Vous êtes sur la page 1sur 20

PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR BERKELANJUTAN

DISUSUN OLEH :

AINUL MARDHIYAH (10011381722190)

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2018-2019


A. Abstrak

Indonesia merupakan salah satu negara tropis didunia yang banyak memiliki lahan
basah. Di beberapa daerah di Indonesia sering ditemukan kelangkaan air bersih, sehingga
masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan. Dalam hal sumberdaya air, krisis yang dialami
Indonesia menyangkut aspek penyediaan dan aspek pengelolaan. Dalam hal penyediaan,
masalah yang timbul mencakup aspek kuantitas dan kualitas. Secara spasial, permasalahan air
dapat digolongkan pada dua wilayah, yakni perkotaan, dan pedesaan. Di Perkotaan belum
semua anggota masyarakat mendapat akses air bersih secara sehat. Di kota-kota besar, banyak
masyarakat di wilayah kumuh memanfaatkan bantaran sungai untuk MCK dan air minum.
Penyediaan air bersih melalui institusi/perusahaan yang terkait, misalnya PDAM, masih
belum mecukupi. Pelayanan air dari PDAM, tidak selalu memenuhi persyaratan, baik dalam
hal kuantitas maupun kualitas, sering tidak memenuhi baku mutu lingkungan untuk air
minum. Kualitas air bersih yang diterima warga tidak murni bersih, banyak kotoran, bahkan
ada indikasi terkontaminasi pencemaran dari sejumlah limbah pabrik. Masyarakat juga
menyesalkan suplai air dari PDAM Jaya yang tidak pernah normal seperti volume air yang
sedikit, sering mati, dan debit air yang buruk. Kurangnya penyediaan air minum oleh PDAM
berimplikasi pada penggunaan air tanah secara tidak terkendali, baik oleh masyarakat,
maupun terutama oleh industri dan hotel-hotel. Akibat selanjutnya, terjadi penurunan tanah
karena air tanah tersedot.
B. Pendahuluan

Indonesia terdiri dari sekitar 17.508 pulau dan sekitar 6.000 merupakan pulau yang
berpenghuni. Kepulauan tropis menyebar di sepanjang seperdelapan dari ekuator sekitar 8 juta
km2, dengan total luas lahan 1,92 juta km2), dan wilayah laut seluas 3 juta km2 dengan total
panjang garis pantai sekitar 84.000 km. Penduduk Indonesia sebanyak 226 juta (data 2008)
tersebar di beberapa pulau. Dengan tingkat pertumbuhan 1,66% dari penduduk diperkirakan
tumbuh menjadi 280 juta pada tahun 2020. Dalam dasawarsa yang lalu, imigran perkotaan
mengakibatkan pertumbuhan perkotaan sekitar 5% per tahun. Diperkirakan bahwa pada tahun
2020 sekitar 52% penduduk akan tinggal di lingkungan perkotaan, meningkat 38%
dibandingkan tahun 1995.

Seperti di banyak negara lain, kondisi sumber daya air di Indonesia telah sampai pada
tahap di mana tindakan terpadu diperlukan untuk membalikkan tren yang terjadi saat ini yatiu
penggunaan air yang berlebihan, polusi, dan meningkatnya ancaman kekeringan dan banjir.
Mengingat tantangan yang dihadapi oleh sektor sumber daya air dan sektor irigasi di abad ke-
21 dan reformasi sektor publik yang lebih memperhatikan aspirasi rakyat, Pemerintah
Indonesia telah memulai program reformasi bidang sumber daya air yang meliputi aspek
kebijakan, aspek kelembagaan, aspek legislatif dan peraturan, dan kebijakan konservasi
sumber daya air telah mendapat bagian yang substansial dalam agenda reformasi.
C. Status pengembangan sumber daya air di indonesia

Sejarah Pembangunan Infrastruktur Sumber Daya Air di Indonesia

Kebijakan pembangunan infrastruktur di Indonesia telah dimulai sejak masa


Hindia-Belanda, terutama untuk sektor sumber daya air dengan dikeluarkannya Peraturan
Umum tentang Air (Algemeene Water Reglement (AWR) pada tahun 1936 dan
AlgemeeneWaterbeheersverordening pada tahun 1937) dan diikuti dengan Peraturan Air
tingkat Propinsi Provinciale Water Reglement (Jawa Timur dan Jawa Barat) pada tahun
1940. Pada masa setelah kemerdekaan, peraturan yang ditetapkan sejalan dengan UUD
1945.

Mengingat pengembangan sumber daya air di Indonesia selalu mengalami


peningkatan dan perubahan dari waktu ke waktu, maka dari itu sangat diperlukan untuk
melakukan pengembangan dan peningkatan sektor sumber daya air baik dari segi kebijakan,
peraturan dan perundang-undangan, aspek kelembagaan, maupun pelaksanaan di lapangan.
Hal tersebut perlu diintegrasikan dengan paradigm pembangunan nasional dan
pembangunan sumber daya air secara keseluruhan.

