Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Dosen Pengajar:
Ika Ainur Rofi’ah S.Kep. Ns
Disusun Oleh:
1. Pamela Nanda Agustin
2. Silvy Arifianti
3. Irda Agustin
4. Elok Maulida
5. Yulinda Ayuningtika
6. Utari Dwi Z.A.Y
7. Karlina Rifka W.
8. Nela Aprilia
9. Suci Setyaningsih
10. Eka Cahya Maulida
11. Ananda Nurul Masyitah
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah–
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Sistem Perkemihan dengan
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB IV Penutup
4.1 Kesimpulan................................................................................................... 36
4.2 Saran............................................................................................................. 36
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Berkemih adalah pengeluaran urin dari tubuh, berkemih terjadi sewaktu sfringter
uretra internal dan eksternal di dasar kandungan kemih berelaksasi. Derajat regang yang
dibutuhkan untuk menghasilkan efek ini bervariasi pada individu, beberapa individu
dapat mentoleransi distensi lebih besar tanpa rasa tidak nyaman (Gipson,2002).
Inkontinesia urin adalah pengeluaran urin yang tidak terkendali pada waktu yang
tidak terkendali dan tanpa melihat frekuensi maupun jumlahnya yang mana keadaan ini
dapat menyebabkan masalah fisik, emosional ,sosial dan higienis bagi penderitanya
(Martin dan Frey,2006). Inkontinesia urin merupakan malasah kesehatan yang sering
terjadi pada wanita terutama usia lanjut, namun secara keseluruhan inkontinesia terjadi
pada laki-laki maupun perempuan, baik anak-anak,dewasa maupun orang tua.
Inkontinesia urin juga jarang dikeluhkan pasien atau keluarga dianggap sesuatu yang
biasa, malu atau tabuh untuk diceritakan kepada orang lain maupun dokter,diatas sesuatu
yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinesia urin bukanlah sebuah penyakit,tetapi
merupakan gejala yang menimbulkan gangguan kesehatan,sosial,psikologi serta dapat
menurunkan kualitas gaya hidup(Soetojo,2009)
1.3 Tujuan
a. Mengetahui apa yang dimaksud inlontinensia urin
b. Mengetahui klasifikasi inkontinensia urin
c. Megetahui bagaiman managemen inkontinensia urin
d. Mengetahui asuhan keperewatan pada inkotinensia urin
1
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002).
Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak
terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan
jumlahnya,yang mengakibatkan masalah social dan higienis pendeitanya (FKUI,
2006).
Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine adalah kondisi
keluarnya urin tak terkendali yg dpt didemonstrasikan secara obyektif dan
menimbulkan gangguan hygiene dan social.
Inkontinensia urine adalah pelepasan urine secara tidak terkontrol dalam
jumlah yang cukup banyak. Sehingga dapat dianggap masalah bagi seseorang.
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing.
Inkontinensia urine merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan
pada pasien geriatri.
Inkontinensia urine adalah ketidakampuan mengendalikan evakuasi urine.
(kamus keperawatan). Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15 –
30% usialanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit
mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia
urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Masalah inkontinensia urin ini angka
kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.
Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian
bawah. Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami
inkontinensia, tetapi tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan
bagian normal proses menua.
2
2.2 Klasifikasi
Terdapat beberapa macam klasifikasi inkontinensia urine, di sini hanya
dibahas beberapa jenis yang paling sering ditemukan yaitu :
A. Inkontinensia stres (Stres Inkontinence)
Inkontinensia stres biasanya disebabkan oleh lemahnya mekanisme
penutup. Keluhan khas yaitu mengeluarkan urine sewaktu batuk, bersin,
menaiki tangga atau melakukan gerakan mendadak, berdiri sesudah berbaring
atau duduk. Gerakan semacam itu dapat meningkatkan tekanan dalam
abdomen dan karena itu juga di dalam kandung kemih. Otot uretra tidak dapat
melawan tekanan ini dan keluarlah urine. Kebanyakan keluhan ini progresif
perlahan-lahan; kadang terjadi sesudah melahirkan. Akibatnya penderita harus
sering menganti pakaian dalam dan bila perlu juga pembalut wanita. Frekuensi
berganti pakaian, dan juga jumlah pembalut wanita yang diperlukan setiap hari
merupakan ukuran kegawatan keluhan inkontinensia ini.
Biasanya dalam pemeriksaan badan tidak dijumpai kelainan pada
ginjal dan kandung kemih. Pada pemeriksaan vulva ternyata bahwa sewaktu
mengejan dapat dilihat dinding depan vagina. Informasi yang penting bisa
diperoleh dengan percobaan Marshall Marchetti. Penderita diminta untuk
berkemih di WC sampai habis. Dalam posisi ginekologis dimasukan kateter ke
dalam kandung kemih. Ditentukan jumlah urine yang tersisa. Kemudian
diikuti oleh pengisian kandung kemih dengan air sampai penderita
merasaingin berkemih. Dengan demikian ditentukan kapasitas kandung kemih.
