Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Heboh Dunia.
Shanti Devi, seorang gadis yang lahir di Delhi pada tahun 1930-an, berbicara sangat sedikit
sampai dia berusia empat tahun. Ketika ia mulai berbicara, ia mengagetkan semua orang
dalam keluarganya. “Ini bukan rumah saya sesungguhnya! Aku punya suami dan anak laki-
laki di Mathura! Saya harus kembali kepada mereka!”
Ini adalah di India, jadi alih-alih membawa anak perempuan mereka pada seorang psikiater
untuk satu dosis Ritalin, orangtuanya mengatakan kepadanya, “Itu adalah masa lalu. Ini
sekarang. Jadi lupakan masa lalumu. kamu sedang bersama kita kali ini.”
Ini meluncurkan penyidikan paling teliti secara menyeluruh tentang kasus reinkarnasi dalam
sejarah modern. Banyak orang terlibat, termasuk Mahatma Gandhi dan beberapa anggota
terkemuka pemerintah India.
Sebuah tim peneliti, yang bekerja di bawah kondisi ketat untuk memastikan bahwa Shanti
Devi tidak mungkin mendapatkan informasi dari sumber lain, yang menghubungkan gadis
kecil itu dengan Mathura. Dirinya mampu menunjukkan rumah mereka sebelumnya, dan
secara benar menggambarkan rumah tersebut apa yang tampak seperti tahun sebelumnya
sebelum dilakukan perbaikan. Dia juga mampu memberitahu informasi yang sangat privat,
seperti hubungan luar nikah anggota keluarganya, bahwa tidak ada seorang pun di luar
keluarga mungkin telah mengetahuinya.
Saya tahu Anda berpikir, “Jika kita pernah hidup sebelumnya, kenapa kita tidak ingat?“
Shanti Devi mungkin telah mengingat kehidupan lampaunya, tetapi sebagian besar dari kita
pasti tidak.
Sebenarnya kita sering melakukannya, menurut Hindu. Kenyataan bahwa kita tertarik pada
orang-orang tertentu dan tempat-tempat tertentu merupakan refleksi dari memori kehidupan
lampau yang kita semua miliki. Fakta bahwa sebagian besar dari kita tidak ingat kehidupan
lampau secara rinci seperti Shanti Devi adalah karena sifat umum dari jiwa.
Di Barat, mereka yang percaya pada adanya jiwa dalam setiap hal dengan cara yang sangat
sederhana. Ada tubuh. Mati. Ada jiwa. Ia hidup selamanya. Bagi orang Hindu topik itu tidak
sesederhana itu. Hindu percaya bahwa alam semesta adalah multidimensi, dan begitu juga
jiwa.
Pada saat kelahiran kembali, umat Hindu percaya, bahwa pada awal bayi menghirup udara
dan menjadi makhluk bernapas, terjadi perubahan pada otak dan tubuh halus yang
menyebabkan sebuah gaya yang disebut Waisnawa shakti untuk bertindak.
Kebanyakan orang, meninggalkan rincian kenangan kehidupan masa lalu.
Bahkan, itu juga memotong kenangan rinci kehidupan ini, itulah sebabnya kita tidak ingat
banyak tentang apa yang terjadi dalam tiga atau empat tahun sebelumnya di kehidupan ini.
Jiwa masih menyelesaikan “misi”nya ke otak fisik yang baru, dan tidak semua data dari file
sebelumnya didownload. Memori itu masih ada di sana meskipun diawetkan dalam drive
internal yang disebut karmashaya yaitu tempat penyimpanan memori pikiran sebelumnya
yang agak sulit bagi kita untuk mengakses karena itu terpendam dalam tubuh halus atau
pikiran bawah sadar, bukan otak fisik.
Umat Buddha harus mulai biasakan ucapakan salam dengan benar. Ada beberapa jenis
salam dalam Buddhisme, dari yang bersifat formal sampai yang bisa digunakan sehari-hari.
