Vous êtes sur la page 1sur 29

PERAN KIMIA ANALITIK DI BIDANG FORENSIK DALAM MENGANALISIS KASUS

PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Analisis Instrumentasi II
Yang dibina oleh
Ibu Dra. Surjani Wonorahardjo, Ph.D

Oleh
Offering G
Anita Lestari (160332605890)
Della Dwi Taufina (160332600059)
Nailar Rokhmah (160332605875)
Thitania Wahyu P (160332605853)
Mohammad Syafi’i (160332605891)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN KIMIA
JANUARI 2018

i
DAFTAR ISI

HALAMAN MUKA
DAFTAR ISI....................................................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
1.1.Latar Belakang ....................................................................................................... 1
1.2.Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
1.3.Tujuan penulisan ..................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 3
2.1. Peranan Kimia Analitik dalam Bidang Forensik ................................................... 4
2.2.Instrumen yang Digunakan untuk Menganalisis Kasus Penyalahgunaan
Narkotika................................................................................................................. 6
2.3.Metode yang Digunakan untuk Menganalisis Kasus Penyalahgunaan Narkotika.. 9
2.4.Contoh Kasus Penyalahgunaan Narkotika yang dapat Diselesaikan dengan
Kimia Analitik................................................................................................... 15
2.5.Senyawa yang Terlibat dalam Tindak Kriminal Penyalahgunaan Narkotika
serta Efek yang ditimbulkan dalam Mengkonsumsi Narkotika .............................. 20
2.6.Rentan Waktu Senyawa Narkotika dapat Bertahan dalam Tubuh .......................... 24
BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 25
3.1 Kesimpulan ............................................................................................................ 25
3.1. Saran ...................................................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 26

i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum. Hal ini sesuai apa
yang tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945. Di dalam hidup bermasyarakat agar
terjadi keteraturan dan ketentraman maka perlu adanya norma yaitu nilai-nilai abstrak
yang dianut sebagai ketentuan atau kaidah yang ditaati oleh setiap orang dalam
pergaulan dan perhubungan hidup bermasyarakat guna menjamin ketertiban dalam
masyarakat terutama norma hukum(Poernomo, 1993 ).
Semakin berkembangnya era globalisasi yang ditandai dengan pesatnya
perkembangan teknologi dan informasi telah memberikan dampak tersendiri dalam
kehidupan masyarakat. Dengan berbagai pengaruh positif maupun negatif pun tidak bisa
dipungkiri. Disisi lain, penyebaran tingkat kesejahteraan masyarakat yang tidak merata
akhirnya memicu adanya suatu kejahatan. Narkotika merupakan salah satu bentuk
kejahatan tanpa korban yang grafiknya terus meningkat, karena terlibatnya lembaga dan
kelompok tertentu. Indonesia yang semula menjadi negara transit atau pemasaran telah
meningkat menjadi salah satu negara tujuan bahkan telah pula menjadi negara produsen
zat berbahaya tersebut. Tindak penyalahgunaan narkotika berpotensi mengancam
kehidupan berbangsa dan bernegara terutama ketahanan nasional negara kita yang akan
terus merosot tajam(Yusuf, 2009).
Dengan semakin banyaknya kasus yang terjadi, maka permasalahan yang
dihadapi di bidang pemeriksaan juga semakin banyak dan kompleks. Pemerintah
berupaya mengusut tuntas masalah tersebut dengan dibantu oleh pihak kepolisian.
Diantaranya yakni menangani masalah berkaitan dengan penyidikan. Pengusutan dan
penyidikan serta penyelesaian masalah hukum ini di tingkat lebih lanjut hingga
pemutusan perkara di pengadilan diperlukan bantuan berbagai ahli untuk memperjelas
jalannya suatu peristiwa serta keterkaitan antara tindakan yang satu dengan yang lainnya.
Dalam era globalisasi dan transparansi saat ini penyidik harus sudah
meninggalkan cara-cara penyidikan konvensional yang hanya mengandalkan pengakuan
tersangka atau saksi dan harus berpindah dengan cara Scientific Crime Investigation
(penyidikan secara ilmiah). Dengan adanya metode Scientific Crime Investigation ini
dapat membantu pihak kepolisian dalam memanfaatkan fungsi forensik untuk
mengungkap kasus narkotika dengan mengaplikasikan ilmu dan teknologi yang

1
dirangkum dengan analisa toksikologi. Sehingga pengakuan tersangka akan ditempatkan
diposisi yang paling akhir dari alat bukti yang akan diajukan di pengadilan.
Kimia Analitik berperan penting dalam membantu pihak kepolisian untuk
menyelesaikan kasus-kasus kriminal yang terjadi. Melalui Kimia Forensik kita dapat
melakukan investigasi secara kimiawi atas zat tertentu yang nantinya akan dijadikan
sebagai sebuah bukti untuk mengungkap kasus kriminal terutama narkotika.
Kimia Analitik sendiri secara umum membahas metode untuk menentukan
kandungan dan komposisi kimia suatu bahan secara kualitatif dan kuantitatif. Dalam
kajian kimia analitik metode-metode analisis sangat diperhitungkan yang mana
hubungan antar keduanya tidak terpisahkan(Wonorahardjo,2013).
Dari pemaparan diatas, maka dalam makalah ini kami akan membahas mengenai
“Peran Kimia Analitik di Bidang Forensik dalam Menganalisis Kasus Penyalahgunaan
Narkotika”
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peran kimia analitik dalam bidang forensik?
2. Apa saja instrumentasi yang digunakan untuk menganalisis kasus penyalahgunaan
narkotika?
3. Bagaimana metode analisis instrumentasi yang digunakan untuk menganalisis kasus
penyalahgunaan narkotika?
4. Bagaimana contoh kasus penyalahgunaan narkotika yang dapat diselesaikan dengan
kimia analitik?
5. Senyawa apa yang terlibat dalam tindak kriminal penyalahgunaan narkotika? Serta
efek apa yang ditimbulkan dalam mengkonsumsi narkotika?
6. Berapa lama senyawa narkotika bertahan didalam tubuh?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana peran kimia analitik dalam bidang forensik.
2. Untuk mengetahui apa saja instrumentasi yang digunakan untuk menganalisis kasus
penyalahgunaan narkotika.
3. Untuk mengetahui metode analisis instrumenasi yang digunakan untuk menganalisis
kasus penyalahgunaan narkotika.
4. Untuk mengetahui contoh kasus penyalahgunaan narkotika yang dapat diselesaikan
dengan kimia analitik.

2
5. Untuk mengetahui Senyawa apa yang terlibat dalam tindak kriminal
penyalahgunaan narkotika serta efek apa yang ditimbulkan dalam mengkonsumsi
narkotika.
6. Untuk mengetahui berapa lama senyawa narkotika bertahan didalam tubuh.

