Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan tentang Hawalah?
2. Bagaimana penjelasan tentang Wadi’ah?
3. Bagaimana penjelasan tentang Rahn?
4. Bagaimana penjelasan tentang Wakalah?
1
5. Bagaimana penjelasan tentang Kafalah?
6. Bagaimana penjelasan tentang Ju’alah atau Ji’alah?
7. Bagaimana penjelasan tentang Syuf’ah?
8. Bagaimana penjelasan tentang Ash-Sharf?
C. Tujuan Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. AKAD HAWALAH
Definisi Hawalah
Landasan Syari’ah
1
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelaja, 2007)
hlm.258
3
Ulama sepakat (ijma’) membolehkan akad hawalah. Dengan catatan, hawalah
dilakukan atas hutang yang tidak berbentuk barang/benda, karena hawalah adalah
proses pemindahan hutang, bukan pemindahan barang.
Menurut Hanafiyah, rukun hawalah hanya terdiri ijab dari pihak muhil, yakni
orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang, dan qabul dari pihak muhal atau
muhtal, yakni orang yang berpiutang kepada muhil. Mereka menambahkan, akad
hawalah harus didasarkan pada kerelaan dan keridhaan pihak muhal ‘alaih, yakni
orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal,
karena ia merupakan pihak yang harus menanggung beban hutang yang ada.
Menurut mayoritas ulama, rukun hawalah terdiri atas muhil, yakni orang
yang berutang dan sekaligus berpiutang, muhal atau muhtal, yakni orang yang
berpiutang kepada muhil, muhal ‘alaih, yakni orang yang berutang kepada muhil
dan wajib membayar hutang kepada muhtal, muhal bih, yakni hutang muhil
kepada muhtal dan sighat (ijab qabul).
1. Muhil, adalah orang yang berakal dan baligh. Akad hawalah tidak sah
dilakukan oleh anak kecil atau orang gila yang tidak berakal. Selain itu, akad
hawalah harus berjalan dengan persetujuan dan kesepakatan muhil, karena di
sini berlaku konsep ibra’ (pembebasan) utang yang bermakna pemindahan
kepemilikan.
2. Muhal haruslah orang yang berakal dan sudah baligh, dan ada persetujuan
dan kerelaannya untuk menerima hawalah dalam majlis akad.
3. Muhal ‘alaih, syarat yang ada atas diri muhal atau muhtal, juga berlaku pada
diri muhal ‘alaih.
4. Muhal bih harus berupa utang dan bersifat mengikat. Artinya adanya utang
dari pihak muhil kepada muhal, dan hutang tersebut bersifat mengikat.
Malikiyah menambahkan, utang yang ada sudah jatuh tempo, dan nominal
utang harus sama dengan utang muhal ‘alaih.
4
Ketika akad hawalah telah disepakati, maka muhil terbebas dari tuntutan
hutang (bara’ah) dari pihak muhil kepada muhal ‘alaih, artinya ketika muhal
ingin menagih hutang, maka ia harus datang kepada muhal ‘alaih, bukan kepada
muhil, ulama berbeda pendapat tentang peralihan hak ini.
Abu Hanifah dan Abu Yusuf menyatakan, perpindahan hak itu meliputi hak
penagihan dan pembayaran hutang sekaligus, yakni dari pihak muhil beralih
kepada pihak muhal ‘alaih. Akan tetapi, pembayaran utang itu akan kembali lagi
kepada muhil, ketika muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal
dunia.
Akad hawalah akan berakhir ketika terjadi pembatalan, dan muhal memiliki
hak untuk melakukan penagihan kembali kepada muhil. Menurut Hanafiyah,
ketika muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan, maka akad dinyatakan berakhir dan
hak penagihan beralih kepada muhil. Menurut Hambalah, Syafiiyah dan
Malikiyah, ketika akad hawalah telah dilakukan secara sempurna, hak penagihan
dan beban utang tidak bisa dialihkan kembali kepada muhil.
Jika muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan dan muhal tidak diberitahu oleh
muhil, maka ia tetap berhak melakukan penagihan terhadap muhil. Karena, ia
diibaratkan membeli sesuatu yang bersifat majhul (tidak diketahui) dan
mengandung unsur gharar (ketidakpastian).2
2
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah… hlm. 259-261
5
B. WADI’AH
Definisi Wadi’ah
Pengertian Wadiah Secara Etimologi. Wadiah berasal dari kata Al-Wadi’ah
yang berarti titipan murni (amanah) dari satu pihak ke pihak yang lain, baik
individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si
penitip menghendakinya.
Wadiah bermakna amanah. Wadiah dikatakan bermakna amanah karena
Allah menyebut wadiah dengan kata amanah dibeberapa ayat Al-Qur’an.
Pengertian Wadiah Secara Terminologi. Ulama mahzab Hanafi mengartikan
Wadiah adalah memberikan wewenang kepada orang lain untuk menjaga
hartanya. Contohnya seperti ada seseorang menitipkan sesuatu pada seseorang dan
si penerima titipan menjawab ia atau mengangguk atau dengan diam yang berarti
setuju, maka akad tersebut sah hukumnya.
