Vous êtes sur la page 1sur 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai makhluk social, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan


dengan orang lain dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia
tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain.
Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi
kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban
keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan
dalam kerangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses
untuk berakad atau melakukan kontrak. Hubungan ini merupakah fitrah yang
sudah ditakdirkan oleh Allah. karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak
manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang
komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad
untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa.

Dalam pembahasan fiqih, akad atau kontrak yang dapat digunakan


bertransaksi sangat beragam, sesuai dengan karakteristik dan spesifikasi
kebutuhan yang ada. Sebelum membahas lebih lanjut tentang pembagian atau
macam-macam akad secara spesifik, akan dijelaskan teori akad secara umum
yang nantinya akan dijadikan sebagai dasar untuk melakukan akad-akad
lainnya secara khusus . Maka dari itu, dalam makalah ini kami akan mencoba
untuk menguraikan mengenai berbagai hal yang terkait dengan akad dalam
pelaksanaan muamalah di dalam kehidupan kita sehari-hari.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan tentang Hawalah?
2. Bagaimana penjelasan tentang Wadi’ah?
3. Bagaimana penjelasan tentang Rahn?
4. Bagaimana penjelasan tentang Wakalah?

1
5. Bagaimana penjelasan tentang Kafalah?
6. Bagaimana penjelasan tentang Ju’alah atau Ji’alah?
7. Bagaimana penjelasan tentang Syuf’ah?
8. Bagaimana penjelasan tentang Ash-Sharf?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui tentang Hawalah.

2. Untuk mengetahui tentang Wdi’ah.


3. Untuk mengetahui tentang Rahn.
4. Untuk mengetahui tentang Wakalah.
5. Untuk mengetahui tentang Kafalah.
6. Untuk mengetahui tentang Ju’alah atau Ji’alah.
7. Untuk mengetahui tentang Syuf’ah.
8. Untuk mengetahui tentang As-Sharf.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. AKAD HAWALAH

Definisi Hawalah

Secara lingustik, hawalah bermakna perpindahan. Menurut istilah Hanafiyah,


hawalah adalah akad perpindahan penagihan hutang dari orang yang berhutang
kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah ulama fiqh, hawalah
merupakan pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi
tanggungan muhal ‘alaih atau orang yang berkewajiban membayar hutang.

Secara sederhana, hal ini dapat dijelaskan bahwa A (muhal) memberi


pinjaman kepada B (muhil), sedangkan B masih mempunyai piutang pada C
(muhal ‘alaih). Begitu pihak B tidak mampu membayar hutangnya pada A, ia lalu
mengalihkan beban hutang tersebut kepada pihak C. dengan demikian, pihak C
yang harus membayar hutang B kepada A, sedangkan hutang C sebelumnya pada
B dianggap selesai.

Landasan Syari’ah

Akad hawalah diperbolehkan berdasarkan sunnah dan ijma’ ulama.


Diriwayatkan dari Imam Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda;
“Menunda-nunda pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah
suatu kedzaliman. Maka, jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan
piutangnya (di-hawalah-kan) kepada pihak yang mampu, maka terimalah”.1

Pada hadits tersebut, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang


mengutangkan, jika orang yang berhutang meng-hawalah-kan kepada orang yang
mampu, hendaklah ia menerima hawalah tersebut, dan hendaklah ia menagih
kepada orang yang di-hawalah-kan. Dengan demikian, haknya dapat terpenuhi.

1
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelaja, 2007)
hlm.258

3
Ulama sepakat (ijma’) membolehkan akad hawalah. Dengan catatan, hawalah
dilakukan atas hutang yang tidak berbentuk barang/benda, karena hawalah adalah
proses pemindahan hutang, bukan pemindahan barang.

Rukun dan Syarat Hawalah

Menurut Hanafiyah, rukun hawalah hanya terdiri ijab dari pihak muhil, yakni
orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang, dan qabul dari pihak muhal atau
muhtal, yakni orang yang berpiutang kepada muhil. Mereka menambahkan, akad
hawalah harus didasarkan pada kerelaan dan keridhaan pihak muhal ‘alaih, yakni
orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal,
karena ia merupakan pihak yang harus menanggung beban hutang yang ada.

Menurut mayoritas ulama, rukun hawalah terdiri atas muhil, yakni orang
yang berutang dan sekaligus berpiutang, muhal atau muhtal, yakni orang yang
berpiutang kepada muhil, muhal ‘alaih, yakni orang yang berutang kepada muhil
dan wajib membayar hutang kepada muhtal, muhal bih, yakni hutang muhil
kepada muhtal dan sighat (ijab qabul).

Ulama fiqh menetapkan beberapa syarat terkait dengan rukun hawalah:

1. Muhil, adalah orang yang berakal dan baligh. Akad hawalah tidak sah
dilakukan oleh anak kecil atau orang gila yang tidak berakal. Selain itu, akad
hawalah harus berjalan dengan persetujuan dan kesepakatan muhil, karena di
sini berlaku konsep ibra’ (pembebasan) utang yang bermakna pemindahan
kepemilikan.
2. Muhal haruslah orang yang berakal dan sudah baligh, dan ada persetujuan
dan kerelaannya untuk menerima hawalah dalam majlis akad.
3. Muhal ‘alaih, syarat yang ada atas diri muhal atau muhtal, juga berlaku pada
diri muhal ‘alaih.
4. Muhal bih harus berupa utang dan bersifat mengikat. Artinya adanya utang
dari pihak muhil kepada muhal, dan hutang tersebut bersifat mengikat.
Malikiyah menambahkan, utang yang ada sudah jatuh tempo, dan nominal
utang harus sama dengan utang muhal ‘alaih.

4
Ketika akad hawalah telah disepakati, maka muhil terbebas dari tuntutan
hutang (bara’ah) dari pihak muhil kepada muhal ‘alaih, artinya ketika muhal
ingin menagih hutang, maka ia harus datang kepada muhal ‘alaih, bukan kepada
muhil, ulama berbeda pendapat tentang peralihan hak ini.

Abu Hanifah dan Abu Yusuf menyatakan, perpindahan hak itu meliputi hak
penagihan dan pembayaran hutang sekaligus, yakni dari pihak muhil beralih
kepada pihak muhal ‘alaih. Akan tetapi, pembayaran utang itu akan kembali lagi
kepada muhil, ketika muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal
dunia.

Menurut Imam Muhammad, yang berpindah hanyalah hak penagihan saja,


bukan hak pembayaran nominal utang yang ada. Beban pembayaran utang tetap
melekat pada diri muhil. Menurut Zafar, hak penagihan dan pembayaran utang
tidak bisa berpindah kepada muhal ‘alaih, muhal ‘alaih hanyalah sebagai
penanggung (kafil) bagi muhil ketika ia tidak mampu membayar. Menurut
pendapat yang rajih, muhal memiliki hak untuk melakukan penagihan dan
pembayaran nominal utang dari muhal ‘alaih.

Akad hawalah akan berakhir ketika terjadi pembatalan, dan muhal memiliki
hak untuk melakukan penagihan kembali kepada muhil. Menurut Hanafiyah,
ketika muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan, maka akad dinyatakan berakhir dan
hak penagihan beralih kepada muhil. Menurut Hambalah, Syafiiyah dan
Malikiyah, ketika akad hawalah telah dilakukan secara sempurna, hak penagihan
dan beban utang tidak bisa dialihkan kembali kepada muhil.