Dengan meningkatnya permintaan masyarakat untuk sumber daya air baik


secara kuantitas maupun kualitas, maka dapat mendorong untuk penguatan nilai ekonomi
sumber daya air dibandingkan dengan nilai sosial dan berpotensi untuk terjadi konflik
kepentingan antar sektor, antar wilayah dan antar berbagai pihak yang terkait sumber daya
air. Pengelolaan sumber daya air yang lebih mempertimbangkan nilai ekonomi akan
cenderung untuk memberikan manfaat yang lebih banyak kepada kepentingan penguatan
ekonomi dan akan mengesampingkan kepentingan sosial dan pemenuhan kebutuhan dasar
masyarakat. ini akan menjadi kerugian bagi kelompok masyarakat yang tidak mampu
bersaing karena rendahnya kemampuan ekonomi, bahkan akan menyebabkan hak dasar
setiap orang untuk mendapatkan air tidak dapat dipenuhi. Mengingat sumber daya air
merupakan sumber kehidupan, pemerintah wajib melindungi kepentingan kelompok
masyarakat berkemampuan ekonomi rendah untuk mendapatkan sumber daya air secara adil
dengan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya air yang mampu
menyeimbangkan antara nilai sosial dan nilai ekonomi sumber daya air.

Status dan Karakteristik Sumber Daya Air di Indonesia

a. Menurunnya kemampuan penyediaan air. Berkembangnya daerah permukiman dan


industri telah menurunkan area resapan air dan mengancam kapasitas lingkungan
dalam menyediakan air. Pada sisi lain, kapasitas infrastruktur penampung air seperti
waduk dan bendungan makin menurun sebagai akibat meningkatnya sedimentasi,
sehingga menurunkan keandalan penyediaan air untuk irigasi maupun air baku.
Kondisi ini diperparah dengan kualitas operasi dan pemeliharaan yang rendah
sehingga tingkat layanan prasarana sumber daya air menurun semakin tajam.

b. Meningkatnya potensi konflik air. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan
kualitas kehidupan masyarakat, jumlah kebutuhan air baku bagi rumah tangga,
permukiman, pertanian maupun industri juga semakin meningkat. Pada tahun 2003,
secara nasional kebutuhan air mencapai 112,3 miliar meter-kubik dan diperkirakan
pada tahun 2009 kebutuhan air akan mencapai 117,7 miliar meter-kubik. Kebutuhan
air yang semakin meningkat pada satu sisi dan ketersediaan yang semakin terbatas
pada sisi yang lain, secara pasti akan memperparah tingkat kelangkaan air.

c. Makin meluasnya abrasi pantai. Perubahan lingkungan dan abrasi pantai mengancam
keberadaan lahan produktif dan wilayah pariwisata. Selain itu, abrasi pantai pada
beberapa daerah perbatasan dapat menyebabkan bergesernya garis perbatasan dengan
negara lain. Dengan demikian di wilayah-wilayah tersebut, pengamanan garis pantai
mempunyai peran strategis dalam menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia

d. Lemahnya koordinasi, kelembagaan, dan ketatalaksanaan. Perubahan paradigma


pembangunan sejalan dengan semangat reformasi memerlukan beberapa langkah
penyesuaian tata kepemerintahan, peran masyarakat, peran BUMN/BUMD, dan peran
swasta dalam pengelolaan infrastruktur sumber daya air.

D. Pengelolaan sumber daya air di indonesia

Untuk peningkatan sumber daya air di Indonesia, masih banyak diperlukan pembangunan
bendungan, waduk, dan sistim jaringan irigasi yang handal untuk menunjang kebijakan
ketahanan pangan pemerintah. Di samping itu untuk menjamin ketersediaan air baku, tetap
perlu dilakukan normalisasi sungai dan pemeliharaan daerah aliran sungai yang ada di
beberapa daerah. Pemeliharaan dan pengembangan Sistem Wilayah Sungai tersebut didekati
dengan suatu rencana terpadu dari hulu sampai hilir yang dikelola secara profesional. Untuk
itu perlu dikembangkan teknologi rancang bangun Bendungan Besar, Bendung Karet,
termasuk terowongan, teknologi Sabo, sistem irigasi maupun rancang bangun pengendali
banjir.

Saat ini terdapat beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) yang memiliki peran penting
dalam penyediaan sumber air sebagian telah mengalami kerusakan yaitu 62 DAS rusak dari
total 470 DAS, sehingga mengakibatkan menurunnya nilai kemanfaatan air sehubungan
penurunan fungsi daerah tangkapan dan resapan air. Saat ini jaringan irigasi terbangun
mencapai 6,77 juta ha (1,67 juta ha belum berfungsi), dan jaringan irigasi rawa 1,8 juta ha
yang berfungsi untuk mendukung Program Ketahanan Pangan Nasional.

Namun di sisi lain perkembangan fisik wilayah telah memberikan dampak pada terjadinya
alih fungsi lahan pertanian sekitar 35 ribu ha per tahun.

a. Pelaksanaan Pengelolaan Sumber Daya Air

Indonesia telah melakukan langkah maju dalam pelaksanaan


Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air secara terpadu (Integrated
Water Resources Management – IWRM) yang menjadi perhatian
dunai internasional untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya
air dalam mencapai kesejahteraan umum dan pelestarian
lingkungan. Sejalan dengan konsep IWRM yang berkembang di
forum internasional, beberapa tindakan telah diambil di tingkat
nasional dan daerah dalam rangka reformasi kebijakan sumber daya
air.
Reformasi dalam pengelolaan sumber daya air merupakan salah
satu tindakan penting untuk mengatasi pengentasan kemiskinan,
ketahanan pangan, dan konservasi sumber daya alam. Dalam
pelaksanaannya, telah diterbitkan beberapa kebijakan antara lain
diberlakukannya Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air (UU SDA) yang sejalan dengan prinsip-prinsip
IWRM. Undang-undang ini bertujuan untuk pelaksanaan
pengelolaan sumber daya air secara menyeluruh, berkelanjutan, dan
melalui pendekatan terbuka sehingga memberikan pilihan bagi
masyarakat bisnis dan organisasi non-pemerintah untuk
berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan
pengelolaan sumber daya air terpadu.