Normalnya seharusnya 400-450 ml. Kemudian dicoba menirukan stres yang
mengakibatkan pengeluaran urine dengan meminta penderita batuk. Jika pada
posisi berbaringt idakterjadi pengeluaran urine, maka percobaan diulang pada
posisi berdiri dengantungkai dijauhkan satu sama lain.
Pada inkontinensia stres sejati, harus terjadi pengeluaran urine pada
saat ini. Kemudian dicoba dengan korentang atau dengan dua jari menekan
dinding depan vagina kanan dan kiri sedemikian rupa ke arah kranial sehingga
sisto-uretrokel hilang. Penderita diminta batuk lagi. Bila sekarang pengeluaran
urine terhenti maka ini menunjukkan penderita akan dapatdisembuhkan
dengan operasi kelainan yang dideritanya. Pemeriksaan ini dapat ditambah
dengan sistometri,sistoskopi serta kalibrasi pada uretra untuk menyingkirkan
kemungkinan stenosis.
3
Pada foto rontgen lateral atas sistogram miksi bisa tampak sudut
terbelakang vesikouretra membesar sampai 1800 atau lebih. Normalnya sudut
ini sekitar 1200. Gambaran ini menegaskan adanya sistokel pada pemeriksaan
badan.Diagnosis dengan pengobatan inkontinensia pada wanita merupakan
masalah interdisipliner antara urologi dan ginekologi. Di sini pengambilan
keputusan yang tepat setidak-tidaknya sama penting seperti mutu pengobatan.
Sering terdapat kelainan ginekologis yang juga harus diobati. Kebanyakan
diagnostik yang tepat ditegakkan dari kerjasama yang baik antara urolog dan
ginekolog.
Pada inkontinensia stres yang ringan, misalnya yang menghabiskan 3-4
pembalut sehari, penderita bisa memperoleh perbaikan dengan fisioterapi dan
senam untuk otot-otot dasar panggul. Pada prinsipnya pengobatan
inkontinensia stres bersifat operatif. Dikenal berbagai teknik bedah yang
semuanya dapat memberikan perbaikan 80-90 kasus. Semua bentuk operasi ini
berlandaskan pada prinsip yang sama yaitu menarik dinding vagina ke arah
ventral untuk menghilangkan sistokel dan mengembalikan sudut vesiko-uretral
menjadi 1200 seperti semula. Ini dapat terlaksana dengan menjahitkan dinding
vagina pada periosteum tulang pubis (teknikMarshall-Marchetti); dengan
mengikatkan dinding vagina lebih lateral pada lig. Pouparti (teknikBurch);
atau dengan bedah ‘sling’, menarik uretra ke atas memakai selembar fasia atau
bahan yang tidak dapat diresorpsi serta diikatkan pada fasia abdominalis.
Biasanya keluhan stres dan desakan bercampur aduk. Dalam keadaan
seperti ini, sangat penting diagnostik yang cermat yang juga meliputi
sistometri dan pengukuran aliran. Apabila inkontinensia desakan dengan atau
tanpa pembentukan sisa urine diobati dengan salah satu bedah plastik suspensi
di atas, maka pola keluhan semula dapat lebih mengikat.
Komplikasi terapi bedah inkontinensia stres terutama terdiri dari
pembentukan sisa urine segera dalam fase pasca bedah. Biasanya masalah ini
bersifat sementara dan dapat diatasi dengan kateterisasi intermiten, dengan
karakter yang ditinggalkan atau lebih baik dengan drainase kandung kemih
suprapubik. Hal ini memungkinkan pencarian pembentukan sisa urine tanpa
kateterisasi. Komplikasi lain biasanya berasal dari indikasi yang salah.
Perforasi kandung kemih dengan kebocoran urine, infeksi saluran kemih yang
4
berkepanjangan dan osteitis pubis pada operasi Marshall-Marchetti-Krantz
merupakan komplikasi yang jarang terjadi.
6
Terdapat beberapa macam tes untuk memeriksa aktivitas
refleks pada segmen sakral medulla spinalis. Bila ada aktifitas
sakral, mungkin lesi jenis supranuklear.
a. Refleks anus
Kulit di dekat anus dirangsang dengan sebuah jarum. Kontraksi
pada sfingter anus bagian luar membuktikan bahwa refleksini ada. Jari
yang dimasukan di dalam rektum merasakan bahwa sfinger anus
menegang.
b. Refleks bulbokavernosus
c. Sewaktu klitoris dipijit pada pemeriksaan rektal terjadi kontraksi otot
bulbo dan iskiokavernosus.
d. Refleks ketok abdomen
Ketokan pada dinding perut diatas simfisis menyebabkan tegangnya
sfingter ani. Ini dapat diraba dengan jari didalam rektrum.
