Vous êtes sur la page 1sur 20

PROLOG

Bani Iftitah Bararah. Pagi itu, terpampang jelas nama lengkap ku dipapan pengumuman
suatu Universitas Negeri disalah satu kota Semarang. Saatku baca ulang, tak ada satu kata-pun
yang berubah, tetap sama “Fakultas Kedokteran prodi Ilmu Gizi”. Namaku ada diurutan ke
sembilan dari lima puluh Mahasiswa/i baru di Universitas Negeri itu. Dengan jalur SBMPTN, aku
mampu bersaing bersama ribuan calon Mahasiswa/i baru dari seluruh Indonesia untuk masuk
ke Universitas Negeri ternama di Kota Semarang itu.

Walaupun nama-Ku, Bani, aku adalah seorang perempuan. Sungguh, aku benar-benar
seorang perempuan walau adik-Ku yang paling kecil memanggilku “Abang”. Tidak hanya adikku
sih, Adikku yang duduk dibangku Sekolah Menengah Kejuruan pun sering memanggilku
“Abang”, bahkan orangtua-Ku mengikuti.

Aku lahir di Jakarta, 3 Maret 2000. Walau aku lulus dari bangku Sekolah Menengah
Kejuruan diumur yang masih terbilang muda, aku mampu bersaing dan memahami setiap kata
yang diucapkan oleh orang yang lebih tua dari-Ku. Bukan sok tua, tapi menyesuaikan dengan
yang lebih tua.

Saat jari telunjuk ini menyusuri lembaran pengumuman hingga ke barisan bawah nama
Mahasiswa/i baru, aku menemukan nama salah seorang sahabat-Ku yang berasal dari Kota
Salatiga. Farah Faustina, itu namanya. Aku dan Farah baru sekali bertemu saat “Bedah Kampus”
di Institut Pertanian Bogor. Grup beasiswa dari salah satu media sosial mempertemukan kami.
Kita saling memperkenalkan diri digrup, sampai akhirnya Farah menanyakan tentang sekolah
kesehatan kepada seluruh anggota digrup. Hanya aku yang menjawab. Tanpa malu-malu, Farah
memulai percakapan pribadi denganku. Kami berkenalan sedemikian rupa dan sampailah
disuatu titik dimana aku dan Farah mulai dekat sebagai seorang teman. Bukan, lebih tepatnya
seorang sahabat.

“Hei,” teriakan itu seperti ku kenal. Suara perempuan sebaya denganku.

“Bani..” lanjutnya.

Aku berusaha untuk keluar dari penuhnya lautan manusia disekitar papan pengumuman,
lalu aku mengikuti sumber suara yang memanggilku tadi.

“Farah..” ucapku terkejut saat salah seorang wanita dengan tinggi semampai menarik tanganku.

Farah mengajakku ke sebuah tempat duduk yang berada dibawah pohon rindang.

“Kamu kapan sampai di Semarang? Kok nggak minta jemput aku?” beginilah Farah, walau hanya
sering berkomunikasi di media sosial denganku dan baru bertemu sekali, tapi seakan-akan
seperti sering bertemu.

“Aku sampai di Semarang kemarin siang Far. Kan biar surprise ke kamu. Hehehe...” aku selalu
santai saat menjawab pertanyaan dari Farah sang wanita panikan. Aku menyejukan tubuhku
saat duduk dibangku bawah pohon rindang ini.

“Kamu ngekost dimana?” tanya Farah.

“Mau tau aja..” jawabku. Farah melirikku tajam.

“Hahaha... enggak enggak. Aku ngekost deket-deket sini aja kok.” Lanjutku sembari senyum
simpul.

“Coba aja kemarin siang kamu minta jemput aku distasiun, pasti kita satu kost-an
sekarang. Kan biar gantian gitu. Waktu itu kamu yang jemput aku distasiun Gambir, sekarang
aku yang harusnya jempu kamu.” Ucapnya dengan rasa sesal.

Sekitar empat bulan yang lalu, aku baru bertemu dengan Farah di IPB dengan
penampilannya yang masih kayak anak sekolah pada umumnya. Tapi saat masuk kampus
sekarang, Farah seperti benar-benar sudah jadi anak kampus yang sebentar lagi menyelesaikan
skripsi.

“Kalo kamu jemput aku distasiun kemarin, nggak menutup kemungkinan kalo kita bakal satu
kost. Orang aku udah dari bulan lalu pesen kamar kost itu.” Dengan nada bercanda aku
membuat Farah menjadi sedikit kesal.

Farah menyenggol pelan tubuhku. Aku menyenggol tubuh Farah balik. Kita jadi seperti
anak kecil.

Setahun silam, aku sempat tidak mendapatkan restu dari orangtua-Ku mengenai sekolah
di luar kota. Dengan 1001 jurus merayu yang ku beri waktu itu, dan Alhamdulillah sekarang
orangtuaku merestui dan meridhoi jalan yang ku tempuh saat ini.

“Gimana kalo kita makan dikedai yang paling terkenal di Semarang” ajak Farah menggandeng
tanganku. Emang deh Farah nih Tour Guide paling asik se-Kota Semarang. Belum apa-apa udah
diajak makan.

“Dimana? Jauh nggak? Ntar aku nggak bisa pulang ke kost-an..” aku menatap Farah dengan
sedikit keraguan. Tetapi, selalu ada cara untuk menepis keraguan itu.

“Google Maps! Kita nyasar di IPB aja bisa pulang lagi kan, apalagi disini.” Farah menjawab semua
keraguan

“Kamu kan janji mau cerita sama aku, kenapa kamu bisa direstuin buat kuliah disini.” Farah terus
menggeretku hingga keluar kampus.

Aku janji sama Farah untuk cerita semuanya, kenapa aku bisa kuliah disini.

Menaiki angkutan umum di Kota Semarang memang benar-benar sangat


menyenangkan. Selama dua tahun belakangan ini aku jarang sekali naik angkutan umum di Kota
asal-Ku. Paling sering saat aku masih duduk dibangku SMP. Saat masa-masa duduk dibangku
SMK, aku lebih sering menggunakan kendaraan sepeda motor. Banyak alasan kenapa aku lebih
suka mengendarai sepeda motor, salah satunya karena mengendarai sepeda motor lebih irit
dibandingkan dengan naik angkutan umum. Tekhnologi zaman sekarang canggih-canggih, ada
sepeda motor irit bahan bakar-Lah, ini-Lah, itu-Lah. Pokoknya banyak alasan kenapa aku lebih
suka mengendarai sepeda motor saat pergi kemana-mana.

Sekitar 5 menit berlalu, aku dan Farah berhenti didepan sebuah kedai makanan yang tak
asing ku lihat saat di Kota asal-Ku.

“Ini mah juga ada di deket rumah-Ku..” ujar-ku tersenyum senang kepada Farah yang tengah
membayar ongkos angkutan umum.

“Hah masa sih?!” Farah terkejut mebalikkan badannya kepada-Ku dan berusaha untuk meminta
jawaban sesuatu dari-Ku.

Aku tetap serius menatap kedai makanan ini, dan hanya mengangguk yang ku berikan ke
Farah.

“Ya udah yuk masuk, aku pengen tau makanan apa yang dijual disini.” Sedikit bumbu-bumbu
candaan, Farah akan terkejut dengar pengakuan-Ku nanti.

Aku dan Farah memasuki kedai itu. Farah sedikit bingung dengan seluruh pegawai yang
menyapa-Ku.

Farah memilih tempat duduk yang dekat dengan jendela. Karena dari jendela dapat
terlihat pemandangan indah Kota Semarang. Pantas, Semarang sejuk, still cool.

Seorang pramusaji menyodorkan menu kepada kami dan menyapa-Ku. Farah memilih
dengan cepat makanan yang dipesannya, seolah-olah ia sangat sering makan disini. Aku-Pun
tidak kalah dengan Farah. Aku memesan satu minuman Tropical Red kesukaan-Ku, lalu makanan
menyusul. Karena aku hanya ingin mengahabiskan waktu mengobrol dengan Farah.
“Kok pegawai disini kenal sama kamu?” tanya Farah dengan duduk rapih seperti anak TK.

Aku menaikkan pundakku sambi tersenyum simpul.

“Oh iya, aku masih nyimpen foto kita yang kamu bingkai waktu itu nih. Lucu ya..” Farah
menunjukkan sebuah bingkai yang memang sengaja ku kirim padanya untuk kenang-kenangan.

Bingkai itu berisikan foto aku dan Farah saat berselfie ria di sekeliling kampus IPB, di
Auditorium Toyib Hadiwijaya, di Penginapan, di Kebun Raya Bogor, dan ditempat yang kami
kunjungi lainnya.

Aku terus bercerita-cerita dengan Farah sampai waktu hampir sore. Menghabiskan
waktu seperti sudah lama tidak bertemu. Dan akhirnya ku buka semuanya, kedai ini milik
orangtua-Ku, cabang ini adalah cabang ke delapan di Kota Semarang. Sebenarnya, Farah tau
semuanya tentang usaha keluarga-Ku, tetapi Farah tidak mengetahui jika orangtua-Ku membuka
cabang di Semarang.