Undang-Undang Sumber Daya Air menyatakan visi, misi, dan


prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya air di Indonesia, sebagai
dasar untuk pelaksanaan IWRM. Visi untuk pengelolaan sumber
daya air berdasarkan UU SDA adalah “Sumber daya air dikelola
secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup
dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang
berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 3 UU
SDA). Untuk menjalankan visi tersebut, telah diidentifikasi lima
misi pengelolaan sumber daya air, yaitu: 1) konservasi sumber daya
air, 2) pendayagunaan sumber daya air; 3) pengendalian daya rusak
air; 4) pemberdayaan dan peningkatan peran masyarakat, dunia
usaha, dan pemerintah; dan 5) perbaikan data dan informasi yang
ketersediaan dan transparansi. Selanjutnya, dalam rangka untuk
mencapai misi tersebut, pengelolaan sumber daya air dilaksanakan
berdasarkan prinsip-prinsip harmoni, kesetaraan, kesejahteraan
umum, integritas, keadilan, otonomi, transparansi dan akuntabilitas

b. Pelaksanaan Pengelolaan Irigasi

Indonesia telah memulai untuk melaksanakan reformasi


terhadap kebijakan pengelolaan irigasi sejak diterapkannya
Kebijakan Operasi dan Pemeliharaan Irigasi (Irrigation Operation
and Maintenance Policy – IOMP) pada tahun 1987. Upaya
reformasi tersebut merupakan respon terhadap kurangnya
pembiayaan, kapasitas kelembagaan dan institusi, permasalahan
kinerja yang dihadapi Pemerintah dalam rangka menjaga irigasi
yang keberlanjutan.

Pada tahun 2006, Pemerintah mengeluarkan Peraturan


Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi sebagaimana
yang diamanatkan Undang-undang No 7 tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air. PP tentang irigasi tersebut mendorong
Pembangunan dan Pengelolaan Sistem Irigasi parisipatif (PPSIP)
sebagai pelaksanaan irigasi berbasis partisipasi petani mulai,
perencanaan, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan kegiatan
pada tahap pembangunan, peningkatan, operasi dan pemeliharaan,
serta rehabilitasi untuk menjaga pemanfaatan air dalam bidang
pertanian berdasarkan prinsip partisipatif, kesetaraan,
kesejahteraan umum, keadilan, otonomi, transparansi dan
akuntabilitas, serta berwawasan lingkungan.

Pengelolaan sistem irigasi partisipatif melibatkan semua pihak


yang berkepintingan dengan mengedepankan kepentigan dan peran
serta petani. Pelaksaannnya difasilitasi oleh Pemerintah tingkat
Pusat, Provinsi, maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan
kewenangannya dan memberikan bantuan sesuasi dengan yang
dibutuhkan oleh P3A dengan tetap memperhatikan prinsip
kemandirian.

Pemberdayaan dan pendayagunaan kelembagaan pengelolaan


irigasi perlu dilakukan untuk menjamin pengelolaan irigasi.
Kelembagaan pengelolaan irigasi tersebut meliputi instansi
pemerintah, perkumpulan petani pemakai air (P3A), dan komisi
irigasi. Perkumpulan petani pemakai air dibentuk secara
demokratis pada setiap daerah layanan/petak tersier atau desa dan
dapat membentuk gabungan perkumpulan petani pemakai air
(GP3A) pada daerah layanan/blok sekunder, gabungan beberapa
blok sekunder, atau satu daerah irigasi. Selain itu perlu dibentuk
juga induk perkumpulan petani pemakai air (IP3A) pada daerah
layanan/blok primer, gabungan beberapa blok primer, atau satu
daerah irigasi. Sementara itu, Komisi Irigasi dibentuk untuk
mewujudkan keterpaduan pengelolaan sistem irigasi pada setiap
provinsi dan kabupaten/kota.

E. Pembangunan sumberdaya air berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan sangat memperhatikan optimalisasi manfaat sumber daya


alam dan sumber daya manusia dengan cara menyelaraskan aktivitas manusia dengan
kemampuan sumber daya alam untuk menopangnya. Komisi dunia untuk lingkungan dan
pembangunan mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang
memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi
mendatang.

Tujuan pembangunan berkelanjutan yang bermutu adalah tercapainya standar


kesejahteraan hidup manusia yang layak, sehngga tercapai taraf kesejahteraan masyarakat
secara menyeluruh. Taraf kesejahteraan ini diusahakan dicapai dengan menjaga kelestarian
lingkungan alam serta tetap tersediannya sumber daya yang diperlukan. Salah satu konsep
terkait dengan pembangunan yang memperhatikan dampak terkecil dari kerusakan lingkungan
tetapi menghasilkan manfaat yang optimal adalah kosep Eco-Efficiency.

