Vous êtes sur la page 1sur 9

A.

Konsep Penyakit

1. Definisi

Kolesistitis adalah radang kandung empedu yang merupakan inflamasi akut dinding kandung

empedu disertai nyeri perut kanan atas,nyeri tekan dan panas badan. Dikenal dua klasifikasi

yaitu akut dan kronis (Brooker,2011).

Kolesistitis adalah reaksi inflamasi dinding kandung empedu. Kolesistitis adalah radang

kandung empedu yang merupakan reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu disertai

keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan panas badan.Dikenal klasifikasi kolesistitis

yaitu kolesistitis akut serta kronik. (Dr. Suparyanto, M.Kes 2009).

Kolesistitis adalah inflamasi kantung empedu akut atau kronis yang disebabkan oleh batu

empedu yang terjepit dalam saluran sistik dan disertai inflamasi di balik obstruksi (Williams &

wilkins 2011). Kolesistisis adalah inflamasi kantung empedu akut atau kronik (ovedoff,2002).

2. Etiologi

Penyebab terjadinya kolesistitis adalah statis cairan empedu, infeksi kuman dan

iskemia dinding kandung empedu. Bagaimana stasis di duktus sistitis dapat

menyebabkan kolesistitis dalam belum jelas. Banyak factor yang berpengaruh seperti

kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak

lapisan mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.

Selain factor-faktor di atas kolesistitis dapat terjadi juga pada pasien yang dirawat

cukup lama dan mendapat nutrisi secara parentesal pada sumbatan karena keganasan

kandung empedu, batu disaluran emepedu atau merupakan salah satu komplikasi

penyakit lain seperti demam tipoid dan IOM (Prof. dr. H.M. Sjaifaoellah Noer).
Sekitar 95% penderita peradangan kandung empedu akut, memiliki batu empedu.

Kadang suatu infeksi bakteri menyebabkan terjadinya peradangan.

Kolesistitis akut tanpa batu merupakan penyakit yang serius dan cenderung

timbul setelah terjadinya:

 Cedera

 Pembedahan

 luka bakar

 sepsis (infeksi yang menyebar ke seluruh tubuh)

 penyakit-penyakit yang parah (terutama penderita yang menerima makanan lewat

infus dalam jangka waktu yang lama).

Sebelum secsara tiba-tiba merasakan nyeri yang luar biasa di perut bagian

atas, penderita biasanya tidak menunjukan tanda-tanda penyakit kandung empedu.

Kolesistitis kronis terjadi akibat serangan berulang dari kolesistitis akut,

yang menyebabkan terjadinya penebalan dinding kandung empedu dan penciutan

kandung empedu.Pada akhirnya kandung empedu tidak mampu menampung empedu.

Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita dan angka kejadiannya meningkat

pada usia diatas 40 tahun.

3. Anatomi dan fisiologi


Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah pir, yang terletak pada

permukaan inferior dari hati pada garis yang memisahkan lobus kanan dan kiri, yang disebut

dengan fossa kandung empedu. Ukuran kandung empedu pada orang dewasa adalah 7cm

hingga 10 cm dengan kapasitas lebih kurang 30mL. Kandung empedu menempel pada hati oleh

jaringan ikat longgar , yang mengandung vena dan saluran limfatik yang menghubungkan

kandung empedu dengan hati. Kandung empedu dibagi menjadi empat area anatomi: fundus,

korpus, infundibulum, dan kolum (Avunduk, 2002). Saluran biliaris dimulai dari kanalikulus

hepatosit, yang kemudian menuju ke duktus biliaris. Duktus yang besar bergabung dengan

duktus hepatikus kanan dan kiri, yang akan bermuara ke duktus hepatikus komunis di porta

hepatis. 5 Ketika duktus sistika dari kandung empedu bergabung dengan duktus hepatikus

komunis, maka terbentuklah duktus biliaris komunis. Duktus biliaris komunis secara umum

memiliki panjang 8 cm dan diameter 0.5-0.9 cm, melewati duodenum menuju pangkal

pankreas, dan kemudian menuju ampula Vateri (Avunduk, 2002). Suplai darah ke kandung

empedu biasanya berasal dari arteri sistika yang berasal dari arteri hepatikus kanan. Asal arteri

sistika dapat bervariasi pada tiap tiap orang, namun 95 % berasal dari arteri hepatik kanan

(Debas, 2004). Aliran vena pada kandung empedu biasanya melalui hubungan antara vena vena

kecil. Vena-vena ini melalui permukaan kandung empedu langsung ke hati dan bergabung

dengan vena kolateral dari saluran empedu bersama dan akhirnya menuju vena portal. Aliran

limfatik dari kandung empedu menyerupai aliran venanya. Cairan limfa mengalir dari kandung

empedu ke hati dan menuju duktus sistika dan masuk ke sebuah nodus atau sekelompok nodus.

