Vous êtes sur la page 1sur 57

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering dijumpai


pada anak. Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju
maupun negara sedang berkembang. Prevalensi total asma di dunia di perkirakan
7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak). Prevalensi tersebut sangat bervariasi,
terdapat perbedaan prevalensi antar negara dan bahkan perbedaan juga didapat
antar daerah didalam suatu negara. Masalah epidemiologi yang lain saat ini adalah
morbiditas dan mortalitas asma yang relatif tinggi. WHO memperkirakan saat ini
terdapat 250.000 kematian akibat asma. Beberapa waktu yang lalu, penyakit asma
bukan penyebab kematian yang berarti. Namun, belakangan ini berbagai negara
melaporkan bahwa terjadi peningkatan kematian akibat penyakit asma, termasuk
pada anak.1

1.2 Anatomi Sistem Respiratorik

Sistem respiratorik pada manusia dibagi menjadi dua yaitu respiratorik


atas dan bawah. Respiratorik atas mulai dari hidung sampai dengan faring dan
respiratorik bawah mulai dari laring sampai alveolus.1

1. Hidung
Hidung merupakan organ yang pertama kali dilewati oleh udara. Hidung
memberikan kelembaban dan pemanasan udara pernapasan sebelum masuk ke
nasofaring. Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas
sampai bawah: pangkal hidung, dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi,
kolumela dan lubang hidung. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan
tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil
yang berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasalis), prosesus frontalis os
maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan

1
terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak dibagian bawah
hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago
nasalis lateralis inferior yang disebut kartilago alar mayor dan beberapa
pasang kartilago alar minor dan tepi anterior kartilago septum.1

Rongga hidung merupakan kavum nasi yang dipisahkan oleh septum.


Lubang depan disebut sebagai neres anterior dan lubang belakang merupakan
koana yang memisahkan antara kavum nasi dengan nasofaring. Septum
dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada
bagian tulang, sedangkan bagian luar dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian
dari kavum nasi yang tepat berada di belakang nares anterior disebut
vestibulum, yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut
panjang. Dasar rongga hidung melekat dengan palatum durum dan sebagian
besar dari acap hidung dibentuk oleh epitel olfaktorius dan lamina kribitormis
os ethmoidalis, yang memisahkannya dengan rongga tengkorak.1

Rongga hidung memiliki 4 dinding dan pada dinding lateralnya terdapat


3 buah konka yaitu konka superior, konka media dan konka inferior. Rongga
yang terletak diantara konka disebut sebagai meatus. Bergantung pada
letaknya, meatus dibagi menjadi 3 yaitu meatus inferior, medius dan superior.
Meatus inferior di antara konka inferior dan dasar hidung dengan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara duktus
nasolakrimalis. Meatus medius terletak dibawah konka medius dan
merupakan saluran yang penting karena hampir seluruh sinus bermuara
disaluran ini, yang kemudian membentuk osceo meatal kompleks. Adanya
kelainan pada daerah ini dapat mengganggu ventilasi dan bersihan mukosiliar
sehingga mempermudah terjadinya rinosinusiris. Meatus superior merupakan
muara dari sinus spenoidalis.1Rongga hidung merupakan saluran respiratori
primer pada saat bernapas. Saat bernapas dengan menggunakan pernapasan
hidung, terdapat tahanan sebesar lebih dari 50%, dari seluruh tahanan pada
saluran respiratori. Tahanan tersebut dua kali lipat lebih banyak bila
dibandingkan dengan pernapasan mulut.1

2
2. Faring
Faring memiliki 3 bagian yang terdiri dari nasofaring yaitu bagian yang
langsung berhubungan dengan rongga hidung. Kemudian dilanjutkan dengan
orofaring dan terakhir adalah laringofaring.1
Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas,
belakang dan lateral, yang secara anatomi termasuk bagian faring. Ke anterior
berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi belakang septum
nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbu,
sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan ruang retrofaring,
fasia pre vertebralis dan otot-otot dinding faring. Pada dinding lateral
nasofaring terdapat orifisium tuba eustachius. Atap nasofaring dibentuk dari
basis sphenoid dan dapat dijumpai sisa jaringan embrionik yang disebut
sebagai kantung ranchke. Diantara atap nasofaring dan dinding posterior
terdapat jaringan limfoid yang disebut adenoid.1
Orofaring yang merupakan bagian kedua faring, setelah nasofaring,
dipisahkan oleh otot membranosa dari palatum lunak. Yang termasuk bagian
orofaring adalah dasar lidah (1/3 posterior lidah), valekula, palaturn, uvula,
dinding lateral faring termasuk tonsil palatina serta dinding posterior faring.
Laringofaring merupakan bagian faring yang dimulai dari lipatan
faringoepiglotika kearah posterior, inferior terhadap esofagus segmen atas.1

3
3. Laring
Laring terletak setinggi servikal ke-6, berperan pada proses fonasi dan
sebagai kerap untuk melindungi saluran respiratori bawah. Organ ini terdiri
dari tulang dan kumpulan tulang rawan yang disatukan oleh ligamen dan
ditutupi oleh otot dan membran mukosa.1
Epiglotis merupakan tulang rawan yang berbentuk seperti lembaran, yang
melekat pada dasar lidah dan tulang rawan tiroid. Tiroid merupakan struktur
tulang rawan yang terbesar pada laring, yang membentuk jakun (Adam’s
apple). tiroid terdiri dari 2 sayap atau alae yang bergabung pada garis tengah
anterior dan meluas kearah belakang. Pada bagian depan terdapat tonjolan
yang disebut thyroid notch. Pada bagian belakang terdapat 2 processus yaitu
processus superior dan inferior. Kartilago krikoid melekat pada daerah
posterior inferior. Pada bagian depan, kartilago krikoid disatukan oleh
membran krikokrikoid. Kartilago krokoid merupakan tulang rawan yang
berbentuk cincin penuh. Kartilago Aritenoid merupakan bagian dari laring
yang berperan pada pergerakan pita suara. Tulang rawan ini terletak

4
dibelakang kartilago tiroid dan merupakan tulang rawan paling bawah dari
laring. Di setiap sisi tulang rawan krikoid, terdapat ligamentum
krikoaritenoid, otot krikoaritenoid lateral dan otot krikoaritenoid posterior.1
Pada bagian dalam laring terdapat 2 lipatan yang menyatu pada bagian
depan serta memiliki mukosa yang bewarna merah. Lipatan ini disebut
sebagai pita suara palsu. Pada bagian bawah lipatan terdapat ruangan yang
disebut sebagai ventrikel. Bibir bawah ventrikel dibentuk oleh otot yang
disebut sebagai pita suara asli. Bagian anterior pita suara asli melekat pada
garis tengah sampai permukaan posterior karilago tiroid dan bagian posterior
pita suara melekat pada kartilago aritenoid. Pada bagian bawah pita suara
terdapat bagian tersempit dari laring yaitu celah subglotis yang membentang
pada membran krikotiroid.1

5
4. Trakea dan Bronkus
Trakea merupakan bagian dari saluran respiratori yang bentuknya
menyerupai pipa serta memanjang mulai dari bagian inferior laring, yaitu
setinggi servikal 6 sampai daerah percabangannya (bifurcatio) yaitu antara
torakal 5-7. Panjangnya sekitar 9-15 cm. Trakea terdiri dari 15-20 kartilago
hialin yang berbentuk menyerupai huruf C dengan bagian posterior yang
tertutup oleh otot. Bentuk tersebut dapat mencegah trakea untuk kolaps.
Adanya serat elastin longitudinal pada trakea, menyebabkan trakea dapat
melebar dan menyempit sesuai dengan irama pernapasan. Trakea
mengandung banyak reseptor yang sensitif terhadap stimulus mekanik dan
kimia. Otot trakea yang terletak pada bagian posterior mengandung reseptor
yang berperan pada regulasi kecepatan dan dalamnya pernapasan.
Trakea terbagi menjadi 2 bronkus utama, yaitu bronkus utama kanan dan
kiri. Bronkus utama kiri memiliki rongga yang lebih sempit dan lebih
horizontal bila dibandingkan dengan bronkus utama kiri. Hal tersebut
menyebabkan benda asing lebih mudah masuk ke paru kanan dari pada kiri.
Trakea dan bronkus terdiri dari tulang rawan dan dilapisi oleh epitel bersilia
yang mengandung mukus dan kelenjar serosa. Bronkus kemudian akan
bercabang menjadi bagian yang lebih kecil dan halus yaitu bronkiolus.
Bronkiolus dilapisi oleh epitel bersilian namun tidak mengandung kelenjar
serta dindingnya tidak mengandung jaringan tulang rawan.1

6
5. Alveolus
Bronkiolus berakhir pada struktur yang menyerupai kantung, yang
dikenal dengan nama alveolus. Alveolus terdiri dari lapisan epitel dan matriks
ekstraselular yang dikelilingi oleh pembuluh darah kapiler. Alveolus
mengandung 2 tipe sel utama, yaitu sel tipe 1 yang membentuk struktur
dinding alveolus dan sel tipe 2 yang menghasilkan sulfaktan. Alveolus
memiliki kecenderungan untuk kolaps karena ukurannya yang kecil,
bentuknya yang aferikal dan adanya tegangan permukaan. Namun hal tersebut
dapat dicegah dengan adanya fosfolipid, yang dikenal dengan nama surfaktan,
dan pori-pori pada dindingnya.1
Alveolus berdiameter 0,1 mm dengan ketebalan dinding 0,1 μm.
Pertukaran gas terjadi secara difusi pasif dengan bergantung pada gradient
konsentrasi. Setiap paru mengandung lebih dari 300 juta alveolus. Setiap
alveolus dikelilingi oleh sebuah pembuluh darah.1