3
`BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Peranan Kimia Analitik dalam Bidang Forensik

Forensik berasal dari bahasa Latin yaitu forensis yang berarti “dari luar”. Forensik
sendiri memiliki pengertian yakni merupakan suatu bidang ilmu pengetahuan yang digunakan
untuk membantu proses penegakan keadilan melalui proses penerapan ilmu dan sains.
Abdussalam (2006) menyatakan bahwa Forensik merupakan alat bukti sah dalam memberikan
keyakinan hakim untuk memutuskan tersangka atau terdakwa bersalah dan/atau tidak
bersalah. Forensik tebagi menjadi beberapa jenis ilmu forensik dari berbagai bidang disiplin
ilmu seperti medicine forensics, physic forensics, chemistry forensics, balistic metallurgy
forensics, document forensics, computer or digital forensics, dan sebagainya.
Ilmu Forensik sendiri dikatagorikan ke dalam ilmu pengetahuan alam dan dibangun
berdasarkan metode ilmu alam. Dalam padangan ilmu alam sesuatu sesuatu dianggap ilmiah
hanya dan hanya jika didasarkan pada fakta atau pengalaman (empirisme), kebenaran ilmiah
harus dapat dibuktikan oleh setiap orang melalui indranya (positivesme), analisis dan hasilnya
mampu dituangkan secara masuk akal, baik deduktif maupun induktif dalam struktur bahasa
tertentu yang mempunyai makna (logika) dan hasilnya dapat dikomunikasikan ke masyarakat
luas dengan tidak mudah atau tanpa tergoyahkan (kritik ilmu) (Purwadianto 2000).
Dewasa ini dalam penyidikan suatu tindak kriminal merupakan suatu keharusan
menerapkan pembuktian dan pemeriksaan bukti fisik secara ilmiah. Sehingga diharapkan
tujuan dari hukum acara pidana, yang menjadi landasan proses peradilan pidana, dapat
tercapai yaitu mencari kebenaran materiil. Adanya pembuktian ilmiah diharapkan polisi,
jaksa, dan hakim tidaklah mengandalkan pengakuan dari tersangka atau saksi hidup dalam
penyidikan dan menyelesaikan suatu perkara. Karena saksi hidup dapat berbohong atau
disuruh berbohong, maka dengan hanya berdasarkan keterangan saksi dimaksud, tidak dapat
dijamin tercapainya tujuan penegakan kebenaran dalam proses perkara pidana dimaksud.
Dalam pembuktian dan pemeriksaan secara ilmiah, kita mengenal istilah ilmu forensik dan
kriminologi. Secara umum ilmu forensik dapat diartikan sebagai aplikasi atau pemanfaatan
ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan penegakan hukum dan keadilan. ( Agus I.M,
2008).

4
Berbagai macam kasus tindak pidana kemungkinan dapat terjadi mulai dari peredaran
narkoba, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, kematian seseorang yang tidak wajar dan
masih banyak lagi. Hal tersebut sangat meresahkan banyak pihak oleh karena itu perlu adanya
tindakan khusus untuk mengungkap dan memberantas kasus-kasus tersebut. Kasus-kasus
tersebut dapat diatasi dengan menggunakan salah satu disipilin ilmu forensik yakni
toksikologi forensik .
Istilah toksikologi berasal dari Bahasa latin yang terdiri dari dua kata yaitu toxicus yang
berarti racun dan logos yang artinya pengetahuan (James et al., 2000). Toksikologi
mempunyai definisi yang bermacam-macam sesuai dengan sejarah perkembangannya. Sejak
awal manusia telah mengenal dua jenis bahan, yaitu yang aman bagi tubuh disebut makanan
dan yang berbahaya bagi tubuh disebut dengan racun. Oleh karena itu pada mulanya
toksikologi didefinisikan sebagai ilmu tentang racun (Donatus, 2005). Definisi tersebut dinilai
kurang tepat setelah Paracelsus (1493-1541) menyatakan bahwa yang membedakan antara
racun dan bukan racun adalah takarannya (Gallo, 2008). Definisi toksikologi kemudian
berkembang menjadi ilmu yang mempelajari pengaruh kuantitatif zat kimia pada sistem
biologi dan mendasari perkembangan toksikologi modern. Lu mendefinisikan toksikologi
sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek toksik berbagai bahan terhadap makhluk
hidup dan sistem biologik lainnya (Lu, 1995). Oleh Loomis, toksikologi diartikan sebagai
ilmu yang mempelajari aksi berbahaya zat kimia atas sistem biologi tertentu. Sampai saat ini,
definisi Loomis belum banyak mengalami perubahan.
Antara toksikologi dengan forensik memiliki keterkaitan yang sangat erat. Yang mana
jika keduanya saling dikaitkan akan menghasilkan suatu keuntungan dalam penyeselesaian
kasus tindak pidana. Kerja utama dari toksikologi forensik adalah melakukan analisis
kualitatif maupun kuantitatif dari racun dari bukti fisik dan menerjemahkan temuan
analisisnya ke dalam ungkapan apakah ada atau tidaknya racun yang terlibat dalam tindak
kriminal, yang dituduhkan, sebagai bukti dalam tindak kriminal (forensik) di pengadilan.
Hasil analisis dan interpretasi temuan analisisnya ini akan dimuat ke dalam suatu laporan yang
sesuai dengan hukum dan perundangan-undangan ( Agus I.M, 2008).
Menurut masyarakat toksikologi forensik amerika “society of forensic toxicologist, inc.
SOFT” bidang kerja toksikologi forensik meliputi : analisis dan mengevaluasi racun penyebab
kematian, analisis ada/tidaknya alkohol, obat terlarang di dalam cairan tubuh atau napas, yang
dapat mengakibatkan perubahan prilaku (menurunnya kemampuan mengendarai kendaraan
bermotor di jalan raya, tindak kekerasan dan kejahatan, penggunaan dooping), analisis obat

5
terlarang di darah dan urin pada kasus penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan obat
terlarang lainnya.
Dalam beberapa tahun ini kasus penyalahgunaan narkotika dan psikotropika meningkat
pesat. Dari data penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di wilayah Polda Jatim
menunjukkan kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahun, hal ini dapat kita amati dari
jumlah kasus, tersangka, barang bukti yang ditemukan, maupun kasuskasus yang menonjol
lainnya. Data tahun 2005-2009 tercatat jumlah kasus narkoba meningkat dari 1.462 pada
tahun 2005 menjadi 2.698 kasus pada tahun 2009, dengan kenaikan ratarata kasus sebesar
16,9 % per tahun. Dari kasus-kasus tersebut tercatat bahwa jumlah tersangka meningkat dari
2.009 orang pada tahun 2005 menjadi 3.458 orang pada tahun 2009 atau meningkat rata-rata
14,7 % per tahun (Badan Narkotika Propinsi Jawa Timur, 2010). Dengan semakin banyaknya
kasus yang terjadi, maka permasalahan yang dihadapi di bidang pemeriksaan juga semakin
banyak dan komplek. Sehubungan dengan hal tersebut maka sudah menjadi tugas dan
kewajiban dari petugas kepolisian untuk mengungkap kasus penyalahgunaan narkotika dan
psikotropika demi keselamatan generasi muda Indonesia.
Oleh karena itu dalam menjalankan tugasnya toksikologi forensik dibantu dengan kimia
analitik untuk melakukan analisis kualitatif maupun kuantitatif dari racun sebagai suatu tindak
pidana. Disini kimia analitik memegang peran yang penting dalam membantu pihak
kepolisian dalam menyelesaikan kasus tindak pidana yang telah terjadi. Melalui Kimia
Forensik kita dapat melakukan investigasi secara kimiawi atas zat tertentu yang nantinya akan
dijadikan sebagai sebuah bukti untuk mengungkap kasus kriminal terutama penyalahgunaan
narkotika.

2.2 Instrumentasi yang Digunakan Untuk Menganalisis Kasus Penyalahgunaan Narkotika


Instrument-instrumen yang dapat digunakan untuk menganalisis kasus penyalahgunaan
Narkotika yakni :
1. GC-MS
Gas Chromatography Mass Spectrometry (GC-MS) merupakan gabungan dua buah
alat yaitu kromatografi gas dan spektrometri massa. GC-MS digunakan untuk mendeteksi
massa antara 10 m/z hingga 700 m/z (Fessenden,1982). GC merupakan salah satu teknik
kromatografi yang hanya dapat digunakan untuk mendeteksi senyawa-senyawa yang
mudah menguap. Kriteria menguap adalah dapat menguap pada kondisi vakum tinggi dan
tekanan rendah serta dapat dipanaskan (Drozd, 1985).

