Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Sabda Rasulullah saw memang benar dan sunnah Allah telah menjadi kenyataan bagi makhluk-Nya.
Umat selalu terpecah belah sepeninggal rasul-Nya. Setelah datang ilmu kepada mereka (namun
mereka saling berlaku zalim) maka manusiapun berjalan mengikuti hawa nafsunya. Mereka saling
berbeda pendapat hingga timbullah berbagai mahdzab, aliran, bid’ah dan berbagai pandangan.
Mereka meninggalkan kitab Rabbnya dan sunnah Nabi. Akibatnya mereka terlempar dalam jurang-
jurang kesesatan, mereka lebih mengikuti keinginannya daripada mengikuti petunjuk Allah dan
Rasulullah.
Menurut riwayat Ibrahim At Taymi rahimahullah, suatu hari khalifah Umar nin Khattab r.a merenung
“Mengapa pendapat umat ini berbeda – beda? Bukankah nabi mereka satu, kiblat mereka satu, dan
kitab mereka pun satu?” Maka ditanyalah seorang ahli tafsir Al-Quran, Abdullan ibnu Abbas r.a
tentang masalah itu. Abdullah menjawab “Wahai Amirul mukminin, kepada kita telah diturunkan Al-
Quran, lalu kita para shahabat membacanya dan mengetahui tentang masalah yang diturunkan
dalam Al-Quran. Sungguh akan datang setelah kita berbagai kaum yang membaca Al-Quran tanpa
berusaha mengetahui sebab turunnya. Maka bagi setiap kaum ada pendapat yang berbeda – beda.”
Namun disela-sela itu semua, sebagai realisasi sunnah Allah seperti yang disabdakan Rasul-Nya,
ternyata bendera golongan yang selamat (Firqah an-Najiyah) tetap berkibar dengan megahnya. Di
bawah panji inilah bernaung orang-orang yang menginginkan keselamatan dan perlindungan Allah
dari segala ajaran sesat. Mereka inilah yang berpegang pada al-jamaah, yaitu golongan yang
senantiasa mengikuti jejak Rasul, para sahabat, dan generasi setelah itu.
“Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka
(cukuplah) DIa hanya mengatakan kepadanya ‘Jadilah. Lalu jadilah ia.” (Al-Baqarah 117)
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali – kali tidak ada pilihan
bagi mereka. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).” (Al-
Qashash 68)
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai” (Al-Anbiya
23)
Sabda Rasulullah saw : “Berpeganglah kepada sunnahku dan sunnah khulafa yang mendapat hidayah
dan petunjuk sesudahku. Gigitlah kuat – kuat dengan gigi gerahammu. Waspadalah terhadap ciptaan
persoalan – persoalan baru (dalam agama)” (HR Tirmidzi, Abu Dawud, dan yang lainnya, shahih).
SEJARAH PENYIMPANGAN MANUSIA DARI JALAN YANG BENAR
D. Rahmat Allah : Allah tidak menyiksa seseorang, kecuali setelah ditegakkannya hujjah risalah
Meskipun hujjah telah ditegakkan dan alasan telah dipathkan, namun sebagai rahmat dan
karunia-Nya, Allah jelas tidak akan menyiksa bani Adam karena adanya perjanjian fithrah
semata-mata. Dan Ia tidak akan menyiksa seorangpun kecuali setelah ditegakkannya hujjah
berupa risalah, sebagaimana firman-Nya:
“...dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Al Isra’ 17:15)
Maka Allah mengutus rasul-Nya secara berkesinambungan untuk mengingatkan manusia akan
janji mereka dan amanat besar yang dibebankan-Nya kepada mereka di bumi ini. Para rasul pun
menyuruh manusia melaksanakan tugasnya sebagai khalifah di bumi dan menanggalkan alasan
lain untuk membantah Allah sebagai Rabb mereka.
Allah berfirman:
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar
tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.
Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (An Nisa’ 4:165)
Menurut Ibnu Qayyim, dalam akal manusia tidak ada sesuatu yang lebih jelas dan terang kecuali
mengenal kesempurnaan Sang Pencipta serta membersihkannya dari kejelekan dan kekurangan.
Para rasul pun diutus untuk mengingatkan dan menjelaskannya. Begitu pula fithrah manusia,
terdapat pengakuan akan kebahagiaan dan kesengsaraan jiwa serta balasan yang akan diterima
di akhirat nanti. Penjelasan mengenai hal ini tidak dapat diketahui kecuali melalui para rasul.
Karena itu, akal yang tegas sesuai dengan naql (nash) yang shahih. Dan syariat sesuai dengan
fithrah. Keduanya tidak saling bertentangan (Syifa’ul ‘Alil 301-302)
Ibnu Taimiyah mengatakan hujjah tidak akan dijatuhkan kepada mereka yang berbuat dosa
karena kebodohannya sebelum mereka mengetahui bahwa hal tersebut merupakan perbuatan
dosa, sebelum diutusnya seorang rasul kepada mereka, dan sebelum ditegakkannya hujjah atas
mereka.
Allah tidak membiarkan manusia sendirian, mereka senantiasa dibimbing ajaran nabi sejak nabi
Adam as. Allah menjadikan risalah tersebut beserta akal dan fithrahnya dengan tanda-tanda
kekuasaan-Nya yang terbesar di alam semesta. Namun, manusia ternyata berselisih pendapat
mengenai rasul-rasul mereka. Sebagaimana firman Allah:
“Tapi, kebanyakan manusia tidak mau, kecuali mengingkarinya.” (Al Isra’ 17:89)
Dan berimanlah orang yang mau beriman, tapi jumlahnya sangat sedikit. Itulah sunnatullah yang
berlaku pada makhluk-Nya.
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka
akan menyesatkanmu dari jalan Allah...” (Al An’am 6:116)
“...dan sekali-kali kamu tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.” (Al Ahzab
33:62)
Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
“Manusia itu umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi,
sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama
mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara
yang mereka perselisihkan.
Tidaklah berselisih mengenai Kitab itu, melainkan orang yang telah didatangkan kepada
mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata,
karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang
beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-
Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang
lurus.” (Al Baqarah 2:213)
E. Kerusakan fithrah
Ketika fithrah manusia mulai rusak, dan ketika ‘manusia menjadi makhluk yang paling banyak
membantah’ (Al Kahfi 18:54), maka saat itulah setan menghiasi amal buruk manusia sehingga
tampak bagus dan indah. Setan mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil serta
mengilhami manusia dengan berbagai perilaku buruk hingga manusia bertahan dengan
kebatilannya.
“Tetapi orang-orang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian itu mereka
dapat melenyapkan yang hak.” (Al Kahfi 18:56)
Lantas manusia akan melihat kebatilan sebagai kebenaran, dan sebaliknya kebenaran menjadi
kebatilan. Atau ia menyimpang sama sekali sehingga tak mampu melihat mana yang hak dan
mana yang batil. Seperti pada firman Allah:
“...maka Allah menyesatkan siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan memberi petunjuk
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Yang Mahakuasa serta Mahabijaksana.”
(Ibrahim 14:4)
“...Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah maka dialah yang mendapat petunjuk, dan
barangsiapa disesatkan-nya maka kamu tak aakan mendapatkan seorang pemimpin pun
yang mampu memberi petunjuk kepadanya.” (Al Kahfi 18:17)
Kelompok-kelompok utama yang bertentangan dengan Dinul Islam ada enam, yang masing-
masing terpecah lagi menjadi beberapa golongan. Keenam golonagn tersebut menurut
tingkatannya, adalah:
a) Golongan yang mengingkari adanya hakikat alam semesta. Golongan ini (oleh para
mutakalimin) disebut kaum sofistis (sesat)
b) Golongan yang mengakui adanya hakikat alam (dengan mengatakan sesungguhnya alam
ini tetap ada) tetapi mereka tidak mengakui adanya pencipta dan pengaturnya.
c) Golongan yang mengakui adanya hakikat alam dan berpendapat bahwa alam dan
pengaturnya tetap ada.
d) Golongan yang mengakui adanya hakikat alam. Sebagian dari mereka berpendapat
bahwa sesungguhnya alam itu tetap ada, sebagian lain berpendapat bahwa alam
mempunyai pengatur yang tetap ada dan lebih dari satu. Namun, mereka berselisih
mengenai jumlahnya.
e) Golongan yang mengakui adanya hakikat alam dan berpendapat bahwa alam itu
diciptakan oleh satu pencipta. Namun, mereka mengingkari seluruh kenabian.
f) Golongan yang mengakui adanya hakikat alam dan berpendapat bahwa alam itu
diciptakan oleh satu pencipta. Namun, mereka berbeda dalam mengakui sebagian nabi-
nabi dan mengingkari sebagiannya...(Al-Fashl Fil Milal wal Ahwa’ wan-Nihal 1:3)
Adapun mengenai penganut Dinul Islam adalah mereka yang mengikuti ajaran rasulnya.
Sesungguhnya Allah mengutus seorang rasul pada setiap umat, sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus seorang rasul pada setiap umat (untuk menyerukan):
beribadahlah hanya kepada Allah dan jauhilah thaghut...” (An Nahl 16:36)
Setiap rasul menyeru kaumnya pada Din Allah yaitu Al-Islam, yang berarti menyerahkan diri
secara total hanya kepada Allah. Firman-Nya:
“Sesungguhnya din (yang diridhai) Allah hanyalah Islam...” (Al Imran 3: 19)
“Barangsiapa mencari din selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (din tersebut)
dan di akhirat kelak ia termasuk orang yang rugi.” (Al Imran 3: 85)
Menurut Ibnu Taimiyah “Adapun kitab-kitab samawi yang mutawatir dari para nabi as semuanya
memastikan bahwa Allah tidak menerima din dari seseorang, kecuali Din yang benar (hanif),
yaitu Al-Islam, yakni berarti beribadah hanya kepada Allah Yang Esa dan tidak
mempersekutukan-Nya dengan yang lain, beriman kepada kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan
hari akhir.” (Al-Fatawa Al-Kubra 1:335)
Firman Allah:
“Katakanlah, ‘Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan.’ Dan (katakanlah), ‘Luruskan muka
(diri)mu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu pada-
Nya...” (Al A’raf 7:29)
Yang dimaksud keadilan di sini adalah tauhid, yakni beribadah hanya kepada Allah, yang tiada
sekutu bagi-Nya. Inilah dasar ad-din, sedangkan kebalikannya adalah dosa yang tak terampuni.
Firman Allah:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa
selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya...” (An Nisa’ 4:48)
Ibnu Taimiyah mengatakan, Islam sebagai Din Allah dibangun atas dua landasan. Pertama,
mengabdi hanya kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya. Kedua, mengabdi kepada Allah
dengan syariat yang ditetapkan-Nya melalui lisan rasul-Nya. Kedua landasan ini merrupakan
hakikat syahadat. (Qa’idah Jalilah Fit Tawassul wal Wasilah: 162).
Namun, setelah rasul meninggal dunia dan para sahabat berpencar-pencar, generasi datang silih
berganti. Maka syubhat pun mulai timbul, hati pun menjadi keras, teladan mulai minim, sunnah
mulai memudar, bid’ah makin merajalela, yang hak bercampur dengan yang batil. Kitab suci dan
atsar nabawiyah bercampur dengan filsafat keberhalaan, dan keutamaan berpikir (bersih)
terkalahkan oleh logika. Sehingga, umat yang bersatu di atas kebenaran, menjadi berselisih dan
berpecah, sebagaimana firman Allah pada QS Yunus (10:19), QS Al Jatsiyah (45:17), QS Al
Mu’minun (23:53), dan QS Al Baqarah (2:176).
L. Hadits - hadits tentang perpecahan umat, golongan yang benar, dan kewajiban mengikuti
jama’ah
a. Riwayat dan alur hadits tentang perpecahan umat
i. Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Kaum Yahudi terpecah
belah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan. Kaum Nashrani terpecah
belah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan. Begitu pun umatku
terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan.” (HR. Abu Daud, Turmudzi, al-Hakim,
Ahmad, dll)
ii. Dari Amir Abdullah bin Luhai. Ia berkata, “kami berangkat haji bersama Mu’awiyah bin
Abi Sufya. Ketika sampai di Makkah, Mu’awiyah berdiri –saat akan menunaikan shalat
dzuhur- dan berkata, sesungguhnya Rasulullah saw telah bersabda: “Sesungguhnya
pengikut dua kitab (Yahudi dan Nashrani) terpecah mengenai agama mereka menjadi
tujuh puluh dua aliran, dan umat (Islam) ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga
aliran, yakni al-ahwa (mnegikuti hawa nafsu). Semuanya masuk neraka, kecuali satu,
yaitu al-jama’ah. Sungguh akan muncul di kalangan umatku golongan-golongan yang
akan diikuti oleh hawa nafsu seperti anjing kejar-kejaran bersama kawanannya. Tidak
ada urat dan persendian yang tidak dimasukinya. Demi Allah, wahai bangsa Arab! Jika
kalian tidak menegakkan ajaran Nabi kalian, maka bangsa lain lebih pantas untuk tidak
menegakkannya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, al-Hakim, dll, hadits dishahihkan oleh Al-
Hakim, Adz-Dzahabi, Al-Iraqi, Ibnu Hajar, Ibnu taimiyah, dan Al-Albani).
iii. Dari Abdullah bin Amr. Ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabd: “ Sungguh akan
terjadi pada umatku apa yang pernah terjadi atas Bani Israil, bagaikan sepasang sandal.
Jika di antara mereka ada yang menggauli ibunya secara terang-terangan, maka
umatku pun akan ada orang yang berbuat demikian. Sesungguhnya Bani Israil telah
terpecah menjadi tujuh puluh dua aliran. Semuanga akan masuk neraka kecuali satu.
Dan umatku pun akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga aliran, semuanya akan masuk
neraka kecuali satu. Para sahabat bertanya,’Siapakah golongan itu ya Rasulullah?’,
Beliau menjawab, ‘Yakni mereka yang mengikuti jalan hidupku dan para sahabatku.’”
(HR Turmudzi, Al-Ajuri, Al-Lalaka’i, dll). Hadits tsb hasan dengan syahid-syahidnya.
Tirmudzi menilai hasan, sedangakn Al-Iraqi dan Ibnu Taimiyah menuki;nya dari Turmudzi
serta menjadikannya hujjah.
iv. Dari Auf bin Malik. Ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Kaum Yahudi terpecah
menjadi 71 golongan. Yang satu akan masuk surga, sedangkan yang 70 akan masuk
neraka. Dan kaum Nashrani terpecah menjadi 72 golongan. Yang 71 akan masuk neraka
sedangkan yang satu masuk surga. Demi Allah, yang jiwa Muhammad ada di tangan-
Nya, sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Yang satu masuk
surga, sedangkan yang 72 masuk neraka. Para sahabat bertanya,’Wahai Rasulullah,
siapakah mereka yang masuk surga itu?’, Beliau menjawab, ‘Al-Jama’ah.’” (HR Ibnu
Majah, Al-Lalaka’i, dan Ibnu Abi ‘Ashim)
v. Dari Anas bin Malik. Ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Bani Israil
terpecah menjadi 71 golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 72 golongan.
Semuanya masuk neraka, kecuali satu yaitu al-jama’ah.” (HR Ibnu Majah, Ahmad, Al-
Lalaka’i, dll)
vi. Dari Abi Umamah, ia berkata: “Bani Israil terpecah menjadi 71 atau 72 golongan,
sedangkan umat (Islam) lebih satu golongan dari jum;ah ini (menjadi 73 golongan).
Semuanya masuk neraka kecuali golongan mayoritas (as-sawadul a’zham). Lalu ada
seorang laki-laki bertanya,’Wahai Abi Umamah, apakah ini pendapatmu sendiri atau
engkau mendengarnya dari Rasulullah saw?’, dia menjawab,’Jika ini pendapatku sendiri,
berarti aku orang yang terlalu berani. Aku mendengarnya dari Rasulullah saw bukan
hanya satu, dua, atau tiga kali.’” (HR. Ibnu Abi Hashim, Al-Lalaka’i, dan Thabrani)
b. Hadis tentang golongan yang membela kebenaran
i. Dari Mu’awiyah. Ia berkata, pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Akan senantiasa
ada segolongan dari umatku yang menjalankan perintah Allah. mereka tak peduli akan
orang-orang yang merendahkan dan menentang mereka, hingga datang keputusan
Allah. Dan mereka lebih unggul dari yang lainnya.” (HR Muslim)
ii. “Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, ia pun akan difaqihkannya dalam soal
agama. Dan akan selalu ada segolongan dari kaum muslimin yang membela kebenaran
dan selalu unggul dalam menghadapi musuh-musuhnya, hingga datang hari kiamat.”
(HR Muslim)
iii. “Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, ia pun akan difaqihkannya dalam soal
agama. Sesungguhnya aku adalah pembagi, sedangkan Allah pemberi. Urusan (agama)
umat ini akan senantiasa lurus hingga datangnya hari kiamat atau datangnya keputusan
Allah.” (HR Bukhari)
iv. “Kemudian berdiri Malik bin Yukhamir as-Saksaki dan berkata,’Wahai Amirul Mukminin,
saya mendengar Mu’adz bin Jabal berkata, mereka adalah penduduk Syam.’ Lalu
Mu’awiyah berkata dengan suara nyaring,’Inilah Malik yang mengaku bahwa ia
mendengar Mu’adz berkata, mereka adalah penduduk Syam.’” (HR Ahmad, Ibnu Majah,
Abu Daud ath-Thayalisi, dan Al-Lalaka’i)
v. Dari Mughirah bin Syu’bah, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Akan senantiasa ada
segolongan dari umatku yang tampil membela kebenaran sehingga datang keputusan
Allah kepada mereka dan mereka menang.” (HR Bukhari)
vi. “Akan senantiasa ada sekelompok manusia dari umatku yang berjuang membela
kebenaran dan mereka unggul sehingga datang keputusan Allah Azza wa Jalla kepada
mereka.” (HR Ahmad, Ad-Darimi, dan Al-Lalaka’i)
vii. Dari Jabir bin Abdullah ra. ia berkata, “Aku mendengar Nabi saw bersabda: ‘Akan selalu
ada segolongan dari umatku yang membela kebenaran dengan tegas hingga hari
kiamat. Kemudian Isa putera Maryam ra turun. Lalu pemimpin mereka berkata,’Marilah
shalat untuk kami (mengimami kami).’ Isa menjawab,’Tidak. Sesungguhnya sebagian
kamu adalah pemimpin sebagian lainnya. Itulah penghargaan Allah atas umat ini.’”
viii. Dari Tsauban ra. ia mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Akan senantiasa ada
segolongan dari umatku yang tampil membela kebenaran. Mereka tidak peduli terhadap
orang-orang yang merendahkan mereka, sehingga datang keputusan Allah, sedangkan
mereka dalam keadaan seperti itu.” (HR Muslim)
ix. Dalam satu lafazh disebutkan: “Sesungguhnya Allah mengerutkan (menyempitkan) bumi
untukku (atau beliau mengatakan: sesungguhnya Rabbku mengerutkan bumi untukku).
