Vous êtes sur la page 1sur 134

TESIS

VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR


(VEGF) DALAM CALCIUM SULFATE MENGINDUKSI
LEBIH BANYAK SEL OSTEOBLAS DAN KOLAGEN
TIPE 1 PADA DEFEK TULANG FEMUR TIKUS
SETELAH DILAKUKAN BONE RECYCLING GRAFT
DENGAN NITROGEN CAIR

TJOK AGUNG YAVATRISNA VIDYAPUTRA

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016

!
!
!

TESIS

VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR


(VEGF) DALAM CALCIUM SULFATE MENGINDUKSI
LEBIH BANYAK SEL OSTEOBLAS DAN KOLAGEN
TIPE 1 PADA DEFEK TULANG FEMUR TIKUS
SETELAH DILAKUKAN BONE RECYCLING GRAFT
DENGAN NITROGEN CAIR

TJOK AGUNG YAVATRISNA VIDYAPUTRA


NIM 1114118202

PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
i!!
!
!

VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR


(VEGF) DALAM CALCIUM SULFATE MENGINDUKSI
LEBIH BANYAK SEL OSTEOBLAS DAN KOLAGEN
TIPE 1 PADA DEFEK TULANG FEMUR TIKUS
SETELAH DILAKUKAN BONE RECYCLING GRAFT
DENGAN NITROGEN CAIR

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister


Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana

TJOK AGUNG YAVATRISNA VIDYAPUTRA


NIM 1114118202

PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
ii!!
!
!

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL, 8 Nopember 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. dr Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes dr. Wayan Suryanto Dusak Sp.OT (K)
NIP 19530131 198003 1 004 NIP 19610803 198803 1 002

Mengetahui,

!
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur
Program Pascasarjana Program Pascasarjana
Universitas Udayana Universitas Udayana

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K)
NIP 19580521 198503 1 002 NIP 19590215 198510 2 001

iii!
!
!
!

Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal: 8 Nopember 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana


No: 5391/UN14.4/HK/2016
Tertanggal: 2 Nopember 2016

Ketua: Prof. Dr. dr. I Ketut Siki Kawiyana, Sp. B., Sp.OT (K)
Anggota:
1.! Prof. Dr. dr Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes
2.! dr. K.G Mulyadi Ridia, Sp.OT (K)
3.! dr. Wayan Suryanto Dusak Sp.OT (K)
4.! Dr. dr. I Ketut Suyasa, Sp.B, Sp.OT (K)

iv!
!
!
!

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

v!!
!
!

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat

rahmat-Nya Tesis yang berjudul Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)

dalam Calcium sulfate menginduksi lebih banyak Sel Osteoblas dan Kolagen tipe

1 pada Defek Tulang Femur Tikus setelah Dilakukan Bone Recycling Graft dengan

Nitrogen Cair dapat diselesaikan .

Penulis mengucapkan terimakasih kepada :

Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD, FINASIM, sebagai Rektor Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana.

Prof. Dr. dr Putu Astawa, SpOT, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana.

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), sebagai direktur program

Pascasarjana Universitas Udayana.

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK, sebagai ketua program

studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana

Prof. Dr. dr. Ketut Siki Kawiyana, SpB, SpOT (K), sebagai ketua program studi

Orthopaedi dan Traumatologi FK Udayana – RSUP Sanglah Denpasar dan selaku

pembimbing I, atas bimbingan dan arahannya dalam perbaikan penelitian ini.

Dr. dr. I Ketut Suyasa, SpB, SpOT (K), selaku Kepala Sub-Bagian/SMF

Orthopaedi dan Traumatologi FK Udayana – RSUP Sanglah Denpasar, atas nasihat

dan bimbingannya untuk bisa terselesainya usulan penelitian tersebut.

dr. Wayan Suryanto Dusak Sp.OT (K), selaku pembimbing II, atas nasihat dan

bimbingannya untuk bisa terselesainya usulan penelitian tersebut.

vi!
!
!
!

Seluruh staf pengajar Orthopaedi dan Traumatologi FK Udayana RSUP

Sanglah Denpasar atas dukungan guna terselesaikannya usulan penelitisan tersebut.

Dr. drh. Ida Bagus Oka Winaya, M.Kes dan staff atas dukungannya

terselesainya penelitian tersebut.

Semua dosen pengajar Combined Degree Pascasarjana Universitas Udayana

yang telah banyak memberikn masukan dan bimbingan.

Keluarga tercinta yang selalu memberikan doa dan dukungan demi

terselesainya penelitian ini serta rekan-rekan dan semua pihak yang telah membantu

dalam penulisan laporan ini.

Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena itu

dengan segala keredahan hati penulis menerima saran dan kritik untuk perbaikan

penelitian ini.

Denpasar, September 2016

Penulis

vii!
!
!
!

ABSTRACT

VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) IN CALCIUM


SULFATE INDUCES MORE OSTEOBLASTS AND TYPE I COLLAGEN
IN RATS WITH FEMUR BONE DEFECTS AFTER BONE RECYCLING
GRAFT WITH LIQUID NITROGEN

Tjok Agung Y. Vidyaputra

INTRODUCTION. Bone defects can be caused by trauma, neoplasms, congenital


defects and infections. Reconstruction of bone defects to achieve ideal bone lengths
and achieve union of the bone is still a challenge. The expression of growth factors
such as vascular endothelial growth factor (VEGF) may stimulate bone healing
process. Calcium sulfate is useful biomaterials conductor of growth factors such as
VEGF. Administration VEGF in Calcium sulfate can help the process of bone
regeneration by stimulating osteoblast proliferation and differentiation and the
synthesis of type I collagen which can help regenerate bone defect.
METHODS. The experimental study with randomized post-test only control group
design with a sample of 32 male Wistar rats. These mice were then divided into two
groups, and adapted for 1 week prior to the making defect on mice femur bone and
bone recycling was done with liquid nitrogen. The first group were given VEGF in
calcium sulfate bone graft, the second group were given only calcium sulfate bone
graft. Wound care was done every day for 1 week. During the fourth week, removal
of bone defect for examination of the expression of type I collagen and the number
of osteoblast cells was done.
RESULTS. The average number of osteoblast found on the rat that are given VEGF
and calcium sulfate (387.875 ± 17.587) more than given calcium sulfate only.
(284.937 ± 10.009), inferential test using independent t-test showed significant
different on osteoblast number between two groups, p=0.000 (p<0,05). Expression
of type I collagen is higher on samples that is given VEGF inside calcium sulfate
with mean rank 24.50 compare with calcium sulfate only, mean rank 8.50. Using
Mann-Whitney U it is found a significant different of type I collagen expression
between two groups with p=0.000 (p<0.05).
CONCLUSIONS. Provision of VEGF in calcium sulfate in rats with femur bone
defects after bone recycling with liquid nitrogen, had more number of osteoblasts
and higher expression of type I collagen was higher when compared to provision of
calcium sulfate only.

KEYWORDS: VEGF, Calcium Sulfate, bone defects, osteoblast, type I collagen,


bone recycling, liquid nitrogen

viii!
!
!
!

ABSTRAK

VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) DALAM


CALCIUM SULFATE MENGINDUKSI LEBIH BANYAK SEL
OSTEOBLAS DAN KOLAGEN TIPE 1 PADA DEFEK TULANG FEMUR
TIKUS SETELAH DILAKUKAN BONE RECYCLING GRAFT DENGAN
NITROGEN CAIR

Tjok Agung Y. Vidyaputra

PENDAHULUAN. Defek tulang dapat disebabkan oleh trauma, neoplasma, defek


kongenital dan infeksi. Rekonstruksi defek tulang untuk mencapai panjang tulang
yang ideal dan mencapai union dari tulang tersebut masih menjadi suatu tantangan
tersendiri. Ekspresi faktor pertumbuhan seperti Vascular Endothelial Growth
Factor (VEGF) dapat menstimulasi proses penyembuhan tulang. Calcium sulfate
berguna sebagai biomaterial penghantar growth factor seperti VEGF. Pemberian
VEGF dalam calcium sulfate dapat membantu proses regenerasi tulang melalui
stimulasi proliferasi dan diferensiasi osteoblast serta sintesis kolagen tipe I yang
dapat membantu regenerasi tulang yang mengalami defek.
METODE. Penelitian eksperimental randomized post-test only control group
design dengan sampel 32 ekor tikus Wistar jantan. Tikus kemudian dibagi menjadi
2 kelompok, dan diadaptasikan selama 1 minggu sebelum dilakukan pembuatan
defek pada tulang femur tikus dan dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair.
Kelompok pertama diberikan VEGF dalam bone graft calcium sulfate, kelompok
kedua hanya pemberian bone graft calcium sulfate. Perawatan luka dilakukan setiap
hari selama 1 minggu dan pada minggu keempat dilakukan pengambilan defek
tulang untuk pemeriksaan ekspresi dari kolagen tipe I dan jumlah sel osteoblas.
HASIL. Didapatkan jumlah rerata osteoblas pada tikus dengan pemberian VEGF
dalam calcium sulfate (387,875 ± 17,587) lebih banyak dibandingkan pemberian
calcium sulfate saja (284,937 ± 10,009), uji inferensial dengan independent t-test
menunjukkan perbedaan yang signifikan dari jumlah sel osteoblas antara kedua
kelompok, dimana p=0,000 (p < 0,05). Didapatkan ekspresi kolagen tipe I yang
lebih tinggi pada pemberian VEGF dalam calcium sulfate dengan mean rank 24,50
dibanding pemberian calcium sulfate saja, dengan mean rank 8,50. Dan uji Mann-
Whitney U didapatkan perbedaan yang signifikan dari ekspresi kolagen tipe I antara
kedua kelompok dengan nilai p=0,000 (p < 0,05).
KESIMPULAN. Pemberian VEGF dalam calcium sulfate pada defek pada tulang
femur tikus setelah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair, memiliki jumlah
osteoblast lebih banyak dan ekspresi kolagen tipe I lebih tinggi bila dibandingkan
dengan pemberian calcium sulfate saja.

Kata kunci: VEGF, calcium sulfate, defek tulang, osteoblas, kolagen tipe I, bone
recycling, nitrogen cair

ix!
!
!
!

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................. iii

TESIS INI TELAH DIUJI PADA ...................................................................................iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .................................................................. v

UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................................vi

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... x

DAFTAR TABEL ............................................................................................................ xv

DAFTAR SINGKATAN .................................................................................................xvi

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................ xviii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 3

1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................................... 4

1.3.1 Tujuan umum .......................................................................................... 4

1.3.2 Tujuan khusus ......................................................................................... 4

1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................................................... 4

1.4.1 Manfaat Akademik/Ilmiah ...................................................................... 4

1.4.2 Manfaat praktis ....................................................................................... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................................................. 6

2.1 Anatomi Tulang ......................................................................................................... 6

x!!
!
!

2.1.2 Fisiologi dari pembentukan tulang.......................................................... 8

2.1.3 Pembentukan tulang ................................................................................ 9

2.1.4 Osteoblas ................................................................................................. 9

2.1.5 Matriks tulang ....................................................................................... 11

2.1.8 Osifikasi Intramembranous (Mesenchymal) ......................................... 13

2.2 Proses Penyembuhan Tulang ................................................................................... 16

2.2.1 Remodelling tulang ............................................................................... 18

2.2.2 Mediator dari Remodelling ................................................................... 21

2.2.3 Fase Remodelling.................................................................................. 21

2.2.4 Faktor regulator pada remodeling tulang .............................................. 24

2.2.5 Regulator lokal dari remodeling tulang ................................................ 25

2.2.6 Matriks Protein...................................................................................... 26

2.2.7 Sitokin ................................................................................................... 27

2.3. Bone Recycling ...................................................................................................... 28

2.3.1. Pengertian cryosurgery ........................................................................ 29

2.3.2. Teknik cryosurgery .............................................................................. 30

2.3.3. Efek cryosurgery .................................................................................. 35

2.4 VEGF ....................................................................................................................... 42

2.5 Bone Graft ............................................................................................................... 44

2.5.1 Hydroxyapatite...................................................................................... 47

2.6 Kolagen .................................................................................................................... 49

2.6.1. Fibril forming collagens – Kolagen tipe I, II, III, V, dan XI ............... 52

2.7 Hubungan VEGF, Calcium Sulfat dalam Pembentukan Sel Osteoblas dan Matriks

Osteoid ........................................................................................................................... 54

xi!
!
!
!

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS .............................. 61

3.1 Kerangka Berpikir ................................................................................................... 61

3.2 Kerangka Konsep .................................................................................................... 63

3.3 Hipotesis .................................................................................................................. 64

BAB IV METODE PENELITIAN ................................................................................. 65

4.1 Rancangan Penelitian .............................................................................................. 65

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................................... 65

4.3 Penentuan Sumber Data .......................................................................................... 65

4.3.1 Populasi ................................................................................................. 65

4.3.2 Sampel Penelitian dan Cara Pengambilan Sampel ............................... 65

4.3.2.2 Kriteria Eksklusi dan Drop out .......................................................... 66

4.4 Besar Sampel Penelitian .......................................................................................... 66

4.5 Variabel Penelitian .................................................................................................. 66

4.5.1 Klasifikasi variabel ............................................................................... 66

4.5.2 Definisi Operasional Variabel............................................................... 67

4.6 Alat dan Bahan Penelitian ....................................................................................... 69

4.6.1 Alat Penelitian....................................................................................... 69

4.6.2 Bahan Penelitian ................................................................................... 70

4.7 Cara Kerja ................................................................................................................ 70

4.8 Alur Penelitian ......................................................................................................... 73

4.9 Analisa Data ............................................................................................................ 73

BAB V HASIL PENELITIAN ........................................................................................ 60

5.1 Analisis Sampel ....................................................................................................... 60

5.1.1 Analisis deskriptif ................................................................................. 60

xii!
!
!
!

5.2 Analisis Inferensial .................................................................................................. 77

5.2.1 Uji normalitas dan homogenitas ........................................................... 77

5.2.2 Uji Independent T-Test ......................................................................... 78

5.2.3. Uji Mann-Whitney U ........................................................................... 79

BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ......................................................... 70

6.1. Subjek Penelitian .................................................................................................... 70

6.2. Hubungan VEGF dalam Calcium Sulfat dengan Sel Osteoblas Pada Defek Tulang

Femur Tikus Setelah Dilakukan Bone Recycling dengan Nitrogen Cair. ..................... 81

6.3. Hubungan VEGF dalam Calcium Sulfat dengan Kolagen Tipe I pada Defek

Tulang Femur Tikus Setelah Dilakukan Bone Recycling dengan Nitrogen Cair. ........ 83

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 75

7.1 Simpulan ................................................................................................................. 75

7.2 Saran ...................................................................................................................... 75

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 86

!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!

xiii!
!
!
!

!
DAFTAR!GAMBAR!
!

Gambar 2.1 Siklus Sel dalam Cryosurgery…………... ...................................... 31

Gambar 2.2 Diagram Diagram mekanisme cedera endotel karena pendinginan…..... 42

Gambar 2.3 Diagram Skematik Interaksi dari Beberapa Intracellular Signaling Pathways.

............................................................................................................................. 59

Gambar 3.1. Bagan Kerangka Berpikir............................................................... 62

Gambar 3.2. Bagan Kerangka Konsep ................................................................ 63

Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian .......................................................... 64

Gambar 4.2 Alur Penelitian ................................................................................ 73

xiv!
!
!
!

DAFTAR TABEL

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi subjek penelitian masing-masing kelompok ...... 75

Tabel 5.2 Rerata jumlah osteoblas pada masing-masing kelompok................... 76

Tabel 5.3 Persentase ekspresi Kolagen tipe I pada masing-masing

kelompok…………............................................................................................ 76

Tabel 5.4 Uji normalitas data variable jumlah osteoblas dengan Shapiro-Wilk 77

Tabel 5.5 Uji Homogenitas varian data variabel-variabel penelitian dengan

Levene’s Test..................................................................................................... 78

Tabel 5.6 Hasil uji komparabilitas data post-test variabel penelitian untuk

kelompok perlakuan dan kontrol…………………………………………….. 78

Tabel 5.7 Hasil uji komparabilitas data post-test variabel penelitian untuk

kelompok perlakuan dan kontrol……………………………………………. 79

!
!

xv!
!
!
!

DAFTAR SINGKATAN

BMP : bone morphogenic protein 2

Cox-2 : cyclo-oxygenase-2

CREB : cAMP responsive element binding protein

CS : calcium sulfate

EGF : epidermal growth factor

FACIT : fibril associated collagens

FGF : fibroblast growth factor

GCT : giant cell tumor

GM-CSF : granulocyte / macrophage – colony stimulating factor

HA : hydroxyapatite

IGF -1 : insulin like growth factor 1

IL : interleukin

LEF : lymphoid enhancer factor

MAPK : mitogen-activated protein kinase

M-CSF : macrophage- colony stimulating factor

MSC : mesenchymal stem cell

NF-κB : nuclear factor-κB

PDGF : platelet- derived growth factor

PG : prostaglandin

PKA : protein kinase-A

PLC : phospholipase-C

xvi!
!
!
!

PMN : polymorphonuclear neutrophils

PTH : paratiroid hormon

TCF : t-cell factor

TGF- β : transforming growth factor β

TNF : tumor necrosis factor

VEGF : vascular endothelial growth factor

xvii!
!
!
!

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Keterangan Kelaikan Etik

Lampiran 2. Surat Keterangan Selesai Melakukan Penelitian

Lampiran 3. Surat Keterangan Hasil Pemeriksaan Histopatologi dan

Imunohistokimia

Lampiran 4. Data Analisis SPSS

Lampiran 5. Dokumnetasi Penelitian

xviii!
!
!
!

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Defek tulang dapat disebabkan oleh trauma, neoplasma, defek kongenital

dan infeksi. Rekonstruksi defek tulang untuk mencapai panjang tulang yang ideal

dan mencapai union dari tulang tersebut masih menjadi suatu tantangan tersendiri.

Defek tulang ini dapat sembuh sendiri pada kondisi lingkungan yang sesuai, namun

tetap meiliki tingkat non union tinggi akibat menurunnya vaskularisasi dan

insufisiensi kalsium. Pada kasus neoplasma ganas, lesi osteolitik banyak ditemukan

dan memerlukan tindakan rekonstruksi dengan megaprosthesis. Namun teknik ini

secara ekonomis masih mahal dan beberapa tindakan yang dilakukan seperti

kuretase pada neoplasma jinak agresif atau neoplasma ganas dapat menimbulkan

defek tulang, sehingga salah satu teknik alternatif yang dapat digunakan adalah

dengan teknik bone recycling.

Teknik bone recycling dapat dilakukan dengan adjuvant lokal seperti

nitrogen cair. Namun penggunaan nitrogen cair (cryosurgery) ternyata dapat

menyebabkan ischemia pada tulang, nekrosis pada jaringan, dan kerusakan

endothelium mikrovaskular yang dapat menimbulkan gangguan penyembuhan

tulang (Costa et al. 2011). Untuk membantu proses penyembuhan pada defek

tulang, maka diperlukan beberapa tindakan terapi seperti penggunaan graft tulang,

bahan bone transport atau biomaterial untuk kepentingan rekonstruksi (Nandi et al.

2010).

1!
!
2!
!

Penggunaan prosedur graft tulang autolog saat ini merupakan standard

dalam hal penggantian defek tulang. Graft ini dapat mengisi defek tulang dan

menginduksi pembentukan jaringan tulang pada daerah defek karena memiliki sifat

osteoinduktif, osteokonduktif dan osteogenik. Namun penggunaan graft autolog

memiliki banyak keterbatasan terkait komplikasi yang terjadi pada tempat

pengambilan graft. Penggunaan allograft saat ini dapat memperbaiki keterbatasan

yang ada dari autolog graft (Munthe & Suroto 2014). Sampai saat ini, penggunaan

graft autolog maupun allograft ternyata masih menimbulkan permasalahan terkait

stabilitas biomekanik, serta kurangnya sifat osteogenisitas dan osteoinduksivitas

sehingga diperlukan substansi tertentu seperti faktor pertumbuhan, seperti FGF,

PDGF, TGF-β, dan BMP, untuk membantu meningkatkan osteogenisitas dan

osteoinduksivitas graft tersebut (Barnes et al. 1999; Nandi et al. 2010).

Ekspresi beberapa faktor pertumbuhan seperti FGF, PDGF, TGF-β, dan BMP

telah menunjukkan stimulasi terhadap penyembuhan tulang, sedangkan peran

langsung VEGF dalam penyembuhan tulang masih kurang jelas. Proses

angiogenesis dengan osteogenesis dalam homeostasis tulang merupakan proses

yang sinergis dan saling melengkapi untuk poses penyembuhan tulang, dan VEGF

merupakan salah satu faktor pertumbuhan yang dapat membantu meningkatkan

ekspresi BMP dan diferensiasi osteoblast sehingga proses penyembuhan tulang

dapat berlangsung baik pada defek tulang tersebut (Zelzer & Olsen 2004; Yang et

al. 2012). Untuk membantu proses penyembuhan tulang, pemberian VEGF

memerlukan bahan pembawa, dimana salah satunya dapat digunakan calcium

sulfate.

!
!
3!
!

Calcium sulfate sebagai suatu material biokompatibel dapat membantu proses

regenerasi defek tulang serta dapat digunakan sebagai biomaterial penghantar

growth factor yang berguna dalam proses angiogenesis dengan osteogenesis dalam

homeostasis tulang (Drosse et al. 2008; Thomas & Puleo 2009). Berdasarkan hal

tersebut, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui efek growth

factor seperti VEGF dalam biomaterial calcium sulfate terhadap proses

penyembuhan defek tulang yang telah dilakukan bone recycling dengan nitogen

cair.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang diuraikan diatas, untuk membuktikan peran

VEGF dalam Calsium Sulfate terhadap penyembuhan tulang pada defek tulang

yang telah mengalami bone recycling dengan nitrogen cair, maka disusun rumusan

masalah sebagai berikut:

1.! Apakah pemberian VEGF dalam Calcium Sulfate pada defek tulang femur

tikus yang telah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair

menginduksi sel osteoblast lebih banyak dibandingkan tanpa pemberian

VEGF?

