Vous êtes sur la page 1sur 45

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar belakang


Hidung merupakan organ yang merupakan salah satu indera manusia, berfungsi sebagai
organ penciuman. Di samping itu hidung secara faal juga sebagai pintu gerbang saluran
pernapasan yang berfungsi sebagai proteksi jalan napas.
Gejala penyakit hidung dapat lokal maupun sistemik. Gejala gejala lokal dapat berupa
rinorrhea, kongestif, perdarahan, nyeri, anosmia atau perubahan penghidu lain serta sekret
post-nasal. Penyakit sistemik dapat bermanifestasi dengan gejala dan perubahan jaringan
hidung yang nyata.
Berdasarkan teori struktural, evolusioner dan fungsional, secara fisiologi hidung dan
sinus paranasal memiliki fungsi diantaranya; fungsi respirasi, penghidu, fonetik serta fungsi
statik dan mekanik dan refleks nasal. Fungsi tersebut dapat mengalami gangguan apabila
terjadi kerusakan atau ada sumbatan pada hidung.
Rinorrhea bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan suatu gejala yang ditimbulkan dari
penyakit tertentu. Rinnorhea dapat terjadi pada satu maupun keduan rongga hidung dengan
konsistensi cair atau kental dan berwarna jernih, kehijauan atau bercampur darah. Ada
beberapa penyakit yang memiliki gejala berupa rinorrhea atau keluarnya cairan dari dalam
hidung, yaitu akibat peradangan, adanya massa, trauma dan lainnya.

I.2. Tujuan
Tujuan penulisan laporan ini yaitu:
1. Sebagai pra-syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik di SMF RSUP Persahabatan
Jakarta.
2. Menambah ilmu dan wawasan serta membuka pikiran tentang ilmu kesehatan telinga
hidung dan tenggorok khususnya cairan atau sekret yang keluar dari hidung, meliputi
definisi, etiologi, tanda dan gejala, penegakkan diagnosis, dan penatalaksanaan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi Hidung


II.1.1 Hidung Luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar
menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar dibedakan
atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya
terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ; dan yang paling bawah adalah
lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan
bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
1. pangkal hidung (bridge)
2. batang hidung (dorsum nasi)
3. puncak hidung (hip)
4. ala nasi
5. kolumela
6. lubang hidung (nares anterior)

Gambar 1 Anatomi Hidung Luar8

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari:
1. tulang hidung (os nasal)
2. prosesus frontalis os maksila
3. prosesus nasalis os frontal
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu
1. sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2. sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (ala mayor)
3. tepi anterior kartilago septum

II.1.2 Hidung Dalam2


Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os. internum di
sebelah anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka
media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan
meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus
media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior.

Gambar 2 Anatomi Hidung Dalam9


1. Septum nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior
dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum
(kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior
oleh os vomer, krista maksila , krista palatine serta krista sfenoid.
2. Kavum nasi3
Kavum nasi terdiri dari:
1. Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal os
palatum.
2. Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus
frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap
hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen
n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan
menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior.
3. Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os
lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid,
konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial.
4. Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka. Celah antara konka
inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior, celah antara konka media dan
inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus
superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas.
Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis os
etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada
maksila bagian superior dan palatum.
3. Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum
dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid posterior
bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya
bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat
resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.
4. Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas
dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus
frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang
letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit
yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan
sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan
hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan
yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas
infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu
sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya
bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara
di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal.
Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium
tersendiri di depan infundibulum.
5. Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara
duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas
posterior nostril.
6. Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring,
berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares posterior
bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh os
vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina
pterigoideus.
7. Sinus Paranasal
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus
maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal
terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan dasarnya
menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus
zygomatikus os maksilla.2
II.1.3 Kompleks Osteomeatal (KOM)
Kompleks osteomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang
berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal gambaran
KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina papirasea.
Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum
etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal.
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang
keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum
sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar melalui
celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal. Dari
resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau
ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka media4.

Gambar 3 Kompleks Osteomeatal (KOM)10

II.1.4 Perdarahan hidung


Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis interna. Bagian bawah
rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya adalah
ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina
bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka
media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang – cabang a.fasialis.5
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut
pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah
cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung)
terutama pada anak.2,5

Gambar 4 Perdarahan Hidung11

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya .Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup,
sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke
intrakranial. 2,
II.1.5 Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris
dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain
memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom
untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila
(N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut
simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan
sedikit di atas ujung posterior konka media.
Nervus olfaktorius: saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.5

Gambar 5 Perdarahan Hidung12

II.2 Fisiologi hidung


Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah :
1. Fungsi Respirasi
Untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal.
2. Fungsi Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik nafas dengan kuat.
3. Fungsi Fonetik
Berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran
suara sendiri melalui konduksi tulang.
4. Fungsi Statistik dan Mekanik
Untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas.
5. Refleks Nasal
Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau
tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas. 2

II.2.1 Sistem Mukosiliar Hidung

Gambar 6 Sistem Mukosiliar

Transportasi mukosiliar (TMS) adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk


membersihkan dirinya dengan cara mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap
pada palut lender ke arah nasofaring. TMS merupakan fungsi pertahanan lokal pada
mukosa hidung. TMS disebut juga clearance mucosiliar atau sistem pembersih mukosiliar
sesungguhnya.6
Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang bekerja simultan, yaitu gerakan
silia dan palut lendir. Ujung silia sepenuhnya masuk menembus gumpalan mukus dan
bergerak ke arah posterior bersama dengan materi asing yang terperangkap di dalamnya ke
arah nasofaring. Aliran cairan pada sinus mengikuti pola tertentu. Transportasi mukosiliar
pada sinus maksila berawal dari dasar yang kemudian menyebar ke seluruh dinding dan
keluar ke ostium sinus alami. 6
Kecepatan kerja pembersihan oleh mukosiliar dapat diukur dengan
menggunakan
suatu partikel yang tidak larut dalam permukaan mukosa. Lapisan mukosa mengandung
enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat merusak bakteri. Enzim tersebut
sangat mirip dengan immunoglobulin A (IgA), dengan ditambah beberapa zat imunologik
yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (IgG) dan Interferon dapat juga ditemukan
pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi virus.6
Ujung silia dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian
menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing yang terperangkap ke arah
faring. Cairan perisiliar yang di bawahnya akan di alirkan kearah posterior oleh aktivitas
silia, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi mukosiliar yang
bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak
bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lender akan menembus
mukosa dan menimbulkan penyakit. Kecepatan dari TMS sangatlah bervariasi, pada orang
yang sehat adalah antara 1 sampai 20 mm / menit.6
Pergerakan silia lebih aktif pada meatus inferior dan media, oleh karena itu gerakan
mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus
dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada
sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan
silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium, dan pada daerah ostium silia
tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20 mm/menit.6
Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung
dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat infundibulum
etmoid, kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke arah
nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di
resesus sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju
nasofaring. Dari rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan.5
Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda pada setiap bagian hidung. Pada segmen
hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior, sekitar 1
hingga 20 mm/menit.6