3) Tes air es
Kandung kemih dikosongkan dengan kateter, lalu diisi 60-
90 ml air es. Jika dalam waktu satu menit kateter beserta air es
tertekan keluar lagi, terbukti adanya gangguan fungi kandung
kemih jenis supranuklear.
D. Fistula urine
Fistula urine sebagian besar akibat persalinan, dapat terjadi langsung
pada waktu tindakan operatif seperti seksio sesar, perforasi dan kranioklasi,
dekapitasi, atau ekstraksi dengan cunam. Dapat juga timbul beberapa hari
sesudah partus lama, yang disebabkan karena tekanan kepala janin terlalu
lama pada jaringan jalan lahir di tulang pubis dan simfisis, sehingga
menimbulkan iskemia dan kematian jaringan di jalan lahir.
Operasi ginekologis seperti histerektomi abdominal dan vaginal,
operasi plastik pervaginam, operasi radikal untuk karsinoma serviks uteri,
semuanya dapat menimbulkan fistula traumatik. Tes sederhana untuk
membantu diagnosis ialah dengan memasukan metilen biru 30 ml kedalam
rongga vesika. Akan tampak metilen biru keluar dari fistula ke dalam vagina.
Untuk memperbaiki fistula vesikovaginalis umumnya dilakukan
operasi melalui vagina (transvaginal), karena lebih mudah dan komplikasi
7
kecil. Bila ditemukan fistula yang terjadi pasca persalinan atau beberapa hari
pascah bedah, maka penanganannya harus ditunda tiga bulan.Bila jaringan
sekitar fistula sudah tenang dan normal kembali operasi baru dapat dilakukan.
2.3 Etiologi
a. Persalinan pervaginan
Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak
akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir,
sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine.
b. Proses menua
Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia
menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan
otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya
inkontinensia urine. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan
mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung
kemih dan otot dasar panggul.
c. Gangguan urologi (peningkatan pada produksi urine (DM)
d. Infeksi saluran kemih
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi
infeksi saluran kemih bisa menyebabkan inkontinensia urine.
8
2.4 Patofisiologi
Inkontinensia Urine
Resiko kerusakan
integritas kulit
10
2.5 Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut
Uliyah (2008) yaitu:
a. Ketidaknyamanan daerah pubis.
b. Distensi vesika urinaria.
c. Ketidak sanggupan untuk berkemih.
d. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine. ( 25-50 ml).
e. Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya.
f. Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih.
g. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.
2.6 Komplikasi
a. Meningkatkan efek samping dari penggunaan obat-obatan.
b. Meningkatkan peluang infeksi karena pajanan urin terus-menerus.
c. Komplikasi bedah seperti perdarahan, kerusakan sekitar pembuluh darah
dan nervus.
11
Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan
jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.
2.8 Penatalaksanaan
Latihan otot-otot dasar panggul Latihan penyesuaian berkemih Obat-obatan
untuk merelaksasi kandung kemih dan estrogen Tindakan pembedahan memperkuat
muara kandung kemih.
a. Inkontinensia urgensi
1) Latihan mengenal sensasi berkemih dan penyesuaianya.
2) Obat-obatan untuk merelaksasi kandung kemih dan estrogen.
3) Tindakan pembedahan untuk mengambil sumbatan dan lain-lain
keadaan patologik yang menyebabkan iritasi pada saluran kemih
bagian bawah.
4) Kateterisasi, bila mungkin secara intermiten, dan kalau tidak
mungkin secara menetap.
5) Tindakan pembedahan untuk mengangkat penyebab sumbatan.
b. Inkontensia overflow
1) Kateterisasi, bila mungkin secara intermiten, dan kalau tidak
mungkin secara menetap.
2) Tindakan pembedahan untuk mengangkat penyebab sumbatan.
c. Inkontinensia tipe fungsional
1) Penyesuaian sikap berkemih antara lain dengan jadwal dan
kebiasaan berkemih.
2) Pakaian dalam dan kain penyerap khusus lainnya.
3) Penyesuaian/modifikasi lingkungan tempat berkemih.
4) Kalau perlu digaunakan obat-obatan yang merelaksasi kandung
kemih.
12
Pengkajian merupakan bagian pertama untuk mengelola UI, dari pengkajian kita dapat
menyimpulkan penyebab utama UI dan menejemen yang tepat untuk setiap klien.