6
Dasar pemisahan menggunakan kromatografi gas adalah terkait dengan titik didih
senyawa yang dianalisis serta perbedaan interaksi analit dengan fase diam dan fase gerak.
Senyawa dengan titik didih yang tinggi memiliki waktu retensi yang lama. Senyawa yang
lebih terikat dalam fase cair pada permukaan fase diam juga memiliki waktu retensi yang
lebih lama (Clark, 2007). Cara kerja dari GC adalah suatu fase gerak yang berbentuk gas
mengalir di bawah tekanan melewati pipa yang dipanaskan dan disalut dengan fase diam
cair atau dikemas dengan fase diam cair yang disalut pada suatu penyangga padat. Analit
tersebut dimuatkan ke bagian atas kolom melalui suatu portal injeksi yang dipanaskan.
Suhu oven dijaga atau diprogram agar meningkat secara bertahap. Ketika sudah berada
dalam kolom, terjadi proses pemisahan antar komponen. Pemisahan ini akan bergantung
pada lamanya waktu relatif yang dibutuhkan oleh komponen-komponen tersebut di fase
diam (Sparkman et al., 2011).
Seiring dengan perkembangan teknologi maka instrument GC digunakan secara
bersama-sama dengan instrumen lain seperti Mass-Spectrometer (MS). Spektrometer
massa diperlukan untuk identifikasi senyawa sebagai penentu bobot molekul dan
penentuan rumus molekul. Prinsip dari MS adalah pengionan senyawa-senyawa kimia
untuk menghasilkan molekul bermuatan atau fragmen molekul dan mengukur rasio m/z.
Molekul yang telah terionisasi akibat penembakan elektron berenergi tinggi tersebut akan
menghasilkan ion dengan muatan positif, kemudian ion tersebut diarahkan menuju medan
magnet dengan kecepatan tinggi. Medan magnet atau medan listrik akan membelokkan
ion tersebut agar dapat menentukan bobot molekulnya dan bobot molekul semua fragmen
yang dihasilkan (David, 2005). Kemudian detektor akan menghitung muatan yang
terinduksi atau arus yang dihasilkan ketika ion dilewatkan atau mengenai permukaan,
scanning massa dan menghitung ion sebagai mass to charge ratio (m/z).
Berdasarkan analisis GC– MS diperoleh dua informasi dasar, yaitu hasil analisis
kromatografi gas yang ditampilkan dalam bentuk kromatogram dan hasil analisis
spektrometri massa yang ditampilkan dalam bentuk spektrum massa. Kromatogram
memberikan informasi mengenai jumlah komponen kimia yang terdapat dalam campuran
yang dianalisis (jika sampel berbentuk campuran) yang ditunjukkan oleh jumlah puncak
yang terbentuk pada kromatogram berikut kuantitas masing-masing. Spektrum
spektroskopi massa merupakan gambaran mengenai jenis dan jumlah fragmen molekul
yang terbentuk dari suatu komponen kimia (masing-masing puncak pada kromatogram).
Setiap fragmen yang terbentuk dari pemecahan suatu komponen kimia memiliki berat
molekul yang berbeda dan ditampilkan dalam bentuk diagram dua dimensi, m/z (m/e,

7
massa/muatan) pada sumbu X dan intensitas pada sumbu Y yang disebut spektrum massa
(Agusta, 2000). Pola fragmentasi ini merupakan sidik jari molekular dari suatu senyawa.
Dengan memadukan data indeks retensi dan spektrum massanya, maka identitas dari analit
dapat dikenali dan dipastikan

Instrumen GC-MS
2. Kromatografi Lapis Tipis
KLT adalah yang metode kromatografi paling sederhana yang banyak digunakan.
Peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk melaksanakan pemisahan dan analisis sampel
dengan metode KLT cukup sederhana yaitu sebuah bejana tertutup (chamber) yang berisi
pelarut dan lempeng KLT. Dengan optimasi metode dan menggunakan instrumen
komersial yang tersedia, pemisahan yang efisien dan kuantifikasi yang akurat dapat
dicapai.
Pelaksanaan analisis dengan KLT diawali dengan menotolkan alikuot kecil sampel
pada salah satu ujung fase diam (lempeng KLT), untuk membentuk zona awal. Kemudian
sampel 2 dikeringkan. Ujung fase diam yang terdapat zona awal dicelupkan ke dalam
fase gerak (pelarut tunggal ataupun campuran dua sampai empat pelarut murni) di dalam
chamber. Jika fase diam dan fase gerak dipilih dengan benar, campuran komponen-
komponen sampel bermigrasi dengan kecepatan yang berbeda selama pergerakan fase
gerak melalui fase diam. Hal ini disebut dengan pengembangan kromatogram. Ketika
fase gerak telah bergerak sampai jarak yang diinginkan, fase diam diambil, fase gerak
yang terjebak dalam lempeng dikeringkan, dan zona yang dihasilkan dideteksi secara
langsung (visual) atau di bawah sinar ultraviolet (UV) baik dengan atau tanpa
penambahan pereaksi penampak noda yang cocok.
Deteksi senyawa menjadi mudah ketika senyawa secara alami dapat berwarna atau
berberfluoresensi atau menyerap sinar UV. Namun, perlakuan penambahan pereaksi

8
penampak noda dengan penyemprotan atau pencelupan terkadang diperlukan untuk
menghasilkan turunan senyawa yang berwarna atau berfluoresensi. Pada umumnya
senyawa aromatik terkonjugasi dan beberapa senyawa tak jenuh dapat menyerap sinar
UV. Senyawa-senyawa ini dapat dianalisis dengan KLT dengan fase diam yang
diimpregnasi indikator fluoresensi dan deteksi dapat dilakukan hanya dengan
pemeriksaan di bawah sinar UV 254 nm.

2.3 Metode yang Digunakan Untuk Menganalisis Kasus Penyalahgunaan Narkotika


Pada analisis toksikologi forensik, analit (racun) yang menjadi taget analisis tidak
diketahui dengan pasti sebelum dilakukan analisis. Tidak sering hal ini menjadi hambatan
dalam penyelenggaraan analisis toksikologi forensik, karena seperti diketahui saat ini
terdapat ribuan bahkan jutaan senyawa kimia yang mungkin menjadi target analisis. Untuk
mempersempit peluang dari target analisis, biasanya target dapat digali dari informasi
penyebab kasus forensik, yang dapat diperoleh dari laporan pemeriksaan di tempat kejadian
perkara (TKP), atau dari berita acara penyidikan oleh polisi penyidik.
Sampel dari toksikologi forensik pada umumnya adalah spesimen biologi seperti:
cairan biologis (darah, urin, air ludah), jaringan biologis atau organ tubuh. Preparasi sampel
adalah salah satu faktor penentu keberhasilan analisis toksikologi forensik disamping
instrumentasi.
1. Penyiapan sampel
Beberapa hal yang perlu diperhitungkan dalam tahapan penyiapan sampel
adalah: jenis dan sifat biologis spesimen, fisikokimia dari spesimen, serta tujuan
analisis. Dengan demikian akan dapat merancang atau memilih metode penanganan
sampel, jumlah sampel yang akan digunakan, serta memilih metode analisis yang tepat.
Penanganan sampel perlu mendapat perhatian khusus, karena sebagian besar sampel
adalah materi biologis, sehingga sedapat mungkin mencegah terjadinya penguraian dari
analit. Sampel dari toksikologi forensik pada umumnya adalah spesimen biologi
seperti: cairan biologis (darah, urin, air ludah), jaringan biologis atau organ tubuh.
Materi biologi merupakan campuran komplek, yang terdiri dari berbagai komponen.
Dari sekian banyak materi biologi, darah, plasma (serum) dan urine merupakan sampel
yang memiliki frekuensi yang paling tinggi dalam toksikologi analisis forensik.
Sampel urin pada umumnya dapat langsung dilakukan uji penapisan dengan
menggunakan teknik immunoassay. Namun tidak jarang harus mendapatkan perlakuan
awal, seperti pengaturan pH dan sentrifuga, guna menghilangkan kekeruhan.