II.3 Anatomi Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus paranasal
merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam
tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi
hidung ; sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior),
sinus maksila, yang terbesar, kanan dan kiri disebut Antrum Highmore dan sinus
sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan
lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui
ostium masing-masing.1

Gambar 7 Sinus Paranasal22

Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian anterior
dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, atau di dekat
infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior sinus etmoid.
Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas konka media terdiri dari sel-sel
posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis perlekatan konka media pada dinding
lateral hidung merupakan batas antara kedua kelompok. Proctor berpendapat bahwa salah
satu fungsi penting sinus paranasal adalah sebagai sumber lendir yang segar dan tak
terkontaminasi yang dialirkan ke mukosa hidung.4
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi
udara
yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris dan bagian
lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari orbita dan
zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified columnar epithelium
yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel
epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel goblet.4

II.3.1 Sinus Maksila


Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang terbesar.
Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan sinus tersebut terjadi
pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, yang
kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml
pada saat dewasa.6
Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai cekungan ektodermal
yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat berupa celah kecil
di sebelah medial orbita. Celah ini kemudian akan berkembang menjadi tempat ostium sinus
maksila yaitu di meatus media. Dalam perkembangannya, celah ini akan lebih kea rah
lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4 mm, yang merupakan rongga
sinus maksila. Perluasan rongga tersebut akan berlanjut setelah lahir, dan berkembang
sebesar 2 mm vertical, dan 3 mm anteroposterior tiap tahun. Mula-mula dasarnya
lebih tinggi dari pada dasar rongga hidung dan pada usia 12 tahun, lantai sinus maksila ini
akan turun, dan akan setinggi dasar hidung dan kemudian berlanjut meluas ke bawah
bersamaan dengan perluasan rongga. Perkembangan sinus ini akan berhenti saat erupsi gigi
permanen. Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15 dan 18 tahun.2
Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa
nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Dinding anterior
sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina,dinding posteriornya
adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga
hidung. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis os palatum,
prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka inferior, dan sebagaian kecil os
lakrimalis. Dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus
alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial
sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Menurut Morris,
pada buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus maksila pada bayi baru lahir 7-8 x
4-6 mm dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm. Antrum mempunyai
hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil, yaitu ostium
maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini biasanya
terbentuk dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran lebih besar daripada lubang
yang sebenarnya. Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan irigasi sinus.2
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:
1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar
(P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar
(M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup
oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya
dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus,
hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini
dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan
pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus yang akan
mengakibatkan sinusitis.
2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
3. Os sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase hanya
tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui infundibulum yang sempit.
Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat
radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan
selanjutnya menyebabkan sinusitis.2

II.3.2 Sinus Frontal


Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke emapat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah
lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran
maksimal sebelum usia 20 tahun.2
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali juga sangat
berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang juga ada sinus
yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih
besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang
lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus
frontalnya tidak berkembang. Ukuran rata-rata sinus frontal : tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm,
dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml. Tidak adanya gambaran septum-septum atau
lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus
frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior,
sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal
berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang berhubungan dengan
infundibulum etmoid.2

II.3.3 Sinus etmoid


Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini
dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya.
Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan, berasal dari meatus
superior dan suprema yang membentuk kelompok sel-sel etmoid anterior dan posterior.
Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi lahir kemudian berkembang sesuai dengan
bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas. Pada orang dewasa bentuk sinus
etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke
posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm
di bagian posterior, volume sinus kira-kira 14 ml.2
Sinus etmoid berongga – rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon,
yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media
dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid
anterior yang bermuara di meatus medius, dan sinus etmoid posterior yang bermuara
di meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut
bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat
bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal
dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat
menyebabkan sinusitis maksila.2
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi
sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan
dengan sinus sphenoid.2
II.3.4 Sinus sfenoid
Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai pasangan evaginasi
mukosa di bagian posterior superior kavum nasi. Perkembangannya berjalan lambat,
sampai pada waktu lahir evaginasi mukosa ini belum tampak berhubungan dengan
kartilago nasalis posterior maupun os sfenoid. Sebelum anak berusia 3 tahun sinus sfenoid
masih kecil, namun telah berkembang sempurna pada usia 12 sampai 15 tahun. Letaknya di
dalam korpus os etmoid dan ukuran serta bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini
dipisahkan satu sama lain oleh septum tulang yang tipis, yang letakya jarang tepat di
tengah, sehingga salah satu sinus akan lebih besar daripada sisi lainnya.6
Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah
tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya berkisar dari 5 sampai 7,5
ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus bagian lateral os sfenoid akan
menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding
sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah : sebelah superior terdapat fosa serebri media
dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral
berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai
indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah
pons.2

II.4 Fisiologi Sinus Paranasal


Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacam-macam.
Bartholini adalah orang pertama yang mengemukakan bahwa ronga-rongga ini adalah
organ yang penting sebagai resonansi, dan Howell mencatat bahwa suku Maori dari
Selandia Baru memiliki suara yang sangat khas oleh karena mereka tidak memiliki rongga
sinus paranasal yang luas dan lebar. Teori ini dipatahkan oleh Proetz , bahwa binatang
yang memiliki suara yang kuat, contohnya singa, tidak memiliki rongga sinus yang besar.
Beradasarkan teori dari Proetz, bahwa kerja dari sinus paranasal adalah sebagai barier pada
organ vital terhadap suhu dan bunyi yang masuk. Jadi sampai saat ini belum ada
persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal . Ada yang berpendapat bahwa
sinus paranasal tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat
pertumbuhan tulang muka.2,7
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain adalah:2
1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban
udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak didapati pertukaran
udara yangdefinitif antara sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam
ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga
dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa
sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi orbita dan fosa
serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya, sinus-
sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.
3. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan
tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan memberikan
pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak
bermakna.
4. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi
kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi sinus dan ostiumnya tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Tidak ada korelasi
antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya
pada waktu bersin atau membuang ingus.
6. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan
dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang
turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius,
tempat yang paling strategis.
II.5. Rhinorrhea
Berasal dari kombinasi bahasa Yunani ‘rhinos’ yang berarti hidung dan ‘rrhea’ yang
berarti aliran atau pembuangan atau pengeluaran. Rinorrhea dapat didefinisikan sebagai
keluarnya cairan dari hidung atau sering disebut pilek. Sering muncul dari alergi atau penyakit
tertentu dan menjadi gejala umum dalam demam atau common cold. Hal ini dapat menjadi
suatu efek dari menangis, paparan suhu dingin, penyalahgunaan obat seperti opioid.