1. Riwayat Kesehatan Klien
Pengkajian riwayat kesehatan pada pasien dengan UI meliputi :
a. Keluhan utama terkait dengan perasaan subjektif klien terhadap masalah saat
berkemih, ketidak mampuan menahan kencing, kebocoran urin, penggunaan
absorbent.
b. Storage Lower Urinary Symtoms (LUTS), untuk mengetahui ini pertanyaan
yang harus di jawab klien adalah berapa kali klien BAK dalam satu hari,
berapa lama klien dapat melakuka aktivitas antara waktu berkemih.
c. Riwayat penyakit, operasi, gangguan obstetri dan ginekologi
d. Obat-obatan yang dikonsumsi
e. Kapan UI mulai terjadi, durasi atau lama mengalami UI
f. Kondisi yang memicu UI seperti batuk, mengejan, keinginan berkemih yang
kuat
g. Tanda gejala yang menunjukkan kemampuan penampungan bladder seperti
frequency, urgency, nocturia
h. Tanda gejala pada setiap berkemih seperti intermittency, pancaran kencing
lemah, tetesan urin pada akhir berkemih, mengejan
i. Riwayat psikologi dan Sosial, dalam pengkjian ini fungsi seksual juga
menjadi unsur yang harus dikaji pada klien untuk mengetahui kemungkinan
kebocoran uring saat melakukan hubungan seksual (Chin, 2001).
b. Pengkajian Fisik
a. Pengkajian umum dan kemampuan fungsional, kemampuan fungsional
meliputi kemampuan klien untuk melakukan mobilisasi, kesadaran dan
ketangkasan. Metode yang dapat digunakan untuk menguji klien adalah
dengan meminta klien berjalan dari meja periksa ke tempat tidur, meminta
klien berkemih untuk pemeriksaan spesimen urin.
b. Lakukan pengkajian untuk melihat adanya abnormalitas yang berpengaruh
langsung terhadap UI
c. Pengkajian Kekuatan otot pelvis, tujuan pemeriksaan ini adalah untuk melihat
fungsi neuromuskular dan kemampuan otot dasar panggul yang sangat
berperan saat berkemih. Metode yang digunakan adalah dengan meminta
13
klien mengkontraksikan dan merilekskan bagaian otot dasar panggul.
Pengkajian ini juga dapat dilakukan dengan komputer yaitu dengan
elektomyography dan pemeriksaan tekanan dengan menggunakan Probe yang
sensitif dengan memasukkan probe pada vagina atau rektal dan meminta klien
untuk mengkontraksikan otot dasat panggul kekuatan normalnya adalah
antara 35-42 cm H2O (Hay-Smith et al. 2002).
d. Pengkajian terhadap kulit sekitar perineal untuk melihat adanya lesi atau
ekskoriasi terkait dengan seringnya kebocoran berkemih.
e. Pengkajian rektal, pada wanita kepentingan pengkajian rektal untuk
memvalidasi penyebabk terjadinya UI yaitu mengkaji adanya massa atau tumor.
Sedangkan pada laki-laki digital rektal examibation (DRE) berfungsi untuk
mengetahui adanya massa atau pembesaran prostat (Chin, 2001).
3. Observasi kebocoran urin secara langsung
Pemeriksaan ini dilakukan dengan meminta klien untuk batuk saat bladder dalam keadaan
penuh sehingga dapat diamati terjadinya UI. Kebocoran urin saat batuk dapat diamati pada
saat klien dalam posisi supine atau berdiri.
14
urin, intake cairan klien juga dicatat sebagai data dasar mengukur kapasitas bladder dan
jumlah intake cairan per 24 jam klien (Gray & Moore dalam Doughty,2006).
Tabel 1. Contoh voiding diary untuk melihat fungsi dan kapasitas Bladder:
6.Tes Laboratorium
a. Urinalysis
Urinalisis merupakan pemeriksaan yang esensial untuk klien dengan UI.
Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui substansi yang terdapat dalam urin yang
dapat berhubungan UI seperti darah, glukosa, pus, bakteri, protein. Pemeriksaan lain
yang harus disertakan untuk menyingkirkan adanya infeksi saluran kemih adalah
kultur urin (Chan, 1999).
b. Pemeriksaan serum
Pemeriksaan serum darah diindikasi untuk melihat adanya komplikasi sistemik.
Seperti kemungkinan terjadinya peningkatan BUN dan Ureum Creatinin pada klien
dengan obstruksi dan memiliki komplikasi hidronefrosis (Chan, 1999).
15
ketidaknyamanan pada saat berkemih dan kodisi Pelvis. Instrumen yang sering digunakan
adalah International Prostate Symtom Score (IPPS), instrumen ini disusun untuk
mengetahui sejauh mana klien BPH mengalami perubahan pola urinasinya bukan untuk
mengetahui derajat pembesaran prostat. Pada beberapa kasus IPPA dapat digunakan pada
wanita.
