Vous êtes sur la page 1sur 30

LAPORAN KOMPREHENSIF

AUHAN KEBIDANAN PADA AKSEPTOR KONTRASEPSI MOW POST


SECTIO CAESAREA DI POLI KB RSAL DR. RAMELAN SURABAYA

OLEH :
ROSMIATI
011813243063

PROGRAM STUDI PROFESI BIDAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Asuhan kebidanan pada akseptor kontrasepsi MOW post sectio caesarea di Poli KB
Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Ramelan Surabaya, telah diselesaikan oleh :
Nama : Rosmiati
NIM : 011813243063
Telah disahkan oleh tim pembimbing pada :
Hari/Tanggal :

Surabaya,……November 2018
Mahasiswa

Rosmiati
011813243063

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Program Studi Profesi Bidan Poli KB RSAL Dr. Ramelan
FK Unair Surabaya

Ivon Diah Wittiarika, S.Keb, Bd., M.Kes. Anyk Sriwulandari., Amd.Keb


NIP. 198411112016087201 NIP. 1969 1012 199201 2001
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jumlah penduduk yang besar dan laju pertumbuhan penduduk yang relatif
tinggi merupakan masalah di bidang kependudukan di Indonesia. Berdasarkan Badan
Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2013, masalah yang terdapat di Indonesia adalah
laju pertumbuhan penduduk yang relative masih tinggi. Laju pertumbuhan ditentukan
oleh kelahiran dan kematian dengan adanya perbaikan pelayanan kesehatan yang
menyebabkan tingkat kematian rendah, sedangkan penyebab utama tingkat kelahiran
tetap tinggi adalah ledakan penduduk. Menekan jumlah ledakan penduduk dilakukan
dengan menggalakkan program Keluarga Berencana (KB).
Salah satu faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan penduduk adalah
fertilitas. Indonesia merupakan sebuah Negara berkembang dengan jumlah penduduk
sebanyak 252.124.458 jiwa dengan luas wilayah 1.913.378,68 km2 dan kepadatan
penduduk sebesar 131,76 jiwa/km2 (Depkes RI, 2014). Angka kelahiran total (Total
Fertility Rate, TFR) dapat menunjukkan keberhasilan suatu negara atau daerah dalam
melaksanakan pembangunan di bidang sosial ekonomi dan menunjukkan tingkat
keberhasilan program KB (Keluarga Berencana) yang telah dilaksanakan. Tujuan
program KB nasional adalah untuk memenuhi permintaan masyarakat akan pelayanan
KB dan Kesehatan Reproduksi (KR) yang berkualitas, menurunkan angka kematian
ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) serta penanggulangan masalah kesehatan
reproduksi untuk membentuk keluarga kecil berkualitas. Program KB juga
mempunyai tujuan untuk menurunkan angka TFR yang tercantum dalam RPJMN
(Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2015-2019. Angka TFR
Indonesia tahun 2016 sebesar 2,3 dan masih belum mencapai target penurunan TFR
yang telah ditetapkan oleh Millenium Development Goals (MDGs) yaitu sebesar
2,1% pada tahun 2015 (BKKBN, 2015).
Salah satu penyebab tidak tercapainya sasaran ini karena penggunaan
kontrasepsi untuk mengendalikan kelahiran yang belum berjalan secara efektif dan
efisien.Salah satu strategi dari pelaksanaan program KB yang tercantum dalam
RPJMN 2015-2019 adalah meningkatkan penggunaan MKJP (Metode Kontrasepsi
Jangka Panjang), seperti IUD (Intra Uterine Device), implant, dan sterilisasi atau
MOW (Metoda Operasi Wanita) (BKKBN, 2014). Menurut Profil Kesehatan Provinsi
Jawa Timur, jumlah peserta KB aktif pada Tahun 2016 sebanyak 4,973,997 akseptor,
jumlah peserta KB baru 751,176 akseptor. Dengan rincian pengguna kontrasepsi IUD
468,806 (9,4%) akseptor, MOP 21,674 (0,4%) akseptor, MOW 180,717 (3,6%)
akseptor, Implan 492,803 (9,9%) akseptor, kondom 96,248 (1,9%) akseptor, Suntik
2,827,653 (56,8%) akseptor, Pil 886,095 (17,8%) (Dinkes Jatim, 2016). Berdasarkan
data tersebut diketahui bahwa pola penggunaan kontrasepsi di Indonesia masih
didominasi oleh kontrasepsi hormonal dan bersifat jangka pendek.
Kurangnya KIE (Komunikasi Informasi Edukasi) oleh tenaga kesehatan
menjadi salah satu penghambat masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar
mengenai KB sehingga menyebabkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan KB
berkurang. KIE hendaknya dilakukan secara rutin untuk meningkatkan pengetahuan,
sikap, dan praktik KB sehingga terdapat penambahan peserta baru dan membina
kelestarian peserta KB (Yuhaedi dan Kurniawati, 2013). Oleh karena itu, peran bidan
sangat penting dalam memberikan KIE tentang kontrasepsi jangka panjang pada ibu
dan keluarga seingga diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakan dalam
kegiatan KB, khususnya MOW.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memberikan dan melaksanakan Asuhan Kebidanan pada
akseptor kontrasepsi MOW post SC sesuai dengan manajemen kebidanan Varney dan
mendokumentasikannya dalam bentuk SOAP.
1.2.2 Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu:
1. Melaksanakan pengkajian data subjektif dan objektif pada akseptor
kontrasepsi MOW post SC
2. Menegakkan diagnosa dan masalah kebidanan pada akseptor kontrasepsi
MOW post SC.
3. Menegakkan diagnosa dan masalah potensial pada akseptor kontrasepsi
MOW post SC
4. Mengidentifikasi kebutuhan tindakan segera kasus kebidanan pada
akseptor kontrasepsi MOW post SC
5. Mengembangkan rencana tindakan asuhan kebidanan pada akseptor
kontrasepsi MOW post SC
6. Melaksanakan rencana tindakan asuhan kebidanan pada akseptor
kontrasepsi MOW post SC
7. Mengevaluasi penatalaksanaan asuhan asuhan kebidanan pada akseptor
kontrasepsi MOW post SC
8. Melakukan pendokumentasian asuhan kebidanan pada akseptor
kontrasepsi MOW post SC
9. Menganalisis asuhan kebidanan pada akseptor kontrasepsi MOW post SC
yang telah dilaksanakan dengan teori yang ada.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Dasar Teori Kontrasepsi