Jika muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan dan muhal tidak diberitahu oleh
muhil, maka ia tetap berhak melakukan penagihan terhadap muhil. Karena, ia
diibaratkan membeli sesuatu yang bersifat majhul (tidak diketahui) dan
mengandung unsur gharar (ketidakpastian).2

2
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah… hlm. 259-261

5
B. WADI’AH

Definisi Wadi’ah
Pengertian Wadiah Secara Etimologi. Wadiah berasal dari kata Al-Wadi’ah
yang berarti titipan murni (amanah) dari satu pihak ke pihak yang lain, baik
individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si
penitip menghendakinya.
Wadiah bermakna amanah. Wadiah dikatakan bermakna amanah karena
Allah menyebut wadiah dengan kata amanah dibeberapa ayat Al-Qur’an.
Pengertian Wadiah Secara Terminologi. Ulama mahzab Hanafi mengartikan
Wadiah adalah memberikan wewenang kepada orang lain untuk menjaga
hartanya. Contohnya seperti ada seseorang menitipkan sesuatu pada seseorang dan
si penerima titipan menjawab ia atau mengangguk atau dengan diam yang berarti
setuju, maka akad tersebut sah hukumnya.
‫على حفظ ماله صارحا أ و داللة تسليط الغير‬
“ mengikut sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan
yang jelas maupun isyarat”
Sedangkan mahzab Maliki, Syafi’i, Hanabilah mengartikan wadiah adalah
mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.
‫في حفظ مملوك على وجه مخصوص توكيل‬
“ mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu “
Pengertian Wadiah Secara Istilah
Wadi’ah adalah akad seseorang kepada pihak lain dengan menitipkan suatu
barang untuk dijaga secara layak (menurut kebiasaan). Atau ada juga yang
mengartikan wadiah secara istilah adalah memberikan kekuasaan kepada orang
lain untuk menjaga hartanya/ barangnya dengan secara terang-terangan atau
dengan isyarat yang semakna dengan itu”.
Yang dimaksud dengan “barang” disini adalah suatu yang berharga seperti
uang, dokumen, surat berharga dan barang lain yang berharga di sisi Islam.
Dengan demikian akad wadi’ah ini mengandung unsur amanah, kepercayaan
(trusty). Dengan demikian, prinsip dasar wadi’ah adalah amanah, bukan

6
dhamanah. Wadiah pada dasarnya akad tabarru’, (tolong menolong), bukan akad
tijari.
Dasar Hukum Wadiah
Wadiah diterapkan dalam hukum Perbankan di Indonesia karena wadiah
mempunyai landasan yang kuat. Sehingga pelaksanaan wadiah itu harus sesuai
dengan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Dalam Alquran
a. An-Nisa : 58
“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di anatara
manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah
sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha
Mendengar dan Maha Melihat “
b. Al-Baqarah : 283
“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan
seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang.
Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya(utangnya) dan hendaklah dia
bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu
menyembunyikan kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya,
sungguh, hatinya kotor (berdosa), Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan”.
2. Hadist
a. Sabda Nabi Saw: ”Serahkanlah amanat kepada orang yang mempercayai
anda dan janganlah anda mengkhianati orang yang mengkhianati anda”
b. Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tunaikanlah amanat ( titipan ) kepada yang berhak menerimanya dan
janganlah membalas khianat kepada orang yang telah
mengkhianatimu.”(H.R. ABU DAUD dan TIRMIDZI).
c. Kemudian, dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW telah
bersabda: “Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak

7
beramanah, tiada shalat bagi yang tiada bersuci.” (H.R THABRANI).
d. Dan diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau mempunyai
(tanggung jawab) titipan. Ketika beliau akan berangkat hijrah, beliau
menyerahkannya kepada Ummu `Aiman dan ia (Ummu `Aiman)
menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk menyerahkannya kepada yang
berhak.”
3. IJMA`
Ulama sepakat diperbolehkannya wadi’ah. Ia termasuk ibadah Sunah.
Dalam kitab Mubdi disebutkan: “ijma’ dalam setiap masa memperbolehkan
Wadi’ah. Dalam kitab Ishfah disebutkan: ulama sepakat bahwa wadi’ah
termasuk ibadah Sunah dan menjaga barang titipan itu mendapatkan pahala.
Rukun dan Syarat Wadi’ah
Menurut ulama ahli fiqh Imam Abu Hanafi mengatakan bahwa rukun wadi’ah
hanyalah ijab dan qobul. Namun menurut Jumhur ulama mengemukakan bahwa
rukun wadi’ah ada tiga yaitu:
1. Orang yang berakad
2. Barang titipan
3. Sighah, ijab dan qobul
Syarat Wadi’ah antara lain:
1. Orang yang berakad. Orang yang berakad hendaklah orang yang sehat (tidak
gila) diantaranya yaitu:
a. Baligh
b. Berakal
c. Kemauan sendiri, tidak dipaksa
Dalam mazhab Hanafi baligh dan berakal tidak dijadikan syarat dari rang
yang sedang berakad, jadi anak kecil yang diizinkan oleh walinya boleh untuk
melakukan akad wadi’ah ini.
2. Barang titipan. Barang yang dititipkan harus jelas dan dapat dipegang atau
dikuasai, maksudnya ialah barang itu haruslah jelas identitasnya dan dapat
dikuasai untuk dipelihara.
3. Sighah (akad). Yaitu kedua belah pihak melafadzkan akad orang yang

8
menitipkan (mudi’) dan orang yang diberi titipan (wadi’) 3

C. AKAD RAHN

Definisi Rahn

Secara linguistik. rahn bermakna menetap atau menahan. Secara istilah, rahn
adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman
yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan
demikian, pihak yang menahan memperleh jaminan untuk dapat mengambil
kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana, rahn adalah
semacam jaminan utang atau gadai.

Landasan Syariah

Akad rahn diperbolehkan oleh syara 'dengan berbagai dalil dari Al Qur'an
ataupun hadits Nabi saw, begitu juga dengan ijma' ulama. Di antaranya firman
Allah dalam Qs. Al Baqarah : 283. Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Muslim dari ‘Aisyah ra. berkata; "Sesungguhnya Rasulullah saw pernah membeli
makanan dengan berhutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah
baju besi kepada-Nya”.

Hadits Nabi saw diriwayatkan dari al Syafii, Daruquthni dan Ibnu Majah dari
Abu Hurairah, Nabi saw bersabda; “tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari
pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung
risikonya”. Hadits Nabi saw riwayat Jama'ah kecuali Muslim4 dan Nasa’i, Nabi
saw bersabda: “Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan
menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah
susunya dengan menanggung biayanya. Orang yang menggunakan kendaraan dan
memerah susu tersebut wajib menanggung biaya perawatan pemeliharaan”.

3
http://maiqonita.blogspot.com/2015/12/makalah-wadiah-dan-implementasinya.html
4
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah…hlm.262

9
Rukun dan Syarat Rahn

Rukun akad rahn terdiri atas rahin (yang menyerahkan barang), murtahin
(penerima barang), marhun/rahn (barang yang digadaikan), dan marhun bih
(hutang), serta ijab qabul. Menurut Hanafiyah, rukun rahn hanya terdiri dari ijab
dan qabul, rukun selebihnya merupakan turunan dari adanya ijab dan qabul.

Syarat utama yang harus terdapat dalam diri rahin dan murtahin adalah
adanya ahliyyah. Sebuah karakterstik ahliyyah yang melekat dalam transaksi jual
beli, yakni harus berakal dan sudah tamyiz. Akad rahn tidak boleh dilakukan oleh
orang gila atau anak kecil yang belum tamyiz dan belum berakal. Di samping itu,
ijab qabul yang terdapat dalam akad rahn tidak boleh digantungkan (mu’allaq)
dengan syarat tertentu yang bertentangan dengan substansi akad rahn, dan ia juga
tidak boleh disandarkan dengan waktu di masa mendatang.

Untuk marhun bih, Syafiiyyah dan Hanabalah menetapkan tiga syarat utama,
yakni; ia harus berupa hutang yang tetap dan wajib untuk ditunaikan, seperti utang
atau nilai barang yang dirusakkan. Utang itu harus bersifat mengikat, seperti harga
atas barang yang dibeli dalam transaksi jual beli, dan terakhir, nominal utang itu
diketahui secara jelas dan pasti.5

Marhun adalah barang yang bernilai ekonomis yang dijadikan sebagai


jaminan atas utang yang ada. Marhun harus bisa ditransaksikan, dalam arti, ia ada
ketika akad sedang berlangsung, dan bisa diserahterimakan. Selain itu, ia harus
berupa harta (mal). Ulama fiqh sepakat, manfaat tidak bisa sebagai marhun,
karena ia tidak berupa harta menurut Hanafiyah, atau ia tidak bisa
diserahterimakan ketika akad berlangsung. Marhun harus berupa mal al
muqawwin, artinya, diperbolekan untuk dimanfaatkan secara syara’. Selain itu,
kadarnya (nilai) diketahui secara jelas, tidak boleh menggadaikan barang yang
nilai ekonomisnya tidak diketahui. Marhun merupakan milik mutlak rahin dan
tidak terdapat hak lain dalam marhun tersebut.