7
8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi


jalan nafas kronik. Asma ditandai dengan riwayat gejala saluran pernapasan
seperti wheezing, dispneu, dada terasa berat, dan batuk yang bervariasi diantara
waktu dan intensitas, berasal dari hambatan jalan nafas ekspirasi yang bervariasi.
Variasi yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor misalnya olahraga, papatan
alergen atau iritan, perubahan cuaca, atau infeksi viral pernapasan.2
Asma adalah keadaan inflamasi kronik dengan penyempitan saluran
pernafasan yang reversibel. Tanda karakteristik berupa episode wheezing
berulang, sering disertai batuk yang menunjukkan respon terhadap obat
bronkodilator dan anti inflamasi.8Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya
dapat tenang tanpa gejala atau tidak mengganggu aktivitas tetapi dapat eksaserbasi
dengan gejala ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian.5

2.2 Epidemiologi

Asma telah menjadi masalah kesehatan yang serius didunia. Hal ini
disebabkan karena jumlahnya yang terus meningkat diberbagai negara,
pengobatannya yang mahal dan tingkat kematian yang tinggi. Pada saat ini
diperkirakan jumlah penderita asma yaitu kira-kira sebanyak 300 juta orang
diseluruh dunia.2

Penyakit asma di Indonesia termasuk dalam sepuluh besar penyakit


penyebab kesakitan dan kematian. Angka kejadian asma tertinggi dari hasil survey
Riskesdas di tahun 2013 mencapai 4.5% dengan penderita terbanyak adalah
perempuan yaitu 4.6 % dan laki-laki sebanyak 4.4% (Kemenkes RI, 2014). 10 Asma
dapat timbul pada segala umur, 30% penderita bergejala pada umur 1 tahun,
sedang 80-90% anak asma mempunyai gejala pertamanya sebelum umur 4-5
tahun. 4

9
2.3 Faktor Risiko

Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian


asma, berat ringannya penyakit, serta kematian akibat penyakit asma. Faktor-
taktot tersebut antara lain adalah jenis kelamin, usia, sosio-ekonomi, alergen,
infeksi, atopi, lingkungan, dan lain-lain.1

2.3.1 Jenis Kelamin

Menurut laporan dan beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalens


asma pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali lipat anak
perempuan. Namun, dari benua Amerika dilaporkan bahwa belakangan ini ndak
ada perbedaan prevalens asma antara anak laki-laki (51,1 per 1000) dan
perempuan (56.2 per 1000). Pada orang dewasa, rasio ini berubah menjadi
sebanding antara laki-laki dan perempuan pada usia 10 tahun.1

2.3.2 Usia

Umumnya, pada kebanyakan kasus asma persisten, gejala seperti asma


pertama kali timbul pada usia muda, yaitu pada beberapa tahun pertama
kehidupan. Dari Melbourne (Australia), dilaporkan bahwa 25% anak dengan asma
persisten mendapat serangan mengi pada usia < 6 bulan, dan 75% mendapat
serangan mengi pertama sebelum usia 5 tahun. Hanya 5% anak dengan asma
persisten terbebas dari gejala asma pada usia 28-55 tahun, 60% tetap
menunjukkan gejala seperti saat anak-anak, dan sisanya masih sering mendapat
serangan meskipun lebih ringan daripada saat masa kanak. 1

2.3.3 Riwayat Atopi

Adanya atopi berhubungan dengan meningkatnya risiko asma persisten


dan beratnya asma. Menurut laporan dari Inggris, pada anak usia 16 tahun dengan
riwayat asma atau mengi, akan terjadi serangan mengi dua kali lipat lebih banyak.
Terdapat juga laporan bahwa anak dengan mengi persisten dalam kurun waktu 6
tahun pertama kehidupan mempunyai kadar IgE lebih tinggi daripada anak yang
tidak pernah mengalami mengi pada usia 9 bulan. Beberapa laporan menunjukkan

10
bahwa sensitisasi alergi terhadap alergen inhalan, susu, telur, atau kacang pada
tahun pertama kehidupan, merupakan prediktor timbulnya asma. 1

2.3.4 Lingkungan

Adanya alergen di lingkungan hidup anak meningkatkan risiko penyakit


asma. Alergen yang sering mencetuskan penyakit asma antara iain adalah serpihan
kulit binatang piaraan, tungau debu rumah, jamur, dan kecoa. 1

2.3.5 Ras

Menurut laporan dari Amerika Serikat didapatkan bahwa prevalens asma


dan kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit putih.
Tingginya prevalens tersebut tidak dipengaruhi oleh pendapatan maupun
pendidikan. 1

2.3.6 Asap Rokok

Prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada
anak yang tidak terpajan asap rokok. Risiko terhadap asap rokok sudah dimulai
sejak janin dalam kandungan, umumnya berlangsuing terus setelah anak
dilahirkan, dan menyebabkan meningkatnya risiko. Pada anak yang terpajan asap
rokok, kejadian eksaserbasi lebih tinggi, anak lebih sering tidak masuk sekolah,
dan umumnya fungsi faal parunya lebih buruk daripada anak yang tidak terpajan. 1

2.3.7 Outdoor air pollution

Beberapa partikel halus di udara seperti debu jalan raya, nitrat dioksida,
karbon monoksida, atau S02, diduga berperan pada penyakit asma, meningkatkan
gejala asma, tetapi belum didapatkan bukti yang disepakati.1

2.3.8 Infeksi respiratorik

Beberapa penelitian mendapatkan adanya hubungan terbalik antara atopi


(termasuk asma) dengan infeksi respiratorik. Sebenarnya hubungan antara infeksi
respiratorik dengan prevalens asma masih merupakan kontroversi. Namun, hal ini

11
tidak berlaku pada infeksi respiratory syncytial virus (RSV) di usia dini yang
mengakibatkan infeksi saluran pernapasan bawah. Infeksi RSV merupakan taktor
risiko yang bermakna untuk terjadinya mengi di usia 6 tahun. 1

2.4 Patogenesis

Hingga saat ini, konsep patogenesis asma terus berkembang (evolving


concept). Dahulu asma dianggap semata-mata karena bronkospasme yang disertai
hipersekresi lendir dan edema dinding bronkus sehingga menyebabkan obstruksi.
Akan tetapi, pada tahun 1960, diperkenalkan konsep hiperreaktivitas bronkus
pada patogenesis asma.1

Global Imtiative for Asthma (GINA) dengan jelas menggambarkan konsep


inflamasi kronis dalam definisinya tentang asma. Konsep tersebut menyatakan
bahwa asma adalah suatu proses inflamasi kronis yang khas, melibatkan dinding
saluran respiratorik, dan menyebabkan terbatasnya aliran udara serta
meningkatnya reaktivitas saluran respiratori.1

Hiperreaktivitas ini merupakan predisposisi terjadinya penyempitan


saluran respiratori sebagai respons terhadap berbagai macam rangsang. Pencetus
serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus,
iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma
tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat. Alergen akan
terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast
tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti histamin,
protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF
yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan
vasodilatasi.1,4

Sejalan dengan proses inflamasi kronis, perlukaan epitel bronkus


merangsang proses reparasi/perbaikan saluran respiratori yang menghasilkan
perubahan struktural dan fungsional yang menyimpang pada saluran respiratori.

12
Perubahan ini dikenal dengan istilah remodeling saluran respiratori (airway
remodeling; AR). Tidak ada keraguan bahwa faktor genetik memegang peranan
penting dalam etiologi, patogenesis dan tatalaksana asma. Asma merupakan
"complex genetic disorders" yang dipengaruhi oleh banyak gen, sehingga tidak
mengikuti pola pewarisan Mendelian. 1

Konsep Epithelial-Mesenchymal Trophic Unit (EMTU) diperkenalkan


oleh Holgate, yaitu epitel saluran respiratori dan jaringan mesenkim di bawahnya
yang bertindak sebagai "trophic unit" yang saling berkomunikasi. Selama
embriogenesis, EMTU berperan dalam remodeling fisiologis saluran respiratorik
untuk meregulasi pertumbuhan dan percabangan saluran respiratorik. Caranya
adalah dengan mengatur keseimbangan epithelial growth factor (EGF), fibroblast
growth factor (FGF), dan transforming growth factor β (TGF-β).1

Komunikasi antar sel dalam EMTU, dan interaksinya dengan Th2 sitokin
proinflamasi dalam patogenesis asma berproses dalam tiga tahap, dengan hasil
akhirnya adalah inflamasi dan AR yang berfungsi secara paralel. Tahap pertama
(inisiasi) dimulai dengan adanya kepekaan epitel bronkus terhadap inhalan
lingkungan. Pada keadaan normal, epitel melepas zat-zat yang menekan sel-sel
mesenkim seperti PGE2 dan 25-hydroxyeicotetraenoic acid (25-HETE). Pada
asma, epitel yang rusak atau cedera mengalami penurunan PGE2 dan HETE. Hal
ini mengakibatkan aktivasi fibroblas dan miofibroblas di bawah lapisan epitel.
Aktivasi tersebut diatut oleh faktor-faktor pertumbuhan yang dilepas oleh epitel
(tahap propagasi).1

Pada tahap amplifikasi, aktivasi miofibroblas akan melepaskan growth


factor (GF) yang menyebabkan proliferasi miofibroblas dan ASM serta deposisi
ECM dengan hasil akhir terjadinya AR. Aktivasi miofibroblas juga menyebabkan
pelepasan sitokin dan kemokin yang menyebabkan inflamasi saluran respiratori.
Pada setiap tahap inisiasi, propagasi, dan amplifikasi dalam EMTU, terjadi juga
proses inflamasi yang diatur oleh limfosit T. Sitokin yang dihasilkan (tetutama IL-

13
4 Jan 1L-13) akan berinteraksi dengan EMTU dan memperberat proses
remodeling. Secara keseluruhan. EMTU yang teraktivasi dan interaksinya dengan
sitokin Th2 akan menyebabkan inflamasi dan AR yang prosesnya berlangsung
parallel.1