Lalu aku melihat bagian timur dan baratnya dan kekuasaan umatku akan mencapai apa
yang ditampakkan kepadaku. Aku diberi dua perbendaharaan: yang merah dan yang
putih. Dan aku meminta kepada Rabbku –untuk umatku- agar Dia tidak membinasakan
mereka dengan bahaya kelaparan dan tidak menjadikan mereka dikuasai musuh yang
bukan dari kalangan mereka sendiri, yang merampas kekayaan mereka. Sesungguhnya
Rabbku Azza wa Jalla telah berfirman, ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya jika Aku
sudah menetapkan suatu perkara, maka ketetapan-Ku tak dapat ditolak (dan berkata
Yunus: tidak bisa ditolak). Aku berikan (janji) kepadamu –untuk umatmu- bahwa Aku
tidak akan membinasakan mereka dengan bahaya kelaparan. Aku tidak akan
menjadikan mereka dikuasai oleh musuh yang bukan dari kalangan mereka sendiri,
meskipun musuh-musuh itu telah mengepung mereka, sehingga sebagian mereka
menawan sebagian yang lain.’ Sesungguhnya yang aku khawatirkan atas umatku adalah
para pemimpin yang menyesatkan. Jika telah diletakkan pedang pada umatku, maka ia
tidak dapat diangkat lagi hingga hari kiamat. Dan tidaklah datang hari kiamat kecuali
setelah ada beberapa golongan umatku yang berhadapan dengan orang-orang musyrik
dan para penyembah berhala.”
Selanjutnya beliau bersabda: “Sesungguhnya akan muncul tiga puluh orang pembohong
di kalangan umatku yang masing-masing mendakwakan dirinya sebagai nabi, padahal
akulah nabi terakhir. Tidak ada nabi lagi sesudahku. Dan akan senantiasa ada
sekelompok umatku yang tampil membela kebenaran dan mereka selalu unggul
(mendapat pertolongan Allah). mereka tak mempedulikan orang yang menentang
mereka, hingga datang hari kiamat dan mereka tetap demikian.” (HR Ahmad, Abu Daud,
Ibnu Majah, Al-Hakim)
x. Dari Abdurrahman bin Syamasah al-Mahri. Ia berkata: “Aku sedang berada di sampingg
Muslin bin Maklad dan di sebelahnya ada Abdullah bin Amr bin Ash. Lalu Abdullah
berkata, ‘Tidak terjadi kiamat kecuali karena ulah jahat manusia. Mereka lebih jahat
daripada orang jahiliah. Tidaklah mereka memohon sesuatu kepada Allah melainkan
akan ditolaknya.’ (Ketika mereka sedang bercakap-cakap), tiba-tiba datang Uqbah bin
Amir. Kemudian Maslamah berkata kepadanya, ‘Wahai Uqbah, dengarlah apa yang
dikatakan Abdullah!’, Uqbah pun menjawab, ‘Dia lebih mengerti tapi aku pernah
mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘Akan senantiasa ada segolongan dari umatku
yang membela agama Allah dan mengalahkan musuh mereka. Mereka tak
mempedulikan orang yang menentang mereka, sehingga datang hari kiamat, sedangkan
mereka tetap dalam keadaan seperti itu.’ Lalu Abdullah berkata, ‘Benar! Kemudian Allah
mengirim angin yang wangi bagai kesturi dan lembut bagaikan sutera. Maka Ia tak
membiarkan jiwa seseorang yang di hatinya terdapat iman sebesar biji, melainkan
dicabutnya, dan di atas mereka itulah terjadinya kiamat.’” (HR Muslim)
xi. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra. Ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Akan selalu
ada penduduk kawasan barat (ahlul-gharbi)yang tegak membela kebenaran hingga
datangnya hari kiamat.” (HR Muslim)
xii. Dari Qurrah al-Muzani ra. ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika penduduk
Syam telah rusak, maka tiada lagi kebaikan pada kalian. Dan akan senantiasa ada
orang-orang dari umatku yang mendapat pertolongan. Mereka tidak mempedulikan
orang-orang yang mengecewakan mereka, hingga datangnya kiamat.” (HR Ahmad,
Turmudzi, Ibnu Majah, dan Al-Lalaka’i)
xiii. Dari Jabir bin samurah ra. ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Ad-Din (islam) ini
akan senantiasa berdiri dan dibelaoleh segolongan dari kaum muslimin sehingga
datangnya hari kiamat.” (HR Muslim)
xiv. Dari Imran bin Hushai ra. ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Akan senantiasa
ada segolongan dari umatku yang membela kebenaran dan mereka unggul atas musuh
mereka, hingga orang terakhir dari mereka memerangi Al-masih Ad-Dajjal.” (HR Ahmad)
xv. Dari Salamah bin Nufail al-Kindi ra. ia berkata, “Aku sedang duduk di samping Rasulullah
saw. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah, orang-orang telah
menambatkan kuda dan meletakkan senjata, serta mereka mengatakan bahwa kini tidak
ada lagi jihad karena perang telah usai.’ Maka Rasulullah saw. menoleh pada laki-laki itu
seraya bersabda: ‘Mereka berdusta. Sekarang, sekarang ini sedang terjadi peperangan.
Dan senantiasa ada segolongan dari umatku yang berjuang membela kebenaran serta
Allah menundukkan hati kaum untuk mereka, memberi rizki pada mereka, hingga
datang hari yang dijanjikan Allah (kiamat). Di punggung-punggung kuda terdapat
kebaikan-hingga kiamat. Hal itu menandakan bahwa sebentar lagi aku akan wafat, dan
kalian akan menyusul-ku sekelompok demi sekelompok. Sebagian kamu akan
membunuh sebagian lainnya. Adapun tempat kaum mukmin adalah Syam.’” (HR Nasa’i)
c. Hadits yang mewajibkan umat agar komitmen (iltizam) dengan jama’ah dan mengikuti
sunnah
i. Dari Ibnu Abbas ra. dari Nabi saw. Beliau bersabda: “Barangsiapa tidak menyukai
sesuatu dari pemimpinnya, hendaklah ia bersabar. Karena barangsiapa keluar sejengkal
saja dari ketaatan pemimpinnya, maka ia pun mati dalam keadaan jahiliah,” (HR
Bukhari)
ii. Dalam satu lafazh disebutkan: “Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak
menyenangkan dari pemimpinnya, maka hendaklah ia bersabar. Karena barangsiapa
meninggalkan jama’ah sejengkal saja, lantas ia mati, maka matinya itu dalam keadaan
jahiliah.” (HR Bukhari Muslim)
iii. Dari Abdullah bin Umar ra. Ia berkata bahwa Umar bin Khattan ra. pernah berkhutbah di
Al-Jabiyah. Kata beliau, “Rasulullah saw. pernah berdiri di tempatku ini kemudian
bersabda: ‘Perlakukanlah para sahabatku dengan baik, kemudian orang-orang sesudah
mereka, dan sesudahnya lagi. Kelak akan tersiar kebohongan, hingga ada orang yang
mulai memberi kesaksian sebelum diminta. Maka barangsiapa di antara kamu
menghendaki tengah-tengah surga, hendaklah ia komitmen dengan jama’ah.
Sesungguhnya setan menyertai orang yang menyendiri dan lebih menjauhi dua orang...”
(HR Ahmad, Turmudzi, Hakim, dan Ibnu Abi ‘Ashim)
iv. Dari Abu Hurairah ra. ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Shalat fardhu hingga
shalat fardhu berikutnya merupakan tebusan bagi dosa-dosa di antara keudanya. Begitu
pun shalat Jum’at hingga shalat Jum’at berikutnya, bulan Ramadhan hingga Ramadhan
berikutnya merupakan tebusan bagi dosa-dosa di antara keduanya.” Kemudian beliau
bersabda, “Kecuali tiga perkara. Tahukah kamu, apakah tiga perkara yang akan terjadi
tersebut? Ketiga perkara itu adalah: mempersekutukan Allah, mengingkari jual beli, dan
meninggalkan sunnah. Adapun mengingkari (meninggalkan) jual beli adalah engkau
berbaiat kepada seseorang lalu engkau mengingkari dan memeranginya dengan
pedangmu. Adapun meninggalkan Sunnah ialah keluar dari al-jama’ah.” (HR Ahmad dan
al-Hakim)
v. Dari Samurah bin Jundub ra. ia berkata: “Amma ba’du, sesungguhnya Nabi saw.
menamakan kuda-kuda kami sebagai kuda-kuda Allah jika kami merasa takut. Dan jika
kami merasa takut (dalam peperangan). Rasulullah saw. menyuruh kami beriltizam pada
jama’ah, bersabar, dan bersikap tenang apabila kami berperang.” (HR Abu Daud)
vi. Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tangan Allah bersama
al-jama’ah.” (HR Turmudzi, Thabrani, Abi ‘Ashim)
vii. Dari Ibnu Umar ra. ia berkata Rasulullah saw. bersabda: “Allah tidak menyatukan umat
ini –atau umatku- di atas kesesatan.” (HR Turmudzi, Al-Hakim, Ibnu Abi ‘Ashim, At-
Thabrani, dan Al-Lalaka’i)
viii. Dalam suatu lafazh dan sesudahnya disebutkan: “Dan ikutilah golongan mayoritas,
karena barangsiapa menyendiri, ia akan menyendiri pula dalam neraka.” (HR Al-Hakim)
ix. Dari Ibnu Mas’ud ra. ia berkata Rasulullah saw. bersabda: “Tidak halal darah seorang
muslim yang bersyahadat bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bahwa aku Rasulullah,
kecuali dengan salah satu dari tiga perkara, yaitu: jiwa dibalas dengan jiwa
(membunuh), duda dan janda yang berzina, serta orang yang meninggalkan din dan al-
jama’ah.” (HR Bukhari)
x. Dari Al Irbadl bin Sariyah ra. ia berkata: “Pada suatu hari ketika usai menunaikan shalat
shubuh, Rasulullah saw menasihati kami dengan kata-kata yang sangat dalam dan
mengesankan hingga kami meneteskan air mata serta hati kami merasa takut. Kemudian
ada seorang lelaki berkata, ‘Sesungguhnya ini nasihat orang yang akan berpisah. Maka
apakah yang engkau pesankan kepada kami, wahai Rasulullah?’, Beliau menjawab,
“Kupesankan kepadamu agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan mentaati
(pemimpinmu) sekalipun dari budak Habsyi. Karena barangsiapa yang masih hidup di
antara kamu, ia akan melihat banyak perselisihan. Jauhkanlah dirimu dari perkara yang
diada-adakan (bid’ah), karena yang demikian itu adalah kesesatan. Barangsiapa di
antara kamu mengalami jaman seperti itu, maka hendaklah berpegang teguh pada
Sunnahku dan Sunnah para Khalifah ar-Rasyidin. Peganglah Sunnah itu erat-erat.’” (HR
Turmudzi, Abu Daud, dan Ahmad)
xi. Dari Jabir bin Abdullah ia berkata: “Jika Rasulullah saw berkhutbah, kedua matanya
memerah, suaranya lantang, dan dengan nada penuh semangat, seakan beliau memberi
peringatan kepada prajurit: awas ada musuh datang pada saat pagi dan petang. ‘Aku
diutus, sedangkan jarak antara diutusnya aku dengan hari kiamat seperti dua jari ini’,
kata beliau sambil merapatkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Kemudia beliau
bersabda: ‘Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-
baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Adapun sejelek-jelek perkara adalah yang
diada-adakan (bid’ah), dan bid’ah adalah kesesatan.’ Kemudian beliau melanjutkan,
‘Aku lebih patut dicintai setiap mukmin daripada ia mencintai dirinya sendiri.
Barangsiapa meninggalkan harta, maka keluarganyalah yang berhak memilikinya, dan
barangsiapa meninggalkan hutang maka akulah yang mengurusi serta
menanggungnya.’” (HR Muslim)
d. Hadits Hudzaifah ra
Hudzaifah ra. berkata:
“Orang-orang bertanya kepada Rasulullah saw. tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya
tentang kejelekan karena khawatir hal ini akan menimpa diriku. Pertanyaanku, ‘Wahai
Rasulullah, kami dahulu hidup pada jaman jahiliah yang penuh kejelekan, lalu Allah
mendatangkan kebaikan ini. Apakah sesudah kebaikan ini akan ada kejelekan?’ Beliau
menjawab, ‘Ya.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah sesudah kejelekan itu akan ada kebaikan lagi?’
Beliau menjawab, ‘Ya tapi di dalamnya terdapat kotoran.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah
kotorannya itu?’ Beliau menjawab, ‘Kaum yang memberi petunjuk dengan selain petunjukku.
Engkau mengenali mereka tapi mengingkarinya.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah sesudah
kebaikan (yang terkena kekotoran itu) akan ada kejelekan lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ya, yaitu
orang-orang yang mengajak ke pintu Jahannam. Barangsiapa mengikuti ajakan mereka,
berarti ia telah dilemparkan ke neraka Jahannam.’ Aku bertanya lagi, ‘Ya Rasulullah
terangkanlah kepada kami ciri-ciri mereka.’ Beliau menjawab, ‘Kulit mereka sama dengan
kulit kita, bahasa mereka sama dengan bahasa kita.’ Aku bertanya, ‘Apakah yang engkau
perintahkan jika aku mengalami jaman seperti itu?’ Beliau menjawab, ‘Beriltizamlah pada
jama’ah muslim dan para Imam mereka.’ Aku bertanya lagi, ‘Bagaimana jika mereka tidak
mempunyai jama’ah dan imam?’ Beliau menjawab, ‘Jauhilah semua golongan itu meskipun
engkau harus mengigit akar pohon hingga engkau mati dalam keadaan seperti itu.’” (HR
Bukhari dan Muslim)
DEFINISI PENTING
A. Definisi Aqidah
Menurut bahasa berasal dari kata ‘aqd yaitu ikatan, memintal, menetapkan, menguatkan,
mengikat dengan kuat, berpegang teguh, yang dikuatkan, meneguhkan, dan diantaranya yakin
dan keteguhan.
Lawan katanya adalah al-hill (terurai). Aqidah adalah hukum yang tidak menerima keraguan di
dalamnya bagi orang yang meyakininya. Aqidah dalam agama, maksudnya adalah keyakinan
tanpa perbuatan, seperti keyakinan tentang keberadaan Allah dan diutusnya para Rasul. Apa
yang diyakini oleh hati manusia secara kukuh maka itulah keyakinan. Menurut istilah, ‘aqidah
adaah hal – hal yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa merasa tenteram kepadanya, sehingga
menjadi keyakinan kukuh yang tidak tercampur oleh keraguan. Artinya keimanan kukuh yang
tidak dapat ditembus oleh keraguan bagi orang yang meyakininya, dan keimanan tersebut wajib
selaras dengan kenyataan, tidak menerima keraguan dan dugaan. Disebut ‘aqidah karena
manusia mempertalikan hatinya kepadanya.
‘Aqidah Islamiyah adalah keimanan yang kukuh kepada Rububiyyah Allah Ta’ala, Uluhiyyah-Nya,
serta Asma’ wa shifat-Nya, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari akhir,
qadar baik dan buruknya, semua yang ada dasarnya berupa perkara – perkara ghaib, ushuluddin
(pokok – pokok agama), apa yang menjadi kesepakatan salafush shalij, dan ketundukan kepada
Allah secara paripurna dalam perintah, hukum dan ketaatan, sertaittiba’ (mengikuti) Rasulullah.
‘Aqidah Islamiyah, jika disebut secara mutlak adalah ‘aqidah ahlus sunnah wal jamaah, karena
itulah Islam yang diridhai oleh Allah sebagai agama bagi hamba-hambaNya. Ia adalah aqidah tiga
generasi terbaik yaitu para shahabat, tabi’in dan orang – orang yang megikuti mereka dengan
baik.
B. Definisi Sunnah
As-sunnah, menurut bahasa Arab adalah ath-thariqah, berarti metode, kebiasaan, perjalanan
hidup, atau perilaku, baik terpuji maupun tercela. Dalam sebuah hadits disebutkan:
“Barangsiapa melakukan sunnah yang baik dalam Islam, maka selain memperoleh pahala bagi
dirinya, juga mendapat tambahan pahala dari orang yang mengamalkan sesudahnya, dengan
tanpa mengurangi sedikit pun pahala mereka. Dan barangsiapa melakukan sunnah yang jelek
dalam Islam, maka selain memperoleh dosa bagi dirinya, juga mendapat tambahan dosa dari
orang yang melakukan sesudahnya, dengan tanpa mengurangi sedikit pun dosa mereka.” (HR
Muslim)
Sunnah dalam istilah syara’, menurut para ahli hadits, adalah segala sesuatu yang diriwayatkan
dari Nabi saw, yang berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, karakter, akhlak, ataupun perilaku,
serta taqrir (diamnya beliau sebagai tanda persetujuan) baik sebelum maupun sesudah diangkat
menjadi nabi. Dalam hal ini, pengertian sunnah menurut sebagian dari mereka, sama dengan
hadits (As Sunnah wa Makanatuha Fit-Tasyri’il Islami, Mushthafa as Siba’i, hlm 47).