5
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah…hlm.263

10
Ulama sepakat bahwa serah terima (qabdh) merupakan syarat utama dalarn
akad rahn, dan akan dikatakan sah jika memenuhi kriteria sebagai berikut. Serah
terima dilakukan berdasarkan izin dari rahin, jika tidak mendapatkan izin, maka
serah terima tidak dikatakan sah. Ketika serah terima dilakukan, rahin dan
murtahin haruslah memiliki ahliyyah, dalam arti, ia sudah baligh dan berakal,
tidak berupa anak kecil atau sedang gila. Serah terima tersebut bersifat permanen,
artinya, marhun tetap dalam genggaman murtahin dan tidak dirujuk pada rahin.
Menurut Syafiiyah, rahin bisa merujuk marhun untuk dimanfaatkan, dengan izin
murtahin. Hal ini disandarkan pada hadits Daruquthni, dengan catatan, marhun
tidak rusak nilainya ketika dimanfaatkan.

Ketika akad rahn telah disepakati antara rahin dan murtahin, dan telah terjadi
serah terima marhun, terdapat beberapa konsekuensi hukum yang melingkupinya.

Korelasi hutang dengan marhun (barang jaminan). Ketika suatu barang


dijadikan sebagai jaminan atas transaksi yang dilakukan, maka marhun akan
senantiasa terkait dengan hutang yang ada. Artinya, marhun akan tetap ditahan
sepanjang hutang yang ada belum terbayar. Murtahin memiliki hak untuk
menahan marhun, hingga rahin melunasi hutang yang ditanggungnya. Rahin tidak
memiliki hak untuk menarik marhun kembali, yang dijadikan sebagai jaminan
atas utang yang ada, sehingga telah terlunasi.

Ketika murtahin menahan marhun, maka ia berkewajiban untuk menjaganya


sebagaimana ia menjaga harta kekayaan pribadinya. Penjagaan itu bisa dilakukan
oleh diri pribadinya, isteri, anak atau pembantu yang telah lama tinggal
bersamanya. Jika marhun diserahkan kepada orang lain, dan terjadi kerusakan,
maka ia berkewajiban untuk menggantinya.

Ulama sepakat bahwa biaya yang terkait dengan marhun, menjadi tanggung
jawab rahin sebagai pemilik barang. Akan tetapi, ulama berbeda pendapat tentang
biaya yang wajib ditanggung oleh rahin. Hanafiyah mengatakan, biaya yang
terkait langsung dengan kemaslahatan marhun, menjadi tanggung jawab rahin,
karena ia adalah pemiliknya. Sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk menjaga

11
marhun dari kerusakan, menjadi tanggung jawab murtahin, karena ia yang
menahan dan menjaganya.

Rahin harus menanggung biaya makan, minum, upah penggembala atas


hewan ternak yang dijadikan sebagai marhun. Murtahin berkewajiban atas biaya
penjagaan marhun, seperti penyewaan kandang, beserta penjaga yang bertugas
menjaganya. Untuk itu, dalam akad rahn, tidak boleh disyaratkan bahwa murtahin
berhak mendapatkan upah atas aktivitas penjagaan marhun yang dilakukan,
karena itu sudah menjadi kewajibannya.6

Menurut Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabalah, segala biaya yang terkait


dengan marhun, menjadi tanggung jawab rahin. Baik biaya yang digunakan untuk
merawat atau menjaga marhun. Jika rahin tidak berkenan untuk menanggungnya,
maka murtahin boleh mengeluarkan biaya yang diperlukan. Setelah itu, murtahin
berhak untuk menagih biaya tersebut kepada rahin.

Menurut Hanafiyah, rahin tidak memiliki hak untuk memanfaatkan marhun.


Kecuali atas izin murtahin. Begitu juga sebaliknya. Dengan alasan, murtahin
memiliki hak untuk menahan marhun, sehingga rahin tidak boleh merujuk
marhun tanpa seizing murtahin. Jika rahin memanfaatkan marhun tanpa izin, dan
terjadi kerusakan, maka ia bertanggung jawab mengganti senilai kerusakannya.

Begitu juga dengan Hanabalah, rahin tidak memiliki hak untuk


memanfaatkan marhun tanpa seiizin murtahin. Pandangan ini berlandaskan
prinsip bahwa segala manfaat dan nilai yang dihasilkan marhun, maka ia akan
kembali kepada asalnya, yakni sama hukumnya dengan marhun.

Ulama Malikiyah memiliki pandangan yang lebih ekstrem, rahin tidak


memiliki hak untuk memanfaatkan marhun. Mereka menetapkan bahwa izin yang
diberikan murlahin kepada rahin untuk memanfaatkan marhun, dapat
membatalkan substansi akad rahn.

6
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah…hlm.264-265

12
Berbeda dengan Syafiiyah, rahin memiliki hak untuk memanfaatkan marhun,
sepanjang tidak mengurangi nilai ekonomis yang melekat di dalamnya, seperti
mengendarai kendaraan, menempati rumah dan lainuya. Dengan alasan, manfaat
dan produktivitas marhun tetap menjadi milik rahin, dan tidak ada hubungannya
dengan hutang. Jika pemanfaatan tersebut dapat mengurangi nilai marhun, seperti
membangun rumah, maka tidak diperbolehkan, kecuali seizin murtahin.

Menurut Hanafiyah, murtahin tidak memiliki hak untuk memanfaatkan


marhun tanpa seizin rahin, karena ia hanya memiliki hak untuk menahan, bukan
memanfaatkan. Jika rahin memberikan izin, maka diperbolehkan. Akan tetapi,
menurut sebagian ulama Hanafiyah, hal itu tidak diperblehkan. Karena, murtahin
mendapatkan manfaat lebih dari nilai pinjaman (hutang) kepada rahin, hal ini
identik dengan riba.

Begitu juga dengan Malikiyah, jika hutang itu berupa pinjaman (qardh),
maka memanfaatkan marhun identic dengan riba. Di mana, jika ada pinjaman
yang memberikan nilai manfaat, maka ia adalah riba. Syafiiyah menambahkan,
murtahin tidak memiliki hak untuk memanfaatkan marhun hal ini berdasarkan
hadits Nabi saw riwayat asy-Syafii, Daruquthni dan Ibnu Majah dari Abu
Hurairah, “Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang
menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya”.

Jika rahin melakukan transaksi (jual beli) atas marhun tanpa seizin murtahin,
maka jual beli tersebut hukumnya mauquf. Dengan alasan, ada hak murtahin yang
melekat dalam marhun. Jika murtahin memberikan izin, maka jual beli
diperbolehkan. Begitu juga dengan murtahin, ia tidak memiliki hak untuk
mentransaksikan marhun tanpa seizin rahin. Hal ini sama dengan transaksi atas
barang yang tidak dimiliki. Hukumunya mauquf sama seperti bai’ al-fudhuli.

Menurut mayoritas ulama, posisi murtahin atas marhun adalah yad al


amanah. Dalam arti, ia tidak bertanggung jawab untuk mengganti kerusakan
marhun, kecuali karena kecerobohan dan kelalaiannya. Nilai kerusakan tersebut
tidak bisa mengurangi nominal hutang yang ada. Jika rahin atau murtahin

13
(sengaja) merusak marhun, maka keduanya berkewajiban untuk mengganti nilai
yang ada.