II.5.1 Tanda dan Gejala


Meskipun pilek itu sendiri merupakan gejala penyakit infeksi, alergi, iritasi atau jenis
peradangan hidung, namun masih ada beberapa gejala lain selain pilek itu sendiri. Selain
keluarnya cairan dari mukosa hidung yang bisa saja berwarna jernih, kekuningan, kehijauan
atau kecoklatan yang dapat menjadi salah satu pertanda dari suatu penyakit.
Biasanya pilek juga disertai dengan kongesti di mukosa hidung sinusitis, bersin, sakit
kepala, menggigil, hilang kesadaran, sakit tenggorokan, demam, epistaksis, gangguan
pernapasan. Bisa juga menderita batuk ataupun malaise.

II.5.2 Etiologi
Rhinorrhea adalah suatu kondisi yang tidak bisa dihubungkan hanya dengan satu
penyebab tapi berbagai penyebab.
a. Alergi
Dipicu oleh alergen atau suatu benda asing yang masuk ke dalam hidung melalui udara
dan debu.
b. Infeksi
Infeksi virus maupun bakteri dapat memicu rhinorrhea. Agen tersebut yang
bertanggung jawab dalam ISPA.
c. Bahan Iritan
Bahan iritan seperti penghilang cat kuku, cat, sampah, asap dan debu.
d. Makanan pedas
Makanan yang pedas atau kaya akan rasa pedas di dalamnya terdapat sebuah senyawa
kimia capsaicin atau sejenisnya dapat menyebabkan inflamasi jaringan hidung yang
menyebabkan keluarnya cairan mukosa yang cair.
e. Cedera kepala
Cedera yang mengenai kepala atau otak juga dapat menyebabkan Rinnorhea. Sebagai
contohnya pada fraktur basis cranii yang menjadi alasan utama penyebab cerebrospinal
rhinorrhea.
II.5.3 Patofisiologi
Secara histologis, mukosa hidung dilapisi dengan epitel kolumnar yang bersilia dan
mengandung sel goblet serta kelenjar serosa dan mukosa. Apabila terjadi peradangan, akan
terjadi hipersekresi dan kerja silia terganggu. Pada fraktur basis cranii akan terjadi bocornya
cairan serebrospinal yang akan mengalir ke hidung.
Mekanisme terjadinya pilek atau rinore adalah sebagai berikut:
1. Allergen yang masuk tubuh melalui saluran pernafasan, kulit, saluran pencernaan dan
lain-lain akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cells
(APC).
2. Setelah alergen diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut, alergen
dipresentasikan ke sel Th. Sel APC melalui penglepasan interleukin I (II-2)
mengaktifkan sel Th. Melalui penglepasan Interleukin 2 (II-2) oleh sel Th yang
diaktifkan, kepada sel B diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasma dan
membentuk IgE.
3. IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan
basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan oleh karena kedua sel tersebut
pada permukaannya memiliki reseptor untuk IgE. Sel eosinofil, makrofag dan
trombosit juga memiliki reseptor untuk IgE tetapi dengan afinitas yang lemah.
4. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang
sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan
mastofit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan
terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
5. Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses
degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah
terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai
sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECF-A), Neutrophil
Chemotactic Factor (NCF), trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat oleh mediator
tersebut ialah obstruksi oleh histamin.
6. Histamin menyebabkan Vasodilatasi, penurunan tekanan kapiler & permeabilitas,
sekresi mukus.
7. Sekresi mukus yang berlebih itulah yang menghasilkan pilek atau rinore.
II.5.4 Diagnosis
Dalam diagnosis penyakit dengan gejala rinore dilakukan anamnesa,
pemeriksaan fisik serta penunjang agar tatalaksana dapat dilakukan secara adekuat.
Gejala pilek adalah awal atau sumber indikasi dari suatu penyakit. Sekret
hidung dari satu atau kedua rongga hidung, konsistensinya sekret, encer, bening
seperti air, kental, nanah atau bercampur darah. Sekret ini keluar hanya pada pagi
hari atau pada waktu-waktu tertentu saja karena sangat penting untuk menentukan
diagnosa dan penatalaksanaannya.
Sekret hidung yang disebabkan karena infeksi hidung biasanya jernih hingga
purulen. Sekret yang jernih seperti air dan banyak jumlahnya khas untuk alergi
hidung. Bila sekret berwarna kuning kehijauan biasanya berasal dari sinusitis dan
hidung dan bila bercampur darah hanya satu sisi patut dicurigai adanya suatu massa
atau tumor hidung. Sekret dari hidung yang turun ke tenggorok disebut dengan post
nasal drip yang kemungkinan berasal dari sinus paranasal.
Anamnesa yang baik perlu menanyakan onset, progresifitas, karakteristik
cairan, faktor yang memperbaiki dan memperburuk, riwayat trauma, tanda
peradangan, riwayat alergi, pekerjaan, serta riwayat pengobatan.
Pemeriksaan fisik dari rhinorrhea terdiri dari pemeriksaan bagian wajah dan
hidung terutama di daerah sinus maksilaris dan frontalis. Sifat dan warna mukosa
hidung juga dinilai. Periksa hidung, cek aliran udara dari kedua rongga hidung.
Evaluasi ukuran, warna dan kondisi dari mukosa hidung. Apabila mukosa berwarna
merah atau berwarna pucat, biru atau abu-abu maka periksa juga area di bawah
masing-masing turbinate.
Pemeriksaan penunjang seperti smear eosinophil dan prick test yang tepat
serta stain Gram dan kultur bakteri dan jamur, dan foto rongent dari sinus pada
kasus yang dicurigai rhinosinusitis dapat membantu diagnosis pada kasus
rhinorrhea yang menetap.
Etiologi dan Penatalaksanaan Rhinorrhea
1. Rinitis Vasomotor
a. Definisi
Rinitis vasomotor adalah suatu kedaan idiopatik yang didiagnosis
tanpa adanya alergi, infeksi, eosinophilia, perubahan hormonal
(kehamilan, hipertiroid) dan pajanan obat (kontrasepsi oral,
antihipertensi, -blocker, aspirin, dan obat topikal hidung dekongestan).
Rinitis vasomotor merupakan istilah yang digunakan untuk gangguan
pada mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang persisten
dan hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh
beberapa rangsangan seperti perubahan kelembapan dan suhu atau iritasi
di alam yang tidak spesifik.14,15