16
Intervensi Perilaku
a. Jadwal berkemih, jadwal direkomen-dasikan disusun untuk satu hari penuh. Dengan
menggunakan jadwal berkemih klien diharapkan lebih patuh terhadap waktu berkemih
yang telah disepakati. Interval berkemih pada umumnya setiap 2 jam.
b. Latihan merubah kebiasaan
Merupakan latihan penyesuaian antara kebiasaan klien berkemih dengan jadwal yang
telah tersusun. Hal-hal yang disesuaikan antara lain adalah frekuensi, volume, pola
kontinen dan inkontinence. Dengan jadwal dan latihan penyesuaian diharapkan klien
dapat mempunyai pola baru.
c. Prompted voiding (mengatakan dengan bisikan pada diri sendiri untuk menahan atau
mengatur BAK). Bisikan untuk BAK dilakukan setiap interval 2 jam. Tindakan ini
direkomendasikan untuk klien yangmengalami penurunan sensori untuk merasakan
regangan pada bladder dan penurunan rangsangan berkemih. Pada pasien yang
mengalami kelemahan bisikan dilakukan oleh caregiver. Bila klien berhasil
melakukan BAK maka diberi reward berupa umpan balik positif (Hay-Smith et al,
20020.
17
3. Latihan otot dasar panggul
Latihan otot dasar panggul sangat berpengaruh dalam memperbaikai stress inkontinensia.
Tujuan latihan ini adalah untuk meningkatkan kekuatan otot periuretra dan otot dasar
pelvis. Pasien yang dapat melakukan latihan ini sebaiknya memiliki beberapa kriteria
seperti :
3) kekuatan dan kontraktilitas otot cukup. Terdapat 5 tahapan dalam latihan ini (terlampir).
Beberapa alat telah diciptakan untuk meningkatkan kekuatan otot dasar panggul seperti;
vaginal cone, stimulasi electrik, Biofeedback dan extracorporeal Magnetic Innervation
therapy (Doughty, 2006).
18
Pengukuran dan Dukungan Perawatan
Absorbent products
Absorbent products digunakan untuk mencegah kebocoran pada saat klien beraktivitas
sosial atau pada klien dengan UI yang tidak dapat dikelola. Terdapat dua tipe absorben
yaitu : underpads atau bedpads dan bodyworn product. Risiko yang terjadi pada
pengguanaan absorbent adalah maserasi dan iritasi perineal. Sehingga direkomendasikan
untuk menggunakan pelindung kulit seperti cream atau oinment (Jayachandran et al,
1985).
19
4. Perawatan Kulit
Merupakan tindakan pencegahan yang dilakukan untuk menurunkan risiko terjadinya
kerusakan kulit atau terjadinya ulkus dekubitus. Metode yang dilkukan pada perawatan
kulit (Kennedy, 1992)
a. Inspeksi kebersihan dan tanda kemerahan pada arae perineal.
b. Bersihkan kulit segara bila terken bocoran urin atau feses.
c. Gunakan pembersih kulit dan cream untuk melindungi kulit perineal.
5. Manajemen diet dan cairan
Klien inkontinensia dianjurkan untuk meningkatkan asupan cairan dan makanan berserat.
Klien dianjurkan untuk mengurangi minuman yang mengandung kafein, minuman
karbonasi, jenis minuman lain yang dapat meningkatkan rangsang berkemih lebih cepat.
Peningkatan makan berserat sangat penting untuk klien guna mencegah terjadinya
konstipasi atau impaksi yang dapat menjadi factor predisposisi terjadinya UI karena
adanya penekanan pada bladder dalam jangka waktu lama.
6. Modifikasi Lingkungan
Modifikasi lingkungan lingkungan agar klien dengan mudah mencapai toilet sehingga
tidak terjadi kebocoran. Berikan pencahayaan yang cukup, lantai yang tidak mudah licin.
Sediakan peralatan bantu seperti urinal didekat tempat tidur agar mudah dijangkau.
Pendidikan
20
diperlukan pendidikan berkelanjutan bagi perawat. Salah satu pendidikan berkelanjutan
untuk area ini adalah sertifikasi perawat kontinen (Doughty, 2006).
Penjaminan Kualitas
1. Parameter evaluasi
Dalam perawatan klien UI indikator yang dapat diukur untuk menilai keberhasilan
menegemen pada UI . indikator ini dapat dilihat dari Insiden terjadinya UI selama masa
perawatan dilihat dari :
a. Proporsi Penerapan behavioural intervention pada klien UI yang dirawat di RS
b. Proporsi latihan otot dasar pelvis pada klien UI
c. Pendidikan berkelanjutan untuk perawat spesifik di bidang inkontinensia
• Jumlah perawat yang direncanakan mengikuti sertifikasi inkontinensia
• Proporsi perawat yang telah mengikuti sertifikasi inkontinensia, mampu dan
berwenang untuk mengevaluasi dan memeneg UI.
21
Tabel 1. Contoh voiding diary untuk melihat fungsi dan kapasitas Bladder:
7. Tes Laboratorium
a. Urinalysis
Urinalisis merupakan pemeriksaan yang esensial untuk klien dengan UI.
Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui substansi yang terdapat dalam urin yang
dapat berhubungan UI seperti darah, glukosa, pus, bakteri, protein. Pemeriksaan lain
yang harus disertakan untuk menyingkirkan adanya infeksi saluran kemih adalah
kultur urin (Chan, 1999).
b. Pemeriksaan serum
Pemeriksaan serum darah diindikasi untuk melihat adanya komplikasi sistemik.