9
Pemisahan sel darah dan serum sangat diperlukan pada persiapan sebelum
dilakukan uji penapisan pada darah. Serum pada umumnya dapat langsung dilakukan
uji penapisan menggunakan teknik immunoassay. Tidak jarang sampel darah, yang
diterima sudah mengalami hemolisis atau menggupal, dalam hal ini darah dilarutkan
dengan metanol, dan kemudian disentrifuga, sepernatannya dapat langsung dilakukan
uji penapisan menggunakan teknik immunoassay.
Pemilihan metode ekstraksi ditentukan juga oleh analisis yang akan dilakukan,
misal pada uji penapisan sering dilakukan ekstraksi satu tahap, dimana pada tahap ini
diharapkan semua analit dapat terekstraksi. Ekstraksi satu tahap sangat diperlukan
apabila uji penapisan tidak menggunakan teknik immunoassay, misal menggunakan
kromatografi lapis tipis dengan reaksi penampak bercak tertentu atau juga ekstraksi
bertingkat “metode Stas-Otto-Gang” untuk melakukan pemisahan analit berdasarkan
sifat asam-basanya. Metode ekstraksi dapat berupa ekstraksi cair-cair, menggunakan
dua pelarut yang terpisah, atau ekstraksi cair-padat. Prinsip dasar dari pemisahan
ekstraksi cair-cair berdasarkan koefisien partisi dari analit pada kedua pelarut atau
berdasarkan kelarutan analit pada kedua pelarut tersebut. Pada ekstraksi cair-padat
analit dilewatkan pada kolom yang berisi adsorben fase padat (SPE, Si-Gel C-18,
Extrelut®, Bund Elut Certify®, dll), kemudian dielusi dengan pelarut tertentu, biasanya
diikuti dengan modifikasi pH pelarut.
Penyiapan sampel yang baik sangat diperlukan pada uji pemastian “identifikasi
dan kuantifikasi”, terutama pada teknik kromatografi. Karena pada umumnya materi
biologik merupakan materik yang komplek, yang terdiri dari berbagai campuran baik
senyawa endogen maupun senyawa eksogen “xenobiotika”. Penyiapan sampel
umumnya meliputi hidrolisis, ekstraksi, dan pemurnian analit. Prosedur ini haruslah
mempunyai efesiensi dan selektifitas yang tinggi. Efisiensi yang tinggi pada ekstraksi
adalah sangat penting untuk mencari semua analit, sedangkan selektifitas yang tinggi
diperlukan untuk menjamin pengotor atau senyawa pengganggu terpisahkan dari analit.

2. Uji penapisan “screening test”


Uji penapisan bertujuan untuk menapis dan mengenali golongan senyawa (analit)
dalam sampel. Obat narkotika dan psikotropika secara umum dalam uji penapisan
dikelompokkan menjadi golongan opiat, kokain, kannabinoid, turunan amfetamin,
turunan benzodiazepin, golongan senyawa anti dipresan tri-siklik, turunan asam
barbiturat, turunan metadon. Pengelompokan ini berdasarkan struktur inti molekulnya.

10
Sebagai contoh, disini diambil senyawa golongan opiat, dimana senyawa ini memiliki
struktur dasar morfin, beberapa senyawa yang memiliki struktur dasar morfin seperti,
heroin, mono-asetil morfin, morfin, morfin-3-glukuronida, morfin-6-glukuronida,
asetilkodein, kodein, kodein-6-glukuronida, dihidrokodein serta metabolitnya, serta
senyawa turunan opiat lainnya yang mempunyai inti morfin.
Terdapat teknik uji penapisan yaitu: a) kromatografi lapis tipis (KLT) b) teknik
immunoassay.
 teknik immunoassay
Teknik immunoassay adalah teknik yang sangat umum digunakan dalam
analisis obat terlarang dalam materi biologi. Teknik ini menggunakan “anti-
drug antibody” untuk mengidentifikasi obat dan metabolitnya dalam sampel.
Jika di dalam matrik terdapat obat dan metabolitnya (antigen-target) maka dia
akan berikatan dengan “anti-drug antibody”, namun jika tidak ada antigen-
target maka “anti-drug antibody” akan berikatan dengan “antigen-penanda”
Strip Test adalah metode immunoassay dengan prinsip pemeriksaan
yaitu reaksi antigen dan antibodi secara kompetisi yang mungkin ada dalam
spesimen urine dan bersaing melawan konjugat obat untuk mengikat situs pada
antibodi. Selama pengujian, spesimen urine bermigrasi keatas dengan aksi
kapiler dengan prinsip pemeriksaan adalah reaksi antigen dan antibodi secara
kompetisi (Baselt, 1982).

Kontrol prosedural disertakan dalam tes. Sebuah garis merah muncul di kontrol
wilayah (C) dianggap sebagai pengendalian prosedural positif internal.

11
- Negatif : Dua baris muncul. Satu garis merah harus berada di wilayah
kontrol (C) dan garis merah atau pink yang lain yang jelas harus berada di
daerah uji (T).
- Positif : Satu garis merah muncul diwilayah kontrol (C). Tidak ada garis
yang masuk pada daerah uji (T).
- Invalid: Garis kontrol gagal muncul. Volume spesimen tidak mencukupi
atau teknik prosedural yang salah adalah alasan yang paling mungkin
untuk kegagalan kontrol. Tinjau kembali prosedur dan ulangi dengan strip
test baru.

Hasil dari immunoassay test ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan,
bukan untuk menarik kesimpulan, karena kemungkinan antibodi yang
digunakan dapat bereaksi dengan berbagai senyawa yang memiliki baik
bentuk struktur molekul maupun bangun yang hampir sama. Reaksi silang ini
tentunya memberikan hasil positif palsu. Obat batuk yang mengandung
pseudoefedrin akan memberi reaksi positif palsu terhadap test immunoassay
dari anti bodi- metamfetamin. Oleh sebab itu hasil reaksi immunoassay
(screening test) harus dilakukan uji pemastian.
 kromatografi lapis tipis (KLT)
Sensitifitas KLT kurang jika dibandingkan dengan teknik
immunoassay sehingga uji penapisan KLT dilakukan paling sedikit lebih dari
satu sistem pengembang dengan penampak noda yang berbeda maupun
dengan lampu UV/ fluoresensi.
1) Metode deteksi secara fisika. Dapat menggunakan sinar UV 254 nm dan
366 nm Dapat menggunakan lapis tipis yang mengandung indikator
fluoresensi untuk mendeteksi senyawa yang memadamkan fluorosensi dalam
sinar UV atau senyawa yang tidak memadamkan fluoresensi sinar UV
gelombang pendek. Cara fisika lainnya adalah dengan menggunakan deteksi
ionisasi nyala. Dalam hal ini pemisahan kromatograti dilakukan pada batang
pengaduk yang dilapisi dengan adsorben. Setelah pengembangan, batang
pengaduk dilewatkan dengan cepat melalui nyala detektor ionisasi nyala.
2) Metode deteksi secara kimia. Deteksi secara kimia ini tergantung dari
reaksi senyawa yang bersangkutan. Reaksi dilakukan dengan meyemprot,
mencelup atau melewatkan kromarogram melalui larutan pereaksi/larutan