على حفظ ماله صارحا أ و داللة تسليط الغير
“ mengikut sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan
yang jelas maupun isyarat”
Sedangkan mahzab Maliki, Syafi’i, Hanabilah mengartikan wadiah adalah
mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.
في حفظ مملوك على وجه مخصوص توكيل
“ mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu “
Pengertian Wadiah Secara Istilah
Wadi’ah adalah akad seseorang kepada pihak lain dengan menitipkan suatu
barang untuk dijaga secara layak (menurut kebiasaan). Atau ada juga yang
mengartikan wadiah secara istilah adalah memberikan kekuasaan kepada orang
lain untuk menjaga hartanya/ barangnya dengan secara terang-terangan atau
dengan isyarat yang semakna dengan itu”.
Yang dimaksud dengan “barang” disini adalah suatu yang berharga seperti
uang, dokumen, surat berharga dan barang lain yang berharga di sisi Islam.
Dengan demikian akad wadi’ah ini mengandung unsur amanah, kepercayaan
(trusty). Dengan demikian, prinsip dasar wadi’ah adalah amanah, bukan
6
dhamanah. Wadiah pada dasarnya akad tabarru’, (tolong menolong), bukan akad
tijari.
Dasar Hukum Wadiah
Wadiah diterapkan dalam hukum Perbankan di Indonesia karena wadiah
mempunyai landasan yang kuat. Sehingga pelaksanaan wadiah itu harus sesuai
dengan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Dalam Alquran
a. An-Nisa : 58
“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di anatara
manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah
sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha
Mendengar dan Maha Melihat “
b. Al-Baqarah : 283
“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan
seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang.
Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya(utangnya) dan hendaklah dia
bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu
menyembunyikan kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya,
sungguh, hatinya kotor (berdosa), Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan”.
2. Hadist
a. Sabda Nabi Saw: ”Serahkanlah amanat kepada orang yang mempercayai
anda dan janganlah anda mengkhianati orang yang mengkhianati anda”
b. Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tunaikanlah amanat ( titipan ) kepada yang berhak menerimanya dan
janganlah membalas khianat kepada orang yang telah
mengkhianatimu.”(H.R. ABU DAUD dan TIRMIDZI).
c. Kemudian, dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW telah
bersabda: “Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak
7
beramanah, tiada shalat bagi yang tiada bersuci.” (H.R THABRANI).
d. Dan diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau mempunyai
(tanggung jawab) titipan. Ketika beliau akan berangkat hijrah, beliau
menyerahkannya kepada Ummu `Aiman dan ia (Ummu `Aiman)
menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk menyerahkannya kepada yang
berhak.”
3. IJMA`
Ulama sepakat diperbolehkannya wadi’ah. Ia termasuk ibadah Sunah.
Dalam kitab Mubdi disebutkan: “ijma’ dalam setiap masa memperbolehkan
Wadi’ah. Dalam kitab Ishfah disebutkan: ulama sepakat bahwa wadi’ah
termasuk ibadah Sunah dan menjaga barang titipan itu mendapatkan pahala.
Rukun dan Syarat Wadi’ah
Menurut ulama ahli fiqh Imam Abu Hanafi mengatakan bahwa rukun wadi’ah
hanyalah ijab dan qobul. Namun menurut Jumhur ulama mengemukakan bahwa
rukun wadi’ah ada tiga yaitu:
1. Orang yang berakad
2. Barang titipan
3. Sighah, ijab dan qobul
Syarat Wadi’ah antara lain:
1. Orang yang berakad. Orang yang berakad hendaklah orang yang sehat (tidak
gila) diantaranya yaitu:
a. Baligh
b. Berakal
c. Kemauan sendiri, tidak dipaksa
Dalam mazhab Hanafi baligh dan berakal tidak dijadikan syarat dari rang
yang sedang berakad, jadi anak kecil yang diizinkan oleh walinya boleh untuk
melakukan akad wadi’ah ini.
2. Barang titipan. Barang yang dititipkan harus jelas dan dapat dipegang atau
dikuasai, maksudnya ialah barang itu haruslah jelas identitasnya dan dapat
dikuasai untuk dipelihara.
3. Sighah (akad). Yaitu kedua belah pihak melafadzkan akad orang yang
8
menitipkan (mudi’) dan orang yang diberi titipan (wadi’) 3
C. AKAD RAHN
Definisi Rahn
Secara linguistik. rahn bermakna menetap atau menahan. Secara istilah, rahn
adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman
yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan
demikian, pihak yang menahan memperleh jaminan untuk dapat mengambil
kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana, rahn adalah
semacam jaminan utang atau gadai.
Landasan Syariah
Akad rahn diperbolehkan oleh syara 'dengan berbagai dalil dari Al Qur'an
ataupun hadits Nabi saw, begitu juga dengan ijma' ulama. Di antaranya firman
Allah dalam Qs. Al Baqarah : 283. Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Muslim dari ‘Aisyah ra. berkata; "Sesungguhnya Rasulullah saw pernah membeli
makanan dengan berhutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah
baju besi kepada-Nya”.