Gambar 1. Komunikasi sel-ke-sel dalam EMTU, model paralel untuk patogenesis


asma.4

14
Gambar 2. Perubahan struktur pada airway remodeling dan konsekuensi klinis

2.5 Patofisiologi

1. Obstruksi saluran respiratori


Hal ini diyakini merupakan hal yang mendasari terjadinya gangguan
fungsi pada penyakit asma yang mengakibatkan keterbatasan aliran udara yang
bersifat reversible. Perubahan fungsional ini dihubungkan dengan gejala khas
pada asma (seperti batuk, sesak dan mengi). Batuk kemungkinan besar terjadi
akibat rangsangan pada saraf sensorik saluran respiratori mediator inflamasi.
Dapat juga mempengaruhi persepsi sesak napas melalui pengaruhnya terhadap
saraf aferen rangsangan saraf aferen pada keadaan hiperkapnea atau hipoksemia
misalnya , akan merangsang timbulnya hiperventilasi alveolar dan kerusakan
lainya akibat serangan asma akut.1
Penyempitan saluran napas yang terjadi pada pasien asma dapat
disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos
bronkial yang diprovokasi mediator agonist yang dikeluarkan sel inflamasi.
Mediator tersebut antara lain; histamin, triptase, prostaglandin b2, dan leukotrien
c4 yang dikeluarkan oleh sel mast; neuropeptidase yang dikeluarkan saraf aferen

15
local dan asetil kholin yang berasal dari saraf aferen post gangglionik. Akibat
yang ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran napas (yang diperberat juga
oleh penebalan saluran napas yang berhubungan dengan edema akut, filtrasi sel,
dan remodeling) adalah hyperplasia kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta
terjadi deposisi matrix pada dinding saluran napas Namun, keterbatasan aliran
udara pernapasan dapat juga timbul pada keadaan dimana saluran napas dipenuhi
oleh secret yang banyak, tebal, dan lengket (yang diproduksi oleh sel goblet dan
kelenjar submucosa), pengendapan protein plasma yang keluar dari
mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler.1

2. Hiperreaktivitas saluran respiratori


Asma hampir selalu berhubungan dengan mudahnya saluran napas
mengalami penyempitan dan atau respon yang berlebihan terhadap provokasi
stimulus. Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap reaktivitas yang
berlebihan ini sampai saat ini tidak diketahui, namun dapat berhubungan dengan
perubahan otot polos saluran napas yang terjadi sekunder serta berpengaruh
terhadap kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai tambahan, inflamasi pada
dinding saluran napas, khususnya pada region peribronkial, cenderung
memperparah penyempitan saluran napas yang terjadi akibat kontraksi otot polos
tersebut.1

16
Gambar 3. Hiperresponsif saluran respiratorik1

3. Otot polos saluran respiratori


Beberapa pengukuran yang dilakukan terhadap kontraksi isotonik otot
polos saluran napas pasien asma menunjukkan adanya pemendekan dari panjang
otot. Kelainan fungsi kontraksi ini diakibatkan oleh perubahan pada apparatus
kontraktil pada bagian elastisitas jaringan otot polos atau pada matrix
extraselulernya. Peningkatan kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan
dengan peningkatan kecepatan, pemendekan otot. Proses ini disertai dengan
pertumbuhan otot dan atau perubahan pada fenotip sel otot polos yang diakibatkan
oleh interaksi dengan inflamasi saluran napas. Sebagai tambahan, terdapat bukti
bahwa perubahan pada struktur filamen kontraktilitas atau elastisitas dari sel otot
polos dapat menjadi etiologi hyperreaktifitas saluran napas yang terjadi secara
kronik. Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase dan
protein kationik eusinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot polos untuk
berkontraksi, sama seperti mediator inflamasi lainnya seperti histamin. 1

4. Hipersekresi mucus
Sekresi mucus pada saluran napas pasien asma tidak hanya berupa
peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitasnya.
Perbedaan kualitas dan kuantitas dapat timbul baik akibat infiltrasi sel inflamasi
maupun terjadi perubahan patologi sel sekretori, pembuluh darah epitel saluran
napas dan lapisan sub mukosa. Penebalan dan perlengketan dari secret tidak hanya
sekedar penambahan produksi musin saja tetapi juga terdapatnya penumpukan sel
epitel, pengendapan albumin yang berasal dari mikrovaskularisasi bronkial,
eusinofil dan DNA yang berasal dari sel inflamasi yang mengalami lisis.1
Hipersekresi mucus pada pasien asma merefleksikan dua mekanisme
patofisiologi yaitu mekanisme yang bertanggung jawab terhadap sekresi sel yang
mengalami metaplasia dan hyperplasia dan mekanisme patofisiologi yang
bertanggung jawab hingga terjadi sekresi sel granulasi. Mediator penting yang
dikeluarkan oleh sel goblet, yang mengalami metaplasia dan hiperplasi,
merupakan bagian dari rantai inflamasi. Degranulasi sel goblet yang dicetuskan

17
oleh stimulus lingkungan (seperti asap rokok, sulfur dioksida, klorin dan
ammonia), diperkirakan terjadi karena adanya pelepasan neuropeptidase local atau
aktivitas jalur reflex kolinergis. Kemungkinan besar yang lebih penting adalah
degranulasi yang diprovokasi oleh mediator inflamasi, dengan aktivitas
perangsang, seperti neutrophil elastase, kimase sel mast, leukotriene, histamine,
produk netrofil non protease.1

2.6 Manifestasi Klinis dan Diagnosis

Penelitian oleh Castro Rodriguez dkk. (2000) mengemukakan 2 (dua)


indeks klinis untuk menggolongkan anak dengan risiko asma pada usia sekolah,
yaitu stringent index dan loose index. Stringent index adalah jika seorang anak
merupakan early frequent wheezer pada 3 tahun pertama kehidupan dan
memenuhi paling sedikit 1 dari 2 kriteria mayor atau 2 dari 3 kriteria minor. Loose
index adalah jika seorang anak merupakan early wheezer pada 3 tahun pertama
kehidupan dan memenuhi paling sedikit 1 dari 2 kriteria mayor atau 2 dari 3
kriteria minor.1

Tabel 1. Loose index.1

Kriteria Mayor Kriteria Minor


1 Asma pada orang tua (didiagnosis oleh 1. Rhinitis alergi yang didiagnosis oleh
. dokter) dokter
2 Eksema pada anak (didiagnosis oleh 2. Mengi diluar selesma (common cold)
. dokter) 3. Eosinofilia (≥ 4 % dari jumlah leukosit)

Berdasarkan International consensus on pediatric asthma (ICON) adanya


episode wheezing yang berulang pada anak merupakan salah satu poin awal dalam
diagnosis asma pada anak. Jumlah dari episode yang berulang tidak spesifik,
walaupun jumlah minimal adalah >3 episode wheezing. Gejala klinis yang tipikal
juga penting dalam penegakkan diagnosis yaitu adanya episode batuk yang
berulang, mengi, sesak nafas, rasa dada tertekan, batuk, dicetuskan dari
beberbagai macam stimulus bahan bahan iritan (asap rokok), alergen (pollens),

18
infeksi saluran pernafasan, olahraga, menangis atau tertawa, khususnya pada
malam atau dini hari. Adanya riwayat atopi (rhinitis alergi atau alergi terhadap
makanan) dan riwayat keluarga yang memiliki riwayat asma yang memperkuat
diagnosis.6

Perjalanan penyakit asma dapat menunjukkan berbagai macam manifestasi


klinis yang tidak spesifik dan heterogen, baik di antara beberapa individu maupun
pada individu yang sama. Berarti, terdapat berbagai fenotip seperti asma (asthma-
like phenotypes) pada berbagai usia yang mungkin dapat menerangkan perubahan
klinis khas asma selama usia anak. Karena keadaan tersebut, seringkah terjadi
underdiagnosis atau bahkan overdiagnosis dengan konsekuensi terjadinya
undertreatment atau overtreatment dalam penatalaksanaan.1

Batuk merupakan gejala yang biasa menyertai infeksi saluran nafas atas
oleh virus. Walaupun beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi
batuk lebih sering dari biasanya, hubungan antara batuk yang sering tersebut
dengan asma masih diperdebatkan.1

Diagram 1. Alur diagnosis asma pada anak.1

19
2.7 Klasifikasi

GINA 2006 asma diklasifikasikan berdasarkan etiologi, derajat penyakit

20
asma, serta pola obstruksi aliran udara di saluran napas. GINA membagi asma
menjadi 4 klasifikasi yaitu asma intermiten, asma persisten ringan, asma persisten
sedang, dan asma persisten berat. Berbeda dengan GINA, PNAA membagi asma
menjadi 3 yaitu asma episodik ringan, asma episodik sedang, dan asma persisten.
Dasar pembagian ini karena pada asma anak kejadian episodik lebih sering
dibanding persisten. Dasar pembagian atau klasifikasi asma pada anak adalah
frekuensi serangan, lamanya serangan, aktivitas diluar serangan dan beberapa
pemeriksaan penunjang.1,7

Tabel 2. Klasifikasi Derajat Penyakit Asma pada Anak berdasarkan


PNAA.1

Asma episodik Asma episodik


Asma persisten
jarang sering
Frekuensi serangan < 1 x/ bulan ≥ 1 x/ bulan Sering

Lama serangan < 1 minggu > 1 minggu Hampir sepanjang


tahun, hampir tidak
ada remisi

Intensitas serangan Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat

Di antara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
malam

Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu

Pemeriksaan fisik Normal (tidak Mungkin terganggu Tidak pernah normal


diluar serangan ditemukan kelainan) (ditemukan
kelainan)

Obat pengendali Tidak perlu Perlu, steroid Perlu, steroid


anti inflamasi

Uji faal Paru PEF/FEV1 PEF/FEV1 PEF/FEV1


>80% 60-80% <60% variabilitas
20-30%

21
Variabilitas faal Variabilitas > 15% Variabilitas > 30% Variabilitas >50%
paru

Tabel 3. Klasifikasi Derajat Serangan Asma.1,7

Parameter Ringan Sedang Berat


klinis, fungsi Tanpa ancaman Dengan

paru, henti nafas ancaman henti

laboratorium nafas
Sesak Berjalan, bayi: Berbicara, Istirahat
menangis keras Bayi: tangis Bayi: tidak mau
pendek dan minum/ makan
lemah, kesulitan
menyusu atau
makan
Posisi Bisa berbaring Lebih suka Duduk
duduk bertopang
lengan
Bicara kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya Kebingungan
irritable irritable irritable
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Mengi Sedang, sering Nyaring, Sangat nyaring, Sulit/tidak
hanya pada sepanjang terdengan tanpa terdengar
akhir ekspirasi ekspirasi ± stetoskop
nspirasi sepanjang
ekspirasi dan
inspirasi
Penggunaan Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan
otot bantu paradox torako-
respiratorik abdominal
Retraksi Dangkal, Sedang Dalam, Dangkal/ hilang
retraksi ditambah ditambah nafas
interkostal retraksi cuping hidung