Sejenak ku lamunkan pandangan-Ku ke arah jendela yang berisikan pemandangan sawah


nan hijau, asri, sejuk, dan indah. Jadi teringat pertama kali kenal sama Farah.
FARAH FAUSTINA

Baru liburan naik ke kelas duabelas saja, sudah hampir setiap hari aku selalu konsultasi
dengan orang kepercayaan-Ku, dengan malaikat tak bersayap milik Abi-Ku, yaitu Ummi.

“Mi, aku mau dong masuk fakultas kedokteran di Undip. Masuknya 25jutaan. Uang kuliah
tunggalnya lima ratus ribu sampai satu juta lebih kalo masuknya lewat jalur SNMPTN atau
SBMPTN.” Ku ikuti setiap langkah Ummi kemana-pun Ummi jalan. Ke dapur, ke teras, sampai ke
kamar mandi aku ikuti terus beliau hingga aku selesai berbicara mengenai kuliah.

“Kedokteran?” langkahnya terhenti didapur dan membalikkan tubuhnya kepada ku yang sedang
berbicara dibelakang beliau.

“Iya. Aku pengen jadi dokter..” rengekku.

“Boleh. Tapi cari beasiswa.” Ujarnya singkat.

“Kedokteran mana ada beasiswanya, ada sih tapi jarang.” Jelas-Ku.

“Oke, atau nggak kamu harus dapet SNMPTN.” Ujarnya lagi.

Aku mulai putus asa dengan semua jawaban pemberian dari Ummi-Ku. Namanya anak
muda, kesel, bete, pasti buka ponsel-Nya. Aku seperti itu, karena aku masih muda. Ada satu
pesan ajakkan dari teman SMP-Ku, Septyan Wahyu, ia mengajakku untuk bergabung disalah
satu grup beasiswa. Ada beberapa syarat yang harus ku penuhi. Okelah, syaratnya gampang.
Gumam-Ku kecil. Lalu, tiga jam kemudian aku bergabung digrup beasiswa itu dengan bimbingan
salah satu mahasiswa asal Bandung. Walau teman SMP-Ku yang mengajakku bergabung tetapi
kami tidak satu grup, kami berbeda grup.

Di grup beasiswa itu, kita dilatih untuk terbiasa berbicara bahasa Inggris, sehingga jika
kita mendapatkan beasiswa kuliah diluar negeri, kita sudah mahir dalam berbicara bahasa asing.
Lalu, salah seorang bertanya digrup, “Any medical student here?” aku merasa sebagai anak
kesehatan,aku menjawabnya, “I am.” Tak lama kemudian ia memulai percakapan pribadi
dengan-Ku. Layaknya orang baru kenal. Menanyakan nama panjang, kirim-kiriman foto, sampai
menanyakan hobi.

Digrup beasiswa itu memang memiliki peraturan yang menantang, salah satunya, wajib
berbicara menggunakan bahasa Inggris pada saat berbicara digrup, tetapi khusus hari sabtu
dan minggu, boleh menggunakan bahasa Indonesia. Ya intinya, agar setiap anggota digrup bisa
menguasai bahasa Inggris. Namanya juga grup beasiswa, bisa jadi sewaktu-waktu ada salah satu
anggota grup beasiswa yang mendapatkan beasiswa ke luar Negeri.

Farah Faustina, nama itu selalu ada dibarisan percakapan-Ku di sosial media. Hampir
setiap hari, setiap jam, setiap menit kita selalu mengobrol. Farah adalah salah satu sahabat-Ku
yang ku kenal dari salah satu sosial media. Hal yang selalu kami bicarakan adalah, “MASA
DEPAN”, mau kuliah dimana? Fakultas apa? Kalo udah lulus gimana? Dan masih banyak lagi. Aku
dan Farah sama-sama ingin masuk ke Fakultas Kedokteran di Universitas Diponegoro, layaknya
sahabat, kita sangat senang memiliki teman satu rencana.

Berbagai materi belajar sehari-hari sampai soal SBMPTN, Farah sering berbagi denganku.
Farah membagikannya pada-Ku, aku yang mendownload soal-soal itu, aku kirim lagi ke Farah,
dan dia juga yang menjawab semua soal SBMPTN. Kami saling mengirimi e-mail, mengirim
kebahagiaan. Hahaha..

Kami sering satu grup disosial media. Contohnya: Grup SAINTEK SBMPTN’17, SAINTEK
UI, Grup SAINTEK UB, Grup SAINTEK UNAIR, dan masih banyak lagi grup yang menampung
kami.berdua. Aku jarang sekali aktif dibeberapa grup yang namanya ku sebutkan tadi. Hanya
Farah yang sering aktif digrup itu.
Hampir dua puluh grup yang ada di sosial media, salah satu anggotanya pasti ada aku
dan Farah.

“Kalo keseringan satu grup mulu, kita bisa-bisa bikin girlband ini mah, Far.” Ujar-ku tertawa.

“Hahaha.. iya ya, tapi aku nggak mau girlband, maunya idolgrup.” Jawab Farah saat kami sedang
komunikasi lewat telfon.

Ada satu rekomendasi dari Farah, yaitu aku harus mencoba salah satu aplikasi minat
bakat, youthmanual, “test minat bakat sebelum kamu menentukan jurusan yang kamu mau pilih
di Universitas nanti.” Itu-Lah yang sekiranya ada di tulisan iklan youthmanual. Aku mencoba test
youthmanual itu, dan hasilnya, aku nggak sama sekali berbakat sebagai Dokter nantinya. Jika
dibagian kesehatan, aku hanya berbakat di Ilmu Keperawatan. Dan hasil test lainnya, aku
menunjukkan bahwa ENTJ. ENTJ singkatan dari Extrovert Intuition Thinking Judging. Entah-Lah
artinya, panjang banget, bisa searching di google.

Farah memiliki hasil minat bakat yang sama dengan-Ku, tidak ada kecocokan didalam
dirinya untuk menjadi seorang dokter. Akhirnya kami putuskan untuk mengubah rencana.

“Ternyata aku nggak bakat jadi Dokter, Far.” Jelas-Ku di akun sosial media milik aku pribadi.

“Sama aku juga. Kamu hasilnya apa?” tanya Farah.

“ENTJ, sumpah ini nggak bakat jadi dokter. Kalo pun masuk fakultas dokter, takut bosen ditengah
jalan.” Jelasku.

“Iya ya, aku jadi pengen ganti nih.” Keluh Farah yang hasil youthmanual sama dengan-Ku.

“Aku ahli gizi aja deh Far.” Ujar-Ku.

“Samaaaa.. aku juga mau ahli gizi. Kita samaan mulu ya..” balas Farah dengan semangat.

Lambat laun setelah test youthmanual, aku dan Farah mulai sering membahas tentang
fakultas Ilmu Gizi. Setelah bosan membahasnya, kami membahas hal yang lebih pribadi. Lebih
tepatnya sih curhat-curhat. Bahkan, Farah menyanyikan lagu untuk menyemangati-Ku saat aku
mengerjakan tugas bahasa Indonesia membuat cerita pendek.

Mendekati Ujian Nasional, ada salah satu informasi dari Farah mengenai open house
Fakultas Gizi di IPB. Semacam ‘seminar’ gitu. Jarak yang memisahkan aku dan Farah tak
mengahalangi kami untuk bertemu diopen house ini. Sebelum kami bertemu, kami selalu
berkomunikasi lewat sosial media atau-pun pesan singkat, dan bahkan kami sering telfonan.

“Kamu jadi nggak, ban, ke IPB?” tanya Farah di telfon.

“Jadi kok, Far, ini lagi packing.” Jawab-Ku.

“Sip. Aku berangkat nanti sore. Paling sampai di stasiun Gambir sekitar subuh.” Jelas Farah.

“Siap boss, jadi ya aku jemput di gambir pas subuh, abis itu kita ke stasiun Manggarai naik
kereta yang langsung ke Bogor.” Ujar-Ku

“Atur aja-Lah, aku ikut kamu aja, hehehe..” Ucap Farah mengikuti-Ku.

Setelah siap semuanya, aku mengecek kembali barang yang akan aku bawa ke Bogor.
Terutama penginapan yang akan disewa disana.

“Nih, Ummi ongkosin ke Bogor. Besok jadi kan, jam empat subuh dianterin Abi ke Gambir?”
tanya Ummi sembari menyodorkan beberapa uang lima puluh ribuan.

“Jadi. Tapi nanti aku tanya Farah dulu, dia dari sana jam berapa. Nanti tinggal diatur jam berapa
jalan dari sini.” Jelasku.

“Iyalah atur aja..” jawab Ummi.


Sistem seminar Gizi di IPB, 20 pendaftar pertama gratis tanpa dipungut biaya. Setelah
pendaftar ke-21, bayar. Saat ini aku mendaftar sebagai peserta seminar ke-15, dan Farah ke-16.
Seminar Gizi, mendapatkan makan siang, modul, dan tanya jawab maximal dua pertanyaan per-
Orang. Maka dari itu open house berlangsung selama dua hari. Kuota pendaftar juga terbatas,
hanya 60 orang saja.

Hari menjelang pagi, seseorang memasuki kamar-Ku, membuka lemari baju-Ku, dan
mengeluarkan sesuatu dari lemari.

“Bang, bangun, udah jam tiga pagi, nih bajunya udah Ummi siapin.” Ucap Ummi yang berusaha
membangunkan-Ku. Baik banget emak nyiapin baju segala, padahal udah aku siapin baju buat
berangkat.. Gumam-Ku.

Semangat yang tinggi ingin bertemu Farah untuk pertama kalinya, aku begitu senang
mengawali hari ini. Entah Farah sudah sampai mana, sejak dari aku bangun tidur lalu
mengirimnya pesan singkat, ia belum balas juga. Mungkin masih tidur di kereta.

Tak perduli seberapa lama aku menunggu Farah di stasiun Gambir, yang penting saat ini
adalah, Farah sampai dengan selamat dan tanpa kekurangan sedikit-pun.

Jam 5 pagi, aku sudah berada didepan stasiun Gambir. Dan Abi-Ku langsung beranjak
pergi setelah mengantar-Ku. Paling beliau mampir dulu dirumah Ibu-Nya atau nenek-Ku,
dibilangan Johar Baru, Jakarta Pusat. Banyak waktu untuk beliau istirahat dirumah Ibu-Nya.

“Aku sedikit lagi sampai nih..” whatsapp Farah.

“Oke. Aku tunggu.” Balasku.

Sepuluh menit kemudian, sebuah kereta berhenti dihadapan-Ku. Anginnya menerpa


tubuhku dan koper kecilku. Pas sekali didepan pintu keluar kereta Api aku menunggu seseorang
yang ku cari, asal Kota Salatiga, Jawa Tengah. Farah Faustina Hapsari.

Seorang perempuan sebaya denganku, turun dari kereta api eksekutif asal luar Kota
dengan membawa koper kecilnya.

“Bani?” tanya-Nya.

“Iya. Farah?” tanya-Ku balik.

Kikuk. Yap, itu yang aku rasakan. Bingung harus melakukan apa.

“Oh sini kopernya aku bawain.” Ucap-Ku memecahkan keheningan diantara kita berdua.

“Nggak usah. Aku bawa sendiri aja.” Jawab Farah sambil tersenyum, berjalan menuju keluar
stasiun Gambir.

Lebih.. lebih.. lebih.. dari ketemu sama orang yang aku suka. Deg-deg-an sih nggak,
Cuma kikuk aja gitu. Biasanya kita hanya bercanda gurau di sosial media, sekarang ketemu
langsung dan bakalan satu kamar dipenginapan Bogor nanti. Kebayang-Lah gimana jadinya.

“Mau naik apa, Far?” tanya-Ku sambil melirik arloji-Ku yang menunjukan pukul setengah enam
pagi.

“Aku nggak tau naik apa aja. Kan kamu yang tau Kota Jakarta. Jadi pemandu tur aku ya, Ban,”
ujar Farah menepuk pundak kiri-Ku.

“Naik kereta lagi nggak bisa?” lanjut Farah bertanya.

“Nggak bisa, Far. Stasiun Gambir bisanya datengan dari kereta luar kota atau perjalanan jauh.
Dan sebaliknya.” Jelasku sembari mencari kendaraan yang cocok untuk ku tumpangi ke stasiun
Manggarai.

Farah mengangguk, seolah-olah mengerti. Mungkin memang mengerti apa yang ku


jelaskan. Ku harap sih ia mengerti.
Hari ini, tumben sekali jarang ada taksi yang sudah ada disaat fajar seperti ini.

Tak lama setelah itu, kami menemukan taksi yang dapat mengantar kami ke stasiun
Manggarai. Dan, sekitar dua puluh menit, kami sampai di stasiun manggari. Tanpa pikir panjang,
kami membeli e-card commuter line untuk perjalanan ke Stasiun Bogor.

“Seru ya pagi-pagi udah naik kereta aja.” Ujar Farah sembari tersenyum melihat pemandangan
sekitar saat menaiki commuter line ini.

“Kamu nggak capek apa, Far? Kan semaleman naik kereta, terus sekarang naik kereta lagi. Kaki
sehat tuh?” tanyaku sambil mencairkan suasana.

“Hahaha.. Alhamdulillah sehat kok. Cuma badan aja yang serasa goyang-goyang dikereta.” Jelas
Farah.

“Kan emang sekarang lagi naik kereta buuuu..” ujar-Ku. Terkadang aku dan Farah memiliki
panggilan yang rumpi, kalau nggak ‘mak’ ya ‘bu’. Panggilan itu-Lah yang membuat kami jadi
semakin dekat, walau keliatannya agak sedikit aneh.

Farah hanya tertawa kecil mendengar jawabanku. Sekitar sepuluh menit berlalu didalam
kereta commuter line, aku menawarkan dua potong roti tawar untuk Farah. Sebagai sarapan
dan pengganjal perut saat sebelum sampai di Stasiun Bogor. Dan, satu botol teh hangat yang
memang ku persiapkan untuk kita berdua. Aku membawa dua gelas plastik untuk teh hangat
yang ku minum dengan Farah. Walau sebenarnya dikereta tidak boleh mengeluarkan makanan,
tapi apa boleh buat, perut berteriak meminta untuk diisi. Aku yakin juga, Farah belum sarapan.

Beberapa stasiun kami lewati untuk sampai ke Stasiun Bogor. Terutama Stasiun
Universitas Pancasila dan Stasiun Universitas Indonesia. Berhubung aku dan Farah belum tamat
duduk dibangku Sekolah Menegah Atas, kalau aku Sekolah Menegah Kejuruan, jadi kami
berandai-andai akan bersekolah di Universitas Indonesia atau di Universitas Pancasila dengan
Fakultas yang kami inginkan. Misal, aku berandai kuliah di UI dengan Fakultas Hukum. Misal,
Farah berandai kuliah di Universitas Pancasila di Fakultas Komunikasi. Kami berandai-andai
bagaimana seru dan asyiknya jika kami kuliah di Universitas Pancasila atau pun di Universitas
Indonesia.

Kami menikmati perjalanan dengan tenang dan seru. Terlebih, Farah tidur dipundakku
selama lima belas menit. Hal wajar, Farah perjalanan jauh dari Salatiga ke Jakarta lalu berangkat
lagi ke Bogor. Kalau aku jadi Farah juga pasti akan sangat lelah banget.

“Far, sebentar lagi kita sampai nih di Bogor.” Ujar-Ku.

“Oh ya?” Farah mencoba untuk menengok ke jendela commuter line dibelakang-Nya.

Kata-kata terakhir dari mbak mbak commuter line, dia Cuma mengingatkan, kalau kita
mau turun dari kereta, coba di cek dulu barang-barang yang tadi kita bawa. Semoga jangan
ketinggalan. Ya, intinya kayak gitu-Lah kata mbak mbak commuter line yang lagi ngomong
dikereta barusan.

“Yuk, Far, udah sampai nih.” Sahutku.

Farah meraih koper kecilnya untuk dibawa keluar dari kereta.

“Beda ya, Far, stasiunnya. Kayak pintu masuk mall. Hahaha..” jelasku.

“Kamu tau aja aku mau ngomong gitu. Heee...” Farah nyengir dengan jelas saat menengok ke
arah-Ku.

Pukul menunjukan jam 7:16 di ponsel-Ku. Harus ku kata-Kan, ini adalah pertama kalinya
aku pergi dengan orang yang ku kenal dari sosial media. Tapi, walau gitu, Farah orang yang baik
kok.

Didepan Stasiun Bogor ada resto ternama yang sudah lama berkecimpung di Indonesia.
Ku putuskan untuk sarapan terlebih dahulu bersama Farah ditempat itu.
“Jadi berapa semuanya mba?” tanya-Ku kepada pelayan yang berada dihadapanku.

“Rp. 63.000;” jelas pelayan itu.

“Sebentar mba..” sahut-Ku sambil terus merogoh dompet-Ku yang berwarna coklat ini.

“Nih mba.. makasih ya..” ucap-Ku. Farah mencoba menghalangi-Ku bayar, dia ingin yang
membayar biaya kita makan pagi ini.

“Iya terima kasih.. silahkan datang kembali.” Sapaan terakhir dari pelayan.

Hari ini ku jadwalkan untuk beristirahat dan bersantai menikmati Kota Bogor di sekitar
penginapan. Besok dan Lusa, aku dan Farah mengikuti seminar Gizi. Dan dua hari berikutnya, ku
gunakan untuk bersantai dan jalan-jalan bersama Farah.

“Makasih ya, Ban, abis ini kalo kita makan lagi, aku yang akan bayar,” Farah menekankan
ucapannya.

“Lah..” jawab-Ku.

“Kenapa? Gantian..” tanya Farah.

“Cuma makan, nggak apa-apa kali. Nggak usah gantian.” Farah sudah datang jauh-jauh dari
Salatiga ke Jakarta, habis itu lanjut ke Bogor, bagaimana tidak iba hati ini. Bukan iba, tapi lebih
tepatnya, aku senang mentraktir teman.

“Udah nggak usah rewel, aku yang bakalan bayar.” Tegas Farah.

Setelah istirahat sejenak, aku dan Farah lanjut perjalanan ke penginapan dekat kampus
IPB. Dekat? Sekitar lima ratus meter jarak dari penginapan ke kampus IPB. Aku dan Farah masih
bingung naik apa besok untuk ke IPB.

Farah seorang anak pecinta alam, sudah lima gunung yang ada di Indonesia ia taklukan,
bahkan lebih dari lima. Aku, Pramuka penegak pangkat Laksana. Ikut saka Bahari sudah hampir
setahun lamanya. Walaupun terhitung baru, aku sudah mengelilingi Indonesia menaiki kapal
laut bersama teman-teman dari saka Bahari. Bahkan tak jarang, aku dan teman-teman saka
Bahari menginjakkan kaki di puncak Gunung di Indonesia. Pokoknya, aku dan Farah, sudah
terbiasa berkeliling Indonesia dengan lewat mana-pun, dan kondisi apa-pun.

“Anak pramuka kan?” tanya Farah.

“Iya..”

“Besok kita jalan aja yuk dari penginapan ke IPB, biasa jalan kan?” Farah menegaskan dengan
begitu sangat yakin.

Aku mengangguk sambil tersenyum semangat. “Sip, kita jalan..”

Tidak salah aku pesan via online di penginapan ini. Tempatnya nyaman, pelayanan-Nya
baik, dan udara disekitarnya asri.

Kamar yang ku pesan terdiri dari satu tempat tidur, satu lemari, satu sofa, satu pendingin
ruangan, satu TV LCD Flat, Meja rias, dan satu kamar mandi. Murah, meriah, dan mewah.
Serius, ini adalah kamar penginapan yang paling murah sepanjang aku pesan kamar saat aku
pergi berlibur dengan keluarga-Ku.

Sprei kasur-Nya lembut, udaranya sejuk, jadi betah berlama-lama tiduran didalam kamar.

“Kamu izin ke sekolah, bilangnya apa, Ban?” Farah yang ku kenal di sosial media dan di aslinya
ternyata sama aja. Sama-sama bawel.

“Bilang apa? Ya jujur, Far, terus sama sekolah diizinin deh.” Jawab-Ku singkat.

Farah mengangguk-angguk mengerti jawaban dari-Ku.


“Masih jam sepuluh pagi nih, Ban, kita mau kemana?” tanya Farah sembari merapihkan bajunya
ke dalam lemari. Wajar kami memasukkan baju kami ke dalam lemari, kami disini menginap
selama lima hari.

“Mau kemana?” sontak aku terbangun dari ranjang-Ku.

“Yeee.. malah nanya balik.” Ujar Farah.

“Hehehe.. maap atuh, lagi enak banget ini rebaan,” setiap detik dan menit di Bogor bersama
adalah waktu bersama Farah.

“Apa kita survey aja ke kampus IPB? Habis itu, kita cari makan siang disekitaran dekat situ..”
lanjut-Ku.

“Boleh tuh..” selesai merapihkan baju-Nya, Farah mulai bersiap untuk jalan-jalan ke sekitar
kampus IPB, begitu juga dengan-Ku.

Selama perjalanan menuju kampus IPB, aku dan Farah menghabiskan waktu dengan
berfoto atau hanya sekedar mengobrol biasa.

“Ih kita pakai gelang yang sama ya, Far,” sahut-Ku yang membandingkan gelang kita berdua.

“Ih iya ya, kok bisa sama ya, Ban.” Farah mengikuti tingkah konyol-Ku. Kita berdua sebenarnya
tau, gelang yang kita kenakan sekarang adalah gelang yang kita beli pakai uang sendiri di online
shop. Gelang yang Farah pakai, bertuliskan FF – FK, yang artinya “Farah Faustina – Fakultas
Kedokteran” gelang ini adalah salah satu barang yang membuat kita jadi teringat akan rencana
awal kita masuk ke Universitas.

“Gelang kamu kok tulisannya BI – FK?” Farah mengikuti pembicaraan konyol ini.

“Iyalah. Ini artinya, “Bani Iftitah – Fakultas Kedokteran” gitu Far.” Jelasku dengan tawa bahagia.

“Ngikutin ih, nggak kreatif dasar.” Farah benar-benar mengikuti pembicaraan konyol ini.

Aku dan Farah benar-benar menikmati masa-masa waktu berdua. Kayak orang pacaran,
bukan, kayak sahabat. Bahkan, hubungan persahabatan aku dan Farah jauh lebih romantis dari
pada hubungan pacaran anak-anak zaman sekarang.

Semua berkat Farah, karena Farah yang memulai semuanya. Mulai dari perkenalan,
hubungan kita semakin dekat, sampai curhat-curhat, dan sampai jalan bareng kayak gini. Andai,
bukan Farah yang mulai, hari ini, jam ini, menit ini, detik ini, aku nggak akan ada di Bogor.

Lalu, disekitar kampus IPB, ada beberapa warung makan di pinggir jalan. Ada sate
madura, Rumah Makan Padang, dan banyak lagi. Ternyata di Bogor juga memiliki banyak aneka
warung makan pinggir jalan dari berbagai suku di Indonesia. Lalu, aku mencoba masakan khas
madura. Farah, mencoba makan masakan khas Bandung.

Jadwal aku dan Farah setelah ini adalah sholat dzuhur di Masjid Al-Hurriyyah IPB. Wah
senangnya bisa masuk ke dalam kampus IPB dan sholat di Masjid Al Hurriyyah..

Untungnya, besok dan lusa adalah open house Gizi, jadinya, kampus IPB benar-benar
sedang terbuka untuk umum. Banyak anak sekolah se-usia-Ku datang mengunjungi kampus IPB,
ada yang hanya sekedar berkunjung, ada yang sedang bedah kampus, dan ada yang sedang
bayar administrasi untuk seminar Gizi besok.

Masuk kampus IPB, masuk ke dalam Masjid Al Hurriyyah, sholat berjama’ah bersama
Mahasiwi IPB, aku seperti sudah menjadi Mahasiswi di IPB. Apalagi sambil menghayal, andai,
aku masuk IPB, pasti aku akan memilih masuk D3 Ilmu Komunikasi atau S1 Ilmu Ekologi
Manusia. Banyak hayalan terjadi di dalam kampus ini, mending aku dan Farah cepat-cepat
keluar dari kampus ini, agar hayalan-Ku tidak tinggi sampai menembus langit ketujuh.

Terik matahari menusuk tubuh-Ku, seolah sinarnya hanya tertuju padaku. Ku lirik Farah,
Farah terus bermain ponselnya. Aku jadi bingung untuk memulai percakapan. Akhirnya, aku
terus berjalan ke arah penginapan tanpa ada obrolan apa-pun di jalan.
Rasanya lebih baik saat sampai dikamar. Mata ini lelah sekali untuk terus melihat
sekeliling kamar dan memulai pembicaraan dengan Farah. Ku baringkan tubuh ini di ranjang
yang sangak nyaman dan empuk.

“Di grup SBM, lagi ram..” baru sepatah dua kata, Farah berhenti bicara.

“Yeh, ternyata si Bani udah tidur.” Aku sempat mendengar saat Farah bicara, namun aku ingin
menjawab-Nya, mata ini tak tahan untuk tidur lebih dalam.

Terkadang disaat kita memejamkan mata, atau saat tertidur, terkadang kita bermimpi
sesuatu yang sulit untuk dijabarkan peristiwa tempat dan kejadiannya, alur ceritanya, bahkan
tokohnya. Tapi, entah kenapa, saat bangun tidur, aku hafal jalan cerita didalam mimpi tersebut.
Karena mimpinya aneh, aku langsung bangun dari tidur. Melihat jam di dinding, ternyata sudah
jam setengah lima sore.

Aku melihat Farah yang masih tertidur pulas, tak tega untuk membangunkan kondisinya
yang sedang dalam kondisi lelah. Aku langsung bergegas mandi dan sholat ashar. Begitu ku
selesai sholat, Farah sudah memasuki kamar mandi dan ku rasa ia bergegas untuk menunaikan
sholat ashar juga.

Yah, gelang aku mana ya, ucapku kecil. Seingat aku tadi, pas lagi mandi aku ngga pakai gelang
atau jam tangan. Pas wudhu juga ngga pakai gelang. Apa gelangnya jatuh dijalan? Kalau Farah
tau ini semua pasti dia bakalan kecewa, pasalnya, gelang ini kita beli di online shop pakai uang
kita sendiri dengan cara nabung.

Aku memperlambat melipat mukena agar Farah tidak sadar kalau aku nggak pakai
gelang yang kita beli bersamaan.

“Yah, Bani, gelangnya basah,” rengekan itu membuat aku semakin deg-deg-an dengan hal apa
yang akan terjadi.

“Hah?! Basah. Oh..” aku jadi tidak karuan menjawab perkataan Farah.

Aku berharap, sampai pulang dari Bogor nanti dan sampai nanti kita balik ke Kota kita
masing-masing, Farah tidak akan menanyakan perihal gelang. Semoga saja.

Kami mengobrol didalam kamar sampai menunggu adzan maghrib. Banyak hal yang kami
bicarakan, mulai dari kegiatan kami disekolah sehari-hari, kesulitan mengerjakan tugas,
merancang masa depan, sampai membahas perihal open house Gizi besok.

Sholat maghrib sampai sholat isya telah kami kerjakan bersama-sama, makan malam
pun bersama-sama. Sampai akhirnya, Farah tertidur lebih dulu di jam setengah sepuluh malam.
Farah memang tidak bisa tidur sampai larut malam. Beda dengan diriku yang tahan kantuk
sampai larut malam, bahkan terkadang sampai pagi.

Namun entah kenapa mata ini tak tahan kantuk di jam 00:21, lalu aku tertidur hingga
pagi, dan disaat itu terbangun dengan suara perempuan sebaya-Ku yang cukup membuat ku
sedikit tergaanggu.

“BANI!!!!!!!!!!! UDAH JAM 5 PAGI INI.” Rasanya kantuk ini baru terbuang 5% tetapi sudah harus
bangun karena fajar akan menyapa-Ku di langit Kota Hujan.

Rasa lelah ini terus menggelayuti setiap langkah kecilku saat menuju kamar mandi.
Lamaku berkaca dicermin kamar mandi, aku seperti orang yang tidak pernah tidur selama
berhari-hari, mencoba memejamkan mata sebentar didalam kamar mandi. Tapi, lagi, dan lagi
suara perempuan sebaya dengan-Ku mencoba mengingatkan aku untuk bergegas. Padahal,
seminar Gizi akan mulai pada jam sembilan pagi.

Semangat!! Karena sudah sarapan.

Hari ini aku bersemangat memulai hariku disini, walau belum kuliah tapi rasanya seperti
kuliah, banyak sekali orang yang mengikuti seminar ini. Di depan kampus IPB banyak sekali
orang, 60 orang yang ikut seminar seperti 1000 orang.
“Far, duduk disini aja..” aku memilih bangku dibarisan yang tengah, jadi, terlihat jelas
narasumber yang nantinya akan menjelaskan materi kepada audience.

“Huh, akhirnya duduk juga ya, Ban,” meregangkan tubuh saat kelelahan atau sehabis olahraga
memang enak. Aku jadi ikut-ikutan Farah meregangkan otot-ototku. Latah nih ya..

Sip, narasumber sudah memulai pembicaraan. Ada beberapa hal yang dibahas diseminar
ini. Seperti apa saja manfaat mempelajari ilmu Gizi, tujuan mempelajari ilmu Gizi, dan lainnya.

Setengah jam lagi, akan selesai seminar Gizi ini, semoga bermanfaat dan ilmunya akan
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Narasumber ternama alumni Universitas Diponegoro itu terus menceritakan


pengalamannya selama kuliah di jurusan Ilmu Gizi. Mulai dari pengalaman pertama masuk
kampus sampai praktek kejuruan diluar Kota. Beliau baru lulus kuliah Ilmu Gizi sekitar dua tahun
yang lalu dengan nilai IP tertinggi dikampusnya. Narasumber yang tepat dan pas untuk menjadi
motivasi ke depannya.

“Akhirnya selesai juga ya,” Farah begitu antusias setelah seminar selesai. Beberapa buku tulis
yang tadi sempat ia pegang, kini ia masukan ke dalam tas kecilnya yang berwarna biru muda itu.

“Ayo bang, kita pulang,” lanjut Farah mengajakku balik ke penginapan.

“Bang? Kenapa jadi ikut-ikutan keluarga aku, manggil aku Abang.” Tanyaku keheranan.

“Abisnya kamu pantes aja gitu dipanggil abang, hahaha..” ujarnya.

Aku sering menerima panggilan itu sebagai bonus dari namaku, Bani. Tak jarang, orang
bahkan memanggil-Ku banban, untuk menghindari panggilan Ban. Cuma beberapa orang yang
seperti itu, dengan alasan ‘Menjaga perasaan-Ku agar tidak disamakan dengan Ban motor atau
ban mobil.’

“Nggak kerasa ya, Far. Seminarnya cepet banget, Tinggal besok deh, sesi Question and Answer
dari peserta seminar dan narasumber.” Pandanganku terus mengarah pada tukang jualan
makanan yang ada dipinggir jalan

“Iya, tiga hari lagi kita balik ke Kota asal kita.” Nada ia berbicara membuatku sedikit sedih,
ditambah lagi angin yang menghempaskan kesejukannya pada tubuhku.

Jam menunjukkan pukul lima sore, tetapi aku dan Farah belum juga balik ke penginapan,
dengan alasan masih menikmati udara dan suasana sore di Kota Bogor. Beberapa mahasiswa
dan mahasiswi kampus IPB simpang siur lewat dihadapan aku dan Farah. Sebenarnya, aku nggak
begitu fokus saat menikmati santapan sore ini, karena ada beberapa mahasiswa yang lewat
didepanku lalu berhenti hanya sekedar bertanya “Kamu peserta seminar Gizi tadi ya?”

“Jadi berapa semuanya pak?” Baru ketemu Farah dua hari, aku sudah mengenal dengan baik
karakter darinya. Ia benar-benar menjaga setiap ucapannya. “..... abis ini kalo kita makan lagi,
aku yang akan bayar” dan terbukti pada hari ini, Farah membuktikan ucapannya.

“Makasih ya, Far, jadi repot.”

“Sama-sama, ih biasa aja kali, nggak repot, kalo repot mah aku ngangkat kereta dari Bogor ke
Manggarai,” ujarnya sembari memasukan beberapa lembar uang kertas ke dalam dompet.

“Itu baru repot,” lanjutnya.

Adzan maghrib berkumandang dengan merdu di langit yang hampir kehabisan mega ini.
Tanpa pikir panjang, aku langsung berjalan menuju masjid terdekat disekitaran kampus IPB.
Mungkin ini yang dirasakan anak rantauan, rindu akan suasana rumah tetapi hati kecil ingin
sekali tetap disini untuk menempuh takdir yang indah dari Allah SWT.

Ya Allah.. jika memang jalan terbaikku untuk menempuh pendidikan dikota asal-Ku dan
tetap tinggal bersama orangtuaku, aku terima dengan ikhlas. Apabila aku menempuh
pendidikan diluar kota dan jauh dari orangtua, aku ikhlas jauh raga dengan orang terkasih,
tetapi dekatkanlah terus hati ini dengan jiwanya. Luluhkan-Lah hati orangtua-Ku agar merestui
dan meridhoi setiap jalan yang aku tempuh dengan cara yang halal. Aamiin..

“Kamu berdoa khusyu banget ya, udah hampir mau isya tuh, Ban.” Farah menunjuk jam di
dinding masjid.

“Eh, iya, hehehe.. maaf ya, Far. Kita isya disini aja sekalian ya..” jelasku.

“Sip deh,”

Rasa tidak enak ini terus menghantui hatiku. Tidak enak pada Farah yang terus
menunggu-Ku berdoa sampai hampir setengah jam dan gelang kita yang sama, hilang. Tapi
sedikit-Ku lirik Farah, ia seperti tidak marah, apa memang ia tidak marah? Atau ini hanya
perasaan sedih-Ku yang tiba-tiba muncul karena mengingat orangtua-Ku belum memberi ke-
ikhlasan kepada ku untuk kuliah diluar kota.

Sehabis sholat Isya, aku dan Farah balik ke penginapan. Dengan harapan, Farah tidak
marah dengan-Ku.

“Kok tumben ya, aku udah ngantuk, padahal masih jam delapan,”

Bruukkk...

Farah membaringkan tubuhnya diranjang single milik penginapa ternama di Kota Bogor
ini.

“Aku juga ngantuk banget, Far, mau tidur..” kata-Ku sembari merapihkan beberapa baju yang ini
ku persiapkan untuk mandi.

“Mandi dulu..” sahut Farah.

Aku berusaha menahan kantuk ini, sambil terus menikmati air yang mengalir dari
shower.

Hari ini hanya mengikuti seminar dari narasumber, tetapi sepertinya, hari ini lebih lelah
dari kemarin. Padahal, kemarin aku jalan-jalan terus sama Farah.

Tepat pukul setengah sembilan malam, aku mulai meregangkan otot-otoku di ranjang
single. Seperti perkiraan-Ku, tak lama setelah tiduran diranjang, aku langsung tertidur lelap
sampai pagi.

Lagi dan lagi, aku mendengar suara perempuan sebaya dengan-Ku terus mengoceh
ditelinga-Ku,

“BANI?!!”

“HAH?!” aku terkejut, sontak langsung berdiri.

Farah yang melihat tingkah laku-Ku, hanya tertawa seperti menonton hiburan stand up
comedy.

Aku dan Farah sangat senang, karena hari ini, hari terakhir seminar Gizi. Dan, masing-
masing peserta akan mengajukan maksimal dua pertanyaan, lalu dijawab satu-persatu oleh
narasumber.

Jalan lagi, jalan lagi, jalan lagi.. gini nih resiko nggak pernah googling angkutan umum di
Kota Bogor, jadinya kemana-mana harus jalan. Walaupun begitu, aku dan Farah sangat
menikmati seminar di kampus IPB sekaligus berwisata.

Akhirnya sampai juga di auditorium IPB, menyaksikan narasumber berbicara lalu kami
dikasih kesempatan menulis pertanyaan kami disecarik kertas dan akan dikumpulkan pada
mentor yang dari kemarin memandu kami dalam mengikuti seminar.
“Ya.. teman-teman sekalian, karena banyak sekali pertanyaan yang hampir sama, jadi kami akan
rangkum menjadi beberapa pertanyaan saja, agar tidak memakan waktu.” Jelas pemandu acara
seminar itu.

“Kirain aku, kita bakal kontak langsung sama narasumber..” bisikku pada Farah.

Farah hanya senyum simpul sambil terus mencatat beberapa kalimat penting yang
diucapkan narasumber.

Aku puas sekali saat pertanyaan-Ku telah dijawab oleh sang narasumber. Walau
pertanyaan-Ku sama seperti peserta lain. Hanya Farah yang berbeda, pertanyaan yang ia ajukan
sangat menyentuh hati narasumber. Tidak hanya narasumber, bahkan para peserta seminar di
Auditorium Toyib Hadiwijaya. “Bagaimana cara anda, bisa masuk Fakultas Ilmu Gizi?” sekiranya
seperti itu-Lah pertanyaan yang Farah tanyakan.

Sang narasumber menjawab, “Cara saya masuk Fakultas Ilmu Gizi di UNDIP itu,
gampang. Saya mengikuti semua apa kata Ibu saya. Berhubung saya Cuma punya Ibu, Ayah udah
meninggal soalnya. Hehehe.. jadi saya terus mengikuti apa kata Ibu saya. Pertamanya Ibu saya
tidak menyetujui saya untuk masuk ke UNDIP. Ya masalah biaya jadi nomer satu, soalnya kan
saya anak yatim dari kelas 6 SD. Udah gitu adik saya ada 4. Ada yang udah sekolah, ada yang
belum. Jadi saya harus berbagi dana untuk adik-adik saya. Diumur saya yang ke 17 tahun, saya
beda dari teman-teman saya, saya menjauhkan diri dari teman-teman saya, soalnya pada saat
itu, saya sekelas dengan teman-teman yang orang kaya. Saya takut diajak main ke tempat yang
aneh-aneh bahkan saya takut kalo diajak main ke kafe mahal. Dan saya juga dilarang sama Ibu
saya. Jadi saya lebih milih dirumah aja seharian, bantu Ibu jaga adik selagi Ibu kerja. Saya inget
banget kata-kata Ibu saya waktu habis bagi rapot ‘kalo emang nantinya kamu nggak kuliah
karena keterbatasan biaya, kamu nggak usah kuliah ya..’ saya mau menangis saat itu, tapi gengsi
ya, cowok.. hehehe. Saya terima-terima aja waktu itu, karena memang kondisi keuangan
keluarga saya sedang tiris. Alhamdulillah, pas lulus SMA saya keterima di UNDIP dengan jalur
undangan atau SNMPTN, udah gitu teman Ayah saya waktu SMA, membiayai saya kuliah dengan
alasan, kesuksesan yang didapat beliau sekarang berkat Ayah saya. Sontak saya dan Ibu saya
terkejut dan hanya bisa sujud syukur kepada Allah SWT, atas rezeki yang indah ini.......blablabla”

Setelah adzan dzuhur, acara seminar selesai, lalu diikuti dengan sesi foto bersama ”Open
House about ILMU GIZI tahun 2017”

Aku dan Farah pulang ke penginapan, tidak seperti kemarin.

“Aku pengen nangis denger cerita dari narasumber itu..” ujarku sambil memilih minuman
didalam minimarket.

“Iya ya, emang sih, ridho orangtua ridho Allah juga. Jadi pengen pulang ke Salatiga. Hehehe..”

“Udah yuk bayar, kamu udah selesai kan?” Farah memimpin jalanku di dalam minimarket itu
dengan membawa beberapa botol minuman dan makanan ringan untuk kami makan di
penginapan.

Kira-kira kapan ya aku jujur sama Farah, kalo gelang yang aku pakai udah ilang? Gumamku.

Terik matahari perlahan mulai pudar rasanya di kulit wajahku. Senja akan tiba, udara
dingin di Kota Bogor mulai menampakkan keberadaannya dengan mengibaskan bagian belakang
kerudung yang ku kenakan.

Farah begitu santai menikmati udara hampir senja di Kota Bogor, tapi, aku nggak santai
karena gelang yang biasa kami kenakan, hilang.

Saat masuk ke penginapan, seperti biasa, petugas keamanan menyapa dengan ramah
aku dan Farah. Lalu, aku bergegas masuk ke dalam lift, dan menuju ke lantai empat, dimana aku
dan Farah menyewa kamar itu.

Didalam lift sangat hening, untuk melupakan sejenak gelang-Ku yang hilang, aku
memulai pembicaraan.
“Far?”

“Heh?” jawab Farah yang terus melihat ke arah bagian tombol lift.

“Ih, kamu marah ya sama aku?”

“Marah kenapa? Enggak..”

Mana mungkin Farah marah dengaku tanpa sebab, lagian dari tadi aku dan Farah biasa-
biasa aja. Bahkan, aku dan Farah sempat foto berdua dan bahagia banget pas di Auditorium
Toyib Hadiwijaya. Mungkin aku terlalu sensitif liat Farah yang diam tanpa sebab kayak gini.

Aku sampai dikamar dengan nomor 412, tempat aku dan Farah menginap selama tiga
hari ini.

“Ban, kamu mau apa? Mau teh pucuk yang biasa atau teh pucuk yang less sugar?” tanya Farah.
Ia terus membuka kantong plastik yang penuh dengan makanan.

“Yang biasa aja,”

Aku terus bercanda dengan Farah sampai langit telah berubah menjadi gelap warnanya.
Sebagaimana mestinya kewajiban seorang Muslim/Muslimah, menunaikan sholat wajib, aku
dan Farah menunaikan sholat Maghrib, dan kami tilawah qur’an bersama sambil menunggu
adzan isya, barulah kami lanjutkan dengan sholat.

Tanpa rasa kantuk menghantui mata-Ku, aku dan Farah bercerita-cerita mengenai
seminar yang telah kami lakukan dari kemarin hingga sekarang. Dan disaat ini-Lah aku akan jujur
perihal gelang-Ku hilang.

Ku potong pembicaraan ini. Farah yang tadinya masih tertawa lepas, kini terdiam
mendengarkan aku akan bicara.

“Farah..”

“Kenapa?” tanya-Nya sambil menghampiri wajahku yang tertunduk diam.

“Maafin aku ya..” aku masih tertunduk diam.

“Gelang yang kita beli di online shop itu, hilang..” lanjutku menjelaskan.

“Hahaha...”

“Kok ketawa sih, Far?” aku terheranan melihat Farah yang tertawa. Seketika Farah mengambil
sesuatu ditas pergi-Nya.

“Nih..” Farah menyodorkan gelang yang ku kenakan sewaktu sampai di Bogor.

“Kok?” melongok keheranan melihat gelang yang waktu itu ku kenakan, ternyata ada di Farah.

“Iya, aku nemu ini pas kita pulang dari jalan-jalan ke IPB di hari pertama, aku kira kamu emang
sengaja ninggalin gelang ini di meja penginapan waktu itu. Tapi pas mau berangkat, kamu udah
keluar dari kamar duluan dan ninggalin gelangnya dimeja. Jadi aku bawa aja kemana pun kita
pergi, jaga-jaga kalo kamu nanyain.” Jelasnya

Aku malu dengan pernyataan Farah, aku ceroboh sekali meninggalkan gelang itu dimeja,
lalu aku melupakannya. Walaupun itu hanya gelang, tapi, itu berharga buat aku dan Farah.

“Kamu bisa dibilang ceroboh, Ban. Tapi disatu sisi, aku tau kalo kamu itu sebenernya orangnya
jujur dan sering minta maaf ke oranglain walau kamu nggak salah, atau bahkan kamu pemaaf.”
Farah menenangkan perasaan-Ku.

“Aku takut kamu marah, Far, jadinya aku cepet-cepet bilang ke kamu.” Ucap-Ku. Hampir saja
meneteskan air mata.

“Aku nggak marah kok, kamu kan udah jujur..” jelasnya lagi.
Aku tersenyum tenang mendengar penjelasan dari Farah. Farah melebarkan tangannya,
seakan ia tahu apa yang harus ia lakukan. Kami berpelukan sebagaiman mestinya seorang
sahabat dekat.

Malam ini, aku bisa tertidur nyenyak di ranjang single ini, menantikan terbitnya matahari
yang akan berbagi kebahagiaan bersama diriku dan tidak lupa, Farah.

Seperti yang aku duga, aku akan tertidur lelap dimalam yang sejuk ini. Ranjangku dekat
jendela luar kamar penginapan, jadi aku dapat melihat indahnya bintang dari ranjang ini.
Sedangkan Farah, ranjangnya dekat dengan kamar mandi, ia sendiri yang memilihnya. Farah
bilang, dia takut kalau tidurnya deket jendela.

Alhamdulillah, hari ini aku bisa bangun kembali dari tidurku. Selamat datang Matahari di
pagi yang cerah ini dan terimakasih untuk bulan yang telah menerangi malam-Ku.

Yup, benar perkiraanku, hari ini aku nggak akan dibangunin Farah lagi, aku bangun
duluan dan Farah belakangan. Jadi, aku nggak merepotkan Farah lagi saat bangun pagi.

Setelah rapih berpakaian dan mempersiapkan segalanya. Aku dan Farah siap untuk pergi
berwisata. Makanan ringan yang ku beli kemarin bersama Farah masih ada diatas meja rias,
masih tersimpan rapih. Rencananya memang kalau makanannya nggak habis dimakan, akan
dibawa hari ini, saat berwisata.

“Kita hari ini ke Kebun Raya Bogor, yuk!” ajakku.

“Jauh?”

“Deket stasiun Bogor, Far. Waktu pertama kita sampai di Bogor itu loh,” coba mengingatkan
Farah kembali, tapi sepertinya Farah agak bingung dengan daerah di Bogor.

“Inget?” lanjutku.

“Ya udah kalo masih bingung, yuk jalan.” Ku eratkan pegangan ku pada tangan Farah, agar Farah
tak bisa untuk mengelak saat aku ajak pergi.

Angkutan umum, satu-satunya kendaraan yang bisa mengantarkan aku dan Farah
kemana-pun kami pergi. Dan ditambah lagi, Bogor tidak mengalami kemacetan parah pada hari
ini, jadi perjalanan aku dan Farah lancar-lancar aja.

Dan, akhirnya, sampailah kami didepan gerbang loket masuk Kebun Raya Bogor. Yang
didepannya ada McDonald itu lho.. upss sebut merk. Enggak apa-apa lah.

Harus berjalan sekitar 100meter lebih untuk sampai loket karcis. Saat menuju Loket,
Farah begitu sibuk membuka tas kecilnya.

“Berapa biaya masuknya?” Farah fokus dengan tas kecilnya yang sedang ia rogoh-rogoh. Aku
tahu maksud Farah menanyakan seperti itu.

“Mau tau aja sih,” jawabanku membuat Farah berhenti merogoh tas-Nya. Aku lirik sedikit Farah
yang terus memperhatikanku dengan wajah yang jutek.

Sampai didepan loket,

“Semuanya Rp. 28.000;” ujar mbak-mbak penjaga tiket.

Aku menyodorkan uang pas.

“Makasih ya, mba. Kembaliannya, ambil aja..” ujar-Ku.

Farah menyikutku pelan sambil tertawa kecil. Lalu kami beranjak pergi dari

“Kamu tuh, doyan banget bercanda sih.” Jelasnya.

“Aku nggak bercanda, Far, aku serius. Aku emang berniat baik untuk ngasih mba mba itu uang
tambahan.”
“Tapi kamu ngasih uangnya itu pas,” jelas Farah.

“Oalah..” kami tertawa kecil tapi bahagia.

Kami jalan menyusuri jalan disekitar Istana Bogor dan Danau Gunting. Kami berhenti
sejenak dan berselfie ria. Sampai akhirnya kami sampai di tempat pemesanan mobil keliling.
Tanpa pikir panjang, aku memesan tiket untuk dua orang.

Dengan mobil keliling ini, aku dan Farah bisa menikmati wisata di Kebun Raya Bogor
tanpa berjalan kaki. Pemandu wisatanya pun baik dan ramah saat menjelaskan beberapa jenis
tumbuhan yang ada di Kebun Raya Bogor. Kebun Raya Bogor juga biasa disebut dengan Hutan
Buatan, karena isi dari Kebun Raya Bogor memang tumbuhan. Tetapi ada museum-Nya juga.
Salah satu muuseum itu adalah Museum Zoologi.

25 menit sudah aku, Farah dan pengunjung lainnya mengelilingi Kebun Raya bogor
dengan menaiki mobil keliling ini.

“Mau beli oleh-oleh nggak?” tanya ku pada Farah saat selesai menaiki mobil keliling.

“Oh iya, mau dong, dimana belinya?” tanya Farah sangat antusias.

“Tuh..” tunjukku pada salah satu toko dekat loket mobil keliling.

Farah sepertinya memang sangat ingin membeli oleh-oleh untuk keluarganya di Salatiga.
Sampai-sampai, ia berlari meninggalkan aku demi memasuki toko buah tangan itu.

“Ini lucu ya, Ban,” Farah menunjukkan salah satu gantungan kunci padaku.

“Kalo suka, ya beli.” Ujar-ku singkat.

Ku lihat, Farah membeli beberapa aksesoris. Mulai dari aksesoris untuk kamar sampai
aksesoris untuk tas-Nya. Dan tak lupa aku kenal pada Farah, Coklat Nuhun. Farah tertarik untuk
membelinya.

Belanjaan Farah saat ditotal, sekitar Rp. 67.000; sedangkan aku hanya sekitaran Rp.
30.000; karena memang sebelumnya aku pernah ke Kebun Raya Bogor dan membeli aksesoris
disini. Jadi aku tidak perlu membelinya lagi.

Selepas dari toko Buah Tangan, aku dan Farah menuju Museum Zoologi, hanya sekedar
ingin melihat-lihat hewan yang dimuseumkan.

Ada banyak sekali hewan yang dimuseumkan disini, termasuk Ikan Paus paling besar
yang pernah ditemukan di Lautan Indonesia. Ikan Paus itu ditemukan didaerah sekitaran
Karawang.

Tak lupa kegiatan-Ku dan Farah, berselfie ria. Aku abadikan momen ini, agar terus ingat
dengan Farah. Setelah puas berjalan-jalan didalam Museum Zoologi, aku dan Farah
memutuskan untuk istirahat sejenak dan sekalian sholat Dzuhur di mushola Museum Zoologi.

Didepan Museum Zoologi, terdapat rerumputan hijau dan belakangnya terdapat pohon
yang tinggi tetapi jaraknya cukup jauh dari keramaian pengunjung. Aku dan Farah duduk santai
sambil menikmati makanan ringan yang dibawa tadi pagi. Kegiatan-Ku dan Farah, berselfie ria.

Momen ini ngga akan aku lupain sampai aku dan Farah satu kampus nanti (aamiin).

Berjam-jam aku dan Farah duduk santai direrumputan yang memang disediakan untuk
pengunjung duduk. Hari menjelang sore dan saatnya aku balik ke penginapan. Mempersiapkan
barang yang akan aku bawa pulang besok.

Saat dipenginapan, aku dan Farah sama-sama merapihkan barang bawaan kita masing-
masing. Aku melihat beberapa oleh-oleh yang ku beli tadi, apa aku nggak mau kasih Farah satu
aja dari beberapa oleh-oleh ini? Ujarku dalam hati.

Ku pilih salah satu dari lima oleh-oleh yang ku beli, untuk ku berikan pada Farah.
“Farah..”

“Hmm?” Farah menoleh padaku.

Ku berikan gantungan kunci KRB pada Farah. Mungkin Farah sudah terbiasa dengan
sikapku yang kalau memberi seuatu pada orang, orang tersebut harus menerimanya, kalau tidak
diterima aku yang akan marah. Untuk menghindari semua itu, Farah menerima gantungan kunci
dariku. Farah tersenyum padaku lalu melanjutkan mengemas barangnya kembali.

Malam semakin meraja-lela, aku dan Farah bergegas tidur. Rasanya aku tak mau melalui
hari esok, pasti akan sangat menyedihkan bilang memang terjadi.

Hari yang tak ingin ku lalui-pun akhirnya menghampiri-Ku. Saat kesedihan dan
kesenangan akan bercampur menjadi satu.

Entah kenapa mata ini tidak merasakan kantuk yang sangat menyiksa, disaat hari yang
tak ingin ku lalui. Langkah kaki ini pun mengapa jadi begitu cepat saat akan berjalan memasuki
kereta jurusan Manggarai itu. Mengapa waktu sangat cepat? Kenapa sekarang aku sudah ada di
stasiun Manggarai? Kenapa ada taksi distasiun Manggarai? Kenapa supir taksi ini sangat cepat
saat mengendarai mobil yang aku sebut taksi? Kenapa aku cepat sampai di stasiun Gambir?
Kenapa Farah begitu cepat saat print tiket online miliknya? Kenapa kereta yang menuju Salatiga
begitu sebentar untuk ditunggu? Kenapa semuanya terasa cepat? Aku masih rindu dengan
Farah. Aku mau terus main dan pergi jalan-jalan sama Farah. Aku masih mau bercanda dan
cerita-cerita terus sama Farah. Tak dapat ditahan, air mata ini jatuh begitu saja saat aku
menunggu Farah yang sedang pergi ke toilet. Andai waktu bisa ku putar kapan saja yang ku mau,
aku ingin terus menghabiskan waktu dengan orang yang memiliki kesamaan hobi dan cita-cita
sama dengan diriku.

Sedikit bercanda dengan Farah saat menunggu kereta, tapi itu tidak menutupi bahwa
aku sedih saat ingin berpisah dengan Farah.

Pengumuman kereta dari Luar kota akan tiba, membuat jantung-Ku berdebar kencang.
Aku mengantarkan Farah sampai ke depan pintu masuk kereta. Tepat disini, ditempat aku
berdiri, aku menunggu seseorang yang baru ku kenal belum setahun tapi sudah ku anggap
sebagai sahabat. Jantung yang berdebar membuat ku kikuk harus bagaimana, tapi saat ini, aku
tau harus bagaimana, apa yang harus ku lakukan.

Salam perpisahan antara aku dan Farah, hanya lambaian tangan yang kami sediakan saat
itu. Farah sudah didalam gerbong, tetapi aku diluar gerbong. Aku sedih bukan karena aku
berlebihan, tetapi naluri. Aku pun masih bertanya-tanya, apa aku dan Farah akan satu kampus
nantinya, atau aku malah jauh dengan Farah? Entah. Aku Cuma bisa berdoa.

Satu bulan, dua bulan, Ujian Nasional telah ku lewati sampai titik darah penghabisan.
Dengan nilai yang memuaskan, aku meyakinkan orangtua-Ku untuk mengikuti SBMPTN tahun
ini. Karena jika, SNMPTN, aku tidak lolos untuk menembus nilai-nilai anak yang berprestasi di
seluruh Indonesia.

Aku melaksanakan wisuda di tiga tempat dalam waktu 2 minggu. Diluar Kota, di Kota
Malang aku melaksanakan perpisahan khusus untuk SMK. Disekolah, bersama tiga unit lainnya
yang satu halaman didalamnya. Dan terakhir, di Gedung ternama di kecamatan aku tinggal,
digedung itu berisikan beberapa sekolah Kesehatan yang terdapat di Kota tempat ku tinggal.

Tiga bulan setelah seminar di kampus IPB itu, aku melaksanakan Ujian Tulis atau UTUL, di
Jakarta. Dengan mengambil Universitas Diponegoro, Fakultas Kedokteran prodi Ilmu Gizi.

Empat bulan setelah seminar di kampus IPB itu juga, aku sudah diterima di UNDIP
dengan fakultas Ilmu Kedokteran prodi Ilmu Gizi, dan aku juga sudah mulai mengemaskan
barang-barangku yang akan ku bawa ke Semarang besok.

Pada akhirnya, satu-persatu dari kami pun harus berpisah dan menjalani jalan kami
masing-masing. Eka, akan masuk Poltekes 1 D3 Keperawata. Putri dan Novy akan bekerja di
bilangan Rumah Sakit ternama di Kota Bekasi. Sahabat-sahabat-Ku yang bekerja, bukan berarti
malas untuk bersekolah kembali, tetapi mereka-Lah orang yang siap untuk menghadapi
kerasnya kehidupan. Dan, sahabatku yang akan menempuh jalurnya ditingkat perguruan tinggi,
bukan berarti tidak siap untuk menempuh kerasnya kehidupan, tetapi ia yang ingin belajar lebih
dalam tentang ilmu yang pernah ia pelajari.

Walau kita akan terpisah, kami akan tetap menjadi sahabat baik. Baik selamanya.
Semoga saat aku dan sahabat-sahabat ku sukses nanti, kami akan bertemu dan memberikan
cerita terbaik pada anak kami nantinya.

Sengaja aku tak memberi Farah kabar tentang keberangkatanku besok, aku tak mau
merepotkan Farah, segala jemput di Stasiun. Aku akan berangkat sendiri ke Semarang,
orangtua-Ku hanya mengantar sampai Stasiun Gambir saja.

Kenapa jadi deg-deg-an gini sih mau ke Semarang.

Hari ini telah berlalu menjadi besok, dan besok telah berganti menjadi hari ini. Waktunya
aku berangkat ke Stasiun Gambir dan berangkat ke Semarang.

“Kamu ingetkan naik kendaraan apa aja kalo udah sampe di Semarang?” tanya Ummi-Ku dengan
setia menemaniku menunggu kereta.

“Inget buuuu..” jawab-Ku.

Sepuluh menit kemudian, kereta menuju Semarang telah sampai di Stasiun Gambir.

Cipika cipika dulu sama emak bapak. Tak lupa aku meminta do’a terbaik dari mereka
terus mendoakan aku disaat aku jauh dari mereka (Orang kesayangan).

Disepanjang jalan, aku merasa lelah, baru setengah jalan aku sudah merasakan pegal
dikaki-Ku. Mungkin ini lah yang dirasakan Farah waktu ingin berangkat ke IPB dari Semarang.

Perjalanan yang melelahkan dari Jakarta ke Semarang, badang terasa pegal-pegal. Kaki
terasa semutan. Mata dihantuin dengan rasa kantuk yang dalam. Tapi apa boleh buat, aku harus
sampai di Kost-an hari itu juga.

Kost-an yang aku pesan sebelumnya tidak seperti ini, kenapa jadi rapih banget gini?

“Maaf ya mba, kamar yang waktu itu mba pesan sudah ada yang pesan duluan ternyata. Jadinya
mba saya pilihkan kamar yang ini, harga sama kok mba. Maaf ya mba, ini kesalahan dari pihak
kami.” Jelas asisten Ibu Kost.

Aku hanya mengangguk pelan sambil menebar senyuman termanis yang ku temukan
didalam diriku.

Sudah merasa lega, asisten Ibu Kost itu beranjak pergi dan membiarka ku istirahat
dikamar-Ku yang nyaman ini.

Seketika aku teringat Farah. Farah udah disemarang belum ya? Ah biarin-Lah, kan aku
mau ngasih kejutan ke dia besok. Ujarku pelan.

Dan esoknya..

Bani Iftitah Bararah. Pagi itu, terpampang jelas nama lengkap ku dipapan pengumuman
Universitas Diponegoro Semarang. Saatku baca ulang, tak ada satu kata-pun yang berubah,
tetap sama “Fakultas Kedokteran prodi Ilmu Gizi”. Namaku ada diurutan ke sembilan dari lima
puluh Mahasiswa/i baru di Universitas Negeri itu. Dengan jalur SBMPTN, aku mampu bersaing
bersama ribuan calon Mahasiswa/i baru dari seluruh Indonesia untuk masuk ke Universitas
Diponegoro.

Saat jari telunjuk ini menyusuri lembaran pengumuman hingga ke barisan bawah nama
Mahasiswa/i baru, aku menemukan nama salah seorang sahabat-Ku yang berasal dari Kota
Salatiga. Farah Faustina, itu namanya. Aku dan Farah baru sekali bertemu saat Open House atau
yang lebih biasa disebut seminar, di Institut Pertanian Bogor. Grup beasiswa dari salah satu
media sosial mempertemukan kami. Kita saling memperkenalkan diri digrup, sampai akhirnya
Farah menanyakan tentang sekolah kesehatan kepada seluruh anggota digrup. Hanya aku yang
menjawab. Tanpa malu-malu, Farah memulai percakapan pribadi denganku. Kami berkenalan
sedemikian rupa dan sampailah disuatu titik dimana aku dan Farah mulai dekat sebagai seorang
teman. Bukan, lebih tepatnya seorang sahabat.

“Hei,” teriakan itu seperti ku kenal. Suara perempuan sebaya denganku.

“Bani..” lanjutnya.

Aku berusaha untuk keluar dari penuhnya lautan manusia disekitar papan pengumuman,
lalu aku mengikuti sumber suara yang memanggilku tadi.

“Farah..” ucapku terkejut saat salah seorang wanita dengan tinggi semampai menarik tanganku.

Farah mengajakku ke sebuah tempat duduk yang berada dibawah pohon rindang.

“Kamu kapan sampai di Semarang? Kok nggak minta jemput aku?” beginilah Farah, walau hanya
sering berkomunikasi di media sosial denganku dan baru bertemu sekali, tapi seakan-akan
seperti sering bertemu.

“Aku sampai di Semarang kemarin siang Far. Kan biar surprise ke kamu. Hehehe...” aku selalu
santai saat menjawab pertanyaan dari Farah sang wanita panikan. Aku menyejukan tubuhku
saat duduk dibangku bawah pohon rindang ini.

Lalu Farah mengajakku makan ditempat yang tak asing bagiku.

Farah mengajakku masuk ke dalam Resto ternama itu di Kota Semarang. Seluruh
pegawai menyapaku dan Farah keheranan melihat semuanya. Lalu, tanpa basa-basi, Farah
mengajakku duduk yang didekat jendela. Agar bisa melihat pemandangan Kota Semarang dari
sini.

Aku dan Farah sudah empat bulan tidak bertemu, lantas, aku bercerita banyak padanya,
terutama tentang Resto ini.

Farah terkejut dengan penjelasanku. Farah tau kalau orangtua-Ku memiliki usaha seperti
ini tetapi Farah tidak mengetahuinya jika orangtua-Ku buka cabang disini.

Asyik melihat pemandangan Kota Semarang, aku jadi melamun dan teringat sesuatu.
Tetapi, Farah menegurku dan mengajakku pulang ke kost-an. Lamunanku terhenti saat Farah
mengajakku pulang.

Aku pulang ke kost-an bersama Farah, dan ternyata, aku dan Farah satu kost-an tetapi
beda kamar. Saat aku datang disini kemarin, Farah sedang sibuk tidur, jadinya tidak mengetahui
aku sudah sampai di Semarang dan ternyata aku satu kost dengan Farah.
KEINGINAN

KARYA: BANI IFTITAH BARARAH


XII B KEPERAWATAN
141510003
TAHUN 2016

Vous aimerez peut-être aussi