12
penampak bercak. Jika kromatogram dicelup pelarut penampak bercak yang
digunakan, hendaknya larutan ini tidak melarutkan senyawa bersangkutan.
Setalah penyemprotan kromatogram dikeringkan. Sering kali setelah
direkasikan dengan pelarut penampak noda, perlu dilakukan
pengeringan/pemanasan dalam oven selama beberapa saat.
Pereaksi yang digunakan sebagai penampak noda ini dapat berupa pereaksi
umum, selektif atau spesifik. Bila mengalisa suatu senyawa yang tidak
diketahui maka digunakan pereaksi umum terlebih dahulu, kemudian untuk
memastikan baru digunakan pereaksi selektif atau spesifik.
Sebagai peraksi umum dapat digunakan:
a) Asam sulfat pekat, akan memberikan bercak yang berwarna setelah atau
tanpa pemasan. Pemanasan dapat merubah warna tertentu atau memperbesar
intensitas warna. Data juga digunakan asam sulafat 50 % dalam air. Tetapi
karena larutan air tidak berpenetrasi ke dalam adsorben dapat memberikan
penyemprotan yang tidak merata. Akan memberikan hasil yang lebih baik jika
digunakan pelarut organik. Sebagai pengganti asam sulfat dapat digunakan
campuran amonium sulfat dan amonium hidroksida dengan perbandingan 1:1.
b) Uap iodium, akan memberikan noda berwarna coklat, karena terbentuknya
kompleks adisi lemah dengan beberapa senyawa. Caranya dapat dengan
penyemprotan dengan larutan iodium 1% dalam metanol atau meletakkan
kromatogram di atas wadah yang mengandung uap iodium. Perlu diketahui
bahwa iodium yang sudah terikat akan terlepas kembali setelah beberapa
waktu lamanya atau jika kromatogram dipanaskan dan warna coklat yang
terjadi akan hilang. Tetapi ada beberapa senyawa yang bereaksi secara
iriversibel dengan iodium yaitu beberapa steroid aromatik yang mengandung
cincin A.
c) Asam lainnya, seperti asam perklorat 2%, asam ortofosfat 50% yang akan
memberikan noda yang berfluorosensi. Asam fosfomolibdat 10% memberikan
noda yang berwarna. Asam-asam ini digunakan sebagai larutan dalam
metanol.
d) Campuran asam sulfat dengan oksidator kuat seperti serisulfat, kalium
permanganat, kalium bikroomat dan asam nitrat memberikan noda yang
mengarang setelah pemanasan.

13
e) Halida logam seperti antimon triklorida, antimon pentaklorida, seng klorida
dan besi(III)klorida dalam pelarut organik memberikan noda berfluorosensi
dengan senyawa.
Sebagai pereaksi selektif dapat digunakan :
a) Ninhidrin untuk gugus amin primer.
b) Klorinasi, kalium ionida dan amilum untuk gugus amina sekunder.
c) Pereaksi Dragendorff atau iodoplatinat untuk gugus amin tersier dan
amonium kuarterner.
d) Indikator asam-basa, misalnya biru bromfenol untuk gugus asam atau basa.
e) Para-dimetil-amonium-benzaldehida untuk gugus amina aromatik atau
cincin indol.
f) Assay sulfanilat yang terdisosiasi untuk gugus fenol.
g) 2,4-dinitrofenilhidrazin untuk senyawa oso.

Uji penapisan berfungsi sebagai petunjuk, bukan untuk menarik kesimpulan bahwa
seseorang telah terpapar atau menggunakan narkotika. Oleh karena itu perlu
dilakukan uji pemastian guna menentukan apakah seeorang telah terpapar atau
menggunakan narkotika.
3. Uji pemastian
Uji ini bertujuan untuk memastikan identitas analit dan menetapkan kadarnya.
Umumnya uji pemastian menggunakan teknik kromatografi yang dikombinasi dengan
teknik detektor lainnya, seperti: kromatografi gas - spektrofotometri massa (GC-MS),
kromatografi cair kenerja tinggi (HPLC) dengan diode-array detektor, kromatografi
cair - spektrofotometri massa (LC-MS), KLT-Spektrofotodensitometri, dan teknik
lainnya. Meningkatnya derajat spesifisitas pada uji ini akan sangat memungkinkan
mengenali identitas analit, sehingga dapat menentukan secara spesifik toksikan yang
ada.
Prinsip dasar uji konfirmasi dengan menggunakan teknik GC-MS adalah analit
dipisahkan menggunakan gas kromatografi kemudian dipastikan identitasnya
menggunakan teknik spektrometri massa. Sebelumnya analit diisolasi dari matrik
biologik, kemudian jika perlu diderivatisasi. Isolat akan dilewatkan ke kolom CG,
dengan perbedaan sifat fisikokima toksikan dan metabolitnya, maka dengan GC akan
terjadi pemisahan toksikan dari senyawa segolongannya atau metabolitnya. Pada
prisipnya pemisahan menggunakan GC, indeks retensi dari analit yang terpisah adalah

14
sangat spesifik untuk senyawa tersebut, namun hal ini belum cukup untuk tujuan
analisis toksikologi forensik. Analit yang terpisah akan memasuki spektrofotometri
massa (MS), di sini bergantung dari metode fragmentasi pada MS, analit akan
terfragmentasi menghasilkan pola spektrum massa yang sangat kharakteristik untuk
setiap senyawa. Pola fragmentasi (spetrum massa) ini merupakan sidik jari molekular
dari suatu senyawa. Dengan memadukan data indeks retensi dan spektrum massanya,
maka identitas dari analit dapat dikenali dan dipastikan.
Identifikasi obat yang positif diketahui memerlukan pembandingan terhadap
spektrum massa yang ada pada data kepustakaan. Pada sistem data yang modern
biasanya dilengkapi dengan fasilitas pencarian data spektrum pembanding pada data
pustaka, prosedur ini dikerjakan secara automatis. Secara komersial terdapat banyak
data kepustakaan tersimpan dalam disket-disket pencarian pembandingan data
kepustakaan dapat dilakukan melalui internet di mana “home page” tertentu
menyediakan jasa ini. Secara komersial seperti contoh “Environmental protection
Ajency/National Institutes of Health Main Spectral Database”. Sistem ini jauh lebih
menguntungkan daripada analisis mengumpulkan data spektra massa manual.

2.4. Contoh Kasus Penyalahgunaan Narkotika yang dapat Diselesaikan dengan Kimia
Analitik
Pencipta lagu Via Vallen, Yanto Sari ditangkap atas dugaan kasus narkotika.
Setelah dilakukan penggeledahan, ditemukan barang bukti berupa cangklong sisa
sabu. Polisi juga menyita sisa sabu seberat 0,025 gram dari tersangka. Setelah
dilakukan pemeriksaan terhadap Yanto, hasil uji rambut, urin, dan darah
menunjukkan positif sabu-sabu. Berikut ini metode-metode yang digunakan untuk
menganalisis sabu-sabu tersebut.
1. Penyiapan sampel
Sampel rambut :
 Sebanyak 40 mg rambut ditimbang, dipotong menjadi potongan kecil (1-2
mm), dan dicuci dengan methanol lalu dikeringkan di udara terbuka.
 Ke dalam sampel ditambahkan 2,5 ml campuran methanol – etil asetat (9:1),
dicampur dengan sonikasi selama 5 menit (pH 9) dengan pemanasan 50°C
dalam bak sonikasi.