22
suprasternal
Frekuensi Takipnea Takipnea Takipnea Bradipnea
nafas
Pedoman nilai baku laju napas pada anak sadar:
Usia frekuensi nafas normal
< 2 bulan <60 x/ menit
2-12 bulan <50 x/ menit
1-5 tahun <40 x/menit
6-8 tahun <30 x/menit
Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi
Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak
Usia laju nadi normal
2-12 bulan <160 x/menit
1-2 tahun <120 x/menit
3-8 tahun <110 x/ menit
Pulsus Tidak ada Ada Ada Tidak ada, tanda
paradoksus <10 mmHg 10-20 mmHg >20 mmHg kelelahan otot
nafas
PEFR atau
FEV1 (% nilai
prediksi
terbaik) >60% 40-60% <40%
Pra- >80 % 60-80% <60 %, respon
bonkodilator < 2 jam
Pasca-
brokodilator
Sa O2 >95% 91-95% ≤ 90%
Pa O2 Normal >60 mmHg <60 mmHg
(biasanya tidak
perlu diperiksa)
Pa CO2 < 45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg
2.8 Pemeriksaan Penunjang

Pengukuran objektif terhadap fungsi paru (spirometry) dapat membantu

23
menegakkan diagnosis dan tatalaksana asma. Spirometry digunakan untuk
memonitor respon terhadap pengobatan, menilai derajat reversibilitas dengan
intervensi pengobatan yang diberikan, dan mengukur beratnya eksaserbasi asma.
Biasanya anak yang berusia diatas 5 tahun dapat dilakukan hal ini. Tetapi pada
anak dibawah 5 tahun dengan pemberian terapi dapat membantu dalam
mendiagnosis asma.3

Pemeriksaan terhadap airway hyperresponsive dan inflamasi jalan nafas


dapat dilakukan dengan memprovokasi dengan mengunakan inhalan berupa
methacholine, histamine, manitol, salin hipertonik atau udara dingin sudah banyak
dilakukan pada orang dewasa untuk menegakkan diagnosis asma. Penggunaan
metode pada anak tidak terlalu akurat, karena dosis inhalan tidak disesuaikan
dengan besarnya pasien. Olahraga juga dapat menjadi salah satu pemeriksaan
pada airway hyperresponsive, akan tetapi standar dari pemeriksaan ini masih
belum jelas untuk anak di setiap usia. Sehingga metode pemeriksaan tersebut
lebih banyak dilakukan untuk penelitian daripada untuk praktis klinis. 6

Menurut hasil penelitan dengan pengukuran Fractional exhaled nitric


oxide (FENO), dapat sangat membantu dalam diagnosis. Interpretasi dari FENO
dapat mendeteksi adanya inflamasi jalan napas yang disebabkan oleh eosinophil,
dan sebagai pertimbangan untuk pemberian kortikosteroid, memantau inflamasi
jalan napas sebagai hasil dari terapi kortikosteroid. Akan tetapi, FENO masih
tidak tersedia pada banyak negara. 6

Pemeriksaan sputum untuk eosinophil walaupun menjanjikan, namun


masih tidak dapat digunakan sebagai parameter yang cukup membantu sehingga
saat ini tidak di rekomendasikan untuk diagnosis atau pemantauan asma pada
anak.6

Penilaian status atopi pada anak harus di evaluasi pada saat muncul suatu
kecurigaan pada anak dengan kemungkinan asma. Mengidentifikasikan alergen
spesifik dapat membantu diagnosis asma, mengetahui faktor pencetusnya dan

24
dapat memberikan prognosis pada asma. Baik pemeriksaan in vivo (skin prick
test) dan in vitro (specific IgE antibodi) dapat dilakukan, dengan pertimbangan
pada pelaksanaan, biaya, akurasi dan parameter lainnya.6

2.9 Diagnosis Banding

Menurut WHO Diagnosis banding dari Asma dilihat dari segi adanya
wheezing adalah pada table dibawah ini :

Tabel 5. Diagnosis banding anak dengan wheezing8

2.10 Penatalaksanaan

Tabel 6. Perkiraan keparahan eksaserbasi akut asma pada anak.6

25
2.10.1 Tahapan tatalaksana serangan asma

GINA membagi tatalaksan serangan asma menjadi dua, yaitu tatalaksana


di rumah dan di Rumah Sakit. Tatalksan dirumah dilakukan oleh pasien atau orang
tuanya sendiri dirumah. Pada panduan pengobatan di rumah, disebutkan bahwa
terapi awal adalah inhalasi β-agonis kerja cepat sebanyak 2 kali dengan selang
waktu 20 menit. Bila belum ada perbaikan harus segera mencari pertolongan ke
dokter atau sarana kesehatan.1

Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan ke Unit Gawat Darurat
(UGD) langsung dinilai serangannya. Tatalaksana awal terhadap pasien adalah
pemberian β2-agonis kerja cepat dengan penambahan garam fisiologis secara
nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dua kali dengan selang waktu 20
menit. Pada pemberian ketiga, dapat ditambahkan antikolinergik. Tatalaksana
awal ini sekaligus sebagai penapis, yaitu untuk penentuan derajat serangan, karena
penilaian derajat secara klinis tidak dapat selalu dilakukan dengan cepat dan
jelas.1

2.10.1.1 Serangan asma ringan

Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang baik


berarti derajat serangannya ringan. Pasien diobservasi selama 1-2 jam, jika
respons tersebut bertahan, pasien dapat dipulangkan. Pasien dibekali obat β-
agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam. Jika penyebab serangannya

26
adalah infeksi virus dapat diberikan steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Pasien
kemudian dianjurkan untuk kontrol ke poliklinik dalam waktu 24-48 jam untuk
reevaluasi tatalaksana. Apabila sebelum serangan pasien telah mendapatkan obat
pengendali, obat tersebut diteruskan hingga re-evaluasi dilakukan di klinik rawat
jalan. Namun, jika setelah diobservasi 2 jam gejala timbul kembali, pasien
merupakan asma sedang.1

2. 10.1.2 Serangan asma sedang

Jika dengan pemberian nebulisasi dua kali pasien hanya menunjukkan


respons parsial, kemungkinan derajat serangannya sedang. Untuk itu, derajat
serangan harus dinilai ulang sesuai dengan pedoman. Jika serangannya memang
termasuk serangan sedang, inhalasi langsung dengan β2-agonis dan ipratropium
bromide (antikolinergik), pasien perlu dilakukan observasi dan ditangani diruang
rawat sehari (RRS). Pada serangan asma sedag dapat diberikan kortikosteroid oral
metilprednisolon dengan dosis 0,5-1mg/kgBB/hari selama 3-5 hari.1

Pada ruang rawat sehari pemberian oksigen sejak di UGD dilanjutkan.


Setelah UGD menjalani nebulisasi 2 kali dalam 1 jam dengan respons parsial, di
ruang rawat dieteruskan pemberian nebulisasi β-agonis + antikolinergik bila perlu
setiap 2 jam. Kemudian, diberikan steroid sistemik oral (metilprednisolon,
prednisone, atau triamsinolon). Pemberian kortikosteroid dilanjutkan sampai 3-5
hari. Jika dalam 8-12 jam keadaan klinis pasien tetap baik, pasien dapat
dipulangkan dan dibekali obat seperti pasien serangan ringan yang dibulangkan
dari klinik/IGD. Bila dalam 12 jam responsnya tetap tidak baik, pasien dialih di
rawat ke ruang rawat inap dengan indikasi asma berat.1

2.10.1.3 Serangan asma berat

Apabila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan


respons (poor response), yaitu, gejala dan tanda serangan masih ada, pasien harus
dirawat di ruang rawat inap. Bila pasien diduga/diperkirakan serangan berat maka
langsung diberikan nebulisasi dengan β2-agonis dan antikolinergik. Oksigen
4L/menit diberikan sejal awal termasuk saat nebulisasi. Kemudian dipasang jalur

27
parenteral dan dilakukan foto toraks.

Di ruang rawat inap:

- pemberian oksigen diteruskan

- Jika pasien menunjukan adanya dehidrasi dan asidosis, atasi dehidrasi


dengan pemberian carian intravena dan lakukan koreksi terhadap asidosis.

- Steroid intravena diberikan secara bolus tiap 6-8 jam dengan dosis 0,5-1
mg/kgBB/ hari.

- Nebulisasi β2-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2


jam. Jika dengan 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak
pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.

- Aminofilin diberikan secara intravena dengan ketentuan,

- Jika pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberikan aminofilin


dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrosa atau
garam fisiologis sebanyak 20ml, diberikan dalam 20-30 menit.

- Apabila pasien telah mendapat aminofilin sebelumnya (kurang dari 4 jam),


dosis yang diberikan adalah setengah dosis inisial.

- Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan dipertahankan sebesar


10-20μg/ml.

- Empat jam kemudian diberikan aminofilin dosis rumatan sebesar 0,5-1


mg/kgBB/jam.

- Jika telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam,


sampai dengan 24 jam. Steroid dan aminofilin digantin dengan pemberian
peroral.

- Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan
dibekali obat β-agonis yang diberikan 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain

28
itu, steroid oral dilanjutkan hingga psien kontrol ke klinik rawat jalan
dalam 24-48 jam untuk re-evaluasi tatalaksana.1

2.10.1.4 Serangan asma sangat berat ancaman henti napas.

- Bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas pasien
harus langsung dirawat diruang rawat intensif. Pada pasien dengan
serangan berat dan ancaman henti napas, foto thorax harus langsung dibuat
untuk mendeteksi komplikasi pneumothoraks dan atau
penumomediastinum. Kriteria pasien yang memerlukan perawatan di ICU
adalah:

- Tidak ada respons sama sekali terhadap tatalaksana awal di UGD dan/atau
perburukan serangan asma yang cepat.

- Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman henti napas,


atau hilangnya kesadaran.

- Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana baku di ruang rawat inap.

- Ancaman henti napas: Hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diber


oksigen (kadar PaO2 <60mmHg dan/atau PaCO2 >45mmHg, walaupun
tentu saja gagal napas dapat terjadi pada kadar PaCO 2 yang lebih tinggi
atau lebih rendah).

- Adanya penurunan kesadan dan tanda lain ancaman henti napas. Tidak
adanya perbaikan di ruang rawat inap.

Pasien dengan serangan berat yang terindikasi menggunakan


ventilasi mekanis adalah sebagai berikut:

- Penurunan pulsus paradoksus yang cepat meningkat

- Penurunan pulsus paradoksus pada pasien yang kelelahan

- Perburukan status mental (latergi/agitasi)

29
- Aritmia jantung atau henti jantung

- Henti napas

- Tidak bisa bicara

- Asidosis laktat yang tidak bisa membaik

- Diaphoresis pada posisi berbaring

- Silient chest walaupun sudah terjadi usaha napas yang hebat.

- Sedangkan indikasi relatif:

- Hipoksemia (PaO2 <60mgHg) tidak membaik dengan oksigen 100%, serta

- PaCO2 >60mgHg dan meningkat lebih dari 5 mmHg/jam.1

2.10.2 Tatalaksana jangka panjang asma pada anak

2.10.2.1 Asma Episodik Jarang

Asma episodik jarang cukup diobati dengan bronkodilator beta-agonis


hirupan kerja pendek bila perlu saja, yaitu jika ada gejala/serangan. Pemakaian
obat inhalan (metered dose inhaler) memerlukan pelatihan yang benar (untuk anak
besar), dan membutuhkan alat bantu (untuk anak kecil/bayi). Bila obat hirupan
tidak ada/tidak dapat digunakan, maka β-agonis diberikan per oral. Penggunaan
teofilin sebagai bronkodilator semakin kurang berperan dalam tatalaksana asma
karena batas keamanannya sempit. Namun mengingat di Indonesia obat β-agonis
oralpun tidak selalu ada maka dapat digunakan teofilin dengan memperhatikan
kemungkinan timbulnya efek samping. Di samping itu penggunaan β-agonis oral
tunggal dengan dosis besar seringkali menimbulkan efek samping berupa
palpitasi, dan hal ini dapat dikurangi dengan mengurangi dosisnya serta
dikombinasikan dengan teofilin.1,5

Konsensus Internasional III dan juga pedoman Nasional Asma Anak tidak

30
menganjurkan pemberian anti inflamasi sebagai obat pengendali untuk asma
episodik ringan. Hal ini juga sesuai dengan GINA yang belum perlu memberikan
obat untuk mengontrol pada Asma Intermiten, dan baru memberikannya pada
Asma Persisten Ringan (derajat 2 dari 4) berupa anti-inflamasi yaitu steroid
inhalan dosis rendah, atau kromoglikat inhalan. Jika dengan pemakaian β2-agonis
inhalan lebih dari 3x/minggu (tanpa menghitung penggunaan pra-aktivitas fisik)
atau serangn sedang/berat muncul >1x/bulan atau pengobatan yang diberikan
sudah adekuat dalam waktu 4-6 minggu, namun tidak menunjukkan respon yang
baik maka tatalaksananya berpindah ke asma episodik sering.1,3

2.10.2.2 Asma Episodik Sering

Jika penggunaan β2-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu (tanpa


menghitung penggunaan praaktivitas fisis) atau serangan sedang/berat terjadi
lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti-inflamasi sebagai
pengendali sudah terindikasi.Tahap pertama obat pengendali pada asma episodic
sering adalah pemberian steroid hirupan dosis rendah. Obat steroid hirupan yang
sudah sering digunakan pada anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai
standar. Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan 100-200 μg/hari
budesonid (50-100 uμ/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun,
dan 200-400 μg/hari budesonid (100-200 μg/hari flutikason) untuk anak berusia di
atas 12 tahun. Dalam penggunaan beklometason atau budesonid dengan dosis
100-200 μg/hari, atau setara flutikason 50-100 μg belum pernah dilaporkan
adanya efek samping jangka panjang. 1,3

Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi kronik, obat


pengendali berupa anti-inflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek
terapi. Oleh karena itu penilaian efek terapi dilakukan setelah 6-8 minggu, yaitu
waktu yang diperlukan untuk mengendalikan inflamasinya. Jika setelah
pengobatan selama 6-8 minggu dengan steroid hirupan dosis rendah tidak
menunjukkan respons (masih terdapat gejala asma atau atau gangguan tidur atau
aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu menaikkan dosis

31
steroid hirupan sampai dengan 400 ug/hari yang termasuk dalam tatalaksana
Asma Persisten. 1,3

Jika tatalaksana dalam suatu derajat penyakit asma sudah adekuat namun
responsnya tetap tidak baik dalam 6-8 minggu, maka derajat tatalaksanya
berpindah ke yang lebih berat (step-up). Sebaliknya jika asmanya terkendali
dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step-down).
Bila memungkinkan steroid hirupan dihentikan penggunaannya.1,3

Sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi pelaksanaan penghindaran


pencetus, cara penggunaan obat, faktor komorbid yang mempersulit pengendalian
asma seperti rintis dan sinusitis.dan dengan penatalaksanaan rinitis dan sinusitis
secara optimal dapat memperbaiki asma yang terjadi secara bersamaan.

2.10.2.3 Asma persisten

Pada penatalaksanaan asma persisten terdapat dua alternative yaitu dengan


menggunakan steroid hirupan dosis medium dengan memberikan budenoside 200-
400 μg/hari budesonid (100-200 μg/hari flutikason) untuk anak berusia kurang
dari 12 tahun, 400-600 μg/hari budesonid (200-300 μg/hari flutikason) untuk anak
berusia di atas 12 tahun. Selain itu, dapat digunakan alternatif pengganti dengan
menggunakan steroid hirupan dosis rendah ditambah dengan LABA (Long Acting
β-2 Agonist) atau ditambahkan Theophylline Slow Release (TSR) atau
ditambahkan Anti-Leukotriane Receptor (ALTR.).1

Apabila dengan pengobatan tersebut selama 6-8 minggu tetap terdapat


gejala asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga yaitu dapat meningkatkan
dosis kortikosteroid sampai dengan dosis tinggi pada pemberian >400 μg/hari
budesonid (>200 μg/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan
>600 μg/hari budesonid (>300 μg/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12
tahun atau tetap dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR, atau ALTR.
Penambahan LABA pada steroid hirupan telah banyak dibuktikan keberhasilannya
yaitu dapat memperbaiki FEVI, menurunkan gejala asmanya, dan memperbaiki
kualitas hidupnya.1

32
Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak karena
perbedaan kemampuan menggunanakan alat inhalasi. Demikian juga kemauan
anak perlu dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat
hirupan biasa (Metered Dose Inhaler). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan
berulang kali. Berikut tabel anjuran pemakaian alat inhalasi disesuakan dengan
usia. 1

Diagram 2. Alur Tata laksana jangka panjang asma anak

33
2.10.3 Non-medika mentosa

34
Pada penatalaksanaan asma adalah edukasi adalah hal yang paling
penting pada penderita maupun orangtuanya mengenai penyakit, pilihan
pengobatan, identifikasi dan penghindaran allergen, perngertian tentang
kegunaan obat yang dipakai, ketaatan dan pemantauan, dan yang paling
utama adalah menguasai cara penggunaan obat hirupan. Edukasi mengenal
5R yang penting untuk diketahui:9
 Reach agreement on goals
Sepakati tujuan penatalaksanaan: tailored treatment yang sederhana,
membuat prioritas, bertindak segera mengatasi kekambuhan. Buat rencana
penatalaksanaan di mana rencana tatalaksana harian dapat berupa diary
card yang memberikan panduan pada anak mengenai pemantauan dengan
PFM (Peak Flow Meter), penggunaan obat, dan laporan gejala. Rencana
tindakan kegawatan (emergency action plan) dapat membantu mengenali
serangan akut dan memberi petunjuk tindakan apa ynag harus dilakukan.
Semua rencana ini harus dibuat dan dibicarakan saat pertemuan awal
dengan anak dan orangtuanya, dan diberikan secara tertulis.
 Rehearse asthma management skills
Latih keterampilan pengelolaan asma: penggunaan obat-obatan, memantau
gejala, PFR, dan membuat keputusan. Pastikan pasien menguasai teknik
penggunaan alat inhalasi yang benar.
 Repeat messages
Ulang pesan yang penting beberapa kali guna menigkatkan pengertian
penderita dan keluarganya.
 Reinforce appropriate behavior
Memuji penatalaksanaan yang benar, memberi hadiah kecil, atau dengan
menghubungi dan mendiskusikan perkembangan penyakitnya. Sertakan
orang yang penting bagi anak untuk memberikan dukungan.
 Review results
Tinjau kembali penatalaksanaannya guna menilai tercapainya tujuan
penatalaksanaan.1

2.11 Preparat Terapi

2.11.1 Beta adrenergic kerja pendek (short acting)

35
Golongan obat ini terdiri dari epinefrin/adrenalin dan b2 agonis selektif.

 Epinefrin/adrenalin
Digunakan jika tidak terdapat obat b2-agonis selektif. Epinefrin terutama
diberikan jika ada reaksi anafilaksis atau angioudem. Obat ini dapat diberikan
secara subkutan atau dengan inhalasi aerosol. Pemberian subkutan adalah sebagai
berikut: larutan epinefrin 1:1000 (1mg/ml) dengan dosis 0,01 ml/kgbb
(maksimum 0,3 ml), dapat diberikan 3 kali dengan selang waktu 20 menit. 1