Hadits Nabi saw diriwayatkan dari al Syafii, Daruquthni dan Ibnu Majah dari
Abu Hurairah, Nabi saw bersabda; “tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari
pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung
risikonya”. Hadits Nabi saw riwayat Jama'ah kecuali Muslim4 dan Nasa’i, Nabi
saw bersabda: “Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan
menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah
susunya dengan menanggung biayanya. Orang yang menggunakan kendaraan dan
memerah susu tersebut wajib menanggung biaya perawatan pemeliharaan”.
3
http://maiqonita.blogspot.com/2015/12/makalah-wadiah-dan-implementasinya.html
4
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah…hlm.262
9
Rukun dan Syarat Rahn
Rukun akad rahn terdiri atas rahin (yang menyerahkan barang), murtahin
(penerima barang), marhun/rahn (barang yang digadaikan), dan marhun bih
(hutang), serta ijab qabul. Menurut Hanafiyah, rukun rahn hanya terdiri dari ijab
dan qabul, rukun selebihnya merupakan turunan dari adanya ijab dan qabul.
Syarat utama yang harus terdapat dalam diri rahin dan murtahin adalah
adanya ahliyyah. Sebuah karakterstik ahliyyah yang melekat dalam transaksi jual
beli, yakni harus berakal dan sudah tamyiz. Akad rahn tidak boleh dilakukan oleh
orang gila atau anak kecil yang belum tamyiz dan belum berakal. Di samping itu,
ijab qabul yang terdapat dalam akad rahn tidak boleh digantungkan (mu’allaq)
dengan syarat tertentu yang bertentangan dengan substansi akad rahn, dan ia juga
tidak boleh disandarkan dengan waktu di masa mendatang.
Untuk marhun bih, Syafiiyyah dan Hanabalah menetapkan tiga syarat utama,
yakni; ia harus berupa hutang yang tetap dan wajib untuk ditunaikan, seperti utang
atau nilai barang yang dirusakkan. Utang itu harus bersifat mengikat, seperti harga
atas barang yang dibeli dalam transaksi jual beli, dan terakhir, nominal utang itu
diketahui secara jelas dan pasti.5
5
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah…hlm.263
10
Ulama sepakat bahwa serah terima (qabdh) merupakan syarat utama dalarn
akad rahn, dan akan dikatakan sah jika memenuhi kriteria sebagai berikut. Serah
terima dilakukan berdasarkan izin dari rahin, jika tidak mendapatkan izin, maka
serah terima tidak dikatakan sah. Ketika serah terima dilakukan, rahin dan
murtahin haruslah memiliki ahliyyah, dalam arti, ia sudah baligh dan berakal,
tidak berupa anak kecil atau sedang gila. Serah terima tersebut bersifat permanen,
artinya, marhun tetap dalam genggaman murtahin dan tidak dirujuk pada rahin.
Menurut Syafiiyah, rahin bisa merujuk marhun untuk dimanfaatkan, dengan izin
murtahin. Hal ini disandarkan pada hadits Daruquthni, dengan catatan, marhun
tidak rusak nilainya ketika dimanfaatkan.
Ketika akad rahn telah disepakati antara rahin dan murtahin, dan telah terjadi
serah terima marhun, terdapat beberapa konsekuensi hukum yang melingkupinya.
Ulama sepakat bahwa biaya yang terkait dengan marhun, menjadi tanggung
jawab rahin sebagai pemilik barang. Akan tetapi, ulama berbeda pendapat tentang
biaya yang wajib ditanggung oleh rahin. Hanafiyah mengatakan, biaya yang
terkait langsung dengan kemaslahatan marhun, menjadi tanggung jawab rahin,
karena ia adalah pemiliknya. Sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk menjaga
11
marhun dari kerusakan, menjadi tanggung jawab murtahin, karena ia yang
menahan dan menjaganya.
6
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah…hlm.264-265
12
Berbeda dengan Syafiiyah, rahin memiliki hak untuk memanfaatkan marhun,
sepanjang tidak mengurangi nilai ekonomis yang melekat di dalamnya, seperti
mengendarai kendaraan, menempati rumah dan lainuya. Dengan alasan, manfaat
dan produktivitas marhun tetap menjadi milik rahin, dan tidak ada hubungannya
dengan hutang. Jika pemanfaatan tersebut dapat mengurangi nilai marhun, seperti
membangun rumah, maka tidak diperbolehkan, kecuali seizin murtahin.
Begitu juga dengan Malikiyah, jika hutang itu berupa pinjaman (qardh),
maka memanfaatkan marhun identic dengan riba. Di mana, jika ada pinjaman
yang memberikan nilai manfaat, maka ia adalah riba. Syafiiyah menambahkan,
murtahin tidak memiliki hak untuk memanfaatkan marhun hal ini berdasarkan
hadits Nabi saw riwayat asy-Syafii, Daruquthni dan Ibnu Majah dari Abu
Hurairah, “Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang
menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya”.
Jika rahin melakukan transaksi (jual beli) atas marhun tanpa seizin murtahin,
maka jual beli tersebut hukumnya mauquf. Dengan alasan, ada hak murtahin yang
melekat dalam marhun. Jika murtahin memberikan izin, maka jual beli
diperbolehkan. Begitu juga dengan murtahin, ia tidak memiliki hak untuk
mentransaksikan marhun tanpa seizin rahin. Hal ini sama dengan transaksi atas
barang yang tidak dimiliki. Hukumunya mauquf sama seperti bai’ al-fudhuli.
