Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
DEFINISI PUASA
Secara bahasa, puasa (ash shiyam) dalam bahasa Arab ertinya menahan diri,
seperti tersebut dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
ِ ص ْو ًما فَلَ ْن أ ُ َك ِلِّ َم ا ْليَ ْو َم إِن
سيًّا َّ إِنِِّي نَذَ ْرتُ ِل
َ لرحْ َٰ َم ِن
“Aku telah bernadzar kepada Allah untuk menahan diri (dari
berbicara)”.[Maryam : 26].
Adapun secara istilah syar’i ialah, menahan diri dari hal-hal yang
membatalkannya sejak terbit fajar sampai terbenam matahari dengan disertai
niat.
1. Niat.
Jika telah masuk bulan Ramadhan, wajib bagi setiap muslim untuk berniat
puasa pada malam harinya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
ُصيَا َم قَ ْب َل اْلفَجْ ِر فَالَ ِصيَا َم لَه
ِّ ِ َم ْن لَ ْم يُجْ ِم ْع ال
“Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tiada baginya puasa
itu”. [Riwayat Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan Al Baihaqi, dari Hafshah binti Umar]
Niat itu, tempatnya berada di hati. Sedangkan melafazkannya, termasuk amal
bid’ah. Berniat puasa pada malam hari, ini khusus untuk puasa wajib sahaja.
2. Qiyam Ramadhan.
Beliau mengimami kami (shalat tarawih) sampai berlalu sepertiga malam. Pada
hari keenam (tinggal 6 hari), Beliau tidak shalat bersama kami. Baru kemudian
pada hari kelima (tinggal 5 hari), Beliau mengimami kami (shalat tarawih)
sampai berlalu separuh malam. Saat itu kami berkata kepada Beliau: ‘Wahai
Rasulullah. Sudikah engkau menambah shalat pada malam ini’. Beliau
menjawab,’Sesungguhnya jika seseorang shalat bersama imamnya sampai
selesai, nescaya ditulis baginya pahala shalat satu malam’. Lalu pada malam
keempat (tinggal 4 hari), kembali Beliau tidak mengimami shalat kami. Dan
pada malam ketiga (tinggal 3 hari), Beliau kumpulkan keluarga dan isteri-
isterinya serta orang-orang, lalu mengimami kami (pada malam tersebut)
sampai kami takut kehilangan kemenangan. Aku (perawi dari Abu Dzar)
berkata: Aku bertanya, Apa kemenangan itu?. Beliau (Abu Dzar) menjawab,
Sahur.” [HR At Tirmidzi].
Demikianlah shalat tarawih atau qiyamu ramadhan tidak dilaksanakan dengan
berjamaah pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan masa Abu
Bakar, sampai pada masa kekhalifahan Umar bin Khatthab. Rasulullah tidak
melakukannya secara berjamaah terus-menerus, sebab Beliau khawatir hal itu
akan diwajibkan atas kaum Muslimin, sehingga ummatnya tidak mampu
mengerjakannya. Disebutkan dalam hadits Aisyah (dalam Shahihain):
“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada suatu
malam, lalu shalat di masjid, dan beberapa orang ikut shalat bersamanya. Pagi
harinya, manusia membicarakan hal itu. Maka berkumpullah orang lebih
banyak dari mereka, lalu (Rasulullah) shalat dan orang-orang tersebut shalat
bersamanya. Pada keesokan harinya, manusia membicarakan hal itu. Maka pada
malam ke tiga, jama’ah semakin banyak, lalu Rasulullah keluar dan shalat
bersama mereka. Ketika malam ke empat masjid tidak dapat menampung
jama’ah (namun Beliau tidak keluar) sehingga Beliau keluar untuk shalat
Subuh; ketika selesai shalat Subuh, Beliau menghadap jama’ah, lalu membaca
syahadat dan bersabda: Amma ba’du. Aku sudah mengetahui sikap kalian. Akan
tetapi, aku khawatir shalat ini diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak
mampu melaksanakannya. Lalu (setelah beberapa waktu) Rasulullah meninggal,
dan perkara tersebut tetap dalam keadaan tidak berjamaah”. [HR Al Bukhari dan
Muslim].
Jadi, sebab shalat ini tidak dilaksanakan secara berjama’ah terus-menerus pada
masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kekhawatiran beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kalau-kalau shalat ini diwajibkan atas umatnya.