2.! Apakah pemberian VEGF dalam Calcium Sulfate pada defek tulang femur

tikus yang telah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair

menginduksi ekspresi kolagen tipe I lebih banyak dibandingkan tanpa

pemberian VEGF?

!
!
4!
!

1.3! Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Memperkuat teori penyembuhan pada defek tulang dengan penggunaan growth

factor VEGF dan bone graft Calcium Sulfate dalam hal meningkatkan sel Osteoblas

dan ekspresi Kolagen tipe I.

1.3.2 Tujuan khusus

1.! Membuktikan pemberian VEGF dalam Calcium Sulfate pada defek tulang

femur tikus yang telah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair

menginduksi sel osteoblast lebih banyak dibandingkan tanpa pemberian

VEGF.

2.! Membuktikan pemberian VEGF dalam Calcium Sulfate pada defek tulang

femur tikus yang telah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair

menginduksi ekspresi kolagen tipe I lebih banyak dibandingkan tanpa

pemberian VEGF.

1.4! Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademik/Ilmiah

Apabila penelitian ini terbukti, diharapkan hasilnya dapat menambah ilmu

pengetahuan teori tentang peran VEGF dalam graft Calcium Sulfate dapat

menginduksi ekspresi kolagen tipe I lebih banyak pada defek tulang tikus yang telah

dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair. Disamping itu menambah

pengetahuan bahwa VEGF sebagai suatu substansi angiogenik yang dapat

!
!
5!
!

membantu menginduksi osteoinduksivitas dan osteogenisitas graft pada

penyembuhan defek tulang.

1.4.2! Manfaat praktis

Apabila penelitian ini terbukti dapat dipergunakan sebagai data penelitian

lebih lanjut untuk menjadikan VEGF sebagai substansi untuk membantu kinerja

graft dalam penyembuhan defek tulang.

!
!
!

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tulang

Tulang dapat dikategorikan menjadi tulang panjang, tulang pendek, tulang

pipih, dan tulang yang tidak teratur. Tulang panjang meliputi klavikula, humerus,

radius, ulna, metakarpal, femur, tibia, fibula, metatarsal dan phalang. Tulang

pendek meliputi tulang karpal, tarsal, patella dan tulang sesamoid. Tulang pipih

meliputi skapula, sternum dan tulang rusuk. Tulang tidak teratur meliputi vertebra,

sacrum dan tulang ekor. Tulang pipih terbentuk dengan pembentukan tulang secara

membranosa, sedangkan tulang panjang terbentuk oleh kombinasi dari

pembentukan tulang secara endochondral dan membranosa (Clarke 2008).

Tulang panjang terdiri dari batang berongga, atau diafisis; metafisis

berbentuk kerucut di bawah lempeng pertumbuhan; dan epifisis yang bulat di atas

piring pertumbuhan dilapisi oleh tulang rawan pada sebagian dari strukturnya.

Diafisis terdiri dari tulang kortikal yang padat, sedangkan metafisis dan epifisis

terdiri dari anyaman tulang trabekular dikelilingi oleh tulang kortikal yang relatif

tipis(Clarke 2008). Kanalis medularis pada tulang panjang yang berisi sumsum

tulang, berada di dalam diafisis dari tulang panjang dan dikelilingi oleh lapisan

tulang kortikal. Bagian metafisis dan diafisis dari tulang panjang lebih banyak

mengandung tulang kanselosa dimana terdapat banyak sekali jaringan trabekula

dengan sistem kanalis dan kavitas yang terisi sumsum tulang (McGonnell et al.

2012).

6!
!
! 7!
!

Tulang adalah struktur penyangga tubuh yang sangat spesialistik, yang

bersifat kaku, keras, dan memiliki kekuatan untuk beregenerasi. Tulang melindungi

organ vital, dan menyediakan lingkungan untuk sumsum tulang (baik untuk

pembentukan sel darah dan penyimpanan lemak), berfungsi sebagai cadangan

mineral untuk homeostasis kalsium, dan tempat penyimpanan faktor pertumbuhan

dan sitokin, dan juga mempunyai peran dalam pengaturan asam-basa. Tulang secara

konstan mengalami perubahan selama masa hidupnya, dengan tujuan untuk

beradaptasi dari perubahan biomekanik, dan juga remodelling untuk

menghilangkan tulang tua yang rusak dan menggantinya menjadi tulang baru yang

lebih kuat, sehingga kekuatan tulang tetap terjaga. Tulang mempunyai dua

komponen, tulang kortikal yang bersifat padat, solid, dan mengelilingi ruang

sumsum tulang, dan tulang trabekular yang terdiri dari struktur honeycomb yang

mengelilingi kompartemen sumsum tulang. Tulang kortikal mempunyai lapisan

permukaan luar berupa periosteum dan permukaan dalam berupa endosteum.

Periosteum merupakan jaringan ikat fibrosa yang mengelilingi permukaan luar dari

tulang kortikal, kecuali pada sendi dimana tulang dilapisi oleh articular cartilage.

Periosteum berisi pembuluh darah, saraf, osteoblas, dan osteoklas. Periosteum

berfungsi untuk melindungi, memberi makan, dan membantu dalam pembentukan

tulang. Periosteum juga mempunyai peran yang penting dalam appositional growth

dan penyembuhan fraktur. Endosteum adalah struktur membranosa yang melapisi

permukaan dalam dari tulang kortikal, tulang cancellous, dan kanal pembuluh darah

(Volkmann’s canal) pada tulang. Terlebih lagi, berdasarkan pola dari pembentukan

kolagen pada osteoid, terdapat dua tipe tulang: woven bone, yang bercirikan

!
!
! 8!
!

susunan yang tidak beraturan dari serat kolagen dan lamellar bone, yang bercirikan

kolagen yang tersusun secara parallel dengan lamellae. Lamellar bone, sebagai

hasil dari susunan kolagen fibril, memiliki kekuatan mekanis yang serupa dengan

plywood. Pola normal dari lamellar bone tidak terdapat dalam woven bone, dimana

kolagen fibril tersusun dengan pola yang acak. Oleh karena itu, woven bone lebih

lemah dibandingkan dengan lamellar bone. Woven bone diproduksi ketika

osteoblast memproduksi osteoid dengan cepat. Hal ini terjadi pada tulang fetal dan

pada penyembuhan fraktur, akan tetapi woven bone akan digantikan dengan suatu

proses remodeling menjadi lamellar bone. Secara virtual, semua tulang pada orang

dewasa sehat adalah lamellar bone (Lieberman & Friedlaender 2005).

2.1.2 Fisiologi dari pembentukan tulang

Tulang terdiri dari sel penyangga, yakni osteoblas dan osteosit; sel remodeling

yang disebut dengan osteoklas dan matriks kolagen non mineral dan protein non

kolagen yang disebut dengan osteoid, dengan garam mineral inorganik dideposisi

di dalam matriks. Sepanjang hidup, tulang mengalami proses pertumbuhan

longitudinal dan radial, modeling, dan remodeling (Clarke 2008). Pertumbuhan

longitudinal terjadi pada growth plates, dimana kartilago akan berproliferasi pada

daerah epifisis dan metafisis dari tulang panjang, sebelum memasuki tahap

mineralisasi dan membentuk tulang baru primer (Bayliss et al. 2012).

!
!
! 9!
!

2.1.3 Pembentukan tulang

Osifikasi (atau osteogenesis) adalah suatu proses pembentukan tulang baru oleh

sel yang disebut dengan osteoblas. Sel ini dan matriks tulang adalah dua elemen

yang paling penting yang terlibat dalam pembentukan tulang. Proses dari

pembentukan tulang normal melibatkan dua proses penting, yakni:

1.! Osifikasi intramembranosa, dengan ciri pelapisan tulang ke jaringan ikat

primitive (mesenkim), menjadi formasi tulang (tulang tengkorak, klavikula,

mandibular). Hal ini juga tampak pada penyembuhan fraktur yang diterapi

dengan open reduction dan stabilisasi oleh plat metal dan screws.

2.! Osifikasi endokondral, dimana terdapat model kartilago sebagai prekursor

(contoh: femur, tibia, humerus, radius). Ini merupakan proses yang paling

penting yang terjadi sewaktu penyembuhan fraktur ketika diterapi dengan

imobilisasi cast. Apabila proses formasi jaringan tulang terjadi pada lokasi

ekstra skeletal, terminologinya disebut dengan heterotopic ossification.

Tiga langkah dasar pada osteogenesis adalah:

a.! Sintesis dari matriks ekstraselular organik (osteoid)

b.! Mineralisasi matriks menjadi formasi tulang

c.! Remodelling tulang dengan proses resorpsi dan reformasi (Clarke

2008).

2.1.4 Osteoblas

Osteoblas adalah sel mononuklear yang bertanggung jawab dalam sintesis dan

mineralisasi tulang pada saat proses pembentukan dan remodeling pada tulang.

!
!
! 10!
!

Osteoblas berasal dari sel punca mesenkim yang pluripoten. Selain dapat menjadi

osteoblas, sel punca mesenkim ini dapat berdiferensiasi menjadi turunan sel

mesenkim lainnya seperti fibroblas, kondrosit, mioblas dan sel stroma sumsum

tulang. Diferensiasi ini bergantung pada jalur sinyal transkripsi yang

diaktivasi(Papachroni et al. 2009).

Osteoblas memainkan peran yang penting dalam proses pembentukan, induksi,

regulasi dari mineralisasi matriks ekstraselular dan kontrol dari remodeling tulang.

Pada saat pembentukan tulang, osteoblas dewasa akan mensintesis dan mensekresi

kolagen tipe I dan protein non kolagen lainnya seperti osteocalcin, osteopontin dan

sialoprotein tulang (Uchihashi et al. 2013).

Osteoblas berasal dari mesenchymal stem cells (sel osteoprogenitor) dari

stroma sumsum tulang dan bertanggung jawab untuk sintesis matriks tulang dan

mineralisasinya. Perubahan dari mesenchymal stem cells menjadi osteoblast

membutuhkan protein protein tertentu. Osteoblas adalah sel mononuclear dan

bentuknya bervariasi dari rata, lonjong, sesuai dengan tingkat aktivitas selularnya,

dan pada tahap akhir maturitasnya, berjajar sepanjang permukaan pembentukan

tulang. Osteoblas bertanggung jawab untuk regulasi dari osteoklas dan deposisi dari

matriks tulang. Sewaktu mereka berdiferensiasi, osteoblas akan mendapatkan

kemampuan untuk mensekresi matriks tulang. Puncaknya, sebagian osteoblas akan

terperangkap pada matriks tulangnya sendiri, dan akan berubah menjadi osteosit

yang secara perlahan akan berhenti mensekresi osteoid. Osteosit adalah sel yang

paling banyak terdapat pada tulang; sel ini berkomunikasi satu dengan yang lainnya

dan dengan lingkungan sekitarnya melalui perpanjangan dari membrane plasma.

!
!
! 11!
!

Oleh karena itu, osteosit berfungsi sebagai sensor mekanis, dan memerintah

osteoklas dimana dan kapan untuk meresorbsi tulang dan kepada osteoblas dimana

dan kapan untuk membentuk tulang. Osteoblas, yang kaya akan alkalin fosfatase

(organic phosphate-splitting enzyme), mempunyai reseptor untuk hormone

paratiroid dan estrogen. Juga hormon, faktor pertumbuhan, aktivitas fisik, dan

stimulus lainnya yang bekerja melalui osteoblas dan memberikan efeknya pada

tulang(McGonnell et al. 2012).

2.1.5 Matriks tulang

Struktur dari tulang terdiri dari:

•! Komponen inorganik (69%), terdiri dari hydroxyapatite (99%)

•! Komponen organic (22%), terdiri dari kolagen (90%) dan protein structural

nonkolagen, yang termasuk proteoglycans, sialoproteins, dan 2HS-

glycoprotein.

Komponen fungsional dari tulang termasuk growth factors dan sitokin. Kekerasan

dan kekakuan dari tulang disebabkan karena adanya garam mineral pada matriks

osteoid, yang merupakan kompleks kristalin dari kalsium dan fosfat

(hydroxyapatite). Tulang yang terkalsifikasi terdiri dari 25% matriks organic, 5%

air, dan 70% mineral inorganic (hydroxyapatite). Kolagen 1 mencakupi 90-95%

matriks organik tulang (Clarke 2008). Osteoblas mensintesis dan membentuk

precursor dari kolagen tipe I. Mereka juga memproduksi osteocalcin, yang

merupakan protein non collagenous terbanyak dari matriks tulang, dan juga

proteoglycan. Kolagen tipe I dibentuk oleh osteoblast dan dideposit secara parallel

!
!
! 12!
!

atau konsentrik untuk membentuk tulang matur (lamellar bone). Ketika tulang

secara cepat dibentuk, seperti pada fetus atau pada suatu keadaan patologis (contoh:

kalus dari fraktur, fibrous dysplasia, hiperparatiroid), kolagen tidak di depositkan

secara parallel melainkan berbentuk seperti keranjang, sehingga terbentuklah tulang

primitive, imatur atau woven bone. Osteoblas juga mensintesis dan mensekresi

protein nonkolagenous, seperti proteoglycans, glycosylated proteins, glycosylated

proteins with potential cell-attachment activities, dan g-carboxylated (gla) protein.

Protein terglikosilasi utama yang terdapat pada tulang adalah alkaline phosphatase,

yang mempunyai peran dalam mineralisasi tulang (McGonnell et al. 2012).

2.1.6 Mineral Tulang

Crystalline hydroxyapatite [Ca 10 (PO 4)6(OH)2 merupakan komponen utama

dari mineral tulang, yang menyusun kurang lebih seperempat dari volume dan

setengah dari massa tulang normal orang dewasa. Kristal mineral ini (menurut

mikroskop electron), dideposit sepanjang dan dekat dengan fibril kolagen tulang.

Komponen kalsium dan fosforus (fosfat inorganik) dari kristal ini diperoleh dari

plasma darah yang berasal dari sumber makanan. Amorphous calcium phosphate

menjadi dewasa melalui beberapa tahap untuk membentuk hydroxyapatite. Hasil

akhirnya adalah amalgam yang terorganisasi dengan banyak protein, terutama

kolagen, dan mineral, terutama hydroxyapatite, yang memiliki integritas structural

yang cukup untuk menjalani fungsi mekanis dari tulang. Metabolit vitamin D dan

hormone paratiroid (PTH) merupakan mediator penting dalam regulasi kalsium,

!
!
! 13!
!

defisiensi vitamin D atau hiperparatiroidisme yang dapat menyebabkan kurangnya

mineral tulang (Lieberman & Friedlaender 2005).

2.1.7 Osteosit

Osteosit merupakan osteoblas yang telah berdiferensiasi sampai tahap akhir

dan berfungsi pada jaringan untuk menyangga struktur tulang dan metabolisme.

Osteosit menjaga hubungan satu dengan yang lainnya dengan permukaan tulang

melalui filipodial cellular processes. Osteosit terhubung secara metabolis dan

elektrik melalui gap junctions, yang terutama tersusun atas connexin (Prideaux et

al. 2016). Keberadaan dari lacunae kosong pada tulang menunjukkan bahwa

osteosit akan mengalami proses apoptosis, mungkin disebabkan dari kerusakan gap

junctions interselular atau interaksi matriks sel. Apoptosis osteosit sebagai respon

dari defisiensi estrogen atau terapi glukokortikoid memiliki efek yang buruk pada

struktur tulang. Terapi estrogen dan bifosfonat dan physiologic loading dari tulang

dapat membantu mencegah apoptosis osteoblas dan osteosit (McGonnell et al.

2012).

2.1.8 Osifikasi Intramembranous (Mesenchymal)

Osifikasi intramembranous adalah salah satu dari dua proses yang penting

dalam pembentukan struktur skeletal janin mamalia, yang menghasilkan

pembentukan dari jaringan tulang. Osifikasi intramembranous terutama terjadi

pada pembentukan tulang pipih dari tulang tengkorak, mandibular, maksila, dan

klavikula; hal ini juga merupakan proses penting dalam penyembuhan tulang

!
!
! 14!
!

normal (Yang et al. 2015). Tulang terbentuk dari jaringan ikat seperti jaringan

mesenkim, bukan dari kartilago. Tahap tahap dari osifikasi intramembranous

adalah pembentukan ossification center, kalsifikasi, pembentukan trabekula,

perkembangan periosteum.

Sel yang penting dalam pembentukan jaringan tulang melalui osifikasi

intramembranous adalah mesenchymal stem cell. MSCs pada mesenkim manusia

atau kavitas medulari dari fraktur tulang, akan menginisiasi osifikasi

intramembranous. MSC adalah sel yang tidak bersifat khusus, yang morfologinya

mempunyai karakteristik yang berubah sewaktu ia berkembang menjadi osteoblas.

Proses dari osifikasi membranous, yang intinya adalah mineralisasi langsung dari

jaringan ikat yang kaya akan pembuluh darah, mulai dari beberapa titik yang juga

dikenal sebagai centre of ossification (Street et al. 2002). Pada titik pusat tersebut,

sel mesenkimal (sel osteoprogenitor) berproliferasi dan menyatu disekitar jaringan

kapiler. Diantara sel sel dan disekitar pembuluh darah terdapat substansi amorphous

dengan struktur kolagen fiber yang tertata rapi. Sel osteoprogenitor berdiferensiasi

menjadi osteoblas, yang menciptakan osteoid pada titik tengan agregasi. Osteoblas

memproduksi matriks tulang dan dikelilingi oleh fiber kolagen dan menjadi

osteosit. Pada titik ini, osteoid menjadi termineralisasi, menjadi sebuah nidus yang

terdiri dari osteoid termineralisasi yang mengandung osteosit dan dilapisi oleh

osteoblast aktif. Nidus ini bermula sebagai gabungan difus dari MSC yang telah

menjadi jaringan tulang (Zelzer & Olsen 2004). Proses dari terperangkapnya

osteoblast berlanjut, trabekula perlahan menebal, dan mengintervensi ruang

vascular (lapisan spongiosa) dan menyempit secara perlahan. Pada tulang

!
!
! 15!
!

cancellous, akan tetapi, proses ini berjalan lambat, dan ruang nnya akan kelak

ditempati oleh jaringan hemopoietik . Seiring perubahan ini terjadi pada ossification

center, jaringan mesenkim sekitar akan berkondensasi menjadi periosteum

fibrovaskular disekitar tepi dan permukaannya. Periosteum akan terbentuk, dan

opertumbuhan tulang akan berlanjut pada permukaan trabekula. Seperti spicules,

pertumbuhan dari trabekula akan menghasilkan interkoneksi, dan jaringan ini

disebut dengan woven bone. Seiring waktu woven bone akan digantikan dengan

lamellar bone. Perkembangan dari proses osifikasi berlanjut disertai dengan peran

stem cells yang berasal dari bagian dalam dari periosteum (McGonnell et al. 2012).

2.1.8 Osifikasi Intracartilaginous (Endochondral)

Osifikasi endochondral (Greek: endon, “dalam”, chondros, “kartilago”) terjadi

pada tulang panjang dan sebagian besar tulang di dalam tubuh; hal ini mencakup

pembentukan inisial kartilago hialin yang terus bertumbuh. Osifikasi ini juga

merupakan proses penting selama pertumbuhan panjang dari tulang panjang dan

penyembuhan alami sewaktu fraktur tulang

Langkah langkah dalam osifikasi endochondral adalah:

1.! Pembentukan model kartilago

2.! Pertumbuhan dari model kartilago

3.! Perkembangan dari primary ossification center

4.! Perkembangan dari secondary ossification center

5.! Pembentukan dari articular cartilage dan lempeng epifisis.

!
!
! 16!
!

Osifikasi Endochondral bermula dari sebuah titik pada kartilago yang disebut

dengan ”primary ossification centers”. Titik ini muncul pada saat perkembangan

fetus, walaupun beberapa tulang pendek memulai primary ossification nya setelah

lahir. Osifikasi ini bertanggung jawab pada pembentukan diafisis tulang panjang,

tulang pendek, dan beberapa bagian dari tulang irregular. Secondary ossification

terjadi setelah lahir dan membentuk epifisis dari tulang panjang dan ekstremitas

dari tulang irregular dan tulang pipih. Diafisis dan epifisis dari tulang panjang

dipisahkan oleh zona pertumbuhan kartilago (lempeng epifisis). Ketika anak

tersebut mencapai tingkat maturitas skeletal (18-25 tahun), semua dari kartilago

akan digantikan oleh tulang, menggabungkan diafisis dan epifisis (penutupan

epifisis) (McGonnell et al. 2012).

2.2 Proses Penyembuhan Tulang

Tahap penyembuhan tulang dibagi menjadi 5 tahap yakni: formasi

(pembentukan) hematom, inflamasi, soft callus, hard callus dan remodeling. Perlu

diingat bahwa tahap-tahap ini dapat berjalan dengan saling tumpang tindih,

sehingga pada setiap bagian fraktur, mungkin saja sedang terjadi tahap

penyembuhan yang berbeda-beda (Carano & Filvaroff 2003)

1.! Formasi Hematoma

Fraktur menyebabkan kerusakan struktural dari tulang, sumsum tulang,

periosteum, otot, pembuluh darah dan jaringan lunak lainnya. Hal ini menyebabkan

terbentuknya hematoma, yang diawali dengan perubahan fibrinogen menjadi fibrin.