13
(sengaja) merusak marhun, maka keduanya berkewajiban untuk mengganti nilai
yang ada.
D. WAKALAH
Definisi Wakalah
Landasan Syariah
7
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah…266-268
14
Suatu ketika Rasulullah pernah mewakilkan dirinya kepada Hakin bin Hizam
atau ‘Urwah al Bariqi untuk membeli domba kurban (HR Daud, Turmudzi,
Akhmad, Bukhari, Abu Daud). Atau kisah Amr bin Umayyah adh-Dhamiri yang
menjadi wakil dalam pernikahan Ummu Habibah binti Abu Sufyan di Habsyah.
Begitu juga dengan pendelegasian mandat dalam menjalankan pemerintahan,
seperti petugas penarik zakat, komando militer, atau gubernur.
Akad wakalah bisa dilaksanakan dengan atau tanpa upah. Dengan demikian
alasan ketika Rasulullah mengirimkan duta untuk menarik zakat di suatu daerah
Rasulullah memberikan gaji kepada mereka (HR. Abu Daud). Ketika akad
wakalah bil ajr telah sempurnakan maka akad tersebut bersifat meningkat. Dalam
artian wakil dihukumi layaknya ajir (orang yang disewa tenaganya) yang memiliki
kawajiban untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan kecuali ada halangan yang
bersifat syar’i.
Jika dalam akad wakalah tersebut upah tidak disebutkan secara jelas maka
wakil berhak atas ujroh al mitsl (upah sepadan) atau sesuai dengan adat kebiasaan
yang berlaku. Jika memang dalam adat tersebut tidak berlaku pemberiam upah
maka akad kembali menjadi akad aslinya yang bersifat tabbaru (charity program).
Jika demikian halnya akad tidak birsifat meningkat dan wakil memiliki hak untuk
membatalkan kapan saja. Ini menurut pendapat Hanafiyyah Malikiyyah dan
Hanabalah. Menurut Syafiiyyah walaupun akad wakalah dijalankan dengan
adanya pemberian upah akad tersebut tetap bersifat tidak mengikat kedua belah
pihak.8
Rukun Wakalah
Rukun wakalah terdiri atas ijab dari muwakkil (pihak yang mewakilkan) dan
qabul dari wakil. Ijab harus diucapkan secara jelas oleh muwakkil sedangkan
qabul tidak harus diungkapan (tidak disyaratkan dalam bentuk lafal verbal) namun
bisa mewujudkan dengan tindakan. Jika wakil mengetahui jenis pekerjaan yang
8
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah… hlm.239-240
15
diwakilkan kemudian ia secara langsung melaksanakannya maka hal ini dianggap
sebuah qabul dari pihak wakil. Selain itu dalam wakalah tidak dipersyaratkan
adanya satu majelis atas ijab dan qabul cukup mengetahui adanya wakalah dan
diwujudkan dalam tidakan.
Akad wakalah tanpa upah bersifat jaiz ghair lazim (diperbolehkan dan tidak
mengikat) artinya kedua pihak memiliki hak untuk membatalkan akad kapan pun
mereka menghendaki. Akad wakalah bisa bersifat kontan artinya bisa dikerjakan
semenjak akad itu disepakati atau disadarkan pada waktu di masa
mendatangartinya akad tersebut berlaku mulai minggu atau bulan depan. Atau
bisa digantungkan dengan sebuah syarat misalnya jika Oktavia datang maka
engkau menjadi wakilku untuk menjual buku ini. Menurut Syafiiyyah akad
wakalah tidak bisa disadarkan pada syarat baik kondisi atau waktu namun harus
dilakukan dengan syarat baik kondisi atau waktu namun harus dilakukan dengan
segera untuk menghindari terjadi gharar.
Syarat Wakalah
Seorang wakil disyaratkan haruslah orang yang berakal dan tamyiz. Anak
kecil, orang gila, anak belum tamyiz tidak boleh menjadi wakil ini menurut
pendapat ulama Hanafiyyah. Ulama selain Hanafiyyah juga menyatakan hal yang
sama. Anak kecil tidak boleh menjadi wakil karena mereka belum bisa terbebani
dengan hukum-hukum syar’i. Segala tindakan yang dilakukan belum bisa diakui.
16
secara jelas apa yang harus dikerjakan dengan spesifikasi yang diinginkan.
Sesuatu yang diwakilkan itu harus diperbolehkan secara syar’i. Tidak
diperbolehkan mewakilkan sesuatu yang diharamkan syara seperti mencuri,
merampok, dan lain-lain. Objek tersebut memang bisa diwakilkan dan
didelegasikan(diwakilkan) kepada orang lain seperti akad jual beli, ijarah, dan
lain-lain.9
Macam Wakalah
Selain itu akad wakalah juga bisa dibagi menjadi al-wakalah al-muqayyadah
dan al-wakalah al-muthlaqah. Al-muqayyadah adalah akad wakalah di mana
wewenang dan tindakan si wakil dibatasi dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya
juallah mobilku ini seharga Rp 100 juta jika kontan dan Rp 150 juta jika kredit.