Menurut ahli ushul, sunnah adalah sesuatu yang dinukil dari Nabi saw. secara khusus. Ia tidak
ada nashnya dalam Al Quran, tetapi dinyatakan oleh Nabi saw dan sekaligus penjelasan awal dari
isi Al Qur’an. (Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat 4:47)
Menurut fuqaha, sunnah adalah ketetapan dari Nabi saw. yang bukan fardhu dan bukan wajib.
(Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, hlm 31). Sunnah digunakan sebagai lambang pembeda antara ahli
sunnah dan ahli bid’ah. (al Muwafaqat 4:4)
Menurut ulama hadits muta’akhirin, sunnah ibarat ungkapan yang dapat menyelamatkan dari
keragu-raguan tentang aqidah, khususnya perkara iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, takdir, dan masalah keutamaan para shahabat. Istilah
sunnah menurut ulama hadits muta’akhirin, lebih ditekankan pada aspek aqidah, karena
dianggap penting. Namun jika diperhatikan dengan seksama, lafazh ini lebih mengacu pada
pengertian jalan hidup Nabi saw dan para sahabatnya ra., baik ilmu, amal, akhlak, ataupun segi
kehidupan lain.
Kata sunnah dalam ahlussunnah mengandung dua pengertian :
- Hal hal yang ditunjukkan dengan dalil – dalil syari, baik dari Al-Quran, As Sunnah, maupun
ijma para sahabat r.a
- Lawan dari bid’ah, terutama yang diluncurkan oleh kalangan Salafus Saleh mutakhir ketika
ahlul bid’ah bermuncuan. Karena, mereka mewajibkan umat Islam untuk berpegang teguh
pada As Sunnah. Sabda Rasulullah : “Sebaik – baiknya generasi adalah generasiku, kemudian
generasi berikutnya, dan generasi berikutnya. (HR Bukhari)
- Dengan demikian pengertian sunnah berkaitan dengan dua perkara yaitu mengikuti dalil
Rasulullah saw. dan para sahabat r.a serta menentang bid’ah.
C. Definisi Al-Jama’ah
Jama’ah berasal dari kata al-ijtima’ (berkumpul atau bersatu) yang kata lainnya adalah al-firqah
(berpecah belah). Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa, ‘al-jama’ah berarti persatuan, sedangkan
lawan katanya adalah perpecahan. Dan lafazh al-jama’ah telah menjadi nama bagi kaum yang
bersatu” (Majmu’ Fatawa 3:157)
Al-jamaah adalah kaum yang berkumpul (bersepakat) atas perkara tertentu juga berarti
segolongan manusia yang dihimun oleh tujuan yang sama.
Menurut istilah, jamaah adalah jama’atul muslimin, yaitu salaf umat ini dari kalangan sahabat
dan orang – orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari pembalasan, yang bersepakat
di atas Al-Quran dan as-Sunnah serta berjalan diatas jalan yang ditempuh Rasulullah saw, baik
lahir maupun bathin.
Jika lafazh jama’ah dirangkai dengan as-sunnah menjadi ahli sunnah wal jama’ah maka yang
dimaksud adalah pendahulu umat ini. Mereka adalah para sahabat dan tabi’in yang bersatu
mengikuti kebenaran yang jelas dari kitabullah dan sunnah rasulullah. (harras, syarah al-
wasithiyyah, hlm 16). Apa-apa yang dilakukan oleh Nabi saw dan para sahabatnya merupakan
kebenaran yang wajib diteladani dan diikuti. Dan setiap orang yang datang sesudah mereka
dengan menempuh jalan mereka dan mengikuti jejak mereka maka dia itulah al-jama’ah, baik
secara individu maupun kelompok.
a. Sebagian ulama berpendapat bahwa al-jama’ah adalah para sahabat saja, bukan generasi
sesudah mereka. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz ra (Asy-Syathibi, Al-
I’tisham 2:262) menurut pendapat ini lafazh al-jama’ah sesuai dengan riwayat lain dalam
sebuah hadis Nabi: ”...yakni jalan yang aku tempuh dan para sahabatku.” Kalimat ini merujuk
pada perkataan, perilaku, dan ijtihad mereka. Sehingga lafazh tersebut menjadi hujjah
mutlak dengan kesaksisan Rasulullah khususnya dengan sabda beliau: “Hendaklah kalian
berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah para Khalifah ar-Rasyidin...”
b. ada ulama yang mengartikan al-jama’ah adalah ahli ilmu, ahli fiqih, dan ahli hadits dari
kalangan imam mujtahidin. Sebab Allah telah menjadikan mereka hujjah atas manusia dan
mereka menjadi panutan dalam urusan ad-Din. Menurut Ibnu Sinan, “mereka (aljama’ah)
adalah ahli ilmu dan orang-orang yang punya atsar. (syaraf ashahbul hadits, hlm 26-27).
Sehingga tidaklah termasuk al-jama’ah mereka yang ahli bid’ah dan orang-orang awam yang
taklid, sebab mereka tidak bisa diteladani dan hanya mengikuti ulama.
c. Al-jama’ah ialah jama’ah ahlul islam yang sepakat dalam masalah syara’. Mereka tidak lain
adalah ahli ijma’ yang senantiasa bersepakat dalam masalah hukum syara’ maupun aqidah.
Berdasar hadits Rasul: “Umatku tidak bersepakat dalam kesesatan.” (al-i’tisham 2:263)
d. Jama’ah adalah as-sawadul a’zham (kelompok mayoritas) dalam kitab an-nihayah disebutkan
:”Hendaklah kamu mengikuti as-sawadul a’zham yaitu mayoritas manusia yang bersepakat
dalam mentaati penguasa dan menempuh jalan yang lurus.” As-sawadul a’zham adalah
orang-orang yang selamat dari perpecahan, maka urusan agama yang mereka sepakati itulah
kebenaran. Menurut Asy-syathibi berdasarkan pendapat tsb., maka yang termasuk al-
jama’ah ialah para mujtahid, ulama dan ahli syari’ah yang mengamalkannya.
e. Ath-thabari menyebutkan bahwa al-jama’ah ialah jama’’ah kaum muslimin yang sepakat atas
seorang amir. Pengertian beriltizam pada jama’ah ialah taat dan bersepakat atas amirnya.
Maka barangsiapa melanggar bai’atnya, ia telah keluar dari al-jama’ah. Adapun kesepakatan
mengenai pemimpin ini adalah yang sesuai dengan Al-qur’an dan sunnah. (al-i’tisham 2:265)
Sehingga kesimpulannya
- Ia disebut jama’ah apabila bersepakat dalam hal memilih dan mentaati seorang pemimpin
yang sesuai dengan ketentuan syara’. Sehingga wajib beriltizam kepadanya.
- Jama’ah ialah jalan yang ditempuh oleh ahli sunnah yang meninggalkan segala macam
bid’ah. Inilah yang disebut madhzab al-haq. Jama’ah disini merujuk pada Nabi, ahli ilmu, ahli
ijma’, atau as-sawadul a’zham. Ibnu Mas’ud berkata : “al-jama’ah adalah orang yang
menyesuaikan diri dengan kebenaran walaupun engkau seorang diri.” Dalam lafadz lain
“sesungguhnya al-jama’ah itu ialah mentaati Allah, walaupun engkau seorang diri.”
Allah ta’ala memerintahkan pada hambaNya yang beriman agar berjamaah bersatu dan tolong
menolong serta melarang mereka bercerai berai berselisih dan bermusuhan, melalui firmannya
pada QS Ali Imran 103 : “Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai” dan pada ayat 105 “Dan janganlah kamu menyerupai orang –
orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka.
Mereka itulah orang – prang yang mendapat siksa yang berat.”
Sabda Rasulullah “tetaplah berjmaah dan jangan berpecah belah karena syaithan bersama orang
yang sendirian sedangkan ia lebih jauh dari dua orang. Barangsiapa menginginkan kenikmatan
Surga maka tetaplah berjamaah.” (HR Imam Ahmad. Shahih)
Abdullah bin Mas’ud mengatakan “Jamaah adalah apa (siapa) yang selaras dengan kebenaran,
meskipun engkau seorang diri.”.
Menurut bahasa, al-hadits berarti baru, lawan katanya al-qadim (lama). Menurut istilah, al-
hadits berarti perkataan,perbuatan, ketetapan, sifat, atau akhlak Nabi saw. ilmu hadits terdapat
dua macam : ilmu hadits riwayat, dan ilmu hadits dirayah.
Ilmu hadits riwayat ialah ilmu yang meliputi perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat nabi, riwayat
dan penyampaian, serta penulisan lafazhnya. Ilmu hadits dirayah ialah ilmu tentang peraturan
yang dipergunakan untuk mengetahui keadaan sanad dan matan. Yang juga disebut musthalah
hadits.
Jika dikatakan ahli hadits, ialah seseorang yang memperhatikan hadits Rasulullah saw., baik dari
segi riwayat maupun dirayah. Mengkaji hadits-hadits nabi saw dan periwayatannya, mengikuti
isinya berupa ilmu dan amal, serta menjalankan sunnah dan menjauhi bid’ah. Dengan demikian,
ahli hadits adalah orang yang patut diyakini kebenaran; mengikuti sunnah, jama’ah, dan
golongan yang selamat.
Menurut Syekh Abu Ismail Ash-shabuni ‘ahli hadits ialah mereka yang meneladani nabi saw dan
para shahabatnya, mereka meneladani orang salaf yang saleh dari imam-imam ad-din yang
kokoh dan kebenaran yang nyata, mereka membenci ahli bid’ah yang sering mengada-ada dalam
soal agama”
Ahli hadits dahulu dan sekarang adalah orang-orang yang berjalan mencari atsar-atsar yang
menunjukkan sunnah rasulullah saw. mengambil dari sumber aslinya, mengumpulkannya,
memeliharanya, menyeru orang banyak untuk mengikutinya serta mencela para penentangnya.
Ibnu Taimiyah memberi batasan mengenai ahli hadits yaitu bukan hanya terbatas pada orang-
orang yang mendengar, menulis, atau meriwayatkan hadits saja, tapi mencakup semua orang
yang lebih patut memelihara, mengetahui, memahami, dan mengikutinya secara lahir batin.
Begitu pun terhadap alqur’an.
Serendah-rendah sifat yang mereka miliki ialah mencintai alqur’an dan alhadits, membahas dan
mengkaji maknyanya, serta mengamalkan isi kandungannya yang telah mereka ketahui.
E. Definisi Salaf
Menurut bahasa berarti nenek moyang yang lebih tua dan lebih utama. Salaf berarti pendahulu.
Salaf adalah siapa yang mendahuluimu dari bapak – bapak dan kaum kerabatmu yang
melebihimu dalam usia dan keutamaan.
Menurut istilah, salaf adalah sahabat, sahabat dan tabi’in, serta pengikut mereka dari imam-
imam terkemuka yang mengikuti alqur’an dan assunnah atau sahabat dan tabi’in serta orang –
orang yang mengikuti mereka dari generasi – generasi terbaik; dari kalangan para imam
terkemuka yang diakui keimaman, keutamaan, ittiba’ sunnah dan keimaman di dalamnya, serta
menjauhi bid’ah dan hati-hati terhadapnya, dan dari kalangan mereka yang disepakati oleh umat
atas keimaman dan kedudukan mereka yang besar dalm agama. Karena itu generasi awal
disebut salafus shalih. Sedangkan imam salafus shalil adalah Rasulullah saw lihat QS An-Nisaa
:115; QS Al-Fath:29; QS At-taubah :100.
Allah menilai ketaatan kepada rasul sebagai ketaatan kepada Allah pada QS An-NIsaa 80. Bahwa
ketidakpatuhan kepada Rasul akan membatalkan amalan sesuai firman Allah pada QS
Muhammad 33. Kita diperintahkan agar melaksanakan apa yang diperintahkan Rasul sesuai pada
QS Al-Hasyr 7. Dan bahwasannya Rasul saw adalah teladan yang baik yang shalilh dan contoh
terbaik yang wajib diikuti dan diteladani sesuai firmanNya pada Q AL-Ahzab 21.
Salaf ash-shaleh ialah generasi pertama yang mendalam ilmunya, mengikuti petunjuk nabi saw
dan memelihara sunnah beliau. Mereka telah dipilih Allah untuk menemani nabiNya dan
menegakkan dinNya. Mereka adalah imam-imam umat yang diridhai Allah.
Salaf lebih mangacu pada para shahabat menurut al’adawi, salaf ashshaleh ialah sifat yang lazim
dan mutlak hanya ada pada shahabat, serta tidak terdapat pada yang lainnya.
Madzhab Salaf ialah apa yang dipegangi oleh para shahabat yang mulia, pengikut mereka yang
baik hingga hari kiamata, pengikutnya lagi, imam-imam ad-din terkemuka dan orang-orang yang
menerima perkataan mereka dari generasi ke generasi berikutnya seperti imam yang empat
(Imam Abu Hanify, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad), Sufyan Ats-Tsauri, Al-Laits bin
Sa’ad, Ibnul Mubarak, An-Nakha’i, Al-Bukhari, dan Muslim. Juga para penyusun kitab sunan yang
tidak tertuduh sebagai pembuat bid’ah dan tidak terkenal dengan gelar yang tidak
menyenangkan seperti khawarij, rafidl, murji’ah, jabariyah, jahmiyah, mu’tazilah.
Sehingga dapat ditari garis definisi bahwa salaf ialah istilah yang diperuntukkan bagi imam-imam
terdahulu dari tiga generasi pertama yang diberkahi Allah, yaitu generasi shahabat, tabi’in, dan
tabi’it-tabi’in. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. : “sebaik-baik generasi ialah generasiku,
kemudian orang-orang sesudahnya, dan orang-orang seusdahnya lagi. Lalu akan datang orang-
orang yang kesaksiannya mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului kesaksiannya.”
(HR Bukhari)
Karena itu setiap orang yang beriltizam pada aqidah, fiqih, dan ushul imam-imam, ia dapat
dinisbatkan pada mereka (salaf) meskipun tempat dan jamannya berjauhan. Dan setiap orang
yang menyalahi mereka sekalipun ia hidup di tengah-tengah mereka bahkan berkumpul dalam
satu tempat dan satu masa ia tidak termasuk golongan mereka.
Golongan ini adalah golongan pejuang dari kalangan ahlus sunnah yang layak memperoleh
pertolongan Allah baik itu ilmu yang shahih, perilaku yang lurus terhadap sunnah Allah di alam
semesta, serta melaksanakan hal-hal yang dijadikan Allah sebagai wasilah untuk mencapai hasil
yang diharapkan. Golongan ini jelaslah dari golongan ahlus sunnah wal jama’ah.
Sebagai makhluk Allah, golongan ini sebenarnya sama dengan makhluk lain, kecuali mereka
mendapat perlindungan Allah. Pada diri mereka terdapat kebaikan-kejelekan, keadilan-
kezhaliman, ketaatan-kemaksiatan. Dalam hal tersebut Ibnu Taimiyah berkata “Mu’awiyah dan
Al-Mughirah serta lainnya berhujjah atas keunggulan golongan penduduk Syam, berdasarkan
dua hadits shahih Nabi saw :
“Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang tegak menjalankan perintah Allah.
mereka tak peduli terhadap orang yang menentang dan mengecewakan mereka hingga
datangnya hari kiamat”
“Akan senantiasa ada sekelompok umatku yang menang dalam membela kebenaran hingga
datang keputusan Allah, sedangkan mereka tetap dalam keadaan demikian.”
Ada dua alasan mengapa mereka menjadikan kedua hadits tersebut sebagai hujjah akan
keunggulan Syam.
Pertama, penduduk Syam telah menzahirkan dan membela kebenaran hingga akhirnya segala
urusan diserahkan kepada mereka, setelah terjadinya peperangan dan fitnah. Nabi saw.
bersabda “mereka tak peduli terhadap orang yang menentang mereka.” Hadits ini mengandung
arti bahwa golongan yang menegakkan kebenaran dari umat ini adalah golongan yang secara
nyata akan mendapat kemenangan dan pertolongan, mereka itulah ahlul haq.
Kedua, nash-nash menentukan bahwa mereka ada di Syam sebagaimana yang dikatakan Mu’adz,
dan seperti yang diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya dar Abu Hurairah dari Nabi saw,
bersabda “Penduduk kawasan barat akan senantiasa mendapat kemenangan”
Imam Ahmad berkata, “Yang dimaksud penduduk kawasan barat ialah penduduk Syam. Hal ini
disebabkan Nabi saw berdomisili di Madinah. Dengan demikian kawasan yang ada di sebelah
barat Madinah disebut kawasan barat, sedangkan sebelah timurnya adalah kawasan timur.
Penduduk Najd dan sebelah timurnya di sebut penduduk kawasan timur, sebagaimana dikatakan
oleh Ibnu Umar, “telah datang dua orang dari kawasan timur, lalu berkhutbah.”
Banyak pula hadits Nabi yang menjelaskan bahwa kejelekan itu berasal dari timur seperti sabda
beliau “Fitnah itu berasal dari sini, fitnah itu berasal dari sini” (seraya beliau menunjuk ke arah
timur) “Biang kekufuran berasal dari timur”
Hadits-hadits di atas mengandung maksud bahwa golongan yang mendapat pertolongan dari
umat yang menegakkan kebenaran itu di kawasan barat, yaitu di Syam dan kawasan sebelah
baratnya, sedangkan fitnah dan kekufuran akan timbul dari kawasan timur.
