Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
NIM: J3E214109
Kelas B/2
Golongan darah adalah ciri khusus darah dari suatu individu karena adanya
perbedaan jenis karbohidrat dan protein pada permukaan membran sel darah merah. Dua
penggolongan ABO dan Rhesus (faktor Rh). Di dunia ini sebenarnya dikenal sekitar 46
jenis antigen selain antigen ABO dan Rh, hanya saja lebih jarang dijumpai.Transfusi
darah dari golongan yang tidak kompatibel dapat menyebabkan reaksi transfusi imunologis
Jenis penggolongan darah lain yaitu Rhesus atau faktor Rh diperoleh dari monyet
jenis Rhesus yang diketahui memiliki faktor ini pada tahun 1940 oleh Karl Landsteiner.
Seseorang yang tidak memiliki faktor Rh di permukaan sel darah merahnya memiliki
golongan darah Rh-. Mereka yang memiliki faktor Rh pada permukaan sel darah merahnya
disebut memiliki golongan darah Rh+. Jenis penggolongan ini seringkali digabungkan
dengan penggolongan ABO. Golongan darah O+ adalah yang paling umum dijumpai,
meskipun pada daerah tertentu golongan A lebih dominan, dan ada pula beberapa daerah
donor dengan Rh+ sedangkan resipiennya Rh-) dapat menyebabkan produksi antibodi
terhadap antigen Rh(D) yang mengakibatkan hemolisis. Hal ini terutama terjadi pada
perempuan yang pada atau di bawah usia melahirkan karena faktor Rh dapat memengaruhi
Rhesus positif (rh positif) adalah seseorang yang mempunyai rh-antigen pada eritrositnya
sedang Rhesus negatif (rh negatif) adalah seseorang yang tidak mempunyai rh-antigen
pada eritrositnya. Antigen pada manusia tersebut dinamakan antigen-D, dan merupakan
antigen yang berperan penting dalam transfusi. Tidak seperti pada ABO sistem dimana
seseorang yang tidak mempunyai antigen A/B akan mempunyai antibodi yang berlawanan
dalam plasmanya, maka pada sistem Rhesus pembentukan antibodi hampir selalu oleh
suatu eksposure apakah itu dari transfusi atau kehamilan. Sistem golongan darah Rhesus
merupakan antigen yang terkuat bila dibandingkan dengan sistem golongan darah lainnya.
Dengan pemberian darah Rhesus positif (D+) satu kali saja sebanyak 0,1 ml secara
parenteral pada individu yang mempunyai golongan darah Rhesus negatif (D-), sudah dapat
menimbulkan anti Rhesus positif (anti-D) walaupun golongan darah ABO nya sama. Anti D
merupakan antibodi imun tipe IgG dengan berat molekul 160.000, daya endap
(sedimentation coefficient) 7 detik, thermo stabil dan dapat ditemukan selain dalam serum
juga cairan tubuh, seperti air ketuban, air susu dan air liur. Imun antibodi IgG anti-D dapat
melewati plasenta dan masuk kedalam sirkulasi janin, sehingga janin dapat menderita
penyakit hemolisis. Penyakit hemolisis pada janin dan bayi baru lahir adalah anemia
hemolitik akut yang diakibatkan oleh alloimun antibodi ( anti-D atau inkomplit IgG antibodi
golongan darah ABO) dan merupakan salah satu komplikasi kehamilan. Antibodi maternal
isoimun bersifat spesifik terhadap eritrosit janin, dan timbul sebagai reaksi terhadap antigen
eritrosit janin. Penyebab hemolisis tersering pada neonatus adalah pasase transplasental
antibodi maternal yang merusak eritrosit janin. Pada tahun 1892, Ballantyne membuat
kriteria patologi klinik untuk mengakkan diagnosis hidrops fetalis. Diamond dkk. (1932)
melaporkan tentang anemia janin yang ditandai oleh sejumlah eritroblas dalam darah
berkaitan dengan hidrops fetalis. Pada tahun 1940, Lansstainer menemukan faktor Rhesus
yang berperan dalam patogenesis kelainan hemolisis pada janin dan bayi. Levin dkk (1941)
menegaskan bahwa eritroblas disebabkan oleh Isoimunisasi maternal dengan faktor janin
yang diwariskan secara paternal. Find (1961) dan freda ( 1963) meneliti tentang tindakan
Kira -kira 85 % orang kulit putih mempunyai rhesus positif dan 15 % rhesus negative.