 β 2-agonis selektif
Obat yang sering dipakai adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol. Dosis
salbutamol oral adalah 0,1-0,15 mg/kgBB/kali diberikan setiap 6 jam, dosis
terbutalin oral adalah 0,05-0,1 mg/kgBB/kali diberikan setiap 6 jam. Pemberian
secara peroral akan memberikan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak
dalam 2-4 jam dan lama kerjanya adalah 5 jam. 1-3

Pemberian secara non-invasive (inhalasi) lebih disukai daripada pemebrian


subkutan/intravena karena dapat mengurangi rasa nyeri dan kegelisahan pasien.
Untuk serangan ringan dapat diberikan metered dosed inhaler (MDI) 2-4
semprotan tiap 3-4 jam, serangan sedang diberikan 6-10 semprotan tiap 1-2 jam
sedangkan serangan berat diberikan 10 semprotan. Pemberian MDI lebih dari 6
semprotan harus dibawah pengawasan dokter. 1

Salbutamol dapat diberikan dengan nebulizer dengan dosis 0,1-0,15


mg/kgBB (dosis maksimum 5 mg/kali), dengan interval 20 menit atau nebulisasi
secara kontiniu dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam).
Nebulisasi terbutalin dapat diberikan dengan dosis 2,5 mg atau 1
respules/nebulisasi. 1

Pemberian intravena dapat dipertimbangkan jika pasien tidak berespon


dengan nebulisasi β 2-agonis, kortikosteroid IV, dan teofilin serta ipratropium
bromide. Salbutamol iv dapat diberikan dengan dosis mulai dari 0,2
mcg/kgBB/menit dan dinaikkan 0,1mcg/kgBB setiap 15 menit dengan dosis

36
maksimal 4mcg/kgBB/menit. Terbutalin IV dapat diberikan dengan dosis
10mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan dengan 0,1-4
µg/kgBB/jam dengan infuse kontiniu. 1

2.11.2 Methyl xanthine (teofilin kerja cepat)

Untuk memperoleh fungsi paru yang baik, diperlukan konsentras


aminofilin dalam darah antara 5-15 μg/ml dan efek samping yang dapat terjadi
apabila kadar aminofilin dalam darah berada diatas 20 μgg. Pemberian aminofilin
intravena pada serangan berat/status asmatikus dipertimbangkan. Bila dengan
obat-obat standar diatas belum ada perbaikan, berikan loading dose 4-5 mg/kgBB,
diencerkan dengan NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan dalam waktu 10
menit, dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,7-0,9 mg/kgBB/jam atau 5-6
mg/kgBB/8jam. Efek samping yang sering dijumpai adalah iritasi lambung,
insomnia, palpitasi dan pada dosis yang berlebihan dapat terjadi konvulsi. 1

2.11.2 LABA (long acting β2-agonis)

Ada 2 preparat inhalasi yaitu salmeterol dan formoterol, dan 1 obat oral
yaitu procaterol. Tersedia kombinasi steroid hirupan dengan LABA, yaitu
kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol menjadi seretide, kombinasi
budesonide dan formoterol menjadi Symbicort. Seretide dalam MDI (Metered
Dosed Inhaler) sedangkan Symbicort dalam DPI(Dry Powder Inhaler). 1

2.11.3 Antikolinergik

Ipratropium bromide

Dosis yang dianjurkan adalah 0,1 ml/kgBB, nebulisasi setiap 4 jam. Dapat
juga diberikan dalam larutan 0,025% dengan dosis sebagai berikut: untuk anak
usia>6 tahun: 8-20 tetes; usia < 6 tahun: 4-10 tetes. Efek sampingnya adalah

37
kekeringan minimal atau rasa tidak enak di mulut (dosis oral 0,6-8mg/kgBB pada
orang dewasa) secara umum tidak ada efek samping yang berarti.1

2.11.4 Kortikosteroid

Preparat oral yang dipakai adalah prednisone, prednisolon atau


triamsinolon dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari diberikan 2-3 kali sehari selama 3-5
hari. Kortikosteroid IV diberikan pada kasus asma yang dirawat di rumah sakit.
Metilprednisolon merupakan pilihan yang utama karena memiliki kemampuan
penetrasi ke jaringan paru yang lebih baik, efek antiinflamasi yang lebih besar,
serta efek mineralokortikoid minimal. Dosis yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB,
diberikan tiap 4-6 jam. Deksametason diberikan secara bolus intravena, dengan
dosis 0,5-1 mg/kgBB, dilanjutkan 1 mg/kgBB/hari , diberikan setiap 6-8 jam. 1

2.12 Obat-obatan Lain


2.12.1 Magnesium Sulfat
Pemberian magnesium sulfat dianjurkan sebagai terapi sistemik pada
serangan asma berat yang dirawat di ICU, terutama pada yang tidak/atau kurang
berespon dengan pemberian kortikosteroid sistemik dan nebulisasi berulang
dengan B2 Agonist dan Aminofilin.
Dosis magnesium sulfat adalah 25-50mg/kgbb/IV diberikan selama 1 jam,
dan kadar magnesium sebaiknya diperiksa setiap 6 jam. Efek samping obat ini
adalah kelemahan otot, penurunan reflex tendon dalam, hipotensi, takikardi, dll.
Pada suatu penelitian melaporkanbahwa nebulisasi kombinasi salbutamol
dan magnesium sulfat isotonic menunjukkan hasil yang lebih baik daripada
kombinasi salbutamol dan saline normal.1

2.12.2 Mukolitik
Pada keadaan asma ringan dan sedang dapat diberikan tetapi harus berhati-
hati pada anak dengan reflex batuk yang tidak optimal. Inhalasi obat mukolitik
tidak menunjukkan perubahan jika diberikan pada saat serangan asma, pada
serangan asma berat bahkan dapat memperburuk keadaan.1
2.12.3 Antibiotik

38
Pada asma sebenarnya tidak dianjurkan pemberian antibiotik, hal ini
disebabkan karena sebagian besar pencetusnya bukan disebabkan karena infeksi
bakteri. Tetapi, pada keadaan dimana menunjukkan adanya infeksi bakteri dapat
diberikan antibiotik.1
2.13 Terapi supportif
2.13.1 Oksigen
Oksigen dapat diberikan pada serangan asma sedang dan berat. Pada bayi
dan anak kecil sebaiknya diukur dengan oximetry(normalnya >95%). Meskipun
terkadang pasien sudah dapat aliran oksigen yang tinggi, tetapi pemberian oksigen
harus tetap diberikan untuk menghindari saturasi oksigen yang dapat menurun
<90% dan terjadi perburukan serangan asma.1
2.13.2 Cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma yang berat. Hal ini disebabkan
karena kurang adekuatnya asupan cairan, peningkatan IWL, serta akibat efek
diuretic teofilin. Tetapi pemberian cairan harus dipantau agar tidak terjadi edema
paru.1

2.14 Komplikasi
Sebagian besar eksaserbasi asma dapat berhasil ditatalaksana dirumah.
Status asmatikus merupakan eksaserbasi akut asma yang tidak berespons
adekuat terhadap pengobatan dan memerlukan rawat inap di rumah sakit.
Eksaserbasi dapat berlanjut hingga beberapa hari atau terjadi tiba – tiba dan
bervariasi dalam beratnya penyakit mulai dari ringan hingga mengancam jiwa.
Distress napas berat, mengi, batuk, dan penurunan aliran puncak eskpirasi (peak
expiratory flow atau PEF) merupakan ciri – ciri kemunduran dalam control asma.
Selama episode mengi berat, pulse oximetry bermanfaat dalam menganalisa gas
darah mungkin diperlukan untuk mengukur ventilasi. Sejalan dengan bertambah
beratnya obstruksi salurfan respiratori dan menurunnya complains paru, retensi
karbon dioksida dapat terjadi. Pada keadaan takipnea, kadar PCO2 normal
(40mmgHg) merupakan petunjuk ancaman henti napas.3

Tatalaksana lini pertama eksaserbasi asma antara lain pemberian oksigen,

39
pemberian bronkodilator kerja pendek secara berulang atau kontinu, dan
pemberian kortikosteroid oral atau intravena. Pemberian obat antikolinergik
(ipratropium) bersama dengan bronkodilator menurunkan angka rawat inap dan
durasi tatalaksana di unit gawat darurat. Pemberian segera kortikosteroid oral
penting untuk mengobati proses inflamasi yang mendasari. Penggunaan
magnesium sulfat mulai dipakai di unit gawat darurat pada anak dengan
eksaserbasi berat dan pada anak dengan eksaserbasi sedang yang menunjukkan
gambaran perburukan klinis meskipun telah mendapatkan 2 -agonis, ipratropium,
dan kortikosteroid sistemik. Dosis umum yang digunakan adalah 25 – 75 mg/kg
(maksimum 2 gram) secara intravena diberikan selama 20 menit. Epinefrin
(intramuscular) atau terbutaline (subkutan) jarang digunakan kecuali apabila
terdapat asma berat yang disertai anafilaksis atau tidak berespons dengan
pemberian bronkodilator kerja pendek yang kontinu.3

2.15 Pencegahan
Selain itu, diperlukan juga pendidikan dan kemitraan dalam
penanggulangan asma terhadap pasien dan keluarganya serta tenaga kesehatan.
Edukasi yang berhasil meliputi edukasi mengenai dasar dari asma, peranan terapi,
dan meningkatkan pengetahuan pasien akan cara penggunaan alat spacer untuk
metered dose-inhaler dan PFM. Monitoring PFM berguna untuk anak usia >5
tahun, di mana nomor tertingginya adalah PFR. Uji ini dilakukan 3 kali guna
memperoleh hasil yang terbaik. Nilai PFR terbaik adalah nilai stabil yang
diperoleh dalam waktu 2 minggu, di mana berdasarkan nilai tsb akan ditentukan
rencana tertulis yang dibagi menjadi 3 zona:3

- Zona hijau: PFR 80%-100%. Anak asimtomatik dan harus


melanjutkan pengobatannya seperti biasa.
- Zona kuning: PFR 50%-80%. Anak memiliki gejala asma.
Tambahkan terapi resusitasi seperti albuterol dan hubungi tenaga
medis bila PEFR tidak kembali ke zona hijau dalam 24 – 48 jam
atau jika gejala asma
- Zona merah: PFR di bawah 50% dan merupakan suatu kedaruratan.