Bila bertemu kepada bhikkhu/anggota sangha, boleh gunakan salam diatas, dengan
menambahkan kata "bhante" yang berarti "guru"
Misalkan:
1. Sukhi hontu bhante (semoga para bhante berbahagia)
2. Sotthi hotu bhante (semoga bhante sejahtera)
3. Namaste bhante (hormat pada bhante)
Kata hotu = digunakan jika ditujukan tunggal, yakni pada 1 orang saja.
Kata hontu = digunakan jika ditujukan jamak. Yakni kepada 2 orang atau lebih.
Kata salam yang bersifat formal, untuk membuka suatu seremonial, acara, pertemuan, dll
yang tepat adalah:
1. Namo buddhaya (terpujilah sang buddha)
2. Namo dhammaya (terpujilah dhamma)
3. Namo sanghaya (terpujilah sangha)
Nb. Ketiganya sebaiknya tidak digunakan untuk salam sapa biasa, apalagi dalam ruang
umum. Karena penggunaannya tidak tepat guna, misalkan:
1. Saat ketemu dipasar saling sapa namo buddhaya, hal ini tidak tepat karena (yah coba saja
pakai terjemahannya, kalian ketemu dipasar, lalu saling ngomong dengan suara lantang
"terpujilah buddha", lalu teman kalian balas "terpujilah buddha" agak lebay yah ).
2. Hindari penggunaan Namo buddhaya kepada bhikkhu, karena saat kita menggunakan
Namo buddhaya (terpujilah buddha) sambil beranjali pada bhikkhu tersebut, para bhikkhu
akan canggung untuk menjawabnya karena mereka belum menjadi buddha. Maka jangan
heran kalau kita menyapa bhikkhu dengan namo buddhaya terkadang tidak dijawab (kalau
bhantenya tau).
Salam Penutupan:
1. Mettacitena= dengan penuh metta.
2. Sadhu sadhu sadhu= baik sekali, baik sekali, baik sekali.
(sadhu boleh diucapkan 1x atau 3x, itu cuma tradisi pengucapan diulang 3x).
Semoga bermanfaat.
Tanya: Apa jenis objek meditasi samatha yang harus saya pakai?
Mereka yang berwatak seperti ini sangat sensitif terhadap nilai-nilai keindahan dan
keharmonisan, mudah terpengaruh oleh kecantikan wanita atau ketampanan pria, juga akan
keindahan musik, literatur, dan lain-lain, yang pada umumnya memuaskan nafsu indera.
dalam memenuhi nafsunya orang berwatak raga carita akan melakukan apa saja. Orang
berwatak raga carita bila bermeditasi hendaknya memilih obyek salah satu dari 10 Asubha
dan Kayagatasati. 10 asubha merupakan sepuluh obyek yang menjijikkan dan berupa mayat.
10 Asubha adalah dengan melihat perkembangan mayat, mulai dari mayat masih baru,
membengkak, pecah, bernanah, berbelatung, sampai hanya tinggal tengkorak saja.
Kayagatasati merupakan perhatian terhadap badan jasmani dengan memperhatikan badan
jasmani ini tidak indah dan tidak menarik yang hanya merupakan kumpulan dari macam-
macam unsur yang sangat menjijikkan
Watak dosa carita pada umumnya mudah tersinggung oleh masalah sangat kecil sekalipun
dan juga mudah bosan, jenkel, kesal, marah, cemburu, iri hati, membenci dan dendam. orang
dengan watak dosa carita akan nampak selalu marah, tidak ramah kepada orang lain,
sehingga tidak suka bersahabat atau mendekati orang lain. watak dosa carita bila bermeditasi
watak yang cocok ada 8 buah, yaitu 4 kasina warna (merah, putih, biru, kuning) dan 4
Appamana / Brahma vihara (metta, karuna,mudita, upekkha)
Orang yang berwatak moha carita ditandai dengan kurangnya kekuatan kecerdasan yang
harus diimbangi dengan usaha belajar dan mendekati serta meminta penjelasan orang-orang
mulia yang berpengetahuan lebih baik. orang berwatak moha carita biasanya berperilaku
konyol, karena tindakannya yang nampak tidak wajar. obyek yang cocok untuk orang
berwatak moha carita adalah Anapanasati (memperhatiak pernafasan). memperhatikan
keluar dan masuknya nafas.