2.1.1. Definisi KB dan Kontrasepsi
Menurut World Helath Organization (WHO) Keluarga Berencana adalah
satuan tindakan yang membantu individu atau pasangan suami istri untuk
mendapatkan objektif-objektif tertentu, menghindari kehamilan yang tidak di
inginkan, mendapatkan kelahiran yang sangat diingkinkan, mengatur interval diantara
kelahiran, mengontrol waktu kelahiran dalam hubungan suami istri, serta menentukan
jumlah anak dalam keluarga (Manuaba, 2010). Menurut UU No. 52 tahun 2009
tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga, Keluarga
Berencana (KB) adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal
melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan bantuan
sesuaidengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas.
Kontrasepsi berasal dari kata kontra yang berarti mencegah atau melawan,
sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur yang matang dan sel sperma
yang mengakibatkan kehamilan. Maksud dari kontrasepsi adalah
menghindari/mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel
telur matang dengan sel sperma tersebut (BKKBN, 2012). Secara ringkas, kontrasepsi
dapat diartikan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan. Sementara ahli
kependudukan David Lucas dalam sebuah artikelnya “Fertilisasi” mencantumkan arti
sempit kontrasepsi sebagai metode mekanik dan kimiawi untuk mencegah kehamilan
(Proverawati, 2010). Sedangkan menurut Sofian, kontrasepsi atau anti konsepsi
adalah cara, alat dan atau obat-obatan untuk mencegah terjadinya konsepsi (Yulianti,
2013). Kontrasepsi adalah usaha–usaha untuk mencegah terjadinya kehamilan.
Usaha–usaha itu dapat bersifat sementara, dapat juga bersifat permanen
(Wiknjosastro, dkk, 2011).
2.1.2. Tujuan KB
Tujuan utama program KB nasional adalah untuk memenuhi perintah
masyarakat akan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi yang berkualitas,
menurunkan tingkat/angka kematian ibu bayi, dan anak serta penanggulan masalah
kesehatan reproduksi dalam rangka membangun keluarga kecil berkualitas
(Noviawati, 2009). Dan menghindari atau mencegah kehamilan akibat pertemuan sel
telur dan sperma (Dewi, 2011).
Adapun tujuan Demografi KB yaitu agar dapat dikendalikannya tingkat
petumbuhan penduduk sebagai patokan dalam usaha mencapai tujuan tersebut telah
ditetapkan suatu target demografi yaitu berupa penurunan angka fertilisasi.
Sedangkan tujuan Normatif KB yaitu dapat dihayati Norma Keluarga Kecil Bahagia
dan Sejahtera (NKKBS) yang pada waktunya akan menjadi falsafah hidup
masyarakat Indonesia (Mochtar, 2011).
Kontrasepsi ideal itu harus memenuhi syarat-syarat berbagai berikut: 1) dapat
dipercaya; 2) tidak menimbulkan efek yang mengganggu kesehatan; 3) daya kerjanya
dapat diatur menurut kebutuhan; 4) tidak menimbulkan gangguan sewaktu melakukan
koitus; 5) tidak memerlukan motivasi terus-menerus; 6) mudah pelaksanaannya; 7)
murah harganya sehingga dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat; 8) dapat
diterima pengunaannya oleh pasangan yang bersangkutan. Sampai sekarang cara
kontrasepsi yang ideal belum ada. (Wiknjosastro, dkk, 2011).
2.2 Konsep Dasar MOW/ Tubektomi.
2.2.1 Definisi Tubektomi
Kontrasepsi mantap pada wanita adalah setiap tindakan pada kedua saluran
telur yang mengakibatkan orang atau pasangan yang bersangkutan tidak akan
mendapat keturunan lagi. Kontrasepsi ini untuk jangka panjang dan sering disebut
tubektomi atau sterilisasi (Handayani, 2010). MOW merupakan tindakan penutupan
terhadap kedua saluran telur kanan dan kiri yang menyebabkan sel telur tidak dapat
melewati saluran telur, dengan demikian sel telur tidak dapat bertemu dengan sperma
laki laki sehingga tidak terjadi kehamilan, oleh karena itu gairah seks wanita tidak
akan turun (BKKBN, 2006). Tubektomi adalah prosedur bedah sukarela untuk
menghentikan fertilitas (kesuburan) seorang perempuan, dengan mengoklusi tuba
fallopi (mengikat dan memotong atau memasang cincin) sehingga sperma tidak dapat
bertemu dengan ovum ( Saifuddin, 2010).
Jenis MOW menurut Saifuddin 2010 yaitu, minilaparatomi dan laparaskopi.
Sedangkan berdasarkan tujuannya menurut Sofian (2013), terdapat empat jenis
sterilisasi yaitu:
1) Sterilisasi hukuman (compulsary sterilization);
2) Sterilisasi eugenik, untuk mencegah berkembangnya kelainan mental secara
turun menurun;
3) Sterilisasi medis, dilakukan berdasarkan indikasi medis demi keselamatan
wanita tersebut karena kehamilan berikutnya dapat membahayakan jiwanya;
4) Sterilisasi sukarela (coluntary sterilization), yang bertujuan ganda dari sudut
kesehatan, sosial ekonomi dan kependudukan
2.2.2 Manfaat MOW/Tubektomi
Menurut Saifuddin (2010), manfaat tubektomi dibagi menjadi 2 yaitu
keuntungan dari segi kontrasepsi dan nonkontrasepsi.
1. Manfaat kontrasepsi
- Sangat efektif (0,5 kehamilan per 100 perempuan selama tahun pertama
penggunaan)
- Tidak mempengaruhi proses menyusui
- Tidak bergantung pada faktor senggama
- Baik bagi klien, karena apabila hamil akan menjadi risiko kesehatan yang serius
- Pembedahan sederhana dapat dilakukan dengan anastesi local
- Tidak ada efek samping dalam jangka panjang
- Tidak ada perubahan dalam fungsi seksual (tidak ada efek pada produksi
hormone ovarium/ tidak mempengaruhi libido seksualitas)
2. Manfaat nonkontrasepsi
- Berkurangnya resiko kanker ovarium.
2.2.3 Keterbatasan MOW/ Tubektomi
Meskipun banyak keuntungan yang didapat pada metode sterilisasi ini, tetap
saja terdapat keterbatasan diantaranya:
1. Harus dipertimbangkan kembali sifat permanen kontrasepsi ini karena tidak
dapat dipulihkan kecuali dengan operasi rekanalisasi
2. Klien dapat menyesal dikemudian hari
3. Risiko komplikasi kecil (meningkat apabila digunakan anastesi umum)
4. Rasa sakit/ketidaknyamanan dalam jangka pendek setelah tindakan
5. Hanya dilakukan oleh dokter yang terlatih (Saifuddin, 2010)
6. Tidak dapat melindungi dari Infeksi Menular Seksual (IMS), termasuk HBV
dan HIV/AIDS(Saifuddin, 2010).
2.2.4 Syarat melakukan MOW/Tubektomi
Terdapat beberapa syarat untuk menjadi akseptor KB MOW yaitu:
1. Syarat sukarela
Meliputi pengetahuan pasangan mengenai cara kontrasepsi lain, risiko dan
keuntungan kontrasepsi mantap, serta sifat permanen metode ini.
2. Syarat bahagia
