyiapan dan pemilihan media ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu
antara lain : media cukup terjaga kebersihannya (terbebas dari mikroba), media
cukup aerasi (porositas) dan media cukup mengandung makanan yang dibutuhkan.
4. Penanaman plantlet
Sebelum planlet ditanam terlebih dahulu media tanam disiram dengan air
secukupnya, kemudian dibuat lubang tanam. Pada saat penanaman dilakukan secara
hatihati mengingat formasi perakaran yang halus dan mudah patah. Penanaman
sebaiknya dilakukan pada pagi hari dan di tempat yang terlindung dari sinar
matahari.
5. Pemeliharaan plantlet
Kegiatan pemeliharaan meliputi penyiraman, buka tutup sungkup (sungkup
masal), pengguntingan ujung sungkup (sungkup tunggal) dan penyiangan.
Pembukaan dan pengguntingan sungkup dilakukan secara bertahap sedikit demi
sedikit tiap minggu hingga keseluruhannya terbuka.
Metode aklimatisasi ini adalah salah satu dari sekian banyak metode yang
digunakan untuk melakukan aklimatisasi terhadap bibit anggrek botol dan disebut
dengan metode kering. Untuk dapat meningkatkan efektivitas metode yang
digunakan, maka masalah fisiologis yang dihadapi oleh tanaman mungkin juga perlu
diketahui.
Pada prinsipnya, tidak ada nutrisi tambhan yang perlu diberikan pada tiga
hingga empat minggu pertama masa aklimatisasi. Saat planlet tunbuh dengan baik
pada medium dalam pot, lplanlet tersebut harus secara perlahan-perlahan
digadapkan pada kelembapan yang rendah dan intensitas cahaya yang tinggi. Setiap
keadaan dormansi atau kondisi istirahat yang terjadi pada tanaman harus diatasi
sebagai bagian dari proses transplantasi.
I. Teknik Penyungkupan
Penyungkupan yaitu suatu teknik untuk menjaga kestabilan suhu dan
kelembaban, serta meningkatkan daya tahan terhadap cahaya matahari secara
langsung. Penyungkupan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
1. Sungkup tunggal
Sungkup tunggal yaitu sungkup yang dilakukan satu persatu terhadap setiap
tanaman. Penggunaan sungkup tunggal untuk skala besar secara ekonomis tidak
menguntungkan dan memakan waktu, tetapi kelebihannya suhu dan kelembaban
yang diperoleh oleh tanaman dapat lebih stabil.
2. Sungkup masal
Sungkup masal yaitu penyungkupan yang dilakukan terhadap seluruh
tanaman, misalnya dalam satu bedeng atau areal tertentu. Pengaturan suhu dan
kelembaban dilakukan dengan cara buka tutup dimana secara ekonomis penggunaan
sungkup ini lebih menguntungkan dan lebih praktis.
3. Media Tumbuh
Tanaman juga memerlukan akar untuk menyerap hara agar dapat tumbuh
dengan baik, sehingga dalam tahap aklimatisasi ini diperlukan suatu media yang
dapat mempermudah pertumbuhan akar dan dapat menyediakan hara yang cukup
bagi tanaman (planlet) yang diaklimatisasi tersebut. Media yang remah akan
memudahkan pertumbuhan akar dan melancarkan aliran air, mudah mengikat air
dan hara, tidak mengandung toksin atau racun, kandungan unsur haranya tinggi,
tahan lapuk dalam waktu yang cukup lama.
Media harus bersifat menyimpan air dan tidak mudah memadat. Media
padat menyebabkan air tergenang sehingga aerasi udara rendah. Gejala yang
tampak, daun dan batang menjadi layu. Akar sehat biasanya bewarna putih dan
memiliki rambut-rambut halus. Jika aerasi rendah, akar yang putih berubah jadi
coklat lalu menghitam. Jumlah rambut akar berkurang bahkan tak ada. Padahal ia
berfungsi untuk menyerap hara. Selain masalah aerasi, media padat juga
mengundang bakteri dan cendawan penyebab busuk.