4. Vitakacarita (khawatir)
Orang berwatak vitaka carita pikirannya sering tidak terkendali atau kacau, sering cemas
akan kesukaran-kesukaran, mudah sekali merubah prinsip, sehingga berperangai sebagai
orang yang tidak punya pendirian tetap. orang seperti ini sulit dipegang pernyataannya,
sebab ia selalu nampak gelisah, takut dan tidak tenang. obyek yang cocok untuk orang
berwatak moha carita adalah Anapanasati (memperhatiakan pernafasan). memperhatikan
keluar dan masuknya nafas.
Mudah percaya merupakan tanda kurangnya kecerdasan. Segala sesuatu yang didengar
walaupun belum jelas asal-usulnya ia akan mudah percaya begitu saja dan diterima seperti
sudah terbukti. sehingga orang berwatak saddha carita mudah sekali tertipu. orang berwatak
seperti ini dalam meditasinya mengembangkan obyek 6 Anussati (perenungan), yatu
perenungan tentang Buddha, Dhamma, Sangha, Sila, Caga, dan Devata
6. Buddhicarita (intelek)
Kecerdasan tidak selalu menjadi kuntungan. kelebihan darinya dapat menjadi suatu kerugian
apabila tidak disertai sikap batin yang pantas atau tidak berdasar pada pengetahuan benar.
kelbihan tersebut justru bisa menyeret kedalam jurang pandangan salah. orang berwatak
seperti ini akan selalu menolak pandangan atau informasi yang kurang masuk akal. dia akan
selalu menganggap pandangan dirinya yang paling benar. obyek yang cocok untuk orang
berwatak ini adalah maranasati (perhatian terhadap kematian), upasamanussati (perenungan
tentang ketenangan), aharepatikkulasanna (perenungan terhadap kejijikan makanan),
catudhatu-vavatthana (analisa empat unsur pembentuk tubuh).
Tipe ini dapat berwatak intelek, mudah marah, nafsu besar, bodoh, mudah percaya, atau
khawatir. obyek meditasi yang cocok adalah 6 kasina (pathavi, apo, tejo, vayo, akasa, aloka)
dan 4 Arupa (Akasanancayatana, Vinnanancayatana, Akincannayatana, N'evasanna
N'asannayatana)
Kalau kami punya program meditasi, umat beragama lain ikut. Ada yang beragama Islam,
Katolik juga ikut. Banyak sekali.
Umat beragama lain mengerti bahwa agama Buddha ini gudangnya ajaran meditasi. Kami
harus belajar meditasi dari agama Buddha.
Lalu kalau umat Buddha sendiri tidak pernah meditasi, bagaimana? Pengetahuan itu akan
diambil oleh umat beragama lain.
Saat ada pikiran buruk, keinginan buruk, perasaan tidak senang, perasaan bosan, diawasi.
Pada saat niat buruk itu masih di dalam pikiran, sebelum terlanjur dilakukan, cegatlah.
Karena apabila niat buruk itu sudah terlanjur dilakukan, membunuh, mencuri, korupsi, bicara
yang tidak baik dll; jika sudah terlanjur dilakukan, akibatnya sulit untuk diatasi. Maka kalau itu
masih di dalam pikiran, lalu kita tahu, dicegat disana. Berhenti! Alangkah indahnya.
Sebelum niat buruk itu dilakukan, dipotong pada saat masih di dalam pikiran.
Itulah gunanya meditasi. Tidak sekedar mencari ketenangan dan ketentraman.
Apalagi kalau keakuan muncul.
Keakuan itu halus sekali.
Itulah keakuan.
Itu harus dicegat dengan kesadaran, dengan keawasan dari meditasi. Kalau itu dibiarkan,
Keakuan akan melahirkan keserakahan.
Suatu ketika, seorang bhikkhu dari Alavi hendak membangun sebuah vihara untuk dirinya
sendiri, dan ia pun mulai menebang sebuah pohon. Dewa yang menfiami pohon tersebut
(Rukkha Deva), mencoba untuk mencegahnya, dengan alasan bahwa ia dan bayinya tak
tahu ke mana lagi harus tinggal.