1. Konsep Eco- Efficiency

Eco-efficiency untuk pertama kalinya dipromosikan dalam The World


Business Council on Sustainable Development (WBCSD) sebagai
konsep bisnis untuk memperbaiki kinerja ekonomi dan kondisi
lingkungan pada setiap perusahaan. Eco-efficiency telah
dipertimbangkan dengan memperhitungkan penghematan sumber daya
dan pencegahan polusi dari industri manufaktur sebagai pemicu untuk
inovasi dan daya saing di semua jenis perusahaan. Pasar uang juga
mulai mengenali nilai eco-efficiency karena banyak perusahaan yang
menerapkan eco-efficiency dapat menghasilkan performa yang lebih
baik secara finansial.

Menurut Tamlyn, pengertian eco-efficiency perlu memperhatikan


dampak lingkungan meliputi pertimbangan ekologi dan ekonomi yang
merupakan strategi untuk mengurangi dampak lingkungan dan
meningkatkan nilai produksi. Dengan mempertimbangkan hal-hal
tersebut maka akan terdapat upaya untuk mengurangi dampak
lingkungan namun dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun
hal yang penting untuk dicatat adalah terjadinya hubungan yang
memberikan peluang untuk saling berubah secara posistif antara satu
dengan yang lainnya.

WBCSD telah mengidentifikasi 7 (tujuh) elemen yang dapat


digunakan dalam menjalankan bisnis perusahaan untuk meningkatkan
eko-efisiensi proses bisnisnya yaitu: 1) mengurangi penggunaan bahan
baku; 2) mengurangi penggunaan energi; 3) mengurangi limbah
beracun dari hasil produksi; 4) meningkatkan kemampuan daur ulang;
5) memaksimalkan penggunaan energi terbarukan; 6) memperpanjang
daya tahan produk; dan 7) meningkatkan intensitas layanan.

Indikator eco-efficiency pada tingkat penrusahaan dapat diterapkan


untuk mengukur seberapa besar tingkat efisiensi sumberdaya yang
digunakan dalam suatu usaha. Misalnya seberapa besar sumber daya
energi, air dan bahan baku utama yang digunakan untuk
mentransformasikan menjadi produk yang layak jual. WBCSD
menyarankan agar menggunakan ratio antara nilai produk atau jasa per
pengaruh lingkungan.

2. Keterkaitan Eco-Efficiency dengan Infrastruktur Sumber Daya


Air

Eco-efficient dalam pembangunan infrastruktur sumber daya air


merupakan upaya untuk mengurangi dampak negative terhadap
lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan konstruksi, dalam hal ini
adalah konstruksi infrastruktur sumber daya air yang memiliki dampak
signifikan terhadap lingkungan sekitarnya. Dalam penerapan eco-
efficiency, bahan baku yang digunakan perlu mempertimbangkan
berasal dari dalam negeri. Hal ini akan mengurangi biaya pengiriman
bahan baku sehingga akan lebih efisien dalam penggunaan bahan
bakar, yang pada akhirnya dapat mengurangi emisi karbon.
Pemanfaatan bahan bangunan dan teknologi ramah lingkungan perlu
disosialisasikan dan dilaksanakan secara optimal untuk mengurangi
dampak kerusakan ekologis dalam pembangunan infrastruktur sumber
daya air, serta operasi dan pemeliharaannya.
3. Penerapan Eco-Efficiency dalam Pembangunan Infrastruktur
Sumber Daya Air

Dalam rangka penerapan konsep eco-efficiency dalam pembangunan


infrastruktur sumber daya air, Pemerintah Indonesia melakukan
berbagai upaya yang dijelaskan di bawah ini:

1. Konservasi Sumber Daya Air

Konservasi sumber daya air dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia dilatarbelakangi


pada beberapa hal sebagai berikut:

 Perlunya keseimbangan kebutuhan air saat ini dan di masa mendatang


 Penggunaan persediaan air yang ditampung pada saat musim hujan
untuk digunakan pada musim kemarau
 Meningkatkan ketersediaan air tanah
 Perbandingan infrastruktur skala besar dengan infrastruktur skala kecil.
 Kebijakan Pemerintah Indonesia: peningkatan embung yang dikelola
oleh petani di perdesaan dan daerah pertanian.

Sebagai tambahan pengembangan waduk dan embung, pemerintah juga mendorong


konservasi sumber daya air lainnya yang memberikan lebih banyak pada peningkatan air
tanah dan penguranan limpasan air permukaan. Konservasi sumber daya air yang
diperkenalkan oleh Handojo (2008) dapat dibagi menjadi konservasi di hulu, tengah dan
hilir sungai wilayah.

A. Daerah Hulu (Parit resapan)

Parit resapan merupakan penampungan air sementara untuk menampung limpasan


air permukaan supaya terserap ke dalam tanah. Fungsi dari parit resapan tersebut adalah
untuk mengurangi air limpasan, menyaring polutan, dan meningkatkan pengisian ulang air
tanah. Parit resapan dibuat dengan kedalaman kurang dari 1 m dan lebar 80 cm. Parit dapat
diisi dengan kerikil atau dikominasikan dengan pipa.

B. Daerah Tengah (Embung resapan)

Membuat embung resapan: efektif dengan pendekatan keteknikan yang ringan,


berdasarkan pada prose salami untuk mengantisipasi banjir dan kekeringan. Menyediakan
waktu untuk air dapat teresap. Menampung air hujan yang dapat digunakan saat musim
kemarau dan meningkatkan kualitas air.

C. Daerah hilir (Sumur resapan)

Membangun sumur resapan yang menjadi syarat dalam izim membangun bangunan
khususnya di Provinsi DKI Jakarta. Meningkatkan pengisian kembali air tanah. Sebagai upaya
untuk mengatasi ekstrasi air tanah yang akan mengakibatkan penurunan tanah. Berkontribusi
dalam mengurangi limpasan air permukaan.