Menurut Ibnu Taimiyah bahwa kelompok yang ada di Syam, Mesir dll, yang membela Dinul Islam
adalah kelompok yang lebih layak menyandang predikat Thaifah Manshurah, golongan yang
mendapat pertolongan, sebagaimana disebutkan bahwa diantara ciri-ciri Thaifah Manshurah ini
ialah ‘mereka berada di baitul maqdis’. Dan sekarang, mereka inilah yang berada dibaitul
maqdis. (Majmu’ Fatawa 28:531,532,552)
G. Sikap seorang muslim dalam menjalankan perintah syar’i dan hukum alam
Terdapat perbedaan antara peristiwa alami (alam semesta) dengan perintah syar’i, antara
kehendak alam dengan kehendak syari’at, antara yang Allah kehendaki terhadap kita dengan
yang Allah kehendaki dari kita. Artinya setiap muslim senantiasa dituntut mengikuti dan
melaksanakan segala perintah syara’ sekuat tenaga, kapanpun saatnya, dimanapun berada.
Adapun diluar itu merupakan urusan-urusan alami yang berjalan menurut kehendak Allah yang
mutlak dan kebijaksanaanNya yang luhur. Untuk urusan ini Allah lebih tahu dimana dan kapan
Dia memberikan pertolongan kepada yang berhak memperolehnya diantara hamba-hambaNya.
Sikap yang dituntut dari seorang muslim ialah mengimani, menerima, dan melakukan usaha
positif semaksimal mungkin untuk mencapai keberhasilan.
Berkaitan dengan hal tersebut, Ahlus sunnah wal jamaah mempercayai bahwa iradah (kemauan)
Allah ada dua macam :
1. Iradah kauniyah
Yaitu terdapat adanya iradah dan tidak harus mesti disenangi Nya, atau dalam istilah lain
disebut masyiah seperti firman Allah dalam QS Al-Baqarah 253 “ Seandainya Allah
menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang
dikehendakiNya”
2. Iradah syar’iyah
Yaitu yang dimaui tidak mesti harus terjadi dan yang dimaui ini disenangi Allah, seperti
firmanNya pada QS An-Nisa 27 : ”Dan Allah hendak menerima taubatmu”
Kita meyakini bahwa iradah kauniyah dan iradah syar’iyah itu adalah berdasarkan hikmah,
dan tentang hikmah itu hanya Allah swt Yang Maha Mengetahui dengan sebenarnya. Kita
hambaNya mungkin tahu sebagian atau tidak tahu sama sekali akan hikmah apa yang terjadi
karena jangkauan akal manusia yang sangat terbatas. “Dan hukum siapakah yang lebih baik
daripada hukum Allah bagi orang – orang yang yakin” QS Al-Maidah 50.
ASAL USUL PENAMAAN AHLI SUNNAH WAL JAMA’AH
Dasar – dasar aqidah ahlus sunnah wal jamaah –orang orang yang berjalan di atas manhaj salafus
shalh- berjalan di atas dasar – dasar yang kukuh dan jelas da;am keyakinan, amal dan perilaku. Dasar
– dasar ini diambil dari kitabullah dan semua yang shahih dari Sunnah Rasul saw, baik mutawatir
maupun ahad, serta dengan pemahaman salaful ummah dari kalangan sahabat, tabi’in dan orang –
orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Ushuluddin (pokok – pokok agama) telah dijelaskan oleh Nabi saw secara lengkap. Tidak boleh
seorang pun mengada – adakan sesuatu berkenaan dengannya dan menyangka bahwa itu termasuk
agama. Karena itu, ahlus sunnah berpegang teguh dengan dasar – dasar ini, menjauhi lafazh – lafazh
yang diada-adakan dan berkomitmen dengan lafazh yang syari. Dari sinilaj diperleh pemahaman
yang hakiki tentang salafus shalih.
Adapun ushuluddin menurut ahlus sunnah wal jamaah secara global sebagaiman dijelaskan berikut
ini.
ASAS MANHAJ ‘AQIDAH PARA SALAFUS SHALIH
Secara rinci asas – asas manhaj aqidah para salafus shalih adalah
1. Kitabullah dan sunnah Rasulullah saw, yang merupakan sumber aqidah maupun syar’i.
keharusan berpegang pada kedua sumber tersebut meliputi tiga perkara berikut
a. Wajib berhukum kepada keduanya jika berselisih sebagaimana firman Allah
“…kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian…” (An-Nisaa 59)
Mereka hanya berhukum pada Quran dan Sunnah tidak pada ra’yu dan akal manusia, tidak
pula pada filsafat barat maupun berkiblat pada putusan organisasi. Setiap masalah
dikembalikan pada Pemilik segala perkara yaitu Allah SWT
b. Agama Islam mengandung kesempurnaan sehingga sumber kehidupan pun cukup
mengambil dari Al-Quran dan As sunnah. Seperti pada firman Allah pada QS AL-Maidah 3 :
“…pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmatKu dan Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu…”
c. Dengan membahas masalah aqidah yang tercantum dalam Al Quran dan sunnah, para
salafus shalih menggunakan tatacara yang baik (adab). Karena aqidah merupakan masalah
yang penting dan peka serta berhubungan dengan asma dan sifat Allah, berita dan hukum-
hukumNya, malaikat dan masalah masalah ghaib.
2. Wajib mendahulukan syar’i daripada akal, terutama ketika seolah – olah merada ada perbedaan
antara keduanya. Jika kita menemukan keraguan atas suatau masalah, yang patut kita dahulukan
adalah syar’i dan naqli yang shahih. Tak mungkin ada pertentangan antara wahyu yang shahih
dan akal yang sehat.
3. Manhaj salafus shalih jauh dari ilmu kalam dan filsafat apalagi ikut campur di dalamnya serta
sangat keras menentang ahli bid’ah. Imam syafi’i mengatakan “hukuman bagi ahli bid’ah adalah
hukuman cambuk dengan pelepah kurma serta diarak keliling pasar sambil diumumkan kepada
khalayk. Inilah hukuman bagi orang yang meninggalkan Al-Quran dan sunnah serta menerima
ilmu kalam.
4. Salafus shalih menolak pendapat orang – orang yang mengikuti hawa nafsu, menentang manhaj
mereka, dan teguh memegang dalil kitabullah dan sunnah Rasulullah saw. Sebagian orang
menuduh bahwa manhaj salaf adalah manhaj naqi sehingga pengikutnya menerima kandungan
Al-Quran dan as sunnah mentah – mentah tanpa pemanfaatan akal. Padahal ketika menjelaska
suatu kebenaran Al-Quran menggunakan dalil naqli yang juga menyangkut dalil – dalil aqli dan
berbagai fakta. Dengan begitu, orang yang beriman yang mengikuti syariat Allah serta
memegang teguh Al-Quran dan As sunnah adalah orang yang akalnya paling sempurna. Orang –
orang yang menjelaskan masalah aqidah atau masalah – masalah Islam melalui ketengan lain
dari ilmu mantik, ilmu kalam, pendapat barat dan timur, filsafat, sejarah, materialisme, atau
sekulerisme justru merupakan orang – orang yang kurang akal karena mereka mengambil
hukum bukan dari sumbernya. Selain itu, kita pun tahu, urusan aqidah itu bersifat ghaib,
sehingga hanya dapat kita peroleh dari Pemilik keghaiban, Allah swt.
5. Ahlussunnah wal jamaah menggunakan hadits aahaad yang shahih, sebagai hujjah dalam
masalah aqidah. Banyak ahli bid’ah, baik dahulu seperti Jahmiyyah dan Mu’tazilah maupun
sekarang sepeti ahli – ahli kalam dan golongan sekular yang telah terbukti menyepelekan sunnah
rasulullah saw, serta menganggap beliau sebagai manusia biasa. Ahlus sunnah wal jamaah
beriktikad bahwa apapun yang datang dari Rasulullah yang kemudian dikutp oleh para sahabat
baik dalam masalah aqidah maupun hukum, adalah wahyu Allah. Sehingga mereka berpegang
kepada keduanya asalkan shahih menurut para ulama seperti Bukhari atau Muslim, dengan
demikian manhaj ahlussunnah wal jamaah dibagi atas tiga perkara penting yaitu :
a. Konsekuen
b. Rasulullah saw,
c. Rasulullah saw,
6. Para sahabat adalah
1. Semua ilmu yang selaras dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul mereka sepakati sebagai
ketetapan yang benar, sedangkan yang bertentangan dengan keduanya mereka tolak
Ciri pertama yang membedakan ahli sunnah waljama’ah dengan yang lain adalah dalam hal
system penerimaan ilmu dan sumber pengambilan ilmu dan sumber pengambilannya yang haq,
baik dalam hal aqidah, konsepsi, ibadah, muamalah, perilaku maupun akhlak, yaitu mengambil
dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. Maka tak seorangpun berkata mendahului
Kalamullah, dan tak mengambil petunjuk sebelum petunjuk Muhammad saw.
Mereka tidak menetapkan suatu perkataan serta tidak menjadikannya prinsip keagamaan dan
pernyataan pembicaraan mereka jika tidak sah berasal dari Rasulullah. Tetapi segala sesuatu
yang telah ditetapkan Rasul, dari kitab dan hikmah, mereka jadikan sebagai prinsip yang mereka
yakini sekaligus menjadikannya sandaran.
Hal-hal yang dipersilisihakan manusia, baik tentang sifat Allah, qadar, ancaman, nama Allah,
amar ma’ruf nahi munkar, maupun hal lain, mereka kembalikan pada Alquran dan sunnah Rasul.
Mereka menafsirkan lafazh yang tengah diperselisihkan ahli tafaruq dan ahli ikhtilaf (golongan
sempalan yang menentang ahli sunnah waljama’ah). Jika makna penafsiran selaras dengan
Alquran dan Sunnah, mereka tetapkan sebagai kebenaran. Sedangkan yang menyalahi kedua
sumber itu mereka tolak. Mereka juga tidak mengikuti prasangka dan kemauan hawa nafsu,
karena mengikuti prasangka adalah kebodohan, dan menuruti hawa nafsu tanpa petunjuk dari
Allah merupakan kezhaliman (Majmu’ Fatawa 3:347)
2. Ahli sunnah waljama’ah berpendapat bahwa tidak ada seorangpun yang ma’shum kecuali
Rasulullah saw
Para imam tidaklah terpelihara dari dosa, menurut pandangan ahli sunnah waljama’ah. Sehingga
ucapan mereka boleh diambil dan ditinggalkan. Hanya ucapan Rasulullah yang mengikat. Tidak
ada yang diteladani dan diikuti kecuali Rasulullah. Maka semua berita dan perintah beliau wajib
dibenarkan dan ditaati. Kedudukan seperti ini tidaklah layak dimiliki oleh para imam.
3. Mereka berpendapat bahwa ijma’ salafus shaleh merupakan hujjah syari’iyah yang
sepatutnya diikuti oleh generasi sesudah mereka
Ahli sunnah waljama’ah meyakini bahwa generasi yang paling mengetahui kebenaran syariat
Allah setelah Nabi saw adalah para sahabat dan salafus shaleh. Sehingga ijma’ di kalangan
mereka terpelihara dari kesalahan. Ijma’ mereka merupakan hujjah syariah yang harus diikuti
generasi sesudah mereka.
Mereka adalah jama’ah karena jama’ah adalah al-ijtima’ yang merupakan lawan kata dari al-
firqah. Kata al-jama’ah menjadi sebutan bagi kaum yang bersatu, berhimpun dalam mengikuti
jalan yang ditempuh pendahulu mereka : muhajirin dan anshar.
Ijma’ merupakan sumber hokum ketiga yang mereka jadikan sandaran ilmu dan ad-Din. Ijma’
yang berlaku adalah ijma’ yang disepakati salaf ash-shaleh, karena generasi setelah mereka
mengalami banyak perselisihan pendapat dan perpecahan umat (Juz 3:157)
Berdasarkan hal itu, ijma’ mereka terbebas dari kesalahan (Juz 13:24). Dan ad-Din muslimin
dibangun berdasarkan Alquran, sunnah Rasul, dan kesepakatan umat. Ketiga sumber itulah yang
terjaga dari kesalahan (Juz 20:164)
4. Mereka tidak menetapkan suatu pernyataan dan tidak pula menerima hasil ijtihad kecuali
setelah mengupasnya berdasarkan kitabullah, sunnah, serta ijma’
Ahli sunnah waljama’ah senantiasa mengikuti sunnah yang dibawa Rasulullah dan jama’ah
beliau. Yang dimaksud jama’ah adalah para sahabat dan orang-orang yang menempuh jalan
mereka dengan tetap. Mereka tidak menerima ijtihad atau pendapat siapapun sebelum
menyelaraskannya dengan Alquran, Sunnah Nabi, dan ijma’.
5. Mereka pantang menentang Al-Quran dan Sunnah dengan akal, rayu, dan qiyas.
Para sahabat ra mempelajari tafsir Alquran dan Alhadits langsung dari Nabi dan mereka teruskan
pada para tabi’in. mereka tidak mendahulukan akal, pendapat, perasaan dan lainnya dari
ketentuan Allah dan RasulNya. Karena kedua sumber itulah yang telah disepakati oleh para
sahabat dan tabi’in dan tak seorangpun dari mereka menerima pendapat, perasaan, pemikiran,
qiyas, dan naluri yang bertentangan dengan Alquran.
Tidak seorangpun dari salafus shaleh yang bertentangan dengan Alquran baik akal, pemikiran,
perasaan maupun naluri mereka. Mereka tidak pernah mengatakan ada pertentangan antara
akal dan naql apalagi harus mendahuluhan akal. Salafus shaleh juga tidak menerima pertentangn
ayat dalam Alquran. Jika terjadi kasus demikian, mereka mengajukan ayat lain untuk
menafsirkan atau menasakhnya atau dengan mengajukan sunnah Rasul untuk menjelaskannya
karena Sunnah Rasul berfungsi untuk Alquran, menuntuk kejelasan, dan menerangkan ungkapan
di dalamnya (juz 13:27-29).
Allah berfirman dalam QS At-Taubah ayat 100 :
“orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang
Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha pada
mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang
besar.”
Maka bagi orang-orang yang mengikuti kaum Muhajirin dan Anshar dengan baik, akan
mendapatkan ridha Allah dan berhak memperoleh surgaNya. Dan barangsiapa mengikuti jejak
para pendahulu dan yang pertama masuk Islam termasuklah ke dalam golongan mereka.
Sedangkan mereka tergolong manusia terbaik setelah Nabi mereka, karena umat Muhammad
merupakan umat terbaik yang ditampilkan untuk manusia, dan para sahabat adalah umat
Muhammad yang terbaik. Dengan demikian mengenali perkataan mereka dalam soal ilmu dan
ad-Din serta perilaku mereka adalah lebih baik dan lebih bermanfaat daripada mengenali
perkataan dan perilaku generasi sesudah mereka.
Banyak sumber hokum generasi setelah mereka melahirkan hal bid’ah di dalam Islam dan
bertentangan dengan ijma’ kaum salafus shaleh. Hal ini karena perselisihan mereka, generasi
muta’akhirin, merupakan kesalahan mutlak, sebagaimana perselisihan golongan khawarij,
rafidlah, qadariyah, dan murji’ah yang bertentangan dengan nash yang jelas dan ijma’ para
sahabat. Di samping itu kaum salafus shaleh telah membicarakan semua masalah tanpa satupun
yang tertinggal, sehingga dapat dipastikan jika ada perkataan atau pendapat yang muncul
kemudian bisa diketahui apakah bertentangan atau sesuai dengan ijma’ mereka (juz 13:23-27)
7. Ahli sunnah waljama’ah tidak mewajibkan orang yang tidak mampu untuk mengetahui ilmu
sebagaimana kewajiban terhadap orang yang memiliki kemampuan.
Ahli sunnah beriman dengan ajaran yang dibawa Nabi saw secara ijmali (global). Akan tetapi
mereka membedakan antara orang yang mampu memahami secara baik dan rinci ajaran
tersebut dengan orang yang tidak mampu untuk melakukan hal itu. Hal ini adalah prinsip penting
yang boleh jadi akan menimbbulkan fitnah disebabkan tiadanya ilmu dan pengetahuan
mengenai hal itu.
Memang setiap orang wajib untuk mengimani ajaran yang dibawa Rasulullah, iman dalam
pengertian umum dan global, dan tidak diragukan lagi pentingnya mengetahui ajaran yang
dibawa Rasulullah saw secara rinci itu adalah fardu kifayah. Tetapi yang tak kalah penting adalah
bahwa kemampuan, pengetahuan dan kebutuhan mereka berbeda-beda. Sehingga tidak
diwajibkan bagi orang yang tidak mampu untuk menyimak sebagian ilmu atau memahaminya
secara dalam, sebagaimana kewajian yang dibebankan kepada mereka yang memang memiliki
kemampuan untuk hal itu. Kewajiban itu terpikul bagimereka yang mendengarkan nash-nash
dan memahaminya secara rinci, tetapi bagi mereka yang sekedar mendengarkannya tidaklah
diwajibkan. Demikian pula wajib bagi para pemberi fatwa, ahli hadits dan ahli debat, tetapi tidak
bagi yang tidak berpredikat seperti itu. Oleh sebab itu terjadi perselisihan dikalangan umat
mengeani hal rumit sementara mereka tidak mendapatkan yang lainnya, tidaklah wajib bagi
yang tidak memiliki kemampuan untuk memecahkan permasalahan tersebut.
Bagi mereka yang tidak mampu hendaklah mengikuti dugaan yang lebih kuat jika memang tidak
mendapatkan keyakinan, apalagi jika i’tiqad itu sesuai dengan kebenaran. Sebab i’tiqad tersebut
akan membawa manfaat dan memperkokoh pelakunya.(Juz 3:312-314)
Oleh karena itu ahli sunnah waljama’ah mengambil sumber Din mereka baik dalam hal ilmu dan
amalan dari Al-Quran dan as-Sunnah berdasarkan pemahaman pada sahabat ra. mereka tidak
mendahulukan yang lain, atau menentangnya berdasarkan akal, ra’yu, qiyas, perasaan, naluri
atau hasil kajian rasio mereka.