Dalam konteks ini wakil hanya bisa melaksanakan perwakilan sebatas persyaratan
yang disebutkan muwakkil tidak lebih.
9
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah… hlm.241-242
17
Al-wakalah al-muthlaqah adalah akad wakalah dimana wewenang dan
tindakan wakil tidak dibatasi dengan syarat atau kaidah tertentu. Misalnya juallah
mobil ini tanpa menyebutkan harga yang diinginkan ataupun mekanisme
pembayarannya. Menurut Abu Hanafiyah diri wakil memiliki kewenangan mutlak
untuk menjual mobil baik harganya lebih besar atau kecil. Wakil tetap dalam
kemutlakannya sepanjang tidak ditemukan bukti, dalil, atau indikasi yang
membatasi kewenangannya.10
Wakalah Paralel
Bolehkah seorang wakil kembali mewakilkan dirinya kepada orang lain untuk
menjadi wakilnya? Jika akad wakalah yang digunakan adalah al-wakalah al-
khosshoh dan al-muqayyadah di mana diri wakil dibatasi bahwa hanya dirinya
yang berhak melaksanakan madat maka ia tidak boleh mewakilkan dirinya kepada
orang lain.
Jika akad wakalah yang digunakan adalah al-ammah dan al-muthlaqah maka
diri wakil bisa mewakilkan dirinya kepada orang lain sebagai wakilnya dan status
wakil pertama dan kedua menjadi wakil dari pihak muwakkil. Ini menurut
pendapat Hanafiyah. Menurut Syafiiyyah dan Hanabalah wakil tidak boleh
mewakilkan dirinya kepada orang lain tanapa mendapat izin dari muwakkil
terlebih jika ia tidak mampu melaksanakan madat maka ia boleh mewakilkan
kepada orang lain.
Ulama fiqh sepakat bahwa hukum akad yang dilakukan oleh pihak wakil
secara otomatis akan kembali kepada diri muwakkil. Artinya kesepakatan yang
dibentuk mencerminkan keinginan dari muwakkil sehingga akad tersebut akan
kembali kepada muwakkil. Kesepakatan dan akad yang di bangun oleh pihak
wakil dengan pihak ketiga secara otomatis akan menjadi kesepakatan dan akad
muwakkil.
10
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah… hlm.243
18
Jika transaksi yang dilakukan harus disandarkan kepada muwakkil maka
wakil tidak boleh menyandarkan transaksi tersebut kepada pribadinya. Jika hal itu
dilakukan maka transaksi akan menjadi milik wakil tidak kembali kepada
muwakkil. Misalnya dalam akad pernikahan, talak, khulu, hibah, ariyah, wadi’ah,
dan rahn.
Untuk itu ketika wakil melaksanakan akad maka harus disandarkan kepada
diri muwakkil misal aku terima Raihana binti Abdillah untuk Faiq Abdurrahman
aku hibahkan harta Ali kepada engkau dan lain-lain. Jika dalam akad ini
disandarkan kepada diri wakil misal aku terima nikahnya Raihana binti Abdillah
maka Raihana akan resmi menjadi isteri wakil bukan muwakkil.
Jika transaksi yang dilakukan tidak ada kewajiban untuk disandarkan kepada
muwakkil maka transaksi akan kembali kepada pihak yang melakukan akad. Jika
dalam akad transaksi disandarkan kepada diri wakil maka akad akan kembali
kepada wakil. Seluruh hak dan kewajiban yang terkait dengan akad akan kembali
kepada wakil dan berlaku sebaliknya (vice versa). Seperti halnya dalam transaksi
jual beli, ijarah, dan yang sejenis (al mu’awadlat al-maliyah).
Hal ini dikarenakan pihak yang terlibat secara langsung dalam akad adalah
diri wakil dan ia yang paling tahu segala konsekuensi yang ada dalam akad. Ini
menurut pendapat Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Safiiyyah dengan alasan hak dan
kewajiban dalam akad berhubungan langsung dengan diri wakil.
11
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah… hlm.244-245
19
Berakhirnya Akad Wakalah
Terkait dengan legalitas akad kafalah ulama fiqh menggunakan dalil dari QS.
Yusuf ayat 72: ”Penyeru-penyeru itu berseru. Kami hilangkan piala raja dan
barang siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan seberat
beban unta dan aku menjamin terhadapnya”. Ibnu Abbas menafsirkan kata ‘zaim’
dalam ayat tersebut bermakna kafil atau penjamin. Dengan demikian akad kafalah
diperbolehkan secara syara.
12
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah… hlm.246
20
Sebagian ulama fiqh mengatakan ayat dia atas tidak cukup kuat untuk
dijadikan sebagai dasar legalitas akad kafalah yng lebih tepat ayat ini sebagai
dasar akad ju’alah. Dalam konteks ini Yusuf as mengumumkan sayembara barang
siapa yang berhasil mengembalikan piala raja yang hilang maka ia berhak
mendapatkan hadiah dan beliau akan menjaminnya.
Namun demikian ulama fiqh memiliki landasan lain dalm hal ini. Yakni QS.
Yusuf ayat 78. Ayat ini menunjukkan praktik kafalah bi an-nafs dimana saudara
Yusuf as menawarkan diri sebagai pengganti saudaranyayang lain di hadapan.