2. Pengendalian Banjir melalui Biopori


Biopori adalah lubang-lubang di dalam tanah yang terbentuk karena adanya berbagai
akitivitas organisme di dalamnya, seperti cacing, perakaran tanaman, rayap dan organisme
tanah lainnya. Dengan adanya aktivitas tersebut maka akan terbentuk lubang-lubang yang
akan menjadi tempat berlalunya air di dalam tanah. Bila lubang-lubang seperti ini dapat
dibuat dengan jumlah banyak, maka kemampuan dari sebidang tanah untuk meresapkan air
akan diharapkan semakin meningkat. Meningkatnya kemampuan tanah dalam meresapkan
air akan memperkecil peluang terjadinya aliran air di permukaan tanah.

penambahan jumlah biopori tersebut dapat dilakukan dengan membuat lubang vertikal
ke dalam tanah. Lubang-lubang tersebut selanjutnya diisi bahan organik, seperti sampah-
sampah organik rumah tangga, potongan rumput, dan vegatasi sejenisnya. Bahan organik ini
dapat meningkatkan aktivitas organiseme dalam tanah sehingga akan semakin banyak
biopori yang terbentuk.

Dampak dari biopori terhadap lingkungan dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Meningkatkan Daya Resapan Air.

Dengan menggungakan lubang resapan biopori diharapkan dapat menambah bidang


resapan air sebesar luas dinding lubang. Sebagai contoh bila lubang dibuat dengan diameter
10 cm dan dalam 100 cm maka luas bidang resapan akan bertambah sebanyak 3.140 cm2
atau hampir 1/3 m2. Dengan adanya aktivitas organisme tanah seperti cacing tanah pada
lubang resapan, maka rongga pada tanah akan terbentuk dan tetap terbuka sehingga dapat
melewatkan air untuk terserap ke dalam tanah. Dengan demikian kombinasi antara luas
bidang resapan dengan kehadiran biopori secara bersama-sama akan meningkatkan
kemampuan dalam meresapkan air.

b. Mengubah Sampah Organik Menjadi Kompos

Lubang resapan biopori diaktifkan dengan memberikan sampah organik kedalamnya.


Sampah ini akan dijadikan sebagai sumber energi bagi organisme tanah untuk melakukan
kegiatannya melalui proses dekomposisi. Sampah yang telah didekompoisi ini dikenal
sebagai kompos.. Dengan melalui proses seperti itu maka lubang resapan biopori selain
berfungsi sebagai bidang resapan air juga sekaligus berfungsi sebagai pembuat kompos.

c. Memanfaatkan Organisme Tanah dan atau Akar Tanaman

Seperti disebutkan di atas, lubang resapan biopori diaktikan oleh organisme tanah.
Aktivitas organisme tanah dan perakaran tanaman selanjutnya akan membuat rongga-rongga
di dalam tanah yang akan dijadikan saluran air untuk meresap ke dalam tanah. Dampak
positih yang dihasilkan terhadap lingkungan adalah mengurangi limpasan air permukaan dan
dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia karena biopri dapat menghasilkan pupuk
organic (kompos).
F. Kesimpulan

Indonesia merupakan salah satu Negara tropis yang memiliki lahan basah . Seperti di
banyak negara lain, kondisi sumber daya air di Indonesia telah sampai pada tahap di mana
tindakan terpadu diperlukan untuk membalikkan tren yang terjadi saat ini yatiu penggunaan
air yang berlebihan, polusi, dan meningkatnya ancaman kekeringan dan banjir. Mengingat
pengembangan sumber daya air di Indonesia selalu mengalami peningkatan dan perubahan
dari waktu ke waktu, maka dari itu sangat diperlukan untuk melakukan pengembangan dan
peningkatan sektor sumber daya air. Pemeliharaan dan pengembangan Sistem Wilayah Sungai
tersebut didekati dengan suatu rencana terpadu dari hulu sampai hilir yang dikelola secara
profesional. Untuk itu perlu dikembangkan teknologi rancang bangun Bendungan Besar,
Bendung Karet, termasuk terowongan, teknologi Sabo, sistem irigasi maupun rancang bangun
pengendali banjir.

G. Saran

Dalam hal ini penulis menyadari bahwa penting nya pengelolaan air berkelanjutan sangat
penting bagi kita , mengingat dengan kondisi beberapa di daerah Negara kita yang masih
kekurangan air bersih maka dari itu penulis menyarankan untuk mulai melakukan hal yang
telah tertulis pada makalah ini.
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih
fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber - sumber yang
lebih banyak.
A. Abstract