Akad rahn akan berakhir ketika murtahin telah mengembalikan marhun


kepada rahin, atau rahin telah membayar hutang yang menjadi tanggungannya.
Jika murtahin berkeinginan untuk membatalkan (faskh) akad, maka rahn juga
dinyatakan telah berakhir. Rahn juga akan berakhir ketika aset rahn (marhun)
mengalami kerusakan, atau aset tersebut ditransaksikan oleh rahin atau murtahin
tanpa adanya izin.7

D. WAKALAH

Definisi Wakalah

Secara linguistik, wakalah bermakna menjaga atau juga bermakna


mendelegasikan mandat, menyerahkan sesuatu, seperti halnya firman Allah dalam
QS Yusuf :55.

Menurut Hanafiyyah, wakalah adalah memosisikan orang lain sebagai


pengganti dirinya untuk menyelesaikan suatu persoalan yang diperbolehkan
secara syar’i dan jelas jenis pekerjaannya. Atau mendelegasikan suatu persoalan
kepada orang lain (wakil). Menurut Malikiyyah , Syafiyyah dan Hanabalah,
wakalah adalah propesi pendelegasian sebuah pekerjaan yang harus dikerjakan,
kepada orang lain sebagai penggantinya, guna menyelesaikan pekerjaan tersebut
dalam masa hidupnya.

Landasan Syariah

Dari dahulu hingga sekarang, masyarakat membutuhkan akad wakalah untuk


menyelesaikan segala persoalan hidup mereka. Hal ini terjadi karena unsur
keterbatasan yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia. Untuk itu,syariah
memberikan legalitas atas keabsahan akad tersebut. Hal ini bisa dilihat dari firman
Allah dalam QS. Al-Maidah:23, QS. Ibrahim:12, QS. Al-Thalaq:3).

7
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah…266-268

14
Suatu ketika Rasulullah pernah mewakilkan dirinya kepada Hakin bin Hizam
atau ‘Urwah al Bariqi untuk membeli domba kurban (HR Daud, Turmudzi,
Akhmad, Bukhari, Abu Daud). Atau kisah Amr bin Umayyah adh-Dhamiri yang
menjadi wakil dalam pernikahan Ummu Habibah binti Abu Sufyan di Habsyah.
Begitu juga dengan pendelegasian mandat dalam menjalankan pemerintahan,
seperti petugas penarik zakat, komando militer, atau gubernur.

Wakalah bil Ujrah

Akad wakalah bisa dilaksanakan dengan atau tanpa upah. Dengan demikian
alasan ketika Rasulullah mengirimkan duta untuk menarik zakat di suatu daerah
Rasulullah memberikan gaji kepada mereka (HR. Abu Daud). Ketika akad
wakalah bil ajr telah sempurnakan maka akad tersebut bersifat meningkat. Dalam
artian wakil dihukumi layaknya ajir (orang yang disewa tenaganya) yang memiliki
kawajiban untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan kecuali ada halangan yang
bersifat syar’i.

Jika dalam akad wakalah tersebut upah tidak disebutkan secara jelas maka
wakil berhak atas ujroh al mitsl (upah sepadan) atau sesuai dengan adat kebiasaan
yang berlaku. Jika memang dalam adat tersebut tidak berlaku pemberiam upah
maka akad kembali menjadi akad aslinya yang bersifat tabbaru (charity program).
Jika demikian halnya akad tidak birsifat meningkat dan wakil memiliki hak untuk
membatalkan kapan saja. Ini menurut pendapat Hanafiyyah Malikiyyah dan
Hanabalah. Menurut Syafiiyyah walaupun akad wakalah dijalankan dengan
adanya pemberian upah akad tersebut tetap bersifat tidak mengikat kedua belah
pihak.8

Rukun Wakalah
Rukun wakalah terdiri atas ijab dari muwakkil (pihak yang mewakilkan) dan
qabul dari wakil. Ijab harus diucapkan secara jelas oleh muwakkil sedangkan
qabul tidak harus diungkapan (tidak disyaratkan dalam bentuk lafal verbal) namun
bisa mewujudkan dengan tindakan. Jika wakil mengetahui jenis pekerjaan yang

8
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah… hlm.239-240

15
diwakilkan kemudian ia secara langsung melaksanakannya maka hal ini dianggap
sebuah qabul dari pihak wakil. Selain itu dalam wakalah tidak dipersyaratkan
adanya satu majelis atas ijab dan qabul cukup mengetahui adanya wakalah dan
diwujudkan dalam tidakan.

Akad wakalah tanpa upah bersifat jaiz ghair lazim (diperbolehkan dan tidak
mengikat) artinya kedua pihak memiliki hak untuk membatalkan akad kapan pun
mereka menghendaki. Akad wakalah bisa bersifat kontan artinya bisa dikerjakan
semenjak akad itu disepakati atau disadarkan pada waktu di masa
mendatangartinya akad tersebut berlaku mulai minggu atau bulan depan. Atau
bisa digantungkan dengan sebuah syarat misalnya jika Oktavia datang maka
engkau menjadi wakilku untuk menjual buku ini. Menurut Syafiiyyah akad
wakalah tidak bisa disadarkan pada syarat baik kondisi atau waktu namun harus
dilakukan dengan syarat baik kondisi atau waktu namun harus dilakukan dengan
segera untuk menghindari terjadi gharar.

Syarat Wakalah

Seorang muwakkil disyaratkan harus memiliki otoritas penuh atas suatu


pekerjaan yang akan didelegasikan kepada orang lain. Dengan alasan orang yang
tidak memiliki otoritas sebuah transaksi tidak bisa memindahkan otoritas tersebut
kepada orang lain. Akad wakalah tidak bisa dijalankan oleh orang yang tidak
memiliki ahliyyah seperti orang gila, anak kecil yang belum tamyiz. Ulama fiqih
selain Madzhab Hanafiyyah menyatakan akad wakalah tidak bisa dilaksanakan
oleh anak kecil secara mutlak.

Seorang wakil disyaratkan haruslah orang yang berakal dan tamyiz. Anak
kecil, orang gila, anak belum tamyiz tidak boleh menjadi wakil ini menurut
pendapat ulama Hanafiyyah. Ulama selain Hanafiyyah juga menyatakan hal yang
sama. Anak kecil tidak boleh menjadi wakil karena mereka belum bisa terbebani
dengan hukum-hukum syar’i. Segala tindakan yang dilakukan belum bisa diakui.

Objek yang diwakilkan (mahal al wakalah muwakkal fiih) harus memenuhi


beberapa syarat. Objek tersebut harus diketahui oleh wakil wakil mengetahui

16
secara jelas apa yang harus dikerjakan dengan spesifikasi yang diinginkan.
Sesuatu yang diwakilkan itu harus diperbolehkan secara syar’i. Tidak
diperbolehkan mewakilkan sesuatu yang diharamkan syara seperti mencuri,
merampok, dan lain-lain. Objek tersebut memang bisa diwakilkan dan
didelegasikan(diwakilkan) kepada orang lain seperti akad jual beli, ijarah, dan
lain-lain.9

Macam Wakalah

Akad wakalah dapat dibedakan menjadi al-wakalah al-ammah dan al-


khosshoh adalah akad wakalah di mana proses pendelegasian wewenang untuk
menggantikan sebuah posisi pekerjaan bersifat spesifik. Artinya perwakilan yang
dibutuhkan dijelaskan dengan spesifikasi tertentu seperti halnya membeli mobil
honda tipe x menjadi advokat untuk menyelesaikan kasus tertentu dan lain-lain.

Sedangkan al-wakalah al-ammah juga bisa dibagi menjadi al-wakalah al-


muqayyah dan al-wakalah al-muthlaqah, al-wakalah al-muqayyah adalah akad
wakalah dimana proses pendelegasian wewenang bersifat umum tanpa adanya
spesifikasi. Proses pendelegasian tersebut meliputi segala transaksi yang
bersangkutan dengan diri muwakkil. Seperti anda adalah wakil saya dalam setiap
aktivitas yang menjadi tanggung jawab saya belikanlah mobil apa saja yang
engkau temui dan lain-lain. Wakil memiliki hak dan wewenang untuk
menjalankan tugas yang menjadi wewenang diri muwakkil.