Di samping itu ulama fiqh juga berpegang pada ijma sahabat dan praktik-
praktik yang dilakukan khulafaur rasyidin dan sahabat tabi’in. Diwirayatkan
Abdullah ibn Mas’ud akan menanggung (menjamin) keluarga kaum murtad
setelah diminta untuk bertaubat.
Rukun kafalah terdiri atas sighat kafalah (ijab dan qabul), makful bih (objek
tanggungan), kafil (penjamin), makful anhu (tertanggung), makful lahu (penerima
hak tanggungan).13
13
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah… hlm.247-248
21
2. Makful Bihi. Objek pertanggungan harus bersifat mengikat terhadap diri
tertanggung dan tidak bisa dibatalkan tanpa adanya sebab syar’i. Selain itu
objek tersebut harus merupakan tanggung jawab penuh pihak tertanggung.
3. Kafil. Ulama fiqh mensyaratkan seorang kafil haruslah orang yang berjiwa
filantropi orang yang terbiasa berbuat baik demi kemaslahatan orang lain.
Selain itu ia juga orang yang telah baligh dan berakal. Akad kafalah tidak
boleh dilakukan oleh anak kecil, orang-orang safih ataupun orang yang
terhalang untuk melakukan transaksi (mahjur alaih).
4. Makful Lahu. Ulama mensyaratkan makful lahu harus dikenali oleh kafil guna
meyakinkan pertanggungan yang menjadi bebannya dan mudah untuk
memenuhinya. Selain itu ia juga disyaratkan untuk menghadiri majelis akad.
Ia adalah orang yang baligh dan berakal tidak boleh orang gila atau anak kecil
yang belum berakal.
Jenis Kafalah
Secara garis besar akad kafalah dapat dibedakan menjadi al-kafalah bil-mal
dan al-kafalah bin-nafs. Al-kafalah bil-mal merupakan jaminan pembayaran
barang atau pelunasan hutang. Sedangkan al-kafalah bin-nafs merupakan akad
pemberian jaminan atas diri (personal guarantee). Sebagai contoh dalam praktik
seorang nasabah mendapatkan pembiayaan dengan jaminan reputasi dan nama
baik seseorang atau tokoh masyarakat. Walaupun secara fisik pihak bank tidak
memegang jaminan tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan
pembayaran ketika nasabah mengalami kesulitan.14
14
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah…hlm.249-250
22
Akad kafalah bin-nafs akan berakhir ketika makful bihi telah menyerahkan
diri dan hadir di hadapan makful lahu dan menyelesaikan akad pertanggungan.
Diri kafil mendapatkan pembebasan dari makful lahu maka akad kafalah berakhir
atau ketika makful anhu meninggal dunia.
Definisi Ju’alah
Pengertian secara etimologi berarti upah atau hadiah yang diberikan kepada
seseorang karena orang tersebut mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan
tertentu.
Contoh: seseorang berkata : “Siapa saja yang dapat menemukan kucing saya yang
hilang, maka saya beri imbalam upah lima puluh ribu rupiah”.
23
Syarat-Syarat Ju’alah
1. Orang yang menjanjikan upah atau hadiah harus orang yang cakap untuk
melakukan tindakan hukum, yaitu: baligh, berakal dan cerdas. Dengan
demikian anak-anak, orang gila dan orang yang berada dalam pengampuan
tidak sah melakukan Ju’alah.
2. Upah atau hadiah yang dijanjikan harus terdiri dari sesuatu yang bernilai harta
dan jelas juga jumlahnya. Harta yang haram tidak dipandang sebagai harta
yang bernilai (Madzhab Maliki, Syafi’I dan Hanbali).
3. Pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung manfaat yang jelas
dan boleh dimanfaatkan menurut hukum syara’.
4. Madzhab Maliki dan Syai’i menambahkan syarat, bahwa dalam masalah
tertentu, Ju’alah tidak boleh dibatasi dengan waktu tertentu, seperti
mengembalikan (menemukan) orang yang hilang. Sedangkan Madzhab
Hanbali membolehkan pembatasan waktu.
5. Madzhab Hanbali menambahkan, bahwa pekerjaan yang diharapkan hasilnya
itu, tidak terlalu berat, meskipun dapat dilakukan berulangkali seperti
mengembalikan binatang ternak yang lepas dalam jumlah banyak.
Rukun-Rukun Ju’alah
15
http://irginurfadil.blogspot.com/2016/12/makalah-fiqih-muamalah-jualah-
pemberian.html
24
G. SYUF’AH
Sedangkan menurut Idris Ahmad, bahwa al-Syuf’ah ialah hak yang tetap
secara paksa bagi syarikat lama atas syarikat baru dengan jalan ganti kerugian
pada benda yang menjadi milik bersama.
Contoh al-Syuf’ah
Umar membeli satu buah rumah bersama dengan jafar, rumah tersebut terdiri
atas delapan kamar, emapat kamar untuk umar dan empat kamar milik ja’far,
kemudian ja’far punya kehendakk untuk menjual kamar nya kepada yang lain,
dalam hal ini umar dapat memaksa ja’far untuk menguasai empat kamar miliknya
dengan imbalan yang sebagaimana layaknya berlaku, artinya umar lebih berhak
membeli daripada orang lain.