Gagal menghentikan perbuatan sang bhikkhu
kemudian dewa itu meletakkan anaknya pada sebuah dahan, berharap bahwa hal itu akan
membuat sang bhikkhu berhenti menebang.
Namun, bhikkhu tersebut terlanjur mengayun
kan kapaknya dan ia tidak dapat menghentikannya seketika, dan tanpa sengaja memotong
lengan anak tersebut. Melihat bayi
nya terluka, sang ibu menjadi marah dan bermaksud membunuh bhikkhu tersebut.
Ketika ia mulai mengangkat kedua tangannya untuk menyerang, tiba-tiba ia berhenti dan
berpikir, "Bila aku membunuh seorang bhikkhu, berarti aku membunuh seseorang yang
sedang menjalankan peraturan moral (sila). Hal ini akan membuat aku menderita di alam
neraka (niraya). Dewa pohon lainnya akan meniru apa yang kuperbuat, dan semakin
banyak bhikkhu akan terbunuh. Tetapi bhikkhu ini pasti memiliki guru. Aku harus menemui
gurunya."
Kemudian ia pergi menghadap Sang Buddha. Sambil menangis ia menceritakan semua yang
telah menimpanya. Kepadanya Dang Buddha berkata. "O Rukkha Deva ! Kau telah
berhasil baik mengendalikan dirimu sendiri."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 222 berikut :
"Barang siapa yang dapat menahan kemarahannya yang telah memuncak seperti menahan
kereta yang sedang melaju, ia patut disebut sais sejati.
Sedangkan sais lainnya hanya sebagai pemegang kendali belaka."
Pada saat khotbah Dhamma berakhir, Rukkha Deva mencapai tingkat kesucian Sotapatti
dan ia pun diperbolehkan mendiami sebuah pohon di dekat kamar harum (Gandha Kuti)
Sang Buddha. Semenjak kejadian itu, Sang Buddha
melarang para bhikkhu menebangi tumbuh-tumbuhan seperti rumput, tanaman, semak
belukar, dan pepohonan.
TINGKAT KESUCIAN
Tingkat kesucian dalam agama Buddha dapat dibagi dalam dua golongan :
#Puthujjana - Ialah para bhikkhu dan orang-orang berkeluarga yang belum mencapai tingkat
kesucian.
#Ariya_puggala - Ialah para bhikkhu dan orang-orang berkeluarga yang setidak-tidaknya
telah mencapai tingkat kesucian pertama.
Setiap orang yang belum menapaki jalan kesucian dikenal sebagai puthujjana, yang secara
harafiah berarti "orang awam". Jika dibandingkan dengan orang yang telah menapaki jalan
kesucian (ariya-magga), maka puthujjana akan terkesan "gila" atau "kacau", oleh karena
belum memiliki keseimbangan batin.
Derajat kesucian ini didasarkan atas jumlah belenggu (samyojana) yang telah mereka
patahkan.
Aliran Theravada mengenal adanya sepuluh belenggu yang menyebabkan para makhluk
terus berputar-putar dalam samsara.
1.#Sotapanna
Kebanyakan umat Buddhis berusaha melatih sila dasar dan menjadi sempurna hanya dalam
diri orang-orang yang telah mendekati tingkatan Sotapanna (Skt Srotapanna), dimana kata ini
secara harafiah berarti "Pemasuk Arus". Pada tingkatan Sotapanna, seorang mendapatkan
sekilas pandangan yang pertama atas Nibbana dan mulai menapaki jalan kesucian.
Tetapi Ia belum berhasil membebaskan dirinya dari hawa nafsu. la telah terbebas dari
kelahiran kembali sebagai makhluk neraka, hantu, binatang, atau asura. la dipastikan akan
menjadi Arahat setelah mengalami kelahiran kembali maksimum tujuh kali lagi (Anguttara-
Nikaya).
2. #Sakadagami
Dengan memperdalam penembusan pandangan terangnya, seseorang bisa mencapai
tingkatan Sakadagami ("Yang Hanya Kembali Sekali Lagi").