Dari nodus ini cairan limfa pada akhinya akan masuk ke nodus pada vena portal. Kandung

empedu diinervasi oleh cabang dari saraf simpatetik dan parasimpatetik, yang melewati pleksus

seliaka. Saraf preganglionik simpatetik berasal dari T8 dan T9. Saraf postganglionik simpatetik

berasal dari pleksus seliaka dan berjalan bersama dengan arteri hepatik dan vena portal menuju
kandung empedu. Saraf parasimpatetik berasal dari cabang nervus vagus (Welling & Simeone,

2009).

Fisiologi Kandung Empedu Fungsi kandung empedu yaitu sebagai berikut:

a) Menyimpan dan mengkonsentrasikan cairan empedu yang berasal dari hati di antara

dua periode makan.

b) Berkontraksi dan mengalirkan garam empedu yang merupakan turunan kolesterol,

dengan stimulasi oleh kolesistokinin,ke duodenum sehingga membantu proses

pencernaan lemak (Barett, 2006).

Cairan empedu dibentuk oleh hepatosit, sekitar 600 mL per hari, terdiri dari air, elektrolit,

garam empedu, kolesterol, fosfolipid, bilirubin, dan senyawa 6 organik terlarut lainnya.

Kandung empedu bertugas menyimpan dan menkonsentrasikan empedu pada saat puasa. Kira-

kira 90 % air dan elektrolit diresorbsi oleh epitel kandung empedu, yang menyebabkan empedu

kaya akan konstituen organik (Avunduk, 2002). Di antara waktu makan, empedu akan

disimpan di kandung empedu dan dipekatkan. Selama makan, ketika kimus mencapai usus

halus, keberadaan makanan terutama produk lemak akan memicu pengeluaran kolesistokinin

(CCK). Hormon ini merangsang kontraksi dari kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi,

sehingga empedu dikeluarkan ke duodenum dan membantu pencernaan dan penyerapan lemak.

Garam empedu secara aktif disekresikan ke dalam empedu dan akhirnya disekresikan bersama

dengan konstituen empedu lainnya ke dalam duodenum. Setelah berperan serta dalam

pencernaan lemak, garam empedu diresorpsi ke dalam darah dengan mekanisme transport aktif

khusus di ileum terminal. Dari sini garam empedu akan kembali ke sistem porta hepatika lalu

ke hati, yang kembali mensekresikan mereka ke kandung empedu. Proses pendaurulangan

antara usus halus dan hati ini disebut sebagai sirkulasi enterohepatik (Sherwood, 2001). Dalam

keadaan dimana kandung empedu tidak berfungsi dengan baik, garam empedu yang telah

melalui sirkulasi enterohepatik sebagian besar akan disimpan di usus halus (Barett, 2006).
4. Patofisiologi

Prevalensi batu empedu meningkat seiring dengan perjalanan usia, terutama untuk pasien diatas

40 tahun. Perempuan berisiko dua kali lebih tinggi 7 mengalami batu empedu dibandingkan

dengan pria. Kejadian batu empedu bervariasi di negara berbeda dan di etnis berbeda pada

negara yang sama. Perbedaan ini menunjukkan bahwa faktor genetik berperan penting dalam

pembentukan batu empedu. Prevalensi tinggi batu empedu campuran di negara Barat,

sedangkan di Asia umumnya dijumpai batu pigmen (Lee& Ko,2009). Batu pigmen sering

diasosiasikan dengan penyakit hemolitik dan sering dijumpai di daerah endemik anemia

hemolitik dan malaria. Batu pigmen hitam merupakan penyebab batu empedu di negara barat

sekitar 25% , terdiri dari polimer bilirubin tanpa kalsium palmitat, sedikit kolesterol dan

matriks dari bahan organik. Batu pigmen hitam biasanya multipel, kecil, ireguler, dan berwarna

hijau-kehitaman. Batu pigmen coklat mengandung kalsium bilirubinat, kalsium palmitat, dan

hanya sedikit jumlah kolesterol yang terikat pada matriks bahan organik (Cuschieri, 2003;

Debas, 2004). Faktor gaya hidup , seperti obesitas, kurangnya beraktivitas, diet, dan obatobatan

juga berperan penting dalam kejadian batu empedu baik simtomatik ataupun asimtomatik. Diet

tinggi karbohidrat, rendah protein nabati, dan rendah serat juga dihubungkan dengan batu

empedu simpomatik. Obat-obatan diuretik seperti thiazid dan terapi estrogen juga

meningkatkan resiko batu empedu (Lee& Ko,2009).