Setelah diketahui ta’rif – ta’rif yang dikemukakan oleh para ulama beserta
contohnya, kiranya dapat dipahami bahawa al-Syuf’ah ialah pemilikan oleh salah
seorang sya’riq dari dua orang atau pihak yang berserikat dengan paksaan
terhadap benda syirkah.
25
a. Barang yang disyuf’ahkan berbentuk barang tetap (Uqar), seperti tanah,
rumah dan hal-hal yang berkaitan dengan keduanya seperti tanaman,
bangunan, pintu-pintu, pagar, atap rumah dan semua yang termasuk
dengan penjualan pada saat dilepas.16
2. Syafi’ yaitu orang yang akan mengambil atau menerima Syuf’ah, adapun
syarat-syaratnya ialah:
a. Orang yang membeli secara Syuf’ah adalah patner dalam benda atau
barang tersebut, perpartneran mereka lebih dahulu terjalin sebelum
penjualan, tidak adanya perbedaan batasan diantara keduanya, sehingga
benda itu menjadi milik mereka berdua secara bersamaan.
b. Syarat yang kedua adalah Syafi’I meminta dengan seger.
Jika Syafi’i tidak ada atau belum mengetahui penjualan atau tidak
mengetahui bahwa memperlambat dapat menggugurkan syuf’ah, dalam
keadaan seperti ini haknya tidak gugur. Salah satu riwayat dari Abu
Hanifah bahwa permintaan tidak wajib dengan segera setelah
mengetahui, karena Syafi’i memerlukan pertimbangan dalam persoalan
ini, maka ia berhak khiar seperti khiar dalam jual beli.
16
Drs. H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002)hlm.161-162
26
d. Syafi’I mengambil keseluruhan barang
Pewarisan Syuf’ah
Menurut Imam Ahmad bahwa syuf’ah tidak dapat diwariskan, kecuali jika
mayat menuntutnya. Sedangkan menurut Mazhab Hanafi bahwa Syuf’ah tidak
dapat diwariskan dan tidak dapat dijual sekalipun mayit menuntut Syuf’ah,
kecuali jika hakim telah memutuskannya dann kemudian ia meninggal dunia.
17
Drs. H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah… hlm. 164-167
27
Tindakan Pembeli
Adapun tindakan pembeli yang telah didahului oleh tindakan syuf’ah oleh
Syafi’I adalah bathil, sebab Syafi’I telah melaksanakan haknya da nada
kemungkinan pembeli bermaksud mempermainkan hak Syafi’i.
H. ASH-SHARF
Definisi Ash-Sharf
18
Drs. H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah… hlm.167-168
28
Valuta asing disini maksutnya adalah mata uang luar negri seperti dolar
Amerika, Poundsterling, Inggris, Ringgit Malasyia dan sebagainnya. Sharf juga
bisa diartikan sebagai jual beli uang logam dengan uang logam lainnya. Misalnya
jual beli dinar, emas dan dirham perak.
Menurut istilah fiqh, Ash-Sharf adalah jual beli antara barang sejenis atau
antara barang tidak sejenis secara tunai.Seperti memperjualbelikan emas dengan
emas atau emas dengan perak baik berupa perhiasan maupun mata uang. Praktek
jual beli antar valuta asing (valas), atau penukaran antara mata uang sejenis.
Menurut Heri Sudarsono, Sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta
dengan valuta lainnya. Transaksi jual beli mata uang asing (valuta asing) dapat
dilakukan baik dengan sesama mata uang yang sejenis, misalnya rupiah dengan
rupiah maupun yang tidak sejenis, misalnya rupiah dengan dolar atau sebaliknya.
1. Menurut Al-quran
Dalam Al-quran tidak ada penjelasan mengenai jual beli sharf itu sendiri,
melainkan hanya menjelaskan dasar hukum jual beli pada umumnya yang
terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 275, yaitu:
29
”Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”
2. Menurut Al-Hadis
a. Dari Ubadah bin Shamit r.a Nabi SAW. Berkata, “Emas dengan emas,
perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir,
kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaklah sama banyaknya,
tunai dan timbang terima. Apabila berlainan jenisnya boleh kamu jual
kehendakmu asal tunai.”
b. Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW. Bersabda, “(boleh menjual) emas
dengan emas setimbang, sebanding, dan perak dengan perak setimbang
sebanding” (H.R Ahmad, Muslim dan Nasa’i)
c. Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, (Boleh menjual) tamar dengan tamar,
gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, garam dengan garam,
sama sebanding, tunai dengan tunai. Barang siapa menambah atau minta
tambah maka telah berbuat riba, kecuali yang berlainan warnanya” (H.R
Muslim)
d. Dari Abu Bakrah r.a Nabi SAW. Melarang (menjual) perak dengan
perak, emas dengan emas, kecuali sama. Dan Nabi menyuruh kami
30
membeli perak dengan emas sesuka kami dan membeli emas dengan
perak kami pula” (H.R Bukhari-Muslim).