40
Medikasi darurat perlu dilaksanakan segera dan apabila PEFR tetap
di zona merah berarti anak memiliki gangguan jalan nafas yang
signifikan. Hubungi tenaga medis.3
Tindakan dini pada asma anak berdasarkan pendapat bahwa keterlambatan
penghindaran pencetus dan pemberian obat pengendali akan berakibat perubahan
jalan nafas yang ireversibel (airway remodeling).3

2.16 Prognosis
Untuk sebagian anak, gejala mengi pada infeksi saluran respiratori
berkurang pada usia prasekolah, sedangkan anak lain dapat mengalami gejala
asma yang lebih persisten. Indikator prognostik untuk anak usia dibawah tiga
tahun untuk mengalami asma adalah eczema, asma pada orang tua, atau adanya
dua hal berikut ; rhinitis alergi, mengi pada saat dingin, atau eosinophilia lebih
dari 4%.3

Beberapa studi cohort menemukan bahwa banyak anak bayi dengan mengi
tidak berlanjut menjadi asma pada masa anak dan remajanya. Proporsi kelompok
tersebut berkisar antara 45 hingga 85%. Peningkatan Ig E serum dan uji kulit yang
positif khususnya terhadap tungau debu rumah pada bayi, dapat memperkirakan
mengi pada masa anak. Adanya dermatitis atopic merupakan predictor terjadinya
asma berat.6

41
BAB III
STATUS ANAK SAKIT

I. Anamnesa Pribadi Pasien


Nama : Nisa Ramadani
Umur : 5 tahun 3 bulan 30 hari
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jl. L. Sujono, Gg. Bali No. 14 LK X, Medan Tembung,
Medan, Sumatera Utara
BB Masuk : 17 kg
TB Masuk : 108 cm
Tanggal Masuk : 24-12-2018 Jam 05.53 WIB

II. Anamnesa Mengenai Orang Tua Os:

Identitas Ayah Ibu

Nama Fadli Rita

Umur 26 tahun 23 tahun

Suku Jawa / Indonesia Jawa / Indonesia

Agama Islam Islam

Pendidikan SMP SMK

Pekerjaan Wiraswasta IRT

Riwayat Penyakit Asma -

Alamat Jl. L. Sujono, Gg. Bali No. 14 LK X, Medan


Tembung, Medan, Sumatera Utara

III. Riwayat Kelahiran Os


Cara lahir : Partus Spontan Pervaginam

42
Tempat lahir : Klinik
Tanggal lahir : 13 Juli 2013
Penolong : Bidan
Usia Kehamilan : 36 Minggu
BB lahir : 3.500 gram
PB lahir : 50 cm
Keadaan Saat Lahir : Menangis Spontan

IV. Perkembangan Fisik


Keadaan saat lahir : menangis kuat dan spontan
1 bulan : menoleh ke kiri dan kanan, menatap wajah ibu
2 bulan : mengangkat kepala saat tengkurap, mata bayi
mengikuti arah benda yang digerakkan, dan
tersenyum
3 bulan : berguling dari telentang ke telungkup dan tertawa
4 bulan : bisa tengkurap dan membalikkan badan sendiri
5 bulan : menoleh ketika ada suara
6 bulan : duduk, bisa meraih benda di dekatnya, tertawa apabila
diajak bermain
7 bulan : merangkak , mengambil mainan disekitarnya,
mengoceh
8 bulan : mengangkat badan ke posisi berdiri, memasukkan
benda ke
mulut, menirukan suara
9 bulan : berdiri dengan berpegangan, menoleh bila
dipanggil namanya
10 bulan : berdiri tanpa berpegangan, memanggil orang tua
dengan sebutan
“mama” dan “papa”
11 bulan : belajar berjalan dengan bantuan, mengucapkan kata-
kata yang

43
Kacau, melambaikan tangan
12 bulan : berjalan sendiri dan sering jatuh, menyebut nama
benda yang
ditunjuk
13 bulan : membungkuk untuk mengambil mainan, berbicara
lebih banyak
14 bulan : berjalan lancar, mulai minum dari gelas
15 bulan : mencoret-coret dinding, bermain dengan orang lain
16 bulan : berbicara dengan jelas, memanjat anak tangga
1,5 tahun : berlari dan menaiki tangga
2 tahun : melepaskan pakaian, bermain dengan boneka,
menyikat gigi dengan bantuan
2,5 tahun : melompat
3 tahun : menggambar, menyebut nama warna dan benda
sekitar, menyikat gigi sendiri
4 tahun : bercerita pendek, bernyanyi
5 tahun – sekarang : memakai pakaian sendiri, beradaptasi dengan baik dan
belajar disekolah
V. Anamnesa Makanan
0 bulan – 6 bulan : ASI eksklusif
6-8 bulan : ASI + Bubur bayi (Milna)
9 bulan – 18 bulan : ASI + Susu formula + Nasi tim
18 – 24 bulan : ASI + Susu formula + Makanan dewasa

2 tahun – sekarang : Makanan dewasa

VI. Imunisasi

44
JENIS LAH 1 2 3 4 5 6 9 1 1 1 2 3 5 6 7 8 1 1 1
IMUNIS IR 2 5 8 4 0 2 8
ASI

Hepatitis √
B

BCG

Polio √

Hep B2 √
Polio2 ,
DPT 1

Hep B3 √
Polio3 ,
DPT 2

Hep B4 √
Polio4 ,
DPT 3

Campak √ √

Kesan : Imunisasi dasar lengkap

VII. Penyakit yang Pernah Diderita : Asma


VIII. Keterangan Mengenai Saudara Pasien:

Os anak ke 1 dari 2 bersaudara, anak ke-2 laki-laki umur 1 tahun dengan


riwayat Asma

IX. Anamnesa mengenai OS


Keluhan Utama : Sesak napas (+)
Telaah :

45
Sesak dialami sejak 1 hari SMRS, dan memberat sejak 5 jam ini.Sesak
yang dialami bersifat cepat dan dalam. Sesak disertai dengan bunyi mengi. Sesak
sedikit berkurang jika os duduk. Sesak tidak disertai dengan bengkak pada bagian
tubuh os, riwayat tangan dan kaki membiru (-). Menurut keterangan orangtuanya,
ini bukan sesak yang pertama kalinya, karena sebelum ini os sering masuk RS
dengan keluhan yang sama. Riwayat kekambuhan yang dialami os selama ini
adalah <1 kali dalam sebulan. Sesak dirasakan lebih dari satu kali dalam
seminggu. Sesak napas biasanya sering kambuh ketika os memakan coklat, chiki
dan ice cream. Tetapi terkadang juga cuaca yang dingin dapat menyebabkan os
sesak napas. Sesak juga dapat terjadi saat os kelelahan bermain dengan temannya.
Sesak sering mengganggu aktivitas, pada saat ini os dapat berbicara dalam
penggalan kalimat. Nyeri dada disangkal.

Riwayat batuk dijumpai sejak 2 hari SMRS. Batuk disertai dengan dahak
sedikit kental yang tidak berwarna. Batuk sering memberat pada pagi hari,
orangtua os mengaku os sesak nafas os sering diawali dengan batuk. Demam
dijumpai sejak 1 hari ini, demam tidak terlalu tinggi dan menurun saat diberi obat
demam, menggigil (-), keringat (-). Riwayat flu (-), Riwayat tersedak (-), Mual
dan muntah tidak dijumpai, os juga mengeluhkan tenggorokan terasa gatal. BAK
dan BAB dalam batas normal.

- RPT : Asma
- RPO : Salbutamol dan Ambroxol

- RPK : Ayah os adalah seorang perokok dan pernah


didiagnosa asma.

X. Pemeriksaan fisik :
1. Status Presens
KU/KP/KG : Lemah/Buruk/Baik Anemis : (-)
Kesadaran : Composmentis Dipsnoe : (+)
Tekanan darah : 100/60 mmHg Ikterik : (-)

46
Frekuensi nadi : 110x/i reguler Edema : (-)
Frekuensi napas : 42x/i reguler Sianosis : (-)
Temperature : 38 oC
BB Masuk : 17 kg
PB Masuk : 108 cm

2. Status Lokalisata
a. Kepala
Mata : Refleks cahaya (+/+), pupil isokor kanan=kiri , conjungtiva
palpebra inferior anemis (-/-)
Hidung : Pernafasan cuping hidung (+)
Telinga : Dalam batas normal
Mulut : Mukosa mulut kering (-), Lidah kotor (-)
b. Leher : Pembesaran KGB (-)
c. Thoraks
Inspeksi : Simetris fusiformis, retraksi otot dada (+)
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor dikedua lapangan paru
Auskultasi : Paru
SP: Bronkovesikuler(+/+)
ST: Wheezing (+/+) Frekuensi Nafas : 42x/i reguler
Jantung
Heart Rate : 110x/i rerguler
Suara Tambahan : (-)
d. Abdomen
Inspeksi : Simetris fusiformis
Palpasi : Soepel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik usus (+) normal
e. Ekstremitas
Atas : Akral hangat, CRT< 2 ”, edema (-/-)
Bawah : Akral hangat, CRT< 2”, edema (-/-)
f. Genitalia : Os merupakan seorang anak perempuan dan tidak terdapat
kelainan pada genitalia.