Dan sebab ini telah hilang dengan wafatnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. karena dengan wafatnya beliau berarti agama ini telah disempurnakan
oleh Allah Azza wa Jalla, tidak mungkin lagi ada penambahan. Dengan
demikian, tinggallah hukum disyariatkannya berjamaah dalam qiyam Ramadhan
(baca tarawih) yang hal itu dihidupkan oleh Umar bin al-Khaththab pada
kekhalifahannya.
3
c). Waktunya.
Waktunya dikerjakan dari setelah shalat Isya` sampai munculnya fajar Subuh.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
صالَ ِة ا ْلفَجْ ِر ِ صالَ ِة ا ْل ِعش
َ َاء إِلَى َ َو ِه َي ا ْل ِوتْ ُر ف،
َ َصلُّ ْو َها بَ ْين َ ًصالَة
َ إِنَّ هللاَ َزا َد ُك ْم
“Sesungguhnya Allah telah menambah kalian satu shalat, dan dia adalah witir,
maka shalatlah kalian antara shalat Isya sampai shalat Fajar”. [HR Ahmad dari Abi
Bashrah, dan dishahihkan Al Albani dalam Qiyam Ar Ramadhan, 26].
d). Qunut.
Setelah selesai membaca surat dan sebelum ruku, kadang-kadang Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca qunut, dan boleh dilakukan setelah ruku.
e). Bacaan Setelah Shalat Witir.
س ْب َحانَ ا ْل َم ِل ِك ا ْلقُد ُْوس
ُ س ْب َحانَ ا ْل َم ِل ِك ا ْلقُد ُْو ِس
ُ س ْب َحانَ ا ْل َم ِل ِك ا ْلقُد ُْو ِس
ُ
Cara membaca doa ini, yaitu dengan memanjangkan suara dan meninggikannya
pada yang ketiga.
3). Sahur.
Allah mensyariatkan sahur atas kaum Muslimin untuk membezakan puasa
mereka dengan puasa orang-orang sebelum mereka, sebagaimana disabdakan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri :
َّ ب أ َ ْكلَةُ ال
س ُح ْو ِر رواه مسلم ِ امنَا َو ِصيَ ِام أ َ ْه ِل ا ْل ِكتَا ْ َف
ِ َص ُل َما بَ ْينَ ِصي
“Yang membezakan puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur”.
[Riwayat Muslim].
a). Keutamaan Sahur.
• Sahur adalah berkah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ َها بَ َركَةٌ أ َ ْع َطا ُك ُم هللاُ إِيَّا َها فَالَ ت َ َدع ُْوهُ رواه النسائي وأحمد بسند صحيح
“Sesungguhnya sahur adalah berkah yang diberikan Allah kepada kalian, maka
kalian jangan meninggalkannya”. [Riwayat An Nasa-i dan Ahmad, dengan
sanad yang shahih].
Sahur sebagai suatu berkah dapat dilihat dengan jelas, kerana itu mengikuti
Sunnah dan menguatkan orang berpuasa, serta menambah semangat untuk
menambah puasa. Juga mengandungi maksud untuk membezakan dengan ahli
kitab.
4
• Shalawat dari Allah dan malaikat ditujukan kepada orang yang bersahur.
Dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
علَى َ ُع أ َ َح ُد ُك ْم ُج ْرعَةً ِم ْن َماءٍ فَ ِإنَّ هللاَ َو َمالَئِ َكتَهُ ي
َ َصلُّ ْون َ فَالَ ت َ َدع ُْوهُ َولَ ْو أ َ ْن يَجْ َر،س ُح ْو ُر أ َ ْكلَةُ ا ْلبَ َر َك ِة
َّ ال
س ِ ِّح ِر ْينَ رواه ابن أبي شيبة وأحمد ْ
َ َ ال ُمت
“Sahur adalah makanan berkah, maka kalian jangan tinggalkan, walaupun salah
seorang dari kalian hanya meminum seteguk air, karena Allah dan para malaikat
berselawat atas orang-orang yang bersahur”.[Riwayat Ibnu Abu Syaibah dan
Ahmad].
b). Mengakhirkan Sahur Adalah Sunnah.