15
 Derivatisasi dilakukan menggunakan MSTFA (dengan 1% TMIS) selama 5
menit. Larutan dicukupkan kembali dengan methanol sampai 10 ml.
 Kemudian didinginkan pada temperatur ruang.
 Jika pada uji penapisan digunakan teknik immunoassay maka tidak perlu
dilakukan ekstraksi. Namun jika digunakan teknik KLT maka perlu dilakukan
ekstraksi.

Sampel Urin
 Sampel urin diambil sebanyak 10 mL
 Jika terjadi kekeruhan, ke dalam sampel ditambahkan 2,5 ml campuran
methanol – etil asetat (9:1), dicampur dengan sonikasi selama 5 menit (pH 9)
dengan pemanasan 50°C dalam bak sonikasi.
 Jika pada uji penapisan digunakan teknik immunoassay maka tidak perlu
dilakukan ekstraksi. Namun jika digunakan teknik KLT maka perlu dilakukan
ekstraksi.

Sampel darah
 Sampel darah diambil sebanyak 5 mL
 Ke dalam sampel ditambahkan EDTA kemudian disentrifugasi selama 15
menit. Terbentuk 2 lapisan, bagian padat adalah darah sedangkan bagian cair
adalah plasma.
 Jika pada uji penapisan digunakan teknik immunoassay maka tidak perlu
dilakukan ekstraksi. Namun jika digunakan teknik KLT maka perlu dilakukan
ekstraksi.

Pembanding Metamfetamin
Pembanding methamphetamine dilarutkan dalam metanol dan etil asetat,
kemudian dibuat konsentrasi standard 0,5 1, 1,5, 2, 2,5 ng/mg. Sebanyak
1μg sampel diinjeksi ke Instrument GCMS.

Proses ekstraksi :
 Sampel urin/ rambut/ darah yang telah diberi perlakuan awal diekstraksi
dengan kloroform.

16
 Sampel disentrifugasi selama 10 menit. Fase pelarut dibagian bawah
dipindahkan ke cawan penguapan kemudian dibiarkan selama 60 menit
sampai pelarut menguap dan dibilas dengan metanol untuk dianalisa.

2. Uji Penapisan
a) Teknik Immunoassay
 Test Strip (One Step Style BZO, mengidentifikasi benzodiazepine, sabu-
sabu/ metamfetamin, ganja, dan morfin) dimasukkan ke dalam sampel
urin/ darah. Tinggi sampel yang tercelup tidak melebihi batas tinggi maks
strip
 Ditahan selama ± 30 menit
 Hasil positif ditunjukkan dengan munculnya garis merah pada wilayah C
(control)

Contoh hasil test strip positif metamfetamin


b) Teknik KLT
 Sampel urine/ rambut/ darah hasil ektraksi dan larutan pembanding me
ditotolkan di pelat KLT kemudian dielusi di dalam bejana kromatografi
yang telah dijenuhkan dengan pelarut (metanol- amoniak 100:1,5).
 Bejana ditutup dan tunggu hingga pelarut merambat ke pelat KLT
sehingga terbentuk noda dengan rf tertentu . Lalu diambil plat KLT dan
dikeringkan.
 Noda disinari dengan lampu UV pada 𝜆 = 254 nm (hasil positif terbentuk
noda berwarna ungu) atau disemprot dengan penampak noda ninhidrin/
Fast Black K (hasil positif terbentuk noda berwarna ungu)

17
Contoh hasil uji KLT dengan sinar UV pada urin positif
metamfetamin

3. Uji Pemastian
Optimasi :
a. Kolom : HP 5 MS dengan 0,25 mm ID dan 0,25μl ketebalan film.
b. Gas pembawa Helium dengan laju konstan 1,5ml/menit.
c. Temperatur injector = 250°C dan temperatur interface 265°C.
d. Temperatur oven 150°C selama 2 menit dan meningkat menjadi
280°C dengan laju (rate) 10°C.

Sampel urin/ darah/ rambut hasil ekstraksi kemudian diininjeksi ke GC-MS sebanyak
1μl. Hasil positif metamfetamin ditunjukkan dengan indeks retensi (TR) sebesar 5,474
dan m/z fragmen yang diamati pada senyawa metamfetamin adalah 58,91,134,149.

Contoh spektrum massa GC-MS larutan standart metamfetamin

18
Contoh kromatogram GC-MS dari sampel urin positif metamfetamin

Contoh spektrum massa GC-MS dari sampel urin positif metamfetamin

Hasil dan Pembahasan


Di Indonesia metamfetamina dikenal sebagai sabu-sabu, yakni obat
psikostimulansia dan simpatomimetik. Efek samping yang dihasilkan terdapat pada
kasus parah gangguan hiperaktivitas kekurangan perhatian atau narkolepsi dengan
nama dagang Desoxyn. Crystal meth adalah bentuk kristal yang dapat dihisap lewat
pipa. Metamfetamina pertama dibuat dari efedrina di Jepang pada 1893 oleh Nagai
Nagayoshi.

Struktur Metamfetamin

19
Metode ekstraksi coupling sonikasi dikembangkan pada preparasi rambut
pengguna narkotika jenis sabu – sabu dengan maksud untuk menghindari rusaknya
senyawa-senyawa aktif yang tidak tahan panas. Maserasi dilakukan selama 15 menit
menggunakan pelarut metanol – etil asetat (9 : 1) berturut – turut dengan kloroform,
dan metanol. Ultrasonic bath dengan proses sonikasi dikembangkan dengan
memanfaatkan gelombang ultrasonik dengan frekuensi 43 kHz yang dapat
mempercepat waktu kontak antara sampel dan pelarut. Hal ini menyebabkan proses
perpindahan massa senyawa ke pelarut menjadi lebih cepat. Sonikasi mengandalkan
energy gelombang yang menyebabkan proses pembentukan gelembung gelembung
kecil akibat adanya transmisi gelombang ultrasonik untuk membantu difusi pelarut ke
dalam dinding sel. Gelombang kejut pada metode sonikasi diharapkan dapat
memisahkan penggumpalan partikel (agglomeration) sehingga terdapat banyak rongga
pemisah antara partikel.
Derivatisasi dilakukan menggunakan MSTFA (dengan 1%TMIS). Derivatisasi
merupakan proses kimiawi untuk mengubah suatu senyawa menjadi senyawa lain yang
mempunyai sifat-sifat yang sesuai untuk dilakukan analisis menggunakan kromatografi
gas (menjadi lebih mudah menguap).
Hasil analisis didapatkan bahwa:
1. Ketika sampel diuji dengan strip test maka muncul garis merah pada wilayah C. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa sampel positif mengandung metamfetamin (shabu-
shabu).
2. Ketika sampel diuji dengan KLT dan noda sampel disinari dengan lampu UV pada 𝜆
= 254 nm maka terbentuk noda berwarna ungu pada pelat KLT. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa sampel positif mengandung metamfetamin (shabu-shabu).
3. Ketika sampel diuji dengan GC-MS maka didapatkan data indeks retensi (TR)
sebesar 5,492344 dan nilai m/z = 58,91,134,149. Yang mana diduga m/z = 149
sebagai bobot molekul senyawa metamfetamin.