Selain itu akad wakalah juga bisa dibagi menjadi al-wakalah al-muqayyadah
dan al-wakalah al-muthlaqah. Al-muqayyadah adalah akad wakalah di mana
wewenang dan tindakan si wakil dibatasi dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya
juallah mobilku ini seharga Rp 100 juta jika kontan dan Rp 150 juta jika kredit.
Dalam konteks ini wakil hanya bisa melaksanakan perwakilan sebatas persyaratan
yang disebutkan muwakkil tidak lebih.

9
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah… hlm.241-242

17
Al-wakalah al-muthlaqah adalah akad wakalah dimana wewenang dan
tindakan wakil tidak dibatasi dengan syarat atau kaidah tertentu. Misalnya juallah
mobil ini tanpa menyebutkan harga yang diinginkan ataupun mekanisme
pembayarannya. Menurut Abu Hanafiyah diri wakil memiliki kewenangan mutlak
untuk menjual mobil baik harganya lebih besar atau kecil. Wakil tetap dalam
kemutlakannya sepanjang tidak ditemukan bukti, dalil, atau indikasi yang
membatasi kewenangannya.10

Wakalah Paralel

Bolehkah seorang wakil kembali mewakilkan dirinya kepada orang lain untuk
menjadi wakilnya? Jika akad wakalah yang digunakan adalah al-wakalah al-
khosshoh dan al-muqayyadah di mana diri wakil dibatasi bahwa hanya dirinya
yang berhak melaksanakan madat maka ia tidak boleh mewakilkan dirinya kepada
orang lain.

Jika akad wakalah yang digunakan adalah al-ammah dan al-muthlaqah maka
diri wakil bisa mewakilkan dirinya kepada orang lain sebagai wakilnya dan status
wakil pertama dan kedua menjadi wakil dari pihak muwakkil. Ini menurut
pendapat Hanafiyah. Menurut Syafiiyyah dan Hanabalah wakil tidak boleh
mewakilkan dirinya kepada orang lain tanapa mendapat izin dari muwakkil
terlebih jika ia tidak mampu melaksanakan madat maka ia boleh mewakilkan
kepada orang lain.

Ulama fiqh sepakat bahwa hukum akad yang dilakukan oleh pihak wakil
secara otomatis akan kembali kepada diri muwakkil. Artinya kesepakatan yang
dibentuk mencerminkan keinginan dari muwakkil sehingga akad tersebut akan
kembali kepada muwakkil. Kesepakatan dan akad yang di bangun oleh pihak
wakil dengan pihak ketiga secara otomatis akan menjadi kesepakatan dan akad
muwakkil.

10
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah… hlm.243

18
Jika transaksi yang dilakukan harus disandarkan kepada muwakkil maka
wakil tidak boleh menyandarkan transaksi tersebut kepada pribadinya. Jika hal itu
dilakukan maka transaksi akan menjadi milik wakil tidak kembali kepada
muwakkil. Misalnya dalam akad pernikahan, talak, khulu, hibah, ariyah, wadi’ah,
dan rahn.

Untuk itu ketika wakil melaksanakan akad maka harus disandarkan kepada
diri muwakkil misal aku terima Raihana binti Abdillah untuk Faiq Abdurrahman
aku hibahkan harta Ali kepada engkau dan lain-lain. Jika dalam akad ini
disandarkan kepada diri wakil misal aku terima nikahnya Raihana binti Abdillah
maka Raihana akan resmi menjadi isteri wakil bukan muwakkil.

Jika transaksi yang dilakukan tidak ada kewajiban untuk disandarkan kepada
muwakkil maka transaksi akan kembali kepada pihak yang melakukan akad. Jika
dalam akad transaksi disandarkan kepada diri wakil maka akad akan kembali
kepada wakil. Seluruh hak dan kewajiban yang terkait dengan akad akan kembali
kepada wakil dan berlaku sebaliknya (vice versa). Seperti halnya dalam transaksi
jual beli, ijarah, dan yang sejenis (al mu’awadlat al-maliyah).

Hal ini dikarenakan pihak yang terlibat secara langsung dalam akad adalah
diri wakil dan ia yang paling tahu segala konsekuensi yang ada dalam akad. Ini
menurut pendapat Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Safiiyyah dengan alasan hak dan
kewajiban dalam akad berhubungan langsung dengan diri wakil.

Berbeda dengan Hanafiyyah walaupun akad disandarkan kepada diri wakil


segala kesepakatd dan konsekuensi yang ada dalam akad tetap kembali kepada
diri muwakkil. Dengan alasan wakil merupakan representasi dari pihak muwakkil
yang bertugas mengungkapan segala hal yang diinginkannya. Jika tetap kembali
kepada wakil maka hal ini akan menafikkan substansi diadakannya akad wakalah.
Di mana akad ini dibentuk untuk meringankan beban dan tugas yang tidak bisa
dikerjakan oleh muwakkil.11

11
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah… hlm.244-245

19
Berakhirnya Akad Wakalah

Akad wakalah akan berakhir dalam beberapa kondisi berikut ini:

1. Madat pekerjaan telah diselesaikan oleh pihak wakil.


2. Muwakkil dan wakil kehilangan ahliyyah (meninggal, gila permanen).
3. Wakil menarik diri untuk mundur dari pekerjaan yang telah dimandatkan
kepadanya karena akad wakalah bersifat ghair lazim tanpa adanya
kompensasi yang mengikat. Hanafiyyah mensyaratkan pengunduran diri
pihak wakil harsu diketahui oleh muwakkil. Menurut Syafiiyyah tidak perlu
dikomunikasikan dengan muwakkil.
4. Rusaknya objek yang diwakilkan untuk ditransaksikan misalnya dalam akad
jual beli atau ijarah(sewa).
5. Pihak muwakkil menarik mandat perwakilannya yang telah diberikan kepada
pihak wakil karena akad bersifat ghair lazim. Hanafiyyah mensyaratkan agar
hal tersebut dikomunikasikan dengan diri wakil.12
E. KAFALAH

Definisi dan Landasan Syariah

Akad khalafah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada


pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.
Dalam pengertian lain kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab
seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain
sebagai penjamin.

Terkait dengan legalitas akad kafalah ulama fiqh menggunakan dalil dari QS.
Yusuf ayat 72: ”Penyeru-penyeru itu berseru. Kami hilangkan piala raja dan
barang siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan seberat
beban unta dan aku menjamin terhadapnya”. Ibnu Abbas menafsirkan kata ‘zaim’
dalam ayat tersebut bermakna kafil atau penjamin. Dengan demikian akad kafalah
diperbolehkan secara syara.

12
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah… hlm.246

20
Sebagian ulama fiqh mengatakan ayat dia atas tidak cukup kuat untuk
dijadikan sebagai dasar legalitas akad kafalah yng lebih tepat ayat ini sebagai
dasar akad ju’alah. Dalam konteks ini Yusuf as mengumumkan sayembara barang
siapa yang berhasil mengembalikan piala raja yang hilang maka ia berhak
mendapatkan hadiah dan beliau akan menjaminnya.

Namun demikian ulama fiqh memiliki landasan lain dalm hal ini. Yakni QS.
Yusuf ayat 78. Ayat ini menunjukkan praktik kafalah bi an-nafs dimana saudara
Yusuf as menawarkan diri sebagai pengganti saudaranyayang lain di hadapan.

Selain itu terdapat hadits riwayat Bukhari;”Telah di hadapkan kepada


Rasulullah saw (mayat seorang laki-laki untuk dishalatkan) Rasulullah bertanya “
Apakah dia mempunyai warisan?. “Para sahabat menjawab ”Tidak” Rasulullah
bertanya lagi “Apakah dia mempunyai hutang?”. Sahabat menjawab “Ya sebesar
tiga dinar”. Rasulullah saw menyuruh para sahabat untuk men-shalat-kannya
(tetapi beliau sendiri tidak). Abu Qatadah lalu berkata “Saya menjamin hutangnya
ya Rasulullah” maka Rasulullah pun men-shalat-kan mayat tersebut”.