Seorang Sakadagami telah mematahkan tiga belenggu Sotapanna :
1. Sakkayaditthi
2. Vicikiccha
3. Silabbataparamasa
Dan melemahkan belenggu-belenggu Anagami , yaitu :
4. Kamaraga : Nafsu Indriya.
5. Vyapada : Benci, keinginan tidak baik.
Seorang Sakadagami dilahirkan kembali maksimum sekali lagi di dalam dunia alam nafsu
keinginan (kamadhatu) sebagai manusia atau makhluk surga tingkat bawah sebelum
mencapai Nibbana.
3. #Anagami
Seorang Anagami ("Yang Tidak Terlahir Kembali") telah mematahkan sepenuhnya kelima
belenggu :
1. Sakkayaditthi,
2. Vicikiccha ,
3. Silabbataparamasa,
4. Kamaraga, dan
5. Vyapada.
Ia tidak lagi dilahirkan di alam nafsu (manusia). Namun pencapaiannya belumlah memadai
untuk menjadikannya seorang Arahat, dan bila ia belum sanggup untuk menjadi seorang
Arahat pada kelahiran berikutnya, maka ia akan terlahir kembali di surga pertama dari "lima
kediaman suci" (Alam Suddhavasa), atau surga-surga terhalus dan termurni di antara surga-
surga di Alam Berwujud.
Hanya seorang Anagami- lah yang dilahirkan di sana.
Di surga tsb ia akan mengembangkan penembusannya hingga mencapai tingkat kesucian
Arahat dan mencapai parinibbana.
4. #Arahat
Seorang Arahat telah mematahkan seluruh sepuluh belenggu ini , sehingga dengan demikian
mengakhiri dukkha dan semua kelahiran kembali dalam pengalaman Nibbana yang penuh
kebahagiaan.
Seorang Arahat mempunyai kemampuan terbang dengan tubuh jasmaninya, sedangkan
tingkatan-tingkatan yang lebih rendah daripadanya hanya dapat terbang dengan
menggunakan kesadarannya.
Catatan:
- Untuk Belenggu ruparaga dan aruparaga, Apabila ia meninggal sewaktu dalam keadaan
samadhi dan telah mencapai Jhana I, Jhana II, Jhana III atau Jhana IV , maka ia dilahirkan di
Alam bentuk (rupa-raga).
Lima Samyojana/Belenggu pada Sotapanna dan Anagami dikenal sebagai lima belenggu
rendah atau Orambhagiya-samyojana, Lima samyojana berikutnya pada Belenggu arahat
dikenal dengan nama belenggu tinggi atau Uddhambhagiya-samyojana.
Orambhagiya-samyojana dan Uddhambhagiya-samyojana telah dapat dimusnahkan oleh
seorang Arahat.
KAIN LAP 80 TAHUN
Ceramah oleh : YM. Bhante Kamsai Sumano Mahathera
Kita dalam berbuat baik ini seperti kita sedang menjalani hidup. Jangan cuma sampai tujuan,
tapi tidak punya tujuan hidup.
Di vihara banyak orang tua, tapi yang muda jarang, padahal Dhamma adalah belajar dan
praktek yang membutuhkan waktu.
Kita tahu alat untuk berbuat baik itu salah satunya adalah badan jasmani. Seperti (lihat) orang
sudah tua di Vihara, duduk (bergerak) kiri aduh, duduk (bergerak) kanan aduh, kadang-
kadang jatuh.
Umpamakan seperti kain, kain lap untuk meja. Dari awal beli, dipakai...lap..lalu cuci,
lap...cuci...
Dari kecil ada kekotoran batin, dibersihkan dengan sucikan hati, isi yang baik ke pikiran.
Jangan setiap kali di pakai lap lap tapi tidak dicuci cuci.
Coba lap itu seumur kita, lap itu seumur 80 tahun, baru dicuci, tidak tahu rinso (deterjen) apa
untuk membersihkannya.
