Vous êtes sur la page 1sur 5

Nama: Vania Rahmaningtyas Nilai Kuis: 60

NIM: J3E214109

PK: Supervisor Jaminan Mutu Pangan

Kelas B/2

Golongan Darah Rhesus

Golongan darah adalah ciri khusus darah dari suatu individu karena adanya

perbedaan jenis karbohidrat dan protein pada permukaan membran sel darah merah. Dua

jenis penggolongan darah yang paling penting adalah

penggolongan ABO dan Rhesus (faktor Rh). Di dunia ini sebenarnya dikenal sekitar 46

jenis antigen selain antigen ABO dan Rh, hanya saja lebih jarang dijumpai.Transfusi

darah dari golongan yang tidak kompatibel dapat menyebabkan reaksi transfusi imunologis

yang berakibat anemia hemolisis, gagal ginjal, syok, dan kematian.

Jenis penggolongan darah lain yaitu Rhesus atau faktor Rh diperoleh dari monyet

jenis Rhesus yang diketahui memiliki faktor ini pada tahun 1940 oleh Karl Landsteiner.

Seseorang yang tidak memiliki faktor Rh di permukaan sel darah merahnya memiliki

golongan darah Rh-. Mereka yang memiliki faktor Rh pada permukaan sel darah merahnya

disebut memiliki golongan darah Rh+. Jenis penggolongan ini seringkali digabungkan

dengan penggolongan ABO. Golongan darah O+ adalah yang paling umum dijumpai,

meskipun pada daerah tertentu golongan A lebih dominan, dan ada pula beberapa daerah

dengan 80% populasi dengan golongan darah B.

Kecocokan faktor Rhesus amat penting karena ketidakcocokan golongan. Misalnya

donor dengan Rh+ sedangkan resipiennya Rh-) dapat menyebabkan produksi antibodi

terhadap antigen Rh(D) yang mengakibatkan hemolisis. Hal ini terutama terjadi pada

perempuan yang pada atau di bawah usia melahirkan karena faktor Rh dapat memengaruhi

janin pada saat kehamilan.


Sistem Rhesus merupakan suatu sistem yang sangat kompleks. Masih banyak

perdebatan baik mengenai aspek genetika, nomenklatur maupun interaksi antigeniknya.

Rhesus positif (rh positif) adalah seseorang yang mempunyai rh-antigen pada eritrositnya

sedang Rhesus negatif (rh negatif) adalah seseorang yang tidak mempunyai rh-antigen

pada eritrositnya. Antigen pada manusia tersebut dinamakan antigen-D, dan merupakan

antigen yang berperan penting dalam transfusi. Tidak seperti pada ABO sistem dimana

seseorang yang tidak mempunyai antigen A/B akan mempunyai antibodi yang berlawanan

dalam plasmanya, maka pada sistem Rhesus pembentukan antibodi hampir selalu oleh

suatu eksposure apakah itu dari transfusi atau kehamilan. Sistem golongan darah Rhesus

merupakan antigen yang terkuat bila dibandingkan dengan sistem golongan darah lainnya.

Dengan pemberian darah Rhesus positif (D+) satu kali saja sebanyak 0,1 ml secara

parenteral pada individu yang mempunyai golongan darah Rhesus negatif (D-), sudah dapat

menimbulkan anti Rhesus positif (anti-D) walaupun golongan darah ABO nya sama. Anti D

merupakan antibodi imun tipe IgG dengan berat molekul 160.000, daya endap

(sedimentation coefficient) 7 detik, thermo stabil dan dapat ditemukan selain dalam serum

juga cairan tubuh, seperti air ketuban, air susu dan air liur. Imun antibodi IgG anti-D dapat

melewati plasenta dan masuk kedalam sirkulasi janin, sehingga janin dapat menderita

penyakit hemolisis. Penyakit hemolisis pada janin dan bayi baru lahir adalah anemia

hemolitik akut yang diakibatkan oleh alloimun antibodi ( anti-D atau inkomplit IgG antibodi

golongan darah ABO) dan merupakan salah satu komplikasi kehamilan. Antibodi maternal

isoimun bersifat spesifik terhadap eritrosit janin, dan timbul sebagai reaksi terhadap antigen

eritrosit janin. Penyebab hemolisis tersering pada neonatus adalah pasase transplasental

antibodi maternal yang merusak eritrosit janin. Pada tahun 1892, Ballantyne membuat

kriteria patologi klinik untuk mengakkan diagnosis hidrops fetalis. Diamond dkk. (1932)

melaporkan tentang anemia janin yang ditandai oleh sejumlah eritroblas dalam darah

berkaitan dengan hidrops fetalis. Pada tahun 1940, Lansstainer menemukan faktor Rhesus

yang berperan dalam patogenesis kelainan hemolisis pada janin dan bayi. Levin dkk (1941)

menegaskan bahwa eritroblas disebabkan oleh Isoimunisasi maternal dengan faktor janin
yang diwariskan secara paternal. Find (1961) dan freda ( 1963) meneliti tentang tindakan

profilaksis maternal yang efektif.