Di samping itu ulama fiqh juga berpegang pada ijma sahabat dan praktik-
praktik yang dilakukan khulafaur rasyidin dan sahabat tabi’in. Diwirayatkan
Abdullah ibn Mas’ud akan menanggung (menjamin) keluarga kaum murtad
setelah diminta untuk bertaubat.

Rukun dan Syarat Kafalah

Rukun kafalah terdiri atas sighat kafalah (ijab dan qabul), makful bih (objek
tanggungan), kafil (penjamin), makful anhu (tertanggung), makful lahu (penerima
hak tanggungan).13

1. Sighat. Sighat kafalah bisa diekspresikan dengan ungkapan yang menyatakan


adanya kesanggupan untuk menanggung sesuatu sebuah kesanggupan untuk
menuaikan kewajibannya.

13
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah… hlm.247-248

21
2. Makful Bihi. Objek pertanggungan harus bersifat mengikat terhadap diri
tertanggung dan tidak bisa dibatalkan tanpa adanya sebab syar’i. Selain itu
objek tersebut harus merupakan tanggung jawab penuh pihak tertanggung.
3. Kafil. Ulama fiqh mensyaratkan seorang kafil haruslah orang yang berjiwa
filantropi orang yang terbiasa berbuat baik demi kemaslahatan orang lain.
Selain itu ia juga orang yang telah baligh dan berakal. Akad kafalah tidak
boleh dilakukan oleh anak kecil, orang-orang safih ataupun orang yang
terhalang untuk melakukan transaksi (mahjur alaih).
4. Makful Lahu. Ulama mensyaratkan makful lahu harus dikenali oleh kafil guna
meyakinkan pertanggungan yang menjadi bebannya dan mudah untuk
memenuhinya. Selain itu ia juga disyaratkan untuk menghadiri majelis akad.
Ia adalah orang yang baligh dan berakal tidak boleh orang gila atau anak kecil
yang belum berakal.

Jenis Kafalah

Secara garis besar akad kafalah dapat dibedakan menjadi al-kafalah bil-mal
dan al-kafalah bin-nafs. Al-kafalah bil-mal merupakan jaminan pembayaran
barang atau pelunasan hutang. Sedangkan al-kafalah bin-nafs merupakan akad
pemberian jaminan atas diri (personal guarantee). Sebagai contoh dalam praktik
seorang nasabah mendapatkan pembiayaan dengan jaminan reputasi dan nama
baik seseorang atau tokoh masyarakat. Walaupun secara fisik pihak bank tidak
memegang jaminan tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan
pembayaran ketika nasabah mengalami kesulitan.14

Akad kafalah bil-mal akan berakhir ketika objek pertanggungan sudah


terbayarkan kepada penerima tanggungan baik oleh tertanggung ataupun dari
pihak kafil. Pihak penerima tanggungan melakukan hibah atas objek
pertanggungan baik kepada tertanggung ataupun kepada kafil. Atau juga adanya
pembebasan tanggungan atau hal lian yang dipersamakan dengan hal itu dari
pihak penerima tanggungan (makful lahu).

14
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah…hlm.249-250

22
Akad kafalah bin-nafs akan berakhir ketika makful bihi telah menyerahkan
diri dan hadir di hadapan makful lahu dan menyelesaikan akad pertanggungan.
Diri kafil mendapatkan pembebasan dari makful lahu maka akad kafalah berakhir
atau ketika makful anhu meninggal dunia.

F. JU’ALAH ATAU JI’ALAH

Definisi Ju’alah

Pengertian secara etimologi berarti upah atau hadiah yang diberikan kepada
seseorang karena orang tersebut mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan
tertentu.

Secara terminologi fiqih berarti “suatu Iltizaam (tanggung jawab) dalam


bentuk janji memberikan imbalan upah tertentu secara sukarela terhadap orang
yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang belum pasti dapat
dilaksanakan atau dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan”

Contoh: seseorang berkata : “Siapa saja yang dapat menemukan kucing saya yang
hilang, maka saya beri imbalam upah lima puluh ribu rupiah”.

Madzhab Maliki mendefinisikan Ju’alah : “Suatu upah yang dijanjikan


sebagai imbalan atas suatu jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan oleh
seseorang”.

Madzhab Syafi’i mendefinisikannya: “Seseorang yang menjanjikan suatu


upah kepada orang yang mampu memberikan jasa tertentu kepadanya”.

Definisi pertama (Madzhab Maliki) menekankan segi ketidakpastian


berhasilnya perbuatan yang diharapkan. Sedangkan definisi kedua (Madzhab
Syafi’i) menekankan segi ketidakpastian orang yang melaksanakan pekerjaan
yang diharapkan.Meskipun Ju’alah berbentuk upah atau hadiah sebagaimana
ditegaskan oleh Ibnu Qudamah (Ulama Madzhab Hanbali).

23
Syarat-Syarat Ju’alah

Agar pelaksanaan Ju’alah sah, maka harus memenuhi syarat-syarat:

1. Orang yang menjanjikan upah atau hadiah harus orang yang cakap untuk
melakukan tindakan hukum, yaitu: baligh, berakal dan cerdas. Dengan
demikian anak-anak, orang gila dan orang yang berada dalam pengampuan
tidak sah melakukan Ju’alah.
2. Upah atau hadiah yang dijanjikan harus terdiri dari sesuatu yang bernilai harta
dan jelas juga jumlahnya. Harta yang haram tidak dipandang sebagai harta
yang bernilai (Madzhab Maliki, Syafi’I dan Hanbali).
3. Pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung manfaat yang jelas
dan boleh dimanfaatkan menurut hukum syara’.
4. Madzhab Maliki dan Syai’i menambahkan syarat, bahwa dalam masalah
tertentu, Ju’alah tidak boleh dibatasi dengan waktu tertentu, seperti
mengembalikan (menemukan) orang yang hilang. Sedangkan Madzhab
Hanbali membolehkan pembatasan waktu.
5. Madzhab Hanbali menambahkan, bahwa pekerjaan yang diharapkan hasilnya
itu, tidak terlalu berat, meskipun dapat dilakukan berulangkali seperti
mengembalikan binatang ternak yang lepas dalam jumlah banyak.

Rukun-Rukun Ju’alah

Rukun Ju’alah ada empat, yaitu:

1. Pihak yang membuat sayembara/penugasan (al-qaid/al-ja’il)


2. Objek akad berupa pekerjaan yang harus dilakukan (al-maj’ul)
3. Hadiah yanga kan diberikan (al-ji’l)
4. Ada sighat dari pihak yang menjanjikan (ijab)15

15
http://irginurfadil.blogspot.com/2016/12/makalah-fiqih-muamalah-jualah-
pemberian.html

24
G. SYUF’AH

Definisi Al- Syuf’ah

Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri bahwa yang dimaksud dengan al-Syuf’ah


ialah: Hak memiliki sesuatu secara paksa ditetapkan untuk syarik terdahulu atas
syarik yang baru disebabkan adanya syirkah dengan penggantian (I’wadh) yang
dimilikinya, disyari’atkan untuk mencegah kemadharatan.

Menurut Sayyid Sabiq bahwa al-Syuf’ah ialah pemilikan benda-benda


syuf’ah sebagai penganti dari pembeli dengan membayar harga barang kepada
pemiliknya sesuai dengan nilai yang dibayar oleh pembeli lain.

Sedangkan menurut Idris Ahmad, bahwa al-Syuf’ah ialah hak yang tetap
secara paksa bagi syarikat lama atas syarikat baru dengan jalan ganti kerugian
pada benda yang menjadi milik bersama.

Contoh al-Syuf’ah

Umar membeli satu buah rumah bersama dengan jafar, rumah tersebut terdiri
atas delapan kamar, emapat kamar untuk umar dan empat kamar milik ja’far,
kemudian ja’far punya kehendakk untuk menjual kamar nya kepada yang lain,
dalam hal ini umar dapat memaksa ja’far untuk menguasai empat kamar miliknya
dengan imbalan yang sebagaimana layaknya berlaku, artinya umar lebih berhak
membeli daripada orang lain.