Hematoma ini ditandai dengan pH yang rendah, hipoksia dan terdapat sel-sel

!
!
! 17!
!

inflamasi. Hematoma berfungsi sebagai penyangga sementara sebelum invasi dari

sel-sel inflamasi lainnya.

2.! Inflamasi

Tahap inflamasi ini mendominasi respons selular pada tahap awal

penyembuhan tulang. Sel pertama yang akan di rekrut dalam proses inflamasi

adalah polymorphonuclear neutrophils (PMNs). Sel-sel yang berakumulasi dalam

jam-jam pertama setelah cedera ini tertarik karena adanya sel-sel mati dan debris.

PMN sendiri berumur pendek (sekitar 1 hari), tetapi akan mensekresi beberapa jenis

chemokines (seperti C-C motif chemokine 2 (CCL2) dan IL-6) yang akan menarik

makrofag yang berumur lebih panjang. PMN diperikirakan memiliki efek negatif

pada penyembuhan tulang, sementara makrofag memiliki efek positif. Reaksi

inflamasi yang terjadi ini membantu proses penyembuhan tulang dengan cara

menstimulasi angiogenesis, menyebabkan terjadinya produksi dan diferensiasi

mesenchymal stem cells (MSC) dan meningkatkan sintesis ekstraselular matriks.

3.! Soft Callus

Pembentukan soft callus ditandai dengan diferensiasi dari sel progenitor

menjadi kondrosit dan osteoblas. Bergantung dari lingkungan, proses mekanis dan

suplai aliran darah ke daerah fraktur, sel yang utama yang terdapat pada callus dapat

berupa kartilago atau osteoid. Sel-sel ini akan menggantikan hematoma dan

jaringan fibrosa.

4.! Hard Callus

Hard Callus diartikan sebagai perubahan dari kartilago menjadi matriks

kartilago yang terkalsifikasi dengan diferensiasi pada kondrosit terminal. Pada

!
!
! 18!
!

manusia, tahap ini terjadi beberapa minggu setelah fraktur. Seiringnya dengan

proses kalsifikasi, kondrosit hipertrofik akan menjadi semakin dewasa dan

pembuluh darah akan masuk ke dalam callus. Sel yang dominan pada tahap ini

adalah osteoblas dan osteoklas karena jumlah kondrosit akan semakin berkurang

pada tahap ini.

5.! Remodeling

Fase ini adalah fase dimana jaringan yang sebelumnya rusak, kembali ke

keadaannya sebelum rusak. Pada saat remodeling, arsitektur kanalikular dari tulang

akan dibangun kembali dan sistem haversian dengan osteositnya akan dibentuk

kembali. Prosesnya dimulai saat konsolidasi telah terjadi dan dapat terus berlanjut

sampai 6-9 tahun, sehingga memakan waktu 70% dari waktu keseluruhan

penyembuhan tulang. Saat remodeling, interaksi antara osteoblas dan osteoklas

akan mengakibatkan pembentukan tulang lamellar. Fenomena ini, dideskripsikan

sebagai Wollf’s law, mencakup penguatan dari arsitektur tulang sebagai respon dari

pemberian beban pada tulang (Phillips 2005).

2.2.1 Remodelling tulang

Remodelling tulang adalah suatu proses seumur hidup, dimana tulang lama di

resorpsi dari skeletal, dan tulang baru ditambahkan melalui proses yang disebut

osifikasi. Remodelling mencakup resorpsi tulang yang terus menerus dan diganti

dengan sintesis dan mineralisasi matriks untuk membentuk tulang baru. Proses ini

juga mengatur pembentukan atau penggantian tulang selama pertumbuhan dan

mengikuti cedera seperti fraktur dan juga kerusakan kecil / microdamage, hal ini

!
!
! 19!
!

mencegah akumulasi kerusakan kecil tulang melalui penggantian tulang lama

dengan tulang baru yang terjadi melalui aktivitas normal. Remodelling juga

merespon kepada mechanical loading. Sebagai hasilnya, tulang baru ditambahkan

di tempat yang dibutuhkan dan dihilangkan di bagian yang tidak dibutuhkan. Proses

ini penting dalam menjaga kekuatan tulang dan homeostasis mineral. Skeletal

merupakan organ yang aktif secara metabolik dan mengalami remodeling yang

terus menerus sepanjang hidup. Remodelling ini penting untuk menjaga integritas

structural dari tulang dan juga sebagai fungsi metabolik sebagai tempat

penyimpanan kalsium dan fosforus (Pearce et al. 2007).

Siklus remodeling tulang normal membutuhkan proses resorpsi tulang dan

formasi tulang dalam suatu pola yang telah terkoordinasi, yang pada akhirnya

bergantung pada perkembangan dan aktivasi osteoklas dan osteoblas. Kemampuan

dari tulang, yang secara konstan meresorpsi tulang lama dan membentuk tulang

baru, menjadikan tulang sebagai suatu jaringan yang sangat dinamis yang

memungkinkan terjaganya jaringan tulang, perbaikan dari jaringan yang rusak, dan

homeostasis dari metabolism phosphocalcic. Siklus remodeling tulang meliputi

langkah langkah yang diregulasi secara baik yang bergantung pada interaksi dua

buah turunan sel, yakni turunan osteoblastik mesenkimal dan turunan osteoklastik

hematopoetik. Keseimbangan antara resorpsi dan deposisi tulang ditentukan oleh

aktivitas dua jenis sel, yakni osteoklas dan osteoblas. Osteoblas dan osteoklas, yang

digabungkan melalui proses sinyal parakrin, disebut sebagai unit remodeling tulang

(Pearce et al. 2007; Crockett et al. 2011).

!
!
! 20!
!

Pada skeletal berusia muda, jumlah dari tulang yang diresorpsi proporsional

dengan tulang yang terbentuk. Untuk alasan ini, proses ini merupakan proses yang

seimbang. Umur rata rata dari unit remodeling ini adalah 2-8 bulan, dan sebagian

besar waktunya dihabiskan dalam proses pembentukan tulang.

Walaupun tulang kortikal memakan 75% dari total volume, rasio metabolic

sepuluh kali lebih tinggi pada tulang trabecular, karena rasio permukaan dengan

rasio jauh lebih besar (permukaan tulang trabecular mencakup 60% dari total). Oleh

karena itu, kira kira 5-10% dari keseluruhan tulang diperbaharui setiap tahunnya.

Osteoklas memiliki channels ion aktif pada membran sel yang memompa

proton ke ruangan ekstraselular, jadi menurunkan pH pada lingkungan mikro

disekitarnbya. Penurunan dari pH ini melarutkan mineral tulang. Siklus remodeling

tulang mencakup langkah sekuensial yang kompleks. Keseimbangan tulang adalah

perbedaan dari tulang lama yang diresorbsi dan tulang baru yang terbentuk. Balans

tulang periosteum sedikit positif, sedangkan balans tulang endosteal dan trabecular

sedikit negatif, sehingga menyebabkan oenipisan kortikal dan trabecular seiring

dengan bertambahnya usia.

Fungsi remodeling tulang yang telah diketahui termasuk menjaga kekuatan

mekanis tulang dengan mengganti tulang yang mengalami kerusakan kecil dengan

tulang baru yang sehat, dan melalui homeostasis kalsium dan fosfat. Tingkat

turnover dari tulang kortikal orang dewasa yang rendah (2-3% per tahun) cukup

untuk menjaga klekuatan biomekanik dari tulang. Rasio turnover dari tulang

trabekular lebih tinggi, lebih dari yang dibutuhkan untuk menjaga kekuatan

mekanis tulang, mengindikasikan turnover tulang trabekular lebih penting untuk

!
!
! 21!
!

metabolism mineral. Peningkatan kebutuhan untuk kalsium dan fosfor

membutuhkan unit remodeling tulang yang lebih banyak (Lieberman &

Friedlaender 2005; Crockett et al. 2011).

2.2.2 Mediator dari Remodelling

Osteoklas adalah satu satunya sel yang diketahui mampu untuk meresorpsi

tulang. Osteoklas umumnya mempunyai banyak nukelus. Osteoklas berasal dari sel

prekursor mononuclear dari turunan monocytemacrophage (hematopoietic stem

cells yang memberikan turunan terhadap monosit dan macrofag). Prekursor

mononuclear monocytemacrophage telah diidentifikasi pada berbagai jenis

jaringan, akan tetapi sel precursor monocytemacrophage yang berasal dari sumsum

tulang yang diperkirakan menghasilkan paling banyak osteoklas

Osteoblas dapat menstimulasi untuk meningkatkan massa tulang melalui

peningkatan sekresi dari osteoid dan menghambat kemampuan dari osteoklas untuk

memecah jaringan osseous. Pembentukan tulang melalui peningkatan formasi

osteoid, distimulasi oleh sekresi growth hormone oleh pituitary, hormone tiroid dan

hormone sex (estrogen dan androgen). Mediator lain yang berperan adalah RANK

dan Osteoprotegerin (Sipola 2009; McGonnell et al. 2012).

2.2.3 Fase Remodelling

Remodelling tulang dapat dibagi menjadi enam fase, yakni quiescent,

activation, resorption, reversal, formation, dan mineralization. Mineralization

merupakan tahap yang paling akhir. Proses ini terjadi pada daerah remodeling, yang

!
!
! 22!
!

didistribusikan secara acak, akan tetapi lebih difokuskan pada daerah yang

membutuhkan perbaikan (Crockett et al. 2011).!

1.! Fase quiescent. Merupakan fase tulang pada saat istirahat. Faktor faktor

yang menginisiasi proses remodeling belum diketahui.

2.! Fase activation. Fenomena pertama yang terjadi adalah aktivasi dari

permukaan tulang sebelum resorpsi, walaupun retraksi dari sel yang

melapisi tulang dan digesti dari membrane endosteal melalui aksi

kolagenase. Fase ini mencakup perekrutan dan aktivasi dari mononuclear

monocyte-macrophage osteoclast precursors dari sirkulasi, sehingga

menyebabkan interaksi dari sel prekursor osteoklas dan osteoblast. Hal ini

mengakibatkan diferensiasi, migrasi, dan fusi dari osteoklas multinukleasi

yang berukuran besar. Sel ini akan menempel pada permukaan tulang yang

telah termineralisasi dan menginisiasi resorpsi dengan cara mensekresi ion

hydrogen dan enzim lysosomal, terutama cathepsin K, yang dapat

mendegradasi seluruh komponen dari nmatriks tulang, termasuk kolagen,

pada pH yang rendah.

3.! Fase Resorption. Osteoklas mulai untuk menghancurkan matriks mineral

dan matriks osteoid. Proses ini diselesaikan oleh makrofag dan

memungkinkan pelepasan factor pertumbuhan yang terkandung dalam

matriks, yang secara fundamental mengubah Transforming Growth Factor-

b (TGF-b), Platelet-Derived Growth Factor (PDGF), dan Insulin-like

Growth Factor I dan II (IGF-1 dan II). Resorpsi osteoklastik akan

memproduksi kavitas ireguler pada permukaan tulang trabecular, yang

!
!
! 23!
!

disebut dengan Howship’s lacunae, atau kanalis Haversian silindris di

dalam tulang kortikal. Resorpsi tulang yang dimediasi oleh osteoklas

memakan waktu kurang lebih 2-4 minggu pada setiap siklus remodeling.

4.! Fase Reversal. Pada saat fase ini, resorpsi tulang bertransisi menjadi

pembentukan tulang. Setelah proses resorpsi selesai, kavitas resorpsi akan

mengandung banyak sel mononuclear, termasuk monosit, osteosit yang

dilepas dari matriks tulang, dan preosteoblas, direkrut untuk memulai

pembentukan tulang yang baru. Sinyal yang menghubungkan resorpsi

tulang menjadi pembentukan tulang belum diketahui, akan tetapi

kandidatnya mencakupi faktor matriks tulang seperti TGF-3, IGF-1, IGF-2,

bone morphogenetic proteins, PDGF, atau Fibroblast Growth Factor.

5.! Fase Formation. Setelah osteoklas telah meresorpsi kavitas dari tulang,

osteoklas akan melepaskan diri dari permukaan tulang dan digantikan oleh

sel osteoblas, yang akan menginisiasi pembentukan tulang. Fenomena

berkumpulnya preosteoblas akan terbentuk. Preosteoblas akan mensintesis

substansi semen, dimana jaringan baru akan melekat dan mengekspresikan

BMP yang bertanggungjawab dalam proses diferensiasi. Beberapa hari

kemudian, osteoblas yang telah berdiferensiasi akan mensintesis matriks

osteoid yang akan mengisi area yang telah terperforasi. Sisa dari osteoblas

akan mensintesis tulang sampai pada akhirnya berhenti dan berubah

menjadi sel yang melapisi tulang yang baru terbentuk dan bergabung

dengan osteosit di dalam matriks tulang melalui jaringan kanalikuli.

!
!
! 24!
!

6.! Fase Mineralization. Proses yang bermula 30 hari setelah deposisi dari

osteoid, berakhir pada hari ke 90 pada tulang trabekular dan hari ke 130

pada tulang kortikal. Fase quiescent akan mulai kembali. Ketika siklus

selesai jumlah dari tulang yang terbentuk harus sama dengan jumlah tulang

yang diresorpsi (McGonnell et al. 2012).

2.2.4 Faktor regulator pada remodeling tulang

Balans diantara resorpsi dan formasi tulang dipengaruhi oleh berbagai macam

faktor yang saling berhubungan seperti genetik, mekanikal, vaskular, nutrisional,

hormonal, dan lokal. Regulasi sistemik pada remodeling tulang dipengaruhi oleh

faktor genetik, faktor mekanikal, faktor vaskular / saraf. Vaskularisasi sangat

fundamental pada perkembangan tulang normal, menyuplai sel-sel darah, oksigen,

mineral, ion, glukosa, hormon, dan faktor pertumbuhan. Vaskularisasi merupakan

bagian dari fase pertama dari osifikasi: pembuluh darah menginvasi kartilago dan

resorpsi tulang terjadi melalui peran osteoklas yang berasal dari pembuluh darah

sekitar (Bayliss et al. 2012; Crockett et al. 2011).

Neoformasi vaskular merupakan kejadian pertama pada penyembuhan fraktur

atau regenerasi tulang. Inervasi juga penting untuk fisiologi tulang normal. Tulang

di inervasi oleh system saraf otonom, dan serat saraf sensoris. Serat saraf otonom

ditemukan pada periosteum, endosteum, tulang kortikal, dan berhubungan dengan

pembuluh darah dari Volkmann conduit, dan juga neuropeptide dan reseptornya

pada tulang. Contoh dari pentingnya innervasi pada fisiologi tulang ditemukan pada

osteopenia dan kerapuhan tulang pada pasien dengan kelainan neurologis, dan juga

!
!
! 25!
!

pada menurunnya densitas tulang pada mandibular yang mengalami denervasi

(McGonnell et al. 2012).

Faktor nutrisional juga berperan penting serta faktor hormonal. Hormon yang

berpengaruh antara lain Hormon tiroid, Hormon Paratiroid (PTH), Calcitonin, 1.25

(OH) 2 Vitamin D3 atau calcitriol, Androgens, Estrogen , Progesteron, Insulin,

Glukokortikoid, Growth Hormone.Oleh karena itu, hormon yang berperan pada

regulasi metabolisme tulang adalah, menurunkan resorpsi tulang: Calcitonin,

Estrogens. Kemudian hormon yang meningkatkan resorpsi tulang: PTH/ PTHrP,

Glukokortikoid, Hormon tiroid, Vitamin D dosis tinggi. Meningkatkan formasi

tulang: Growth hormone, Metabolit vitamin D, Androgen, Insulin, PTH/PTHrP

dosis rendah, Progesteron. Menurunkan formasi tulang: Glukokortikoid (Crockett

et al. 2011; McGonnell et al. 2012)

2.2.5 Regulator lokal dari remodeling tulang

Remodelling tulang juga diregulasi oleh faktor lokal, yang diantaranya growth

factors dan sitokin, dan akhir akhir ini, protein matriks tulang telah di implikasikan

sebagai modulator dari faktor lokal lainnya. Sel sel tulang juga memainkan peran

penting pada produksi prostaglandin dan nitric oxide, begitu juga sitokin dan faktor

pertumbuhan lainnya. Growth Factors penting yang berhubungan dengan skeletal

adalah berikut (Crockett et al. 2011; McGonnell et al. 2012) :

1.! IGF-1 dan II (Insulin-Like Growth Factor I dan II)

2.! Transforming Growth Factor- b (TGF-b)

3.! Bone Morphogenetic proteins (BMP)

!
!
! 26!
!

4.! Platelet-derived growth factor (PDGF)

5.! Fibroblastic Growth Factor ( FGF)

6.! Epidermal Growth Factor (EGF)

7.! Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) menginduksi angiogenesis

dan proliferasi endothelial vaskular. Hal ini memproduksi vasodilatasi dan

meningkatkan permeabilitas vaskular. Terjadi pada saat hipoksia dan saat

ini dianggap sebagai salah satu faktor kunci pada fase pertama dari

penyembuhan fraktur dan regenerasi tulang, dan juga pada pertumbuhan

tumor.

8.! Granulocyte / macrophage – colony stimulating factor ( GM-CSF)

9.! Macrophage- colony stimulating factor (M-CSF)

10.!Tumor Necrosis Factor (TNF). Tumor Necrosis Factor in vitro

menstimulasi resorpsi dan berhubungan dengan kehilangan tulang pada

arthritis dan penyakit periodontal.

2.2.6 Matriks Protein

Matriks protein telah akhir akhir ini ditemukan sebagai growth factor

modulators. Matrix protein ditemukan pada konsentrasi 1000 kali lebih tinggi

dibandingkat growth factors dan oleh karena itu mempunyai peran yang penting

pada regulasi dari berbagai macam fungsi sel. Matriks protein juga berperan dalamn

regulasi diferensiasi sel yang terkandung dalam matriks. Sebagai contoh, kolagen

tipe I adalah salah satu marker awal yang meregulasi sel osteoprogenitor, dan

alkalin fosfatase adalah protein permukaan yang dapat berpartisipasi pada regulasi

!
!
! 27!
!

dari proliferasi, migrasi, dan diferensiasi dari sel osteoblastik. Osteonectin,

fibronectin, dan osteocalcin menginduksi perlekatan sel, memfasilitasi migrasi sel,

dan aktivasi sel (McGonnell et al. 2012).

2.2.7 Sitokin

Sitokin adalah polipeptida yang disintesis di dalam sel limfositik dan monositik

dan memainkan peran yang penting pada fungsi selular multiple, seperti pada

respon imun, inflamasi, dan hematopoiesis, karena memiliki efek autokrin dan

parakrin. Berikut ini adalah sitokin yang penting untuk tulang :

1.! Interleukin 1 (IL-1), secara langsung menstimulasi resorpsi osteoklastik,

meningkatkan proliferasi dan diferensiasi dari preosteoblas, dan juga

aktivitas osteoklastik, dan menghambat apoptosis dari osteoklas. Pada

realitanya, terdapat tiga molekul berbeda yang saling berhubungan : IL-1a,

IL-1b, dan IL-1 reseptor antagonis, dimana yang terakhir merupakan

inhibitor dari dua yang pertama. Semuanya bekerja secara langsung dan

tidak langsung melalui resorpsi melalui sintesis dari prostaglandin.

2.! Interleukin 6 (IL-6), menstimulasi resorpsi tulang dan mempunyai peran

pada pathogenesis Paget’s disease. IL-6 dipercaya memainkan peran

penting pada tahap awal osteoklastogenesis dan diproduksi sebagai respon

terhadap PTH, IL-1, dan 1.25 (OH)2D3.

3.! Interleukin 11 (IL-11)

4.! Prostaglandin (PG)

5.! Leukotrienes (Lieberman & Friedlaender 2005; McGonnell et al. 2012).

!
!
! 28!
!

2.3. Bone Recycling

Pada reseksi kanker, tumor biasanya ikut tereseksi bersama dengan tulang.

Tulang yang direseksi mengandung sel ganas dan sangat sulit untuk memisahkan

sel ini secara manual dan tulang dapat dipergunakan kembali. Dari sudut pandang

bedah rekonstruksi, sangat sulit untuk menggantikan tulang yang tereseksi dengan

tulang lain dari bagian tubuh lain yang tentunya memiliki ukuran dan bentuk yang

berbeda. Beberapa penelitian untuk dapat mengunakan kembali tulang telah

dikembangkan sebagai contoh dengan terapi alkohol, terapi radiasi, terapi

autoclave, hot water bath (pasteur method) dan terapi liquid nitrogen (Yazawa et

al. 2013)..

Penatalaksanaan tulang (bone recycle) yang terlalu lemah menyebabkan sel

ganas masih tersisa pada tulang, sementara tindakan yang terlalu intens akan

melemahkan tulang karena kehilangan matriks ekstraselulernya dan berujung pada

keterlambatan remodeling tulang dan dapat memicu infeksi tulang (Yazawa et al.

2013) .

Cryosurgery pertama kali diperkenalan sebagai penatalaksanaan keganasan

pada tahun 1840. Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan pecahan es dan

garam untuk mengatasi kanker superfisial. Sampai tahun 1960, teknologi yang

digunakan mengalami perkembangan pesat dan mampu diaplikasikan pada

keganasan primer maupun sekunder (Nishida et al. 2008).

Saat ini operasi ini menggunakan liquid nitrogen dan mampu secara sukses

dilakukan pada ablasi tumor pada hati, prostat, ginjal dan terapi paliatif pada kanker

payudara (Nishida H dkk, 2010). Manajemen tumor tulang dilakukan di Memorial

!
!
! 29!
!