Seperti kemungkinan terjadinya peningkatan BUN dan Ureum Creatinin pada klien
dengan obstruksi dan memiliki komplikasi hidronefrosis (Chan, 1999).
22
LUTS dengan Overactive Bladder; 2) hubungan LUTS denga Stress UI; 3) hubungan
ketidaknyamanan pada saat berkemih dan kodisi Pelvis. Instrumen yang sering digunakan
adalah International Prostate Symtom Score (IPPS), instrumen ini disusun untuk
mengetahui sejauh mana klien BPH mengalami perubahan pola urinasinya bukan untuk
mengetahui derajat pembesaran prostat. Pada beberapa kasus IPPA dapat digunakan pada
wanita.
Intervensi Perilaku
23
volume, pola kontinen dan inkontinence. Dengan jadwal dan latihan penyesuaian
diharapkan klien dapat mempunyai pola baru.
c. Prompted voiding (mengatakan dengan bisikan pada diri sendiri untuk menahan
atau mengatur BAK). Bisikan untuk BAK dilakukan setiap interval 2 jam.
Tindakan ini direkomendasikan untuk klien yang mengalami penurunan sensori
untuk merasakan regangan pada bladder dan penurunan rangsangan berkemih.
Pada pasien yang mengalami kelemahan bisikan dilakukan oleh caregiver. Bila
klien berhasil melakukan BAK maka diberi reward berupa umpan balik positif
(Hay-Smith et al, 20020.
2. Bladder training/ bladder re-education
Bladder training sangat direkomendasikan pada pasien yang mengalami Inkontinensia
Urge atau overactive Bladder (OAB) dan bisa juga dilakukan untuk pasien dengan stress
inkontinensia. Latihan yang dilkukan dalam bladder training adalah menunda berkemih
sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan untuk melatih fungsi bladder dalam
menampung urin sesuai ukuran normal. Dalam penelitian terdapat perbaikan pada klien UI
dengan bladder training sebesar 10-15 % (Roe et al, 2002; Chin, 2001; NIH, 1988).
Terdapat persyaratan untuk klien yang akan menjalani bladder training, klien mampu
secara fisik, kognitif dan memiliki motivasi untuk latihan. Bentuk latihan yang dilakukan
adalah klien harus mematuhi jadwal berkemih yang telah disepakati, selanjutnya klien
diminta untuk menahan keinginan berkemih dengan melakukan relaksasi atau distraksi
sampai dengan interval waktu yang disepakati selesai (2-3jam). Latihan ini membutuhkan
waktu beberapa bulan sehingga memperlihatkan perubahan pada klien.
24
a. Kateter urin intermiten
Kateter urin intermiten di rekomendasikan pada pasien dengan UI
fungsional, UI Neurogenik atau Reflek, atau klien yang mengalami penurunan
kemampuan kognitif (Doughty,2006). Tujuan tindakan ini adalah untuk
mencegah kerusakan pada otot detrusor sebagai akibat regangan yang
berlebihan. Pengeluaran urin dengan menggunakan intermitent kateter
dilakukan setiap 3-6 jam.
Absorbent products
Absorbent products digunakan untuk mencegah kebocoran pada saat klien
beraktivitas sosial atau pada klien dengan UI yang tidak dapat dikelola. Terdapat dua tipe
absorben yaitu : underpads atau bedpads dan bodyworn product. Risiko yang terjadi pada
pengguanaan absorbent adalah maserasi dan iritasi perineal. Sehingga direkomendasikan
25
untuk menggunakan pelindung kulit seperti cream atau oinment (Jayachandran et al,
1985).
4. Perawatan Kulit
Merupakan tindakan pencegahan yang dilakukan untuk menurunkan risiko terjadinya
kerusakan kulit atau terjadinya ulkus dekubitus. Metode yang dilkukan pada perawatan
kulit (Kennedy, 1992) :
a. Inspeksi kebersihan dan tanda kemerahan pada arae perineal.
b. Bersihkan kulit segara bila terken bocoran urin atau feses.
c. Gunakan pembersih kulit dan cream untuk melindungi kulit perineal.
5. Manajemen diet dan cairan
Klien inkontinensia dianjurkan untuk meningkatkan asupan cairan dan makanan berserat.
Klien dianjurkan untuk mengurangi minuman yang mengandung kafein, minuman
karbonasi, jenis minuman lain yang dapat meningkatkan rangsang berkemih lebih cepat.
Peningkatan makan berserat sangat penting untuk klien guna mencegah terjadinya
konstipasi atau impaksi yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya UI karena
adanya penekanan pada bladder dalam jangka waktu lama.