Indonesia is one of the tropical countries in the world that has a lot of wetlands . In some
areas in Indonesia, there is often a scarcity of clean water, so people have difficulty fulfilling
needs. In terms of water resources, the crisis experienced by Indonesia concerns the aspects
of supply and management aspects. In terms of supply, problems that arise include aspects of
quantity and quality. Spatially, water problems can be classified into two regions, namely
urban, and rural. In urban areas, not all community members have access to clean water in a
healthy manner. In big cities, many people in slum areas use river banks for MCK and
drinking water. Provision of clean water through related institutions / companies, for example
PDAMs, is still insufficient. Water services from the PDAM, do not always meet the
requirements, both in terms of quantity and quality, often do not meet environmental quality
standards for drinking water. The quality of clean water received by residents is not pure
clean, a lot of dirt, there are even indications of contamination from a number of factory
wastes. The community also regrets the water supply from PDAM Jaya, which has never
been normal, such as a small volume of water, frequent deaths, and poor water discharge. The
lack of drinking water supply by PDAMs has implications for uncontrolled groundwater use,
both by the community, and especially by industry and hotels. The next consequence was a
decrease in soil because the ground water was sucked.
B. preliminary
Indonesia consists of around 17,508 islands and around 6,000 are inhabited islands. The
tropical islands spread along an eighth of the equator around 8 million km 2 , with a total land
area of 1.92 million km 2 ), and a sea area of 3 million km 2 with a total coastline length of
around 84,000 km. Indonesia's population of 226 million (2008 data) is spread across several
islands. With a growth rate of 1.66% of the population it is estimated to grow to 280 million
by 2020 . In the past decade, urban immigrants have resulted in urban growth of around 5%
per year. It is estimated that by 2020 around 52% of the population will live in urban
environments, an increase of 38% compared to 1995.
As in many other countries, the condition of water resources in Indonesia has reached the
stage where integrated action is needed to reverse the current trend of excessive water use,
pollution and the increasing threat of droughts and floods. In view of the challenges faced by
the water resources sector and irrigation sector in the 21st century and public sector reforms
that pay more attention to the aspirations of the people, the Government of Indonesia has
initiated a water resources sector reform program covering aspects of policy, institutional
aspects, legislative and regulatory aspects, and water resources conservation policies have
received a substantial share in the reform agenda.
C. Status of development of water resources in Indonesia
History of Water Resources Infrastructure Development in Indonesia
Infrastructure development policies in Indonesia have been started since the
Dutch East Indies, especially for the water resources sector with the issuance of the General
Water Regulation ( Algemeene Water Reglement (AWR) in 1936 and Algemeene
Waterbeheersverordening in 1937) and followed by Provincial Provincial Water Water
Regulations Reglement (East Java and West Java) in 1940. In the period after independence,
regulations were set in line with the 1945 Constitution.
Considering the development of water resources in Indonesia has always
been increasing and changing from time to time, therefore it is very necessary to develop
and improve the water resources sector both in terms of policies, regulations and legislation,
institutional aspects, and implementation in the field. This needs to be integrated with the
paradigm of national development and the development of overall water resources.
With the increasing public demand for water resources both in quantity and
quality, it can be mendor ong for strengthening the economic value of water resources
compared with the social value and the potential for terja in a conflict of interest between se
c tor, between regions and between the various parties related resources water power.
Management of water resources that more consider economic value will tend to provide
more benefits to the interests of strengthening the economy and will override social interests
and fulfillment of the needs of the community . i ni will be k t masyaraka erugian groups
who are unable to compete because of the low ability of the economy, it will even cause the
fundamental right of everyone to get the water can not be met. Considering that water
resources are a source of life, the government must protect the interests of low economic
ability groups to obtain water resources fairly by applying the principles of water resources
management that are able to balance the social value and economic value of water resources.
Status and Characteristics of Water Resources in Indonesia
a. Decreased ability to provide water. The development of residential areas and
industries has reduced water catchment areas and threatens environmental capacity in
providing water. On the other hand, the capacity of water storage infrastructure such
as reservoirs and dams is decreasing as a result of increased sedimentation, thereby
reducing the reliability of water supply for irrigation and raw water. This condition is
exacerbated by the low quality of operations and maintenance so that the level of
water resources infrastructure services decreases sharply.

b. Increased potential for water conflicts. In line with the increasing population and the
quality of life of the people, the number of raw water needs for households,
settlements, agriculture and industry is also increasing. In 2003, national demand for
water reached 112.3 billion cubic meters and it is estimated that in 2009 water
demand will reach 117.7 billion cubic meters. The increasing need for water on one
side and the increasingly limited availability on the other side will definitely increase.

c. Widespread coastal abrasion. Environmental changes and coastal abrasions threaten


the existence of productive land and tourism areas. In addition, coastal abrasion in
some border areas can cause a shift in the border line with other countries. Thus in
these regions, coastline security has a strategic role in maintaining the territorial
integrity of the Republic of Indonesia and the Indonesian Exclusive Economic Zone
d. Weak coordination, institutions, and management. Changes in the development
paradigm in line with the spirit of reform require several steps to adjust governance,
the role of the community, the role of BUMN / BUMD, and the role of the private
sector in managing water resources infrastructure.