Hemolisis biasanya terjadi bila ibu mempunyai rhesus negative dan janin rhesus positif bila
sel darah janin masuk ke peredaran darah ibu, maka ibu akan dirangsang oleh antigen Rh
sehingga membentuk antibody terhadap Rh. Zat antibody ini dapat melalui plasenta dan
masuk ke dalam peredaran darah janin dan selanjutnya menyebabakan penghancuran sel
darah merah janin (hemolisis). Bila ibu sebelum mengandung anak pertama pernah
mendapat transfusi darah yang inkompatilibel atau ibu mengalami keguguran dengan janin
yang mempunyai rhesus positif, pengaruh kelainan inkompatilibitas rhesus ini akan terlihat
adalah 15% pada ras berkulit putih dan 5% berkulit hitam, jarang pada bangsa asia. Rhesus
negatif pada orang indonesia jarang terjadi, kecuali adanya perkawinan dengan orang asing
yang bergolongan rhesus negatif. Pada wanita Rhesus negatif yang melahirkan bayi
pertama Rhesus positif, risiko terbentuknya antibodi sebesar 8%. Sedangkan insidens
timbulnya antibodi pada kehamilan berikutnya sebagai akibat sensitisitas pada kehamilan
sekunder yang timbul akibat produksi antibodi pada kadar yang memadai. Kurang lebih 1%
GEJALA KLINIS:
1. Hidrops fetalis
Hidrops fetalis adalah bayi yang menunjukan edema yang menyeluruh, asites dan pleural
efusi pada saat lahir. Perubahan patologi klinik yangg terjadi bervariasi, tergantung
intensitas proses. Pada kasus parah, terjadi edema subkutan dan efusi kedalam kavum
serosa ( hidrops fetalis). Hemolisis yang berlebihan dan berlangsung lama akan
didalam lien dan hepar. Juga terjadi pembesaran jantung dan perdarahan pulmoner. Asites
dan hepatosplenomegali yang terjadi dapat menimbulkan distosia akibat abdomen janin
yang sangat membesar. Hidrothoraks yang terjadi dapat mengganggu respirasi janin. Janin
dengan hidrops dapat meninggal dalam rahim akibat anemia berat dan kegagalan sirkulasi.
Bayi hidrops yang bertahan hidup tampak pucat, edematus dan lemas pada saat dilahirkan.
Lien dan hepar membesar, ekimosis dan petikie dan menyebar, sesak nafas dan kolaps
sirkulasi. Kematian dapat terjadi dalam waktu beberapa jam meskipun transfusi sudah
diberikan.
2. Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubin dapat menimbulkan gangguan sistem syaraf pusat, khususnya ganglia basal
atau menimbulkan kernikterus. Gejala yandg muncul berupa letargia, kekakuan ekstremitas,
retraksi kepala, strabismus, tangisan melengking, tidak mau menetek dan kejang-kejang.
Kematian terjadi dalam usia beberapa minggu. Pada bayi yang bertahan hidup, secara fisik
tak berdaya, tak mampu menyanggah kepala dan tak mampu duduk. Kemampuan berjalan
mengalami keterlambatan atau tak pernah dicapai. Pada kasus yang ringan akan terjadi
inkoordinasi motorik dan tuli konduktif. Anemia yang terjadi akibat gangguan eritropoesis