Vous êtes sur la page 1sur 2

AMARAH

Alkisah, hiduplah seorang guru yang baik hati dan bijaksana yang bernama Pak Tomi. Dia
tinggal di sebuah desa yang bernama desa Sukamaju. Para penduduk desa sangat menghormati dan
menyayangi Pak Tomi karena dia suka menolong tetanganya yang sedang kesusahan tanpa pamrih.
Pak Tomi memiliki seorang anak. Dia bernama Beni. Dia masih duduk di bangku SMA kelas X.
Berbeda dengan Pak Tomi yang berhati lembut dan bijaksana, Beni termasuk orang yang kasar dan
gampang sekali marah. Setiap hari dia selalu marah marah. Sekali saja dia mendapatkan sesuatu yang
tidak sesuai yang dia harapkan dia akan langsung terbakar emosi dan marah marah. Tak jarang dia
selalu melontarkan kata kata kasar kepada siapa saja yang membuat dia marah. Orang-orang desa
Sukamaju sangat tidak suka dengan Beni dan memilih menghindar. Bahkan teman-teman Benipun
lebih suka menjauh dari Beni daripada berteman dengannya. Tetapi Beni tidak peduli, dia hanya
memikirkan dirinya sendiri.
Suatu ketika, Beni mengalami suatu hari yang membuat drinya marah marah tanpa henti. Dari
pagi hingga petang, dia tidak berhenti marah marah. Bahkan saking kesalnya, dia luapkan amarahnya
dengan memarahi siapa saja yang bertemu dengannya. Karena saking seringnya marah akhirnya dia
merasa bahwa marah marah membuatnya capek dan membuang waktu. Dia tidak tahan dan akhirnya
dia menemui ayahnya untuk mencari tahu apakah ayahnya bisa membantunya apa tidak.
“Ayah, bisa bicara sebentar, ada yang ingin saya bicarakan,” ucap Beni.
“ Oh ya. Silahkan Beni. Beni mau ngomong apa?” tanya Pak Tomi
“Yah, bisa bantu Beni tidak, Beni ingin sekali agar Beni tidak menjadi seorang yang pemarah.
Ayah punya solusi kah?”
“ Oh begitu baiklah ayah akan bantu Beni. Ayok Ben, sini ikut ayah,” jawab Pak Tomy
Pak tomi lalu mengajak beni menuju ke halaman depan rumahnya. Di depan rumah Beni
terdapat pagar kayu yang masih kokoh dengan cat kuning mengkilap seperi sinar mentari. Pak Tomi
meminta Beni untuk melihat dan mengamati pagar tersebut. Kemudian dia pergi ke dalam rumah
untuk mengambil sebuah palu dan seember paku. Tak lama kemudian, Pak Tomi memberikan palu
dan paku-paku tersebut untuk Beni. Beni Bingung kenapa ayahnya memberikan benda-benda itu
kepada beni.
“Yah, paku dan palu ini buat apa?’ tanya Beni
Pak tomi tersenyum dan dengan bahasa yang santun dia menjelaskan apa guna paku dan palu
tersebut.
“ Beni, mulai sekarang kamu harus memalu satu paku ke pagar kayu didepan rumah setiap
kali dia ingin merah. Lakukanlah hal tersebut sampai sekiranya kamu sudah tidak pernah marah-marah
lagi. “ Kata Pak Tomi
Benipun paham dan dia memulai memalu satu paku ke pagar setiap kali dia merasa marah.
Hari pertama dia menancapkan hampir seratus paku ke pagar di depan rumah. Hari berikutnya jumlah
paku yang tertancap berkurang sedikit demi sedikit. Hingga suatu hari beni tidak menancapkan paku
itu lagi karena sekarang dia bisa menahan emosinya.
Seketika itu juga dia menceritakan hal tersebut kepada ayahnya. Dia berkata kepada ayahnya
bahwa sekarang dia sudah tidak marahmarah lagi sehingga sekarang dia sudah berhenti menancapkan
paku ke pagar depan rumah. Pak Tomipun tersenyum dan senang mendengar cerita Beni dan beliau
memberikan perintah kepada Beni. Dia meminta beni untuk mencabut satu paku setiap kali dia bisa
menahan amarah. Dia meminta Beni melakukan hal tersebut sampai semua paku-paku yang sudah
tertancap di pagar tercabut semua. Benipun mengangguk dan dia melakukan perintah ayahnya
dengan baik.
Beberapa hari kemudian, paku-paku yang dulu tertancap sudah berhasil dicabut sema oleh
beni. Benipun langsung memberitahukan ayahnya bahwa misinya sudah selesai.
“Ayah, Beni sudah berhasil mencabut semua pakunya yah. Sekarang beni tidak marah-marah
lagi yah.” Kata Beni
“ Baguslah nak, ayah bangga sekali denganmu, kata pak Tomi.
Kemudian Pak Tomi meminta Beni untuk ikut beliau ke depan rumahnya. Dia meminta Beni
untuk melihat pagar depan rumahnya sekarang. Dia meminta Beni untuk membandingkan pagar
tersebut sebelum dan sesudah dia menancapkan dan mencabut paku dari pagar itu.
“Lihatlah Ben pagar itu bagaimana keadaannya sekarang?” tanya Pak Tomi
“Sekarang sudah rusak pak sudah tidak seindah dulu lagi banyak lubang dimana-mana.” Kata
Beni. Diperbaikipun sepertinya sudah tidak bisa karena terlalu banyak lubang bekas pakunya.
Dengan bijaksana Pak Tomi menjelaskan maksud dari gambaran tersebut ke Beni. Dia berkata
kepada beni bahwa pagar itu ibarat hati dari setiap orang yang dia marahi, paku adalah wujud dari
amarah dia dan mencabut paku diibaratkan sebagai permohonan maaf dia kepada orang yang dia
marahi.
“ Dengarkan baik-baik nak, kalau kamu marah dengan orang lain hal itu akan meninggalkan
luka seperti pagar ini. Kau bisa menusukkan pisau ke punggung orang dan mencabutnya kembali,
tetapi akan meinggalkan luka. Tak peduli berapa kali kamu meminta maaf luka itu tidak akan sirna
seperti pagar ini yang tidak bisa kembali kebentuk semula.”
Benipun akhirnya sadar bahwa amarah hanya akan membuat orang lain tersakiti. Dan sejak
saat itu dia tidak marah-marah lagi.
Teman-teman melalui kisah ini kita bisa belajar bahwasannya pertengkaran hanya akan
meninggalkan luka. Maka jauhilah, lebih baik saling memahami dan menghargai daripada saling
melukai.

Vous aimerez peut-être aussi