Orang yang sudah 60 tahun baru ke Vihara, saya pikir mau pakai Dhamma apa untuk cuci
pikiran ini yah.... Omong apa sudah bilang "aduh Bhante saya sudah banyak masalah"
Sudah 60 tahun masalah, dapat rinso (deterjen) Dhamma nya baru sedikit.
Omong baru 5 menit saja "sudah Bhante....jangan lama-lama". Padahal dia dengar kata
keduniawian, kata yang buat dia dapat masalah, 1 hari 20ribu kata itu dia tidak pernah tolak,
eh pada waktu Bhante ceramah saja sudah ada kertas kecil "Bhante, jangan lama-lama
yah.."
Baru Namo Tassa, bilang jangan lama-lama katanya "saya sudah tua, sudah tidak tahan
duduk". Itulah yang disebutkan kain yang sudah di lap-lap, lalu 80 tahun sekali mau dicuci.
Bersih gak ? Harus dibuang kali yah...?
Dicuci atau dibuang, pikir-pikir juga, akhirnya pilih ke Vihara. Umat sudah tua, Bhikkhu sudah
tua, tua sama tua, tambah jadi.
Mulai ceramah mulai ngantuk, tidak tahu kenapa dunia ini setiap kali ceramah umat selalu
tidur, tidak tahu kenapa jadi obat tidur, mirip obat tidur orang tua, oo manfaat juga.
Maka apa benar kita mau ke vihara dimasa depan, depan dan depan ?
Sudah tua itu kuping sudah tidak mendengar, tapi datang untuk mendengar Dhamma, wajar
tidak ?
Apa lebih baik tidak yah...kain lap kotor sedikit, dicuci, lap kotor, cuci dari kecil.
Boleh tidak bawa anaknya dari kecil bawa ke Vihara. Harapan besar itu anak kecil yang
mendengar Dhamma itu yang isi. Kalau yang sudah ada umur, lobha sudah penuh, emosi
sudah penuh, kebodohan sudah penuh, iri sudah penuh, sombong sudah penuh, Dhamma
mau masuk itu sulit sekali. Kenapa ?
Kesatu, Karena orang tua itu simpan pengalaman kemelekatan dari kecil, sampai 80 tahun
belum pernah ke Vihara, yang cuci kotoran batinnya apa, tidak pernah kenal rinso (deterjen)
untuk cuci kotoran batinnya itu.
Kedua, fisik Beliau itu juga sepertinya tidak bisa dengar.
Dulu ada yang datang, berdiri depan Bhante, tangannya langsung begini (tangan kanan
diatas alis seperti melihat sesuatu yang jauh), lalu bilang begini "ini Bhante Kamsai bukan ?"
Saya juga bingung, dekat begini gak dengar, dekat begitu gak lihat, ceramahnya sepertinya
bakal cape banget deh.
Lalu anaknya bilang "iya mah, ini Bhante Kamsai". Saya pikir, saya tua juga begitu kali yah...?
Masa tua mata tidak lihat jauh lho, kenyataan tidak ? Kenyataan.
Badan juga tidak mendukung, perhatian ini tidak ?
Tidak bisa lihat Bhante nya yang ceramah, tidak bisa dengar Bhante nya ceramah, bahan
apa lagi ke Vihara yang bisa didapat isinya.
Mata tidak bisa lihat yang omong, kuping juga bisa salah-salah dengar, betul kan ?
Ingat tidak seperti Bhante pernah sampaikan (dulu) belajar Bahasa Indonesia bilang berisik
jadi berengsek.
Bhante khawatir kita masa tua ke Vihara bisa salah Dhamma, surga jadi neraka.
Dulu bahasa Indonesia saya, negara sama neraka, tidak tahu bedanya.
Umat tanya "Bhante tinggal di negara Indonesia dimana ?"
Saya tidak tahu Bahasa Indonesia neraka atau negara. Saya bilang "iya, dulu saya tinggal di
neraka Thailand, sekarang saya tinggal di neraka Indonesia, sama saja dua-dua itu neraka"
Umat bilang "oh Bhante kok menderita banget yah..." Sudah menderita di tanah air lahir,
sekarang menderita di tanah air disini.
Saya omong baik-baik, tapi orang lain dengar itu saya menderita banget. Maksud saya itu
negara sebetulnya.