Syarat ini dilihat berdasarkan ikatan perkawinan yang sah dan harmonis.
Umur istri sekurang-kurangnya 25 tahun dengan sekurang-kurangnya 2 orang
anak hidup dan anak terkecil berumur lebih dari 2 tahun.
3. Syarat medik (Saifuddin, 2010).
2.2.5 Wanita yang dapat dan tidak dapat menjalani tubektomi
1. Wanita yang dapat menjalani tubektomi ( Saifuddin, 2010)
- Usia>26 tahun
- Paritas >2
- Yakin telah mempunyai keluarga besar yang sesuai dengan kehendaknya
- Pada kehamilannya akan menimbulkan risiko keshatan yang serius
- Pasca persalinan dan pasca keguguran
- Paham dan secara sukarela setuju dengan prosedur ini
Keadaan yang memerlukan kehati-hatian:
- Masalah-masalah medis yang signifikan (misalnya penyakit jantung,
pembekuan darah, penyakit radang panggul, obesitas, diabetes). Klien
dengan masalah medis yang signifikan menghendaki penatalaksanaan
lanjutan dan bedah yang khusus, misalnya prosedur harus dilakukan di
rumah sakit tipe A atau B atau fasilitas swasta dan bukan di sebuah
ambulatory facility. Bila memungkinkan, masalah-masalah yang signifikan
sebaiknya dikontrol sebelum proses pembedahan.
- Anak tunggal dan atau tanpa anak sama sekali. Nasihat yang sangat hati hati
dan membutuhkan waktu tambahan untuk mengambil keputusan yang bijak.
Bantulah klien untuk memeilih metode yang lain bila perlu.
Menurut Amru Sofian (2013), MOW dilakukan atas indikasi:
a. Indikasi medis umum
Adanya gangguan fisik atau psikis yang akan menjadi lebih berat jika wanita
tersebut hamil lagi, seperti tuberkulosis paru, penyakit jantung, penyakit ginjal
maupun skizofrenia.
b. Indikasi medis obstetrik
Adanya riwayat toksemia gravidarum yang berulang, seksio sesarea berulang
dan histerektomi obstetrik.
c. Indikasi medis ginekologik
Pada waktu melakukan operasi ginekologik, dapat dipertimbangkan untuk
dilakukannya MOW
d. Indikasi sosial ekonomi (Amru Sofian, 2013).
2. Wanita yang tidak dapat menjalani tubektomi
- Hamil atau dicurigai hamil
- Perdarahan melalui vagina yang belum terjelaskan penyebabnya.
- Infeksi sistematik atau pelvic akut yang belum sembuh atau masih dikontrol.
- Tidak boleh menjalani proses pembedahan.
- Belum mantap/kurang pasti dengan keinginanya untuk fertilitas dimasa
mendatang.
- Belum memberikan persetujuan tertulis (Saifuddin, 2010).
2.2.6 Waktu pelaksanaan
Pelaksanaan tindakan MOW dilakukan pada saat:
1. Setiap waktu selama siklus menstruasi apabila diyakini tidak hamil
2. Hari ke-6 hingga ke-13 dari siklus menstruasi (Saifuddin, 2010)
3. Pasca persalinan (post partum)
Sebaiknya dilakukan dalam 24 jam atau selambat-lambatnya 48 jam pasca
persalinan. Setelah lebih dari 48 jam, operasi akan lebih sulit dengan adanya
edema tuba dan infeksi yang akan menyebabkan kegagalan MOW. Jika
dilakukan setelah hari ke-7 sampai hari ke-10 pasca persalinan, uterus dan alat
genital lainnya telah mengecil dan menciut yang menyebabkan mudah
terjadinya perdarahan dan infeksi
4. Pasca keguguran (post abortus)
MOW dapat dilakukan sesaat setelah terjadinya abortus.
5. Saat tindakan operasi pembedahan abdominal (Saifuddin, 2010).
2.2.7 Teknik Operasi.
Dikenal 2 tipe yang sering digunakan dalam pelayanan tubektomi yaitu mini
laparatomi dan laparaskopi. Teknik ini menggunakan anastesi local dan bila
dilakukan secara benar, kedua teknik tersebut tidak banyak menimbulakan
komplikasi.
1. Laparoskopi
Prosedur ini memerlukan tenaga Spesialis Kebidanan dan Penyakit Kandungan
yang telah terlatih secara khusus agar pelaksanaaannya aman dan efektif. Teknik ini
dilakukan 6-8 minggu pascapersalianan atau setelah abortus (tanpa komplikasi).
Laparaskopi sebaiknya digunakan pada jumlah klien yang cukup banyak karena
peralatan laparaskopi dan biaya pemeliharaanya cukup mahal. Laparaskopi dapat
dilakuakan anastesi local dan diperlakukan sebagai pasien rawat jalan setelah
pelayanan.laparaskopi juga cocok untuk klien yang kritis karena tidak banyak
menimbulakan rasa tidak enak serta parut luka yang minimal (Saifuddin, 2010)
Akseptor dibaringkan dalam posisi litotomi. Kanula Rubin dipasang pada
serviks dan bibir depan serviks dijepit dengan tenakulum. Kemudian dibuat sayatan
1,5 cm di bawah pusat, menusukkan jarum Verres ke dalam rongga peritoneum dan
melalui jarum itu dibuat pneumoperitoneum dengan mengaliri gas CO2 sebanyak 1-
1,5 liter dengan kecepatan 1 liter/menit. Setelah dirasa cukup, jarum Verres
dikeluarkan dan sebagai gantinya dimasukkan trokar serta selubungnya yang berisi
laparoskop. Melalui kanula Rubin mencari tuba dan dilakukan sterilisasi
menggunakan cincin Folope (Wiknjosastro, 2011).
2. Mini Laparotomi
Suatu operasi kecil untuk mencapai saluran telur melalui sayatan kecil pada
dinding perut. Mula-mula kulit disayat secara melintang sampai ke jaringan subkutis
dan membuka fascia m.rectun serta m.pyramidalis dibuka secara tumpul sepanjang
2,5 cm. Peritoneum dibuka sekitar 2 cm dan memasukkan elevator untuk mengatur
posisi rahim dan tuba ke daerah operasi. Tuba ditangkap, dilakukan tubektomi dan
terakhir menutup luka operasi (Sofian, 2013).
Metode nimilaparatomi merupakan penyederhanaan laparatomi terdahulu,
hanya diperlukan sayatan kecil baik pada daerah perut bawah (suprapubik) maupun
subumbilikal (pada lingkat pusat bawah). Tindakan ini dapat dilakukan terhadap
banyak klien, relative murah dan dapat dilakukan oleh dokter yang diberi latihan
khusus. Operasi ini aman dan efektif (Saifuddin, 2010)
Berikut adalah beberapa cara tubektomi menurut Sofian, (2013).:
a. Cara Pomeroy
Mula-mula mengangkat pertengahan tuba hingga membentuk lengkungan,
kemudian bagian dasarnya diklem dan diikat dengan benang yang mudah diserap,
memotong tuba bagian atas ikatan. Setelah luka sembuh dan benang ikatan
diserap, kedua ujung potongan akan terpisah. Cara ini paling banyak digunakan
dibanding cara lain karena angka kegagalan hanya 0-0,4%
b. Cara Kroener
Cara ini dilakukan dengan mengangkat fimbria dan mengikat dengan benang
sutera pada bagian avaskular mesosalping di bawah fimbria dengan dua kali lilitan
serta pada bagian proksimal dari ikatan sebelumnya. Seluruh fimbria dipotong
(fimbriektomi) dan dikembalikan ke dalam rongga perut setelah perdarahan
berhenti. Meskipun angka kegagalannya sangat kecil bahkan tidak akan terjadi