Inilah sebenarnya prinsip utama yang membedakan antara ahli sunnah waljama’ah dengan
golongan lain. Prinsip yang mencetak “celupan” jama’ah dengan warna khas dan membentuk
sosoknya secara umum beserta predikat-predikatnya yang khas dalam perilaku dan akhlak bagi
jama’ahnya. Bahkan lebih jauh lagi mereka menetapkan prinsip aqidah, ushul fiqih, dan kaidah
fiqhiyah yang menjadi pusaka bagi jama’ah ini.
GAMBARAN UMUM AHLI SUNNAH WAL JAMA’AH
1. Ahli sunnah waljama’ah mempersatukan ad-Din melalui ilmu dan amalan, lahir dan batin.
Ahli sunnah waljama’ah mempersatukan ad-Din secara keseluruhan melalui ilmu, amalan, lahir
dan batinn dengan selalu berpegang kepada kemurnian Islam yang dibawa Nabi saw dan
dipelihara oleh para sahabat.
I’tiqad golongan yang selamat (jama’ah) adalah gambaran yang dipredikatkan Nabi saw dengan
keselamatan, sebagaimana sabdanya : “umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, yang
72 masuk neraka dan yang satu masuk surga. Golongan iniadalah yang mengikuti jalan hidup
seperti yang aku tempuh hari ini dan jalan para sahabat”
I’tiqad inilah yang ditinggalkan Nabi saw dan para sahabat yang diridhai Allah. oleh karena itu
barangsiapa mengikuti mereka termasuklah dalam firqah an-najiyah (golongan yang selamat)
(juz 3:179). Jalan hidup mereka adalah dinul Islam yang dengannya Rasulullah saw diutus. Dalam
hadits lain disebutkan : “Mereka yang menempuh jalan hidup yang aku tempuh dan para
sahabatku, yang selalu berpegang teguh pada kemurnian Islam, serta bersih dari percampuran,
merekalah ahli sunnah waljama’ah” (Juz 3:159)
2. Ahli sunnah mempersatukan ad-Din secara menyeluruh dan menegakkan ajarannya. Mereka
berhimpun di atas hal itu. Karena al-jama’ah merupakan sebab dan akibat sekaligus ketaatan
dan rahmat, maka memelihara jama’ah merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah, dan di
antara rahmat Allah bagi orang yang mentaati-Nya dalah terpeliharanya jama’ah mereka.
Yang menjadi faktor penyebab kesatuan dan kerukunan adalah menyatukan ad-Din dan
mengamalkan ajarannya secara menyeluruh dalam rangka ibadah kepada Allah semata, tiada
menyekutukanNya dengan apapuun sebagaimana yang diperintahkanNya baik lahir maupun
batin. Sedangkan faktor perpecahan adalah meninggalkan sebagian dari apa yang
diperintahkanNya dan berbuat kezhaliman di antara mereka.
Al-jama’ah akan membuahkan rahmat dan kebahagiaan di dunia-akhirat serta berserinya wajah
(tatkala menghadap Allah). sedangkan al-firqah akan mendatangkan siksa dan laknatNya,
membuat hitam dan muram wajah, di samping menjauhnya Rasulullah dari mereka.
Bahwa ijma’ adalah hujjah yang qath’i. Karena jika mereka berhimpun dan sama-sama mentaati
Allah, tentulah mereka akan mendapatkan rahmatNya. Tidak akan ada ketaatan pada Allah dan
tidak pula mendatangkan rahmatNya jika mereka melakukan perbuatan yang tidak
diperintahkanNya baik dalam hal keyakinan (i’tiqad), perkataan maupun perbuatan. Jika amalan
yang mereka himpun tidak berdasar perintah Allah, tidak akan lahir ketaatan padaNya dan tidak
pula menjadi sebab datangnya rahmatNya.
Manakala manusia telah meninggalkan sebagian perintah Allah swt. maka saat itu pula timbul
permusuhan dan kebencian. Jika satu kaum terpecahbelah akan rusak dan binasalah mereka.
Jika satu kaum berhimpun maka lahirlah kebaikan penuh damai dan mereka dapat berkuasa.
Maka jama’ah adalah rahmat sedangkan firqah adalah azab. (juz 3:421)
4. Ahli sunnah waljama’ah berpegang teguh pada Al-Quran, Sunnah dan ijma’
Ahli sunnah waljama’ah ada;ah orang-orang yang berpegang teguh pada Al-Qur’an, Sunnah dan
ijma’. Merekalah orang-orang yang taat mengikuti ad-Din yang datang dari Rasulullah, bukan din
yang berasal dari filsuf dan ahli kalam. Orang-orang yang menghimpun tiga hal utama yang
merupakan sumber kebaikan akan mendapat pahala dari Rabb mereka, selamat
darihukumanNya, tiada takut terhadap apa yang ada di hadapan mereka, serta tidak merasa
cemas dan sedih terhadap apa yang mereka tinggalkan. Tiga hal tersebut adalah mengimani
penciptaan dan kebangkitan, beriman pada Allah dan hari akhir, beramal shaleh.
5. Ahli sunnah waljama’ah adalah penerus sejarah bagi penganut agama Islam
Ahli sunnah waljama’ah adalah asal muasal umat Muhammad.mereka penerus tabi’at alami dan
benar bagi pemeluk agama ini, sebagaimana millah Muhammad menjadi penerus alami dan
benar bagi millah-millah para nabi pendahulunya. Oleh karena itu jika ada golongan lain di luar
ahli sunnah waljama’ah maka asing bagi millah ini, dan dianggap golongan minoritas yang
menyimpang dari jalan asli dan benar.
Adapun predikat golongan selamat yang disebutkandalam hadits-hadits shahih dikarenakan
mereka adalah ahli sunnah waljama’ah, golongan mayoritas terbesar. Sedangkan golongan
lainnya adalah menyimpang, berpecah belah, bid’ah, mengikuti hawa nafsu. Golongan-golongan
tersebut memisah-misahkan Kitabullah, sunnah dan ijma’. Maka barangsiapa berkata
berdasarkan Kitabullah, Sunnah, dan ijma’, mereka termasuk ahli sunnah waljama’ah (juz 3:245).
6. Ahli sunnah adalah ahli syariat yang mengikuti sunnah Rasul meliputi seluruh aspek ajaran
Islam, baik aqidah, manhaj-manhaj tinjauan, perbuatan-perbuatan, tujuan-tujuan esensi,
ibadah-ibadah, siasat syar’iyah, maupun lainnya.
As-Sunnah sebagaimana syariat adalah segala sesuatu yang disunnahkan dan disyariatkan Rasul
dalam hal aqidah dan amalan. Oleh karena itu, Ibnu Abbas dan lainnya menafsirkan kaliat
syir’atan waminhajan dengan sunnah dan jalan.
Istilah sunnah dan syariat terkadang menjelma dalam aqidah danperkataan, terkadang dalam
tujuan dan perbuatan. Istilah pertama menyangkut keadaan dan cara mendengarkan. Juga
digunakan untuk jalan peribadatan lahiriyah dan sistem politik kekuasaan (Juz 19:307)
7. Ahli sunnah hanya mengambil sumber hukum yang kuat ketetapannya dari Rasul dan Salaf
ash-Shaleh.
As-Sunnah yang wajib diikuti, patut dipuji pelakunya, dan dicela bagi yang menyalahinya adalah
Sunnah Rasul, dalam aqidah, ibadah, dan berbagai perkara lainnya.
Hal ini diketahui berdasarkan pengetahuan tentang hadits-hadits Nabi yang telah menajadi
ketetapan baik dalam perkataan, perbuatan maupun taqrir. Selain itu juga apa-apa yang
ditempuh oleh pendahulu dan pengikutnya (Juz 3: 378)
8. Ahli sunnah adalah orang yang paling mengetahui hal-ihwal Rasul, baik berupa perkataan
maupun perbuatannya. Serta paling besar kecintaan dan loyalitasnya baik terhadap
Sunnahnya maupun pendukungnya.
Orang yang paling berhak dikategorikan sebagai firqah an-najiyah adalah ahlul hadits dan
sunnah, yaitu meereka yang tetap mengikuti dan berta’ashub kepada Rasul. Mereka yang paling
mengetahui perkataan Nabi saw dan hal-ihwalnya. Mereka memiliki perhatian besar dalam
mempertimbangkan riwayat shahih dan lemah. Imam mereka adalah orang-orang yang mengerti
benar hadits dan maknanya, mengikuti,mengamalkannya, membenarkan, mencintainya, serta
menaruh hormat pada orang-orang yang menghormatinya dan memusuhi oraong-orang yang
memusuhinya.
9. Ahli sunnah adalah orang-orang yang mencintai Hadits Nabi dan taat dalam mengikutinya.
Ahli sunnah dan ahli hadits bukanlah mereka yang sekedar sibuk berperan dalam urusan ilmu
hadits, namunjuga mencintai dan mencurahkan perhatian padanya, iltizam dengannya, serta
menyerukan orang lain agar iltizam padanya.
Ahli hadits dalam arti cakupan yang lebih luas adalah mereka yang paling benar hafalannya,
pengetahuan, pemahaman, kemudian mengikuti secara lahir dan batin. Ahli Qur’an sekurang-
kurangnya mencintai Qur’an dan hadits, beramal dengan ilmunya. Oleh karena itu fuqaha hadits
lebih memahami perihal Rasul dibandingkan fuqaha lainnya, sufi mereka lebih murni mengikuti
jejak Rasul daripada sufi golongan lainnya, penguasa mereka lebih teguh mengikuti kebijakan
Rasul dari penguasa lainnya, dan orang awam mereka lebih loyal pada Rasulullah dibanding
orang awam lainnya (Juz 4: 95).
10. Ahli sunnah memiliki tingkatan beragam dalam mengetahui Sunnah, mengamalkannya, serta
bersabar terhadapnya.
As sunnah adalah segala sesuatu yang diterima para sahabat dari Rasulullah, kemudian
diteruskan pada para tabi’in, tabi’it tabi’in, dan seterusnya sampai hari kiamat. Dan sebagian
imam lebih mengetahui dan lebih mampu bersabar terhadapnya dari sebagian imam yang lain
(Juz 3:358)
11. Ahli sunnah berbeda dalamijtihad mereka, sesuai dengan tingkat pengetahuan mereka
terhadap Sunnah.
Ahli sunnah menghadapai kenyataan beragamnya pengetahuan yang menyebabkan mereka
berbeda dalam berijtihad. Perbedaan ijtihad ini menyangkut sebagian permasalahan ilmu, dan
hal ini bisa jadi mereka menyalahi Sunnah yang shahih. Kasus seperti ini banyak terjadi di
kalangan Salaf umat dan para imam dan seringkali pernyataan-pernyataan mereka tidak sesuai
dengan Kitabullah dan Sunnah (Juz 3:349)
12. Ahli sunnah senantiasa berupaya agar perbedaan ijtihad mereka mengarah kepada satu
pendapat dan menjaga kerukunan.
Meskipun terdapat perbedaan di kalangan ahli sunnah dalam masalah ilmiah dan amaliah,
namun mereka berupaya keras mengendalikan perilaku mereka sekalipun tajamnya perbedaan
tersebut, disertai adab ikhtilaf yang menyiratkan kasih sayang, kerukunan dan saling
menghormati. Semua itu dilakukan agar terpeliharanya keutuhan dan kerukunan jama’ah dan
menyingkirkan perpecahan dan tuduhan.
Nabi tidak menyukai perselisihan atau perdebatan yang dapat menimbulkan perbedaan dan
perpecahan (tafarruq) oleh karena itu, beliau menyebut al-jama’ah sebagai golongan yang
selamat disebabkan keteguhan merekamemegang sunnahnya. Para ulama dari kalangan
sahabat, tabi’in, dan pengikut setelah mereka selalu mengikuti perintah Allah jika menemui
perselisihan perdapat, sebagaimana firmanNya dalam QS An-Nisa 59.
Setiap permasalahan mereka tinjau atas dasar musyawarah dan saling menasehati sehingga
kerukunan dan persaudaraan Islam senantiasa terpelihara. Perbedaan yang menyangkut soal
hukum, misalnya, sangatlah menyita energi, bukan hanya karena bobot masalah yang berat
tetapi jumlahnya pun cukup banyak. Kaum salafus shaleh seringkali berselisih dalam banyak
persoalan namun tak seorangpun di antara mereka mengkafiirkan yang lainnya, tidak pula
menuduh fasik dan maksiat (Juz 3:229)
Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya tidak membolehkan adanya pengecualian dalam iman,
kaena amal merupakan unsur keimanan. Mereka mencela kaum Murji’ah yang tidak mewajibkan
hal-hal yang wajib dan tidak menjauhi perbuatan-perbuatan terlarang. Kaum Murji’ah
menganggap iman hanya cukup dinyatakan dengan ucapan dengan alasan bahwa perselisihan
pendapat adalah soall lafzhiah. Yaitu peselisihan pendapat yang terjadi antara ahli ilmu dan ahli
Din termasuk jenis perselisihan pendapat yang banyak menyangkut soal hukum, dan mereka
semua termasuk ahli iman dan ahli Qur’an (Juz 13:41-47)
15. Ahli sunnah adalah menusia biasa, diantara mereka ada yangbaik (berlaku benar) dan ada
yang maksiat.
Ahli sunnah waljama’ah adalah manusia biasa diantara mereka ada shidiqun dan syuhada, ada
pula yang maksiat dan berbuat tercela. Namun, pada umumnya mereka berperilaku baik,
sebagaimana halnya golongan lain yang banyak melakukan keburukan.
Orang yang menisbatkan diri pada Sunnah dan Hadits tentu lebih baik dibandingkan golongan
lain. As-Sunnah dalam Islam seperti halnya Islam terhadap agama lain. Di kalangan mereka juga
terdapat kebaikan dan keburukan. Meskipun demikian, kebaikan di kalangan mereka lebih
banyak dibandingkan kebaikan di golongan lain. Demikian juga jika terdapat keburukan pada
kaum muslimin, maka pada golongan selain mereka keburukan itu lebih banyak lagi. Demikian
pula dengan orang-orang yang menisbatkan diri dengan as-Sunnah, jika di kalangan mereka
terdapat keburukan maka akan lebih banyak lagi keburukan pada golongan selain mereka.
Demikian juga dengan kebaikan, ahli sunnah lebih banyak lagi memilikinya dibandingakn
golongan lainnya (Juz 12:455).
16. Ahli sunnah adalah jumhur akbar dan sawadul ‘Azham (mayoritas umat Muhammad).
Ahli sunnah adalah mayoritas umat Muhammad yang berpegang teguh pada Kitabullah dan
Sunnah Rasul, mencintai para sahabat dan mengambil hadits Nabi dari mereka, baik dalam hal
ilmu, amalan, ataupun fiqih dan perilaku. Mereka adalah orang-orang yang menjunjung tinggi
syiar Al-Quran, Sunnah, dan ijma’. Mereka berpegangteguh pada jamaah dan berusaha menjaga
keutuhannya, memelihara kerukunan, serta bersatu di bawah bendera jamaah dan menjauhkan
diri dari panji dan syi’ar perpecahan yang sesat golongan pembangkang (syudzudz), tafarruq,
ahwa’, dan ikhtilaf.
Pada kenyataannya dalam jamaah ahli sunnah sendiri terjadi silang pendapat dalam hal ilmu,
amal, kebaikan, kejahatan, keadilan, kezhaliman, kesabaran, kekejian, perlindungan, serta
permusuhan. Namun, kesemuanya disertai kesadaran dengan berpegangteguh pada
persaudaraan dan persahabatan disertai loyalitas tinggi yang merupakan unsur utama jamaah
sekaligus merupakan pilar Din mereka. Itulah Rahmat dari Rabb mereka.
CIRI – CIRI KHUSUS AKHLAK DAN PERILAKU AHLI SUNNAH WALJAMA’AH
2. Ahli Sunnah mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah dalam seluruh hubungan mereka
Ahli sunnah waljama’ah selalu mengikuti AlQuran dan sunnah Rasul, dalam perilaku dan
langkan yang mereka tempuh dan dalam hubungan sesama manusia. Mereka menyuruh
bersabar menghadapi ujian, bersyukur jika mendapat kesenangan, ridla terhadap keputusan
Allah dan menyeru manusia agar menyempurnakan akhlak dan amalan yang baik. Mereka
meyakini sabda Rasul : “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya”.
Ahli sunnah menganjurkan adar menyambung tali persaudaraan, memberi sesuatu kepada
orang yang enggan memberi, memaafkan yang berbuat kesalahan. Menyuruh berbakti pada
orangtua, menyambung tali kerabat, berbuat baik padatetangga, berbuat baik pada anak yatim,
orang miskin, ibnu sabil, dan bersikap lembut pada sahaya. Mereka melarang perilaku sombong
lagi membanggakan diri, melarang perbuatan keji dan menodai kehormatan makhluk tanpa hak.
Menyuruh berbuat yang baik, melarang yang jahat. Segala yang mereka katakan dan amalkan
tidak lain hanyalah mengikuti AlQuran dan Sunnah Rasul (Juz 3: 158).
3. Ahli Sunnah adalah golongan penyeru kebaikan dan pencegah kemungkaran, di samping
selalu memelihara keutuhan jama’ah
Mereka menyuruh berbuat yang baik dan mencegah berbuat yang mungkar berdasarkan
tuntunan syariat. Mereka menyuruh menunaikan haji dan jihad, menunaikan shalat Jumat dan
shalat Id bersama pemimpin mereka yang baik maupun durhaka. Termasuk menyuruh mereka
menjaga keutuhan jamaah serta memberi nasihat kepada umat.
Mereka benar-benar meyakini sabda Rasul : “Orang mukmin terhadap mukmin lainnya
bagaikan sebuah bangunan yang sebagian memperkokoh bagian lainnya”.
Kemudian beliau mengait-aitkan jari-jarinya sendiri. Mereka juga meyakini hadits Nabi :
“Perumpamaan kaum mukminin dalam hal kasih sayang dan saling mencintai di antara mereka
adalah bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya mengaduh (karena sakit), maka
seluruh tubuh merasa demam dan tidak bisa tidur”. (Juz 3:158)
Wajib bagi ulil ‘amri agar menjalankan kepemimpinannya dengan baik terhadap rakyat mereka.