Maka.... hidup kita kalau sudah banyak kotoran batin, sucikan hati dan pikiran di Vihara.
Pakai, cuci, pakai, cuci, dari kecil sampai dewasa.
Dhamma itu kan untuk sucikan hati dan pikiran kita yang sudah kita pakai dan kotor. Yang
buat kotor itu lobha, dosa, moha di keduniawian. Lokkhiya itu namanya.
Kalau Sang Buddha itu pakai rinso sila, samadhi dan panna.
Untuk kotoran badan, Sang Buddha pakai rinso sila namanya, yang kotoran batin pikiran itu
pakai rinso samadhi, yang cabut kotoran untuk jaga kebersihan terus itu pakai rinso panna,
supaya tidak jahat ucapan, tidak jahat perbuatan dan tidak jahat pikiran.
Kalau badan kita sakit, dia tidak ijinkan kita berbuat baik lho.
Sekarang badan kita masih bagus, pikiran kita masih bagus, kita latihan, cepat berbuat baik.
Karena masa tua, masa terakhir, kemelekatan sudah banyak.
Banyak umat bilang nanti saya akan lepas, nanti saya akan lepas, lepas bagaimana ?
Kemelekatan sudah 80 tahun mana bisa tiba-tiba lepas.
Bhante baca doa di rumah sakit (umat) yang sudah dekat kematian, disitulah paling banyak
kilesanya. Mau pergi....(ingat) harta warisannya udah banyak, mau pergi.... (ingat) anak
cucunya.
Maka ada kesempatan cuci sedikit kotoran (batin) nya, buang kejahatan, supaya kita siap
pindah rumah, pindah alam, yang harus disiapkan dari sekarang ke depan.
Semoga kita ke vihara ini bermanfaat untuk diri kita sendiri dan juga semua makhluk, lepas
dari kemelekatan, kebencian dan kebodohan.
Semoga kita berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha.
Sadhu sadhu sadhu
Dhamma Y.M. Bhante Sri Pannavaro Mahathera.
Kalau Anda membaca sutta-sutta, khotbah-khotbah Sang Buddha. Kalau Anda membaca
terjemahan paritta, doa-doa dalam agama Buddha. Tidak pernah Anda menjumpai Guru
Agung kita mengajarkan kepada kita, "Hei! Engkau mintalah." Tidak pernah!
"Oh.....jadi agama Buddha ini tidak menjarkan umatnya untuk meminta, Bhante?"
Jangan terkejut jika agama Buddha tidak mengajarkan umatnya untuk meminta kepada siapa
pun. Lalu apa yang diajarkan Guru Agung kita? Memberi, memberi dan memberi.
Kepada dewa sekalipun kita diajarkan oleh Guru Agung kita untuk memberi.
Hei para dewa! Kami telah menimbun kebajikan. Ikutlah berbahagia dengan kebajikan yang
kami lakukan. Semoga Engkau mendapatkan kebahagiaan yang beraneka warna.
Memang agak istimewa ajaran Guru Agung kita ini. Kalau Anda meneliti dan membaca
ajaran-ajaran yang lainnya, tidak pernah Anda jumpai satu ajaran yang mengajarkan umatnya
untuk jangan meminta, tetapi memberilah.
"Benar Saudara."
Seperti Upasaka Dhammika, beliau mendapatkan kehidupan di alam Dewa. Tetapi, jangan
mengharap. Karena jika Anda memberi, kemudian mengharap, harapan itu akan meracuni
pikiran Anda sendiri.
Ada dua macam orang berdana; berdana dengan mengerti Dhamma; dan berdana dengan
keserakahan. Orang yang berdana sedikit mengharapkan hasil yang banyak. Maka artinya
dia memberi, tetapi juga menambah keserakahan dirinya.
Perbuatan seperti ini tidak meringankan penderitaan, justru sebaliknya membuat penderitaan
yang baru. Sebaliknya orang yang mengerti Dhamma akan berdana , memberi tanpa
mengharap.
Mengapa?