Kira -kira 85 % orang kulit putih mempunyai rhesus positif dan 15 % rhesus negative.

Hemolisis biasanya terjadi bila ibu mempunyai rhesus negative dan janin rhesus positif bila

sel darah janin masuk ke peredaran darah ibu, maka ibu akan dirangsang oleh antigen Rh

sehingga membentuk antibody terhadap Rh. Zat antibody ini dapat melalui plasenta dan

masuk ke dalam peredaran darah janin dan selanjutnya menyebabakan penghancuran sel

darah merah janin (hemolisis). Bila ibu sebelum mengandung anak pertama pernah

mendapat transfusi darah yang inkompatilibel atau ibu mengalami keguguran dengan janin

yang mempunyai rhesus positif, pengaruh kelainan inkompatilibitas rhesus ini akan terlihat

pada bayi yang dilahirkan kemudian.

Insidens pasien yang mengalami Inkompatibilitas Rhesus ( yaitu rhesus negatif)

adalah 15% pada ras berkulit putih dan 5% berkulit hitam, jarang pada bangsa asia. Rhesus

negatif pada orang indonesia jarang terjadi, kecuali adanya perkawinan dengan orang asing

yang bergolongan rhesus negatif. Pada wanita Rhesus negatif yang melahirkan bayi

pertama Rhesus positif, risiko terbentuknya antibodi sebesar 8%. Sedangkan insidens

timbulnya antibodi pada kehamilan berikutnya sebagai akibat sensitisitas pada kehamilan

pertama sebesar 16%. Tertundanya pembentukan antibodi pada kehamilan berikutnya

disebabkan oleh proses sensitisasi, diperkirakan berhubungan dengan respons imun

sekunder yang timbul akibat produksi antibodi pada kadar yang memadai. Kurang lebih 1%

dari wanita akan tersensitasi selama kehamilan, terutama trimester ketiga.

Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit ini jarang terjadi :

1. variasi kadar antigen eritrosit sebagai penyebab terbentuknya antibodi

2 variasi daya antigenisitasnya

3. lintasan antigen dari janin ke ibu kurang mencukupi


4. variasi respon maternal terhadap antigen tersebut

5. perlindungan isoimun lewat inkompatibilitas ABO

6. kurangnya jumlah antibodi ibu ke sirkulasi darah janin

GEJALA KLINIS:

1. Hidrops fetalis

Hidrops fetalis adalah bayi yang menunjukan edema yang menyeluruh, asites dan pleural

efusi pada saat lahir. Perubahan patologi klinik yangg terjadi bervariasi, tergantung

intensitas proses. Pada kasus parah, terjadi edema subkutan dan efusi kedalam kavum

serosa ( hidrops fetalis). Hemolisis yang berlebihan dan berlangsung lama akan

menyebabkan hiperplasia eritroid pada sum-sum tulang, hematopoesis ekstrameduler

didalam lien dan hepar. Juga terjadi pembesaran jantung dan perdarahan pulmoner. Asites

dan hepatosplenomegali yang terjadi dapat menimbulkan distosia akibat abdomen janin

yang sangat membesar. Hidrothoraks yang terjadi dapat mengganggu respirasi janin. Janin

dengan hidrops dapat meninggal dalam rahim akibat anemia berat dan kegagalan sirkulasi.

Bayi hidrops yang bertahan hidup tampak pucat, edematus dan lemas pada saat dilahirkan.

Lien dan hepar membesar, ekimosis dan petikie dan menyebar, sesak nafas dan kolaps

sirkulasi. Kematian dapat terjadi dalam waktu beberapa jam meskipun transfusi sudah

diberikan.

2. Hiperbilirubinemia

Hiperbilirubin dapat menimbulkan gangguan sistem syaraf pusat, khususnya ganglia basal

atau menimbulkan kernikterus. Gejala yandg muncul berupa letargia, kekakuan ekstremitas,

retraksi kepala, strabismus, tangisan melengking, tidak mau menetek dan kejang-kejang.

Kematian terjadi dalam usia beberapa minggu. Pada bayi yang bertahan hidup, secara fisik

tak berdaya, tak mampu menyanggah kepala dan tak mampu duduk. Kemampuan berjalan

mengalami keterlambatan atau tak pernah dicapai. Pada kasus yang ringan akan terjadi
inkoordinasi motorik dan tuli konduktif. Anemia yang terjadi akibat gangguan eritropoesis

dapat bertahan selama berminggu – minggu hingga berbulan - bulan.

Vous aimerez peut-être aussi