Sinonim
Vasomotor catarrh, vasomotor rhinorrhea, nasal vasomotor instability, atau juga
non-allergic perennial rhinitis16
c. Etiologi
Penyebab pasti terjadinya rinitis vasomotor masih belum diketahui.2 Mayoritas 75-
80% dari faktor individual.6 Etiologi rinitis vasomotor diduga akibat adanya
gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yaitu bertambahnya aktivitas
parasimpatis dimana terjadi gangguan vasomotor atau gangguan fisiologik lapisan
mukosa hidung yang dipicu oleh zat-zat tertentu.14,16
d. Faktor Presiposisi:18,19
1) Herediter
2) Infeksi yaitu riwayat infeksi bakteri dan virus sebelumnya
3) Psikologi dan emosional
4) Obat-obatan yang menginduksi gejala dari rinitis seperti aspirin dan obat
nonsteroidal anti-inflammatory (NSAID), reserpin, hidralazin, guanetidin,
pentolamin, metildopa, penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE),
β- blocker, antagonis α-adrenoceptor, klorpromazin, kontrasepsi oral, nasal
dekongestan topikal dan agen psikotropik.6
5) Pengaruh endokrin, rinitis vasomotor terjadi saat usia muda, pubertas, selama
menstruasi, kehamilan serta rangsangan seksual.
e. Faktor Presipitasi:16,18,19
1) Keadaan cuaca, perubahan kelembaban dan suhu
2) Asap, asap rokok, debu, bau yang menyengat
3) Minuman berlkohol
4) Makana pedas
5) Kelelahan
6) Stres
f. Gejala Klinis
Gejala sering dicetuskan oleh berbagai rangsangan non-spesifik, seperti asap rokok,
bau yang menyengat (parfum) dan sebagainya. Pada keadaan normal, faktor
tersebut tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut. Gejalanya mirip
dengan rhinitis alergi, namun gejala yang dominan adalah hidung tersumbat,
bergantian kiri dan kanan, tergantung dengan posisi pasien. Selain itu juga terdapat
rhinorrhea yang mukoid atau serosa. Keluhan ini jarang disertai dengan gejala
mata.16
Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya
perubahan suhu yang ekstrem, udara lembab. Berdasarkan gejala yang menonjol,
kelainan ini dibedakan dalam 3 golongan:16
1) Golongan bersin (sneezers): gejala membaik bila diberikan antihistamin
dan glukokortikosteroid topikal.
2) Golongan rhinorrhea (runners): gejala dapat diatasi dengan pemberian
antikolinergik topikal.
3) Golongan tersumbat (blockers): berespon baik dengan glukokortikosteroid
topikal dan vasokonstriktor oral.
g. Diagnosis16
Umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu menyingkirkan adanya rhinitis
infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat. Dalam anamnesis dicari factor
yang mempengaruhi timbulnya gejala.
Pada rinoskopi anterior tampak gambaran yang khas berupa edema mukosa hidung,
konka berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi dapat pula pucat. Hal ini perlu
dibedakan dengan rhinitis alergi. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol-
benjol (hipertrofi). Pada rongga hidung terdapat secret mukoid, biasanya sedikit.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
rhinitis alergi. Kadang ditemukan juga eosinophil pada secret hidung, akan
tetapi dalam jumlah sedikit. Tes cukit kulit biasanya negative. Kadar IgE
spesifik tidak meningkat.
h. Penatalaksanaan16
1) Hindari faktor pencetus
2) Pengobatan simtomatis
a) Dekongestan oral
b) Cuci hidung dengan larutan garam fisiologis
c) Kauterisasi konka hipertrofi dengan AgNO3 25% atau triklor-asetat pekat.
d) Kortikosteroid topical 200 g satu kali sehari (mometason furoat atau
flutikason propionat)
e) Pada rhinorrhea berat dapat ditambahkan antikolinergik
topikal
(ipratropium bromide)
3) Operasi dengan cara bedah-beku, elektrokauter atau konkotomi parsial
konka inferior.
4) Neurektomi n.vidianus, yaitu dengan melakukan pemotongan n. vidianus
bila cara yang lain tidak memberikan hasil yang optimal. Komplikasi dari
operasi ini adalah sinusitis, diplopia, buta, gangguan lakrimasi, neuralgia atau
anestesis infraorbita dan palatum.
i. Prognosis16
Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rhinorrhea.

2. Rinitis Medikamentosa16
a. Definisi
Merupakan suatu kelainan hidung berupa gangguan respon normal vasomotor yang
diakibatkan oleh pemakaian vasokonstriktor topikal (tetes hidung atau semprot
hidung) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan
hidung yang menetap. Dapat dikatakan bahwa hal ini disebabkan karena pemakaian
obat yang berlebihan (drug abuse).
b. Gejala klinisis
Hidung tersumbat terus-menerus dan berair. Pada pemeriksaan tampak
edema/hipertrofi konka dengan sekret hidung yang berlebihan. Apabila diberi
tampon adrenalin, edema konka tidak berkurang.
c. Penatalaksanaan
Hentikan pemakaian obat tetes atau semprot vasokonstriktor hidung
Untuk mengatasi sumbatan berulang (rebound congestion), dapat diberikan
kortikosteroid oral dosis tinggi jangka pendek dan diturunkan secara bertahap
(tappering off) dengan menurunkan dosis sebanyak 5 mg setiap hari. Dapat
diberikan pemberian kortikosteroid topical selama minimal 2 minggu untuk
mengembalikan proses fisiologis mukosa hidung.