Sloan Kettering Cancer Center Amerika Serikat pada tahun 1964 sebagai prosedur

paliatif pada pasien metastasis ke humerus dan paru- paru (Tsuchiya et al. 2010).

Pembekuan dan penggunaan cryosurgery dengan liquid nitrogen ini dilakukan

pada tumor tulang untuk pertama kalinya pada tahun 1984 (Abdel Rahman et al.

2009). Pendinginan berulang akan menghancurkan sel tumor pada bagian pinggir

kuretase. Lesi yang dikuretase dan begitu pula celah (cavity) didinginkan dengan

liquid nitrogen kemudian diisi dengan cement (Tsuchiya et al. 2010).

2.3.1. Pengertian cryosurgery

Cryosurgery menginduksi kematian sel tumor dengan merusak membran sel

dan organel dan secara tidak langsung menyebabkan gangguan aliran darah melalui

trombus pembuluh darah kecil. Dengan penurunan suhu, sel akan mengalami

dehidrasi dan protein mengalami kerusakan karena tingginya kelarutan dan

menyebabkan kerusakan membran dan gangguan pada mesin enzim sel.

Pendinginan yang cepat dengan kristal es yang terjadi pada sel, terjadi kerusakan

membran dan organel secara mekanis. Dengan pendinginan yang dilakukan

berulang- ulang, konduktivitas jaringan meningkat dan menyebarkan kerusakan.

Kerusakan dinding sel terjadi karena hidrasi perivaskuler dan menghasilkan distensi

dari pembuluh darah atau dalam bentuk kerusakan langsung pada sel endotelial

pembuluh darah. Kedua mekanisme ini memicu peningkatan permeabilitas, edema

dan kaskade koagulasi yang memberiikan stimulasi pada peningkatan mikro trombi

pada pembuluh darah dan iskemik jaringan (Nishida et al. 2008)..

!
!
! 30!
!

Cryosurgery menghancurkan jaringan secara selektif dan dapat dikendalikan

dengan pendinginan dan thawing. Cryosurgery biasanya dikuti pula dengan terapi

adjuvant seperti kemoterapi, imunoterapi dan bedah konvensional (Tsuchiya et al.

2010).

2.3.2. Teknik cryosurgery

2.3.2.1 Protokol cryosurgery

Protokol penatalaksanaan terdiri dari beberapa tahapan yaitu kuretase tumor

(tumor curretage), dilanjutkan dengan liquid nitrogen yang di tuangkan kedalam

celah tulang dan diberikan kesempatan untuk thawing. Freeze-thaw cycle kemudian

diulangi sampai 2 atau 3 kali sampai mencapai kematian jaringan (tissue necrosis).

Metode ini sulit untuk mengatasi pinggiran tumor.

2.3.2.2 Cycle dan Tahapan Cryosurgery

Cryosurgery melibatkan proses kerusakan jaringan di bawah titik beku yang

dapat dikendalikan. Keuntungan utama dari teknik ini adalah metode ini lebih tidak

invasif dan memiliki morbiditas lebih rendah dibandingkan dengan tehnik reseksi.

Akan tetapi, penggunaan cryosurgery telah dibatasi oleh kurangnya pemahaman

yang baik tentang mekanisme yang mendasari kerusakan jaringan (Baust et al.

2004)

Setiap sel dalam jaringan terkena pajanan termal yang berbeda. Sel-sel terdekat

dengan cryosurgical probe mengalami suhu terendah dan tingkat pendinginan

tercepat dibandingkan dengan sel yang lebih jauh dari probe. Suhu menurun sampai

!
!
! 31!
!

panas diekstraksi dari jaringan sama dengan panas dalam cairan pendingin (Baust

et al. 2004).

Gambar!2.1!Siklus!Sel!dalam!Cryosurgery!

Pada gambar diatas digambarkan selama fase pendinginan lambat, es terbentuk

di ruang ekstraselular karena peningkatan konsentrasi zat terlarut di fraksi yang

tidak beku. Hal ini menyebabkan penyusutan sel. Bila suhu lebih lanjut menurun,

memungkinkan inisiasi eutectic crystallization di ruang ekstraselular, suhu dan

konsentrasi dari ruang intraseluler memungkinkan eutectic crystallization terjadi di

ruang intraseluler. Atau, jika laju pendinginan cepat, sel-sel tidak dapat kehilangan

air cukup cepat untuk menjaga keseimbangan, sehingga air intraseluler menjadi

dingin dan akhirnya membeku. Simbol segi enam menggambarkan kristal es. Untuk

mengetahui tentang mekanisme sel dan cedera jaringan membutuhkan pengenalan

dari efek siklus beku-mencair seperti yang digunakan dalam cryosurgery (Bickels

et al. n.d.). Setiap aspek dari siklus beku-mencair dapat menghasilkan cedera

jaringan, dan semua bisa dimanipulasi. Oleh karena itu pengetahuan tentang efek

!
!
! 32!
!

dari setiap fase dari siklus penting, apakah tujuannya adalah kerusakan jaringan

keseluruhan atau selektif.

Meskipun komponen dari siklus beku-mencair sulit untuk menggambarkan

dengan presisi dalam volume beku jaringan, peran masing- masing dalam cedera

cryogenic telah dievaluasi dalam banyak percobaan. (Robinson et al. 2001)

2.3.2.3 Tingkat pendinginan

Percobaan telah menunjukkan bahwa kristal intraseluler es, dianggap

mematikan bagi sel-sel, membentuk lebih dari berbagai tingkat pendinginan,

termasuk pada tingkat lambat [15,87]. Hal ini penting untuk pembekuan jaringan in

vivo karena banyak volume beku jaringan hanya akan memperlambat tingkat

pendinginan, yaitu sekitar 10 ° C / menit atau lebih lambat. Meskipun pendinginan

lambat cenderung menghasilkan es ekstraseluler, kristal besar, dianggap agak

berbahaya di suspensi sel, mungkin mematikan ketika terjadi dalam jaringan

dengan sel dikemas erat. Hanya jaringan dekat dengan permukaan pertukaran panas

dari cryoprobe beku cepat (Baust et al. 2004)..

2.3.2.4 Suhu jaringan

Suhu jaringan merupakan faktor kunci dalam menyebabkan cedera. Percobaan

in vivo menunjukkan bahwa stasis vaskuler setelah pencairan memodifikasi

interpretasi suhu mematikan bagi sel-sel dan telah memperkenalkan ukuran

ketidakpastian tentang tujuan suhu yang sesuai di cryosurgery. Sebagai panduan

untuk pengobatan neoplasma, banyak percobaan menunjukkan bahwa sekitar -20 °

!
!
! 33!
!

C adalah cukup untuk kerusakan jaringan harus dilihat dengan hati- hati.

Tentu saja kerusakan jaringan yang luas terjadi di kisaran -20 sampai -30°C, tapi

kerusakan sel tumor pada kisaran suhu tidak pasti dan tidak lengkap (Baust et al.

2004)

2.3.2.5 Durasi pembekuan

Durasi optimal pembekuan diperlukan untuk mengetahui berapa lama jaringan

harus dalam keadaan beku, tidak stabil, tetapi percobaan telah menunjukkan bahwa

perpanjangan pembekuan menghasilkan efek merusak yang lebih besar. Namun

demikian secara umum, durasi pembekuan tidak penting jika jaringan tersebut

diadakan pada suhu lebih dingin dari -50 ° C. Namun, menahan jaringan untuk

waktu yang lama di -10 ke -25 ° rentang C akan meningkatkan kerusakan karena

efek zat terlarut dan recystallization (Baust et al. 2004).

2.3.2.6 The thawing rate

Pencairan yang lambat dari jaringan yang beku merupakan faktor perusak

utama. Semakin lama durasi mencair, semakin besar kerusakan pada sel-sel karena

peningkatan efek zat terlarut dan pertumbuhan maksimal kristal es. Kristal es besar

membuat kekuatan geser yang mengganggu jaringan. Percobaan, menggunakan

jaringan in vivo, telah menunjukkan efek merusak dari pencairan lambat (Bickels

et al. 2001).

Whittaker menunjukkan bahwa kristal es intraseluler yang lebih besar dalam

siklus pembekuan kedua menunjukkan bahwa efek ini disebabkan waktu mencair

!
!
! 34!
!

yang lebih lama. Dilihat dari riwayat frostbite dan eksperimen in vivo, tingkat

pencairan harus selambat mungkin, yaitu, ditentukan oleh masukan dari panas

tubuh ke dalam lesi beku (Baust et al. 2004).

2.3.2.6 Repetisi dari freeze-thaw cycle

Sejak awal cryosurgery modern, laporan klinis awal tahun 1965 menekankan

perlunya pembekuan berulang dalam teknik cryosurgery kanker. Kesulitan dalam

menghancurkan kanker dengan pembekuan jelas bahwa sebuah percobaan awal.

Siklus kedua menghasilkan pendinginan jaringan lebih cepat dan lebih luas,

sehingga volume jaringan beku diperbesar dan perbatasan kerusakan jaringan

tertentu dipindahkan lebih dekat ke batas terluar volume beku (Bickels et al. 2001).

Bukti eksperimental mengkonfirmasikan efek destruktif meningkat dari siklus

kedua adalah substansial. Efek mematikan ditingkatkan siklus beku-mencair

diulang paling dicatat dalam suhu beku tinggi, yaitu, suhu jaringan di -20 ke -30 °

C jangkauan. Tentu saja itu adalah dalam kisaran ini yang efek merusak

peningkatan yang paling dibutuhkan. Pada suhu jaringan -40 sampai -50 ° C dan

dingin, suhu cukup rendah untuk menghancurkan jaringan dalam satu siklus.

Alasan utama untuk menggunakan siklus beku-mencair diulang adalah untuk

memperpanjang efek mematikan ke zona suhu beku hangat di pinggiran target

jaringan yang ditetapkan (Baust et al. 2004).

2.3.2.7 Interval diantara freeze-thaw cycles

Interval antara siklus beku-mencair merupakan faktor penting dalam cedera

jaringan Whittaker, dalam percobaan menggunakan siklus pembekuan berulang

!
!
! 35!
!

pada mukosa mulut hamster, telah menunjukkan bahwa intraseluler kristal es yang

lebih besar dengan meningkatnya waktu antara membeku (Baust et al. 2004).

2.3.3. Efek cryosurgery

2.3.3.1 Keuntungan cryosurgery

Keuntungan rekonstruksi menggunakan autograf yang diterapi nitrogen adalah

kemudahannya, osteokonduksi, waktu pengobatan yang pendek, pas secara

sempurna, perlekatan tendon dan ligamen mudah, dan stok tulang sesuai yang

digarapkan (Abdel Rahman et al. 2009). Pada penelitian didapatkan bahwa

penggunaan nitrogen cair memiliki angka kekambuhan yang lebih kecil

dibandingkan dengan tanpa perlakuan nitrogen cair (Yazawa et al. 2013).

Belakangan ini cryosurgery menggunakan nitrogen cair sangat sukses dalam

ablasi tumor hepar, prostat dan ginjal serta pengobatan paliatif lokal kanker

payudara. Cryosurgery menyebabkan kematian sel tumor langsung dengan cara

merusak membran sel dan organel serta merusak jaringan vaskularisasinya. Dengan

menurunkan suhu, sel tumor mengalami dehidrasi dan proteinnya hancur akibat

konsentrasi kelarutan yang tinggi, hasilnya adalah kerusakan membran dan

mengganggu sistem enzym dalam sel. Dengan pendinginan lebih cepat, kristal es

dalam sel, merusak membran sel dan organelnya secara efek mekanis (Abdel

Rahman et al. 2009). Kerusakan langsung terjadi melalui iskemia vaskuler

menghasilkan kematian sel. Kerusakan dinding sel vaskuler karena dehidrasi

seluler verivaskuler, meghasilkan penekanan pembuluh darah dan cidera mekanis,

atau kerusakan langsung pada sel endotel pembuluh darah. Kedua hal ini

!
!
! 36!
!

meningkatkan permeabilitas, edema, dan kaskade pembekuan yang menimbulkan

trombus mikro dalam pembuluh darah dan menyebabkan iskemia jaringan tumor

(Tsuchiya et al. 2010).

Pada studi eksperimental dikemukakan bahwa penanaman jaringan tumor yang

telah di terapi nitrogen cair dapat menghasilkan aktifasi sistem imunitas dan

menghambat pertumbuhan dan penyebaran tumor. Pada kelompok perlakuan

dengan nitrogen cair didapatkan bahwa pembentukan sitokin lebih besar

dibandingkan kontrol perlakuan nitrogen cair. Dikatakan bahwa tingkat interferon

gamma dan interleukin dua belas meningkat secara signifikan setelah diberikan

perlakuan nitrogen cair. Perlakuan nitrogen cair juga dapat menekan penyebaran

tumor ke abdominal (Tsuchiya et al. 2010)..

2.3.3.2 Komplikasi cryosurgery

Setiap tindakan, dan khususnya tindakan operasi yang baru akan menimbulkan

beberapa komplikasi. Cryosurgery adalah salah satunya. Komplikasi yang bisa

terjadi pada tindakan cryosurgery antara lain,

1.! Infeksi pada Luka

Eksisi intralesi pada tumor intramedular akan meninggalkan kavitas dengan

ruang yang banyak. Cryosurgery akan menyebabkan jaringan nekrosis, terlebih lagi

biasanya ahli bedah akan mengisi kavitas dengan graft atau terkadang

osteosynthesis. Semua faktor ini adalah mediator yang kuat untuk tempat

berkembangnya bakteri.

!
!
! 37!
!

Pada setiap tindakan bedah yang dilakukan implantasi benda asing, infeksi luka

post operatif adalah sesuatu yang harus diperhatikan. Angka kejadian infeksi luka

pada tindakan cryosurgery sekitar 4%.

Untuk mencegah terjadinya infeksi setelah tindakan cryosurgery, berikut

beberapa hal yang penting :

a.! Penggunaan antibiotik broad spektrum peri-operatif

b.! Drainase cairan pada luka yang cukup

c.! Dressing luka yang baik

d.! Penutupan luka yang baik

2.! Emboli Vena

Saat tindakan cryosurgery, nitrogen cair disemprot dan dituangkan ke dalam

kavitas tulang. Sejak saat itu terjadi titik pemanasan sekitar -195oC, gelembung

udara dari nitrogen secara cepat akan terbentuk pada suhu ruangan. Pada umumnya,

kapan pun gas masuk ke dalam tubuh, akan terjadi kerusakan pada intravascular.

Emboli gas dapat menyebabkan komplikasi hemodinamik yang serius (Dabak et al.

2003).

3.! Fraktur

Cryosurgery dianggap akan menurunkan kekuatan tulang, sehingga sering

menyebabkan fraktur post operatif. Di tahun 1960 an, pemula cryosurgery di bidang

tumor tulang melaporkan angka kejadian fraktur yang tinggi. Fraktur biasanya

terjadi 4-8 minggu setelah tindakan, tetapi bisa juga terjadi 8 bulan setelah

cryosurgery. Pengalaman dan pengembangan dalam teknik operasi telah

!
!
! 38!
!

menurunkan angka kejadian fraktur. Sejak menggunakan profilaksis osteosintesis,

terkadang kombinasi dengan bone graft dan bone cement, angka kejadian fraktur

sudah menurun drastis (Mohler et al. 2010).

4.! Kerusakan Epifisis

Tumor tulang jinak, khususnya bone cyst dan aneurismal bone cyst cenderung

terjadi pada pasien dengan tulang immature. Tumor ini biasanya terjadi di metafisis,

sering sampai epifisis. Kerusakan epifisis oleh tumor atau oleh cryosurgery sangat

mungkin menyebabkan kerusakan epifisis yang akan berdampak pada berhentinya

pertumbuhan tulang yang normal (Robinson et al. 2001).

Malawer dan Dunham melakukan review pada 25 pasien pediatrik dengan

tumor tulang jinak yang agresif, semua dilakukan cryosurgery. Mereka melihat

terdapat 2 pasien dengan kerusakan epifisis. Saat operasi tidak dilakukan usaha

pencegahan pada epifisis, focus utama operasi adalah kontrol tumor (Bickels et al.

2001).

Pengalaman kami mengindikasikan bahwa pembekuan pada bagian epifisis

akan menimbulkan kerusakan pada epifisis, bahkan meskipun temperatur tidak

terlalu rendah.

5.! Osteoarthritis Degeneratif

Beberapa tumor tulang seperti GCT dan Chondroblastoma hampir selalu

berlokasi di sendi besar. Kerusakan permukaan artikular, baik itu karena tumor atau

tindakan cryosurgery harus diantisipasi. Malawer et al melakukan percobaan pada

anjing, cryosurgery dapat menyebabkan nekrosis sekitar 7-12 mm pada permukaan

!
!
! 39!
!

kavitas tulang. Kesimpulan kami cryosurgery dapat merusak permukaan artikular

(Bickels et al. 1999).

6.! Kerusakan Saraf

Kelumpuhan pada saraf karena komplikasi cryosurgery, yang mana sudah

dikenali pada awal tindakan cryosurgery pada kasus tumor tulang. Marcove

melaporkan 9 dari 128 pasien mengalami kelumpuhan saraf setelah dilakukan terapi

cryosurgery . Jika saraf membeku, fungsinya akan terganggu sementara,

kebanyakan neuropraxia terjadi karena pembekuan akan kembali normal dalam

waktu 6 minggu-6 bulan (Schreuder HW et al. 2001).

2.3.3.2 Kerusakan Jaringan selama Cryosurgery

Costa et.al. (2011) cryosurgery liquid nitrogen pada diaphysis femur tikus

selama 2 menit menghasilkan nekrosis tulang yang jelas dibandingkan cryosurgery

1 menit. Ini menyebabkan tidak mungkin untuk dilakukan analisis histologi seperti

perubahan degeneratif pada kartilago artikular (Tsuchiya et al. 2010). Cryosurgery

menginduksi kematian sel tumor dengan menyebabkan kerusakan membran sel dan

organel, secara tidak langsung menyebabkan bahaya pada vaskular dengan

pembentukan trombosis pada pembuluh darah kecil (Tsuchiya et al. 2010)..

1.! Kerusakan!sel!langsung!!

Kerusakan sel langsung memiliki dua mekanisme, hipotesis minimum volume

dan destabilisasi membran selama pendinginan dan thawing. Saat terjadi

pendinginan secara bertahap, sel menjaga keseimbangannya terhadap tingginya

konsentrasi zat terlarut di ekstraseluler dengan osmosis sehingga sel mengerut.

!
!
! 40!
!

Dengan meningkatnya konsentrasi zat terlarut melebihi batas mengerut sel tersebut,

potensial gradien kimia menurun karena perpindahan garam ke sitoplasma,

sehingga menjadikan konsentrasi zat terlarut intraseluler yang tinggi. Selama proses

thawing, isi dari sel memiliki konsentrasi lebih tinggi dari ekstraseluler. Namun ada

kekurangan dari hipotesis ini, pertama tidak adanya volume minimum yang aktual

yang dapat diukur. Kedua, telah diobservasi bahwa derajat hemolisis yang sama

dapat terjadi pada volume sel yang berbeda menggunakan perbedaan konsentrasi

dengan gliserol. Oleh karena itu, mengerut sel dan re-expansion merupakan

penyebab kerusakan sel yang signifikan, pengurangan volume sel mungkin bukan

penyebab yang utama pada kerusakan sel (Whittaker 1984).

Mekanisme yang kedua adalah destabilisasi membran selama pembekuan dan

thawing. Dua bentuk kerusakan berbeda telah dilaporkan. Pertama fenomena

pertama terjadi pada suhu 0° sampai -5° C, saat protoplasma mengerut ke volume

minimal di mana hampir 80% air hilang. Selama thawing, sel mengalami re-expand

namun lisis sebelum mencapai volume aslinya. Bagaimanapun, saat sel di thawing,

sel tidak berespons secara osmotik dan tidak terjadi re-expand. Peneliti

menyampaikan bahawa membran telah rusak selama dehidrasi, menyebabkan

kegagalan air dan molekul terlarut untuk masuk ke membran selama re-expasion

osmotik(Yiu et al. 2007).

1.! Pembentukan es intraseluler

Selama pendinginan, bila derajat pendinginan cukup tinggi dapat menyebabkan

timbulnya es intraseluler. Mekanisme terjadinya proses ini masih kontroversial.

Teori protein-pore mengemukakan bahwa es ekstraseluler menyebar ke sitoplasma

!
!
! 41!
!

yang sangat dingin melalui aqueous pore dari membran sel. Bertambahnya sel

selama thawing dianggap sebagai penyebab kerusakan sel.

Teori surface-catalyzed menghipotesiskan bahwa interaksi antara es

ekstraseluler dan membran plasma, ditandai dengan sudut kontak antara membran

sel dan es, menyebabkan formasi es intraseluler. Teori terakhir adalah teori robekan

membran. Ini mengemukakan bahwa pembentukan es terjadi karena hasil dari

robekan membran saat tekanan kritis gradien osmotik seluruh membran selama

pembekuan. Sebagian besar cryobiologist setuju pembentukan es intraseluler

mematikan untuk sel, walaupun mekanisme sebenarnya belum diketahui. (Yiu et

al. 2007).

2.! Mekanisme kerusakan vaskular

Cohnheim mengatakan bahwa nekrosis pada jaringan dengan frostbite

disebabkan stasis dari aliran darah setelah thawing. Observasi lainnya mengatakan

bahwa perdarahan pada kulit manusia yang dibekukan berubah pada suhu -5°C di

daerah hiperemia dibanding keadaan normal sebelumnya dengan edema di

sekelilingnya jika dihangatkan pada suhu ruangan. Penelitian lainnya juga

memperlihatkan bahwa perubahan vaskularisasi setelah thawing dan pendinginan,

seperti peningkatan edema, stasis sirkulasi dan trombosis progresif, menyebabkan

nekrosis jaringan setelah fostbite (Yiu et al. 2007; Ramajayam & Kumar 2013).