Disunnahkan memperlambat sahur sampai mendekati Subuh (Fajar),
sebagaimana disebutkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu dari Zaid bin Tsabit, ia berkata :
ِ قَد ُْر َخ ْم:َس ُح ْو ِر؟ قَال
س ْينَ آيـة رواه ِ َ َك ْم كَانَ بَ ْينَ اْألَذ: ُ قُ ْلت،صالَ ِة
ُّ ان َوال َّ س َّح ْرنَا َم َع النَّبِ ْيث ُ َّم قَا َم إِلَى ال
َ َت
البخاري ومسلم
“Kami sahur bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian
Beliau pergi untuk shalat. Aku (Ibnu Abbas) bertanya: Berapa lama antara
adzan dengan sahur? Dia menjawab, Sekitar 50 ayat.” [Riwayat Al Bukhari dan
Muslim]
c). Hukum Sahur.
Sahur merupakan sunnah muakkad (sunnah yang ditekankan). Dalilnya :
• Perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
س ُح ْو ِر بَ َركَةً رواه البخاري ومسلم
ُّ س َّح ُر ْوا فَ ِإنَّ فِ ْي ال
َ َت
“Bersahurlah, kerana dalam sahur terdapat berkah”. [Riwayat Al Bukhari dan
Muslim].
• Larangan meninggalkan sahur sebagaimana tersebut dalam hadits Abu Sa’id
yang terdahulu. Oleh karena itu, Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari
(3/139) menukilkan ijma tentang sunnahnya sahur.
4. Waktu Puasa.
Waktu puasa dimulai dari terbit fajar Subuh sampai terbenam matahari.
Dalilnya, yaitu firman Allah, yang artinya : “Dan makan dan minumlah kalian
sampai jelas bagi kalian putihnya siang dan hitamnya malam dari fajar,
kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam”. [Al-Baqarah/2:186].
Setelah jelas waktu fajar, maka kita menyempurnakan puasa sampai terbenam
matahari, lalu berbuka sebagaimana disebutkan dalam hadits Umar
Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
صا ِئ ُم رواه البخاري ومسلم َ س فَقَ ْد أ َ ْف
َّ ط َر ال ُ ت الش َّْم
ِ غ َر َب ُ ِإذَا أ َ ْق َب َل اللَّ ْي ُل ِم ْن َه ُهنَا َو أ َ ْد َب َر النَّ َه
َ ار ِم ْن َه ُهنَا َو
5
“Jika telah datang waktu malam dari arah sini dan pergi waktu siang dari arah
sini serta telah terbenam matahari, maka orang yang berpuasa telah berbuka”.
[Riwayat Al Bukhari dan Muslim]
Waktu berbuka tersebut dapat dilihat dengan datangnya awal kegelapan dari
arah timur setelah hilangnya bulatan matahari secara langsung. Semua itu dapat
dilihat dengan mata telanjang, tidak memerlukan alat teropong untuk
mengetahuinya.
5. Perkara-Perkara Yang Membatalkan Puasa.
a). Makan dan minum dengan sengaja. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
yang artinya : “Dan makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian
putihnya siang dan hitamnya malam dari fajar, kemudian sempurnakanlah puasa
sampai malam” [Al-Baqarah/2:186].
b). Sengaja untuk muntah, atau muntah dengan sengaja.
c). Haid dan nifas.
d). Injeksi yang berisi makanan (infus).
e). Bersetubuh.
b). Bersiwak.
c). Berkumur dan memasukkan air ke hidung ketika berwudhu`.
d). Bersentuhan dan berciuman bagi orang yang berpuasa, dan dimakruhkan
bagi orang-orang yang berusia muda, karena dikhawatirkan hawa nafsunya
bangkit.
e). Injeksi yang bukan berupa makanan.
f). Berbekam.
g). Mencicipi makanan selama tidak masuk ke tenggorokan.
h). Memakai penghitam mata (celak) dan tetes mata.
i). Menyiram kepala dengan air dingin dan mandi.
dan perempuan tua yang sudah tidak mampu berpuasa, maka mereka memberi
makan setiap hari seorang miskin”. [Riwayat Al Bukhari, no. 4505].
e). Wanita sedang hamil atau menyusui, yang takut terhadap keselamatan
dirinya dan anak yang dikandungnya atau anak yang disusuinya, juga termasuk
yang mendapat keringanan untuk berbuka. Tidak ada kewajiban bagi mereka,
kecuali fidyah. Demikian ini adalah pendapat Ibnu Abbas dan Ishaq. Dalilnya
ialah firman Allah, yang artinya : Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya membayar fidyah (jika mereka tidak puasa), (yaitu) memberi
makan seorang miskin. [Al-Baqarah/2 : 184].