3. Rhinosinusitis
a. Definisi
Rhinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa hidung dan sinus
paranasal.20
b. Faktor Risiko20
1) Infeksi
Infeksi yang tersering pada rongga hidung adalah infeksi virus, kemudian
diikuti oleh infeksi bakteri yang sekunder. Virus sangat mudah menempel pada
mukosa hidung yang menganggu sistem mukosiliar rongga hidung dan virus
melakukan penetrasi ke selaput lendir dan masuk ke sel tubuh dan menginfeksi
secara cepat. Akibat dari infeksi virus dapat terjadi edema dan hilangnya fungsi
silia yang normal, maka akan terjadi suatu lingkungan ideal untuk
perkembangan bakteri. Bakteri aerob yang paling sering ditemukan, antara lain
Staphylococcus aureus, Streptococcus viridians, Haemophilis influenze,
Neisseria flavus, Staphylococcus epidermidis. Bakteri anaerob termasuk
Corynebacterium, Peptostreptococcus dan Vellonela.
2) Pajanan Lingkungan20
a) Polusi udara
b) Bahan iritan
3) Faktor Anatomis20
a) Deviasi septum
b) Atresia koana
c) Konka bulosa
d) Infeksi odontogenik
e) Benign adenoid tissue
4) Alergi20
Alergi juga dapat merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
rinosinusitis karena alergi dapat menyebabkan mukosa udem dan hipersekresi.
Mukosa sinus yang udem dapat menyumbat muara sinus dan menganggu
drainase sehingga menyebabkan timbulnya infeksi, selanjutnya dapat
menghancurkan epitel permukaan dan siklus seterusnya berulang yang
mengarah pada rinosinusitis kronis.
5) Gangguan sistem mukosiliar20
Fungsi mukosiliar terganggu ketika mengalami rinosinusistis viral ataupun
bakteri. Pajanan terhadap rokok dan inflamasi karena alergi juga berdampak
pada kegagagaln sistem mukosiliar.
c. Gejala Klinis20
Dewasa Anak
Minimal 2 dari 4 gejala: Minimal 2 dari 4 gejala:
1. Hidung tersumbat 1. Hidung tersumbat
2. Sekret hidung (anterior atau post 2. Sekret hidung (anterior atau post
nasal drip) nasal drip)
3. Rasa nyeri atau ada tekanan pada 3. Rasa nyeri atau ada tekanan pada
wajah wajah
4. Berkurang atau hilangnya fungsi 4. Batuk
penghidu
Gambaran endoskopi: Gambaran endoskopi:
Polip hidung dan/atau Polip hidung dan/atau
Sekret mukopurulen dari meatus media Sekret mukopurulen dari meatus
dan/atau media dan/atau
Edema/obstruksi mukosa primer di Edema/obstruksi mukosa primer di
meatus media meatus media

CT-scan: CT-scan:
Perubahan mukosa dalam kompleks Perubahan mukosa dalam kompleks
osteomeatal dan/atau sinus osteomeatal dan/atau sinus

Klasifikasi berdasarkan durasi sakit:


a) Akut: < 12 minggu dengan resolusi gejala komplit
b) Kronis: 12 minggu tanpa resolusi gejala komplit atau mengalami eksaserbasi
Gambar 8 Rinosinusitis20

d. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dilakukan tergantung penyebabnya. Pada rinosinusitis viral dapat
dilakukan dengan menghilangkan gejala dari hidung tersumbat dan rhinorrhea yang
diderita, sedangkan untuk rinosinusitis yang disebabkan oleh infeksi bakteri dapat
dilakukan penatalaksanaan dengan pemberian antibiotik untuk mngeradikasi
infeksi, mencegah komplikasi dan mencegah penyakit agar tidak menjadi kronis.
Menurut The European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS)
2012 merekomendasikan pemberian antibiotik harus diberikan pada pasien dengan
gejala yang berat seperti sekret yang bewarna, nyeri lolal (VAS >7), demam
(>380C), peningkatan laju endap darah (LED) atau C-reactive protein (CRP) serta
gejala yang timbul lebih berat dari gejala sebelumnya.11 Adapun pengobatan
antibiotik seperti golongan cephalosporin (cefpodoxime, cefuroxime, cefdinir,
ceftriaxone) dan amoxicillin/clavulanate potassium dapat direkomendasikan
sebagai pengobatan inisial. Pasien dilakukan perujukan jika ditemukan beberapa
kondisi sebagai berikut periorbital edema,eritema, globe dysplaced, penglihatan
ganda, oftalmoplegia, pengurangan lapangan penglihatan, nyeri kepala yang hebat
unilateral atau bilateral, bengkak pada bagian frontal, tanda-tanda meningitis dan
tanda-tanda neurologis lainnya. 20

4. Korpus Alienum
a. Etiologi
Benda asing adalah benda yang berasal dari luar (eksogen) atau dalam (endogen)
tubuh yang dalam keadaan normal tidak ada pada tubuh. Benda asing dapat masuk
melalui hidung atau mulut. Benda asing eksogen terdiri dari benda padat, cair atau
gas. Benda asing endogen dapat berupa sekret kental, darah, bekuan darah, nanah,
krusta, membrane difteri atau cairan amnion.21
Pembagian lain juga membagi benda asing menjadi benda asing hidup dan benda
asing mati. Benda asing hidup yang pernah ditemukan yaitu larva lalat, lintah dan
cacing sedangkan benda asing mati yang tersering yaitu manik-manik, baterai
logam dan kancing baju.21
b. Faktor risiko aspirasi:
Antara lain faktor personal (umur, jenis kelamin, pekerjaan, kondisi sosial, tempat
tinggal), kegagalan mekanisme proteksi yang normal, faktor fisik, faktor dental,
faktor medikal dan surgikal, faktor kejiwaan, ukuran dan bentuk benda asing serta
faktor kecerobohan. Benda asing dapat masuk melalui hidung dan dapat tersangkut
di hidung, nasofaring, laring, trakea dan bronkus. 21
c. Penatalaksanaan
Secara prinsip benda asing yang berada pada saluran nafas diatasi dengan
pengangkatan segera secara endoskopik dalam kondisi yang paling aman dan
dengan trauma yang minimum. Benda asing yang berada dalam hidung dapat
dilakukan pengangkatan dengan menggunakan pengait (haak) yang dimasukkan
kedalam bagian hidung bagian atas, menyusuri atap kavum nasi sampai menyentuh
nasofaring.Setelah itu pengait diturunkan sedikit dan ditarik kedepan. Dengan cara
ini benda asing itu akan terbawa keluar. Cara lain yang dapat digunakan dengan
alat cunam Nortman atau wire loop. 21