Juga sepatutnya memerintah berdasarkan perintah Allah dan Rasul, serta melarang berbuat
kemungkaran berdasarkan larangan Allah dan Rasul. (Juz 3:423)
Termasuk perintah kebaikan adalah menganjurkan persatuan dan kerukunan serta mencegah
timbulnya perbedaan dan perpecahan (Juz 3: 421)
4. Ahli Sunnah selalu memelihara (keutuhan) jama’ah dan iltizam melakukan ketaatan dalam
kebaikan
Ahli sunnah menjalankan fungsi ketaatan dan memelihara jamaah berdasarkan ketentuan
syariat dan pengamalannya. Maka ketaatan mereka dalam rangka ketaatan kepada Allah, bukan
ketaatan dalam maksiat kepadaNya. Jalan hidup moderat adalah Dinul Islam yang murni dan
memerangi orang yang harus diperangi. Berjihad bersama amir dan kelompok yang lebih
mengutamakan (jalan) Islam, jika tidak ada cara lain kecuali berperang. Tetapi tidak membantu
kelompok yang berperang untuk maksiat kepada Allah. Mereka harus mentaati penguasa dalam
mentaati Allah dan tidak mentaati mereka dalam bermaksiat kepadaNya. Jalan inilah yang
terbaik bagi umat ini, yang merupakan jalan tengah antara jalan Hururiyah yang menempuh
jalan maksiat dan kerusakan karena sedikitnya ilmu dan antara jalanMurjiah yang mentaati
pemimpin mereka dengan mutlak sekalipun bukan orang baik (Juz 28:508)
7. Ahli Sunnah, saling memberikan wala’ kepada sesama mereka dengan loyalitas secara umum,
dan saling memaafkan
Ahli sunnah wal jamaah saling memberikan wala’ satu dengan yang lain secara umum tanpa
memandang perbedaan asal golongan, jamaah, kecenderungan, ataupun ijtihad tertentu. Bagi
mereka yang prinsip dan penting adalah berkeinginan menjadikan jamaah sebagai sesuatu yang
utuh, kuat, serta saling memaafkan kekurangan masing-masing, dan tidak cepat melancarkan
tuduhan atau saling menyesatkan.
Menjadi kewajiban bagi mereka untuk mendahulukan siapa yang didahulukan Allah dan Rasul,
dan mengakhirkan siapapun yang diakhirkan Allah dan Rasul. Membenci siapa saja yang dibenci
Allah dan Rasul, mencegah segala sesuatu yang dilarang Allah dan Rasul, ridha kepada yang
diridhai Allah dan RasulNya. Karena kekuatan tidak mungkin terwujud jika sesama merasa
paling benar dan merasa paling sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah. Oleh karenanya sekalipun
seorang muslim telah melakukan kekeliruan dalam suatu urusan agama, tidaklah mesti dituduh
kafir atau fasik. Bahkan Allah memaafkan umat ini dari kekeliruan dan kealpaan yang mungkin
diperbuatnya. (Juz 3: 426)
8. Ahli Sunnah menentukan dukungan dan permusuhan berdasarkan prinsip ad-Din, dan mereka
tidak menguji manusia dengan sesuatu yang bukan dari Allah
Ahli sunnah wal jamaah tidaklah menguji manusia tentang perkara yang sama sekali Allah tidak
memberikan kekuasaan padanya. Mereka tidak fanatik berdasarkan nama-nama, syiar-syiar,
lambang organisasi, atau kepemimpinan, namun mereka memberikan dukungan (wala’) dan
sikap permusuhan (mu’adah) berdasrkan prinsip agama dan ketakwaan.
Mereka juga tidak berta’ashub (fanatik) kecuali untuk jamaah muslimin dengan pengertiannya
yang hakiki, yakni jamaah yang dapat meninggikan panji-panji Al-Quran dan Sunnah serta
petunjuk Salaf ash-Shalesh yang diridhai Allah.
Dalam hal ini yang wajib ditolak adalah mengenai peristiwa Yazid bin Mu’awiyah dan fitnah atas
kaum muslimin dengan kasus itu. Demikian pula memecahbelah umat serta mengujinya dengan
sesuatu yang tida ada perintah dari Allah dan rasul, seperti mengatakan “Apakah Anda seorang
syakili atau qarfandi?” Bahkan nama-nama yang muncul di kalangan kaum muslimin yang
dikaitkan dengan nama Imam (fiqih) seperti pengikut Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali atau
kepada syekh-syekh seperti Al-Qadiri, Al-Adawi, dan lainnya atau nasab yang sikaitkan dengan
suku juga terhadap tempat, maka tidak boleh menguji seseorang dengan sebutan-sebutan itu.
Juga tidak boleh mengikat persahabatan dan memusuhi seseorang berdasarkan nama tersebut.
Karena makhluk yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling takwa padaNya, darimanapun
asal kelompoknya.
Maka bagaimana mungkin umat Muhammad diperbolehkan berselisih dan berpecah belah yang
membuat mereka berwala’ kepada satu kelompok dan bermu’adah kepada kelompok lainnya
hanya berdasarkan prasangka dan hawa nafsu tanpa bukti dalil dari Allah? Sedangkan Allah
telah membersihkan NabiNya dari perilaku seperti itu. Maka jelaslah perbuatan semacam itu
adalah bid’ah seperti halnya khawarij memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin dan
menghalalkan darah kaum muslimin yang menentangnya. Bagaimana mungkin kita bisa
membuat kelompok ditengah-tengah umat dengan nama-nama pembuat bid’ah yang tidak
berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul?
10. Ahli Sunnah meninjau permasalahan ilmiah dan amaliah dengan memperhatikan kerukunan
dan kesatuan
Para ulama dari kalangan sahabat, tabi’ij, dan pengikut setelah mereka, ketika mengalami
perselisihan pendapat dalam suatu masalah, mereka mengikuti perintah Allah, sebagaimana
firmanNya: “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (AnNisa 59)
Mereka saling memberikan pandangan dalam persoalan ilmiah dan amaliah dengan
memperhatikan keutuhan persatuan dan persaudaraan agama, serta terlindung dari kesalahan.
(Juz 24: 172)
PRINSIP – PRINSIP YANG DISEPAKATI AHLI SUNNAH WAL JAMA’AH
1. Aqidah Ahli Sunnah Waljama’ah tentang sifat Allah : itsbat bilaa takyif (membenarkan tanpa
mempersoalkan bentuknya) dan mensucikanNya tanpa mengingkariNya
Termasuk beriman kepada Allah adalah mengimani sifat-sifat yang ditetapkan Allah bagi diriNya
didalam kitabNya dan disebutkan oleh Rasulullah tanpa penyimpangan, pengingkaran, tanpa
menyerupakanNya dan menggambarkanNya dengan permisalan. Akan tetapi mengimani bahwa
tidak ada sesuatu apapun yang menyerupaiNya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat
(Asysyura 11)
Ahli sunnah tidak menafikkan apa apa yang telah disifati Allah bagi diriNya, tidak
menyimpangkan kalimat dari tempat sebenarnya (tidak menyimpangkan makna ayat berkenaan
dengan sifat-sifatNya sehingga maknanya tidak sesuai lagi dengan yang dikehendakiNya).
Mereka juga tidak mengingkari asma-asma Allah dan ayat-ayatNya, tidak memvisualisasikan
dan menyerupakan sifat-sifatNya dengan sifat-sifat makhlukNya. “Maha suci Rabbmu yang
mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka sifatkan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas
para Rasul, dan segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam.” (AshShaffat 180-182)
Allah swt mensucikan diriNya dari sifat-sifat rekaan orang-orang yang menentang para Rasul.
Allah telah menghimpun dalam kitabNya apa-apa yang mesti ditolak dan mesti ditetapkan
mengenai sifat-sifatNya. Oleh sebab itu pantang bagi Ahli Sunnah Waljama’ah untuk
menyimpangkan segala sesuatu yang dibawa para Rasul, karena hal itulah jalan yang lurus.
2. Ahli Sunnah Waljama’ah menetapkan aqidah mereka tentang Al-Qur’an : Al-Qur’an adalah
Kalamullah, bukan makhluk
Madhzab salaf umat dan ahli sunnah waljamaah menandaskan bahwa AlQuran adalah
kalamullah yang diturunkan, bukan diciptakan (makhluk). alQuran berasal dari Allah (ada
permulaan) dan kembali kepadaNya. Rasulullah bersadba “Bahwa Allah berkata-kata dengan
suara, memanggil Adam dengan suara...” kalimat inilah yang diyakini salaf umat dan imam-
imam sunnah.
3. Ahli Sunnah Waljama’ah meyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh siapapun di dalam
kehidupan dunia
Seluruh ucapan yang didalanya terdapat kalimat “Muhammad melihat Rabbnya dengan kedua
matanya di bumi” adalah dusta menurut kesepakatan kaum muslimin dan ulama-ulama
mereka. Ucapan seperti ini tidak diambil dari seorang ulama kaum muslimin manapun.
Demikian pula bagi siapapun yang mengklaim bahwa dia melihat Rabbnya sebelum dia mati.
Sebab ahli sunnah telah bersepakat bahwa tak satupun dari orang mukmin dapat melihat Allah
dengan kedua matanya di dunia. Hal ini dikuatkan oleh hadits shahih Muslim dari Nawwas Ibnu
Sam’an dari Nabi saw, ketika dia menyebut Dajjal, dia berkata : “dan ketahuilah olehmu bahwa
tak seorangpun dari kalian dapat melihat Rabbnya sampai dia mati.” (Juz 3: 386-389)
4. Ahli Sunnah Waljama’ah bersepakat bahwa orang-orang mukmin dapat melihat Rabbnya di
surga dengan kedua mata mereka
Orang-orang mukmin akan dapat melihat Allah dengan kedua mata di surga. Demikian juga
manusia akan melihatNya di Padang Mahsyar pada hari kiamat sebagaimana diriwayatkan
hadits-hadits Nabi yang termaktub dalam kitab shahih dan diterima oleh salaf dan disepakati
oleh ahli sunnah waljamaah.
Namun demikian hadits tersebut didustakan dan disimpangkan oleh golongan Mu’tazilah,
Rafidlah, dan sejenisnya. Mereka mendustakan sifat-sifat Allah berdasarkan ra’yu, termasuk
mendustakan mengenai melihat Allah di surga, dan yang lainnya.
Sikap Islamiah tidak mendustakan sabda Nabi yang mengatakan bahwa orang mukmin akan
dapat melihat Allah di dalam surga, dan tidak membenarkan pendapat yang mengatakan bahwa
Nabi pernah melihat Allah di dunia.
5. Ahli Sunnah Waljama’ah mengimani semua berita keadaan setelah mati yang disampaikan
Rasulullah
Termasuk beriman pada hari akhir adalah mengimani berita yang disampaikan Nabi perihal
keadaan sesudah mati. Oleh karena itu, mereka mengimani berita yang disampaikan adanya
fitnah kubur, azab kubur, nikmat kubur, hingga terjadinya kiamat kubra saat semua ruh
dikembalikan kepada jasad masing-masing. Pada saat itu manusia bangkit dari kubur mereka
untuk menghadap rabb yang menguasaii alam ini dalam keadaan tanpa busana dan belum
dikhitan. Matahari dekat sekali di atas kepala sehingga mereka bercucuran keringat karena
sengatannya. Neraca keadilan pun dipasang untuk menimbang amalan para hambaNya. Kitab
catatan amal dibentangkann, di antara mereka ada yang mengambilnya dengan tangan kanan,
dengan tangan kiri, atau dari belakang punggung mereka. Allah menghisab amalan makhlukNya,
menghadap hambaNya yang beriman, lalu mengakui dosa-dosa mereka sebagaimana tertulis di
dalam Kitabullah dan Sunnah.
Adapun amalan baik dan buruk orang-orang kafir tidak dihisab karena mereka tidak berhak
mengklaim kebaikan-kebaikan mereka, tak ada kebaikan bagi mereka. Tetapi amalan buruk
mereka langsung dihitung dan dijumlah, kemudia mereka mengakuinya,
mempertanggungjawabkannya dan mendapat balasan sesuai dengan amalan tersebut.
Di Padang Mahsyar terdapat telaga Muhammad yang didatangi umatnya, terdapat jembatan
Shirat yang dipasang di atas punggung jahanam. Jembatan yang menghubungkan antara surga
dan neraka, manusia berjalan di atasnya sesuai dengan kadar amalan masing-masing. Di antara
mereka ada yang tersambar lalu terlempar ke neraka, dan siapa yang berhasil melewati Ash-
Shirat itu, maka berhasil masuk surga. Pada saat melewati jembatan tersebut, manusia berhenti
di atasnya, diantara surga dan neraka, sebagian mereka menuntut balas atas sebagian yang lain.
Jika telah terseleksi, barulah mereka akan memasuki surga. Orang pertama yang dibukakan
pintu surga adalah Muhammad saw dan sekaligus yang pertama memasukinya. Sementara itu
yang paling pertama masuk surga di antara umat para nabi dan rasul adalah umat Muhammad.
Pada hari kiamat Rasulullah diberi hak oleh Allah berupa tiga macam syafaat : pertama, beliau
memberi syafaat pada orang-orang ketika berkumpul pada hari mahsyar sampai nasib mereka
diputuskan. Kedua, Nabi saw memberi syafaat bagi orang yang layak masuk surga untuk
memasuki surga yang dijanjikanNya. Kedua syafaat tersebut khusus dimiliki oleh Nabi. Ketiga,
Nabi memberi syafaat pada orang-orang yang sepatutnya masuk neraka. Syafaat yang terakhir
ini tidak hanya dimiliki oleh Rasulullah namun juga dimiliki nabi-nabi lain, para shidiqin, dan
yang lainnya. Rasulullah memberikan syafaat agar yang seharusnya masuk neraka terhindar
darinya, juga agar yang memasukii neraka dikeluarkan darinya. Allah mengeluarkan hambaNya
dari neraka tanpa melalui syafaat, tetapi semata-mata karena karunia dan rahmatNya. Allah
mengekalkan ahli surga di dalamnya dan memberi kelebihan bagi yang memasukinya dari
penduduk dunia. Sesungguhnya Allah berkehendak terhadap suatu kaum untuk memasuki
surga. (Juz 3: 145-148)
7. Ahli Sunnah Waljama’ah berpendapat : iman adalah ucapan dan perbuatan, dapat bertambah
dan berkurang
Termasuk prinsip yang diyakini ahli sunnah bahwa Din dan iman merupakan ucapan dan
perbuatan: ucapan hati dan lisan, serta perbuatan hati, lisan dan anggota badan. Dan
sesungguhnya iman dapat bertambah karena taat dan berkurang karena maksiat. (Juz 3: 151).
Meskipun pada sebagian tempat iman itu berbeda dari maknanya dengan amal (perbuatan)
tetapi semua amalan shaleh termasuk dalam lingkup ad-Din dan al-iman.
8. Ahli Sunnah Waljama’ah meyakini bahwa iman mempunyai ashl (pokok) dan furu’ (cabang).
Iman seseorang tidak terlepas kecuali dengan terlepasnya pokok keimanan. Oleh karenanya,
mereka tidak mengkafirkan seseorang dari ahli kiblat karena kemaksiatannya, kecuali jika
telah terlepas pokok keimanannya
Para mufasir ahli sunnah mengatakan bahwa iman memiliki pokok dan cabang yang meliputi
rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, dan mustahab (yang dibolehkan) sebagaimana terdapat
dalam ibadah haji, shalat dan yang lainnya. Kita dapat memisalkan ad-Din dan al-iman sebagai
pohon yang memiliki batang ranting, dan daun. Maka kalau pun hilang ranting dan daunnya
tetaplah disebut pohon, meskipun kurang lengkap keberadaannya.
Iman memiliki tiga tingkatan :
a. Iman yang dimiliki para pendahulu yang dekat dengan Allah. Mereka melakukan yang wajib
dan musahab, baik mengerjakannya maupun meninggalkannya.
b. Iman yang dimiliki oleh orang-orang muqtashid (tingkat menengah) dari ashabul yamin
(golongan kanan), yaitu orang-orang yang melakukan kewajiban-kewajiban, baik yang
harus dikerjakan maupun yang harus ditinggalkan.
c. Iman yang dimiliki orang-orang zhalim, yaitu orang yang meninggalkan sebagian kewajiban,
atau melakukan sebagian perbuatan terlarang.
Oleh karena itu ulama-ulama ahli sunnah beri’tiqad mereka tidak mengkafirkan seorangpun
ahli kiblat karena dosa yang dilakukannya sebagai isyarat terhadap bid’ah Khawarij yang
mengkafirkan seorang muslim karena melakukan dosa semata-mata.
Adapun pokok iman (ashlul iman) adalah mengakui dan membenarkan apa apa yang
disampaikan Rasulullah, dari Allah, dan tunduk mengikutinya. Maka siapapun yang tidak
melakukan hal itu tidaklah dia beriman.
Perlu diketahui bahwa iman terdiri dari bagian-bagian dan unsur-unsur (tab’idl dan juz’iyah).
Oleh karena itu, bagian iman sekecil apapun yang ada pada seseorang akan dapat
mengeluarkannya dari siksa neraka (atas izin Allah). artinya, tidak kekal ia di dalam neraka
selama masih ada unsur iman, meski sekecil apapun, namun demikian, kelompok Khawarij
mempunyai anggapan yang berbeda dengan ahli sunnah. Mereka beranggapan bahwa iman
harus secara keseluruhan atau sama sekali tidak memiliki iman.