kegagalan, namun cara ini kurang disukai karena kesuburan tidak dapat dipulihkan
kembali dan kemungkinan terjadinya perdarahan disfungsional di kemudian hari
lebih besar
c. Cara Madlener
Bagian tengah tuba diangkat dan diklem, kemudian bagian bawah klem diikat
dengan benang yang tidak mudah diserap dan klem dilepas. Pada cara ini tidak
dilakukan pemotongan tuba. Teknik ini sudah jarang silakukan karena angka
kegagalannya relatif tinggi, yaitu 1,2 %
d. Cara Aldridge
Peritoneum ligamentum latum dibuka, kemudian fimbria ditanamkan ke dalam
atau ke bawah ligamentum latum dan luka dijahit. Angka kegagalan cara ini kecil
sekali dan fimbria dapat dibuka kembali jika ibu menginginkan kesuburannya
kembali
e. Cara Uchida
Bagian tuba ditarik keluar dan pada sekitar ampula tuba disuntikkan larutan salin
adrenalin pada lapisan subserosa sebagai vasokonstriktor agar mesosalping
membesar. Pada bagian tersebut dilakukan insisi kecil dan bebaskan serosa
sepanjang 4-6 cm hingga tuba terlihat dan klem. Tuba diikat dan dipotong,
kemudian luka pada serosa dijahit dengan putung tuba menonjol ke arah rongga
perut. Menurut penemunya, cara ini tidak pernah gagal
f. Cara Irving
Pada cara ini tuba diikat pada dua tempat dengan benang yang dapat diserap.
Ujung bagian proksimal ditanamkan ke dalam miometrium, sedangkan ujung
bagian distal ditanamkan ke ligamentum latum
g. Pemasangan cincin Falope (Yoon ring)
Menggunakan aplikator (laparotomi mini, laparoskopi atau laprokator) bagian
istmus tuba ditarik dan cincin dipasang. Tuba akan tampak keputih-putihan dan
menjadi jibrotik akibat tidak mendapatkan aliran darah (Nurlaili, 2016).
h. Pemasangan klip
Penggunaan klip pada kontrasepsi tidak memperpendek panjang tuba hanya
menjepit tuba, sehingga rekanalisasi lebih mungkin dilakukan bila diperlukan
(Nurlaili, 2016).
i. Elektro-koagulasi dan pemutusan tuba
Cara ini dilakukan dengan memasukkan grasping forceps melalui laparoskopi.
Kemudian tuba dijepit sekitar 2 cm, diangkat dan dilakukan kauterisasi hingga
tampak putih, menggembung dan putus. Tuba terbakar kurang lebih 1 cm ke
proksimal dan distal serta mesosalping terbakar sejauh 2 cm (Nurlaili, 2016).
2.2.8 Komplikasi yang mungkin terjadi dan penanganannya
- Infeksi luka
Apabila terlihat infeksi luka obati dengan antibiotik. Bila terdapat abses, lakukan
dreinase dan obati seperti yang terindikasi.
- Demam pasca operasi (> 380 C)
Obati infeksi berdasarkan apa yang ditemukan.
- Luka pada kandung kemih, intestinal (jarang terjadi).
Apabila kandung kemih atau usus luka dan diketahui sewaktu operasi, lakukan
reparasi primer, apabila ditemukan pascaoperasi, dirujuk kerumah sakit yang
tepat bila perlu.
- Hematoma (subkutan)
Gunakan packs yang hangat dan lembab ditempat tersebut. Amati hal ini
biasannya akan berhenti dengan berjalannya waktu tetapi dapat membutuhkan
drainase bila ekstensif.
- Emboli gas yang diakibatkan laparoskopi (sangat jarang terjadi).
Anjurkan ke tingkat asuhan yang tepat dan mulailah resusitasi intensif,
termasuk: cairan intravena, resusitasi kardio pulmonary, dan tindakan penunjang
kehidupan lainnya.
- Rasa sakit pada lokasi pembedahan
Pastikan adanya infeksi, atau abses dan obati berdasarkan apa yang ditemukan.
- Perdarahan superficial (tepi-tepi kulit atau subkutan)
- mengontrol perdarahan dan obati berdasarkan apa yang ditemukan (Saifuddin,
2010).
2.3 Konsep Dasar Asuhan Kebidanan pada Akseptor MOW
2.3.1 Pengumpulan Data
1. Data Subjektif
a. Identitas
- Umur
Akseptor kontrasepsi mantap dianjurkan berumur sekurang-kurangnya 25
tahun jika telah memiliki 4 anak hidup atau dianjurkan berumur di atas 35
tahun jika telah memiliki 2 anak hidup (Wiknjosastro, 2011).
- Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian di Kenya tingkat pendidikan ibu dengan
pemakaian kontrasepsi modern mempunyai hubungan yang signifikan. Ibu
dengan pendidikan lebih tinggi cenderung lebih memilih menggunakan
metode kontrasepsi modern dengan efektifitas yang lebih tinggi (Copollo,
2011). Menurut Rifa’i (2013) menyatakan bahwa pengetahuan, pendidikan,
dan ketersedian alat kontrasepsi berhubungan dengan pemakaian alat KB
pada PUS. Pendidikan berhubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi
pada PUS karena rendahnya pendidikan PUS menjadikan kontrasepsi kurang
diminati, hal ini berdampak pada banyaknya anak yang dilahirkan dengan
jarak persalinan yang dekat.
- Pekerjaan
Ibu post MOW tidak diperkenankan mengangkat benda benda berat dan
bekerja keras selama 1 minggu (Saifuddin, 2010)
b. Keluhan utama/alasan kunjungan
Kunjungan pemeriksaan rutin ibu post MOW biasanya antara 7 dan 14 hari
setelah pembedahan
Keluhan yang mungkin terjadi setelah pemasangan yaitu infeksi pada luka,
demam, rasa sakit pada lokasi pembedahan, perdarahan superfisisal (tepi kulit
atau subkutan) ( Saifuddin, 2010).
c. Riwayat menstruasi
Untuk mengetahui perubahan pola haid yang mungkin terjadi. Dikaji tentang
mens terakhir, lama, banyaknya, siklus, sifat darah, dan dismenore. Melalui
riwayat menstruasi ini, dapat digunakan sebagai identifikasi apakah ibu
mengalami gangguan organ reproduksi atau tidak. Perdarahan pervagina yang
belum terjelaskan sebabnya juga merupakan keadaan yang memerlukan
penundaan apabila ibu ingin kontrasepsi MOW (Saifuddin, 2010).
d. Riwayat obstetri yang lalu
Dikaji riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas yang lalu, jumlah anak laki /
perempuan yang hidup / meninggal, berapa jarak antara persalinan, keguguran
terakhir dengan penggunaaan kontrasepsi (metode KB) sekarang. Yang perlu
diperhatikan sehubungan dengan MOW adalah ibu dengan paritas >2
(Saifuddin, 2010).
e. Riwayat KB
Dikaji riwayat KB yaitu meliputi pengetahuan dan pengalaman mengenai cara-
cara kontrasepsi, risiko dan keuntungan, serta sifat kepermanenan masing-
masing kontrasepsi, sehingga ibu menetapkan pilihan pada kontrasepsi mantap
sebagai metode kontrasepsinya. Hal ini menunjukkan bahwa ibu telah
memenuhi syarat sukarela sebagai calon akseptor MOW (Wiknjosastro, 2011).
f. Riwayat kesehatan ibu
Meliputi penyakit yang pernah dialami dan pengobatan yang pernah dilakukan.
Hal ini penting diketahui untuk melihat kemungkinan adanya penyakit yang
menyertai dan yang dapat mempengaruhi program KB. Anggraini (2011)