5. Rinitis Atrofi
a. Definisi
Rinitis atrofi didefinisikan sebagai penyakit infeksi pada hidung yang kronik.
Penyakit ini ditandai dengan adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka
serta terdapat adanya pembentukan krusta. Secara klinis, mukosa hidung
menghasilkan sekret yang kental dan cepat mongering, sehingga terbentuk krusta
yang berbau busuk.15
b. Etiologi15
1) Infeksi oleh kuman spesifik. Kuman yang tersering adalah Kleibsiella, terutama
Kleibsiella ozaena. Selain itu dapat juga disebabkan oleh Stafilokokus,
Streptokokus, Pseudomonas aeruginosa.
2) Defisiensi Fe
3) Defisiensi vitamin A
4) Kelainan hormonal
5) Sinusitis kronik
6) Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun
c. Gejala klinis15
1) Napas berbau
2) Sekret kental berwarna hijau, krusta
3) Gangguan penghidu
4) Sakit kepala
5) Hidung tersumbat
d. Diagnosis
Anamnesis pasien secara lengkap. Pada pemeriksaan hidung didapatkan rongga
hidung sangat lapang, mkonka inferior atau media menjadi hipotrofi atau atrofi, ada
secret purulen dan krusta yang berwarna hijau. Pemeriksaan penunjang:
pemeriksaan histopatologi yang bersal dari biopsi konka media, pemeriksaan
mikrobiologi, uji resistensi kuman dan CT-scan sinus paranasal. 15
e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan rinitis atrofi lebih ditujukan dalam mengatasi etiologi dan
menghilangkan gejala. Pengobatan rinitis atrofi bersifat konservatif yaitu diberikan
antibiotik bersprektrum luas yang sesuai dengan uji resistensi kuman yang dikultur.
Pemberian antibiotik dianjurkan harus adekuat dan lama pemberian bervariasi
tergantung dari hilangnya tanda klinis berupa sekret yang kehijauan.15
Selain itu untuk membantu dalam menghilangkan bau busuk yang dihasilkan dari
proses infeksinya, dapat diberikan obat cuci hidung yang sering diberikan
yaitu larutan garam hipertonik. Larutan ini dimasukkan kedalam rongga
hidungdan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan sekuat-kuatnya atau yang
masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut. Pencucian ini dilakukan dua
kali dalam sehari. Dapat diberikan vitamin A 3 x 50.000 IU dan preparat Fe selama
2 minggu. Jika dengan menggunakan pengobatan konservatif tidak memberikan
perbaikan, maka dilanjutkan dengan melakukan pengobatan operatif. Teknik
operasi yang akan dilakukan dengan menutup lubang hidung atau penyempitan
lubang hidung dengan implantasi atau dengan jabir osteoperiosteal. Tindakan ini
diharapkan dapat mengurangi turbulensi udara dan pengeringan sekret serta
inflamasi dari mukosa juga berkurang.15
Akhir-akhir ini dilakukan bedah endoskopik fungsional (BSEF) untuk mengatasi
rinitis atrofi. Dilakukannya pengangkatan sekat-sekat tulang yang mengalami
osteomielitis dengan harapan infeksi tereradikasi, fungsi ventilasi dan drainase
sinus kembali menjadi normal sehingga terjadi regenerasi mukosa.15

6. Rinitis Hipertrofi
a. Definisi
Perubahan mukosa hidung pada konka inferior yang mengalami hipertrofi karena
proses inflamasi kronis yang disebabkan oleh infeksi primer atau sekunder. 16
b. Etiologi
Rinitis hipertrofi terjadi dikarenakan adanya proses inflamasi yang disebabkan oleh
infeksi berulang dalam hidung dan sinus, kelanjutan dari rinitis alergi dan rinitis
vasomotor serta akibat paparan bahan iritan kimiawi dan udara kotor.15
c. Gejala Klinis16
Sumbatan hidung atau gejala diluar hidung akibat hidung yang tersumbat seperti
mulut kering, nyeri kepala dan gangguan tidur. Sekret biasanya banyak dan
mukopurulen. Pada pemeriksaan ditemukan konka yang hipertrofi, terutama konka
inferior. Permukaannya berbenjol-benjol karena mukosa yang juga hipertrofi.
Akibatnya, pasase udara dalam rongga hidung menjadi sempit. Sekret mukopurulen
dapat ditemukan diantara konka inferior dan septum dan juga dasar rongga hidung.
d. Penatalaksanaan16
Pada penatalaksanaan rinitis hipertrofi ditujukan untuk mengatasi faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya rinitis hipertrofi. Terapi simtomatis hanya dapat
meredakan sumbatan hidung akibat terjadinya hipertrofi konka, antara lain dapat
melakukan kaustik konka dengan zat kimia (nitras argenti atau trikloroasetat) atau
dengan kauter listrik (elektrokauterisasi). Bila tidak ada perbaikan dapat dilakukan
dengan luksasi konka, frakturisasi konka multipel, konkoplasti ataupun konkotomi
parsial.

7. Rinitis Tuberkulosa
a. Etiologi
Rinitis tuberkulosa merupakan kejadian infeksi tuberkulosa ekstra pulmonar.
Penyakit ini meningkat seiring dengan meningkatnya kasus 29 uberculosis.
Etiologinya adalah Mycobacterium tuberculosis. 15
b. Gejala Klinis16
Tuberkulosis pada hidung berbentuk noduler atau ulkus pada hidung dan dapat
mengenai tulang rawan septum bahkan dapat menyebabkan perforasi septum. Pada
pemeriksaan klinis terdapat secret mukopurulen dan krusta, sehingga menimbulkan
keluhan tersumbat.
c. Diagnosis16
Ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada secret hidung.
Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan sel datia Langhans dan limfositosis.
d. Penatalaksanaan16
Pengobatannya dengan antituberkulosis dan diberikan obat cuci
hidung untuk menghilangkan sekret dan bau yang berada pada hidung.