Menurut ahli sunnah persaudaraan iman masih tetap berlaku dan dibenarkan meskipun
mereka bermaksiat. Orang-orang fasiq tidak berarti kehilangan iman secara keseluruhan, dan
mereka tidak kekal di dalam neraka, tidak sama dengan yang diyakini Mu’tazilah (bahwa fasiq
dapat menggugurkan iman secara total dan kekal di neraka). Maka ahli sunnah mengatakan
bahwa orang fasiq beriman dengan kualitas rendah dan dia disebut mukmin karena imannya
dan disebut fasiq karena dosanya.
9. Ahli Sunnah Waljama’ah bersepakat terhadap kemungkinan berkumpulnya antara siksa dan
pahala pada diri seseorang. Namun, mereka tidak mewajibkan siksa atau pahala pada orang
tertentu kecuali dengan dalil khusus
Sesungguhnya laknat termasuk ancaman oleh karenanya tidak ditetapkan secara umum.
Seseorang dapat terhindar dari ancaman karena melakukan taubat dengan benar, karena
kebaikan-kebaikan yang dilakukannya, karena adanya musibah yang bisa menebusny, karena
syafaat yang diterimanya, atau sebab-sebab lain yang dapat menghilangkan hukuman
(ancaman). Ini tentang orang yang melakukan dosa dengan jelas. Maka tidaklah seseorang
dinyatakan masuk surga, kecuali dengan dalil khusus. Juga tidak boleh menjadi saksi atas
mereka semata-mata berdasarkan prasangka, sebab mereka termasuk dalam kategori umum.
Ahli sunnah waljamaah telah bersepakat atas berhimpunnya dua perkara, siksa dan pahala,
pada kebanyakan manusia, sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits mutawatir dari Nabi.
Mereka tidak mewajibkan siksa terhadap orang yang melakukan dosa besar, juga tidak
menyatakan terhadap seorang muslim tertentu, berdasarkan kesaksian matanya, patut masuk
neraka karena dosa mereka. Karena boleh jadi, Allah memasukkan mereka ke dalam surga
tanpa disiksa terlebih dahulu. Hal itu disebabkan kebaikan-kebaikan yang dilakukannya dapat
menghapus dosa, atau karena musibah yang dapat menebusnya, atau karena doa mustajab
yang diucapkannya atau diucapkan orang lain. (Juz 12: 480)
10. Ahli Sunnah Waljama’ah mencintai dan mendukung sahabat Rasul, ahlul bait, dan istri-istri
Rasul tanpa meyakini adanya kema’shuman terhadap siapapun kecuali Rasulullah
Termasuk pokok aqidah ahli sunnah waljama’ah adalah menjaga keselamatan hati dan lisan
mereka dari tuduhan terhadap sahabat Rasulullah. Ahli sunnah menerima kitabullah, sunnah,
dan ijma’ sesuai keutamaan dan martabat mereka. Oleh karenanya, mereka lebih
mengutamakan orang-orang yang membelanjakan hartanya dan berperang di jalan Allah
sebelum ‘kemenangan’, perjanjian Hudaibiyah, daripada orang-orang yang membelanjakan
hartanya dan berperang di jalan Allah sesudah masa itu. Mereka mendahulukan kaum
Muhajjirin terhadap Anshar. Mereka mengimani bahwa Allah berfirman kepada Ahli Badr yang
berjumlah 300 orang lebih : “Kerjakanlah apa yang kalian suka, Aku telah mengampuni dosa
kalian”. Mereka mengimani bahwa tak ada seorangpun yang berbai’at di bawah pohon Ridlwan
masuk neraka.
Berdasarkan hal ini mereka menyatakan masuk surga kepada seseorang yang dinyatakan masuk
surga oleh Rasulullah. Mereka mengetahui berita yang mutawatir dari amirul mukminin Ali bin
Abi Thalib dan lainnya bahwa sebaik-baik umat ini sesudah Nabinya adalah Abu Bakar,
kemudian Umar bin Khathab. Mereka mengakui kedua sahabat itu adalah khalifah sesudah
Rasulullah, termasuk Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah sesudah mereka.
Mereka mencintai dan mendukung ahlul bait dan istri-istri Rasul sebagai ummahatul mukminin.
Dan mengimani bahwa istri-istri beliau akan tetap menjadi istri beliau di akhirat kelak,
khususnya Khadijah binti Khuwailid dan Aisyah binti Ash-Shidiq.
Ahli sunnahh tetap teguh dalam melihat perselisihan di antara para sahabat. Mereka
mengatakan bahwa para shahabat dimaafkan Allah, baik mereka melakukan ijtihad dengan hasil
yang benar maupun salah. Tetapi mereka tidak meyakini bahwa shahabat itu ma’shum dari
dosa.
Sahabat merupakan sebaik-baik makhluk setelah para Nabi. Tidak ada dan tidak akan terjadi
generasi seperti mereka, sebab mereka merupakan generasi yang paling terpelihara dari umat
ini, sebaik-baik umat dan semulia-mulia umat di sisi Allah. sabda Rasul : “Mereka adalah sebaik-
baik generasi”.
11. Ahli Sunnah Waljama’ah membenarkan adanya karomah para wali dan kejadian-kejadian luar
biasa yang diberikan Allah kepada mereka
Termasuk pokokkeyakinan ahli sunnah adalah membenarkan adanya karomah para wali dan
kejadian-kejadian yang diberlakukan Allah pada mereka dalam berbagai ilmu, temuan,
kemampuan, dan pengaruh-pengaruh mereka. Hal demikian telah diriwayatkan sejak umat
terdahulu, seperti yang terdapat dalam AlQur’an Surah Al-Kahfi dan lainnya sampai pada para
sahabat, tabi’in dan seluruh generasi umat ini, dan akan tetap ada sampai hari kiamat. (Juz 3:
156)
12. Ahli Sunnah Waljama’ah bersepakat untuk memerangi siapapun yang keluar dari syariat
Islam, sekalipun ia mengucapkan dua kalimat syahadat
Telah ditegaskan dalam Kitabullah, Sunnah dan ijma’ umat bahwa siapapun yang keluar dari
syariat Islam berhak diperangi sekalipun mengucapkan dua kalimat syahadat. Memerangi
mereka merupakan kewajiban yang harus didahului dengan penyampaian dakwah Nabi kepada
mereka. Maka jika mereka mendahului memerangi kaum muslimin, haruslah mereka diperangi.
Jika musuh hendak menyerang kaum muslimin, mereka wajib membela diri, sementara kaum
muslimin lainnya memberi pertolongan sesuai kemampuan masing-masing. Hal ini seperti yang
telah diperlihatkan pada Perang Khandaq yang tak seorangpun dari mereka diizinkan untuk
tidak ikut berjihad membela agama, jiwa, dan kehormatan.
13. Ahli Sunnah Waljama’ah berperang bersama pemimpin-pemimpin mereka, baik pemimpin
yang baik maupun yang durhaka demi menegakkan syariat Islam
Termasuk pokok keyakinan ahli sunnah waljama’ah adalah berperang bersama orang yang baik
dan fajir. Sebab Allah memperkuat Dinul Islam diantaranya dengan orang-orang fajir dan orang-
orang yang tidak berakhlak, sebagaimana diberitakan oleh Nabi. Maka dalam situasi seperti ini
ada dua alternatif yang harus dihadapi setiap muslim, tidak mau berperang bersama mereka
sehingga muncul kekuasaan lain yang akan membawa mudharat lebih besar dalam ad-Din dan
dunia. Atau berperang bersama mereka (pemimpin yang fajir) sehingga dapat mengalahkan
orang-orang yang lebih fajir, sehingga sebagian besar syari’at Islam bisa ditegakkan, meskipun
tidak seluruhnya. Maka dalam hal ini pilihan kedua lah yang dipilih. Bahkan kebanyakan
peperangan yang terjadi sesudah masa Khulafaur Rasyidin dalam bentuk seperti ini.
PERKARA – PERKARA YANG DIPERSELISIHKAN DI KALANGAN AHLI SUNNAH WALJAMA’AH
1. Di antara ahli sunnah berselisih tentang Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, mana yang
lebih utama diantara kedua sahabat itu, sedangkan perihal Abu Bakar dan Umar mereka
sepakat menerimanya. Ada kelompok yang mendahulukan Utsman sbagai khalifah setelah
Abu Bakar dan Umar, dan menomorempatkan Ali bin Abi Thalib, sementara sebagian yang
lain diam. Sebagian lagi mendahulukan Ali bin Abi Thalib dan sebagian tidak memberi
komentar. Ahli sunnah mendahulukan Utsman.
Masalah Utsman dan Ali bukanlah masalah prinsip yang dapat menyesatkan penentangnya,
menurut jumhur Ahli Sunnah. Tetapi persoalan yang dapat menyesatkan adalah mengenai
khilafah. Sebab ahli sunnah mengimani bahwa khalifah setelah Rasulullah wafat adalah Abu
Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Maka barangsiapa mengingkari kekhalifahan salah satunya,
dialah orang yang lebih sesat dari keledai piaraannya.
2. Apa yang dikatakan oleh sebagian Salaf, sebagian ulama, atau sebagian manusia yang dapat
dikatakan benar sebagai objek ijtihad, atau sebagai Madhzab bagi yang mengatakannya.
Sekalipun masalah tersebut lebih banyak kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip Sunnah,
namun jika ada sementara orang yang yang menentangnya tidaklah dihukum sebagai
pembuat bid’ah. Sebagai contoh masalah kenikmatan pertama yang dianugerahkan Allah
kepada hambaNya. Masalahini menimbulkan perselisihan di kalangan ahli sunnah, namun
hanya bersifat lafzhi. Sebab letak persoalannya adalah apakah kelezatan yang disusull
kepedihan itu dapat disebut sebagai kenikmatan atau bukan.
3. Aisyah ummul mukminin berbeda pendapat dengan Ibnu Abbas dan para sahabat lainnya
mengenai persoalan: Muhammad saw melihat Rabbnya. Aisyah mengatakan bahwa
barangsiapa mengakui Muhammad saw melihat Rabbnya, maka ia telah berdusta besar
terhadap allah. sedangkan jumhur umat mengikuti pendapat Ibnu Abbas, tetapi mereka
tidak memvonis sebagian penentangnya, yang menyetujui Aisyah, sebagai pelaku bid’ah.
Aisyah juga mengingkari perihal orang yang mati dapat mendengar doa orang yang hidup.
Ketika dikatakan kepadanya bahwa nabi bersabda : “Kalian tidak lebih mendengar apa yang
kukatakan daripada mereka,” maka Aisyah ra berkata, “sesungguhnya beliau hanya
mengatakan ‘sesungguhnya mereka mengetahui sekarang bahwa apa yang aku katakan
kepada mereka adalah benar’”. Meskipun demikian tidak ada keraguan bahwa orang yang
mati dapat mendengar bunyi sandal, sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits
Rasulullah “Tidaklah seseorang melewati kubur orang yang dikenalnya, lalu memberi salam
kepadanya, melainkan Allah mengembalikan ruhnya hingga ia menjawab salam itu.” Hadits
tersebut benar dari Rasulullah tetapi Aisyah ra mentakwilkannya (semoga Allah ridha
kepadanya).
Demikian juga Mu’awiyah. Ia meriwayatkan tentang mi’raj dengan mengatakan bahwa nabi
saw melakukan mi’raj dengan ruhnya. Tetapi, orang-orang berpendapat lain dengannya. Abu
Bakar dan Umar, sebagai pemimpin kaum muslimin, sering berbeda pendapat dalam banyak
hal tetapi yang mereka maksudkan adalah kebaikan. Ketika menghadapi Quraidlah, Nabi
bersabda kepada para sahabatnya: “Janganlah seseorang melakukan shalat ashar kecuali di
perkampungan Bani Quraidlah”. Maka tibalah waktu ashar, dan sebagian sahabat tidak
mengerjakan shalat ashar sampai habis waktunya, tetapi sebagian yang lain mengatakan
“Nabi tidak meyuruh kita menta’khirkan shalat” dan mereka pun shalat di perjalanan.
Ternyata Nabi tidak mencela seorangpun dari kedua kelompok tersebut. Meskipun
perselisihan semacam ini bukan merupakan prinsip penting, namun tetap digolongkan
dalam masalah hukum.
4. Kaumm muslimin bersepakat bahwa barangsiapa yang tidak mengucapkan dua kalimat
syahadar tergolong kafir. Adapun mengenai amalan-amalan yang empat (shalat, zakat,
puasa, haji) diantara mereka berselisih pendapat soal kafir tidaknya jika meninggalkannya.
Sedangkan yang dimaksud ahli sunnah sepakat tidak mengkafirkanseseorang yang berbuat
dosa dalam hal ini adalah perbuatan maksiat seperti zina dan minum arak.
5. Mereka pun berselisih mengenai batal tidaknya wudlu seseorang karena keluar darah
disebabkan bekam, luka, mimisan, atau muntah. Mengenai hal ini ada dua pendapat
mahsyur. Telah diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau berwudlu karena hal itu demikian pula
sebagian besar sahabat. Namun ada riwayat yang shahih yang mengatakan bahwa Nabi
mewajibkan berwudlu karena hal itu. Bahkan pernah terjadi pada para sahabat dalam
peperangan, mereka melakukan shalat tanpa wudlu meski penuh darah dari luka-luka
mereka. Oleh karena itu sebagian ulama berpendapat bahwa mengulangi wudlu karena
keluarnya darah adalah mustahab. Begitu pula mengenai memperbaharui wudhu karena
menyentuh kemaluan dan menyentuh wanita bukan mahrom dengan syahwat adalah
terhukum mustahab bukan wajib. Demikian juga halnya dengan memperbaharui wudlu
karena tertawa terbahak-bahak atau karena makan daging bakar, hal itu terhukum
mustahab. Maka barangsiapa berwudlu akan lebih baik dan yang tidak melakukannya
tidaklah menjadi soal.
Demikian juga banyak terjadi perselisihan dalam soal waris, seperti yang menyangkut hak
seorang kakek, orang musyrik, dan lainnya. Juga dalam hal thalaq, ila’, shalat, puasa, dan
haji. Perselisihan juga timbul dalam perkara ziarah kubur, di antara mereka ada yang
menghukum makruh secara mutlak ada pula yang membolehkannya. Ada juga yang
membolehkan ziarah kubur jika disertai dengan ketetapan syariat.
Mereka pun berselisih tentang cara mengucapkan salam kepada nabi saw. apakah
mengucapkannya di masjid dengan menghadap kiblat atau menghadap kamar? Apakah
berdiri mendoakannya setelah salam atau tidak perlu? Termasuk didalamny
memperselisihkan manakah yang lebih utama : Masjidil Haram atau Masjid Nabawi?
CIRI – CIRI UMUM GOLONGAN YANG MENINGGALKAN AHLI SUNNAH WALJAMA’AH
8. Mengkafirkan dan menuduh fasik penentang mereka dalam ijtihad dan takwil
Orang-orang yang menyempal dari as-sunnah tidak mau menerima ijtihad dan takwil
yang bertentangan dengan mereka. Bahkan mereka cenderung meninggalkan sunnah
dengan mengikuti keyakinan batil : mengkafirkan dan menuduh fasik para penentang
mereka. Kemudian menmpatkan hal itu sebagai hukum yang mereka ada-adakan untuk
menghalalkan darah, harta, dan kehormatan lawan mereka.
Menurut sunnah dan ijma’, ahli bid’ah lebih buruk dibandingkan ahli maksiat yang
memperturutkan hawa nafsunya. Sesungguhnya dosa ahli maksiat disebabkan karena
melanggar sebagian larangan Allah, seperti mencuri, berzina, minum khamr, dan
memakan harta dengan jalan bathil. Sedangkan dosa-dosa ahli bid’ah disebabkan karena
meninggalkan apa-apa yang diperintahkan Allah (syariat), seperti mengikuti sunnah dan
jamaah mukminin. Bila perbuatan semacam ini disertai i’tiqad yang diharamkan seperti
mengkafirkan orang lain, menuduh fasik, dan menganggap orang Islam yang berdosa
kekal di neraka, maka dalam hal ini kedudukan mereka terhadap ahli sunnah bagaikan
orang kafir terhadap mukmin.
Yang menyebabkan munculnya Khawarij adalah sikap dan tindakan yang dilakukan
Amirul Mukminin Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalin bersama para pengikut mereka
dalam hal-hal yang dapat ditakwilkan. Kemudian mereka tidak mau menerimanya dan
menganggap ijtihad, bahkan kebaikan-kebaikan, sebagai dosa, dan menganggap
perbuatan dosa sebagai kekafiran.
Pokok kesesatan mereka adalah menganggap bahwa pada Imam dapat mendapat
petunjuk dan jamaah kaum muslimin telah keluar dari sifat keseimbangan (lurus dan
benar) serta sesat. Inilah dasar pijakan mereka yang meninggalkan sunnah seperti
Rafidlah dan lainnya. Mereka menganggap kezhaliman sebagai kekafiran, dan
menetapkan hukum yang mereka ada-adakan. Inilah tiga tingkatan orang sesat dalam
Islam. Pada setiap tingkatan mereka meninggalkan sebagian pokok Dinul Islam sehingga
kesesatan mereka bagaikan meluncurnya anak panah dari busurnya.
10. Mereka keluar dari sunnah dan jama’ah, serta menuduh ahli sunnah dengan cara
zhalim, keji, dan permusuhan
Orang-orang yang menyempal dari as-sunnah bertindak mendahului ketentuan Allah
dan Rasul-Nya sehingga mereka keluar dari sunnah. Lalu mereka keluar dari jamaah.
Pada hal yang pertama disebabkan mereka gegabah menuduh ahli suunnah dengan cara
keji, zhalimm, dan sikap permusuhan.
Awal munculnya bidah dalam Islam dan yang paling menampakkan celaan terhadap
sunnah dan atsar adalahbid’ah Hururiyah yang sesat. Keluarnya mereka dari sunnah
karena menganggap sesuatu yang baik sebagai sesuatu yang buruk, dan sebaliknya.
Mereka membenarkan yang tidak diakui sunnah dan menolak apa-apa yang
dikuatkannya.