7. Modifikasi Lingkungan
Modifikasi lingkungan lingkungan agar klien dengan mudah mencapai toilet sehingga
tidak terjadi kebocoran. Berikan pencahayaan yang cukup, lantai yang tidak mudah licin.
Sediakan peralatan bantu seperti urinal didekat tempat tidur agar mudah dijangkau.
Pendidikan
3. Pendidikan keperawatan
26
Untuk memeneg gangguan yang spesifik pada klien sangat dibutuhkan perawat yang
spesialistik dibidang tersebut, sehingga untuk dapat mengelola UI secara konprehensif
diperlukan pendidikan berkelanjutan bagi perawat. Salah satu pendidikan berkelanjutan
untuk area ini adalah sertifikasi perawat kontinen (Doughty, 2006).
Penjaminan Kualitas
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan perawatan, perawat harus dapat
mengidentifikasi implikasi tindakan yang dilkukan, memberikan pelatihan pada perawat
baru dan mengidentifikasi kebutuhan pendidikan pada klien (Doughty, 2006).
2. Parameter evaluasi
Dalam perawatan klien UI indikator yang dapat diukur untuk menilai keberhasilan
menegemen pada UI . indikator ini dapat dilihat dari Insiden terjadinya UI selama masa
perawatan dilihat dari :
a. Proporsi Penerapan behavioural intervention pada klien UI yang dirawat di RS
d. Proporsi latihan otot dasar pelvis pada klien UI
e. Pendidikan berkelanjutan untuk perawat spesifik di bidang inkontinensia
• Jumlah perawat yang direncanakan mengikuti sertifikasi inkontinensia
• Proporsi perawat yang telah mengikuti sertifikasi inkontinensia, mampu dan
berwenang untuk mengevaluasi dan memeneg UI
27
BAB III
PEMBAHASAN
Triger case :
Ny.T umur 60 tahun datang ke Rumah Sakit Sakinah diantar oleh keluarganya dengan
keluhan ingin buang air kecil (BAK) terus-menerus dan tidak bisa ditahan sampai ke toilet.
Ny.T mengatakan kencingnya lebih dari 5 kali dalam sehari. Ny.T mengeluh sulit tidur pada
saat malam hari. Ia juga mengatakan lecet-lecet pada kulit disekitar paha dan bokong. Klien
mengatakan malu apabila keluar rumah, karena mengompol dan bau air kencingnya
menyengat, sehingga lebih sering berdiam diri dirumah. Klien pernah opname dirumah sakit
tapi dengan keluhan diare pada 5 bulan yang lalu. Ny.T mengatakan mempunyai riwayat
penyakit keturunan yaitu diabetes melitus. Setelah dilakukan pemeriksaan didapatkan TTV
dengan kesadaran : komposmetis, TD : 130/80 mmHg, N: 78 x/ menit, S: 370C, pernafasan
18 x/menit, CRT<2 detik. BB 48 kg dengan tinggi badan 152 cm dan GDA 280 mg/dl. Ny.T
direncanakan untuk Terapi Latihan Senam Kegel.
3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas
Nama : Ny.T
Umur : 60 Tahun
Agama : Islam
Status Pernikahan : Menikah
3.1.2 Keluhan Utama
Pasien mengatakan ingin buang air kecil (BAK) terus-menerus.
3.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RS Sakinah dengan keluhan ingin buang air kecil (BAK) terus-
menerus dan tidak bisa ditahan sampai ke toilet.
28
Pasien mengatakan mempunyai riwayat keturunan dari keluarganya yaitu penyakit
diabetes mellitus.
3.2 Pemeriksaan Fisik
3.2.1 Pemeriksaan Umum
Kesadaran : Komposmetis
TTV :
TD :130/80 mmHg
N : 78 x/ menit
RR : 18 x/ menit
S : 370C
3.2.2 Pemeriksaan Khusus (Body System)
B1 (Breathing)
o Inspeksi bentuk dada simetris
o Tidak ada nyeri dada
o RR 18 x/menit
B2 (Blood)
o Tekanan darah 130/80 mmHg
o Nadi 78x/menit
o Gula darah sewaktu 280 mg/dl
o CRT<2 detik
B3 (Brain)
o Ny S tingkat kesadaran komposmetis
o Ny S tampak lemas
B4 (Bladder)
o Poliuri: Banyak buang air kecil
o Kebersihan: negatif
o Warna urine kuning pekat
o Bau menyengat
B5 (Bowel)
o BB 48 kg
B6 (Bone)
o Ny S terlihat lemah
o Kekuatan otot 5 5
29
5 5
3.3 Analisa Data
2. DS: pasien mengatakan sulit tidur Otot dekstrusi tidak Gangguan Pola Tidur
pada saat malam hari. stabil
DO:- ketidakpuasan tidur
- Ny.T tidak merasa cukup Reaksi otot berlebih
istirahat
- mata tampak cowong Sering kencing di
- mata tampak merah malam hari
Gangguan Pola
Tidur
30
3. DS: pasien mengatakan lecet-lecet Tekanan kandung Kerusakan Intergritas
pada kulit disekitar paha dan kemih Kulit
bokong.