3. Status Neurologis
a. Syaraf otak : Tidak dilakukan pemeriksaan
b. Sistem motorik
Pertumbuhan otot : Tidak dilakukan pemeriksaan
Kekuatan otot : Tidak dilakukan pemeriksaan
Neuromuscular : Tidak dilakukan pemeriksaan

47
Involuntary movement : Tidak dilakukan pemeriksaan
Koordinasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
c. Sensibilitas : Tidak dilakukan pemeriksaan

4. Pemeriksaan Khusus
a. Radiologi : Tidak tampak kelainan pada paru-paru dan jantung.
b. Darah rutin :

24/12/2018

WBC 23.96 x 103/ μL

RBC 4,95 x 106/μL

HGB 12,4 g/dL

HCT 37.3 %

MCV 75,4 (-) fL

MCH 25,1 (-) pg

MCHC 33,2 g/dL

PLT 491 (+) 103μL


c. EKG : Tidak
dilakukan RDW-CV 15,2 % Pemeriksaan
d. Pungsi sumsum RDW-SD 40,8 fL tulang : Tidak
dilakukan PDW 9,4 fL pemeriksaan
e. Mikrobiologi : Tidak
MPV 9,3 fL
dilakukan pemeriksaan
f. CT-Scan PCT 0,46 (+) % : Tidak
dilakukan pemeriksaan
g. Biopsi : Tidak dilakukan pemeriksaan
h. EEG : Tidak dilakukan pemeriksaan
i. Kimia klinik :

Tanggal 24/12/2018
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Glukosa Adrandom 115,00 mg/dL < 140 mg/dL

Natrium 165,00 mmol/L 136,00 – 155,00

Kalium 5,00 mmol/L 3,50 – 5,50

48
Chlorida 123,00 mmol/L 95,00 – 103,00

AGDA (Analisa Gas Darah)


Tanggal 24/12/2018
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

pH 7,522 7,35 – 7,45

pCO2 25,70 mmHg 35,00 – 45,00

pO2 82,30 mmHg 80,00 – 100,00

TCO2 22,10 mmol/L 23,00 – 27,00

HCO3 21,30 mmol 22,00 – 26,00

Base Excess -1,70 mmol/L -2,00 – 2,00

O2 Saturasi 97,40 % 95,00 – 98,00

5. Differential Diagnosis :
- Asma Bronkial
- Bronkiolitis
- Rhinosinobronkitis
- Benda asing

6. Diagnosa Kerja :
Asma Bronkial

7. Terapi :
- O2 1-2 L/i via nasal kanul
- IVFD 2 : 1 30 gtt mikro/i
- Inj. Cefotaxim 500 mg/12jam/IV

49
- Inj. Gentamicin 80mg/hari/IV
- Metil prednisolone tablet 3 x 4mg
- Nebul Ventoline 1 amp/8 jam
- Paracetamol syr 4 x Cth II
- Diet MB

8. Usul :
- Foto Thorax
- Peak flow meter / Spirometri
- Darah Lengkap
- AGDA

9. Prognosa : Dubia ad bonam

50
FOLLOW UP PASIEN SMF KESEHATAN ANAK RS. PIRNGADI
MEDAN
FOLLOW UP PASIEN

Tanggal 25 Desember 26 Desember 2018 27 Desember 2018

2018
Keluhan Sesak nafas () , Sesak nafas (), Bat Sesak nafas(-)

Batuk (+), Demam uk (+) , Demam (-) Batuk 

(+) Demam (-)


KU/KP/KG Lemah/Sedang/ Sedang/Sedang/Baik Baik/Baik/Baik

Baik
Sensorium Compos mentis Compos mentis Compos mentis
Tekanan 100/60 mmHg 100/60 mmHg 100/60 mmHg

darah
Frekuensi 100x/i regular 112x/i regular 88x/I regular

nadi
Frekuensi 36 x/i cepat dalam 30 x/i cepat dalam 24x/i

nafas
Temperatur 37,8oC 36,5oC 36,6 oC
BB masuk 17 kg 17 kg 17 kg
BB 17 kg 18 kg 18 kg

sekarang

51
Status Mata: RC (+/+), Mata: RC (+/+), Mata: RC (+/+),

lokalisata: Pupil isokor, Pupil isokor, Pupil isokor,

kepala dan konjungtiva konjungtiva konjungtiva

leher palpebra inferior palpebra inferior palpebra inferior

anemis (-/-), mata anemis (-/-), mata anemis (-/-), mata

cekung (-/-) cekung (-/-) cekung (-/-)

Hidung: Sekret Hidung: Sekret (+) Hidung: Sekret (+)

(+) Mulut: dalam batas Mulut: dalam batas

Mulut: dalam normal normal

batas normal Leher: dalam batas Leher: dalam batas

Leher: dalam normal normal

batas normal
Thorax Inspeksi: simetris Inspeksi: simetris Inspeksi: simetris

fusiformis fusiformis fusiformis

Auskultasi: Auskultasi: Auskultasi:

SP: SP: Bronkovesikuler SP:

Bronkovesikuler ST: wheezing Bronkovesikuler

ST: wheezing ST: wheezing 


Abdomen Inspeksi: simetris Inspeksi: simetris Inspeksi: simetris

Palpasi: Soepel, Palpasi: Soepel, Palpasi: Soepel,

Hepar, lien & ren Hepar, lien & ren Hepar, lien & ren

tidak teraba tidak teraba tidak teraba

Perkusi: Timpani Perkusi: Timpani Perkusi: Timpani

Auskultasi: Auskultasi: Auskultasi:

52
Peristaltik (+) Peristaltik (+) Peristaltik (+)

normal normal normal


Ekstremitas Atas: Atas: Atas:

Akral hangat, Akral hangat, CRT< Akral hangat,

CRT< 2” 2” CRT< 2”

Bawah: Bawah: Bawah:

Akral hangat, Akral hangat, CRT< Akral hangat,

CRT< 2” 2” CRT< 2”
Diagnosis Asma Bronkial Asma Bronkial Asma Bronkial

Usul  Foto Thorax  Spirometri / peak  Spirometri / peak

 Spirometri / flow meter flow meter

peak flow meter


Hasil 24/12/2018 24/12/2018 27/12/2018

Pemeriksaa Darah Rutin AGDA Foto Thorax

n penunjang WBC : 23.96 pH :7,522 (+) Kesan : Tidak

gvx 10^3/ μL (+) PC O 2 : 25,70 tampak kelainan

RBC : 4,95 x mmHg pada paru-paru dan

10^6/μL PD 2 : 82,30 mmHg jantung.

HGB : 12,4 g/dL TC02 : 22,10

HCT : 37,3 % mmol/L

MCV : 75,4 fL (-) HC03 : 21,30

MCH : 25,1 pg (-) mmol/L

MCHC : 33,2 g/dL Base Excess : -1,70

(-) mmol/L

53
PLT : 491 x 02 Saturasi: 97,40 %

10^3μL (+) 24/12/2018

RDW-CV : 15,2 % Kimia klinik

(+) KGD : 115 mg/dl

RDW-SD : 40,8 fL Natrium : 165

PDW : 9,4 fl (-) mmol/L

MPV : 9,3 fl (-) Kalium : 5 mmol/L

PCT: 0,46 % (+) Chloride : 123

mmol/L
Terapi  O2 1/2 L/i via  O2 1/2 L/i via  Infus aff

nasal kanul nasal kanul  Os PBJ

 IVFD 2:1 30  IVFD 2:1 30 Obat PBJ

mikro gtt/i mikro gtt/i - Salbutamol tab 1mg

 Inj. Cefotaxim  Inj. Cefotaxim 500 - Ambroxol 15mg

500 mg/IV/12 mg/IV/12 jam Pulvis 3 x 1

jam  inj. Gentamicin

 inj. Gentamicin 80mg / iv / hari

80mg / iv / hari  Nebul Ventoline

 Nebul Ventoline 1amp / 8 jam

1amp / 8 jam  Diet MB

 Diet MB

Observasi Vital

sign

54
55
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Asma adalah suatu gangguan inflamasi kronis saluran nafas dengan


banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Batuk dan/atau
mengi yang berulang (episodik), nokturnal, musiman, setelah melakukan aktivitas,
dan adanya riwayat atopi pada penderita maupun keluarganya merupakan gejala
atau tanda yang patut diduga suatu asma. Gejala tersebut timbul karena adanya
proses inflamasi kronis pada saluran nafas yang menyebabkan adanya
bronkonstriksi, edema mukosa saluran nafas, hipersekresi bronkus dan proses
remodeling pada mukosa. Seluruh proses tersebut menimbulkan ketidak
padupadanan antara ventilasi dan perfusi.

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan gejala dan serangan menjadi


asma dengan gejala intermiten, persisten ringan, sedang dan berat. Berdasarkan
derajat serangannya yaitu asma serangan ringan, sedang, berat dan sangat berat.
Derajat penyakit asma berhubungan dengan inflamsi kronik yang terjadi. Derajat
serangan berhungan dengan proses akut perburukan dari penyakit asma itu
sendiri.

56
Penilaian derajat serangan dan penyakit asma penting untuk penatalaksaan asma.
Dengan pentalaksanaan yang adekuat diharapkan dapat memperbaiki tumbuh
kembang dan kualitas hidup anak. Selain terapi dengan obat-obatan standar untuk
asma, diperlukan peran aktif keluarga dan pasien untuk menghindari factor pencetus.
Yang tidak kalah pentingnya dalam penatalaksanaan asma ialah kerjasama antara
pasien-keluarga dan dokter. DAFTAR PUSTAKA

1. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi anak. Edisi


pertama. Jakarta: ikatan dokter anak Indonesia; 2012. 71- 158.
2. GINA. Pocket guide for asthma management and prevention.2016
3. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrhman RE. Nelson ilmu
kesehatan anak esensial edisi 15. Jakarta: EGC; 2012 (1). 775-9
4. Akib AAP, Munasir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi – imunologi anak. edisi
kedua. Jakarta: ikatan dokter anak Indonesia;2008.h. 252-66
5. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Dapertemen Kesehatan RI. 2009.
6. Papadopoulos NG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic A, Gern J, etc.
International consensus on (ICON) pediatric asthma. Athens: European
Journal of Allergy and clinical immunology. Published 30 may 2012. P.976-
77.
7. Konsensus Nasional asma anak. Jakarta: Pulmonologi Ikatan dokter anak
Indonesia. 2000 (2):1. H. 50-66
8. WHO. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit.Jakarta : 2009.
9. Sidhartani M. Peran penatalaksanaan asma pada anak. Disampaikan pada
Upaca Penerimaan Jabatan Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas
Diponegoro, Semarang, 28 Juli 2007. H.12-8, 24-5
10. InfoDATIN. Kementrian Kesehatan RI. 2014.

Vous aimerez peut-être aussi