D. Management of water resources in Indonesia


To increase water resources in Indonesia, there is still much need to build reliable dams,
reservoirs and irrigation network systems to support the government's food security policy. In
addition to guaranteeing the availability of raw water, river normalization and maintenance of
watersheds in several areas still need to be done. The maintenance and development of the
River Basin System is approached with an integrated plan from upstream to downstream that
is managed professionally. For this reason, it is necessary to develop design technologies for
the Large Dam, Rubber Dam, including tunnels, Sabo technology, irrigation systems and
flood control design.
At present there are several watersheds that have an important role in the supply of water
sources, some of which have been damaged, namely 62 damaged watersheds from a total of
470 watersheds, resulting in a decrease in the value of water benefits due to a decrease in the
function of catchment areas and water catchments. Currently the irrigation network is built to
reach 6.77 million ha (1.67 million ha has not yet functioned), and 1.8 million ha of swamp
irrigation network that serves to support the National Food Security Program.
But on the other hand the physical development of the area has had an impact on the
occurrence of the conversion of agricultural land by around 35 thousand ha per year.
a. Implementation of Water Resources Management
Indonesia has taken a step forward in the implementation of an
Integrated Water Resources Management (IWRM) policy that is of
concern to the international community to improve water resources
management in achieving general welfare and environmental
preservation. In line with the IWRM concept that developed in
international forums, several actions have been taken at the national
and regional levels in the context of reforming water resources
policies.
Reforms in the management of water resources are one of the
important actions to overcome poverty alleviation, food security,
and conservation of natural resources. In its implementation, several
policies have been issued, including the enactment of Law No. 7 of
2004 concerning Water Resources (SDA Law) in line with the
principles of IWRM. This law aims to implement water
management in a comprehensive, sustainable manner, and through
an open approach so as to provide an option for business
communities and non-governmental organizations to participate in
the planning and implementation of integrated water resources
management processes.
The Water Resources Act states the vision, mission, and
principles of water resources management in Indonesia, as the basis
for implementing IWRM. The vision for water resources
management based on the SDA Law is "Water resources are
managed in a comprehensive, integrated and environmentally sound
manner with the aim of realizing sustainable use of water resources
for the greatest prosperity of the people" (Article 3 of the SDA
Law). To carry out this vision, five missions of water resources
management have been identified, namely: 1) conservation of water
resources, 2) utilization of water resources; 3) control of the
destructive power of water; 4) empowering and increasing the role
of the community, business world, and government; and 5)
improvement of data and information on availability and
transparency. Furthermore, in order to achieve this mission, water
resources management is carried out based on the principles of
harmony, equality, general welfare, integrity, fairness, autonomy,
transparency and accountability
b. Irrigation Management Implementation
Indonesia has begun to carry out reforms on irrigation
management policies since the adoption of the IOMP Irrigation
Operation and Maintenance Policy in 1987. These reform efforts
are a response to a lack of funding, institutional and institutional
capacity, performance problems faced by the Government in order
to maintain sustainable irrigation.
In 2006, the Government issued Government Regulation
Number 20 of 2006 concerning Irrigation as mandated by Law No.
7 of 2004 concerning Water Resources. The PP on irrigation
encourages the Development and Management of Participatory
Irrigation Systems (PPSIP) as the implementation of irrigation-
based farmers' participation starting, planning, decision making,
and carrying out activities at the stage of development, upgrading,
operation and maintenance, and rehabilitation to maintain water
use in agriculture based on the principle of participation, equality,
public welfare, justice, autonomy, transparency and
accountability, and environmentally sound.
The management of participatory irrigation systems involves all
parties involved by prioritizing the interests and participation of
farmers. The implementation is facilitated by the Central,
Provincial and Regency / City Governments in accordance with
their authority and provide assistance in accordance with what is
needed by the P3A while taking into account the principle of
independence.
Empowerment and utilization of irrigation management
institutions need to be done to ensure irrigation management. The
institution of irrigation management includes government
agencies, water-using farmer associations (P3A), and irrigation
commissions. Water-use farmer associations are formed
democratically in each service area / tertiary or village plot and
can form a combined water-use farmer association (GP3A) in the
service area / secondary block, combined with several secondary
blocks, or one irrigation area. In addition, it is also necessary to
establish a water user farmer association (IP3A) in the service area
/ primary block, combined with several primary blocks, or one
irrigation area. Meanwhile, the Irrigation Commission was formed
to realize the integration of irrigation system management in each
province and district / city.
E. Development of sustainable water resources
Sustainable development is very concerned about optimizing the benefits of natural
resources and human resources by harmonizing human activities with the ability of natural
resources to sustain them. The world commission for environment and development defines
sustainable development as development that meets the needs of the present without
sacrificing the right to meet the needs of future generations.
The goal of quality sustainable development is the achievement of a decent standard of
living for human life, so that the level of welfare of the community as a whole is achieved.
This level of welfare is sought to be achieved by maintaining the preservation of the natural
environment and the availability of the necessary resources. One concept related to
development that takes into account the smallest impact of environmental damage but
produces optimal benefits is the concept of Eco-Efficiency.
1. Concept of Eco-Efficiency
Eco-efficiency was promoted for the first time in The World Business
Council on Sustainable Development (WBCSD) as a business concept
to improve economic performance and environmental conditions in
each company. Eco-efficiency has been considered taking into account
resource savings and pollution prevention from the manufacturing
industry as a trigger for innovation and competitiveness in all types of
companies. The money market also began to recognize the value of
eco-efficiency because many companies that implement eco-efficiency
can produce better financial performance.
According to Tamlyn, the notion of eco-efficiency needs to pay
attention to environmental impacts including ecological and economic
considerations which are strategies to reduce environmental impacts
and increase the value of production. By considering these matters,