3.! Kerusakan endotel pada cedera vaskular

Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui peran endotel sebagai

mediasi cryoinjury. Beberapa mekanisme telah dipaparkan, pertama endotel mikro

vaskuler hancur dalam satu jam. Agregasi platelet terjadi segera setelah thawing.

!
!
! 42!
!

Pembengkakan interstisial dan rekrutmen netrofil terjadi beberapa menit setelah

thawing, dilanjutkan dengan keluarnya sel darah merah dalam enam jam dan

terpisahnya endotel dalam 24 jam(Tsuchiya et al. 2010). Teori kedua berhubungan

dengan pembentukan radikal bebas, superoxide dismutase dan deferoxamine

memperbaiki viabilitas dari telinga kelinci setelah frostbite. Mikroskop elektron

menunjukkan bahwa kerusakan endotel, stasis vaskular, adhesi neutrofil dan

agregasi eritrosit terjadi pada kondisi tersebut. Teori lainnya adalah dengan aktifasi

neutrofil, terjadi penumpukan leukosit pada mikro vaskular menyebabkan

penyumbatan (Yiu et al. 2007).

Gambar 2.2. Diagram mekanisme cedera endotel karena pendinginan

2.4 VEGF

Vascular endothelial growth factor (VEGF), faktor pertumbuhan angiogenik

paling kuat, menstimulasi pembentukan pembuluh darah baru. Potensi dari VEGF

!
!
! 43!
!

eksogen untuk meningkatkan penyembuhan tulang dari fraktur terbuka tibia

(Eckardt et al. 2005). VEGF endogen disekresi dari sel endothelial, fibroblast,

osteoblast dan tipe sel lain dan ekspresinya, dan ekspresi dari reseptor ini, diregulasi

dengan hipoksia dan iskemia. VEGF berikatan dengan reseptor sel endothelial

permukaan, hasilnya pada pertumbuhan mereka, proliferasi dan migrasi. Efek

fisiologis termasuk meningkatnya angiogenesis, peningkatan permeabilitas

pembuluh darah dan vasodilatasi.

Dengan!mRNA!splicing!VEGF!dari!tikus!mempunyai!setidaknya!3!protein!

isoform,!VEGF120,!VEGF164!dan!VEGF188.!Dimana!VEGF120!tidak!berikatan!

dengan!heparan!sulfat!dan!berdifusi!secara!bebas.!VEGF188!berikatan!dengan!

heparin! dan! utamanya! berkaitan! dengan! permukaan! sel! dan! matriks!

ekstraseluler.! Dan! VEGF164! memiliki! sifat! diantara! VEGF120! dan! VEGF188.!

Pada! tikus! VEGF188! ! banyak! ditemukan! di! paru! –! paru,! hati! dan! jantung!

sedangkan!VEGF164!dan!VEGF120!banyak!ditemukan!pada!tak,!mata,!otot!dan!

ginjal!(Ng!et!al.!2001).!

VEGF! mempunyai! kemampuan! untuk! mengaktivasi! 2! reseptor!

tyrosinkinase!yang!berbeda,!yaitu!VEGF!receptor!1!(VEGF!R1/FltS1)!dan!VEGF!

receptor! 2! (VEGF! R2/FlkS1)! dan! aktivasi! reseptor! di! dalam! sel! endothelial,!

dimana!akan!menginduksi!fosforilasi!dan!memicu!migrasi!dari!sel!endothelial!

dan!proses!angiogenesis.!Osteoblas!diperkirakan!merupakan!sumber!penting!

dari! VEGF.! Produksi! VEGF! oleh! osteoblas! distimulasi! oleh! faktor! hormonal,!

faktor! mekanikal! dan! faktor! lingkungan.! Hipoksia! jaringan! juga! merupakan!

salah! satu! pemicu! utama! dari! produksi! VEGF! di! tulang.! Oateoblas!

!
!
! 44!
!

mengekspresikan! komponen! dari! jalur! Hipoxia'Inducible0 Factor! (HIFS1)! dan!

hipoksia! dapat! meningkatkan! regulasi! ekpresi! VEGF! oleh! osteoblas.! Dengan!

peningkatan! ekspresi! HIFS1! pada! osteoblas! yang! matur! maka! ! poroses!

angiogenesis!dan!osteogenesis!juga!akan!meningkat.!Pada!percobaan!in!vivo!

peningkatan! ekpresi! HIFS1! menunjukkan! peningkatan! dari! volume! tulang!

yang! berbanding! lurus! dengan! jumlah! vaskularisasi! pada! tulang! (Clarkin! &!

Gerstenfeld!2013).!

Pemberian! VEGF! dapat! meningkatkan! osifikasi! endokontral! dan!

intramembranous! dan! juga! VEGF! meningkatkan! stem0 cells0 recruitment! pada!

jaringan!tulang!yang!rusak(Almubarak!et!al.!2016).!

2.5 Bone Graft

Ada beberapa sumber untuk menggantikan tulang yang hilang. Sumber bone

graft yang paling umum adalah material autogenous bone graft. Autograft adalah

sumber yang kaya akan protein osteogenik, dan tidak ada penolakan, tapi awalnya,

graft ini mungkin tidak memiliki integritas structural yang optimal untuk

mempertahankan reduksi selama pembedahan intraoperative. Autograft tulang

kortikal menyediakan stabilitas yang lebih baik, tapi morbiditas donor signifikan.

Sediaan hydroxyapatite telah digunakan, tapi graft ini mungkin akan sulit

digunakan karena system pengirimannya, mereka tidak menyamarkan struktur

tulang berongga, dan waktu penyatuan kalsium fosfat sangat bervariasi tergantung

pada ukuran crystalline, struktur dan morfologi (Nandi et al. 2010).

!
!
! 45!
!

Pada tindakan pembedahan rekonstruksi memerlukan prosedur bone grafting

untuk mengembalikan volume tulang mendekati normal. Sumber tulang dapat

berasal dari inang sendiri (autograft), dari donor satu spesies (allograft), dari donor

spesies lain (xenograft) atau substitusi tulang seperti demineralized bone matrix

(Pei et al. 2012). Selain itu pembedahan rekonstuksi juga dapat menggunakan

prosthesis. Autologous bone grafting memiliki keterbatasan jumlah jaringan tulang

autograft yang tersedia, morbiditas pada lokasi donor, kualitas tulang yang tidak

dapat diprediksi, risiko perdarahan, bertambahnya waktu operasi dan risiko infeksi

pada lokasi donor. Hal tersebut menjadi suatu kelemahan yang signifikan dari

prosedur ini. Allograft dan xenograft juga memiliki kelemahan yaitu risiko infeksi

dan non-union (Bose et al. 2012).

Salah satu penanganan defek luas tulang yang saat ini sedang dikembangkan

adalah dengan bone tissue engineering. Dalam perkembangannya, prosedur bone

tissue engineering juga menggunakan faktor pertumbuhan sebagai bahan yang

berfungsi sebagai stimulator vaskularisasi (angiogenic growth factors) (Amini et al.

n.d.). Studi yang banyak dilakukan pada angiogenic growth factors dalam prosedur

bone tissue engineering yaitu vascular endothelial growth factor (VEGF)

Defek tulang yang cukup besar setelah reseksi dapat menimbulkan

berkurangnya fungsi ekstremitas yang bersangkutan. Sebaiknya dilakukan

rekonstruksi untuk mengembalikan atau memperbaiki fungsi ekstremitas yang

bersangkutan. Pilihan utama untuk rekonstruksi antara lain: bone graft autogenik

atau allogenik, dan endoprosthesis (Kamal et al. 2011).

!
!
! 46!
!

Dengan berkembangnya bedah mikro, maka dapat dilakukan bone graft yang

tervaskularisasi. Dengan tetap adanya aliran darah ke sel-sel bone graft, maka

pembentukan dan penyatuan tulang akan menjadi lebih baik. Teknik ini

memberikan perbaikan pada derajat keberhasilan operasi. Allograft merupakan

bentuk rekonstruksi menggunakan tulang mati (beku atau beku kering). Di negara

tertentu allograft sulit didapatkan karena alasan sosio-religius, maka dikembangkan

beberapa metode untuk menggunakan ulang tulang yang telah direseksi, yakni

dengan: radiasi, autoklav, dan nitrogen cair (Kamal et al. 2011).

Bone autograft merupakan standard optimum sebagai pembanding untuk setiap

bahan pengganti, karena dia memiliki 3 sifat sebagai osteokonduktif, osteoinduktif

dan osteogenesis. Adapun kelemahan dari penggunaan autograft antara lain nyeri

dari tempat donor dan berpotensial terjadinya komplikasi lokal seperti hematoma,

fraktur dan ketersediaan jumlahnya yang terbatas(Munthe & Suroto 2014).

Bone graft memiliki memiliki fungsi sebagai gap filler (pengisi celah) pada

bone defect. Pada saat bone graft bertaut dengan permukaan tulang maka jarak antar

fragmen tulang menjadi lebih kecil. Fiksasi yang stabil dan menurunnya gap antar

fragmen tulang akan menurunkan strain ratio pada fracture gap sehingga

penyembuhan tulang dapat tercapai. Auto bone graft dan allograft memiliki

perbedaan karakteristik di mana autograft memiliki ketiga karakteristik

osteoinduktif, osteokonduktif dan osteogenesis, sedangkan allograft hanya

memiliki sifat osteokonduktif dan osteoinduktif (Munthe & Suroto 2014).

!
!
! 47!
!

2.5.1 Hydroxyapatite

Tulang adalah komposit keramik organic-inorganik natural yang terisusun dari

kolagen fibril yang mengandung material embedded, tersusun dengan baik, nano

crystalline¸rod-like dengan panjang 25 – 50 nm. Hydroxyapatite secara kimia

serupa dengan matriks tulang inorganic – Ca10 (OH) 2(PO4)6. Struktur kimia yang

serupa antara Hydroxyapatite dengan tulang menyebabkan penggunaan

Hydroxyapatite sintetis sebagai substitute tulang (Zhou & Lee 2011).

Akhir akhir ini, Hydroxyapatite telah diaplikasikan dalam bidang biomedis,

termasuk untuk mengontrol pelepasan obat obatan dan bone tissue engineering

materials. Karena Hydroxyapatite mempunyai struktur kimia yang mirip dengan

komponen inorganic matriks tulang (Rauschmann et al. 2005), Hydroxyapatite

sintetik memiliki afinitas yang tinggi terhadap jaringan tubuh host yang keras.

Ikatan kimia dnegan jaringan host menyediakan kelebihan Hydroxyapatite pada

aplikasi klinis dibandingkan substitute tulang yang lain seperti allograft atau

implant metal. Kelebihan utama dari Hydroxyapatite sintetik pada aplikasi klinis

adalah biokompabilitasnya, tingkat biodegrabilitas yang rendah, dan kemampuan

osteokonduktif dan osteoinduktif yang baik. Sebuah studi yang dilakukan oleh

Taniguchi et al, menunjukkan bahwa Hydroxyapatite memiliki biokompabilitas

yang sangat baik dengan jaringan lunak seperti kulit, otot, dan gusi. Kapabilitas ini

membuat Hydroxyapatite sebagai kandidat ideal untuk implant ortopedi dan dental.

Hydroxyapatite sintetisn telah banyak digunakan untuk mereparasi jaringan keras.

Penggunaan umum termasuk untuk bone repair, bone augmentation dan juga untuk

melapisi implant, atau sebagai filler pada tulang. Akan tetapi kekuatan mekanis

!
!
! 48!
!

yang rendah dari Hydroxyapatite menghalangi penggunaannya untuk aplikasi load

bearing. Kemajuan pada ilmu pengetahuan dan nanotechnology telah

mengembangkan formasi dari Hydroxyapatite dengan ukuran nano (nanosized

HA).(Zhou & Lee 2011)

Nanocrystalline Hydroxyapatite memiliki fungsi yang lebih baik dan juga

tingkat densifikasi yang lebih baik karena luas permukaan yang lebih tinggi, dan

juga meningkatkan fracture toughness, dan juga property mekanikal. Terlebih lagi,

nano- Hydroxyapatite, dibandingkan dengan kristal yang lain, memiliki tinggal

bioaktivitas yang lebih baik, oleh karena itu, partikel Hydroxyapatite dapat

digunakan untuk implant jaringan dengan biokompabilitas yang lebih baik

dibandingkan dengan implant lain. Nanoteknologi mempunyai potensi yang secara

nyata meningkatkan fungsi Hydroxyapatite. Dorozhkin et al mengulas mengenai

teknologi dan perkembangan nanosized Hydroxyapatite nanocrystalline calcium

orthophosphates, yang terlibat dalam sintesis dan karakterisasi biomedik dan

aplikasi klinisnya. Moseke et al mengulas mengenai sintesis dan property dari

tetracalcium phosphate dalam aplikasi biomaterial seperti semen, keramik, dan

coating pada implant metal. (Zhou & Lee 2011)

Nano Ha telah memainkan peran yang penting dalam bidang biomedis oleh

karena property biologis dan biomekanikal yang superior. Perkembangan dari

material biomedik Hydroxyapatite akan menguntungkan dalam perkembangan

nanoteknologi. Beberapa metode untuk mensintesis Hydroxyapatite telah

berevolusi dalam beberapa decade terakhir. Pada masa depan, kemampuan untuk

fungsionalisasi dengan berbagai jenis molekul yang berbeda dengan dimensi yang

!
!
! 49!
!

berbeda, dan juga potensi sebagai struktur nano baik secara fisik maupun kimia,

akan memungkinkan untuk targeting selektif dari system biologis. (Zhou & Lee

2011)

Calcium sulfate merupakan salah satu jenis bone graft yang berfungsi sebagai

graft barrier, bukan biomaterial regeneratif yang sebenarnya namun dapat

menunjukkan derajat efektivitas yang cukup tinggi bila dikombinasikan dengan

beberapa biomaterial seperti faktor pertumbuhan (Thomas & Puleo 2009). Calcium

sulfate merupakan salah satu ceramic-based bone graft yang memiliki sifat

osteokonduktif dan tingkat resorpsi yang paling cepat sekitar 4 – 12 minggu

dibandingkan graft lainnya terkait dengan efek osmotiknya. Sehingga calcium

sulfat lebih sering digunakan sebagai graft extender dibandingkan penunjang

struktural pada bone defek (Phedy 2011).

Penggunaan calcium sulfate bersama dengan biomaterial lainnya dapat

meningkatkan sifat osteoinduktif dan osteokonduktifnya. Menurut Liu et al (2014),

penggunaan calcium sulfate sebagai karier untuk pelepasan VEGF pada defek

tulang dapat memberikan manfaat yang cukup besar dalam hal peningkatan

vaskularisasi dan pembentukan tulang baru sehingga terjadi mineralisasi matriks

osteoid dan regenerasi tulang. Prosedur ini memiliki potensi yang cukup besar

dalam bone tissue engineerin (Liu et al. 2014).

2.6 Kolagen

Matriks ekstraselular dari jaringan konektif terdiri dari susunan yang kompleks

yang terdiri dari berbagai jenis protein yang berbeda yang memiliki integritas

!
!
! 50!
!

struktur dan fungsi fisiologis yang berbeda. Susunan supramolecular dari elemen

fiber, mikrofibril, glikoproteinm, dan berbagai jenis molekul lainnya menentukan

karakteristik biofisik. Komposisi dan struktur berbeda beda antara jaringan konektif

yang satu dengan yang lain. Sintesis dari protein struktural dan komponen

glikoprotein yang berbeda, menghasilkan karakteristik jaringan fungsional dan

biologis yang unik pada tempat yang berbeda.(Gelse et al. 2003)(Aela & De 2000)

Nama “kolagen”, berasal dari terminologi protein yang membentuk susunan

triple helix dari tiga rantai polipeptida, dan semua jenis dari kolagen membentuk

struktur supramolecular pada matriks ekstraselular walaupun ukuran, fungsi, dan

distribusi jaringannya berbeda satu dengan yang lainnya. Sampai saat ini, terdapat

26 jenis kolagen yang berbeda secara genetic (Gao et al. 2013).

Berdasarkan struktur dan susunan supramolekularnya, kolagen dapat

dikelompokkan menjadi : fibril-forming collagens, fibril-associated collagnes

(FACIT), network-forming collagens, anchoring fibrils, transmembrane collagens,

basement membrane collagens, dan lain lain

Berbagai tipe kolagen dikarakterisasikan dengan kompleksitas dan perbedaan

dari struktur, ada atau tidaknya domain non-helical, susunan, dan fungsinya.

Keluarga terbesar dari kolagen, yang mencakup 90% dari keseluruhan jenis kolagen

adalah fibril-forming collagens. Kolagen fibril tipe I dan V berkontribusi terhadap

struktur tulang, sementara kolagen tipe II dan XI berkontribusi terhadap matriks

fibrilar dari articular cartilage. Stabilitas torisional dan tensile strength berperan

terhadap stabilitas dan integritas dari jaringan ini. Kolagen tipe IV memiliki

susunan triple helix yang lebih fleksibel. Kolagen mikrofibril tipe VI memiliki

!
!
! 51!
!

susunan disulfide dan berkontribusi terhadap hubungan filamen yang berikatan

dengan fibril kolagen lainnya. Fibril associated collagens (FACIT) dengan struktur

interrupted triplehelices seperti tipe IX, XII, dan XIV berhubungan dengan molekul

tunggal dengan fibril kolagen berukuran besar dan memaikan peran dalam regulasi

diameter fibril kolagen. Kolagen tipe VIII dan X membentuk susunan heksagonal,

sedangkan tipe XIII dan XVII menyusun membrane sel (Gelse et al. 2003; Kruger

et al. 2013).

Walaupun berbagai tipe kolagen mempunyai struktur yang sangat berbeda beda

antar satu dengan yang lainnya, semua anggota dari keluarga kolagen mempunyai

sebuah ciri khas: right-handed triple helix yang tersusun dari tiga buah rantai α. Hal

ini dapat tersusun dari tiga rantai yang saling identic (homotrimers), seperti tampak

pada kolagen II, III, VII, VIII, X, dan lainnya, atau dua atau lebih rantai yang

berbeda (heterotrimers), seperti yang tampak pada kolagen tipe I, IV, V, VI, IX,

dan XI. Setiap tiga dari rantai α di dalam molekul akan membentuk left handed

helix dengan 18 asam amino setiap putarannya. Ketiga rantai ini, dengan residu

yang relatif satu dengan yang lainnya, menggulung pada bagian sentral ke arah

kanan dan membentuk triple helix. Struktur yang dibutuhkan untuk pembentukan

triple helix adalah residu glycine, asam amino yang paling kecil, pada setiap posisi

ketiga dari rantai polipeptida, sehingga membentuk Glycine X-Y, Rantai α

berkumpul pada bagian tengah dengan suatu cara sehingga seluruh residu glycine

terposisikan pada bagian tengah triple helix, dan rantai lainnya menyusun posisi

bagian luar. Hal ini memungkinkan bentuk yang rapat dari molekul ini. Posisi X

dan Y sering diisi oleh proline dan hydroxyproline. Tergantung dari tipe kolagen,

!
!
! 52!
!

residu dari proline dan lysine dimodifikasi oleh post-translational enzymatic

hydroxylation. Isi dari 4-hydroxyproline penting untuk formasi dari ikatan

hydrogen intramolecular dan berkontribusi pada stabilitas triple helix. Beberapa

dari hydroxylysines akan dimodifikasi lebioh lanjut melalui proses glikosilasi.

Panjang dari bagian triple helix berbeda antar kolagen. Ikatan helix Gly X-Y yang

berulang adalah struktur yang mendominasi fibril forming collagens (I, II, III),

dimana pada panjang 300nm, tersusun atas 1000 asam amino. Pada kolagen tipe

lainnya, domain kolagen ini jauh lebih pendek dan mengandung struktur non-triple

helix. Oleh karena itu, kolagen tipe VI atau X mengandung triple helix dengan 200-

460 asa amino. Walaupun triple helix adalah fitur kunci dari seluruh kolagen dan

mewakili bagian utama dari fibril-forming collagen, domain non kolagen juga

merupakan komponen structural yang penting. Oleh karena itu, C-propeptida

memiliki peran yang pentiong dalam pembentukan triple helix¸dan N-propeptida

berperan dalam regulasi diameter fibril primer. Telopeptida non helical terlibat

dalam ikatan kovalen molekul kolagen dan juga ikatan struktur molekul dengan

matriks disekitarnya(Gao et al. 2013)(Aela & De 2000) .

2.6.1. Fibril forming collagens – Kolagen tipe I, II, III, V, dan XI

Kolagen kolagen ini dikarakterisasi dengan kemampuannya untuk membentuk

agregat supramolecular dengan karakteristik suprastruktur, dengan tipikal diameter

quarter-staggered fibril-array diantara 25-400 nm (Gelse et al. 2003). Pada

mikroskop electron, fibril didefenisikan sebagai pola banding dengan periodisitas

sekitar 70 nm, berdasarkan susunan monomer kolagen individual (Gao et al. 2013)

!
!
! 53!
!