2.5. Senyawa yang Terlibat dalam Tindak Kriminal Penyalahgunaan Narkotika serta
Efek yang Ditimbulkan dalam mengkonsumsi Narkotika
2.5.1. THC dalam Ganja

Efek psikoaktif ganja karena mengandung tetrahidrokanabinol atau THC. THC


termasuk depresan SSP yang mempunyai efek halusinogenik. ada 3 bentuk kanabis yang

20
disalahgunakan, yaitu mariuana daun atau bunga yang dikeringkan, harshish (resin THC)
dan minyak harsish.
Sedemikian berbahayanya unsur THC dalam ganja itu, sehingga untuk orang yang
baru pertama kali menyalahgunakan ganja saja, akan segera mengalami intoksikasi
(keracunan) ganja yang secara fisik yaitu : jantung berdebar (denyut jantung menjadi
bertambah cepat 50% dari sebelumnya), bola mata memerah (disebabkan pelebaran
pembuluh darah kapiler pada bola mata), mulut kering (karena kandungan THC
mengganggu sistem syaraf otonom yang mengendalikan kelenjar air liur), nafsu makan
bertambah (karena kandungan THC merangsang pusat nafsu makan di otak), dan tertidur
(setelah bangun dari tidur, dampak fisik akan hilang).

2.6.1. Morfin

Menurut Agoes (2001) morfin adalah alkaloida terpenting yang terdapat dalam
candu, yaitu getah yang dikeringkan dari tumbuhan Papaver somniferum. Sebagai zat
psikotrop, morfin memiliki tiga kelompok khasiat penting, yaitu :
2. Menekan SSP : analgetis, hipnotis, supresi pernapasan dan kadang
kala menimbulkan euforia.
3. Menstimulasi SSP : miosis, mual, muntah, eksitasi dan konvulsi.
4. Efek perifer : obstipasi dan retensi urine.
Morfin merupakan ikatan protein rendah. Pemberian umumunya secara parenteral
dan pada pemberian oral sebagian besar mengalami metabolisme lintas pertama di hepar.
Potensi tinggi untuk disalahgunakan. Penggunaan untuk penghilang rasa nyeri hebat, edema
paru dan angina pektoris (Munaf, 1994). Morfin sangat lipofilik dan tidak dapat langsung
diekskresi karena dengan cepat ia diserap kedalam jaringan padat lemak termasuk otak.
Namun, morfin mengalami konjugasi fase kedua dengan asam glukoronida dalam hati,

21
membentuk metabolit morfin-3-glukuronida. Metabolit ini larut dalam air dan tidak
langsung masuk ke otak; konjugasinya lalu siap diekskresi (Gibson, 1991).
Eksresi morfin dari darah terjadi cepat, sekitar 80% dari dosis yang diberikan
diekresikan dalam urine dalam waktu 8 jam meskipun tandanya masih dapat dideteksi 72 –
100 jam setelah pemberian, terutama pada pecandu. Morfin utamanya dimetabolisme di hati
(Glare, 1991).

2.5.2. Heroin
Heroin (diamorphine) adalah candu yang berasal dari opium poppy (papaver
somniferum). Heroin dapat berbentuk serbuk putih, sekalipun biasanya ditemukan juga
warna kecokelatan (Rozak, 2006).
Menurut Fessenden dan Fessenden (1989) heroin tidak terdapat dalam alam,
melainkan disintesis dari morfina di laboratorium. Heroin seperti kodeina dan morfin
merupakan penghilang nyeri yang ampuh. Diberbagai belahan dunia heroin digunakan
untuk menghilangkan rasa sakit pada pasien kanker stadium akut karena lebih membuat
ketagihan daripada morfina, penggunaanya sebagai obat dilarang di Amerika Serikat.
Heroin pertama kali di sintesiskan dari morfin pada tahun 1874, heroin belum
digunakan secara meluas dalam dunia pengobatan hingga awal abad ini. Produksi komersial
penghilang rasa sakit yang baru ini pertama kali dimulai pada tahun 1898. Tidak hanya
diterima secara luas oleh mereka yang berprofesi di dunia medis, selama bertahun-tahun
para dokter tetap tidak tahu potensi heroin ini sebagai zat adiktif. Tidak digunakan di klinik.
Mempunyai efek efori yang lebih kuat dan lebih menyenangkan dibanding dengan morfin.
Paling banyak disalahgunakan secara tidak legal. Mempunyai potensi untuk disalahgunakan
yang tinggi, dan berpenetrasi lebih cepat dari morfin (Munaf, 1994).
Heroin (diasetilmorfin, diamorfin) adalah derivat semi-sintesis dengan khasiat
sentral 2 kali lebih kuat. Resorpsinya dari usus dan selaput lendir baik. Dalam darah heroin
dideasetilasi menjadi 6-monoasetilmorfin (yang juga farmakologis aktif) dan lalu menjadi

22
morfin. Kedua metabolit ini melintasi barrier darah-liquor dengan cepat. Adiksi dapat
timbul pesat sekali, sehingga tidak digunakan lagi dalam terapi (Tjay, 2002).

2.5.3. Metamfetamin (sabu-sabu)

Metamfetamin disintesis pertama kali pada tahun 1919 oleh seorang kimiawan dari
Jepang. Metamfetamin merupakan suatu stimulan dengan efek stimulan yang lebih kuat
dibandingkan kokain atau stimulan alam lainnya. Penggunaan dalam jumlah besar dapat
menyebabkan “violence” , halusinasi dan psikosis. Umumnya metamfetamin diproduksi
sebagai kristal menyerupai serbuk, gumpalan besar kristal atau dalam bentuk tablet.
Penggunaannya dapat dihisap dengan hidung, diminum, dihisap seperti rokok atau
diinjeksikan. Efek metamfetamin dalam jangka pendek antara lain meningkatkan
konsentrasi, meningkatkan aktifitas, menurunkan kelelahan, menahan rasa lapar, rasa
gembira berlebihan (euphoria), peningkatan respirasi dan peningkatan suhu badan
(hipertemia). Sedangkan efek dalam jangka panjang adalah terjadinya ketergantungan,
paranoid, halusinasi dan psikosis, gangguan mood, gangguan aktifitas motorik, stroke dan
penurunan berat badan (Mehling, 2007).
Metamfetamin dikenali dengan beberapa nama kimia sebagai (αS)-N, α-Dimethyl-
benzene ethanamine, (S)-(+)-N, α-dimethylphenethyl amine, d-N-methylamphetamine, d-
deoxyephedrine, l-phenyl-2methylaminopropane, d-phenylisopropylmethylamine, methyl-β-
phenylisopropylamine, Norodin (Maryadele, 2006). Rumus bangun metamfetamin dapat
dilihat dari Gambar dibawah ini .

23
Metamfetamin, C10H15N, memiliki berat molekul 149,23 gram/mol merupakan
suatu stimulan saraf pusat. Metamfetmin umumnya tersedia dalam bentuk garam HCl dan
disebut speed, meth, ice. Dikenal pula dengan nama “crank dan crystal”(Mehling, 2007).
Pada penggunaan oral, metamfetamin diekskresikan sebagai obat tidak berubah 44% dan
segaia metabolit utamanya adalah amfetamin (6-20%) dan 4-hidroksimetamfetamin (10%).
Urin sam akan meningkatkan kecepatan ekskresi dan persen ekskresi obat yang tidak
berubah (United Nation Office on Drugs and Crime, 1995; Moffat, Osselton & Widdop,
2004).