there will be efforts to reduce environmental impacts but can increase
economic growth. But the important thing to note is the occurrence of
relationships that provide opportunities to change positively with each
other.
WBCSD has identified 7 (seven) elements that can be used in running
a company's business to improve the eco-efficiency of its business
processes, namely: 1) reducing the use of raw materials; 2) reduce
energy use; 3) reduce toxic waste from production; 4) improve
recycling capabilities; 5) maximize the use of renewable energy; 6)
extend product durability; and 7) increasing service intensity.
The eco-efficiency indicator at the enterprise level can be applied to
measure how much the level of resource efficiency is used in a
business. For example, how much energy, water and main raw
materials are used to transform into products that are worth selling.
WBCSD suggests using a ratio between the value of a product or
service per environmental influence.
1. Linkages between Eco-Efficiency and Water Resources
Infrastructure
Eco-efficient development of water resources infrastructure is an
effort to reduce the negative impact on the environment caused by
construction activities, in this case is the construction of water
resources infrastructure that has a significant impact on the
surrounding environment. In implementing eco-efficiency , the raw
materials used need to be considered from domestic sources. This will
reduce the cost of shipping raw materials so that it will be more
efficient in using fuel, which in turn can reduce carbon emissions. The
use of building materials and environmentally friendly technologies
needs to be optimally socialized and carried out to reduce the impact of
ecological damage in the construction of water resources infrastructure,
as well as its operation and maintenance.
2. Application of Eco-Efficiency in Water Resources Infrastructure
Development
In order to apply the concept of eco-efficiency in the construction of
water resources infrastructure, the Government of Indonesia made
various efforts described below:
1. Conservation of Water Resources
Conservation of water resources carried out by the Indonesian Government is
motivated by a number of things as follows:
 The need to balance water needs now and in the future
 The use of stored water supplies during the rainy season for use on the
season kemara u
 Increasing groundwater availability
 Comparison of large scale infrastructure with small scale
infrastructure .
 Indonesian Government Policy: increase in reservoirs managed by
farmers in rural and agricultural areas.
In addition to the development of reservoirs and reservoirs, the government also
encourages the conservation of other water resources that provide more on increasing
groundwater and reducing surface water runoff. Conservation of water resources introduced
by Handojo (2008) can be divided into conservation in the upstream, middle and
downstream regions of the river.
A. Upper Area (ditch infiltration)
Infiltration trenches are temporary water reservoirs to accommodate surface runoff to
be absorbed into the soil. The function of the infiltration ditch is to reduce runoff water,
filter pollutants, and increase groundwater refill. Infiltration ditches are made with a depth of
less than 1 m and a width of 80 cm. Trenches can be filled with gravel or nominated with
pipes.
B. Central Area (reservoir)
Making infiltration ponds: effective with a light engineering approach, based on
natural processes to anticipate floods and droughts. Allow time for water to be absorbed.
Collect rainwater that can be used during the dry season and improve water quality .
C. Downstream area (infiltration well)
Building infiltration wells that are a requirement in building permit plans, especially
in DKI Jakarta Province. Increase groundwater recharge. In an effort to overcome the
extraction of ground water which will result in land degradation. Contributing to reducing
surface runoff.
2 . Flood Control through Biopori
Biopores are holes in the soil that are formed because of the various activities of
organisms in them, such as worms, rooting of plants, termites and other soil organisms. With
these activities, holes will form which will become the place where the water in the ground
will pass. If holes like this can be made in large quantities, the ability of a piece of land to
absorb water will be expected to increase. Increasing the ability of the soil to absorb water
will reduce the chances of water flow at the surface.
the addition of the number of biopores can be done by making a vertical hole into the
ground. The holes are then filled with organic material, such as household organic waste,
grass pieces, and similar vegatations. This organic material can increase organizational
activity in the soil so that more biopores will be formed.
The impact of biopori on the environment can be explained as follows:
1. Increase Water Absorption Power.
By using biopore infiltration holes, it is expected to be able to increase the water
infiltration area as large as the hole wall area. For example, if a hole is made with a diameter
of 10 cm and within 100 cm, the area of the recharge area will increase by 3,140 cm 2 or
almost 1/3 m 2 . With the activity of soil organisms such as earthworms in infiltration holes,
the cavity in the soil will form and remain open so that it can pass water to be absorbed into
the soil. Thus the combination of the area of recharge with the presence of biopori together
will increase the ability to absorb water.
2. Turning Organic Waste into Compost
Biopore infiltration holes are activated by giving organic waste into it. This waste will be
used as an energy source for soil organisms to carry out their activities through a process of
decomposition. This decomposed waste is known as compost. Through such a process, the
biopore infiltration hole in addition to functioning as a water absorption field also functions
as a compost maker.
3. Utilizing Soil Organisms and / or Plant Roots
As mentioned above, biopori infiltration holes are activated by soil organisms. The
activity of soil organisms and plant roots will then make the cavities in the soil to be used as
waterways to seep into the soil. The positive impact produced on the environment is
reducing surface runoff and can reduce the use of chemical fertilizers because biopri can
produce organic fertilizer (compost).
F. Conclusion

Indonesia is one of the tropical countries that has wetlands. As in many other countries,
the condition of water resources in Indonesia has reached the stage where integrated action is
needed to reverse the current trend of excessive water use, pollution and the increasing threat
of droughts and floods. Considering the development of water resources in Indonesia has
always been increasing and changing from time to time, therefore it is very necessary to
develop and improve the water resources sector . The maintenance and development of the
River Basin System is approached with an integrated plan from upstream to downstream that
is managed professionally. For this reason, it is necessary to develop design technologies for
the Large Dam, Rubber Dam, including tunnels, Sabo technology, irrigation systems and
flood control design.
G. Suggestion

In this case the author realizes that the importance of sustainable water management is
very important for us, given that with the conditions in some areas of our country that still
lack clean water, the authors suggest starting to do the things written in this paper.
Realizing that the author is still far from perfect, in the future the author will be more
focused and detailed in explaining the paper above with more resources .

Vous aimerez peut-être aussi