Kolagen tipe I adalah tipe yang paling banyak dan tipe yang paling banyak di

pelajarin. Kolagen tipe I membentuk lebih dari 90% dari struktur organic tulang

dan merupakan kolagen utama dari tendon, kulit, ligamen, kornea dan jaringan

konektif intersisial, dengan pengecualian beberapa jaringan seperti kartilago hialin,

otak, dan badan vitreous. Triple Helix dari kolagen tipe I disusun oleh heterotrimer

oleh dua rantai α-1 yang identic dan satu rantai α2. Fiber triple helix tersusun

menjadi suatu komposit yang mengandung kolagen tipe III ( pada kulit dan jaringan

reticular) atau kolagen tipe V ( pada tulang, tendon, kornea). Pada organ, khususnya

tendon dan fascia, kolagen tipe I berperan dalam tensile stiffness, dan pada tulang

berperan dalam biomekanisnya yang berhubungan dengan load bearing, tensile

strength, dan torsional stiffness setelah proses kalsifikasi (Polewski et al. 2010).

Fibril forming kolagen tipe II didominasi oleh komponen kartilago hialin.

Akan tetapi, kolagen ini tidak spesifik terbatas pada kartilago, juga terdapat pada

badan vitreous, epitelium kornea, notochord, nucleus pulposus, dan epithelial

embrionik. Triple helix dari kolagen tipe II disusun oleh tiga rantai α1 yang

membentuk molekul homotrimerik yang berukuran dan memiliki properti

biomekanis yang sama dengan kolagen tipe I. Kolagen fibril pada kartilago

mewakili heterofibril yang mengandung kolagen tipe II, juga tipe XI, dan IX,

sehingga membatasi diameter fibril sekitar 15-50 nm. Dibandingkan dengan

kolagen tipe I, rantai kolagen tipe II menunjukkan jumlah hydroxylysine yang lebih

tinggi dan juga residu glucosyl dan galactosyl, yang memediasi interaksi dengan

proteoglikan ( komponen dari matriks kartilago hialin.

!
!
! 54!
!

Kolagen tipe III adalah homotrimer dari tiga rantai α 1 dan banyak terdapat

pada jaringan yang mengandung kolagen tipe I, kecuali tulang. Kolagen ini

merupakan komponen yang penting pada jaringan reticular pada jaringan intersisial

dari paru paru, liver, dermis, limpa, dan pembuluh darah. Molekul homotrimerik

ini juga berkontribusi dalam mixed fibril dengan kolagen tipe I dan banyak terdapat

pada jaringan elastik.

Kolagen tipe V dan XI dibentuk oleh heterotrimer dari tiga rantai α yang

berbeda, Kombinasi dari kolagen tipe V dan XI tampak pada berbagai jaringan.

Kolagen tipe V membentuk heterofibril dengan tipe I dan III dan berkontribusi

dalam pembentukan matriks tulang organic, stroma kornea dan matriks intersisial

dari otot, liver, paru paru, dan plasenta. Kolagen tipe XI banyak terdapat pada

articular cartilage(Wallace et al. 2010; Gao et al. 2013).

2.7 Hubungan VEGF, Calcium Sulfat dalam Pembentukan Sel Osteoblas dan

Matriks Osteoid

Vascular endothelial growth factor (VEGF) merupakan factor pertumbuhan

angiogenik paling kuat yang dapat menstimulasi pembentukan pembuluh darah

baru. Hal ini secara klinis berpengaruh pada proses pembentukan tulang. Penelitian

in vitro menyatakan bahwa VEGF dapat memicu proses angiogenesis dalam

pembentukan tulang melalui pengaruh bone morphogenetic protein (BMPs) dan

aktivasi langsung dari sel osteoblast. Deposisi VEGF pada defek kerusakan tulang

telah menunjukan peningkatan dari pembentukan matriks tulang pada defek burr

hole, fraktur femur pada mencit dan defek critical-sized dari radius Tikus. Hal ini

!
!
! 55!
!

mengindikasikan peran VEGF dalam meningkatkan penyembuhan dan regenerasi

tulang pada kelainan orthopaedi. Ekspresi faktor pertumbuhan seperti VEGF dapat

menstimulasi proses penyembuhan tulang melalui proses angiogenesis dan

osteogenesis. VEGF menginisiasi proses angiogenesis melalui invasi pembuluh

darah baru (neovaskularisasi) sehingga terjadi rangsangan perekrutan sel mesenkim

progenitor. Proses angiogenesis oleh VEGF ini juga merangsang BMP-2 untuk

memicu sel mesenkim progenitor untuk berdiferensiasi ke arah pembentukan

osteoblast. Selain itu, VEGF juga berperan meningkatkan ekspresi faktor

pertumbuhan dan sitokin sel endothelial, meningkatkan jumlah nodul dan aktivitas

alkaline phosphatase serta sehingga terjadi stimulasi, migrasi, proliferasi dari sel

osteoblast. VEGF juga membantu menghambat proses apoptosis sel osteoblast,

sehingga mineralisasi matriks osteoid dan bone regeneration akan terjadi.

Pada tindakan pembedahan rekonstruksi prosedur bone grafting dapat

dilakukan untuk mengembalikan volume tulang mendekati normal. Sumber tulang

dapat berasal dari inang sendiri (autograft), dari donor satu spesies (allograft), dari

donor spesies lain (xenograft) atau substitusi tulang seperti demineralized bone

matrix. Autologous bone grafting memiliki keterbatasan jumlah jaringan tulang

autograft yang tersedia, morbiditas pada lokasi donor, kualitas tulang yang tidak

dapat diprediksi, risiko perdarahan, bertambahnya waktu operasi dan risiko infeksi

pada lokasi donor. Hal tersebut menjadi suatu kelemahan yang signifikan dari

prosedur ini. Allograft dan xenograft juga memiliki kelemahan yaitu risiko infeksi

dan non-union.

!
!
! 56!
!

Bone graft memiliki memiliki fungsi sebagai gap filler (pengisi celah) pada

bone defect. Pada saat bone graft bertaut dengan permukaan tulang maka jarak antar

fragmen tulang menjadi lebih kecil. Fiksasi yang stabil dan menurunnya gap antar

fragmen tulang akan menurunkan strain ratio pada fracture gap sehingga

penyembuhan tulang dapat tercapai. Auto bone graft dan allograft memiliki

perbedaan karakteristik di mana autograft memiliki ketiga karakteristik

osteoinduktif, osteokonduktif dan osteogenesis, sedangkan allograft hanya

memiliki sifat osteokonduktif dan osteoinduktif (Munthe & Suroto 2014).

Calcium sulfate (CS) memiliki posisi yang unik dalam dunia material

regenerative. Calcium sulfate memiliki sejarah panjang secara klinis sebagai

biomaterial yang paling dikenal dan paling banyak digunakan. Biomaterial ini juga

dapat ditoleransi dengan baik dalam penggunaannya untuk regenerasi tulang.

calcium sulfate secara virtual akan mengalami resorpsi komplit secara in vivo tanpa

menimbulkan respon. Material mentah untuk membuat calcium sulfate relatif tidak

mahal dan tersedia dalam jumlah yang banyak, sebagai tambahan, calcium sulfate

dapat digunakan sebagai media pengantar untuk mengirimkan antibiotic dan agen

farmakologis yang lain, dan growth factors. (Thomas & Puleo 2009)(Rauschmann

et al. 2005)

Calcium sulfate juga dikenal dengan nama lain “gypsum” adalah mineral yang

terdii dari calcium sulfate dehydrate (CaSO4-2H2O). Material mentahnya diperoleh

dari berbagai proses penambangan. Sebelum digunakan dalam bidang medis,

calcium sulfate harus diperiksa terlebih dulu untuk ketidaksermpurnaannya, seperti

!
!
! 57!
!

dari silikat, lead, strontium, dan berbagai jenis material lainnya. (Thomas & Puleo

2009)

Apabila gypsum dipanaskan sampai suhu 100 C, ia akan kehilangan airnnya,

sebuah proses yang dikenal sebagai kalsinasi. Produk hasilnya dinamakan calcium

sulfate hemihydrate, yang juga dikenal sebagai Plaster of Paris.(Thomas & Puleo

2009)

Bentuk hemihidrat dari calcium sulfate eksis dalam dua bentuk, α dan β, yang

berbeda dalam bentuk kristal, area permukaan, dan lattice imperfections. Walaupun

material ini secara kimia identic, mereka berbeda dalam property fisiknya. Bentuk

α hemihidrat adalah dental stone, yang membentuk diagnostic casts. Bentuk ini

cukup keras dan lebih sulit larut dibandingkan dengan bentuk β hemihidrat. β

hemihidrat dikarakterisasikan dengan agregasi kristal irregular dengan pori kapilari

intersisial, dimana bentuk α hemihidrat mengandung banyak fragmen dan

berbentuk kristal batangan. Apabila hemihidral dicampur dengan air, bentuk

dihidrat akan terbentuk dengan reaksi eksotermik ringan. (Thomas & Puleo 2009)

Kurangnya respon yang signifikan dari host merupakan karakteristik penting

dari material yang biokompatibel. Banyak peneliti telah meneliti respons inflamasi

yang minimal dari implantasi calcium sulfate. Respon dalam bidang dental dan

ortopedi mengindikasikan bahwa resorpsi calcium sulfate cepat dan komplit jika

dibandingkan dengan material regenerative lainnya. Terdapat bukti bahwa resorpsi

calcium sulfate dapat dipercepat pada osteoporosis dan hal ini berpengaruh

terhadap osteokonduktivitas material ini (Thomas & Puleo 2009).

!
!
! 58!
!

Ion kalsium dilepaskan pada saat disolusi calcium sulfate, peningkatan lokal

dari ion kalsium akan meningkatkan pembentukan osteoblast dan fungsinya, dan

calcium sulfate dapat saja berperan sebagai stimulus diferensiasi osteoblast.

Stimulasi mekanoreseptor pada sel osteoblast (integrin dan calcium channels)

beserta dengan faktor pertumbuhan (TGF-β, IGF, bFGF, VEGF, PDGF, BMP) akan

menginduksi beberapa gen/faktor transkripsi yang mengatur pembentukan dan

diferensiasi osteoblast. Beberapa faktor transkripsi tersebut diaktivasi melaui

beberapa intracellular signaling pathways. p38 mitogen-activated protein kinase

(MAPK) dan mothers against decapentaplegic homolog (SMADs)pathways

menginduksi activator protein-1 (AP-1) dan Runx2, Wnt-β-cateninpathways dan

T-cell factor/lymphoid enhancer factor (TCF/LEF) menginduksi Runx2.

SedangkanPhospholipase-C (PLC)-protein kinase-A (PKA)pathways yang

menginduksi nuclear factor-κB (NF-κB)κ, cyclo-oxygenase-2 (Cox-2) dan cAMP

responsive element binding protein (CREB). Semua faktor transkripsi/gen spesifik

osteoblast ini penting dalam proses osteoblastogenesis sesuai dengan gambar 2.1

(Papachroni et al. 2009).

Osteoklas juga memiliki reseptor untuk mendeteksi kalsium, yang meregulasi

aktivitasnya berdasarkan konsentrasi kalsium lokal. Oleh karena itu, peningkatan

kalsium dapat menghambat aktivitas osteoklas. pH juga berperan dalam

osteogenesis disekitar implant calcium sulfate, lebih spesifiknya, peningkatan asam

berhubungan dengan disolusi calcium sulfate, sehingga menyebabkan

demineralisasi lokal, sehingga melepaskan growth factors yang sebelumnya

berikatan dengan matriks tulang. Pelepasan dari biomolekul, seperti BMP, akan

!
!
! 59!
!

meningkatkan diferensiasi osteoblastic dari sel mesenkimal sehingga meningkatkan

formasi tulang (Thomas & Puleo 2009).

Gambar 2.3 Diagram skematik interaksi dari beberapa Intracellular Signaling

Pathways (Papachroni et al. 2009).

Dressman adalah orang pertama yang melaporkan kegunaan dari calcium

sulfate sebagai material regenerative pada akhir abad ke 19. Selama 60 tahun

kemudian, Lillo dan Peltier menggunaan calcium sulfate untuk memperbaiki defek

tulang pada kanin dan melporkan bahwa calcium sulfate tidak mernimbulkan

pertumbuhan tulang kecuali apabila dilapisi oleh periosteum. Mereka juga

menemukan bahwa tidak adanya inflamasi dan morfologi tulang yang normal.

!
!
! 60!
!

Radentz dan Collins mengevaluasi penggunaan calcium sulfate sebagai grafts pada

defek tulang kanin dibandingkan dengan yang tidak diberikan graft. Subjek yang

mendapatkan calcium sulfate tampak penyembuhan yang dengan “seal”, yang

melindungi tempat defek dan mencegah down growth dari epithelium (Thomas &

Puleo 2009).

Sottosanti melaporkan penggunaan calcium sulfate sebagai Guided Tissue

Regeneration Barrier, yang berfungsi juga sebagai graft expander, calcium sulfate

sesuai dengan propertinya, dapat berfungsi sebagai GTR barrier hanya apabila

dilapisi dnegan material graft yang dapat berfungsi sebagai spacemaker ( cth :

autogenous bone). Selain berfungsi sebagai space filling dan barrier, calcium

sulfate juga diteliti dapat berfungsi sebagai media untuk agen terapeutik, seperti

antibiotic, obat bermolekul kecil, dan growth factor (Thomas & Puleo 2009).

!
!
! !

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Berpikir

Ekspresi faktor pertumbuhan seperti VEGF dapat menstimulasi proses

penyembuhan tulang. Proses tersebut meliputi angiogenesis dan osteogenesis

dalam homeostasis tulang yang merupakan proses yang sinergis dan saling

melengkapi. VEGF menginisiasi proses angiogenesis melalui invasi pembuluh

darah baru (neovaskularisasi). Inisiasi neovaskularisasi ini difasilitasi oleh sel

endotel vaskuler akibat aktivasi IL-1, IL-6, TNF dan PAF serta aktivasi reseptor

VEGF yaitu Flt-1 dan Flk-1 sehingga terjadi rangsangan angiogenesis. Sekresi

Endothelin-1 oleh sel endothel juga dapat merangsang perekrutan sel mesenkim

progenitor. Proses angiogenesis oleh VEGF ini memicu sel mesenkim progenitor

untuk berdiferensiasi ke arah pembentukan osteoblast. Selain itu, VEGF juga

berperan meningkatkan ekspresi faktor pertumbuhan dan sitokin sel endothelial,

meningkatkan jumlah nodul dan aktivitas alkaline phosphatase sehingga terjadi

stimulasi, migrasi, proliferasi dari sel osteoblast. VEGF juga membantu

menghambat proses apoptosis sel osteoblast, sehingga terjadi mineralisasi matriks

osteoid yang memicuregenerasi tulang. Calcium sulfate sebagai suatu material

biokompatibel, dapat menciptakan lingkungan kaya kalsium yang dapat

menstimulasi osteoblast melalui aktivasi jalur signaling intraseluler (PLC-PKA

pathway) sehingga terjadi induksi gen spesifik osteoblast (NF-kB, Cox-2 dan

CREB) yang memicu proliferasi dan diferensiasi osteoblast. Disamping itu, calcium

61!
!
62!
!

sulphate juga dapat berguna sebagai biomaterial penghantar growth factor seperti

VEGF. Pemberian VEGF dalam calcium sulfate dapat membantu proses regenerasi

tulang melalui stimulasi proliferasi dan diferensiasi osteoblast serta sintesis kolagen

tipe I yang dapat membantu regenerasi tulang yang mengalami defek.

Sel!Endotel!
S!Aktivasi!ILS1,!ILS6,!
TNF!serta!PAF.!
VEGF! S!Aktivasi!reseptor!
FltS1!dan!FlkS1!untuk! Neovaskularisasi!
angiogenesis.!
Scaffold!
(calcium sulfate)!
Sekresi!EndothelinS1!
Pelepasan!ion!
Calcium! infiltrasi!MSC!ke!
subperiosteal,!
Stimulasi!Sel!MSC! diferensiasi!
osteoblastik!

Aktivasi!jalur! Induksi!gen!
signaling! spesifik!osteoblast!
intraseluler! (NFSkB,!CoxS2!dan!
(PLCSPKA! CREB)!!
pathway)! !
melalui!Calcium!
Channel! Sel!Osteoblast!
!
!
Stimulasi,!Proliferasi,!
Stimulasi! Differensiasi,!Kemotaktik.!
sintesis!kolagen!
tipe!I!
Inhibisi!Apoptosis!

Gambar 3.1. Bagan Kerangka Berpikir

!
!
! 63!

3.2 Kerangka Konsep

TIKUS!PUTIH!

FAKTOR INTERNAL
• Strain FAKTOR EKSTERNAL
• Usia • Nutrisi
• Jenis kelamin • Aktivitas fisik
• Berat badan • Lingkungan!
• Hormonal
• Penyakit!

Defek pada Tulang Femur Tikus yang dilakukan


Bone Recycling dengan Nitrogen Cair!

Calcium Sulfate Calcium Sulfate + VEGF

Bone0Healing0 Bone0Healing0
Osteoblas!↑! Osteoblas!!↑↑!
!!!!Kolagen!Tipe!I!↑! Kolagen!Tipe!I!↑↑!
! !

: Variabel Kendali : : Variabel Bebas : : Variabel Tergantung

Gambar 3.2. Bagan Kerangka Konsep

!
! 64!

3.3 Hipotesis

1.! Pemberian VEGF dalam calcium sulfat meningkatkan jumlah sel osteoblast

pada defek tulang yang telah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair.

2.! Pemberian VEGF dalam calcium sulfat meningkatkan ekspresi kolagen tipe I

pada defek tulang yang telah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair.

!
!

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini bertujuan membuktikan pemberian VEGF dalam calcium sulfate

meningkatkan jumlah sel osteoblas dan kadar kolagen tipe I pada defek tulang yang

telah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair. Penelitian ini dilakukan

dengan rancangan randomized post-test only control group design.

P1 O1

P S R
P2 O2

Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian

P = populasi

S= Sampel

R= randomisasi

P1= pemberian calcium sulfate

P2 = pemberian calcium sulfate dan VEGF

O1= data akhir kelompok defek tulang yang telah dilakukan bone recycling

dengan nitrogen cair dan pemberian calcium sulfate

O2= data akhir kelompok defek tulang yang telah dilakukan bone recycling

dengan nitrogen cair dan pemberian calcium sulfate disertai VEGF.

65!
!
! 65!
!

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada dua tempat yaitu:

1.! Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedoteran Universitas Udayana, Bali,

sebagai tempat perlakuan dan pemeliharan tikus.

2.! Laboratorium Patologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas

Udayana sebagai tempat pemeriksaan histopatologis (jumlah osteoblas)

dan pemeriksaan imunohistokimia (ekspresi kolagen tipe I)

Waktu dilaksanakan penelitian mulai bulan Juni 2016 sampai bulan Agustus

2016.

4.3 Penentuan Sumber Data

4.3.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah tikus (Wistar rat).

4.3.2 Sampel Penelitian dan Cara Pengambilan Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah tikus yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi.

4.3.2.1 Kriteria inklusi

a.! Tikus jantan jenis Wistar rat berumur 8-12 minggu.

b.! Berat 200-250 gram.

c.! Tikus bergerak aktif dan tidak pincang.

!
!
! 66!
!

4.3.2.2 Kriteria Eksklusi dan Drop out

a.! Kriteria eksklusi: tikus sakit (gerakan tidak aktif) dan tidak mau makan saat

penelitian.

b.! Kriteria drop-out: tikus mati saat penelitian.

4.4 Besar Sampel Penelitian

Perhitungan besar sampel menurut Federer (Supranto, 2000)

(k-1)(r-1) > 15

(2-1)(r-1) > 15
k : Jumlah macam perlakuan
1 (r-1) > 15 r : Jumlah replikasi untuk tiap kelompok

(r-1) > 15

r > 16

Dari perhitungan di atas didapatkan besar sampel minimal adalah 16. Dengan

pertimbangan kelompok hewan coba ada yang dropout maka ditambahkan pada

masing-masing kelompok 10% dari jumlah sampel minimal. Berdasarkan rumus di

atas digunakan sampel sebanyak 16 + 10% (16) = 18 ekor hewan coba untuk tiap

kelompok. Teknik pengambilan sampel digunakan cara Simple Random Sampling

karena populasi relatif homogen.

4.5 Variabel Penelitian

4.5.1 Klasifikasi variabel

a.! Variabel bebas : pemberian VEGF dan pemberian calcium sulfate

b.! Variabel tergantung : jumlah sel osteoblas dan jumlah kolagen tipe I

!
!
! 67!
!

c.! Variabel kendali : Strain, jenis kelamin, umur, berat badan, makanan,

lingkungan.

4.5.2 Definisi Operasional Variabel

a.! Calcium Sulfate : Bone graft yang berupa pellets dengan merk “PerOssals”

yang merupakan serbuk calcium sulfate alpha-hemihydrate (CaSO4

1/2H2O) yang dicampur dengan nanocrystalline hydroxiapatite

(Ca10(PO4)6(OH)2) dengan rasio 48.5–51.5% (solid phase). Dengan

ukuran masing - masing pellets 6x6 milimeter.

b.! VEGF : Recombinant Rat Vascular Endothelial Growth Factor 164 (VEGF)

yang bersumber dari Mouse Myeloma cell line dengan Accession

#AAL07526.1 dengan nomer katalog 564-RV dan merek R&D Systems.

Dengan dosis 2 mikrogram per mililiter.

c.! Jumlah osteoblas (number of osteoblast per bone surface - N. OB/BS) adalah

jumlah sel osteoblast yang ditemukan dalam mikroskop berbanding dengan

luas permukaan tulang yang diperiksa dalam jumlah per millimeter

(Dempster, et al., 2013).

d.! Kolagen tipe I adalah tipe serat kolagen yang menyusun sebagian besar

matriks organik tulang yang diproduksi oleh osteoblas dan dikuantifikasi

dari jaringan tulang menggunakan pemeriksaan immunohistokimia yaitu

dengan anti-mouse collagen I antibody dan antibodi sekunder anti-mouse

IgG/biotin yang telah dikonjugasikan dengan horseradish peroxidase.