8. Rinitis Jamur
a. Etiologi
Adapun jamur penyebab rinitis jamur yaitu Aspergillus, Candida,
Histoplasma, Fussarium dan Mucor. Aspergilosis merupakan infeksi
jamur paling sering yang menyebabkan rinitis kronik spesifik dengan
koloni jamur yang terdapat dalam sinus paranasal.16
b. Gejala klinis16
Rinitis akibat jamur dapat terjadi bersama dengan sinusitis dan bersifat
invasif atau non invasif. Rinitis jamur non invasif dapat menyerupai
rinolit (sebenarnya adalah gumpalan jamur atau fungus ball) dengan
inflamasi mukosa yang lebih berat, sedangkan rinitis jamur tipe invasif
ditandai dengan ditemukannya hifa jamur pada lamina propria. Biasanya
tidak terjadi destruksi kartilago dan tulang.
Jika terjadi invasi jamur pada submukosa dapat mengakibatkan
perforasi septum atau hidung pelana. Pada pemeriksaan hidung terlihat
adanya secret mukopurulen, mungkin terlihat ulkus atau perforasi pada
septum disertai dengan jaringan nekrotik berwarna kehitaman (black
eschar).
c. Penatalaksanaan16
1) Rinitis jamur non invasif: mengangkat seluruh gumpalan jamur
(fungus ball).
Pemberian obat anti jamur untuk tipe ini tidak begitu diperlukan.
2) Rinitis jamur invasif: dapat diberikan anti jamur oral dan topikal yang
bertujuan untuk mengeradikasi agen penyebabnya. Obat cuci
hidung dapat diberikan untuk pembersihan hidung dari krusta-
krusta yang lengket. Bagian yang terinfeksi dapat diolesi gentian
violet. Khusus untuk rinitis jamur invasif perlu dilakukannya
tindakan debridement sebelumnya untuk mengangkat seluruh
jaringan yang nekrotik dan tidak sehat sehingga tidak akan terjadi
proses destruksi tulang yang lebih lanjut.
32
II.5.5 Klasifikasi dan Penatalaksanaan
Tabel 1. Perbedaan Rhinitis
Rhinitis Alergi Rhinitis Vasomotor Rhinitis Medikamentosa
Definisi Penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi Keadaan Idiopatik yang Kelainan hidung berupa
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi didiagnosa tanpa adanya infeksi, gangguan respon normal
dengan alergen yang sama serta dilepaskannya alergi, eosinofilia, perubahan vasomotor yang diakibatkan
mediator kimia ketika terjadi paparan ulang dengan hormonal, dan pajanan obat. pemakaian vasokonstriktor
alergen tersebut. topikal jangka lama dan
berlebihan menyebabkan
Menurut WHO sumbatan hidung menetap.
kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa
hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE
Penyebab Kontak dengan alergen Etiologi dan patofisiologi belum Penggunaan obat
Klasifikasi WHO (Initiative ARIA) diketahui dengan pasti namun vasokonstriktor topikal jangka
Berdasarkan sifatnya: ada hipotesis: lama dan berlebihan
1. Intermitten 1. Neurogenik
Gejala < 4 hari/minggu atau < 4 minggu 2. Neuropeptida
2. Persisten 3. Nitrit Oksida
Gejala > 4 hari/minggu dan > 4 minggu 4. Trauma

Derajat:
1. Ringan
Tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan
aktivitas harian, bersantai, olahraga, bekerja,
belajar dan hal lain yang mengganggu
2. Sedang-Berat
Terdapat satu atau lebih gangguan diatas
Diagnosis Anamnesa: Anamnesa: Anamnesa:
 Bersin berulang (terutama pagi hari)  Hidung tersumbat,  Hidung tersumbat terus
 Kontak dengan debu bergantian kanan dan kiri menerus dan berair
 Rinore encer dan banyak  Rinore mukoid/serosa Pemeriksaan:
 Hidung tersumbat  Gejala memburuk pagi hari  Konka hipertrofi/edema
 Hhidung dan mata gatal (dapat disertai lakrimasi) waktu bangun tidur  Sekret hidung berlebihan
 Bersin  Pemberian tampon
Pemeriksaan Fisik:  Pencetus: rangsangan non adrenalin, edema konka
 Rinoskopi anterior spesifik (asap, bau tidak berkurang
 Mukosa edema

34
 Basah menyengat, makanan pedas,
 Berwarna pucat udara dingin)
 Sekret encer yang banyak
 Persisten : mukosa inferior tampak hipertrofi Pemeriksaan:
 Allergic Shinner  Mukosa hidung edema
 Allergic Salute  Konka berwarna merah
 Allergic Crease gelap/merah tua
 Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-  Permukaan konka
langit tinggi: gangguang pertumbuhan gigi geligi licin/hipertrofi
 Dinding posterior faring tampak granuler dan  Rongga hidung terdapat
edema sekret mukoid sedikit/serosa
 Dinding lateral faring menebal banyak
 Geographic Tongue
Penunjang:
Pemeriksaan Penunjang:  Eosinofil jumlah sedikit
 Eosinofil meningkat  Uji Kulit Negatif
 Serum IgE meningkat (tes RAST atau ELISA)  IgE normal

35
 Sitologi: Eosinofil banyak (alergi inhalan), basofil
> 5 sel/lap (alergi makanan), sel PMN (infeksi
bakteri
 Uji Kulit: SET untuk alergi inhalan, IPDFT untuk
alergi makanan.
Terapi 1. Menghindari kontak dengan alergen 1. Hindari stimulus 1. Menghentikan pemakaian
2. Medikamentosa : 2. Medikamentosa: obat tetes/semprot
 Antihistamin -> AH1  dekongestan oral vasokonstriksi hidung
 Dekongestan  obat cuci hidung 2. Kortikosteroid jangka
 Kortikosteroid  kauterisasi konka AgNO3 pendek dan dosis Tappering
3. Operatif 25% off
 Konkotomi parsial  Kortikosteroid 3. Dekongestan oral
 Konkoplasti 3. Operasi:
4. Immunoterapi  Bedah beku
IgG blocking antibody dan penurunan IgE  elektrokauter
 konkotomi parsial konka
inferior

36
Tabel 2. Perbedaan Rhinitis (Lanjutan)
Penyebab Diagnosis Terapi
Rhinitis Virus  Hidung kering, panas dan gatal 1. Istirahat
Simpleks  Bersing berulang 2. Analgetik
 Hidung tersumbat 3. Antipiretik
 Ingus encer → kental bila infeksi sekunder oleh 4. Dekongestan
bakteri
 Demam
 Nyeri kepala
Rhinitis Infeksi Berulang di  Sumbatan hidung 1. Sesuai penyebab
Hipertrofi hidung/sinus  Sekret banyak (mukopurulen) 2. Kauterisasi konka
Lanjutan rinitis  Nyeri kepala
alergi/vasomotor  Konka hipertrofi, permukaan berbenjol-benjol
karena mukosa hipertrofi
Rhinitis infeksi hidung yang kronik  Bau napas 1. pemberian antibiotik
Atrofi  Ingus kental berwarna hijau spektrum luas

37
 Krusta hijau 2. obat cuci hidung
 Gangguan penghidu Operatif  FESS
 Sakit kepala
 Hidung tersumbat
 Rongga hidung lapang
 Konka inferior dan media bisa hipertrofi atau atrofi
Rhinitis Corynebacterium Difetria  Demam, toksikemia, limfadenitis, pralisi 1. Isolasi
Difteri  Ingus bercampur darah 2. ADS
 Pseudomembran putih, krusta coklat di nares dan 3. Penisilin lokal dan
cavum nasi intramuskuler
Rhinitis M. Tuberculosis  Hidung tersumbat 1. OAT
TB  Sekret mukopurulen 2. Obat cuci hidung
 BTA (+)
Rhinitis Treponema pallidum Sama dengan rinitis akut lain 1. Penisilin
Sifilis  Bercak pada mukosa (gumma/ulkus) 2. Obat cuci hidung
 Sekret mukopurulen berbau + krusta, perforasi
septum/hidung pelana