menyebutkan indikasi medis kontrasepsi tubektomi adalah penyakit yang berat
kronik seperti jantung, ginjal, paru-paru, dan penyakit kronik lainnya.
Yang perlu dIkaji yaitu riwayat bedah mayor dengan imobilisasi lama, penyakit
radang panggul, penyakit jantung iskemik, perlekatan uterus oleh
pembedahan/infeksi yang lalu (Saifuddin, 2010), serta stroke (Irianto, 2014).
g. Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat penyakit yang berhubungan dengan ibu, ayah, saudara kandung,
kakek, nenek, paman dan bibi (Varney, 2007). Hal ini juga ditanyakan seperti
TBC, hepatitis, hipertensi karena merupakan penyakit keturunan dan
berpengaruh terhadap akseptor.
h. Data fungsional kesehatan
- Nutrisi
Ibu setelah melahirkan diannjurkan minum yang cukup agar tidak sembelit
pasca melahirkan. Makanan yang bergizi juga sangat penting untung
penyembuhan luka bekas operasi (Indivara, 2009)
- Aktivitas
Ibu post sesar tidak diperkenankan membawa beban berat karena kondisi ibu
masih lemah dan belum pulih, dan rasa nyeri bekas operasi masih terasa,
setelah 1 bulan kondisi ibu akan membaik jika dibarengi istirahat dan makan
makanan bergizi (Indivara, 2009). Akseptor MOW harus menghindari
pekerjaan berat atau mengangkat benda-benda berat selama 1 minggu setelah
pemasangan (Saifuddin, dkk, 2010).
- Istirahat
Istirahat yang cukup minimal harus tidur 8 jam sehari untuk mempercepat
pemulihan (Indivara, 2009).
i. Riwayat psikososial
Penggunaan kontrasepsi perlu didiskusikan bersama suami karena berhubungan
dengan fungsi kesuburan. Perempuan akseptor KB merasa lebih nyaman ketika
keputusan KB diputuskan secara mufakat antara pasangan (Kohan dkk, 2012).
Kontrasepsi mantap merupakan tindakan pembedahan yang bersifat permanen,
tidak dapat dipulihkan kembali. Ibu yakin telah memiliki besar keluarga yang
sesuai dengan keinginannya (Saifuddin, 2010). Handayani (2010) menyebutkan
salah satu syarat peserta tubektomi adalah syarat bahagia yang meliputi terikat
dalam perkawinan yang sah dan harmonis, memiliki sekurang-kurangnya dua
anak yang hidup dan sehat baik fisik maupun mental, dan umur istri sekitar 25
tahun.
2. Data Obyektif
a. Pemeriksaan umum
- TD : Ibu dengan tekanan darah tinggi (sistolik > 160 mmHg dan diastolik >
100 mmHg) tindakan kontrasepsi hanya dilakukan oleh tenaga yang sangat
berpengalaman, dan perlengkapan anastesi tersedia. Diperluka pula
kemampuan untuk menentukan prosedur klinik serta anastesi yang tepat
(Saifuddin, 2010).
- IMT : ibu dengan obesitas ( IMT > 30 kg/m2). Tindakan kontrasepsi mantap
dapat dilakukan, tetapi dengan persiapan dan kewaspadaaan khusus.
(Saifuddin, 2010).
b. Pemeriksaan fisik
- Mata : konjungtiva pucat pada anemia, sklera ikterik pada penderita
hepatitis. Ibu dengan anemia (kadar hb < 7 gr/dl) dan hepatitis aktif
sebaiknya tindakan kontrasepsi mantap ditunda terlebih dahulu (Saifuddin,
2010)
- Leher : penonjolan vena jugularis pada penderita penyakit jantung. Ibu
dengan penyakit jantung tindakan kontasepsi mantap hanya dilakukan oleh
tenaga yang sangat berpengalaman (Saifuddin, 2010)
- Abdomen ; pembesaran uterus pada kehamilan. ibu yang dicurigai hamil
tidak diperbolehkan menjalani MOW (Saifudin, 2010)
- Genitalia : Ibu dengan perdarahan pervagina yang belum diketahui sebabnya
sebaiknya ditunda untuk pelaksanaan MOW hingga tertangani. Infeksi
sistemik atau pelvik yang akut harus disembuhkan atau dikontrol terlebih
dahulu (Saifuddin, 2010).
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang perlu dilakukan sebelum dilakukan MOW yaitu pemeriksaan
darah (kadar Hb) dan pemeriksaan kehamilan (PP test). Ibu yang diduga atau
diketahui hamil tidak diizinkan untuk dilakukan MOW. Begitu pula ibu yang
mengalami anemia defisiensi besi dengan kadar Hb < 7 gr% (Saifuddin, 2010).
2.3.2 Interpretasi Data Dasar
Papah post SC hari ke-. . . . + akseptor kontrasepsi MOW.
2.3.3 Identifikasi Diagnosa atau Masalah Potensial
Pada asuhan kebidanan akseptor MOW, seharusnya tidak ditemukan
diagnosis potensial. Jika terdapat tanda-tanda yang mengarah pada
komplikasi, lebih baik dilakukan penundaan proses bedah hingga temuan
tersebut dapat dievaluasi dan keadaan klien membaik. Meskipun demikian,
komplikasi mungkin dapat terjadi setelah dilakukan tindakan MOW.
Komplikasi tersebut antara lain infeksi luka, demam pasca operasi, luka pada
kandung kemih, luka intestinal, hematoma, emboli gas yang diakibatkan oleh
laparoskopi, rasa sakit pada lokasi pembedahan serta perdarahan superfisial.
Antisipasi dan penanganan diberikan sesuai dengan komplikasi yang timbul
(Saifuddin, 2010).
2.3.4 Identifikasi Kebutuhan Tindakan Segera
Telah disebutkan bahwa pada asuhan kebidanan akseptor MOW seharusnya
tidak ditemukan diagnosis potensial. Namun, jika terjadi komplikasi pasca
operasi, maka dilakukan penanganan yang sesuai (Saifuddin, 2010).
2.3.5 Perencanaan Asuhan
a. Menjelaskan hasil pemeriksaan kepada ibu,
R/Ibu mengerti penjelasan yang diberikan
b. Melakukan perawatan jahitan operasi dengan menggunakan kassa betadin,
melepaskan benang luka jahitan,
R/luka kering dan tidak ditutup kasa karena sudah kering
c. Mengajarkan kepada ibu cara melakukan perawatan jahitan operasi saat di
rumah, yaitu cukup dengan menjaga agar daerah jahitan tidak lembab
sehingga akan menghindari terjadinya infeksi
R/ ibu mengerti dan dapat mengulang kembali apa yang diajarkan
d. Memberikan HE tentang kebutuhan nutrisi untuk memper banyak asupan
vitamin dan tidak ada pantangan kecuali alergi.
R/Ibu mengerti dan bersedia melaksanakan anjuran yang diberikan
e. Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya lebih sering (2-3 jam sekali),
karena hisapan mulut bayi dapat meningkatkan produksi air susu ibu sehingga
ibu tidak perlu menambah susu formula.
R/Ibu mengerti dan bersedia melakukan anjuran yang diberikan
f. Menganjurkan kepada ibu untuk kontrol ulang sewaktu-waktu jika ada
keluhan
R/ibu bersedia.
2.3.6 Pelaksanaan
Melaksanakan asuhan kebidanan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan
sebelumnya
2.3.7 Evaluasi
Mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan, sejauh mana tujuan dapat dicapai.
Jika ada tujuan yang belum tercapai, maka dilakukan pengkajian kembali,
diberikan asuhan dan dilakukan evaluasi kembali.
BAB 3
TINJAUAN KASUS