Setelah diketahui ta’rif – ta’rif yang dikemukakan oleh para ulama beserta
contohnya, kiranya dapat dipahami bahawa al-Syuf’ah ialah pemilikan oleh salah
seorang sya’riq dari dua orang atau pihak yang berserikat dengan paksaan
terhadap benda syirkah.

Rukun dan Syarat Syuf’ah

1. Masyfu’, benda-benda yang dijadikan barang al-Syuf’ah.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh benda-benda yang dijadikan


benda Syuf’ah ialah:

25
a. Barang yang disyuf’ahkan berbentuk barang tetap (Uqar), seperti tanah,
rumah dan hal-hal yang berkaitan dengan keduanya seperti tanaman,
bangunan, pintu-pintu, pagar, atap rumah dan semua yang termasuk
dengan penjualan pada saat dilepas.16
2. Syafi’ yaitu orang yang akan mengambil atau menerima Syuf’ah, adapun
syarat-syaratnya ialah:
a. Orang yang membeli secara Syuf’ah adalah patner dalam benda atau
barang tersebut, perpartneran mereka lebih dahulu terjalin sebelum
penjualan, tidak adanya perbedaan batasan diantara keduanya, sehingga
benda itu menjadi milik mereka berdua secara bersamaan.
b. Syarat yang kedua adalah Syafi’I meminta dengan seger.

Maksudnya, Syafi’i jika telah mengetahui penjualan, ia wajib


meminta dengan segera jika hal itu memungkinkan, jika ia telah
mengetahuinya, kemudian memperlambat permintaan tanpa adanya uzur
maka haknya gugur. Alasannya ialah jika Syaf’i memperlambat
permintaannya nscaya hal ini berbahaya buat pembeli, karena pemiliknya
terhadap barang yang dibeli tidak mantap (labil) dan tidak
memungkinkan ia bertindak untuk membangunya karena takut tersia-
sianya usaha dan takut di-syuf’ah.

Jika Syafi’i tidak ada atau belum mengetahui penjualan atau tidak
mengetahui bahwa memperlambat dapat menggugurkan syuf’ah, dalam
keadaan seperti ini haknya tidak gugur. Salah satu riwayat dari Abu
Hanifah bahwa permintaan tidak wajib dengan segera setelah
mengetahui, karena Syafi’i memerlukan pertimbangan dalam persoalan
ini, maka ia berhak khiar seperti khiar dalam jual beli.

c. Syafi’I memberikan kepada pembeli sejumlah harga yang telah


ditentukan ketika akad, kemudian Syafi’I mengambil syuf’ah harga yang
sama jika jual beli itu mitslian atau dengan suatu nilai jika dihargakan.

16
Drs. H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002)hlm.161-162

26
d. Syafi’I mengambil keseluruhan barang

Maksudnya, jika Syafi’I meminta untuk mengambil sebagian maka


semua haknya gugur, apabila syuf’ah terjadi antara dua Syafi’I atau
lebih, sebagian Syafi’I melepaskannya, maka Syafi’I yang lain harus
menerima semuanya, hal ini dimaksudkan agar benda Syuf’ah tidak
terpilah-pilah atas pembeli.17

3. Masyfu’ min bu, yaitu orang tempat mengambil syuf’ah.

Disyaratkan pada masyfu ‘ min bu bahwa ia memiliki benda terlebih


dahulu secara syarikat, contohya Umar dan Rahman memiliki sebuah rumah
secara syarikat, Umar mejual miliknya kepada Zakaria, waktu khiarnya
hingga tanggal 20 januari 1992, kemudian Rahman menjual pula haknya
kepada Fatimah , maka Zakaria dapat melakukan tindakan syuf’ah pada
Fatimah.

Pewarisan Syuf’ah

Malik, penduduk Hijaz dan Syafi’I berpendapat bahwa syuf’ah dapat


diwariskan dan tidak batal karena adanya kematian.

Jika seseorang berhak memperoleh syuf’ah, kemudian meninggal dunia dan


dia dalam keadaan tidak atau belum mengetahui atau ia tahu tetapi meninggal
sebelum dapat melakukan pengambilan, maka haknya beralih kepada para ahli
waris, alasannya ialah bahwa syuf’ah diqiyas kan kepada irts.

Menurut Imam Ahmad bahwa syuf’ah tidak dapat diwariskan, kecuali jika
mayat menuntutnya. Sedangkan menurut Mazhab Hanafi bahwa Syuf’ah tidak
dapat diwariskan dan tidak dapat dijual sekalipun mayit menuntut Syuf’ah,
kecuali jika hakim telah memutuskannya dann kemudian ia meninggal dunia.

17
Drs. H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah… hlm. 164-167

27
Tindakan Pembeli

Tindakan pembeli terhadap harta osebelum Syafi’I menerima syuf’ah adalah


dinyatakan sah, karena ia bertindak terhadap miliknya, jika suatu ketika pembeli
menjualkan lagi kepada orang lain, maka Syafi’I berhak melakukan syuf’ah
terhadap salah satu dari dua penjualan.

Jika pembeli harta menghibahkannya, mewakafkannya, menyedekahkannya,


atau yang seumpamanya, maka Syafi’I kehilangan hak syuf’ahnya, sebab
pemilikan barang tersebut tanpa ganti.

Adapun tindakan pembeli yang telah didahului oleh tindakan syuf’ah oleh
Syafi’I adalah bathil, sebab Syafi’I telah melaksanakan haknya da nada
kemungkinan pembeli bermaksud mempermainkan hak Syafi’i.

Apabila seseorang berdamai dalam masalah syuf’ah atau menjualnya dari


pembeli, menurut al-Syafi’I bahwa perbuatan tersebut dinyatakan batal dan
menggugurkan hak syuf’ahnya serta berkewajiban mengembalikan benda-benda
yang telah dia ambil, menurut Imam Hanafi, Maliki dam Hambali bahwa
perbuatan itu adalah sah dan dia berhak memiliki apa yang telah dia usahakan
untukk dia miliki dari pembeli.18

H. ASH-SHARF

Definisi Ash-Sharf

Al-sharf secara etimologi artinya Al-Ziyadah (penambahan), Al-‘Adl


(seimbang), penghindaran atau transaksi jual beli. Sharf adalah jual beli suatu
valuta dengan valuta asing. Pada prinsipnya jual beli valuta asing sejalan dengan
prinsip sharf. Jual beli mata uang yang tidak sejenis ini, penyerahannya harus
dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank mengambil keuntungan dari jual
beli valuta asing ini.

18
Drs. H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah… hlm.167-168

28
Valuta asing disini maksutnya adalah mata uang luar negri seperti dolar
Amerika, Poundsterling, Inggris, Ringgit Malasyia dan sebagainnya. Sharf juga
bisa diartikan sebagai jual beli uang logam dengan uang logam lainnya. Misalnya
jual beli dinar, emas dan dirham perak.

Adapun definisi para ulama sebagai berikut :

Menurut istilah fiqh, Ash-Sharf adalah jual beli antara barang sejenis atau
antara barang tidak sejenis secara tunai.Seperti memperjualbelikan emas dengan
emas atau emas dengan perak baik berupa perhiasan maupun mata uang. Praktek
jual beli antar valuta asing (valas), atau penukaran antara mata uang sejenis.

Menurut Heri Sudarsono, Sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta
dengan valuta lainnya. Transaksi jual beli mata uang asing (valuta asing) dapat
dilakukan baik dengan sesama mata uang yang sejenis, misalnya rupiah dengan
rupiah maupun yang tidak sejenis, misalnya rupiah dengan dolar atau sebaliknya.

Menurut Tim Pengembangan Institut Bankir Indonesia, Sharf adalah jasa


yang diberikan oleh bank kepada nasabahnya untuk melakukan transaksi valuta
asing menurut prinsip-prinsip Sharf yang dibenarkan secara syari'ah.

Muhammad al-Adnani mendefinisikan al-sharf dengan tukar menukar uang.


Taqiyyudin an-Nabhani mendefinisikan al-sharf dengan pemerolehan harta
dengan harta lain, dalam bentuk emas dan perak, yang sejenis dengan saling
menyamakan antara emas yang satu dengan emas yang lain, atau antara perak
yang satu dengan perak yang lain atau berbeda jenisnya semisal emas dengan
perak, dengan menyamakan atau melebihkan antara jenis yang satu dengan jenis
yang lain.