(Bode, 2000; Bosetti dkk, 2002). Metode!yang!digunakan!untuk!menilai!

ekspresi!kolagen!tipe!I!pada!penelitian!ini!adalah!dengan!metode!semiS

!
!
! 68!
!

kuantitatif! yaitu! berdasarkan! atas! ditemukannya! ekspresi! kolagen!

pada! matrik! ekstraseluler.! Pengamatan! terhadap! adanya! ekspresi!

kolagen! I! pada! kalus! tulang! fraktur! dilakukan! pada! lima! lapang!

pandang.!Adapun!interprestasinya!adalah!sebagai!berikut:!!!

i.! Ekspresi ringan (mild): jika ditemukan adanya ekspresi kolagen

terbatas pada 1 spikula.

ii.! Ekspresi sedang (moderate): jika ditemukan adanya ekspresi

kolagen pada 1-5 spikula (woven bone).

iii.! Ekspresi padat (severe): jika ditemukan adanya ekspresi kolagen

pada ˃ 5 spikula.

e.! Defek tulang femur tikus : adalah defek pada tulang femur tikus dengan

ukuran panjang lebih dari 5 mm.

f.! Bone Recycling : prosedur rekonstruksi tulang dengan menggunakan

nitrogen cair. Defek tulang femur tikus yang sudah di eksisi direndam dalam

nitrogen cair dengan suhu -197°C selama 20 menit, kemudian didiamkan

pada suhu ruangan selama 15 menit dan direndam pada cairan normal saline

selama 10 menit. Kemudian dilakukan reimplantasi dan fiksasi dengan K-

wire.

g.! Strain: adalah satu kumpulan binatang tikus yang memiliki kesamaan

genetik. Pada penelitian ini digunakan strain Wistar Rat.

h.! Jenis kelamin: adalah jenis kelamin jantan yang diketahui dari ciri anatomis

tikus.

i.! Umur: lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan) yang

diketahui dari dokumen tikus.

!
!
! 69!
!

j.! Berat badan: massa tubuh meliputi otot, tulang, lemak, cairan tubuh, organ

dan lain-lain yang diukur menggunakan timbangan merk “Tanita” dengan

satuan kilogram.

k.! Makanan: segala bahan yang kita makan atau masuk ke dalam tubuh yang

membentuk atau mengganti jaringan tubuh, memberikan tenaga, atau

mengatur semua proses dalam tubuh. Diet normal tikus adalah pelet. Pelet

yang diberikan mengandung protein (20%), Lemak (5%), Karbohidrat

(45%), serat kasar (5%), serta vitamin dan mineral. Masing-masing tikus

mendapat diit 12-20 gr/hari (Smith, 1988).

l.! Lingkungan: daerah (kawasan dan sebagainya) yang termasuk didalamnya;

semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia atau hewan. Tikus

dipelihara pada kandang ukuran 40x30cm, dialasi dengan gerabah padi dan

diberikan diet normal berupa pelet dan air dua kali sehari.

4.6 Alat dan Bahan Penelitian

4.6.1 Alat Penelitian

1. Peralatan bedah minor: pinset anatomis dan sirurgis, scalpel atau mesh

no.20, gunting, klem, serta needle holder.

2. Sarung tangan steril

3. Doek steril

4. Bor listrik dan bone saw

5. Kasa Steril

6. Label nomor hewan coba

7. K – wire 1,2 mm

!
!
! 70!
!

8. Benang jahit tidak diserap (Nilon 4.0)

9. Pisau cukur bulu

4.6.2 Bahan Penelitian

1.! Spuit injeksi (1 cc dan 3 cc)

2.! Ketamine

3.! Antibiotik injeksi (Ceftriakson)

4.! Analgetik injeksi (Ketorolac)

5.! Antisepsis (Betadine)

6.! Alkohol 70%

7.! Aquabides

8.! Bone graft Calcium Sulfate/Hydroxiapatite (Perossal)

9.! Rat recombinant VEGF

10.!Nitrogen Cair

4.7 Cara Kerja

1.! Digunakan 30 ekor tikus putih (Wistar Rat) jantan, usia 4-5 bulan, berat

badan 200-250 gram dengan kesehatan yang baik yang ditandai dengan

gerakan aktif, bulu tidak kusam, serta memiliki respon yang baik terhadap

rangsangan sekeliling.

2.! Tikus diadaptasi selama 1 minggu.

3.! Tikus kemudian dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu :

P1 : Kelompok Perlakuan 1 (dengan pemberian Calcium Sulfate saja).

P2 : Kelompok Perlakuan 2 (pemberian Calcium Sulfate dan VEGF).

!
!
! 71!
!

4.! Persiapan pembedahan diawali dengan dilakukan pencukuran terhadap

bulu hewan coba pada tungkai bawah kanannya.

5.! Pembedahan dimulai dengan pembiusan menggunakan bius umum dengan

ketamine berdosis 45 mg/kg berat badan intramuscular (Santoso, 2011).

6.! Dilakukan disinfeksi pada tungkai bawah kanan hewan coba dengan

betadine dan alkohol 70%.

7.! Dilakukan insisi kulit parapatellar median yang dilanjutkan dengan insisi

pada kapsul sendinya melalui midline melalui otot vastus medial sampai

dengan insersi patellar tendon, kemudian dilakukan retraksi patella ke

lateral pada posisi lutut ekstensi.

8.! Dilakukan pembuatan defek hemikortek sepanjang 1 cm pada diafisis

tulang femur kanan pada hewan coba dan dilakukan bone recycling dengan

nitrogen cair. Kemudian diberikan perlakuan sesuai dengan kelompok

hewan coba yang sudah ditetapkan.

9.! Kelompok perlakuan pertama diberikan calcium sulfate (Perossal) sebagai

bone graft. Kelompok perlakuan kedua diberikan calcium sulfate yang

sudah dicampur VEGF.

10.!Titik insersi fiksasi internal adalah intercondylar notch. Dilakukan insersi

K-wire 1,2 mm dengan menggunakan bor secara intramedullar, kemudian

wire dicabut. Dilakukan pembengkokan ujung wire secara manual

kemudian dipotong ujung wire tersebut. Ujung wire ditanam pada tulang

rawan sendi lutut, kemudian luka ditutup dengan benang nilon 4.0.

!
!
! 72!
!

11.!Setelah luka ditutup, diberikan gentamycin salep sebagai obat antibakteri

topikal serta diberikan injeksi antibiotika ceftriaxon 60mg/kg berat badan

selama 3 hari secara intramuskular.

12.!Penelitian dilakukan pada pagi hari pukul 09.00 WITA, pada hari pertama

penelitian.

13.!Kedua kelompok tikus dikandangkan di Laboratorium Veteriner Fakultas

Kedokteran Hewan Universitas Udayana dengan kandang ukuran

40x30cm, dialasi dengan gerabah padi dan diberikan diet normal berupa

pelet dan air dua kali sehari.

14.!Berat badan masing-masing tikus ditimbang setiap minggu selama

penelitian.

15.!Diet normal tikus adalah pelet. Pelet yang diberikan mengandung protein

(20%), Lemak (5%), karbohidrat (45%), serat kasar (5%), serta vitamin dan

mineral. Masing-masing tikus mendapat diit 12-20 gr/hari (Smith, 1988).

16.!Air minum diberikan secara ad libidum.

17.!Apabila dalam perjalanan tikus jatuh sakit maka tikus tersebut akan di

eksklusi dan dikonsulkan ke dokter hewan untuk penanganan lebih lanjut.

18.!Pada hari terakhir minggu ke-4, tikus disuntik sampai mati dengan

ketamine dosis lethal, 200 mg/kg berat badan intramuscular (Santoso,

2011).

19.!Femur tikus diambil dan dilakukan pengambilan sampel jaringan

pemeriksaan histopatologi untuk menilai jumlah sel osteoblas dan

pemeriksaan imunohistokimia untuk menilai kadar kolagen tipe I.

!
!
! 73!
!

4.8 Alur Penelitian

36 Tikus

Diadaptasi Selama 1 Minggu

Dilakukan pembuatan hemidefek pada tulang femur Tikus dan


dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair

18 Kelompok Perlakuan 18 Kelompok Kontrol

Pemberian VEGF dalam Bone Pemberian Bone graft


graft Calcium sulfate Calcium sulfate

Minggu ke 4, Sakrifasi dan pengambilan jaringan


Pemeriksaan kadar Collagen type 1 dan Jumlah sel osteoblas

Analisa Data

Gambar 4.2 Alur Penelitian

4.9 Analisa Data

Data yang didapatkan pada penelitian dianalisis sebagai berikut :

1.! Analisis Deskriptif

2.! Analisis Inferensial:

a.! Uji Normalitas data dengan menggunakan uji Shapiro Wilks untuk

mengetahui normalitas sebaran data penelitian.

b.! Uji Homogenitas data dengan menggunakan uji Levene’s Test untuk

mengetahui homogenitas varian data penelitian.

!
!
! 74!
!

c.! Apabila didapatkan data berdistribusi normal dan homogen, maka

dilakukan uji parametrik menggunakan uji independent t-test. Namun

bila tidak berdistribusi normal atau data ordinal dapat dilakukan uji

non parametrik dengan uji Mann-Whitney U.

!
!
!
!

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Analisis Sampel

Analisis penelitian mencakup sebaran data secara deskriptif, jumlah osteoblas

dan ekspresi kolagen tipe I. Selanjutnya data yang terkumpul dilakukan analisis

secara statistik dengan SPSS for Windows version 22.0.

5.1.1 Analisis deskriptif

Analisis data secara deskriptif bertujuan untuk memperoleh gambaran yang

lebih jelas mengenai distribusi dan simpangan baku dari masing-masing variabel

penelitian.

Tabel 5.1
Distribusi frekuensi subjek penelitian masing-masing kelompok

Kelompok Frekuensi (n) Persentase (%)

Kontrol 16 50.00
(Kalsium Sulfat)
Perlakuan 16 50.00
(Kalsium Sulfat dengan VEGF)
Total 32 100

Dari distribusi di atas dapat dilihat bahwa total jumlah subjek penelitian adalah

sebanyak 32 dengan kelompok kontrol dengan pemberian Calcium sulfate tanpa

VEGF adalah sebanyak 16 atau 50.00 % dari total seluruh subjek dan kelompok

perlakuan dengan pemberian Calcium sulfate dan VEGF sebanyak 16 atau 50.00%.

75!
!
! 76!
!

Tabel 5.2
Rerata jumlah osteoblas pada masing-masing kelompok

Kelompok
Perlakuan dengan
Kontrol dengan
Kalsium Sulfat dan
Variabel Kalsium Sulfat
VEGF
(n=16)
(n=16)
(Mean ± SD)
(Mean ± SD)

Jumlah Osteoblas 284,937 ± 10,009 387,875 ± 17,587

Rerata jumlah osteoblas pada kelompok kontrol dengan kalsium sulfat adalah

sebesar 284,937 ± 10,009 sedangkan pada kelompok perlakuan dengan kalsium

sulfat dan VEGF memiliki rerata sebesar 387,875 ± 17,587.

Tabel 5.3
Persentase ekspresi Kolagen tipe I pada masing-masing kelompok

Kelompok
Ekspresi Kolagen Kontrol dengan Perlakuan dengan
Type I Kalsium Sulfat Kalsium Sulfat dan VEGF
n (%) n (%)

Tidak ada ekspresi 16 (100%) 0 (0%)

Ekspresi Ringan 0 (0%) 16 (100%)

Ekspresi Sedang 0 (0%) 0 (0%)

Ekspresi Padat 0 (0%) 0 (0%)

Total 16 (100 %) 16 (100 %)

!
!
! 77!
!

Ekspresi kolagen tipe I pada kelompok perlakuan dengan kalsium sulfat dan VEGF

menunjukkan ekspresi ringan sebanyak 100 % (16) sedangkan pada kelompok

kontrol dengan kalsium sulfat tidak menunjukkan ekspresi kolagen tipe I.

5.2 Analisis Inferensial

Analisis! ini! bertujuan! untuk! melakukan! generalisasi! hasil! penelitian! ke!

populasi.! Uji! statistik! inferensial! yang! digunakan! pada! penelitian! ini! adalah!

independent0t'test!bila!data!berdistribusi!normal!dan!varian!datanya!homogen.!

Penilaian! hasil! uji! menggunakan! 95%! CI! dan! nilai! p! pada! batas! kemaknaan!

0.05.!!

!
!!!!!!!!
5.2.1 Uji normalitas dan homogenitas

Variabel-variabel penelitian pada kelompok perlakuan dan kontrol dilakukan

uji normalitas. Dengan jumlah data sebanyak 32 (n < 50), maka uji normalitas yang

digunakan terhadap data hasil penelitian adalah Shapiro-Wilk test, sedangkan uji

homogenitas varian data dilakukan dengan menggunakan Levene’s test.

Tabel 5.4

Uji normalitas data variable jumlah osteoblas dengan Shapiro-Wilk

Variabel Kelompok N P Keterangan

Jumlah Osteoblas Kontrol 16 0,391 Normal


Perlakuan 16 0,477 Normal

Tabel di atas menunjukkan bahwa data diameter kalus, jumlah osteoblas

berdistribusi normal, dimana nilai p > 0,0

!
!
! 78!
!

Tabel 5.5
Uji Homogenitas varian data variabel-variabel penelitian dengan Levene’s Test

Variabel Kelompok N P Keterangan

Jumlah Osteoblas Perlakuan 16 0,142 Homogen


Kontrol 16

Tabel di atas menunjukkan bahwa data jumlah osteoblas memiliki varian data yang

homogen dimana nilai p sebesar 0,142 (p > 0,05).

5.2.2 Uji Independent T-Test

Untuk variabel numerik dilakukan uji kemaknaan untuk data dua kelompok

tidak berpasangan yaitu independent t-test untuk data yang berdistribusi normal.

Untuk mengetahui efek dari masing-masing variabel pada kelompok perlakuan dan

kontrol dilakukan dengan membandingkan rerata post-test dari masing-masing

kelompok.

Tabel 5.6
Hasil uji komparabilitas data post-test variabel penelitian untuk kelompok
perlakuan dan kontrol
!
Kelompok
Perlakuan Kontrol
95% CI
dengan dengan Beda Nilai
Variabel Kalsium Kalsium rerata p
Sulfat dan Sulfat
VEGF (n = 16)
(n = 16)
Jumlah 387,875 ± 284,937 ± 102.93 92.605 - 0,000
Osteoblas 17,587 10,009 750 113.269

Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah osteoblas pada kelompok perlakuan lebih

banyak dibandingkan dengan kelompok kontrol, dan perbedaan rerata antar

!
!
! 79!
!

kelompok perlakuan dan kontrol signifikan secara statistik dengan nilai p = 0,000

(p< 0,05).

5.2.3. Uji Mann-Whitney U

Untuk variabel ordinal dilakukan uji kemaknaan untuk data dua kelompok

dengan uji non-parametrik Mann-Withney U test. Untuk mengetahui efek dari

masing-masing variabel pada kelompok perlakuan dan kontrol dilakukan dengan

membandingkan mean rank dari masing-masing kelompok.

Tabel 5.7
Hasil uji komparabilitas data post-test variabel penelitian untuk kelompok
perlakuan dan kontrol
!
Mean Rank Nilai p
Perlakuan dengan Kontrol dengan
Variabel Kalsium Sulfat dan Kalsium Sulfat
VEGF (n = 16)
(n = 16)

Ekspresi Kolagen 24,50 8,50 0,000


Tipe I

Tabel di atas menunjukkan bahwa ekspresi kolagen tipe I pada kelompok perlakuan

memiliki mean rank lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol, dan

perbedaan mean rank antar kelompok perlakuan dan kontrol signifikan secara

statistik dengan nilai p = 0,000 (p< 0,05).

!
!
!
!

BAB VI

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Data hasil penelitian yang telah diolah dan dianalisis dengan metode

statistik sesuai dengan hipotesis penelitian yang telah dibuat. Berikutnya hasil

interpretasi data tersebut akan dibahas untuk mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi hasil penelitian ini.

6.1. Subjek Penelitian

Untuk mengetahui dan menguji efek Vascular Endothelial Growth factor dalam

Calcium Sulfat terhadap sel Osteoblas dan Kolagen tipe I pada defek tulang femur

tikus setelah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair, maka dilakukan

penelitian pada tikus putih jenis wistar dengan jenis kelamin jantan umur 16-20

minggu dengan berat 200-250 gram dan dalam kondisi sehat tanpa cacat.

Sebagai hewan coba digunakan tikus sebanyak 32 ekor yang terbagi

menjadi 2 kelompok kelompok kontrol dan kelompok perlakuan masing-masing

berjumlah 16 ekor. Penelitian ini merupakan penelitian yang pertama kali

dilakukan, sebelumnya belum pernah ada yang meneliti tentang pengaruh Vascular

Endothelial Growth Factor dalam Calcium Sulfat terhadap sel Osteoblas dan

Kolagen tipe I pada defek tulang femur tikus setelah dilakukan bone recycling

dengan nitrogen cair.

80!
!
! 81!
!

6.2. Hubungan VEGF dalam Calcium Sulfat dengan Sel Osteoblas Pada Defek

Tulang Femur Tikus Setelah Dilakukan Bone Recycling dengan Nitrogen

Cair.

Pada penelitian ini didapatkan rerata jumlah osteoblas lebih banyak pada

kelompok perlakuan VEGF dalam Calcium Sulfat pada defek tulang femur tikus

setelah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair dan terbukti berbeda secara

signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol tanpa pemberian VEGF dengan

nilai p = 0,000 (CI 95%: 92.605 - 113.269). Ini menunjukkan bahwa pemberian

VEGF dalam calcium sulfate dapat meningkatkan jumlah osteoblas pada defek

tulang femur tikus yang dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair.

Penelitian ini sesuai sejalan dengan penelitian Liu et al (2014) yang

mengemukakan tentang peningkatan pembentukan tulang baru dan angiogenesis

yang signifikan secara statistik pada model defek tulang tikus yang diberikan

calcium sulfate dengan VEGF. Penelitian ini juga sejalan dengan studi lain oleh

Yang et al (2012) juga mengemukakan tentang efek dose-dependent VEGF

terhadap stimulasi peningkatan proliferasi osteoblast sampai lebih dari 70%. Pada

penelitian ini, jumlah osteoblast meningkat secara signifikan pada pemberian

calcium sulfate yang diberikan VEGF. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan

vaskularisasi pada defek tulang yang dapat membantu meningkatkan proliferasi

osteoblast sehingga terjadi peningkatan pembentukan tulang baru.

Mekanisme peningkatan jumlah osteoblast yang dapat meningkatkan

pembentukan tulang dapat dijelaskan melalui efek calcium sulfate yang dapat

diaugmentasi dengan adanya VEGF. Calcium sulfate dapat meningkatkan formasi

!
!
! 82!
!

tulang melalui ikatan dengan tulang di sekitarnya dan kemudian meresopsi, dan

memberikan mekanisme untuk pertumbuhan tulang. Densitas mikrovaskular

meningkat pada defek tulang yang diterapi dengan calcium, menandakan efek

angiogenesis positif dari calcium sulfate. Di samping itu, ion kalsium dilepaskan

pada saat disolusi calcium sulfate, sehingga terjadi peningkatan lokal dari ion

kalsium yang akan meningkatkan pembentukan osteoblast dan fungsinya. Calcium

sulfat dapat berperan sebagai stimulus diferensiasi osteoblast. Stimulasi

mekanoreseptor pada sel osteoblast (integrin dan calcium channels) beserta dengan

faktor pertumbuhan (TGF-β, IGF, bFGF, VEGF, PDGF, BMP) akan menginduksi

beberapa gen/faktor transkripsi yang mengatur pembentukan dan diferensiasi

osteoblast (Papachroni et al. 2009).

Sedangkan vascular endothelial growth factor (VEGF) merupakan factor

pertumbuhan angiogenik paling kuat yang dapat menstimulasi pembentukan

pembuluh darah baru. Hal ini secara klinis berpengaruh pada proses pembentukan

tulang. Penelitian in vitro menyatakan bahwa VEGF dapat memicu proses

angiogenesis dalam pembentukan tulang melalui pengaruh bone morphogenetic

protein (BMPs) dan aktivasi langsung dari sel osteoblast. Deposisi VEGF pada

defek kerusakan tulang telah menunjukan peningkatan dari pembentukan matriks

tulang pada defek tulang femur pada tikus dan defek critical-sized dari radius Tikus.

Hal ini mengindikasikan peran VEGF dalam meningkatkan penyembuhan dan

regenerasi tulang. Ekspresi faktor pertumbuhan seperti VEGF dapat menstimulasi

proses penyembuhan tulang melalui proses angiogenesis dan osteogenesis. VEGF

menginisiasi proses angiogenesis melalui invasi pembuluh darah baru

(neovaskularisasi) sehingga terjadi rangsangan perekrutan sel mesenkim

!
!
! 83!
!

progenitor. Proses angiogenesis oleh VEGF ini juga merangsang BMP-2 untuk

memicu sel mesenkim progenitor untuk berdiferensiasi ke arah pembentukan

osteoblast. Selain itu, VEGF juga berperan meningkatkan ekspresi faktor

pertumbuhan dan sitokin sel endothelial, meningkatkan jumlah nodul dan aktivitas

alkaline phosphatase serta sehingga terjadi stimulasi, migrasi, proliferasi dari sel

osteoblast. VEGF juga membantu menghambat proses apoptosis sel osteoblast,

sehingga mineralisasi matriks osteoid dan bone regeneration akan terjadi. Efek dari

VEGF dalam Calcium Sulfat lebih meningkatkan jumlah sel Osteoblas daripada

hanya Calcium sulfat saja.