Karena Sang Buddha mengajarkan kita memberi adalah untuk mengurangi keterikatan.
Mengurangi keterikatan adalah mengurangi keserakahan. Mengurangi keserakahan juga
mengurangi kebencian. Karena keserakahan dan kebencian itulah yang menjadi sumber
penderitaan.
*RENUNGAN: _"kalahkan"_*
Mengalahkan *musuh* dalam diri berupa *sifat buruk* tidak bermanfaat merupakan tugas
utama tiap orang, dengan mengembangkan *sifat baik* yang bermanfaat, agar bebas dari
penderitaan dan hidup bahagia.
Mengalahkan *kemarahan* dengan *cinta kasih,* adalah tugas setiap orang yang ingin
menjadi pemenang dari *sifat buruk,* mengembangkan sifat baik serta bermanfaat.
Mengalahkan *kekikiran* dengan *kemurahan hati,* merupakan tugas utama bagi tiap orang,
yang ingin *hidup bahagia.* Tanpa bisa mengalahkan sifat buruk berupa kekikiran dengan
mengembangkan sifat baik kemurahan hati, belum pantas disebut *sebagai pemenang.*
Mengalahkan *kebohongan* dengan *kejujuran,* merupakan peperangan yang tidak mudah
untuk *dilakukan.* Karena perang melawan kebohongan, dengan cara mengembangkan
kejujuran, berarti perang melawan *dirinya sendiri.*
_*Jadilah pemenang buat dirinya sendiri, dengan mengalahkan dirinya sendiri; selalu
berusaha mengalahkan sifat buruk, dengan mengunakan sifat baik untuk melawannya,
sampai menjadi penakluk sejati .*_
✍ (B.Saddhaviro)
*Umat* jika batin gelap tidak mampu untuk mengetahui sumbernya masalah, dan
bagaimana caranya orang yang gelap batinnya, bisa mendapat *pencerahan,* jika batinnya
masih gelap.
*Bhikkhu* jika orang memiliki *keyakinan,* punya *kemauan* kuat, terus *berusaha*
mendapatkan pencerahan batin, seiring dengan berjalannya *waktu,* maka potensi menjadi
tumbuh berkembang, orang yang semula batinnya *gelap,* bisa mendapat *pencerahan.*
_*Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan, akibat dari perbuatan dirinya sendiri orang menderita;
oleh dirinya kebaikan dilakukan, dan dari buah perbuatan baiknya, orang hidup bahagia.
Demikian pula persoalan hidup maupun penyelesaiannya, tergantung pada dirinya sendiri.*_
✍ (B.saddhaviro)
Cara pemahannya adalah, kejahatan yang dilakukan orang jahat pada *orang lain* atau bisa
jadi terhadap *diri anda,* sebenarnya orang jahat itu sedang melakukan kehahatan *untuk
dan buat dirinya sendiri,* hanya obyeknya menggunakan orang lain.
Jika kita kesal, marah, benci, pada orang jahat karena *perbuatan jahatnya;* itu tanpa kita
sadari, kita sudah ikut berbuat jahat yang *bersifat halus.* Apa lagi kalau kita membalas
kejahat yang orang jahat lakukan, dengan rame-rame menghakimi, jelas kita juga *menjadi
jahat.*
_*Jika orang jahat berbuat jahat, yang terpenting tidak ikut berbuat jahat dengan membenci
maupun membalasnya; inilah cara berpikir benar serta bertindak baik, kejahatan bisa
diminimalisir, orang jahat menjadi berkurang, karena tidak ikut berbuat jahat.*_
✍ (B.Saddhaviro)
*Mencapai tujuan hidup* adalah yang paling penting bagi setiap orang hidup, karena punya
tujuan hidup, jika tidak tercapai dari tujuan hidup, belum mendapakan yang terpenting dalam
hidup.
_*Hidup tidak hanya digunakan untuk mencari kebutuhan hidup, tetapi hendaknya memiliki
tujuan hidup; dan mampu merealisasi tujuan hidup bahagia, terbebas dari penderitaan,
melakukan perbuatan baik dengan benar, adalah yang paling penting.*_
✍ (B.Saddhaviro)