No. RM : 36- 82 - xx
Tanggal Pengkajian : 22 November 2018 Pukul : 11.00 WIB
Oleh : Rosmiati
Tempat : Poli KB RSAL Dr. Ramelan Surabaya

3.1 Data Subyektif


3.1.1 Identitas
Nama ibu : Ny. V Nama suami : Tn. H
Umur : 36 tahun Umur : 48 tahun
Agama : Islam Agama : Islam
Suku : Jawa Suku : Jawa
Pendidikan : D3 Pendidikan : S2
Pekerjaan : - Pekerjaan : PNS
Alamat : Jl. Medayu Selatan, Surabaya.

3.1.2 Alasan kunjungan


Kontrol post SC+MOW hari ke 10.
3.1.3 Keluhan utama
Masih sedikit nyeri pada luka jahitan bekas operasi.
3.1.4 Riwayat Obstetri
Kehamilan Persalinan Anak Nifas
Suami Anak KB
UK Pylt Penol Jenis Tem Pylt JK BB H/M Pylt ASI
ke ke
1 1 9 bln - Dokter Spt B RS KPP P 2800 gr H/13th - 6 bln Sntk 3 bln

2 9 bln - Dokter Spt B RS - L 3250 gr H/8 th - 3 th Sntk 3 bln

Spt MOW
3 8 bln Gemeli Dokter RS Sungsang P 1500 Gr H/10 hr -
Brach
4 8 bln Gemeli Dokter SC RS Lintang P 2300 gr H/10 hr - MOW