Golongan Khawarij menganggap mungkin Rasulullah bisa berbuat zhalim dan sesat
dalam sunnahnya, serta tidak wajib mentaati dan mengikutinya. Mereka membenarkan
apa yang disampaikannya yang bersumber dari AlQur’an tanpa membenarkan syariat
yang bersumber dari sunnah.
Kedua, ciri yang terdapat pada Khawarij dan ahli bidah lain, yaitu mengkafirkan para
pelaku dosa dan kesalahan. Bahkan mereka menghalalkan darah, harta, dan kehormatan
kaum muslimin. Mereka menganggap darul Islam sebagai darul hurb (daerah perang)
sementara daerah mereka adalah darul iman.
Sehingga kaum muslim sebaiknya berhatihati terhadap kedua pokok bidah yang kotor itu
dan terhadap apa-apa yang lahir dari keduanya. Termasuk didalamnya kebencian,celaan,
dan kutukan serta penghalalan darah dan harta mereka.
Maka barangsiapa menentang sunnah yang telah disyariatkan terhukum bidah dan
keluar dari sunnah. Dan barangsiapa mengkafirkan kaum muslimin berdasarkan dosa
yang dilihatnya dalam masalah agama atau bukan, kemudian menganggapnya kafir,
meka dia telah memisahkan diri dari jamaah. Pada umumnya bidah dan hawa nafsu
terlahir dari kedua pangkal titik tersebut.
HUKUM ORANG – ORANG YANG MENENTANG SUNNAH
b. Di antara mereka ada yang menentang sunnah karena ijtihad yang keliru atau
takwil yang jauh
Orang yang menentang sunnah, di antara mereka ada yang membela sunnah di
hadapan musuh-musuhnya. Akan tetapi kadang mereka menyalahi sunnah
karena ijtihad yang keliru atau takwil yang jauh. Sehingga pada mereka terkumpul
dua perkara sekaligus sunnah dan bid’ah. Tetapi hal ini dimaafkan, khususnya jika
panji sunnah tidak tampak jelas dan terang.
Ada beberapa kelompok dalam hal ini, yaitu kelompok yang menyalahi prinsip
besar dalam sunnah, kelompok yang menyalahi sunnah dalam perkara yang
rumit, dan ada juga yang menolak golongan lain yang lebih jauh dari sunnah,
tetapi dalam penolakan tersebut mereka melampaui batas karena mengingkari
sebagian kebenaran dan mengatakan sebagian kebatilan. Mereka menolak bid’ah
besar dengan bid;ah yang ringan. Inilah keadaan mayoritas ahli kalam yang
menasabkan diri pada ahli sunnah wal jamaah. Jika yang mereka ucapkan tidak
dijadikan landasan untuk bersahabat atau bermusuhan dan memecah jamaah
muslimin maka hal ini termasuk jenis kekeliruan, sedangkan Allah mengampuni
kekeliruan semacam ini.
Terkadang kebaikan berdampingan dengan keburukan, baik yang diampuni
maupun yang tidak diampuni. Terkadang sulit untuk memilih syariat yang murni
bersih dari bid’ah. Karena tidak ada yang menunjukannya baik secara ilmu
maupun amaliah. Apabila tidak diperoleh cahaya yang murni maka tidak patut
seseorang mencela karena telah mengambil cahaya yang telah tercampur dengan
keburukan.
Prinsip ini dimaksudkan agar seseorang menempatkan cela dan aib yang melekat
pada kaum salaf dan para ulamanya pada proporsi yang sebenarnya. Agar dia
tahu bahwa penyimpangan dari kesempurnaan khilafah berdasarkan manhaj
nubuwwah dibenarkan menurut syara’. Karena kealpaan atau sikap permusuhan
dengan melakukan keburukan. Karena keterpaksaan atau kemauan sendiri. Bagi
setiap orang yang lemah yang tidak mampu melakukan kebaikan dengan
sempurna sehingga melakukan sebagian keburukan dengan terpaksa maka hal ini
dimaafkan.
Sesungguhnya agama melahirkan kebaikan dan berbagai kemaslahatan disamping
menghilangkan segala bentuk kejahatan dan kerusakan. Seringkali dua hal ini
berkumpul sehingga janganlah dilupakan bahwa cela dan hukuman dapat muncul
dari kebaikan atau pujian dapat muncul dari keburukan. Misalnya seseorang
dapat dipuji karena dapat meninggalkan dosa dan bid’ah, dia juga dapat dipuji
karena kebaikan yang dilakukannya. Barangsiapa berjalan diatasnya mereka telah
menegakkan keadilan. Dan Allah telah menurukan alkitab serta neraca keadilan
agar manusia menegakkannya.
4. Munafiq zindiq
Orang-orang yang menyalahi sunnah di antara mereka ada yang tergolong munafiq
zindiq, yang menyembunyikan kekufuran, dendam, dan kemurkaan pada kaum
muslimin.
Sesungguhnya orang yang mengerjakan sholat namun menyimpan sifat kufur
terhadap sesuatu persoalan, maka tidaklah dia melakukan sholat kecuali sebagai
munafiq. Jika demikian, maka pada ahli bid’ah terdapat orang munafiq zindiq, dia
kafir. Orang seperti ini banyak dijumpai di kalangan Rafidlah dan Jahmiyah.
Jumhur kaum muslimin tidak mengenal lawan Sunni kecuali Rafidlah. Maka jika ada
seorang dari mereka berkata “aku sunni’ berarti dia bukan Rafidlah.
Kaum Rafidlah keluar dari ketaatan dan jamaah serta memerangi kaum mukmin dan
mu’ahid, mereka menganggap tidak penting mentaati pemimpin kaum muslimin,
mereka berperang karena fanatisme, dan pada hati mereka tersimpan dendam dan
kemarahan terhadap kaum muslimun, merekalah manusia yang paling gigih
memecah belah jamaah kaum muslimin.
Barangsiapa di antara umat berwalikan orangkafir dari golongan musyrik atau ahli
kitab dan sebagian jenis muwalah serta mengikuti satu hal dari perkataan mereka
yang bathil, maka pantas mendapat celaan dan hukuman nifaq sesuai ukuran
perbuatannya.
Barangsiapa berwalikan mereka (baik semasa hidup atau sesudah mati, disertai
kecintaan dan ta’zhim serta muwafaqah) maka termasuklah golongan mereka. Sama
halnya dengan orang-orang yang mendukung musuh Ibrahim, seperti golongan
Kildaniyah. Termasuk mereka yang mendukung musuh Musa, dari kalangan Fir’aun.
Termasuk didalamnya mereka yang menyetujui Shabi’ah dan filosof yang
membincangkan perihal Khaliq dan RasulNya. Tidak diragukan lagi sekalipun
kekufuran mereka tampak jelas, namun sesungguhnya mereka berada dalam Islam.
Mereka yang mencampurkan kebenaran yang dibawa para Rasul Allah dengan
kebatilan yang dibawa musuh mereka, mayoritas dari golongan musta’khirin.
Maka perlu diketahui bahwa kelompok tersebut termasuk munafik, atau memiliki
sifat munafik, sekalipun mereka bersama kaum muslimin. Karena orang yang muslim
secara lahiriah tidaklah menjadi halangan baginya menjadi munafik secara batiniah.
Jumlah mereka lebih banyak dan lebih jahat kedudukannya pada masa sekarang ini,
terlebih lagi penyebab kemunafikan adalah menjadi penyebab kekufuran, yakni
menentang ajaran yang dibawa para Rasul Allah.
Berdasarkan pernyataan tersebut maka kebanyakan ahli bid’ah adalah orang
munafik yang mengidap sifat nifak yang besar dan mereka adalah orang kafir yang
diancam dengan siksa api neraka. Alangkah banyaknya hal itu terjadi pada golongan
Rafidlah, Jahmiyah, yang merupakan golongan munafik zindiq.
Untuk memastikan golongan yang disifati sebagai salah satu dari 72 golongan diperlukan
dalil. Karena Allah mengharamkan perkataan tanpa didukung ilmu secara umum dan mengharamkan
perkataan terntang Allah tanpa didukung ilmu secara khusus. Dalam menentukan firqah yang
menentang as-Sunnah, ahli sunnah waljamaah mengelompokkannya menjadi empat atau ilma
kelompok, yaitu Khawarij, Rafidlah, Qadariyah, Murji’ah, dan Jahmiyah.
Telah berkata Abdurrahman bin Mahdi: “Ada dua golongan yang perlu diwaspadai, yaitu
Jahmiyah dan Rafidlah. Keduanya merupakan kelompok terjahat ahli bid’ah” (Juz 35:414)
Untuk menentukan golongan yang binasa, kami memegang pembicaraan yang pertama kali
dilontarkan Yusuf bin Asbath dan Abdullah Ibnul Mubarak. Mereka adalah imam yang agung dari
kalangan kaum muslimin. Kedua imam tersebut pernah berkata bahwa pokok-pokok bid’ah ada
empat, yaitu Rafidlah, Khawarij, Qadariyah, serta Murji’ah. Dikatakan kepada Ibnul Mubarak:
“bagaimana tentang Jahmiyah?”, beliau pun menjawab “mereka tidak termasuk umat Muhammad”,
beliau pernahberkata “sungguh kami bisa berkisah tentang perkataan Yahudi dan Nasrani, tetapi
tentang perkataan Jahmiyah kami tidak bisa menceritakannya.” Pendapat Ibnul Mubarak itu diikuti
oleh kelompok ulama dari pendukung Imam Ahmad dan selain mereka. Ulama-ulama tersebut
mengayakan : “Sesungguhnya Jahmiyah adalah kafir. Mereka tidak termasuk ke dalam 72 golongan,
sebagaimana halnya kaum munafik yang tidak masuk kedalam golongan tersebut, yang
menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keislaman mereka, sedangkan mereka adalah
zindiq”. Pendukung Imam Ahmad lainnya berkata: “Jahmiyah termasuk kedalam 72 golongan.” Dan
mereka menjadikan pokok pangkal bid’ah itu ada lima.
Manusia yang membagi bid’ah menjadi beberapa bagian. Diantara mereka ada yang
membagi berdasarkan waktu kejadiannya, dalam hal inimereka memulai dengan Khawarij. Ada pula
yang membaginya menurut berat dan ringan perbuatan bid’ah mereka. Kelompok ini memulai dari
Murji’ah dan berakhir sampai Jahmiyah, sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat Imam
Ahmad. Kelompok ini menempatkan Jahmiyah pada urutan terakhir karena jahmiyah merupakan
pelaku bid’ah terberat. Hal ini sama dengan Bukhari dalam shahihnya, ia menempatkan Murji’ah
(menurut kitab Al-Iman) pada urutan pertama, dan (menurut kitab At-Tauhid) menempatkan
Jahmiyah pada urutan terakhir.
1. KHAWARIJ
Khawarij merupakan golongan pertama yang keluar dari Sunnah dan jamaah.
Kaum muslimin telah bersepakat dalam persoalan kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin
Khathab. Hingga pada akhir pemerintahan Utsman bin affan terjadilah perselisihan yang
menyebabkan perpecahan di kalangan mereka. Muncullah pada mas itu segolongan penyebar fitnah
dan kezhaliman yang membunuh Utsman, shingga kaum muslimin menjadi terpecah belah setelah
itu. Tatkala terjadi perang saudara antar kaum muslimin, tepatnya Perang shiffin, di antara kesua
belah pihak bersepakat untuk mengangkat dua orang juru bicara sebagai pendamai. Maka ketika itu
muncullah golongan Khawarij yang keluar dari barisan Ali, mereka tidak mengakui Ali sebagai amirul
mukminin. Mereka memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin, menuju suatu tempat yang
terkenal dengan nama Harura’. Amirul Mukminin membiarakan mereka seraya berkata: “Kalian
tetap berhak mendapatka fa’i, dan kami tidak melarang kalian memasuki masjid-masjid.” Pada
akhirnya mereka menghalalkan darah dan harta kaum muslimin. Mereka pun membunuh Abdullah
bin Khabbab dan menyerang kawasan ternak kaum muslimin. Maka tahulah Ali bahwa mereka
adalah sebuah kelompok sebagaimana disebutkan Rasulullah dalam sebdanya:
“Seseorang dari kamu akan meremehkan shalatnya bersama shalat mereka, dan puasanya
bersama puasa mereka, dan bacaannya bersama bacaan mereka. Mereka membaca AlQur’an tetapi
tidak sampai melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak
panah dari busurnya. Seorang pendatang dari kalangan mereka tangannya cacat, tumbuh gumpalan
daging penuh dengan rambut.”
Dalam riwayat lain disebutkan: “Mereka membunuh pengikut Islam, sementara membiarkan
pada penyembah berhala bebas lalu lalang.”
Kemudian Ali berkhutbah dan memberi tahu orang-orang tentang apa-apa yang didengarnya
dari Rasulullah, beliau berkata: “Merekalah kaum yang menumpahkan darah yang diharamkan dan
menyerbu kerumunan manusia.” Kemudian Ali memerangi mereka.
Bid’ah-bid’ah pertama (seperti bid’ahnya Khawarij) tak lain hanyalah karena pemahaman
mereka yang keliru terhadap AlQur’an, mereka tidak bermaksud menentangnya, namun di dalam
memahaminya tidak mengikuti dalil yang semestinya. Sehingga mereka menyangka ada keharusan
untuk mengkafirkan para pelaku dosa. Mereka beralasan jika seorang mukmin tentulah ia baik dan
bertakwa. Mereka berkata “siapapun yang tidak berbuat baik dan bertakwa maka ia kafir dan kekal
di dalam neraka.” Mereka juga berkata “Utsman dan Ali beserta siapa saja yang mendukung
kepemimpinan mereka, bukanlah orang beriman, karena mereka telah bertahkim kepada selain yang
diturunkan Allah.” Oleh karena itu, bid’ah mereka memiliki dua alasan : 1) siapa yang menyalahi Al
Qur’an dengan amal atau pendapat yang salah maka ia telah kafir. 2) Utsman dan Ali serta para
pengikut mereka termasuk kafir.
Sehingga wajib bagi kita untuk menghindari pengkafiran terhadap seorang muslim karena
semata-mata melakukan dosa dan kesalahan, sebab hal tersebut merupakan bid’ah pertama yang
muncul di dalam Islam. Pembuat bid’ah ini mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah
serta harta mereka. Dan telah diriwayatkan oleh sejumlah hadist shahih dari Nabi tentang seruan
untuk mencela tindakan mereka dan memerangi mereka. Imam muslim telah mengeluarkannya
dalam kitab shahihnya dan Bukhari mengeluarkan sepenggal darinya.
Golongan khawarij tidak berpegang pada tuntunan sunnah, kecuali jika dapat ditafsiri secara
global dan menurut mereka tidak bertentangan dengan zhahir Qur’an. Mereka tidak menetapkan
hukum rajam bagi pezina, dan menganggap tidak perlu adanya nisab dalam pencurian. Mereka
berpendapat bahwa di dalam Al-Quran tidak ada hukuman bunuh untuk orang murtad. Murtad
menurut khawarij ada dua jenis, menurut riwayat orang-orang tentang mereka, bukan dari kitab
tertulis.
Apabila telah diketahui pokok pangkal bid’ah maka pokok perkataan khawarij adalah bahwa
mereka mengkafirkan muslim karena perbuatan dosanya dan menganggap sesuatu yang bukan dosa
menjadi dosa. Mereka hanya mau mengikuti Al-Quran tanpa mau mengikuti sunnah yang menyalahi
zhahir Al-Quran, sekalipun bertaraf mutawatir, dan mengkafirkan siapapun yang menyalahi
pendapat mereka. Mereka menghalalkan milik orang Islam karena menurut mereka telah murtad,
sesuatu yang tidak mereka halalkan dari orang kafir asli. Rasulullah bersabda tentang hal ini
:”Mereka membunuh orang Islam, tetap membiarkan bebas para penyembah berhala”. Khawarij
juga mengkafirkan para pengikut perang Shiffin dari kedua belah pihak, dan masih banyak pendapat
mereka yang lain yang lebih jahat dari itu.
Awal mulanya timbul bid’ah dan tafaruq dalam Islam adalah setelah terbunuhnya Utsman dan
perpecahan kaum muslimin. Ketika Ali dan Mu’awiyah bersepakat atas tahkim, kaum Khawarij
menentangnya. Mereka berkata: “Tidak ada hakim kecuali Allah. tidak ada hukum kecuali milik
Allah”. kemudia mereka memisahkan diri dari jamaatul muslimin dan diutuslah seseorang oleh Ibnu
Abbas kepada mereka untuk berdebat. Maka separo dari mereka kembali sedangkan lainnya tetap
menyerang kaum muslimin dan menumpahkan darah mereka. Lalu mreka membunuh Ibnu Khabbab
seambil berkata :”kami semualah yang membunuhnya”. Ali pun memerangi mereka.
Akar madhzab mereka adalah pengagungan terhadap Al-Quran dan tuntutan adar
mengikutinya. Akan tetapi mereka keluar dari sunnah dan jamaah. Mereka tidak mau mengikuti
sunnah yang mereka anggap bertentangan dengan Al-Quran, sehingga mereka sesat. Mereka
menganggap bahwa Nabi saw mungkin saja melakukan kezhaliman, sehingga mereka tidak
mematuhi hukum Nabi saw dan imam-imam sesudahnya.
Mereka mengatakan pengikut Utsman dan Ali telah berhukum kepada selain Allah seraya
mengutip QS Al-Maidah ayat 44. Dengan dalil inilah mereka mengkafirkan kaum muslimin.
Dalam mengkafirkan kaum muslimin, mereka (demikan dengan ahli bid’ah yang lainnya),
berdasarkan pada dua alasan yang batil, pertama, golongan ini menyalahi (menentang) Al-Quran dan
kedua, barangsiapa menentang Al-Quran mereka harus dikafirkan sekalipun kasalahan dan dosanya
masih disertai pengakuan terhadap wajib dan haramnya.
3. MURJI’AH
Murji’ah lahir sebagai reaksi atas paham – paham Khawarij tentang iman dan kufur.