3. Menurut Ijma
Rukun dari akad sharf yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa hal,
yaitu:
1. Pelaku akad, yaitu ba’I (penjual) adalah pihak yang memiliki valuta untuk
dijual, dan musytari (pembeli) adalah pihak yang memerlukan dan akan
membeli valuta
2. Objek akad, yaitu sharf (valuta) dan si’rus sharf (nilai tukar)
3. Shighah yaitu ijab dan qabul
31
1. Valuta (sejenis atau tidak sejenis) apabila sejenis, harus ditukar dengan
jumlah yang sama. Apabila tidak sejenis, pertukaran dilakukan sesuai dengan
nilai tukar.
2. Waktu penyerahan (spot)19
19
http://makalahqw.blogspot.com/2016/11/makalah-pengertian-ash-sharf.html
32
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dalam istilah ulama fiqh, hawalah merupakan pemindahan beban
hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal
‘alaih atau orang yang berkewajiban membayar hutang. Ulama fiqh
menetapkan beberapa syarat terkait dengan rukun hawalah: Muhil,
adalah orang yang berakal dan baligh. Akad hawalah harus berjalan
dengan persetujuan dan kesepakatan muhil, karena di sini berlaku
konsep ibra’ (pembebasan) utang yang bermakna pemindahan
kepemilikan, Muhal haruslah orang yang berakal dan sudah baligh, dan
ada persetujuan dan kerelaannya untuk menerima hawalah dalam
majlis akad, Muhal ‘alaih, syarat yang ada atas diri muhal atau muhtal,
juga berlaku pada diri muhal ‘alaih, Muhal bih harus berupa utang dan
bersifat mengikat.
2. Wadi’ah adalah akad seseorang kepada pihak lain dengan menitipkan
suatu barang untuk dijaga secara layak (menurut kebiasaan). Menurut
ulama ahli fiqh Imam Abu Hanafi mengatakan bahwa rukun wadi’ah
hanyalah ijab dan qobul. Namun menurut Jumhur ulama
mengemukakan bahwa rukun wadi’ah ada tiga yaitu: Orang yang
berakad, Barang titipan, Sighah (ijab dan qobul)
3. Secara istilah, rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam
sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan
tersebut memiliki nilai ekonomis. Rukun akad rahn terdiri atas rahin
(yang menyerahkan barang), murtahin (penerima barang), marhun/rahn
(barang yang digadaikan), dan marhun bih (hutang), serta ijab qabul.
Syarat utama yang harus terdapat dalam diri rahin dan murtahin adalah
adanya ahliyyah.
4. Menurut Hanafiyyah, wakalah adalah memosisikan orang lain sebagai
pengganti dirinya untuk menyelesaikan suatu persoalan yang
33
diperbolehkan secara syar’i dan jelas jenis pekerjaannya. Rukun
wakalah terdiri atas ijab dari muwakkil (pihak yang mewakilkan) dan
qabul dari wakil. Seorang muwakkil disyaratkan harus memiliki
otoritas penuh atas suatu pekerjaan yang akan didelegasikan kepada
orang lain. Akad wakalah dapat dibedakan menjadi al-wakalah al-
ammah dan al-khosshoh.
5. Akad khalafah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung
kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang
ditanggung. Rukun kafalah terdiri atas sighat kafalah (ijab dan qabul),
makful bih (objek tanggungan), kafil (penjamin), makful anhu
(tertanggung), makful lahu (penerima hak tanggungan). Secara garis
besar akad kafalah dapat dibedakan menjadi al-kafalah bil-mal dan al-
kafalah bin-nafs.
6. Pengertian Ju’alah secara etimologi berarti upah atau hadiah yang
diberikan kepada seseorang karena orang tersebut mengerjakan atau
melaksanakan suatu pekerjaan tertentu. Salah satu syarat Ju’alah
adalah orang yang menjanjikan upah atau hadiah harus orang yang
cakap untuk melakukan tindakan hukum, yaitu: baligh, berakal dan
cerdas. Rukun Ju’alah ada empat, yaitu: al-qaid/al-ja’il, al-maj’ul, al-
ji’l, ijab.
7. al-Syuf’ah ialah pemilikan oleh salah seorang sya’riq dari dua orang
atau pihak yang berserikat dengan paksaan terhadap benda syirkah.
Adapun syarat dan rukun Syuf’ah ialah: Masyfu’, Syafi’I, Masyfu’
min bu, yaitu orang tempat mengambil syuf’ah.
8. Menurut istilah fiqh, Ash-Sharf adalah jual beli antara barang sejenis
atau antara barang tidak sejenis secara tunai.Seperti memperjualbelikan
emas dengan emas atau emas dengan perak baik berupa perhiasan
maupun mata uang. Rukun dari akad sharf yang harus dipenuhi dalam
transaksi ada beberapa hal, yaitu: Pelaku akad, yaitu ba’I (penjual),
Objek akad, Shighah. Sedangkan syarat dari akad sharf, yaitu: Valuta
(sejenis atau tidak sejenis) dan Waktu penyerahan (spot).
34
DAFTAR PUSTAKA
http://maiqonita.blogspot.com/2015/12/makalah-wadiah-dan-
implementasinya.html
http://irginurfadil.blogspot.com/2016/12/makalah-fiqih-muamalah-jualah-
pemberian.html
http://makalahqw.blogspot.com/2016/11/makalah-pengertian-ash-sharf.html
35