3.1.5 Riwayat kehamlan dan persalinan sekarang (Data RM)


- Riwayat kehamilan
HPHT - Maret 2018. TM I Ibu ANC pertama kali usia kehamilan 5 mg di
Klinik, usia 13 mg sampai usia kehamilan 32 minggu ANC rutin di klinik
SpOG.
- Riwayat persalinan
Ibu bersalin tanggal 12 November 2018 dengan usia kehamilan 33-34
minggu+KPP+ gemeli. Bayi ke 1 dengan presentasi bokong lahir secara
spontan brach pukul 10.50 wib di ruang VK RSAL Dr. Ramelan, jenis kelamin
perempuan, BB 1500 gram, PB 38 cm, AS 7-8 bayi dikirim ke NICU IGD.
Bayi ke 2 dengan letak lintang dilakukan cito operasi lahir secara section
caesarea di OK 4, jenis kelamin perempuan, BB 2300, AS 7-8 bayi dikirim ke
NICU IGD. Ttidak ada kelainan kongenital, setelah section caesarea dilakukan
MOW. Ibu menjalani perawatan selama 3 hari di rumah sakit.
3.1.6 Riwayat Kontrasepsi
Setelah melahirkan anak ke-1 ibu menggunakan kontrasepsi suntik 3 bulan
selama 2 bulan lalu ganti cara ke suntik 1 bulan selama 4 tahun, setelah itu
lepas kontrasepsi karena ingin hamil kembali.
Setelah melahirkan anak ke-2 ibu menggunakan suntik 3 bulan selama 6 tahun,
setela itu lepas karena ingin hamil kembali.
Setelah melahirkan anak yang ke-3 dan ke-4 ini, ibu memutuskan untuk
dilakukan MOW segera setelah section caesarea.
3.1.7 Riwayat kesehatan ibu
Ibu tidak pernah menderita penyakit hipertensi, asma, ginjal, hepatitis, TBC dan
HIV. Ibu juga tidak mempunyai riwayat alergi terhadap apapun.
3.1.8 Riwayat kesehatan keluarga
Ibu kandung menderita diabetes dan hipertensi. Tidak pernah ada yang
menderita penyakit jantung, ginjal, hepatitis, TBC dan HIV
3.1.8 Riwayat fungsional kesehatan
- Nutrisi : makan 3x sehari dengan porsi sedang, dan minum cukup.
Tidak ada alergi maupun pantangan makanan
- Eliminasi : BAB1-2 kali sehari, BAK 5-6 kali sehari tidak ada keluhan.
- Istirahat : Tidur siang kadang-kadang, tidur malam 6-7 jam perhari.
- Aktivitas : Mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa, namun
mengurangi pekerjaan berat
- Hygiene : Mandi 2x sehari, ganti celana dalam 2x sehari, ganti
pembalut 3-4x sehari
- Seksual : Selama masa nifas ini belum melakukan hubungan seksual.
3.1.9 Riwayat psikososial nudaya spiritual
- Riwayat pernikahan : Menikah satu kali selama 14 thun, perama kali
menikah usia 22 tahun.
- Riwayat psikososial : Ibu dan keluarga senang dengan kelahiran
bayinya.
- Riwayat budaya : Tidak ada adat budaya yang membahayakan
masa nifas.
3.2 Data Obyektif
3.2.1 Pemeriksaan umum
- Keadaan : Baik
umum
- Kesadaran : Compos Mentis
- Tanda Vital
Tekanan : 110/80 mmHg
Darah
Nadi : 79x/menit
Pernafasan : 21x/menit
- Antropometri
BB : 66 Kg
3.2.1 Pemeriksaan fisik
- Wajah : tidak pucat dan tidak oedema, konjungtiva merah muda,
sklera putih, bibir tidak pucat, tidak kering
- Payudara : Putting kedua payudara menonjol, ASI sudah keluar
pada kedua payudara.
- Abdomen : TFU 1 jari diatas simfisis, konsistensi uterus keras,
terdapat luka SC melintang, kering tidak ada tanda
infeksi.kandung kemih tidak teraba penuh.
- Genetalia : Tidak ada luka jahitan pada perineum. Lokhea
kekuningan/ serosa.
- Ekstremitas : tidak terdapat oedema pada ekstremitas atas maupun
bawah, juga tidak terdapat varises.
3.3 Analisis
P2204 post SC hari ke- 10 + akseptor kontrasepsi MOW
3.4 Penatalaksanaan
Tanggal : 22 November 2018
Jam Tindakan Pelaksana
11.15wib 1. Menjelaskan hasil pemeriksaan kepada ibu Rosmiati
2. Melakukan perawatan jahitan operasi dengan
menggunakan kassa betadin, melepaskan benang luka
jahitan, luka kering dan tidak ditutup kasa karena sudah
kering
3. Menjelaskan penyebab nyeri yang dirasakan yaitu
dikarenakan terputusnya jaringan dan syaraf pada daerah
operasi sehingga ibu akan merasakan nyeri pada daerah
tersebut, ibu mengetahui penyebab nyeri.
4. Menjelaskan pada ibu bahwa kontrasepsi MOW tidak
akan mengganggu menstruasi, ibu mengerti.
5. Mengajarkan kepada ibu cara melakukan perawatan
jahitan operasi saat di rumah, yaitu cukup dengan
menjaga agar daerah jahitan tidak lembab sehingga akan
menghindari terjadinya infeksi, ibu mengerti dan dapat
mengulang kembali apa yang diajarkan
6. Memberikan KIE tentang
- Nutrisi, untuk memperbanyak asupan protein dan
vitamin serta tidak ada pantangan kecuali alergi.
- Istirahat cukup, agar kondisi ibu cepat pulih
- Personal hygine
- Tanda bahaya nifas.
7. Menganjurkan ibu untuk memberikan bayinya ASI dan
tidak perlu menambah susu formula. Ibu mengerti dan
bersedia melakukan anjuran yang diberikan
8. Menganjurkan kepada ibu untuk kontrol ulang sewaktu-
waktu jika ada keluhan, ibu bersedia
BAB 4
PEMBAHASAN