Dasar Hukum Ash-Sharf

1. Menurut Al-quran

Dalam Al-quran tidak ada penjelasan mengenai jual beli sharf itu sendiri,
melainkan hanya menjelaskan dasar hukum jual beli pada umumnya yang
terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 275, yaitu:

29
”Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”

2. Menurut Al-Hadis

Para Fuqaha mengatakan bahwa kebolehan melakukan praktek sharf


didasarkan pada sejumlah hadis nabi yang antara lain pendapat :

a. Dari Ubadah bin Shamit r.a Nabi SAW. Berkata, “Emas dengan emas,
perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir,
kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaklah sama banyaknya,
tunai dan timbang terima. Apabila berlainan jenisnya boleh kamu jual
kehendakmu asal tunai.”
b. Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW. Bersabda, “(boleh menjual) emas
dengan emas setimbang, sebanding, dan perak dengan perak setimbang
sebanding” (H.R Ahmad, Muslim dan Nasa’i)
c. Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, (Boleh menjual) tamar dengan tamar,
gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, garam dengan garam,
sama sebanding, tunai dengan tunai. Barang siapa menambah atau minta
tambah maka telah berbuat riba, kecuali yang berlainan warnanya” (H.R
Muslim)
d. Dari Abu Bakrah r.a Nabi SAW. Melarang (menjual) perak dengan
perak, emas dengan emas, kecuali sama. Dan Nabi menyuruh kami

30
membeli perak dengan emas sesuka kami dan membeli emas dengan
perak kami pula” (H.R Bukhari-Muslim).
3. Menurut Ijma

Ulama sepakat bahwa akad Sharf disyariatkan dengan syarat-syarat


tertentu, yaitu:

a. pertukaran tersebut harus dilaksanakan secara tunai (spot) artinya


masing-masing pihak harus menerima atau menyerahkan masing-masing
mata uang pada saat yang bersamaan.
b. Motif pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi komersial,
yaitu transaksi perdagangan barang dan jasa antar bangsa.
c. Harus dihindari jual beli bersyarat, misalnya A setuju membeli barang
dari B haru ini dengan syarat B harus membelinya kembali pada tanggal
tertentu dimasa yang akan datang.
d. Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini
mampu menyediakan valuta asing yang dipertukarkan.
e. Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau jual beli
tanpa hak kepemilikan.

Rukun dan Syarat Ash-Sharf

Rukun dari akad sharf yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa hal,
yaitu:

1. Pelaku akad, yaitu ba’I (penjual) adalah pihak yang memiliki valuta untuk
dijual, dan musytari (pembeli) adalah pihak yang memerlukan dan akan
membeli valuta
2. Objek akad, yaitu sharf (valuta) dan si’rus sharf (nilai tukar)
3. Shighah yaitu ijab dan qabul

Sedangkan syarat dari akad sharf, yaitu:

31
1. Valuta (sejenis atau tidak sejenis) apabila sejenis, harus ditukar dengan
jumlah yang sama. Apabila tidak sejenis, pertukaran dilakukan sesuai dengan
nilai tukar.
2. Waktu penyerahan (spot)19

19
http://makalahqw.blogspot.com/2016/11/makalah-pengertian-ash-sharf.html

32
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Dalam istilah ulama fiqh, hawalah merupakan pemindahan beban
hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal
‘alaih atau orang yang berkewajiban membayar hutang. Ulama fiqh
menetapkan beberapa syarat terkait dengan rukun hawalah: Muhil,
adalah orang yang berakal dan baligh. Akad hawalah harus berjalan
dengan persetujuan dan kesepakatan muhil, karena di sini berlaku
konsep ibra’ (pembebasan) utang yang bermakna pemindahan
kepemilikan, Muhal haruslah orang yang berakal dan sudah baligh, dan
ada persetujuan dan kerelaannya untuk menerima hawalah dalam
majlis akad, Muhal ‘alaih, syarat yang ada atas diri muhal atau muhtal,
juga berlaku pada diri muhal ‘alaih, Muhal bih harus berupa utang dan
bersifat mengikat.
2. Wadi’ah adalah akad seseorang kepada pihak lain dengan menitipkan
suatu barang untuk dijaga secara layak (menurut kebiasaan). Menurut
ulama ahli fiqh Imam Abu Hanafi mengatakan bahwa rukun wadi’ah
hanyalah ijab dan qobul. Namun menurut Jumhur ulama
mengemukakan bahwa rukun wadi’ah ada tiga yaitu: Orang yang
berakad, Barang titipan, Sighah (ijab dan qobul)
3. Secara istilah, rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam
sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan
tersebut memiliki nilai ekonomis. Rukun akad rahn terdiri atas rahin
(yang menyerahkan barang), murtahin (penerima barang), marhun/rahn
(barang yang digadaikan), dan marhun bih (hutang), serta ijab qabul.
Syarat utama yang harus terdapat dalam diri rahin dan murtahin adalah
adanya ahliyyah.
4. Menurut Hanafiyyah, wakalah adalah memosisikan orang lain sebagai
pengganti dirinya untuk menyelesaikan suatu persoalan yang

33
diperbolehkan secara syar’i dan jelas jenis pekerjaannya. Rukun
wakalah terdiri atas ijab dari muwakkil (pihak yang mewakilkan) dan
qabul dari wakil. Seorang muwakkil disyaratkan harus memiliki
otoritas penuh atas suatu pekerjaan yang akan didelegasikan kepada
orang lain. Akad wakalah dapat dibedakan menjadi al-wakalah al-
ammah dan al-khosshoh.
5. Akad khalafah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung
kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang
ditanggung. Rukun kafalah terdiri atas sighat kafalah (ijab dan qabul),
makful bih (objek tanggungan), kafil (penjamin), makful anhu
(tertanggung), makful lahu (penerima hak tanggungan). Secara garis
besar akad kafalah dapat dibedakan menjadi al-kafalah bil-mal dan al-
kafalah bin-nafs.
6. Pengertian Ju’alah secara etimologi berarti upah atau hadiah yang
diberikan kepada seseorang karena orang tersebut mengerjakan atau
melaksanakan suatu pekerjaan tertentu. Salah satu syarat Ju’alah
adalah orang yang menjanjikan upah atau hadiah harus orang yang
cakap untuk melakukan tindakan hukum, yaitu: baligh, berakal dan
cerdas. Rukun Ju’alah ada empat, yaitu: al-qaid/al-ja’il, al-maj’ul, al-
ji’l, ijab.
7. al-Syuf’ah ialah pemilikan oleh salah seorang sya’riq dari dua orang
atau pihak yang berserikat dengan paksaan terhadap benda syirkah.
Adapun syarat dan rukun Syuf’ah ialah: Masyfu’, Syafi’I, Masyfu’
min bu, yaitu orang tempat mengambil syuf’ah.
8. Menurut istilah fiqh, Ash-Sharf adalah jual beli antara barang sejenis
atau antara barang tidak sejenis secara tunai.Seperti memperjualbelikan
emas dengan emas atau emas dengan perak baik berupa perhiasan
maupun mata uang. Rukun dari akad sharf yang harus dipenuhi dalam
transaksi ada beberapa hal, yaitu: Pelaku akad, yaitu ba’I (penjual),
Objek akad, Shighah. Sedangkan syarat dari akad sharf, yaitu: Valuta
(sejenis atau tidak sejenis) dan Waktu penyerahan (spot).

34
DAFTAR PUSTAKA

Djuwaini, Dimyauddin. 2007. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Suhendi, Hendi. 2002. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo.

http://maiqonita.blogspot.com/2015/12/makalah-wadiah-dan-
implementasinya.html

http://irginurfadil.blogspot.com/2016/12/makalah-fiqih-muamalah-jualah-
pemberian.html

http://makalahqw.blogspot.com/2016/11/makalah-pengertian-ash-sharf.html

35

Vous aimerez peut-être aussi