Ayat ini dikhususkan bagi orang tua yang sudah lemah, orang sakit yang tidak
kunjung sembuh, orang hamil dan menyusui jika keduanya takut terhadap
keselamatan dirinya atau anaknya. Karena ayat di atas telah dinasakh oleh ayat
yang lain, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdulah bin Umar dan
Salamah bin Al Akwa’:
ْ افتَدَى بِ َطعَ ِام ِم
س ِكي ِْن ْ َصا َم َو َم ْن شَا َء أ َ ْف َط َر ف
َ س ْو ِل هللاِ َم ْن شَا َء َ علَى
ُ ع ْه ِد َر َ َُكنَّا فِ ْي َر َمضَان
ص ْم َّ فَ َم ْن ش َِه َد ِم ْن ُك ُم ال: ُ َحتَّى نَ َزلَتْ َه ِذ ِه األَيَة.
ُ َشه َْر فَ ْلي
diturunkan padanya Al Qur’an …” sampai pada firmanNya “..di hari yang lain
..”. Maka puasa tetap wajib bagi orang yang mukim (tidak safar) pada bulan
tersebut, dan bagi musafir wajib mengqadha puasanya, dan menetapkan
pemberian makanan bagi orang-orang tua yang tidak mampu untuk berpuasa …
. ” [HR Abu Dawud, Baihaqi dan Ahmad].
Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid dan Salim Al
Hilali dalam Shifat Shaum Nabi, lihat halaman 80-84.
9. Berbuka Puasa.
a). Mempercepat waktu berbuka puasa. Termasuk sunnah dalam puasa, yaitu
mempercepat waktu berbuka. Sebagaimana dikatakan oleh Amr bin Maimun Al
Audi, bahwa sahabat-sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
orang-orang yang paling cepat berbuka dan paling lambat sahurnya.
[Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam Al Mushannaf, no. 7591 dengan sanad
yang dishahihkan Ibnu Hajar dalam Fathul Bary, 4/199].
Manfaat dari mempercepat berbuka ialah :
• Untuk mendapatkan kebaikan. Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan
Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
ع َّجلُ ْوا اْل ِف ْط َر رواه البخاري ومسلم ُ َّالَ يَ َزا ُل الن
َ اس بِ َخي ٍْر َما
“Manusia akan sentiasa dalam kebaikan selama mereka mempercepat buka
puasanya.”. [Riwayat Al Bukhari dan Muslim].
• Merupakan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
• Untuk membezakan dengan puasa ahli kitab, sebagaimana disebutkan dalam
hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda :
ارى يُ َؤ ِ ِّخ ُر ْونَهُ رواه أبو داود وابن حبان
َ صَ َّ ألَنَّ ا ْليَ ُه ْو َد َوالن،اس ا ْل ِف ْط َر َ الَ يَ َزا ُل ال ِ ِّد ْينُ َظا ِه ًرا َما
ُ َّع َّج َل الن
بسند حسن
“Agama ini akan senantiasa menang selama manusia (kaum Muslimin)
mempercepat buka puasanya, karena orang-orang Yahudi dan Nashrani
mengakhirkannya”. [Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Hibban dengan sanad
hasan].
Dan berbuka puasa dilakukan sebelum shalat Maghrib, karena merupakan
akhlak para nabi.
b). Makanan Berbuka.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kita untuk berbuka
dengan kurma, dan kalau tidak ada, maka dengan air sebagaimana dikatakan
Anas bin Malik: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka dengan
ruthab sebelum shalat, kalau tidak ada ruthab, maka dengan kurma, dan kalau
tidak ada kurma, Beliau menghirup (meminum) beberapa teguk air”.
9
[HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang shahih]. Ini
merupakan kesempurnaan kasih sayang dan perhatian Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam terhadap umatnya.
c). Bacaan Ketika Berbuka.
Berdoa ketika berbuka termasuk dari doa-doa yang mustajab, sebagaimana
disabdakan Rasulllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
َ صائِ ِم َو َدع َْوةُ ا ْل َم ْظلُ ْو ِم َو َدع َْوةُ ا ْل ُم
سافِ ِر َّ ت َدع َْوةُ ال
ٍ ست َ َجابَا ُ َثَال
ٍ ث َدع ََوا
ْ ت ُم
“Ada tiga doa yang mustajab, (yaitu): doanya orang yang berpuasa, doanya
orang yang terzhalimi dan doanya para musafir”. [HR Al Uqaili].
Sebaiknya berdoa dengan doa: