Vous êtes sur la page 1sur 18

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah AIK VI ini dengan tepat waktu. Dalam menulis makalah
ini, tidak sedikit masalah dan rintangan yang dihadapi oleh penulis, namun berkat
bantuan dari berbagai pihak yang telah berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini walaupun dengan banyak
kekurangan. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Bapak Abdi
zulkarnainain sitepu S.Ag. M.Ag. selaku dosen pembimbing mata kuliah AIK VI yang
telah banyak membimbing penulis dalam pembuatan makalah ini. Terimah kasih yang
sebesar-besarnya juga penulis ucapkan kepada berbagai pihak yang tidak\ bisa penulis
ucapkan satu-persatu. Akhir kata penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca sebagai bahan perbaikan dalam menyusun makalah kedepannya, dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Makassar, 28 Maret 2018

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi IPTEK dan seni
B. Paradigma hubungan agama dan seni
C. Integrasi iman, IPTEK dan seni dalam islam
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dizaman modern yang canggih seperti saat ini, kemajuan akan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (yang kemudian disingkat IPTEK) dan seni, sangatlah
berpengaruh terhadap segala aspek dalam kehidupan manusia. Tidak dapat dipungkiri,
keberadaan IPTEK dan seni tidak pernah lepas dengan keberadaan manusia. Manusia
sebagai subjek dari berkembangnya ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan, maka berkembanglah pula teknologi dan seni.
Keberadaan yang tidak akan pernah terpisahkan tersebut, kemudian memunculkan
beberapa dampak terhadap kehidupan manusia didunia. Dampak tersebut berupa
dampak positif dan negatif. Adanya dampak negatif terhadap kehidupan manusia ini,
akan menimbulkan beberapa yang kurang di inginkan.
Peran Islam dalam perkembangan IPTEK pada dasarnya ada 2 (dua). Pertama,
menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang
seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang.
Paradigma Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan landasan
pemikiran (qa’idah fikriyah) bagi seluruh ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti bahwa
Aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadi
standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan yang sesuai dengan
Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan, sedang yang bertentangan dengannya,
wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan. Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir
dari Aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan IPTEK dalam kehidupan sehari-
hari. Standar atau kriteria inilah yang seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan
standar manfaat (pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang. Standar
syariah ini mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan IPTEK, didasarkan pada
ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam). Umat Islam boleh memanfaatkan
IPTEK jika telah dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek IPTEK
dan telah diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umat Islam memanfaatkannya,
walau pun ia menghasilkan manfaat sesaat untuk memenuhi kebutuhan manusia.
B. Rumusan Masalah
a. Apa definisi IPTEK dan seni?
b. Bagaimana paradigma hubungan agama dan seni?
c. Bagimana integrasi iman, IPTEK dan seni dalam islam?

C. Tujuan
a. Mengetahui apa maksud dan definisi dari IPTEK dan seni
b. Mengetahui paradigma hubungan agama dan seni
c. Mengetahui integrasi iman, IPTEK dan seni dalam islam
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi IPTEK dan Seni

Definisi IPTEK
IPTEK adalah singkatan dari ilmu pengetahuan, teknologi. Ilmu adalah
pengetahuan yang sudah diklasifikasi, diorganisasi, disistematisasi, dan
diinterpretasi, menghasilkan kebenaran obyektif, sudah diuji kebenarannya dan
dapat diuji ulang secara ilmiah (International Webster’s Dictionary dalam Modul
Acuan Proses Pembelajaran MPK, 2003)
Secara etimologis, kata ilmu berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari
akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya
terulang 854 kali dalam Al-qur’an. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian
pengetahuan dan obyek pengetahuan . Setiap ilmu membatasi diri pada salah satu
bidang kajian. Oleh sebab itu seseorang yang memperdalam ilmu-ilmu tertentu
disebut sebagai spesialis. Dari sudut pandang filsafat, ilmu lebih khusus
dibandingkan dengan pengetahuan.
Ilmu pengetahuan (sains) adalah pengetahuan tentang gejala alam yang diperoleh
melalui proses yang disebut metode ilmiah. Sedang teknologi adalah pengetahuan
dan ketrampilan yang merupakan penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan
manusia sehari-hari.
Jadi ilmu pengetahuan atau sains adalah himpunan pengetahuan manusia yang
dikumpulkan melalui proses pengkajian dan dapat dinalar atau dapat diterima oleh
akal. Dengan kata lain, sains dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang sudah
sistematis (science is systematic knowledge). Dalam pemikiran sekuler, sains
mempunyai tiga karakteristik, yaitu obyektif, netral dan bebas nilai, sedangkan
dalam pemikiran Islam, sain tidak boleh bebas nilai, baik nilai lokal maupun nilai
universal.
Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan dua sosok yang tidak dapat dipisahkan
satu sama lain. Ilmu adalah sumber teknologi yang mampu memberikan
kemungkinan munculnya berbagai penemuan rekayasa dan ide-ide. Adapun
teknologi adalah terapan atau aplikasi dari ilmu yang dapat ditunjukkan dalam hasil
nyata yang lebih canggih dan dapat mendorong manusia untuk berkembang lebih
maju lagi. Sebagai umat Islam kita harus menyadari bahwa dasar-dasar filosofis
untuk mengembangkan ilmu dan teknologi itu bisa dikaji dan digali dalam Alquran
sebab kitab suci ini banyak mengupas keterangan-keterangan mengenai ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Seperi kita ketahui, teknologi kini telah merembet dalam kehidupan kebanyakan
manusia bahkan dari kalangan atas hingga menengah kebawah sekalipun. Dimana
upaya tersebut merupakan cara atau jalan di dalam mewudkan kesejahteraan dan
meningkatkan harkat dan martabat manusia. Atas dasar kreatifitas, akalnya, manusia
mengembangkan IPTEK dalam rangka untuk mengolah SDA yang di berikan oleh
Tuhan Yang Maha Esa. Dimana dalam pengembangan IPTEK harus didasari
terhadap moral dan kemanusiaan yang adil dan beradab, agar semua masyarakat
mengecam IPTEK secara merata. Disatu sisi telah terjadi perkembangan yang sangat
baik sekali di aspek telekomunikasi, namun pelaksanaan pembangunan IPTEK
masih belum merata.
Masih banyak masyarakat kurang mampu yang putus harapannya untuk
mendapatkan pengetahuan dan teknologi. Hal itu dikarenakan tingginya biaya
pendidikan yang harus mereka tanggung. Maka dari itu pemerintah perlu menyikapi
dan menanggapi masalah-masalah tersebut, agar peranan IPTEK dapat bertujuan
untuk meningkatkan sumber daya manusia yang ada. Perkembangan IPTEK
disamping bermanfaat untuk kemajuan hidup Indonesia juga memberikan dampak
negatif.
Hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan IPTEK untuk menekan dampaknya
seminimal mungkin antara lain:
1. Menjaga keserasian dan keseimbangan dengan lingkungan setempat.
2. Teknologi yang akan diterapkan hendaknya betul-betul dapat mencegah
timbulnya permasalahan di tempat itu.
3. Memanfaatkan seoptimal mungkin segala sumber daya alam dan sumber daya
manusia yang ada.
Dengan perkembangan dan kemajuan zaman dengan sendirinya pemanfaatan dan
penguatan IPTEK mutlak diperlukan untuk mencapaikesejahteraan bangsa. Visi dan
Misi IPTEK dirumuskan sebagai paduan untuk mengoptimalkan setiap sumber daya
IPTEK yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.Undang-undang No.18 Tahun2002
tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi yang telah berlaku sejak 29 Juli 2002, merupakan
penjabaran dari visi dan misi IPTEK sebagaimana termaksud dalam UUD 1945
Amandemen pasal 31 ayat 5, agar dapat dilaksanakan oleh pemerintah beserta
seluruh rakyat dengan sebaik baiknya. Selain itu pula perkembangan IPTEK di
berbagai bidang di tengah perkembangan zaman yang semakin pesat semestinya
dapat meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia di tengah bermunculannya
dampak negatif dari adanya perkembangan IPTEK, sehingga diperlukan pemikiran
yang serius dan mantap dalam menghadapi permasalahan dalam penemuan-
penemuan baru tersebut.
Pengetahuan yang dimiliki manusia ada dua jenis, yaitu:
1. Dari luar manusia, ialah wahyu, yang hanya diyakini bagi mereka yang beriman
kepada Allah SWT. Ilmu dari wahyu diterima dengan yakin, sifatnya mutlak.
2. Dari dalam diri manusia, dibagi dalam tiga kategori : pengetahuan, ilmu
pengetahuan, dan filsafat. Ilmu dari manusia diterima dengan kritis, sifatnya nisbi.
Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sumber Islam yang isi keterangannya mutlak dan
wajib diyakini (QS. Al-Baqarah/2:1-5 dan QS. An-Najm/53:3-4).
Dalam sudut pandang filsafat ilmu, pengetahuan dengan ilmu sangat berbeda
maknanya. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia melalui
tangkapan panca indra, intuisi dan firasat sedangkan, ilmu adalah pengetahuan yang
sudah diklasifikasi, diorganisasi, disistematisasi dan diinterpretasi sehingga
menghasilkan kebenaran obyektif, sudah diuji kebenarannya dan dapat diuji ulang
secara ilmiah. Secara etimologis kata ilmu berarti kejelasan, oleh karena itu segala
yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Dalam Al-Qur’an, ilmu
digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan
sehingga memperoleh kejelasan. Dalam kajian filsafat, setiap ilmu membatasi diri
pada salah satu bidang kajian. Sebab itu seseorang yang memperdalam ilmu tertentu
disebut sebagai spesialis, sedangkan orang yang banyak tahu tetapi tidak mendalam
disebut generalis. Istilah teknologi merupakan produk ilmu pengetahuan. Dalam
sudut pandang budaya, teknologi merupakan salah satu unsur budaya sebagai hasil
penerapan praktis dari ilmu pengetahuan. Meskipun pada dasarnya teknologi juga
memiliki karakteristik obyektif dan netral. Dalam situasi tertentu teknologi tidak
netral lagi karena memiliki potensi untuk merusak dan potensi kekuasaan. Di sinilah
letak perbedaan ilmu pengetahuan dengan teknologi.
Teknologi dapat membawa dampak positif berupa kemajuan dan kesejahteraan bagi
manusia juga sebaliknya dapat membawa dampak negatif berupa ketimpangan-
ketimpangan dalam kehidupan manusia dan lingkungannya yang berakibat
kehancuran alam semesta. Dalam pemikiran Islam, ada dua sumber ilmu yaitu akal
dan wahyu. Keduanya tidak boleh dipertentangkan. Manusia diberi kebebasan dalam
mengembangkan akal budinya berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan sunnah rasul.
Atas dasar itu, ilmu dalam pemikiran Islam ada yang bersifat abadi (perennial
knowledge) tingkat kebenarannya bersifat mutlak, karena bersumber dari Allah. Ada
pula ilmu yang bersifat perolehan (aquired knowledge) tingkat kebenarannya
bersifat nisbi, karena bersumber dari akal pikiran manusia. Dalam pemikiran sekuler
(perennial knowledge) yang bersumber dari wahyu Allah tidak diakui sebagai ilmu,
bahkan mereka mempertentangkan antara wahyu dengan akal, agama
dipertentangkan dengan ilmu. Sedangkan dalam ajaran Islam wahyu dan akal, agama
dan ilmu harus sejalan tidak boleh dipertentangkan. Memang demikian adanya
karena hakikat agama adalah membimbing dan mengarahkan akal.

Definisi Seni
 Ensiklopedi Indonesia
Di dalam Ensiklopedia Indonesia dinyatakan bahwa seni merupakan ciptaan segala
hal karena keindahannya orang senang melihat atau mendengarkannya.
 Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara berpendapat, seni adalah perbuatan manusia yang timbul dari
hidupnya, perasaan, dan bersifat indah sehingga dapat menggetarkan jiwa perasaan
manusia.
 Akhdiat Karta Miharja
Akhdiat Karta Miharja berpendapat, seni adalah kegiatan rohani manusia yang
merefleksikan kenyataan dalam suatu karya, bentuk, dan isinya mempunyai daya
untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam alam rohani.
 Prof. Drs. Suwaji Bastomi
Hal senada diungkapkan oleh Prof. Drs. Suwaji Bastomi bahwa seni adalah aktivitas
batin dengan pengalaman estetis yang dinyatakan dalam bentuk agung, mempunyai
daya untuk membangkitkan rasa takjub dan haru.
 Drs. Sudarmaji
Drs. Sudarmaji berpendapat, seni adalah segala manifestasi batin dan pengalaman
estetis dengan menggunakan media garis, bidang, warna, tekstur, volume, dan gelap
terang.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa seni merupakan hasil
aktivitas batin yang direfleksikan dalam bentuk karya yang dapat membangkitkan
perasaan orang lain. Dalam pengertian ini yang termasuk seni adalah kegiatan yang
menghasilkan karya indah. Definisi umum seni adalah segala macam keindahan
yang diciptakan oleh manusia.
Pandangan Islam tentang seni. Seni merupakan ekspresi keindahan. Dan keindahan
menjadi salah satu sifat yang dilekatkan Allah pada penciptaan jagat raya ini. Allah
melalui kalamnya di Al-Qur’an mengajak manusia memandang seluruh jagat raya
dengan segala keserasian dan keindahannya. Allah berfirman: “Maka apakah mereka
tidak melihat ke langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya
dan menghiasinya, dan tiada baginya sedikit pun retak-retak?” [QS 50: 6].
Allah itu indah dan menyukai keindahan. Inilah prinsip yang didoktrinkan Nabi
saw., kepada para sahabatnya. Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah saw.
bersabda :
“Tidak masuk surga orang yang di dalam hatinya terbetik sifat sombong seberat
atom.” Ada orang berkata,” Sesungguhnya seseorang senang berpakaian bagus dan
bersandal bagus.” Nabi bersabda,” Sesungguhnya Allah Maha Indah, menyukai
keindahan. Sedangkan sombong adalah sikap menolak kebenaran dan meremehkan
orang lain.” (HR. Muslim).
Bahkan salah satu mukjizat Al-Qur’an adalah bahasanya yang sangat indah,
sehingga para sastrawan arab dan bangsa arab pada umumnya merasa kalah
berhadapan dengan keindahan sastranya, keunggulan pola redaksinya, spesifikasi
irama, serta alur bahasanya, hingga sebagian mereka menyebutnya sebagai sihir.
Dalam membacanya, kita dituntut untuk menggabungkan keindahan suara dan
akurasi bacaannya dengan irama tilawahnya sekaligus.
Rasulullah bersabda :
“Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa’I, Ibnu
Majah, Ibnu Hibban, Darimi)
Maka manusia menyukai kesenian sebagai representasi dari fitrahnya mencintai
keindahan. Dan tak bisa dipisahkan lagi antara kesenian dengan kehidupan manusia.
Namun bagaimana dengan fenomena sekarang yang ternyata dalam kehidupan
sehari-hari nyanyian-nyanyian cinta ataupun gambar-gambar seronok yang diklaim
sebagai seni oleh sebagian orang semakin marak menjadi konsumsi orang-orang
bahkan anak-anak.Sebaiknya di kembalikan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Bahwa dalam Al-Qur’an disebutkan :
“Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak
berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan
menjadikan jalan Allah itu sebagai olok-olokan. Mereka itu memperoleh azab yang
menghinakan.” (Luqman:6)
Jikalau kata-kata dalam nyanyian itu merupakan perkataan-perkataan yang tidak
berguna bahkan menyesatkan manusia dari jalan Allah, maka HARAM nyanyian
tersebut. Nyanyian-nyanyian yang membuat manusia terlena, mengkhayalkan hal-
hal yang tidak patut maka kesenian tersebut haram hukumnya.

B. Paradigma Hubungan Agama dan IPTEK

Perkembangan iptek, adalah hasil dari segala langkah dan pemikiran untuk
memperluas, memperdalam, dan mengembangkan iptek. Agama yang dimaksud di
sini, adalah agama Islam, yaitu agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi
Muhammad Saw, untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya (dengan
aqidah dan aturan ibadah), hubungan manusia dengan dirinya sendiri (dengan aturan
akhlak, makanan, dan pakaian), dan hubungan manusia dengan manusia lainnya
(dengan aturan mu’amalah dan uqubat/sistem pidana). Dalam Al Qur’an surat Ali
Imron ayat 190 – 191 yang artinya :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,. (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami,
Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka
peliharalah Kami dari siksa neraka.”
Dari ayat diatas menjelaskan betapa pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi
untuk dipelajari dan dimiliki.
Secara garis besar, berdasarkan tinjauan ideologi yang mendasari hubungan
keduanya, terdapat 3 (tiga) jenis paradigma :
Pertama, paradagima sekuler, yaitu paradigma yang memandang agama dan iptek
adalah terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat, agama
telah dipisahkan dari kehidupan agama tidak dinafikan eksistensinya, tapi hanya
dibatasi perannya dalam hubungan pribadi manusia dengan tuhannya. Agama tidak
mengatur kehidupan umum/publik. Paradigma ini memandang agama dan IPTEK
tidak bisa mencampuri dan mengintervensi yang lainnya.
Kedua, paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang
menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, tidak ada hubungan
dan kaitan apa pun dengan IPTEK. IPTEK bisa berjalan secara independen dan lepas
secara total dari agama. Paradigma ini mirip dengan paradigma sekuler di atas, tapi
lebih ekstrem. Dalam paradigma sekuler, agama berfungsi secara sekularistik, yaitu
tidak dinafikan keberadaannya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan
vertikal manusia-tuhan. Berdasarkan paradigma sosialis ini, maka agama tidak ada
sangkut pautnya sama sekali dengan IPTEK. Seluruh bangunan ilmu pengetahuan
dalam paradigma sosialis didasarkan pada ide dasar materialisme, khususnya
Materialisme Dialektis. Paham Materialisme Dialektis adalah paham yang
memandang adanya keseluruhan proses perubahan yang terjadi terus menerus
melalui proses dialektika, yaitu melalui pertentangan-pertentangan yang ada pada
materi yang sudah mengandung benih perkembangan itu sendiri. Sedang dalam
paradigma sosialis, agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada (in-
exist) dan dibuang sama sekali dari kehidupan. Berdasarkan paradigma sosialis ini,
maka agama tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan iptek.
Ketiga, paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah
dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu
pengetahuan. Aqidah Islam yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam al-Qur`an
dan al-Hadits-- menjadi qaidah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu asas yang
di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia.
Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya
berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami dari ayat
yang pertama kali turun:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (Qs. Al-Alaq [96]:
1).
Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh
berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh
lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu tetap
berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam. Paradigma
inilah yang telah mencetak muslim-muslim yang taat dan shaleh tapi sekaligus
cerdas dalam iptek. Itulah hasil dan prestasi cemerlang dari paradigma Islam ini
yang dapat dilihat pada masa kejayaan IPTEK Dunia Islam antara tahun 700 M -
1400 M.
Pada masa inilah dikenal nama-nama seperti :
1. Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur,
2. Al-Khawarizmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi,
3. Al-Battani (w. 858) sebagai ahli astronomi dan matematika,
4. Al-Razi (w. 884) sebagai pakar kedokteran, ophtalmologi, dan kimia,
5. Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli kedokteran dan teknik, dan masih banyak
lagi.

C. Integrasi Iman, IPTEK dan Seni dalam Islam.

Diakui bahwa iptek, disatu sisi telah memberikan banyak manfaat bagi kehidupan
umat manusia. Namun di sisi lain, iptek telah mendatangkan “petaka” yang pada
gilirannya mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Kemajuan dalam bidang iptek telah
menimbulkan perubahan sangat cepat dalam kehidupan umat manusia. Perubahan
ini, selain sangat cepat memiliki daya jangkau yang amat luas. Hampir tidak ada
segi-segi kehidupan yang tidak tersentuh oleh perubahan. Perubahan ini pada
kenyataannya telah menimbulkan pergeseran nilai nilai dalam kehidupan umat
manusia, termasuk di dalamnya nilai-nilai agama, moral, dan kemanusiaan.
Dalam perkembangannya lebih lanjut, setelah terjadi revolusi industri di Barat ,
terutama sepanjang abad XVIII dan XIX, sains bahkan menjadi “agama baru” atau
“agama palsu”(Pseudo Religion). Dalam kajian teologi modern di Barat, timbul
mazhab baru yang dinamakan “saintisme” dalam arti bahwa sains telah menjadi
isme, ideologi bahkan agama baru. Namun sejak pertengahan abad XX, terutama
seteleh terjadi penyalahgunaan iptek dalam perang dunia I dan perang dunia II,
banyak pihak mulai menyerukan perlunya integrasi ilmu dan agama, iptek dan
imtaq. Pembicaraan tentang iptek mulai dikaitkan dengan moral dan agama hingga
sekarang (ingat kasus kloning misalnya). Dalam kaitan ini, keterkaitan iptek dengan
moral (agama) di harapkan bukan hanya pada aspek penggunaannya saja (aksiologi),
tapi juga pada pilihan objek (ontologi) dan metodologi (epistemologi)-nya sekaligus.
Di Indonesia, gagasan tentang perlunya integrasi Imtaq dan iptek ini sudah lama
digulirkan. Hal ini, selain karena adanya problem dikotomi antara apa yang
dinamakan ilmu-ilmu umum (sains) dan ilmu-ilmu agama (Islam), juga disebabkan
oleh adanya kenyataan bahwa pengembangan iptek dalam sistem pendidikan kita
tampaknya berjalan sendiri, tanpa dukungan asas iman dan takwa yang kuat,
sehingga pengembangan dan kemajuan iptek tidak memiliki nilai tambah dan tidak
memberikan manfaat yang cukup berarti bagi kemajuan dan kemaslahatan umat dan
bangsa dalam arti yang seluas-luasnya.
Secara lebih spesifik, integrasi Imtaq dan iptek ini diperlukan karena empat alasan.
Pertama, sebagaimana telah dikemukakan, iptek akan memberikan manfaat yang
sangat besar bagi kesejahteraan hidup umat manusia bila iptek disertai oleh asas
iman dan takwa kepada Allah SWT. Sebaliknya, tanpa asas Imtaq, iptek bisa
disalahgunakan pada tujuan-tujuan yang bersifat destruktif. Iptek dapat mengancam
nilai-nilai kemanusiaan. Jika demikian, iptek hanya absah secara metodologis, tetapi
batil dan miskin secara maknawi.
Kedua, pada kenyataannya, iptek yang menjadi dasar modernisme, telah
menimbulkan pola dan gaya hidup baru yang bersifat sekularistik, materialistik, dan
hedonistik, yang sangat berlawanan dengan nilai-nilai budaya dan agama yang
dianut oleh bangsa kita.
Ketiga, dalam hidupnya, manusia tidak hanya memerlukan sepotong roti (kebutuhan
jasmani), tetapi juga membutuhkan Imtaq dan nilai-nilai sorgawi (kebutuhan
spiritual). Oleh karena itu, penekanan pada salah satunya, hanya akan menyebabkan
kehidupan menjadi pincang dan berat sebelah, dan menyalahi hikmat kebijaksanaan
Tuhan yang telah menciptakan manusia dalam kesatuan jiwa raga, lahir dan bathin,
dunia dan akhirat.
Keempat, Imtaq menjadi landasan dan dasar paling kuat yang akan mengantar
manusia menggapai kebahagiaan hidup. Tanpa dasar Imtaq, segala atribut duniawi,
seperti harta, pangkat, iptek, dan keturunan, tidak akan mampu alias gagal
mengantar manusia meraih kebahagiaan. Kemajuan dalam semua itu, tanpa iman
dan upaya mencari ridha Tuhan, hanya akan mengahsilkan fatamorgana yang tidak
menjanjikan apa-apa selain bayangan palsu.
“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang
datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air
itu Dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah
disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup
dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya”. (Q.S. An-Nur:39).

Maka integrasi Imtaq dan iptek harus diupayakan dalam format yang tepat sehingga
keduanya berjalan seimbang (hand in hand) dan dapat mengantar kita meraih
kebaikan dunia (hasanah fi al-Dunya) dan kebaikan akhirat (hasanah fi al-akhirah)
seperti do’a yang setiap saat kita panjatkan kepada Tuhan:
“Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: “Ya Tuhan Kami, berilah Kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka”
(Q.S. Al-Baqarah :201).
Integrasi Imtaq dan iptek, berarti, kita harus membongkar filsafat ilmu sekuler yang
selama ini dianut. Kita harus membangun epistemologi islami yang bersifat
integralistik yang menegaskan kesatuan ilmu dan kesatuan Imtaq dan iptek dilihat
dari sumbernya, yaitu Allah SWT seperti banyak digagas oleh tokoh-tokoh
pendidikan Islam kontemporer. Selain pada pada aspek filsafat, orientasi, tujuan, dan
epistemologi pendidikan seperti telah diuraikan di atas, integrasi Imtaq dan iptek itu
perlu dilakukan dengan metode pembelajaran yang tepat. Pendidikan Imtaq pada
akhirnya harus berbicara tentang pendidikan agama (Islam) di berbagai sekolah
maupun perguruan tinggi. Untuk mendukung integrasi pendidikan Imtaq dan iptek
dalam sistem pendidikan nasional kita, maka pendidikan agama Islam disemua
jenjang pendidikan tersebut harus dilakukan dengan pendekatan yang bersifat
holistik, integralistik dan fungsional.
Dengan pendekatan holistik, Islam harus dipahami secara utuh, tidak parsial dan
partikularistik. Pendidikan islam dapat mengikuti pola iman, Islam dan Ihsan, atau
pola iman, ibadah dan akhlakul karimah, tanpa terpisah satu dengan yang lain,
sehingga pendidikan Islam dan kajian Islam tidak hanya melahirkan dan
memparkaya pemikiran dan wacana keislaman, tetapi sekaligus melahirkan kualitas
moral (akhlaq al karimah) yang menjadi tujuan dari agama itu sendiri. Pendidikan
Islam dengan pendekatan ini harus melahirkan budaya “berilmu amaliah dan
beramal ilmiah”. Integrasi ilmu dan amal, Imtaq dan iptek haruslah menjadi ciri dan
sekaligus nilai tambah dari pendidikan islam.
Secara pendekatan integralistik, pendidikan agama tidak boleh terpisah dan
dipisahkan dari pendidikan sains dan teknologi. Pendidikan iptek tidak harus
dikeluarkan dari pusat kesadaran keagamaan dan keislaman kita. Ini berarti, belajar
sains tidak berkurang dan lebih rendah nilainya dari belajar agama. Belajar sains
merupakan perintah Tuhan (Al -Quran), sama dan tidak berbeda dengan belajar
agama itu sendiri. Penghormatan Islam yang selama ini hanya diberikan kepada
ulama (pemuka agama) harus pula diberikan kepada kaum ilmuan (Saintis) dan
intelektual.
Secara fungsional, pendidikan agama harus berguna bagi kemaslahatan umat dan
mampu menjawab tantangan dan pekembangan zaman demi kemuliaan Islam dan
kaum muslim. Dalam perspektif Islam ilmu memang tidak untuk ilmu dan
pendidikan tidak untuk pendidikan semata. Pendidikan dan pengembangan ilmu
dilakukan untuk kemaslahatan umat manusia yang seluas-luasnya dalam kerangka
ibadah kepada Allah SWT.
Semetara dari segi metodologi, pendidikan dan pengajaran agama disemua jenjang
pendidikan tersebut, tidak cukup dengan metode rasional dengan mengisi otak dan
kecerdasan peserta didik semata-mata, sementara jiwa dan spiritualitasnya dibiarkan
kosong dan hampa. Pendidikan agama perlu dilakukan dengan memberikan
penekanan pada aspek afektif melalui praktik dan pembiasaan, serta melalui
pengalaman langsung dan keteladanan prilaku dan amal sholeh. Dalam tradisi
intelektual Islam klasik, pada saat mana Islam mencapai puncak kejayaannya, aspek
pemikiran teoritik (al aql al nazhari) tidak pernah dipisahkan dari aspek pengalaman
praksis (al aql al amali). Pemikiran teoritis bertugas mencari dan menemukan
kebenaran, sedangkan pemikiran praksis bertugas mewujudkan kebenaran yang
ditemukan itu dalam kehidupan nyata sehingga tugas dan kerja intelektual pada
hakekatnya tidak pernah terpisah dari realitas kehidupan umat dan bangsa. Dalam
paradigma ini, ilmu dan pengembangan ilmu tidak pernah bebas nilai.
Pengembangan iptek harus diberi nilai rabbani (nilai ketuhanan dan nilai Imtaq),
sejalan dengan semangat wahyu pertama, iqra’ bismi rabbik. Ini berarti
pengembangan iptek tidak boleh dilepaskan dari Imtaq. Pengembangan iptek harus
dilakukan untuk kemaslahatan kemanusiaan yang sebesar-besarnya dan dilakukan
dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT.