Pada kasus Ny. “V” dengan P2204 dengan akseptor MOW didapatkan keadaan
umum ibu baik, dan Ibu datang ke poli KB RS DR. Ramelan Surabaya untuk kontrol
ulang post SC+MOW.
Pada data subjektif didapatkan bahwa ibu sudah berusia 36 tahun, sesuai
dengan teori yang menyatakan bahwa syarat dilakukan MOW yaitu pada wanita usia
≥ 26 tahun (Saifudin, 2010). Ny. V masih mengeluh sedikit nyeri pada luka jahitan
bekas operasi sesuai dengan teori Saifuddin, 2010 bahwa keluhan yang mungkin
terjadi setelah pemasangan yaitu infeksi pada luka, demam, rasa sakit pada lokasi
pembedahan, perdarahan superfisisal (tepi kulit atau subkutan). Pada riwayat
obstetrik didapatkan Ny. V saat ini telah memiliki 4 orang anak, sehingga Ny V
memenuhi syarat untuk dilakukan MOW, dimana wanita yang dapat melakukan
MOW yaitu ibu dengan paritas >2. Pada riwayat kontrasepsi Ny V melakukan MOW
segera post section sesaria, hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa
MOW sebaiknya dilakukan dalam 24 jam atau selambat-lambatnya 48 jam pasca
persalinan (Saifuddin,2010).
Pada pemeriksaan objektif, TD darah Ny. V 110/80 mmhg. Ibu dengan tekanan
darah tinggi (sistolik > 160 mmHg dan diastolik > 100 mmHg) tindakan kontrasepsi
hanya dilakukan oleh tenaga yang sangat berpengalaman, dan perlengkapan anastesi
tersedia. Diperluka pula kemampuan untuk menentukan prosedur klinik serta anastesi
yang tepat (Saifuddin, 2010). Pada pemeriksaan abdomen diperoleh TFU 1 jari diatas
simfisis, konsistensi uterus keras, terdapat luka SC melintang, kering tidak ada tanda
infeksi, setelah dibersihkan lua tidak ditutup kembali karena sudah kering.
Penatalaksanaan yang dilakukan untuk kasus Ny.V ini yaitu menjelaskan hasil
pemeriksaan kepada ibu, melakukan perawatan jahitan operasi dengan menggunakan
kassa betadin, melepaskan benang luka jahitan, menjelaskan penyebab nyeri
yang dirasakan yaitu dikarenakan terputusnya jaringan dan syaraf pada
daerah operasi sehingga ibu akan merasakan nyeri pada daerah tersebut,
mengajarkan kepada ibu cara melakukan perawatan jahitan operasi saat di rumah,
yaitu cukup dengan menjaga agar daerah jahitan tidak lembab sehingga akan
menghindari terjadinya infeksi, memberikan KIE tentang nutrisi, untuk
memperbanyak asupan protein dan vitamin serta tidak ada pantangan kecuali alergi,
istirahat cukup, agar kondisi ibu cepat pulih, personal hygiene agar
terhindar dari infeksi, dan tanda bahaya nifas. Menganjurkan ibu untuk
memberikan bayinya ASI dan tidak perlu menambah susu formula, menganjurkan
kepada ibu untuk kontrol ulang sewaktu-waktu jika ada keluhan.
BAB 5
PENUTUP

5.1 Simpulan
MOW atau Tubektomi merupakan salah satu jenis kontrasespsi jangka panjang
dengan prosedur bedah yang dilakukan secara sukarela untuk menghentikan fertilitas
(kesuburan) seorang perempuan, dengan mengoklusi tuba fallopi (mengikat dan
memotong atau memasang cincin) sehingga sperma tidak dapat bertemu dengan
ovum. Pada Kasus MOW yang dilakukan oleh Ny.V telah dilakukan pengkajian data,
Ny. F termasuk kedalam kelompok wanita yang boleh melakukan MOW karena
memenuhi syarat sebelum dilakukan MOW diantaranya usia 36 tahun, paritas >2, dan
atas sukarela dan telah berdiskusi degan suami. Pada kasus Ny “V” P2204 post SC+
MOW hari ke-10 perencanaan dan pelaksanaan asuhan kebidanan telah dilakukan
dengan baik sesuai dengan kebutuhan dan standar yang ada.
5.2 Saran
5.2.1 Untuk Petugas
Petugas harus senantiasa melaksanakan tindakan yang sesuai dengan protap
(prosedur tetap) dalam menatalaksana suatu kondisi pada pasien, serta berupaya
untuk mensukseskan program kesehatan seperti KB dengan menawarkan KB kepada
ibu sesuai dengan kondisi masing-masing.
5.2.2 Untuk Klien dan Keluarga
Diharapkan ibu dan keluarga lebih kooperatif dalam melaksankan anjuran yang
diberikan oleh dokter/bidan/perawat agar dapat mendukung asuhan yang diberikan,
sehingga masalah ibu dapat segera teratasi dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, Y., dan Martini. 2011. Pelayanan Keluarga Berencana. Yogyakarta :


Rohima Press.
BKKBN. (2006). Buku Saku Bagi Petugas Lapangan Program KB Nasional Materi
Konseling. Jakarta : BKKBN
BKKBN. 2012. Angka Pemakaian Kontrasepsi Nasional.
BKKBN. 2014. Kebijkan dan Strategi Akselerasi Program Kependudukan, KB dan
Pembangunan Keluarga TA. 2014. Jakarta: BKKBN
BKKBN. 2015. Profil Kependudukan dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta:
BKKBN.
Copollo, D. A. 2011. "Modernization and Contraception in Kenya from 1998 to
2008-2009" (dissertation). Texas. University of Texas at Arlington
Dewi, Sunarsih. 2011. Asuhan Kehamilan untuk Kebidanan. Jakarta : Salemba.
Indivara, Nadia. 2009. 200 Tips Ibu Smart Anak Sehat. Yogyakarta : Penerbit Pusaka
Anggrek.
Manuaba, IBG. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB untuk
Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC.
Mochtar, Rustam. 2011. Sinopsis Obstetri. Jakarta : EGC.
Noviawati, 2009. Panduan Lengkap Pelayanan KB Terkini. Yogyakarta : Nuha
Medika
Nurlaili, H. 2016. Asuhan Kebidanan Keluarga Berencana. Semarang :
USM
Proverawati, A. dkk. 2010. Panduan Memilih Kontrasepsi. Yogyakarta: Nuha
Medika
Rifa’I, A. 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Alat
Kontrasepsi pada Pasangan Usia Subur di Wilayah Puskesmas Bahu
Kabupaten Gorontalo (Prosiding Seminar Nasional Kependudukan). Fakultas
Kesehatan Masyarakat. Universitas Jember
Saiffudin, AB. 2010. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta : PT.
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Sofian, Amru, dan Loi Indra (ed). 2013. Rustam MochtarSinopsis Obstetri. Jakarta:
EGC.
Wiknjosastro, H., dkk. 2011. Ilmu Kandungan. Jakarta: PT. Bina Pustaka.
Yuhaedi, T.L., dan Kurniawati, T. 2013. Buku Ajar Kependudukan dan Pelayanan
KB. Jakarta: EGC.

Yulianti, F. 2013. Asuhan Kebidanan Keluarga Berencana. Kebidanan DIII UMP.

Vous aimerez peut-être aussi