Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen
terhadap suatu bahan dimana seorang individu pernah tersensitasi oleh bahan
tersebut. Saat pasien kontak dengan bahan tersebut, histamin, serotonin, tryptase dan
bahan vasoaktif lainnya dilepaskan dari basofil dan sel mast. Reaksi anafilaktoid
secara klinik tak dapat dibedakan dengan anafilaksis, tetapi reaksi ini dimediasi
langsung oleh obat atau bahan tertentu, dan tidak melalui sensitasi antibodi IgE.
Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai hiperurisemia, etiologi dan
penatalaksanaan hiperurisemia
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Secara harafiah anafilaksis berasal dari kata ana yang artinya balik dan phylaxis
yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respon sel imu yang seharusnya melindungi
justru merusak jaringan dengan kata lain kebalikan dari melindungi (anti-phylaxis
atau anaphylaxis).
Anafilaktik merupakan reaksi alergi yang dimediasi IgE. Jika seseorang sensitif
terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen tersebut,
akan timbul reaksi hipersensitivitas yang merupakan suatu reaksi anafilaktik yang
dapat berujung pada syok anafilaktik. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi
antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam
sirkulasi.1
B. Epidemiologi Hiperurisemia
akibat zat kontras radiografi, dan 10–20% akibat pemberian obat penisilin. Data
yang akurat dalam insiden dan prevalensi terjadinya syok anafilaktik masih sangat
kurang. Anafilaksis yang fatal hanya kira-kira 4 kasus kematian dari 10 juta
masyarakat per tahun. Sebagian besar kasus yang serius anafilaktik adalah akibat
merupakan penyebab kematian 100 dari 500 kematian akibat reaksi anafilaksis.2
C. ETIOLOGI
2
Berdasarkan etiologinya, reaksi anafilaksis terbagi meenjadi tiga yaitu
anafilaksis alergi, anafilaksis non alergi, dan anafilaksis idiopatik.
a. Anafilaksis alergi
Bila reaksi diperantarai oleh suatu mekanisme imunologi. Anafilaksis alergi
diperantarai oleh IgE (Ig-E mediated allergic anaphylaxis).
b. Anafilaksis non alergi
Bila diperantarai oleh penyebab non imunologi (dahulu disebut reaksi
anafilaktoid)
c. Anafilaksis idiopatik
Bila alergen penyebab maupun faktor fisik yang merangsangnya tak
teridentifikasi.
Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik, ekstrak
alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah, anastetikum
lokal, makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Antibiotik dapat berupa penisilin
dan derivatnya, basitrasin, neomisin, tetrasiklin, streptomisin, sulfonamid, dan
lain-lain. Ekstrak alergen biasanya berupa rumput-rumputan atau jamur, atau
serum ATS, ADS, dan anti bisa ular.3
D. MEKANISME ANAFILAKSIS
1. Fase Sensitisasi
Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh
reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang masuk
lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan ditangkap oleh
makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada
limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-13) yang
menginduksi limfosit B berproliferasi menjadi sel plasma (plasmosit). Sel
plasma memproduksi Immunoglobulin E (IgE) spesifik untuk antigen
tersebut. IgE ini kemudian terikat pada reseptor permukaan sel mast (mastosit)
dan basofil.4
3
2. Fase Aktivasi
Yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE
spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator
vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan
vasoaktif lain dari granula yang disebut dengan istilah Preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran
sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang
terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut Newly formed
mediators.4
3. Fase Efektor
Yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik
pada organ-organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,
meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema,
sekresi mukus dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas
vaskuler dan bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet Activating
Factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas
vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik
menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin yang dihasilkan menyebabkan
bronkokonstriksi, demikian juga dengan leukotriene.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya
fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan
penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti
dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan
perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang
berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.4
4
E. MANIFESTASI KLINIS
paparan. Gejala dapat melibatkan kulit, saluran nafas atas maupun bawah, sistem
kardiovaskular, dan GI tract. Satu atau lebih area mungkin terkena, dan gejalanya
tidak harus diawali gejala ringan (urtikaria) terlebih dahulu sampai berat
(obstruksi saluran nafas, atau syok). Gejala bervariasi dari ringan sampai berat,
seperti gatal, urtika, bersin, rhinorea, nausea, kram abdomen, diare, dispneu,
berkembang dalam hitungan menit, dan mungkin timbul kejang, tidak sadar, dan
F. DIAGNOSIS
5
2. Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak
setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa
menit hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit
(misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus,
kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise
(misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF,
hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan
(misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal
yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).
3. Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada
alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok
anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah
(spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%.5
G. KOMPLIKASI
1. Koma
2. Kematian
D. PENATALAKSAAN
2. Pemberian Oksigen 3–5 liter/menit harus dilakukan, pada keadaan yang sangat
guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak
tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan
6
pengganti. Pemberian cairan infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan
4. Adrenalin 0,3 – 0,5 ml dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler yang
lama kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian secara intramuskuler
kurang efektif, dapat diberi secara intravenous setelah 0,1 – 0,2 ml adrenalin
lambat bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga
Kedua obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok anafilaktik, dapat
100–250 mg IV.
7
7. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP), seandainya terjadi henti jantung (cardiac
jantung pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya di setiap ruang
praktek seorang dokter tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus dan
tindakan secepatny.2
8
BAB III
PENUTUP
Anafilaksis alergi adalah suatu respon klinis hipersensitivitas tipe akut, berat,
dan menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas ini merupakan suatu
reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi hipersensitivitas tipe I), yaitu reaksi antara
antigen spesifik dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada sel mast. Sel mast dan
Basofil akan mengeluarkan mediator yang mempunyai efek farmakologik terhadap
berbagai macam organ. Berdasarkan etiologinya, reaksi anafilaksis terbagi meenjadi tiga
yaitu anafilaksis alergi, anafilaksis non alergi, dan anafilaksis idiopatik.
Meskipun gejala klinis dan tanda klinis dapat mengarah ke sistem organ,
namun manifestasi kutaneus misalnya urtikaria, pruritus, angioedema, dan kemerahan
muncul pada kebanyakan anak (80-90%) dengan anafilaksis. Pada gejala yang lebih
berat, gangguan nafas muncul sekitar 60-70% pada anak. Gejala kardiovaskular lebih
sedikit terjadi, yaitu sekitar 10-30% dengan gejala anafilaktik anak misalnya pusimg,
hipotensi, hingga sinkop
Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik, ekstrak
alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah, anastetikum lokal,
makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Ekstrak alergen biasanya berupa rumput-
rumputan atau jamur, atau serum ATS, ADS, dan anti bisa ular
Diagnosis anafilaksis ditegakkan secara klinis. Perlu dicari riwayat
penggunaan obat, makanan, gigitan binatang, atau transfusi. Pada beberapa keadaan
dapat timbul keraguan terhadap penyebab lain sehingga perlu dipikirkan diagnosis
banding. Pada reaksi sitemik ringan dan sedang diagnosis bandingnya adalah
diagnosis banding urtikaria dan angioedema.
9
DAFTAR PUSTAKA
1
Sunaryanto,andik.2009.Syok Anaflaktik.Karya Tulis Ilmiah.RS.Sanglah Bali
2
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.Pandua Praktik Klinis.Edisi 1.
2017.Jakarta
3
Rachman O, Soepriadi M, Setiabudiawan B. Anafilaksis dalam Buku Ajar
Alergi Imunologi Anak. Edisi Kedua. 2007. Jakarta: Balai Penerbit IDAI
4
Rachman O, Soepriadi M, Setiabudiawan B. Anafilaksis dalam Buku Ajar
Alergi Imunologi Anak. Edisi Kedua. 2007. Jakarta: Balai Penerbit IDAI
5
Sampson HA, et al. Clinical Immunology and Allergy. Margaret and
Fremantle Hospitals, Western Australia; 2006.
10