2.6. Rentan Waktu Senyawa Narkotika dapat Bertahan dalam Tubuh

Menurut Fauzan (2017) Senyawa Narkotika memiliki rentan waktu yang


spesifik ketika bertahan dalam tubuh manusia. Berikut penjelasannya:

1. Alkohol akan bertahan 3-5 hari dalam urin dan 10-12 jam dalam darah
2. Amfetamin akan bertahan 1-3 hari dalam urin dan 12 jam dalam darah
3. Barbiturat akan bertahan 2-4 hari dalam urin dan 1-2 hari dalam darah
4. Benzodiazepin akan bertahan 3-6 minggu dalam urin dan 2-3 hari dalam
darah
5. Ganja akan bertahan 7-30 hari dalam urin dan 5 hari-2 minggu dalam
darah
6. Kokain akan bertahan 3-4 hari dalam urin dan 1-2 hari dalam darah
7. Kodein akan bertahan 1 hari dalam urin dan 12 jam dalam darah
8. Heroin akan bertahan 3-4 hari dalam urin dan 12 jam dalam darah
9. LSD akan bertahan 1-3 hari dalam urin dan 2-3 jam dalam darah
10. Ekstasi atau MDMA akan bertahan 3-4 hari dalam urin dan 1-2 hari dalam
darah
11. Metafetamin akan bertahan 3-6 hari dalam urin dan 2-3 hari dalam darah
12. Metadon akan bertahan 3-4 hari dalam urin dan 24 hingga 36 jam dalam
darah
13. Morfin akan bertahan 2-3 hari dalam urin dan 6-8 jam dalam darah

24
`BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Kimia analitik memegang peran yang penting dalam membantu pihak kepolisian dalam
menyelesaikan kasus tindak pidana yang telah terjadi. Melalui Kimia Forensik kita dapat
melakukan investigasi secara kimiawi atas zat tertentu yang nantinya akan dijadikan
sebagai sebuah bukti untuk mengungkap kasus kriminal terutama penyalahgunaan
narkotika.
2. Instrumentasi yang digunakan untuk menganalisis kasus penyalahgunaan narkotika yaitu
GC-MS dan KLT (Kromatografi Lapis Tipis).
3. Metode-metode yang digunakan untuk menganalisis kasus penyalahgunaan narkotika
meliputi : Penyiapan sampel, Uji penapisan “screening test” dan uji pemastian.
4. Kimia analitik berperan dalam membantu proses analisis kandungan senyawa
metamfetamin pada terduga pengguna shabu-shabu (metamfetamin).
5. Senyawa-senyawa yang terlibat dalam tindak criminal penyalahgunaan narkotika yakni
meliputi THC dalam Ganja, Morfin, Heroin dan Metanfetamin dengan memiliki efek
yang ditimbulkan dalam mengkonsumsi narkotika berbeda-beda.
6. Masing-masing senyawa narkotika memiliki rentan waktu yg berbeda-beda ketika di
dalam tubuh.

3.2. Saran
Diharapkan mahasiswa agar lebih memahami materi tentang aplikasi kimia analitik
dalam bidang forensik terutama dalam penyelesaian kasus penyalahgunaan narkotika agar
kedepannya dapat digunakan sebagai acuan guna menghadapi dunia kerja di bidang
tersebut.

25
DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam. 2006. Forensik. (T.R. Agung, Ed.). Jakarta : Restu Agung

Agus, I,M.G.W. 2008. Analisis Toksikologi Forensik. Bukit Jimbaran : Universitas Udayana
Badan Narkotika Propinsi Jawa Timur, 2010. Meningkatnya pengawasan dan pengendalian
penyalahgunaan narkoba di Jawa Timur dalam Mukti, I., Yuwono, M.,
Prawita, A. 2012. Gambaran Analisis Barang Bukti Ganja Hasil Peredaran
Gelap Narkoba Wilayah Hukum Polda Jatim dengan Metod GC-MS, Vol 14,
No. 2
Baselt RC. Disposition of Toxic Drugs and Chemicals in Man. 2nd Ed. Biomedical Publ.,
Davis, CA. 1982; 488 2.
Darmapatni, G. A. K., Basori A., Suaniti, M. N. 2016. Pengembangan Metode GC-MS untuk
Penetapan Kadar Acetaminophen pada Spesimen Rambut Manusia, Vol.18 No. 3
Dipayana, K. 2018. Pemeriksaan Kualitatif Napza. (online).
(http://kresnadipayana.files.wordpress.com/2018/01/pemeriksaan-kualitatif-
napza.pdf, diakses pada 30 Januari 2019)
Donatus, I.A. 2005. Toksikologi Dasar. Yogyakarta: Laboratorium Farmakologi dan
Toksikologi, Fakultas Farmasi, UGM
Fauzan,B,P .2017. Berapa Lama Narkoba Biasanya Bertahan dalam Darah dan Urin?.
(online). (https://hellosehat.com/hidup-sehat/fakta-unik/narkoba-dalam-urin-
darah/ diakses pada 30 Januari 2019)
Gallo, M.A., 2008, History and Scope of Toxicology, In Klaassen C.D. (Ed), Casarett &
Doull’s Toxicology : The Basic Science of Poison, 7 th Ed., 3-8, Mc. Graw Hill,
New York.
Hawks RL, CN Chiang. 1986. Urine Testing for Drugs of Abuse. National Institute for Drug
Abuse (NIDA), Research Monograph 73
Lu.F.C.1995. Toksikologi dasar: Asas, organ sasaran, dan penilaian resiko. Terjemahan dari
Basic Toxicology: Fundamentals, target organs, and risk assesment, oleh
Nugroho, E. Bustami, Z.S dan Darmansyah, I. Jakarta : Universitas Indonesia
Press

26
Marpaung, H. T. M., Gultom, J., Lumban, S.2017. Pemeriksaan Narkotika Menggunakan
Sampel Urine, Vol. 1 No. 1
Maryadele, J.O.N., 2006. The Merck Index, An Encyclopedia of Chemicals, Drugs, and
Biologicals. 14th Ed. New York.Merck&Co,Inc.
Mukti, I., Yuwono, M., Prawita, A. 2012. Gambaran Analisis Barang Bukti Ganja Hasil
Peredaran Gelap Narkoba Wilayah Hukum Polda Jatim dengan Metod GC-MS,
Vol 14, No. 2
Poernomo,B. 1993. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia
Purwandianto, A. 2000, Pemanfaatan Laboratorium Forensik Untuk Kepentingan Non-
Litigasi, dalam Tim IBA Kriminalistik, Laporan Kegiatan Buku II, Proyek
Pengembangan Kewirahusaan Melalui Itegratif Bahan Ajar Kriminalistik,
Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat . Jakarta :Universitas Indonesia

Sari, N. D. 2014. Analisis Kualitatif Methamfetamine dalam Tablet dan Urin di Badan
Narkotika Nasional Jakarta. Jakarta: Universitas Islam Indonesia

United Nations International Drug Control Programme. 2001. Drug characterization/impurity


profiling, Background and concepts, Manual for use by national law enforcement
authorithies and drug testing laboratories, Scientific Section, New York
Williams,Phillip L,James,R.C and Roberts S.M .2000. Principles Toxicology,
Environmental and Industrial Applications (Second Edition). Canada.
ISBN 0-471-29321-0
Wirasuta, G. A. M. 2008. Analisis Toksikologi Forensik dan Interpretasi Temuan
Analisis. Vol. 1 No. 1,
Wonorahardjo.S., 2013. Pengantar Kimia Analitik Modern. Malang : Universitas Negeri
Malang
Wulandari, L. 2011. Kromatografi Lapis Tipis. Jember: PT. Taman Kampus Presindo

27

Vous aimerez peut-être aussi