38
Rhinitis Dapat terjadi bersama dengan non-invasif non-invasif
Jamur sinusitis dan bersifat invasif  menyerupai rinolit (gumpalan jamur) dengan angkat seluruh gumpalan jamur
atau non-invasif inflamasi mukosa yang lebih berat
(Aspergillus, Candida,  tidak terjadi destruksi kartilago dan tulang invasif
Histoplasma, Fussarium dan 1. eradikasi penyebab dengan
Mucor) invasif anti jamur oral dan topikal
 ditemukannya hifa jamur di lamina propria 2. cuci hidung
 perforasi septum atau hidung pelana 3. dioles dengan gentian violet
 sekret mukopurulen 4. debridement seluruh
 ulkus atau perforasi pada septum dan disertai jaringan yang nekrotik
dengan jaringan nekrotik berwarna kehitaman
(Black Eschar)

39
Tabel 3. Perbedaan Sinusitis
Sinusitis
Akut Sub Akut Kronik
Waktu 0 – 4 minggu 4 minggu – 3 bulan > 3 bulan
Patologi Penyumbatan kompleks Sama dengan sinusitis akut Silia rusak → Perubahan
osteomeatal oleh infeksi, mukosa hidung → ireversibel,
obstruksi mekanis, alergi kerusakan silia

mukosa reversibel
Anamnesis  hidung tersumbat Sama dengan sinusitis akut tapi  Sekret di hidung
 nyeri daerah sinus tanda radang akutnya mereda  Post nasal drip
 nyeri alih →  Rasa tidak nyaman, gatal di
 maksila: kelopak mata, gigi, tenggorok
dahi, depan telinga  Pendengaran terganggu

40
 etmoid: pangkal hidung,  Nyeri kepala
bola mata, pelipis  Gangguan di mata
 frontal: dahi, kepala  Batuk
 sfenoid: verteks, oksipital,  Gejala saluran cerna akibat
belakang bola mata, mukopus tertelan
mastoid
 demam, lesu
 Ingus kental, berbau
Pemeriksaan  bengkak daerah Sama dengan sinusitis akut tapi Tidak seberat sinusitis akut
muka/pipi/kelopak mata tanda radang akutnya mereda  bengkak wajah (-)
 mukosa konka edema  sekret kental purulen
 hiperemis  post nasal drip
 post nasal drip
 transluminasi (+)
 air fluid level
Terapi 1. Antibiotik 1. Antibiotik spektrum luas 1. Antibiotik
2. Dekongestan lokal tetes 2. Dekongestan lokal tetes hidung 2. Dekongestan lokal
hidung 3. Analgetik 3. Analgetik
3. Analgetik 4. Antihistamin 4. Diatermi

41
5. Mukolitik 5. Pungsi dan irigasi sinus
6. diatermi 6. Operasi radikal
7. Pungsi irigasi CWL, BSEF

42
II.5.6 Rhinorrhea akibat cairan serebrospinal
Rinorea Cairan Serebrospinal (RCS) adalah suatu keadaan adanya hubungan
yang tidak normal antara ruang subarachnoid dengan rongga hidung.
Hal ini disebabkan oleh karena rusaknya semua pertahanan yang memisahkan
antara ruang subarachnoid dengan rongga hidung, yang ditandai dengan adanya
pembukaan pada arachnoid, dura dan tulang, yang merupakan jalan keluar cairan
serebrospinal (CSS) ke rongga hidung
Anamnesis yang lengkap merupakan langkah pertama dalam membuat
diagnosis kebocoran CSS. Gejala utama rinore CSS adalah adanya cairan bening
yang mengalir dari hidung. Pada kasus trauma, lebih kurang 55 % kasus rinore CSS
muncul dalam 48 jam setelah trauma, menjadi 70% pada akhir minggu pertama
ketika edema yang menghambat aliran kebocoran CSS menghilang.
Hiposmia atau anosmia merupakan keluhan tambahan lainnya yang terjadi
pada 60% - 80% kasus rinore CSS sebagai akibat kerusakan saraf olfaktori akibat
fraktur fossa kribriformis
Terapi
Penatalaksanaan konservatif pada rinore CSS dapat berupa istirahat di tempat
tidur dengan meninggikan kepala 15-30 derajat, sehingga mengurangi jumlah
cairan CSS yang keluar. Mencegah timbulnya batuk, bersin, nasal blowing dan
mengejan. Pencahar diberikan untuk mencegah mengejan. Disamping itu juga
diberikan antitusif dan antiemetik. Apabila tidak terdapat perbaikan dalam 72 jam,
drainase lumbal kontinu berulang dilakukan untuk empat hari berikutnya untuk
mengeluarkan CSS 150 ml/hari
Tindakan operasi pada rinore CSS dapat dibedakan atas pendekatan
intrakranial dan ekstrakranial, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-
masing. Pemilihan pendekatan tergantung pada penyebab kebocoran, lokasi
kebocoran, adanya peningkatan tekanan intrakranial dan adanya ensefalokel.
Pendekatan intrakranial memerlukan kraniotomi dapat berupa kraniotomi
frontal atau kraniotomi fossa media. Pendekatan ini cenderung dengan morbiditas
dan mortalitas yang lebih tinggi serta perawatan yang lebih lama. Di samping itu
anosmia merupakan komplikasi yang sering pada tindakan kraniotomi akibat cedera
terhadap saraf olfaktori yang tidak dapat dihindari. Kelebihan pendekatan ini adalah

43
dapat melakukan penutupan defek pada dura secara rapat dan penutupan kebocoran
multipel.
Pendekatan intrakranial selanjutnya dibedakan atas ekstradural dan
intradural. Pada pendekatan ekstradural otak terhindar dari regangan saat tindakan,
berbeda dengan pendekatan intradural, meskipun memberikan lapangan pandang
yang lebih baik, namun tindakan ini menyebabkan otak terpapar sehingga risiko
terjadinya infeksi lebih tinggi. Pada kedua tindakan ini dilakukan pengeluaran CSS
melalui drain lumbal untuk beberapa hari pasca operasi sampai diperkirakan edema
otak menghilang.

44
BAB III
KESIMPULAN

Rhinorrhea merupakan cairan atau sekret yang keluar dari hidung. Sekret atau
cairan yang keluar bisa bersifat serosa, mukopurulen, ataupun darah. Rhinorrhea
sendiri bukan merupakan suatu penyakit melainkan gejala dari suatu penyakit. Oleh
karena itu anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang cermat
dan teliti penting dilakukan guna membantu menegakkan diagnosa kelainan yang
mendasari rhinorrhea. Terapi yang adekuat juga diperlukan guna menurunkan
angka kekambuhan yang disebabkan oleh penyakit-penyakit yang mendasari
rhinorrhea serta komplikasinya.

45

Vous aimerez peut-être aussi