6.3. Hubungan VEGF dalam Calcium Sulfat dengan Kolagen Tipe I pada

Defek Tulang Femur Tikus Setelah Dilakukan Bone Recycling dengan

Nitrogen Cair.

Dari uji statistik menunjukkan ekspresi kolagen tipe I pada kelompok

perlakuan memiliki mean rank lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol,

dan perbedaan mean rank antar kelompok perlakuan dan kontrol signifikan secara

statistik dengan nilai p = 0,000 (p< 0,05). Ini menunjukkan bahwa pemberian VEGF

dalam calcium sulfat dapat meningkatkan ekspresi Kolagen tipe I pada defek tulang

femur tikus setelah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair.

Penelitian ini sejalan dengan studi oleh Maes C. et al (2002) yang

mengemukakan pengaruh VEGF terhadap kadar ekspresi Cbfa1 dan mRNA

kolagen tipe I. Ekspresi kadar Cbfa1 dan mRNA kolagen tipe I akan menurun bila

ekspresi VEGF dihilangkan pada proses pembentukan tulang baru. Pada penelitian

Peng et al (2005), penghambatan VEGF dengan sFlt1 pada kasus fraktur femur pada

!
!
! 84!
!

tikus menyebabkan berkurangnya ukuran kalus, terutama pada fase remodelling

tulang. Sedangkan pemberian VEGF secara exogenous meningkatkan vaskularitas

dan kepadatan mineral pada kalus yang mengalami kalsifikasi. Hal ini

menunjukkan peran VEGF dalam meningkatkan pembentukan kolagen tipe I

sebagai matriks ekstraseluler untuk membantu pembentukan kalus.

VEGF merupakan mediator penting dalam tahap neovaskularisasi dari

pertumbuhan tulang endochondral dan morfogenesis lempeng pertumbuhan. VEGF

ini diekspresikan oleh sel-sel di tulang, seperti osteoklas, osteoblast dan kondrosit.

Osteoblas melakukan deposisi matriks tulang yang kaya akan kolagen tipe I, yang

mana nantinya akan termineralisasi.

Osteoblas mempunyai precursor mesenkimal yang sama dengan kondrosit dan

faktor regulasi yang spesifik. Seperti RUNX2 yang mendominasi control dari

diferensisasi osteoblast. Osteoblast yang sudah matang memproduksi matriks

tulang dan mengekspresikan kolagen tipe I yang berlimpah.

VEGF mempunyai peranan yang penting dalam fase remodelling dari tulang.

Pada fase remodelling pergantian dari woven bone menjadi lamellar bone

memerlukan perpaduan antara resorpsi tulang yang diperantarai oleh osteoclas dan

pembentukan tulang oleh osteoblas. VEGF mempengaruhi fungsi dari kedua sel

tersebut dan VEGF penting bagi fasa bone remodelling. VEGF berikatan dengan

VEGFR1 pada osteoklas dan meregulasi diferensiasi dan aktifasi.

Oleh karena itu, jika kadar VEGF berkurang pada fasa remodelling tulang

maka akan mengurangi sinyal dari proses angiogenik dan osteogenik secara tidak

langsung melalui inhibisi dari bone resorption.

!
!
!
!

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Dari analisis data yang telah dilakukan dalam penelitian ini, dapat diperoleh

beberapa simpulan sebagai berikut:

1.! Jumlah osteoblas lebih banyak pada defek tulang femur tikus setelah

dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair, kemudian diberikan

VEGF dalam Calcium Sulfate dibandingkan dengan pemberian Calcium

Sulfate saja.

2.! Jumlah ekspresi kolagen tipe I lebih banyak pada defek tulang femur

tikus setelah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair, kemudian

diberikan VEGF dalam Calcium Sulfate dibandingkan dengan

pemberian Calcium Sulfate saja.

7.2 Saran

Penelitian ini merupakan penelitian awal yang melakukan analasis terhadap

efek pemberian VEGF pada kasus defek tulang setelah dilakukan bone recycling

dengan nitrogen cair. Diharapkan adanya penelitian lanjutan pada manusia

sehingga pemberian VEGF dapat dipakai untuk membantu proses regenerasi dari

defek tulang.

!
85!
86!
!

!
DAFTAR PUSTAKA

Abdel Rahman, M., Bassiony, A. & Shalaby, H., 2009. Reimplantation of the
resected tumour-bearing segment after recycling using liquid nitrogen for
osteosarcoma. International Orthopaedics, 33(5), pp.1365–1370.

Aela, M.I.C.H. & De, B.O., 2000. Characterization of type I and type II and type
III collagens in human tissues,

Almubarak, S. et al., 2016. Tissue engineering strategies for promoting vascularized


bone regeneration. Bone, 83, pp.197–209.

Amini, A.R., Laurencin, C.T. & Nukavarapu, S.P., Bone tissue engineering: recent
advances and challenges. Critical reviews in biomedical engineering, 40(5),
pp.363–408.

Barnes, G.L. et al., 1999. Growth factor regulation of fracture repair. Journal of
bone and mineral research": the official journal of the American Society for
Bone and Mineral Research, 14(11), pp.1805–15.

Baust, J.G. et al., 2004. Cryosurgery - A putative approach to molecular-based


optimization. Cryobiology, 48(2), pp.190–204.

Bayliss, L., Mahoney, D.J. & Monk, P., 2012. Normal bone physiology,
remodelling and its hormonal regulation. Surgery (Oxford), 30(2), pp.47–53.

Bickels, J. et al., 1999. The role and biology of cryosurgery in the treatment of bone
tumors. A review. Acta orthopaedica Scandinavica, 70(3), pp.308–15.

Bickels, J., Meller, I. & Kollender, Y., of Bone Tumors. , pp.1–9.

Bickels, J., Meller, I. & Malawer, M., 2001. The Biology and Role of Cryosurgery
in the Treatment of Bone Tumors. , pp.135–146.

Bose, S., Roy, M. & Bandyopadhyay, A., 2012. Recent advances in bone tissue
engineering scaffolds. Trends in Biotechnology, 30(10), pp.546–554.

Carano, R.A.D. & Filvaroff, E.H., 2003. Angiogenesis and bone repair. Drug
Discovery Today, 8(21), pp.980–989.

Clarke, B., 2008. Normal bone anatomy and physiology. Clinical journal of the
American Society of Nephrology": CJASN, 3 Suppl 3, pp.131–139.

!
87!
!

Clarkin, C.E. & Gerstenfeld, L.C., 2013. VEGF and bone cell signalling: An
essential vessel for communication? Cell Biochemistry and Function, 31(1),
pp.1–11.

Costa, F.W.G. et al., 2011. Histomorphometric assessment of bone necrosis


produced by two cryosurgery protocols using liquid nitrogen: an experimental
study on rat femurs. Journal of applied oral science": revista FOB, 19(6),
pp.604–9.

Crockett, J.C. et al., 2011. Bone remodelling at a glance. Journal of cell science,
124, pp.991–998.

Dabak, N. et al., 2003. Early results of a modified technique of cryosurgery.


International Orthopaedics, 27(4), pp.249–253.

Drosse, I. et al., 2008. Tissue engineering for bone defect healing: An update on a
multi-component approach. Injury, 39(SUPPL.2).

Eckardt, H. et al., 2005. Recombinant human vascular endothelial growth factor


enhances bone healing in an experimental nonunion model. The Journal of
bone and joint surgery. British volume, 87(10), pp.1434–1438.

Gao, C. et al., 2013. MSC-seeded dense collagen scaffolds with a bolus dose of
vegf promote healing of large bone defects. European Cells and Materials, 26,
pp.195–207.

Gelse, K., Pöschl, E. & Aigner, T., 2003. Collagens - Structure, function, and
biosynthesis. Advanced Drug Delivery Reviews, 55(12), pp.1531–1546.

Kamal, A., Putro, R. & Pattiata, R., 2011. Diagnosis and Treatment of Ewing
Sarcoma. Journal of Indonesian Orthopaedic, (71), pp.92–100.

Kruger, T.E., Miller, A.H. & Wang, J., 2013. Collagen scaffolds in bone
sialoprotein-mediated bone regeneration. The Scientific World Journal,
2013(I), p.812718.

Lieberman, J.R. & Friedlaender, G.E., 2005. Bone regeneration and repair,

Liu, J. et al., 2014. Calcium Sulfate Hemihydrate/Mineralized Collagen Loading


Vascular Endothelial Growth Factors and the In Vivo Performance in Rabbit
Femoral Condyle Defects Model. Journal of Biomaterials and Tissue
Engineering, 4(12), pp.1054–1062.

Maes,&C.&et&al.,&2002.&Impaired&angiogenesis&and&endochondral&bone&formation&in&
mice& lacking& the& vascular& endothelial& growth& factor& isoforms& VEGF164& and&
VEGF188.&Mechanisms*of*Development,&111(1–2),&pp.61–73

!
88!
!

McGonnell, I.M. et al., 2012. Physiology of Bone Formation, Remodeling, and


Metabolism. In I. Fogelman, G. Gnanasegaran, & H. van der Wall, eds.
Frontiers in endocrinology. Berlin, Heidelberg: Springer Berlin Heidelberg, p.
88.

Mohler, D.G. et al., 2010. Curettage and cryosurgery for low-grade cartilage tumors
is associated with low recurrence and high function. Clinical Orthopaedics
and Related Research, 468(10), pp.2765–2773.

Munthe, R. & Suroto, H., 2014. Chip Freeze Dried Cancellous Bone Allograft as
Scaffold to Fill Small Bone Defect in Long Bone. Journal of Orthopaedic and
Traumatology Surabaya, 3(1), pp.193–201.

Nandi, S.K. et al., 2010. Orthopaedic applications of bone graft & graft substitutes:
A review. Indian Journal of Medical Research, 132(7), pp.15–30.

Ng, Y.S. et al., 2001. Differential expression of VEGF isoforms in mouse during
development and in the adult. Developmental dynamics": an official
publication of the American Association of Anatomists, 220(2), pp.112–121.

Nishida, H., Tsuchiya, H. & Tomita, K., 2008. Re-implantation of tumour tissue
treated by cryotreatment with liquid nitrogen induces anti-tumour activity
against murine osteosarcoma. The Journal of bone and joint surgery. British
volume, 90(9), pp.1249–55.

Papachroni, K.K. et al., 2009. Mechanotransduction in osteoblast regulation and


bone disease. Trends in Molecular Medicine, 15(5), pp.208–216.

Pearce, A.I. et al., 2007. Animal models for implant biomaterial research in bone:
A review. European Cells and Materials, 13(FEBRUARY), pp.1–10.

Pei, F. et al., 2012. Evaluation of a biodegradable graft substitute in rabbit bone


defect model. Indian Journal of Orthopaedics, 46(3), p.266.

Peng,&H.&et&al.,&2002.&Synergistic&enhancement&of&bone&formation&and&healing&by&
stem&cellOexpressed&VEGF&and&bone&morphogenetic&proteinO4.&Journal*of*
Clinical*Investigation,&110(6),&pp.751–759.&

Phedy, P., 2011. Mesenchymal stem cells: Source of isolation, survival in


hydroxyapatite-calcium sulphate, and effect in healing of bone defect. Clinical
Biochemistry, 44(13), p.S295.

Phillips, A.M., 2005. Overview of the fracture healing cascade. Injury, 36 Suppl
3(3), pp.S5-7.

Polewski, M.D. et al., 2010. Inorganic pyrophosphatase induces type I collagen in

!
89!
!

osteoblasts. Bone, 46(1), pp.81–90.

Prideaux, M., Findlay, D.M. & Atkins, G.J., 2016. Osteocytes: The master cells in
bone remodelling. Current Opinion in Pharmacology, 28, pp.24–30.

Ramajayam, K.K. & Kumar, A., 2013. A novel approach to improve the efficacy
of tumour ablation during cryosurgery. Cryobiology, 67(2), pp.201–213.

Rauschmann, M.A. et al., 2005. Nanocrystalline hydroxyapatite and calcium


sulphate as biodegradable composite carrier material for local delivery of
antibiotics in bone infections. Biomaterials, 26(15), pp.2677–2684.

Robinson, D., Halperin, N. & Nevo, Z., 2001. Two freezing cycles ensure interface
sterilization by cryosurgery during bone tumor resection. Cryobiology, 43(1),
pp.4–10.

Sipola, A., 2009. Effects of Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF-A) And
Endostatin On Bone,

Street, J. et al., 2002. Vascular endothelial growth factor stimulates bone repair by
promoting angiogenesis and bone turnover. Proceedings of the National
Academy of Sciences of the United States of America, 99(15), pp.9656–61.

Thomas, M. V. & Puleo, D.A., 2009. Calcium sulfate: Properties and clinical
applications. Journal of Biomedical Materials Research Part B: Applied
Biomaterials, 88B(2), pp.597–610.

Tsuchiya, H. et al., 2010. Pedicle frozen autograft reconstruction in malignant bone


tumors. Journal of Orthopaedic Science, 15(3), pp.340–349.

Uchihashi, K. et al., 2013. Osteoblast migration into type I collagen gel and
differentiation to osteocyte-like cells within a self-produced mineralized
matrix: A novel system for analyzing differentiation from osteoblast to
osteocyte. Bone, 52(1), pp.102–110.

Wallace, J.M. et al., 2010. Distribution of type I collagen morphologies in bone:


Relation to estrogen depletion. Bone, 46(5), pp.1349–1354.

Whittaker, D.K., 1984. Mechanisms of tissue destruction following cryosurgery.


Annals of the Royal College of Surgeons of England, 66(5), pp.313–318.

Yang, Y. et al., 2015. In vitro evaluation of rhBMP-2-induced expression of VEGF


in human adipose-derived stromal cells. , 8(1), pp.222–230.

Yang, Y.-Q. et al., 2012. The role of vascular endothelial growth factor in
ossification. International journal of oral science, 4(2), pp.64–8.

!
90!
!

Yazawa, M., Mori, T. & Kishi, K., 2013. A Comparison of Malignant Bone
Treatments for Reuse. , 2013(January), pp.49–52.

Yiu, W.K. et al., 2007. Cryosurgery: A review. International Journal of Angiology,


16(1), pp.1–6.

Zelzer, E. & Olsen, B.R., 2004. Multiple Roles of Vascular Endothelial Growth
Factor (VEGF) in Skeletal Development, Growth, and Repair. Current Topics
in Developmental Biology, 65, pp.169–187.

Zhou, H. & Lee, J., 2011. Nanoscale hydroxyapatite particles for bone tissue
engineering. Acta Biomaterialia, 7(7), pp.2769–2781.

!
! 91!

Lampiran 1. Surat Keterangan Kelaikan Etik


! 92!

Lampiran 2. Surat Keterangan Selesai Melakukan Penelitian


! 93!

Lampiran 3. Surat Keterangan Hasil Pemeriksaan Histopatologi dan

Imunohistokimia
! 94!
! 95!
! 96!
! 97!

Lampiran 4. Data Analisis SPSS

Data Deskriptif Osteoblast

Case%Processing%Summary!

Cases!

Valid! Missing! Total!

Kelompok! N! Percent! N! Percent! N! Percent!

OsteoblastCount! Perelakuan! 16! 100.0%! 0! 0.0%! 16! 100.0%!

Kontrol! 16! 100.0%! 0! 0.0%! 16! 100.0%!

Descriptives!

Kelompok! Statistic! Std.!Error!

OsteoblastCount! Perelakuan! Mean! 387.8750! 4.39685!

95%!Confidence!Interval!for! Lower!Bound! 378.5033!


Mean!
Upper!Bound! 397.2467!

5%!Trimmed!Mean! 388.7500!

Median! 390.0000!

Variance! 309.317!

Std.!Deviation! 17.58740!

Minimum! 347.00!

Maximum! 413.00!

Range! 66.00!

Interquartile!Range! 22.00!
! 98!

Skewness! T.891! .564!

Kurtosis! .827! 1.091!

Kontrol! Mean! 284.9375! 2.50245!

95%!Confidence!Interval!for! Lower!Bound! 279.6037!


Mean!
Upper!Bound! 290.2713!

5%!Trimmed!Mean! 285.1528!

Median! 286.5000!

Variance! 100.196!

Std.!Deviation! 10.00979!

Minimum! 267.00!

Maximum! 299.00!

Range! 32.00!

Interquartile!Range! 18.25!

Skewness! T.201! .564!

Kurtosis! T1.195! 1.091!

Tests%of%Normality!

a
KolmogorovTSmirnov ! ShapiroTWilk!

Kelompok! Statistic! df! Sig.! Statistic! df! Sig.!

*
OsteoblastCount! Perelakuan! .141! 16! .200 ! .943! 16! .391!

*
Kontrol! .135! 16! .200 ! .949! 16! .477!

*.!This!is!a!lower!bound!of!the!true!significance.!

a.!Lilliefors!Significance!Correction!

%
! 99!

Grafik%Histograms%Osteoblast%

%
%
%
! 100!

Normal%Q?Q%Plots%
! 101!

Detrended%Normal%Q?Q%Plots%
! 102!

Independent%T?Test%Jumlah%Osteoblast%

Group%Statistics!

Kelompok! N! Mean! Std.!Deviation! Std.!Error!Mean!

OsteoblastCount! Perelakuan! 16! 387.8750! 17.58740! 4.39685!

Kontrol! 16! 284.9375! 10.00979! 2.50245!


! 103!

Independent%Samples%Test!

Levene's!Test!for!Equality!of! tTtest!for!Equality!of!
Variances! Means!

F! Sig.! t! df!

OsteoblastCount! Equal!variances!assumed! 2.274! .142! 20.347! 30!

Equal!variances!not!
20.347! 23.795!
assumed!

Independent%Samples%Test!

tTtest!for!Equality!of!Means!

Std.!Error!
Sig.!(2Ttailed)! Mean!Difference! Difference!

OsteoblastCount! Equal!variances!assumed! .000! 102.93750! 5.05910!

Equal!variances!not!assumed! .000! 102.93750! 5.05910!

Independent%Samples%Test!

tTtest!for!Equality!of!Means!

95%!Confidence!Interval!of!the!Difference!

Lower! Upper!

OsteoblastCount! Equal!variances!assumed! 92.60543! 113.26957!

Equal!variances!not!assumed! 92.49126! 113.38374!


! 104!

Analisa'Data'Kolagen'Tipe'I'
'
'
Crosstabs'

Case'Processing'Summary!

Cases!

Valid! Missing! Total!

N! Percent! N! Percent! N! Percent!

KolagenTypeI!*!Kelompok! 32! 100.0%! 0! 0.0%! 32! 100.0%!


! 105!

KolagenTypeI'*'Kelompok'Crosstabulation!

Kelompok!

Perlakuan! Kontrol! Total!

KolagenTypeI! Tidak!Ada!Ekspresi! Count! 0! 16! 16!

%!within!KolagenTypeI! 0.0%! 100.0%! 100.0%!

%!within!Kelompok! 0.0%! 100.0%! 50.0%!

%!of!Total! 0.0%! 50.0%! 50.0%!

Ekspresi!Ringan! Count! 16! 0! 16!

%!within!KolagenTypeI! 100.0%! 0.0%! 100.0%!

%!within!Kelompok! 100.0%! 0.0%! 50.0%!

%!of!Total! 50.0%! 0.0%! 50.0%!

Total! Count! 16! 16! 32!

%!within!KolagenTypeI! 50.0%! 50.0%! 100.0%!

%!within!Kelompok! 100.0%! 100.0%! 100.0%!

%!of!Total! 50.0%! 50.0%! 100.0%!


! 106!

NPar'Tests'

Descriptive'Statistics!

Percentiles!

N! Mean! Std.!Deviation! Minimum! Maximum! 25th! 50th!(Median)! 75th!

KolagenTypeI! 32! 1.5000! .50800! 1.00! 2.00! 1.0000! 1.5000! 2.0000!

Kelompok! 32! 1.5000! .50800! 1.00! 2.00! 1.0000! 1.5000! 2.0000!

'
Mann?Whitney'Test'

Ranks!

Kelompok! N! Mean!Rank! Sum!of!Ranks!

KolagenTypeI! Perlakuan! 16! 24.50! 392.00!

Kontrol! 16! 8.50! 136.00!

Total! 32!
! 107!

a
Test'Statistics !

KolagenTypeI!

MannTWhitney!U! .000!

Wilcoxon!W! 136.000!

Z! T5.568!

Asymp.!Sig.!(2Ttailed)! .000!

b
Exact!Sig.![2*(1Ttailed!Sig.)]! .000 !

a.!Grouping!Variable:!Kelompok!

b.!Not!corrected!for!ties.!
! 108!

Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian

Gambar 1. Persiapan

Gambar 2. Tikus Coba


! 109!

Gambar 3. Persiapan Tikus Coba

Gambar 4. Proses
! 110!

Gambar 5. Proses Approach Femur Tikus

Gambar 6. Sampling Graft Femur yang akan di Rendam Nitrogen Cair


! 111!

Gambar 7. Nitrogen Cair

Gambar 8. Femur Tikus Dimasukkan dalam Nitrogen Cair


! 112!

Gambar 10. Calcium Sulfate, VEGF

Gambar 11. Perlakuan


! 113!

Gambar 12. VEGF

Gambar 13. Sampel Post Tindakan dan Sampel Selama Perawatan

Gambar 14. Pemanenan Sampel : Alat –Alat


! 114!

Gambar 15. Proses Pemanenan

Gambar 16. Sampel Dipanen

Vous aimerez peut-être aussi