Pakis baik untuk media anggrek karena memiliki daya mengikat air, serta
aerasi dan draenase yang baik. Pakis juga sangat awet karena melapuk secara
perlahan-lahan dan mengandung unsur hara yang dibutuhkan anggrek untuk
pertumbuhannya. Arang merupakan media yang cukup baik untuk digunakan karena
tidak cepat lapuk dan tidak mudah ditumbuhi cendawan dan bakteri. Namun, arang
sukar mengikat air dan miskin zat hara. Serabut kelapa mudah melapuk dan mudah
busuk, sehingga dapat menjadi sumber penyakit tetapi daya menyimpan air sangat
baik dan mengandung unsur-unsur hara yang diperlukan serta mudah didapat dan
murah harganya.().
Alat :
1. Pinset,
2. Hand sprayer
3. Pot Penampan
Bahan :
1. Air
2. 12 plantet tanaman anggrek hasil kultur in vitro
3. Akar pakis
4. Arang kayu
Diisi air ke dalam bibit botolan, kocok-kocok dan membuang air serta media agar
Bibit dikeluarkan dari botol menggunakan pinset / kawat pengait satu persatu
Dicuci bibit hingga bersih dari media agar
Akar-akar yang terlalu panjang dipotong dengan gunting
b. cara kerja
A. Kesimpulan
Tanaman hasil kultur jaringan tidak bisa langsung ditanam begitu saja dalam
pot. Pucuk-pucuk dan planlet in vitro yang diregenerasikan di dalam lingkungan
dengan kelembaban tinggi dan bersifat heterotrof, harus berubah menjadi autotrof
bila dipindahkan ke tanah atau lapangan. Tanaman hasil kultur jaringan (planlet atau
tunas mikro) perlu mendapatkan perlakuan khusus untuk dapat hidup di lingkungan
baru hingga menjadi bibit baru yang siap ditanam di lapang. Proses pemindahan
merupakan langkah akhir dari prosedur mikropropagasi dan diistilahkan sebagai
tahap aklimatisasi. Tahap aklimatisasi merupakan tahapan kritis karena kondisi iklim
dilapang sangat berbeda dengan kondisi dalam botol, sehingga diperlukan
penyesuaian. Aklimatisasi merupakan proses yang penting dalam rangkaian aplikasi
teknik kultur jaringan untuk mendukung pengembangan pertanian.
Untuk dapat meningkatkan efektivitas metode yang digunakan, maka
masalah fisiologis yang dihadapi oleh tanaman mungkin juga perlu diketahui.
Tumbuhan yang dikembangkan menggunakan teknik kultur jaringan memiliki
kondisi lingkungan yang aseptik dan senyawa organik yang digunakan tanaman
sebagian besar didapat secara eksogenous. Oleh karena itu, apabila dipindahkan
kedalam pot, maka tanaman dipaksa untuk dapat membuat sendiri bahan organik
secara endogenous.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bonga, J.M. 1985. Tissue Culture Technique. Di dalam J.M. Bonga and D.J. Durzan
(Penyunting). Tissue Culture in Forestry. Martinus Nijhoff/DR.W.Junk. Publ,.
Nedherlands.
2. Endin Izudin. 2013. Teknik Aklimatisasi Tanaman Hasil Kultur Jaringan. Balai Besar
Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta.Jurnal Informasi
Teknis Vol.11 No. 2, September 2013, 49 – 56
3. Gunardi, Tom. 1985. Anggrek untuk pemula. Penerbit Angkasa, Bandung
4. Herawan, T. dan Hendrati., R.L. 1996. Petunjuk Teknis Kegiatan Kultur
Jaringan.Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Balai Penelitian dan
Pengembangan Pemuliaan Benih Tanaman Hutan. Yogyakarta.
5. Husni, A., S. Hutami, M. Kosmiatin, dan I. Mariska. 2004. Seleksi in vitrotanaman
kedelai untuk meningkatkan sifat ketahanan terhadap cekaman kekeringan. Laporan
Tahunan Penelitian TA 2003. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi
dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. 16 hlm.
6. Khan, S., 2007. Callus induction, plant and regeneration acclimatization of African
Violet (Saintpaulia ionatha) using leaves as explants. Universitas Karachi, Karachi-
75270, Pakistan