DO: Nampak kemerahan pada kulit Rembesan urine
sekitar paha dan pantat.
Urine mengiritasi
kulit diarea genetalia
Kerusakan
Intergritas Kulit
31
3. Sensasi ingin berkemih (500-1.500 cc/24 dan buang air besar.
4. Mengosongkan kandung jam) 4. Instruksikan pasien untuk
kemih dengan tuntas tidak mengkontraksikan
Faktor yang berhubungan: perut, pangkal paha dan
1. Keterbatasan neuromuskular pinggul, menahan nafas
atau mengejan selama
latihan.
5. Yakinkan bahwa pasien
mampu membedakan
kontraksi menahan dan
relaksasi yang berbeda
antara keinginan untuk
meninggikan dan
memasukkan kontraksi
otot dan usaha yang tidak
diinginkan untuk
menurunkan.
6. Instruksikan pasien untuk
melakukan latihan
pengencangan otot,
dengan melakukan 300
kontraksi setiap hari,
menahan kontraksi
selama 10 detik, dan
relaksasi selama 10 menit
diantara sesi kontraksi,
sesuai dengan protocol.
7. Identifikasi factor apa saja
penyebab inkontinesia
pada pasien (misalnya;
urine akut, pola berkemih,
pola kognitif, masalah
perkemihan, residu paska
32
berkemih, dan obat-
obatan).
8. Jaga privasi klien saat
berkemih.
9. Jelaskan penyebab
terjadinya inkontinesia
dan rasionalisasi setiap
tindakan yang dilakukan.
10. Monitor eliminasi urine,
meliputi frekuensi,
konsistensi, bau, volume
dan warna urine.
11. Diskusikan bersama
pasien mengenai prosedur
tindakan dan target yang
diharapkan.
12. Bantu pasien untuk
memilih diapers atau
popok kain yang sesuai
untuk penangganan
sementara selama
pengobatan sedang
dilakukan.
13. Bersihkan kulit sekitar
area genetalia secara
terartur.
14. Selanjutnya berikan obat-
obatan diuretic sesuai
jadwal minimal untuk
mempengaruhi irama
sirkandian tubuh.
15. Intruksikan pasien minum
minimal 1500cc air/hari.
33
16. Batasi makanan yang
mengiritasi kandung
kemih (misalnya;
minuman bersoda, kopi,
teh, dan coklat).
2. Gangguan Pola tidur NOC NIC
Berhubungan dengan: Anxiety Control Sleep Enhancement
- Psikologis : usia tua, kecemasan, Comfort Level Determinasi efek-efek
agen biokimia, suhu tubuh, pola Pain Level medikasi terhadap
aktivitas, depresi, kelelahan, takut, Rest : Extent and Pattern pola tidur
kesendirian. Sleep : Extent ang Jelaskan pentingnya
- Lingkungan : kelembaban, Pattern tidur yang adekuat
kurangnya privacy/kontrol tidur, Setelah dilakukan tindakan Fasilitasi untuk
pencahayaan, medikasi (depresan, keperawatan selama 1x 24 mempertahankan
stimulan), kebisingan. jam gangguan pola tidur aktivitas sebelum
- Fisiologis : Demam, mual, posisi, pasien teratasi dengan tidur (membaca)
urgensi urine. Inkontenensia Alvi kriteria hasil: Ciptakan lingkungan
Jumlah jam tidur dalam yang nyaman
batas normal Kolaburasi pemberian
Pola tidur,kualitas dalam
batas normal obat tidur
Mampu mengidentifikasi
hal-hal yang
meningkatkan tidur
34
- Perubahan status cairan perfusi jaringan baik tertekan
- Perubahan pigmentasi menunjukkan 6. Memandikan pasien
- Penurunan imologis pemahaman dalam dengan sabuh dan air
- Penurunan sirkulasi proses perbaikan hangat
- gangguan sensasi kulit dan mencegah Insition site care
terjadinya cedera 1. Membersihan,
berulang. memantau dan
Mampu melindungi meingkatkan proses
kulit dan penyembuhan pada
mempertahankan luka yang tertutup
kelembapan kulit denga jahitan, klip
dan perawatan alami atau straples
2. Monitor tanda dan
gejala infeksi
3. Gunakan preparat
antiseptik sesuai
program
35
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah kondisi keluarnya urin tak terkendali yg dpt
didemonstrasikan secara obyektif dan menimbulkan gangguan hygiene dan
social. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15 – 30%
usialanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit
mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia
urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.
4.2 Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
penulis lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah diatas dengan
sumber-sumber yang lebih banyak.
36
DAFTAR PUSTAKA
Medaction.
Smeltzer , Bare, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah , Brunner dan
37