“Barang siapa ingin menguasai dunia dengan ilmu, barang siapa ingin menguasai
akhirat dengan ilmu, dan barang siapa ingin menguasai kedua-duanya juga harus
dengan ilmu” (Al-Hadist).
Penanaman kesadaran pentingnya nilai-nilai agama memberi jaminan kepada siswa
akan kebahagiaan dan keselamatan hidup, bukan saja selama di dunia tapi juga kelak
di akhirat. Jika hal itu dilakukan, tidak menutup kemungkinan para siswa akan
terhindar dari kemungkinan melakukan perilaku menyimpang, yang justru akan
merugikan masa depannya serta memperburuk citra kepelajarannya. Untuk itu,
komponen penting yang terlibat dalam pembinaan keimanan dan ketakwaan (Imtaq)
serta akhlak siswa di sekolah adalah guru. Kendati faktor lain ikut mempengaruhi,
tapi dalam pembinaan siswa harus diakui guru faktor paling dominan. Ia ujung
tombak dan garda terdepan, yang memberi pengaruh kuat pada pembentukan
karakter siswa.
Tujuan pendidikan sebenarnya mengisyaratkan, proses dan hasil harus
mempertimbangkan keseimbangan dan keserasian aspek pengembangan intelektual
dan aspek spiritual (rohani), tanpa memisahkan keduanya secara dikhotomis. Namun
praktiknya, aspek spiritual seringkali hanya bertumpu pada peran guru agama. Ini
dirasakan cukup berat, sehingga pengembangan kedua aspek itu tidak berproses
secara simultan. Upaya melibatkan semua guru mata ajar agar menyisipkan unsur
keimanan dan ketakwaan (Imtaq) pada setiap pokok bahasan yang diajarkan,
sesungguhnya telah digagas oleh pihak Departeman Pendidikan Nasional maupun
Departemen Agama.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkembangan iptek dan seni, adalah hasil dari segala langkah dan pemikiran untuk
memperluas, memperdalam, dan mengembangkan iptek dan seni. Dari uraian di atas
dapat dipahami, bahwa peran Islam yang utama dalam perkembangan iptek dan seni
setidaknya ada 2 (dua). Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma
pemikiran dan ilmu pengetahuan. Kedua, menjadikan syariah Islam sebagai standar
penggunaan iptek dan seni. Jadi, syariah Islam-lah, bukannya standar manfaat
(utilitarianisme), yang seharusnya dijadikan tolok ukur umat Islam dalam
mengaplikasikan iptek dan seni.
Untuk itu setiap muslim harus bisa memanfaatkan alam yang ada untuk perkembangan
iptek dan seni, tetapi harus tetap menjaga dan tidak merusak yang ada. Yaitu dengan
cara mencari ilmu dan mengamalkanya dan tetap berpegang teguh pada syari’at Islam.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan para pembaca memahami bagaimana
sebenarnya paradigma islam itu dalam menyaikapi Ilmu pengetahuan, Teknologi dan
seni tersebut. Selain itu, para pembaca juga diharapkan mampu memahami bagaimana
integrasi Imtaq (Iman dan Taqwa) dalam Iptek dan seni tersebut.
Karena semakin berkembangnya zaman, keberadaan Iptek dan seni sangat berpengaruh
terhadap kepribadian hidup manusia. Untuk itu diperlukan pegangan yang berfungsi
sebagai pengendali akan adanya perubahan-perubahan tersebut.
Akan tetapi makalah kami masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan saran dari
pembaca sangat kami butuhkan guna pembuatan makalah kami berikutnya yang lebih
baik.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1969. ‘Aisyah, Maqa1 fi al-Insan; Dirasah Qur’aniyyah. Mesir: Dar al-
Ma’arif. Al-’Ainain, Ali Khalil Abu. 1980. Falsafah at-Tarbiyah al-Islamiyyah fi al-
Qur’an al-Karim. Mesir: Dar al-Fikri al- ’Araby.

Asy-Syaibany, Omar Muhammad at-Toumy. 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Terj.


Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.

Asy’ary, Musa. 1992. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur’an. Yogyakarta:


Lembaga Studi Filsafat Islam.

Daradjat, Zakiah. 1992. llmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Bumi Aksara.

Idris, Zahara dan Lisma Jamal. 1992. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Gramedia.

Muthahhari, Murtadha. 1986. Memahami al-Qur’an. Terj. Agus Fahri Husein. Jakarta:
Yayasan Bina Tauhid.

Mulkhan, Abdul Munir. 1993. Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat


Pendidikan Islam dan Dakwah. Yogyakarta: SIPRESS.

Nasution, Harun. 1987. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta:
UI-Press.

Nawawi, Hadari. 1993. Pendidikan daIam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.

Quthb, Muhammad. 1993. Manhaj at-tarbiyah al-Islamiyyah. Kairo: Dar asy-Syuruq.

Vous aimerez peut-être aussi