5. Manifestasi klinis

Hanya 20-25% pasien dengan batu empedu yang menunjukkan gejala klinia. Biasa batu

empedu dijumpai ketika dilakukan pemeriksaan USG dan dijumpai asimtomatik pada 80%

pasien (Paumgartner&Greenberger, 2006).

a) Kolik bilier Kolik yang diakibatkan oleh obstruksi transien dari batu empedu

merupakan keluhan utama pada 70-80% pasien. Nyeri kolik disebabkan oleh spasme

fungsional di sekitar lokasi obstruksi. Nyeri kolik mempunyai karakteristik spesifik;

nyeri yang dirasakan bersifat episodik dan berat, lokasi di daerah epigastrium, dapat

juga dirasakan di daerah kuadran kanan atas, kuadran kiri, prekordium, dan abdomen

bagian bawah. Onset nyeri tiba-tiba dan semakin memberat pada 15 menit pertama dan

berkurang hingga tiga jam berikutnya. Resolusi nyeri lebih lambat. Nyeri dapat

menjalar hingga region interskapular, atau ke bahu kanan (Cuschieri, 2003).

b) Kolesistitis kronik Diagnosis yang tidak pasti yang ditandai dengan nyeri perut atas

kanan yang bersifat intermiten, distensi, flatulens, dan intoleransi makanan berlemak,

atau apabila mengalami kolesistitis episode ringan yang berulang. (Cuschieri, 2003).

c) Kolesistitis obstruktif akut Ditandai dengan nyeri konstan pada hipokondrium kanan,

pireksia, mual , dapat atau tidak disertai dengan jaundice, Murphy sign positif (nyeri

di kuadran atas kanan), leukositosis (Cuschieri, 2003).

d) Kolangitis Ditandai dengan nyeri abdominal, demam tinggi, obstruktif jaundice

(Charcot’s triad), nyeri hebat pada kuadran atas kanan. (Cuschieri, 2003).

e) Jaundice obstruktif Ditandai nyeri abdominal atas, warna feses pucat, urin berwarna

gelap seperti teh pekat, dan adanya pruritus. Jaundice obstruktif dapat berujung ke

kolangitis bila saluran bersama tetap terjadi obstruksi (Cuschieri, 2003).

6. Pemeriksaan diagnostik
a) Ultrasonografi (USG): merupakan pemeriksaan yang banyak digunakan untuk

mendeteki batu empedu. USG memiliki sensitivitas 95% dalam mendiagnosis batu

kandung empedu yang berdiameter 1,5mm atau lebih.

b) Computed Tomography (CT) : berguna untuk mendeteksi atau mengeksklusikan batu

empedu, terutama batu yang sudah terkalsifikasi, namun lebih kurang sensitif

dibandingkan dengan USG dan membutuhkan paparan terhadap radiasi.

c) Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Cholangiopancreatography (MRCP) : lebih

berguna untuk menvisualisasi saluran pankreas dan saluran empedu yang terdilatasi.

d) Endocospic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) : lebih untuk mendeteksi

batu pada saluran empedu (Paumgartner&Greenberger, 2006)

7. Komplikasi

a) Demam tinggi, menggigil, peningkatan jumlah leukosit dan berhentinya gerakan

usus (ileus) dapat menunjukkan terjadinya abses, gangren atau perforasi kandung

empedu.

b) Serangan yang disertai jaundice (sakit kuning) atau arus balik dari empedu ke

dalam hati menunjukkan bahwa saluran empedu telah tersumbat sebagian oleh batu

empedu atau oleh peradangan.

c) Jika pemeriksaan darah menunjukkan peningkatan kadar enzim amilase, mungkin

telah terjadi peradangan pankreas (pankreatitis) yang disebabkan oleh penyumbatan

batu empedu pada saluran pankreas (duktus pankreatikus).

8. Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan pendukung dan diet

a) Istirahat yang cukup

b) Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda.

c) Berikan diit makanan cair rendah lemak dan karbohidrat


d) Pemberian buah yang masak, nasi / ketela, daging tanpa lemak, kentang yang

dilumatkan, sayuran yang tidak membentuk gas, roti,kopi atau teh.

e) Hindari telur, krim, daging babi, gorengan, keju dan bubu-bumbu berlemak.

b. Farmakoterapi

a) Diberikan asam ursodeoksikolat (uradafalk) dan kerodeoksikolat (chenodical,

chenofalk digunakan untuk melarutkan batu empedu radiolusen yang berukuran

kecil terutama terbentuk dari kolesterol

b) Mekanisme kerja ursodeoksikolat dan konodeoksikolat adalah menghambat

sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya sehingga terjadi desaturasi getah

empedu

c) Diperlukan terapi selama 6 hingga 12 bulan untuk melarutkan batu empedu dan

selama terapi keadaan pasien dipantau terus.

d) Dosis yang efektif bergantung pada berat pasien, cara terapi ini umumnya

dilakukan pada pasien yang menolak pembedahan atau yang dianggap terlalu

beresiko untuk menjalani pembedahan.

e) Obat-obatan tertentu lainnya seperti estrogen, kontrasepsi oral, klofibrat dan

kolesterol makanan dapat menimbulkan pengaruh merugikan terhadap cara

terapi ini.

Vous aimerez peut-être aussi